BA B III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD JUAL BELI HEWAN ...repository.uinbanten.ac.id/4552/5/BAB...
Transcript of BA B III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD JUAL BELI HEWAN ...repository.uinbanten.ac.id/4552/5/BAB...
37
BA B III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD JUAL BELI
HEWAN KURBAN DENGAN SISTEM TABUNGAN
A. Akad Jual Beli
1. Pengertian Akad Jual Beli
Kata Akad berasal dari bahasa Arab al-„aqd yang secara
etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Secara
terminology fiqh, akad didefinisikan dengan: “pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada
objek perikatan”.
Pencantuman kata-kata “berpengaruh pada objek
perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan
dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain
(yang menyatakan kabul). Contoh ijab adalah pernyataan seorang
penjual, “saya telah menjual barang ini kepadamu.” atau “saya
serahkan barang ini kepadamu.” Contoh qabul, “saya beli
barangmu.” atau “saya terima barangmu.” Dengan demikian, ijab
qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk
38
menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang
atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang
tidak berdasarkan syara‟ oleh karena itu dalam Islam tidak semua
bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai
akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan
dan syariat Islam.1
Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi yang
dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah “perikatan ijab kabul yang
dibenarkan syara‟ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak.2
Para ulama terlah bersepakat bahwa keridhaan merupakan
landasan dalam akad sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an
surat An-Nisa ayat 29, namun demikian di antara para ulama
sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan
keridhaan ini.
Menurut Zahiriyah yang mempersempit tentang keridhaan
berpendapat bahwa setiap akad pada dasarnya dilarang sampai
ada dalil yang membolehkannya. Dengan demikian setiap akad
1 Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2004), h. 44 2 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Prenada
Kencana Media Group, 2010), h. 50-51
39
yang tidak didapatkan dalil yang membolehkannya adalah
dilarang. Mereka antara lain beralasan bahwa syariat Islam
mencangkup segala aspek kehidupan manusia.
Menurut ulama Hanbali dan lain-lain yang memperluas
masalah keridhaan pada dasarnya setiap akad dibolehkan sampai
ada dalil syara‟ yang melarangnya. Mereka antara lain beralasan
bahwa syara‟ pada dasarnya hanya menetapkan keridhaan dan
ikhtiar (pilihan) pada akad.3
Akad (ikatan, keputusan atau penguatan) atau perjanjian
atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen
yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah fiqih,
secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang
untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak maupun
yang muncul dari dua pihak.4
Menurut pendapat Syafi‟iyah, Malikiyah, dan Hanabilah,
akad yaitu: “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak
3 Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah…h. 63
4 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 35
40
pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan dan gadai”.5
Kemudian jual beli menurut etimologi, diartikan sebagai
pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain) kata lain dari al-
tijarah, dalam Al-Quran surat Fathir ayat 29
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan
rugi.” (QS.Fathir: 29)6
Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain
a. Menurut Hanafiyah
وجو مصوص مبا د لة ما ل با ل على “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan
cara khusus (yang dibolehkan)”
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu مقا ب لة ما ل با ل تليكا
“Pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan.”
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni:
5 Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah…h. 43-44
6 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2006), h. 620
41
ا ل با لما ل تليكا وتلكا
مبا دلة ا مل“Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan
milik.”7
2. Dasar Hukum Akad Jual Beli
Terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu
(perjanjian).8
„Uqud adalah jama‟ dari „aqd, menurut keterangan Raghib
adalah mengumpulkan ujung-ujung sesuatu artinya mengikatkan
yang setengah dengan yang setengah, maknanya dalam perikatan
jual beli.9 Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk
memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji kepada
Allah maupun yang dibuat di antara sesama manusia termasuk
kontrak bisnis. Perkataan aqdu mengacu terjadinya dua
perjanjian atau lebih, bila sesorang mengadakan janji kemudian
7 Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah,…h. 73-74
8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan,… h. 141 9 Hamka, TafsirAl Azhar Juzu‟ V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993),
h. 104
42
orang lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu
janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara satu dan
lainnya maka disebut perikatan. Semua perikatan dapat
dilakukan asal tidak melanggar ketentuan Allah.10
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur‟an, sunah, dan
ijma, yaitu:
a. Al-Qur‟an, di antaranya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba.” (QS.Al-Baqarah : 275)11
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.”(QS.Al-
Baqarah : 282)12
b. As-sunah
رور.النب ص.م.: اي الكسب أ طيب؟ ف قا ل: عمل الرجل سئل بيده ؤكل ب يع مب (ؤصححو احلاكم عن رفا عة ابن الرافعالبزار ه )روا
10
Ridwan, Http://Digekonom.Com, Pengertian, Rukun Dan Dasar
Akad Transaksi, 26 Juli 2018, diakses pada tanggal 15 juli 2019 11
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan,…h. 58 12
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan,,… h. 59
43
“Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang paling
baik. Beliau menjawab, „Seseorang bekerja dengan tangannya
dalam setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim
menyahihkannya dari Rifa‟ah Ibn Rafi‟).
Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual beli yang
terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
االب يع عن ت راض )رواه البيهقى وابن ماجو( وان“Jual beli harus dipastikan harus saling meridhai.” (HR. Baihaqi
dan Ibnu Majjah).
c. Ijma‟
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi
kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian
bantuan atau milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai13
. Dalam kaidah fiqih
juga dijelaskan bahwa “prinsip dasar muamalah (jual beli) adalah
halal dan boleh”, maksudnya semua akad dipandang baik kecuali
ada dalil yang mengharamkannya, pintu terbuka luas setiap
13
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah…h. 75
44
muamalah baik yang datang kemudian atau yang terdahulu
prinsip dasarnya adalah boleh.14
3. Rukun dan Syarat Akad Jual Beli
a. Rukun-rukun akad jual beli
1) „Aqid adalah orang yang berakad, terkadang
masing-masing pihak terdiri dari satu orang atau
lebih.
2) Ma‟qud „alaih, ialah benda-benda yang diakadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual
beli.
3) Maudhu‟ al-„aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok
mengadakan akad. Berbedanya akad maka
berbedalah tujuan pokok akad. Dalam jual beli
misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindakan
barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi
ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu
memindahkan barang dari pemberi kepada yang
diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti. Maudhu
14
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2015), h. 51
45
akad pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli
akad dan hukum akad. Maksud asli akad
dipandang sebelum terwujudnya akad hukum di
pandang dari segi setelah terjadinya akad atau
akibat terjadinya akad sedangkan maudhu akad
berada di antara keduanya.
4) Shighat al-„aqd, ialah ijab kabul. Ijab ialah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun
kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang
berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab.
Pengertian ijab kabul dalam pengamalan dewasa
ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain
sehingga penjual dan pembeli dalam membeli
sesuatu terkadang tudak berhadapan, misalnya
yang berlangganan majalah panjimas, pembeli
mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli
menerima majalah tersebut dari petugas pos.
46
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Shighat al-„aqd ialah:
a) Shighat al-„aqd harus jelas pengertiannya.
Kata-kata dalam ijab kabul harus jelas dan
tidak memiliki banyak pengertian, misalnya
sesorang berkata: “Aku serahkan barang ini”,
kalimat ini masih kurang jelas sehingga masih
menimbulkan pertanyaan apakah benda ini
diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau
titipan. Kalimat lengkapnya ialah: “Aku
serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah
atau pemberian”.
b) Harus bersesuaian antara ijab dan kabul.
Antara yang berijab dan menerima tidak boleh
berbeda lafal, misalnya sesorang berkata: “Aku
serahkan benda ini sebagai titipan”, tetapi yang
mengucapkan kabul berkata: “Aku terima
benda ini sebagai pemberian”. Adanya
kesimpangsiuran dalam ijab dan kabul akan
menimbulkan persengketaan yang dilarang
47
oleh Islam, karena bertentangan dengan Islah
di antara manusia.
c) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari
pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa,
dan tidak karena di ancam atau ditakut-takuti
oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli)
harus saling merelakan. Mengucapkan dengan
lisan merupakan salah satu cara yang ditempuh
dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara
lain yang dapat menggambarkan kehendak
untuk berakad.
Para ulama fiqh menerangkan beberapa cara yang
ditempuh dalam akad yaitu:
(1) Dengan cara tulisan (bukti tertulis untuk
yang tidak tunai)
(2) Isyarat (bagi orang bisu)
(3) Ta‟athi (saling memberi), seperti orang
yang melakukan pemberiann kepada
seseorang dan orang tersebut memberi
48
imbalan kepada yang memberi tanpa
ditentukan besar imbalannya.15
b. Syarat-syarat Akad jual beli
Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan
syara‟ yang wajib disempurnakan. Berikut ini syarat
terjadinya akad, yaitu:
1) Kedua yang melakukan akad cakap bertindak.
Menurut Ulama Syafi‟iyah syarat akad jual beli
harus dewasa dan sadar.16
2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima
hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara‟, dilakukan oleh
orang yang mempunyai hak melakukannya,
walaupun dia bukan „aqid yang memiliki barang.
4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟,
seperti jual beli mulasamah (saling merasakan)
15
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih Muamalat,…h. 52-54 16
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah…h. 81
49
5) Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah
sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan
amanah (kepercayaan).
6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab
menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka
batallah ijabnya.
7) Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila
sesorang yang berijab telah berpisah sebelum
adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
4. Macam-macam Akad jual beli
Dilihat dari keabsahannya menurut syara‟, akad terbagi
dua, yaitu:
a. Akad sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-
rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini
adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak
yang berakad. Dibagi lagi oleh Malikiyah menjadi dua
macam, yaitu:
50
1) Akad yang nafis (sempurna untuk dilaksanakan),
ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi
rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang
untuk melaksanakannya.
2) Akad mauquf, ialah akad yang dilakukan
seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia
tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
dan melaksanakan akad ini, seperti yang dilakukan
oleh anak kecil yang telah mumayyiz.
Di antara para ulama, ada yang memandang bahwa akad
yang shahih harus bersesuaian antara zhahir dan batin akad. Akan
tetapi sebagian ulama lainnya tidak mempermasalahkan masalah
batin atau tujuan akad. Menurut golongan kedua jika akad sudah
memenuhi persyaratannya, yaitu di anggap sah, tanpa
mempermasalahkan apakah mengandung unsur kemaksiatan atau
tidak, dengan demikian akad yang mengandung unsur
kemaksiatan sah secara zhahir tetapi makruh tahrim karena
mengandung kemaksiatan atau niatnya tidak sesuai dengan
ketentuan syara‟. Hanafiyah dan Syafi‟iyah menetapkan beberapa
51
hukum akad yang dinilai secara zhahir sah tapi makruh tahrim
(perbuatan terlarang yang didasarkan pada dalil yang
mengandung ta‟wil) , yaitu:
a) Jual beli yang menjadi perantara munculnya
riba
b) Menjual anggur untuk dijadikan khamr
c) Menjual senjata untuk enunjang
pemberontakan atau fitnah, dan lain-lain.
Adapun pendapat Malikiyah, Hanabilah, dan syi‟ah yang
mempermasalahkan masalah batin akad berpendapat bahwa suatu
akad tidak hanya dipandang dari segi zhahirnya saja tetapi juga
batin. Dengan demikian tujuan memandang akad dengan sesuatu
yang tidak bersesuaian dengan ketentuan syara‟ dianggap batal.
Dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya akad jual beli
sahih itu para ulama fiqh berpendapat bahwa akad yang bersifat
mengikat bagi pihak-pihak yang berakad sehingga salah satu
pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain,
seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.
52
Akad yang mengikat tetapi dapat dibatalkan atas
kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa-
menyewa, perdamaian. Dalam akad-akad seperti ini berlaku hak
khiyar (hak memilih untuk meneruskan akad yang telah
memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkan). Khiyar
artinya boleh memilih antara dua hal, yaitu meneruskan akad jual
beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli).
Diadakannya khiyar oleh syara‟ agar kedua orang yang
berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih
jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari
lantaran merasa tertipu.17
b. Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat
kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga
seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak
mengikat pihak-pihak yang berakad. Hanafiyah
membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam,
yaitu akad yang batil dan fasid. Misalnya, objek jual
beli itu tidak jelas atau dapat unsur tipuan seperti
17
Sulaiman Rasjid, FiQh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2011), h. 286
53
menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang
berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad
fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang pada
dasarnya disyariatkan akan tetapi sifat yang diakadkan
itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau
kendaraan yang tidak ditujukkan tipe, jenis, dan bentuk
rumah yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan
antara penjual dan pembeli, oleh karena itu jual beli ini
menurut Hanafiyah dianggap sah apabila unsur-unsur
yang menyebabkan kefasidannya itu dihilangkan,
misalnya dengan menjelaskan tipe, jenis, dan
bentuknya yang hendak dijual.18
Untuk mengetahui apakah syarat kejelasan suatu objek
akad itu sudah terpenuhi atau belum, dikhawatirkan ada unsur
gharar didalamnya. Ada tiga macam yang perlu diperhatikan
dalam objek akad, pertama, objek jual beli tidak tersedia. Kedua,
objek jual beli tidak diserahterimakan. Ketiga,objek jual beli yang
18
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat …h. 55-58
54
tidak diketahui jenis atau ukurannya.19
Adat kebiasaan („urf)
mempunyai peranan penting apabila urf memandang jelas,
misalnya jual beli hewan ternak yang sudah waktunya untuk
sembelih atau sudah mencukupi umur untuk syarat-syarat tertentu
seperti untuk kurban tetapi hewannya masih berada dalam
supplier atau belum berada dalam tangannya si pemilik maka
hewan ternak itu sudah mempunyai syarat kejelasan. Yang
penting tidak menyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat.
Penjual jangan menerima harga yang jauh di bawah harga yang
wajar dan dapat dijamin tidak akan terjadi sengketa di belakang
hari, namun disamping itu, dalam jual beli berlakunya hak khiyar
bagi penjual dan pembeli.
Khiyar adalah pilihan dalam transaksi jual beli yang
berfungsi untuk memilih baik untuk membatalkan atau
meneruskan. Khiyar ada beberapa macam yaitu: khiyar majlis
adalah hak pilih bagi kedua belah pihak (pembeli atau penjual)
untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya
berada dalam majlis akad dan belum berpisah badan. Artinya
19
Al Hurani, Syaikhul Islam Taqiyyudin Ahmad bin Taimiyyah,
Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyyah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 485
55
suatu akad baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang
melakukan akad telah berpisah badan atau salah seorang diantara
mereka telah melakukan pilihan untuk menjual atau membeli.
Khiyar seperti ini berlaku dalam suatu akad yang bersifat
mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan akad.20
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa khiyar dapat
dikatakan “sehingga keduanya berpisah dari tempatnya.” Maksud
pernyataan tersebut adalah dua pihak yang bertransaksi boleh
khiyar, khiyar itu berlaku sampai badan mereka berpisah.21
Kemudian ada khiyar syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat
sewaktu akad oleh keduanya, boleh dilakukan dalam segala
macam jual beli kecuali barang yang wajib diterima di tempat
jual beli, jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah
diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa
akad, tetapi jika jual beli tidak diteruskan barang itu tetap
kepunyaan penjual, untuk meneruskan jual beli atau tidaknya
hendaklah dengan lafadz yang jelas menunjukan terus atau
20
Enang Hidayat, Fikih Jual Beli,... h. 32-33 21
Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi, Ayat Al-Quran dan Hadits
Jilid 7, (Jakatra: Widya Cahaya, 2009), h. 33-34
56
tidaknya jual beli, kemudian khiyar aib artinya pembeli boleh
mengembalikan barang yang dibelinya apabila barang itu terdapat
suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu atau mengurangi
harganya sedangkan biasanya barang sewaktu akad cacatnya itu
sudah ada, tetapi terjadi sesudah akad.22
Dilihat dari sisi penamaannya, akad terbagi menjadi
dua macam yaitu:
1) „Uqudun musammatun, yaitu akad-akad yang
diberikan namanya oleh syara‟ dan ditetapkan
untuknya hukum-hukum tertentu.
2) „Uqud ghairu musammah, yaitu akad-akad yang
tidak diberikan namanya secara tertentu, ataupun
tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh
syara‟ sendiri.
Dalam ilmu fiqih „Uqudun musammatun beberapa
macam yaitu:
a) Ba‟i adalah akad yang berdiri atas dasar
penukaran harta dengan harta lalu terjadilah
22
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam...h. 287-288
57
penukaran milik secara tetap”. Akad ini
adalah pokok pangkal dari uqud
mu‟awadlah, hukum-hukumnya merupakan
naqis „alaihi, dalam kebanyakan hukum
akad.
b) Ijarah adalah akad yang objeknya, ialah
penukaran manfaat untuk masa tertentu
artinya: memilikkan manfaat dengan iwadl,
sama dengan menjual manfaat”.
c) Kafalah adalah akad yang mengandung
perjanjian dari seseorang, bahwa padanya
ada hak yang wajib dipenuhi untuk selainnya
dan menserikatkan dirinya bersama orang
lain itu di dalam tanggung jawab terhadap
hak itu dalam menghadapi seseorang
penagih”.
d) Hawalah adalah suatu akad yang objeknya
memindahkan tanggung jawab dari yang
mula-mula berhutang kepada pihak lain”.
58
e) Rahn adalah suatu akad yang objeknya
menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh pembayaran dengan
sempurna”.
f) Bai‟ul Wafa‟ adalah akad taufiqi dalam rupa
jual beli atas dasar masing-masing pihak
mempunyai hak menarik kembali pada
kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda).
Akad ini merupakan akad yang bercampur
antara bai‟ dan iarah.
Iarah adalah akad yang dilakukan atas dasar
pendermaan terhadap manfaat sesuatu untuk
dipakai dan kemudian dikembalikan.
Padanya unsur-unsur bai‟ dan juga padanya
ada iarah, sedang hukum rahn lebih
mempengaruhi akad itu. Akad ini
mengandung arti jual beli karena musytari
59
dengan selesainya akad, memiliki segala
manfaat yang dibeli itu.23
Akad jual beli berdasarkan pertukaran dan harga secara
umum dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
(1) Jual beli taqsith adalah jual beli dengan
pembayaran cicilan (kredit)
(2) Jual beli muqayadhah adalah jual beli
dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan
sepatu.
(3) Jual beli mutlak adalah jual beli barang
dengan sesuatu yang telah disepakati
sebagai alat pertukaran, seperti uang.
(4) Jual beli alat penukar dengan alat
penukar adalah jual beli barang yang
biasa dipakai sebagai alat penukar
dengan alat penukar lainnya, seperti
uang perak dengan emas.
23
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Muamalah,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 82-84
60
(5) Jual beli al-musawah yaitu penjual
menyembunyikan harga aslinya, tetapi
kedua orang yang akad saling meridhai,
jual beli seperti ini yang berkembang
sekarang.24
Secara umum, tujuan adanya semua syarat tersebut antara
lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga
kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual-beli
gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain.
Ulama telah bersepakat bahwa jual-beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi
kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian,
bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu,
harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai, karena Allah
mensyari‟atkan jual beli untuk memberikan kelapangan kepada
hamba-hamba-Nya, manusia pun tidak dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri dan terpaksa mengambilnya kepada orang
24
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah…h. 101
61
lain dan tidak ada cara lain yang lebih sempurna daripada
pertukaran.25
B. Hewan Kurban
1. Pengertian Hewan Kurban
Kurban diambil dari kata “al-hadyu” yaitu sesuatu yang
dihadiahkan di tanah suci baik dari jenis binatang maupun
lainnya namun yang dimaksud disini adalah hewan yang
dijadikan kurban di tanah suci dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah.26
Secara etimologis berarti sebutan bagi hewan yang
dikurbankan atau sebutan bagi hewan yang disembelih pada hari
raya „Idul Adha.
Adapun definisinya secara fiqh adalah perbuatan
menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan dilakukan pada waktu tertentu. Ibadah
kurban disyariatkan pada tahun ketiga hijrah, sama halnya dengan
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013), h.
34 26
Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2015), h. 425
62
zakat dan sholat hari raya.27
Pada hari tasyrik tanggal 11,12 dan
13 Dzulhijah.
Pada awalnya berkurban dalam Islam merupakan syariat
yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As. Hal ini diterangkan dalam
Al-Qur‟an: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar” (QS. As-Saffat:107). Kemudian Allah SWT
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
meneruskan syariat tersebut setiap „Idul Adha.
2. Dasar Hukum disyariatkannya Kurban
Dalam Al-Qur‟an surat Al-Kautsar ayat 2
ر ح ان ك و ب ر صل ل ف
“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan
berkurbanlah (sebagai ibadah dan menekatkan diri kepada
Allah)”28
.
Maksud ayat di atas menunjukkan bahwa dianjurkan
untuk menyembelih hewan kurbanmu dengan ikhlas karena
27
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4, (Jakarta:
Gema Insani, 2011), h. 254 28
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan,,… h. 918
63
Allah. Allah-lah yang sebenar-benarnya memelihara dirimu dan
menganugerahkan nikmat-nikmat kepadamu yang tak terhitung.29
Allah SWT berfirman dalam Al-qur‟an surat Al-Hajj ayat 36-
37
36. “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian
dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak
padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat).
kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa
yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu
kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur”.
37.”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah
yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
29
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 444
64
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik”.30
Adapun landasan dari As-sunnah tersebar dalam beberapa
hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., yaitu sabda Rosullulah
SAW
م, إن ها لتأتى ي وم ما عمل ابن ادم ي وم النحر عمال أحب إل اهلل ت على من إراقةالدم لي قع من اهلل عز وجل بكان ق بل أن القيا مة بقرونا و أضال فها و أشعا رىا وان الد
ي قع على االرض فطيبوابا ن فسا“Tidak ada satu amal pun yang dilakukan anak cucu adam pada
hari raya qurban yang lebih dicintai Allah dibandingakan
amalan menumpahkan darah (hewan). Sesungguhnya ia (hewan-
hewan yang diqurbankan itu) pada hari kiamat kelak akan
datang dengan diiringi tanduk, kuku, dan bulu-bulunya.
Sesungguhnya darah yang ditumpahkan (dari hewan itu) telah
dletakkan Allah SWT di tempat khusus sebelum ia jatuh ke
permukaan tanah, oleh karena itu doronglah diri kalian untuk
suka berqurban”.31
Seluruh umat Islam sepakat bahwa berkurban adalah
perbuatan yang disyariatkan Islam. Banyak Hadits yang
mengatakan bahwa berkurban adalah sebaik-baik perbuatan disisi
Allah yang dilakukan seorang hamba pada hari raya kurban.
Demikian bahkan hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat
persis seperti kondisi ketika disembelih di dunia. Adapun hikmah
30
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan,,…h. 486 31
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4,… h. 255
65
disyariatkannya berkurban adalah untuk mengekspresikan rasa
syukur kepada Allah terhadap nikmat-nikmat_Nya yang beraneka
ragam.
3. Hukum berkurban
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum berkurban
apakan wajib atau sunnah,
a. Menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya
Berkurban hukumnya wajib satu kali setiap tahun bagi
seluruh orang yang menetap di negerinya. Imam ath-Thahawi dan
lainnya mengungkapkan bahwa menurut Abu Hanifah hukum
berkurban itu wajib dengan alasan bahwa perintah berkurban
disini merupakan perintah wajib didasarkan pada sabda
Rosulullah SAW: ”Barangsiapa yang telah mempunyai
kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia
menghampiri tempat sholat kami” (HR Ahmad bin Hanbal dan
Ibnu Majah).
Dalam memahami hadits ini Imam Abu Hanifah dan para
sahabatnya berpendapat adanya ancaman berat dalam hadits
tersebut menunjukan bahwa perintah yang dikandungnya adalah
66
perintah wajib, seandaianya perintah Rosulullah itu adalah
perintah sunah maka Nabi tidak akan menyebutkan ancaman
yang demikian berat atas orang yang tidak melaksanakannya.
Sementara menurut dua orang sahabatnya yaitu Abu yusuf dan
Muhammad mengatakan bahwa hukumnya sunnah muakkad.
b. Menurut Madzhab Syafi‟i
Menyatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah „ain
bagi setiap orang, satu kali seumur hidup dan sunnah kifayah bagi
setiap keluarga yang berjumlah lebih dari satu dalam arti apabila
salah seorang dari anggota keluarga tadi telah menunaikannya,
maa dipandang sudah mewakili seluruh keluarga. Hadits yang
diriwayatkan oleh Mikhnaf Bin Sulaim yang berkata, “suatu
ketika kami (para sahabat) melaksanakan wukuf bersama
Rosulullah SAW saya lantas mendengar beliau bersabda, „wahai
manusia, wajib bagi setiap satu keluarga berkurban setiap
tahunnya‟.(Diriwaayatkan oleh al Baihaqi dan lainnya dengan
sanad yang berkualitas hasan).
67
c. Pendapat Jumhur Ulama
Hukum menetapkan sunnah berkurban bagi orang yang
mampu. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh
Ummu Salamah r.a. bahwa Rosulullah SAW bersabda:“Jika
kalian telah melihat hilal tanda masuknya bulan Dzulhijjah lalu
salah seorang kalian ingin berkurban maka hendaklah ia tidak
memotong rambut dan kukunya (hingga datang hari berkurban).
Jumhur Ulama menyatakan bahwa pada hadits ini
tindakan berkurban dikaitkan dengan keinginan, sementara itu
pengaitan sesuatu dengan keinginan menunjukkan
ketidakwajiban.32
Adapun kondisi yang menyebabkan terjadinya perubahan
hukum berkurban (dua macam hukum berkurban). Menurut
madzhab Hanafi hukum berkurban itu terdapat dua macam yaitu
wajib dan sunnah. Jika berkurban disebabkan karena nadzar
maka hukumnya wajib bagi orang yang mengucapkannya, baik
orang yang kaya ataupun orang yang miskin. Kemudian jika
hewan yang sengaja dibeli dengan tujuan dikurbankan walaupun
32
Wahabah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4,… h. 257
68
orang yang membeli itu adalah orang miskin dengan niat untuk
berkurban maka hukumnya menjadi wajib, alasannya jika
seseorang yang tidak wajib berkurban membeli seekor hewan
untuk dikurbankan maka merealisasikan tindakan tersebut
hukumnya wajib. Tindakan itu sama dengan tindakan nadzar.
Selanjutnya, kurban yang dituntut dari seseorang kaya bukan
orang miskin, untuk melaksanakannya pada setiap hari raya idul
adha. Kurban tersebut bukan dalam rangka nadzar atau sengaja
dibeli untuk disembelih, melainkan sebagai ekspresi dari rasa
syukur terhadap nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT
dan menghidupkan sunnah yang diwariskan Nabi Ibrahim.
4. Syarat-syarat kurban
a. Adanya kemampuan untuk berkurban. Menurut
madzhab syafii adalah orang yang disebut mampu
dalam hal ini adalah yang memiliki uang untuk
membeli hewan kurban diluar kebutuhannya dan
kebutuhan orang-orang yang berada dibawah
tanggungannya sebelum hari-hari tasyrik yaitu selama
waktu pelaksanaan kurban
69
b. Hewan yang dikurbankan itu terbebas dari cacat-cacat
yang nyata, biasanya membawa pada berkurangnya
dagingnya atau timbulnya penyakit yang
membahayakan kesehatan orang-orang yang
memakannya.
c. Kurban dilaksanakan pada waktu yang ditentukan,
menurut madzhab Hanafi waktu berkurban adalah
tanggal sepuluh, sebelas dan dua belas Dzulhijjah
mencangkup malam-malamnya.33
d. Tidak boleh sangat kurus dan menjadikannya stress.34
5. Jenis dan sifat hewan kurban
Jenis hewan kurban para ulama sepakat bahwa bolehnya
berkurban dengan semua hewan ternak (berkaki empat) dan
mereka berbeda pendapat tentang manakah yang paling afdhal.
Menurut Imam Malik berpendapat bahwa yang lebih
utama adalah domba, kemudian sapi lalu unta. Kebaikan dalam
33
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,… h. 261 34
Elma Siti Nurul, Skripsi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pelaksanaan Arisan Kurban di Jamaa‟ah Al-Muttaqien Studi Kasus Kampong
Cihaseum Pandeglang, UIN Banten, Serang 2018
70
hadyu (kurban haji). Dikatakan pula darinya, “yang paling afdhal
adalah unta kemudian sapi, lalu domba”.
Menurut imam Syafi‟i berpendapat kebalikan dari
pendapat imam Malik yang lebih afdhal menurutnya adalah unta
kemudian sapi lalu domba. Asyhab dan Tsauban pun berpendapat
demikian. Imam Syafi‟i berargumentasi dengan keumuman
sabda Rosulullah SAW bahwa “siapa yang pergi (sholat jumat)
pada saat pertama maka ia seperti berkurban dengan seekor unta
gemuk, siapa yang pergi saat kedua maka ia seperti berkurban
dengan seekor sapi dan siapa yang pergi pada saat ketiga maka
ia seperti berkurban dengan seekor kambing”
Dari hadits dipahami bahwa yang wajib adalah berkurban
dengan hewan. Adapun Imam Malik memahami hadits ini hanya
dalam perkara kurban haji saja.35
Seluruh ulama juga bersepakat
bahwa berkurban hanya dibolehkan hewan ternak yang
mencangkup jantan dan betina serta yang dikebiri atau pejantan.36
35
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),
h. 901-902 36
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,… h. 271
71
Untuk menentukan sifat hewan kurban, ulama bersepakat
bahwa wajib mengindari hewan yang pincang, sakit dan terlalu
kurus yang tidak ada sungsumnya.37
Berkenaan dengan sifat-sifat
yang dianjurkan terdapat pada domba atau kambing kurban
menurut kesepakatan ulama adalah berupa domba jantan yang
gemuk, bertanduk, berbulu putih, pejantan ataupun yang dikebiri.
Hadits yang diriwayatkan dari al-Barra‟ bin Azib yang
mengatakan bahwa Rosulullah SAW bersabda:
اربع ال توز ف االضاح عورىا والمريضة ب ي ر الي ي ف قال العوراء ب ي للعها والكسي مرضها والعرجاء ب يقى الت ن
“Empat sifat dan kondisi yang tidak boleh ada pada
hewan yang akan dikurbankan yaitu buta yang jelas pada
sebelah mata, sakit yang jelas, pincang yang jelas, dan yang
sangat kurus sehingga tidak bersumsum (bagian kakinya).
(Hadits Hasan Shahih, riwayat al-Tirmidzi:1417 dan Abu
Daud:2420).
Kemudian dilihat dari usia hewan yang siap untuk
dikurbankan menurut madzhab Syafi‟i syarat untuk unta adalah
berusia enam tahun, sapi dan kambing berusia tiga tahun adapun
domba berusia tiga tahun. Lalu, untuk jumlah hewan yang
dikurbankan adalah hewan domba atau kambing hanya untuk satu
37
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,… h. 904
72
orang saja sementara untuk unta dan sapi boleh dari tujuh
orang.38
C. Akad Jual Beli dengan Sistem Tabungan
Tabungan adalah suatu simpanan yang berupa uang dari
pihak ketiga (perorangan) atau suatu badan usaha pada bank.
Tabungan dapat didefinisikan juga sebagai sisa dari pendapatan
yang telah digunakan untuk berbagai macam pengeluaran.
Tabungan dengan kata lain disebut juga dengan saving, yaitu
bagian daripada pendapatan yang tidak dikonsumsi dan disimpan
untuk digunakan dimasa yang akan datang. Jika dalam lingkup
ekonomi mikro saving diartikan sebagai suatu bagian dari
pendapatan nasional per-tahunnya yang tidak dibelanjakan atau
dikonsumsi.39
Tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang
berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Tabungan kurban merupakan suatu program penyimpanan
uang dari pendapatan per orang atau pun instansi tertentu yang
ditujukan untuk membeli hewan kurban. Saat masyarakat akan
38
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4,… h. 276 39
SoraN,Http://Www.Pengertianku.Net/2015/11/Definisi-atau-
Pengertian-Tabungan.Html
73
melakukan tabungan untuk kurban dapat disesuaikan dengan
keinginan masyarakat. Dari pihak penyelenggara tabungan untuk
kurban akan memberikan beberapa periode penabungan dan
kelas-kelas dari hewan kurban tersebut. Masyarakat dapat
memilih periode atau kelas-kelas hewan yang disediakan oleh
penyelenggara sesuai dengan keinginan. Jika masyarakat ingin
memperoleh harga hewan kurban yang lebih murah, maka dapat
melakukan tabungan untuk kurban jauh hari sebelum hari raya
„Idul Adha. Hal ini disebabkan karena semakin dekat dengan hari
raya, maka ketersediaan hewan kurban semakin langka. Karena
kelangkaan tersebutlah yang mengakibatkan harga hewan kurban
naik dengan bergantinya bulan. Dasar hukum tabungan
dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Hasyr ayat 18.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah
di perbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
74
Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang
kamu kerjakan”.40
Ayat ini menjelaskan tentang perintah memperhatikan apa
yang telah diperbuat untuk hari esok dimaksudkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan amal-amal yang telah dilakukan
atas dasar perintah takwa, berkaitan dengan hal ini yakni dalam
melakukan aktivitas ekonomi seperti investasi, menabung.
Hendaknya setiap mengambil keputusan atau menentukan prilaku
yang akan diperbuatkan harus benar-benar diperhitungkan.41
Rosulullah juga mengajarkan kepada umat Islam untuk
menabung dalam rangka persiapan hidup dimasa depan, baik
untuk diri sendiri, untuk keluarga maupun dalam rangka beramal
untuk lingkungan sekitar. Rosulullah SAW bersabda, “simpanlah
sebagian dari harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu,
karena itu jauh lebih baik bagimu.” (HR. Bukhari)42
Adanya jual beli dengan sistem cicilan di Villa Terak
Cikerai yang dilakukan dengan penangguhan antara penjual dan
40
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan, h. 60 41
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakatra: Lentera Hati,
2010), h. 552-553 42
https://pegadaiansyariah.co.id/perencanaan-keuangan. Diakses pada
tanggal 21 Oktober 2019
75
pembeli (konsumen). Subjek dalam pemeliharaan hewan kurban
yang ditangguhkan di sebut dengan Kafalah artinya
mengumpulkan, menanggung dan menjamin, persoalan ini yang
berkaitan dengan cicilan antara seseorang dan pihak lain dengan
melibatkan pihak ketiga sebagai penjamin. Adapun landasan
hukum kafalah tersebut ulama sepakat menyatakan bahwa
kafalah dibolehkan karena mengandung maksud baik yaitu tolong
menolong antara sesama manusia dalam masalah cicilan, baik
yang menyangkut harta maupun jiwa, oleh karena itu dasar
hukum yang membolehkan akad ini adalah dalam Al-Qur‟an
Surat Yusuf (12) ayat 72
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin
terhadapnya”.43
43
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahan, h. 329