autoimun

36
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi. Kesalah pahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit

Transcript of autoimun

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian

penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan

jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai

suatu penyakit autoimun .  Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan

kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel

sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk

penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom

Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik

thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.

Kesalah pahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu

mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh,

mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan

terhadap yang sendiri jaringan.  Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi

abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah

diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata

(kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena

toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan alloimmunity .

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap

antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja

timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun

terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut

dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun

selular.

Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana pembuangan berbagai

produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti

dengan proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri

tidak selalu menimbulkan penyakit.

Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisologik akibat

respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons autoimun dapat terjadi

tanpa penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).

Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang

berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang

terbentuk setelah timbulnya penyakit.

B.     Faktor Yang Dapat Mempengaruhi terjadinya Autoimun

1.      Faktor Genetik

Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan penyakit autoimun.

Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen ditambah faktor risiko lainnya.  Genetik individu

tertentu cenderung tidak selalu mengembangkan penyakit autoimun.

Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.

Imunoglobulin

T-sel reseptor

Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).

Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren rentan terhadap

variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi

berbagai sangat luas penjajah, tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas.

Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah menyediakan

bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu allotypes berkorelasi sangat

HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus Erythematosus , narkolepsi [6] dan multiple sclerosis , dan berkorelasi negatif dengan tipe DM 1.

HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjögren , myasthenia gravis , SLE , dan Jenis

DM 1.

HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1 diabetes mellitus ,

dan pemfigus vulgaris .

Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan ankylosing

spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme dalam MHC kelas II promotor dan

penyakit autoimun.

Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian, pada hewan model

penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes pada tikus NOD), dan pada pasien

(analisis keterkaitan Brian Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ).

Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple termasuk Tipe I

diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit

Graves, penyakit Addison, Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik

arthritis, dan arthritis psoriatis.

2.      Jenis Kelamin

 Rasio perempuan / laki-laki  insiden penyakit autoimun

Hashimoto thyroiditis 10/1

Graves’ disease 7/1

Multiple sclerosis (MS) 2/1

Miastenia gravis 2/1

Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1

Rheumatoid arthritis 5/2

Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran penting dalam pengembangan

autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling autoimun sebagai seks penyakit terkait .

Hampir 75%   lebih dari 23,5 juta orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah

perempuan, meskipun  jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American

Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun yang berkembang

pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih

mungkin berkembang pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes mellitus

, Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .

Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih besar daripada

pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu, meningkatkan risiko autoimunitas. [7]

Keterlibatan steroid seks ini ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung

berfluktuasi sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam siklus

menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat kehamilan juga tampaknya

meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara

ibu dan anak-anak mereka selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung

keseimbangan gender dalam arah betina.

Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk mendapatkan

autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kromosom X dinonaktifkan . Teori X-

inaktivasi miring, diusulkan oleh Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah

dikonfirmasi eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya terkait-

X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang diselidiki.

C.     Klasifikasi

Autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-spesifik atau lokal,

tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari masing-masing penyakit.

Penyakit autoimun sistemik termasuk SLE , sindrom Sjögren , skleroderma ,

rheumatoid arthritis , dan dermatomiositis . Kondisi ini cenderung berhubungan dengan

autoantibodi terhadap antigen yang tidak jaringan tertentu. Jadi meskipun polymyositis

kurang lebih jaringan tertentu dalam presentasi, mungkin termasuk dalam kelompok ini

karena autoantigens sering mana-mana t-RNA sintetase.

Sindrom Lokal yang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:

o Endokrinologik: Diabetes mellitus tipe 1 , tiroiditis Hashimoto , penyakit Addison

o Gastrointestinal: penyakit seliaka , Penyakit Crohn , pernicious anemia

o Dermatologi: Pemphigus vulgaris , Vitiligo

o Hematologi: anemia hemolitik autoimun , idiopatik purpura thrombocytopenic

o Neurologis: Miastenia gravis

Secara tradisonal skema klasifikasi menggunakan “organ tertentu” dan “non-organ

tertentu”, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung penyakit autoimun. Namun, banyak

gangguan manusia inflamasi kronis tidak memiliki asosiasi-tanda sel B dan T didorong

immunopathology. Dalam dekade terakhir telah mapan bahwa jaringan “peradangan terhadap

diri” tidak selalu bergantung pada T abnormal dan respon sel B.

Hal ini telah menyebabkan usulan terakhir bahwa spektrum autoimunitas harus dilihat

sepanjang “kontinum penyakit imunologi,” dengan penyakit autoimun klasik pada satu ekstrim

dan penyakit didorong oleh sistem kekebalan tubuh bawaan pada ekstrem lainnya. Dalam skema

ini, spektrum penuh autoimunitas dapat disertakan. Banyak umum penyakit autoimun manusia

dapat dilihat untuk memiliki immunopathology dimediasi imun bawaan yang cukup besar

menggunakan skema baru. Skema klasifikasi baru ini memiliki implikasi untuk memahami

mekanisme penyakit dan untuk pengembangan terapi

D.    Patogenesis autoimunitas

Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit autoimun, dengan

latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel

ini membahas masing-masing dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa

mekanisme penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan aktivasi sel-B dengan

T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T

ini  bisa di bypass dengan kasus yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme

memproduksi super antigen , yang mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau

bahkan T-sel, dengan langsung mengikat β- subunit T-sel reseptor dalam mode non-

spesifik.

T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal diasumsikan melibatkan B dan

respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika kita tahu bahwa sel B dan sel T

mengenali hal yang sangat berbeda: konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan

pra-olahan fragmen peptida protein untuk sel T.  Namun, tidak ada sejauh kita tahu

bahwa membutuhkan ini. Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B mengenali antigen

X endocytoses dan proses protein Y (biasanya = X) dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek

dan Lanzavecchia menunjukkan bahwa sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan

bantuan dari setiap sel T menanggapi antigen co-endocytosed dengan IgG oleh sel B

sebagai bagian dari kompleks imun.  Pada penyakit celiac nampaknya sel B mengenali

transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.

Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur penyakit autoimun

manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar terbatas pada sekelompok kecil antigen,

beberapa di antaranya telah dikenal peran sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc,

Ro, Con A. reseptor, Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR). Fakta ini memunculkan

gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila pengikatan antibodi terhadap antigen

tertentu dapat sinyal menyimpang yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan

terikat membran.   Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG reseptor, CD21,

yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat

DNA dan nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B juga

bisa dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil kolin (pada sel myoid

thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat. Bersama dengan konsep T-sel-sel B

kejanggalan ide ini membentuk dasar hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif.

Autoreaktif B sel-sel di autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi

kedua sel T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui reseptor sel B, dengan

demikian mengatasi sinyal negatif yang bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri

tanpa harus memerlukan hilangnya sel T diri-toleransi.

Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi kesamaan struktural

dengan antigen host tertentu, dengan demikian, antibodi apapun dihasilkan terhadap

antigen ini (yang meniru antigen diri) juga bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan

memperkuat respon imun. Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam rematik

, yang mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik streptokokus . Meskipun demam

rematik telah dikaitkan dengan mimikri molekuler selama setengah abad antigen belum

ada secara resmi diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu,

jaringan distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal ganglia)

berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin bahwa penyakit ini

disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara kompleks imun, komponen

komplemen dan endotelium.

Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop ditemukan di bagian

antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin. Plotz dan Oldstone disajikan bukti

bahwa autoimunitas dapat timbul sebagai akibat dari reaksi silang antara idiotype pada

antivirus antibodi dan sel reseptor inang untuk virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel

inang dibayangkan sebagai sebuah gambar internal dari virus, dan anti-idiotype antibodi

dapat bereaksi dengan sel inang.

Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua kelompok sesuai

dengan populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2. 

Kategori kedua sitokin, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama),

tampaknya memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun.

Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel dendritik menyajikan

antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang cacat dalam apoptosis dapat

menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri

toleransi.

Epitope spreading or epitope drift -  ketika reaksi kekebalan perubahan dari

menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan epitop lainnya. Berbeda dengan

mimikri molekuler, epitop lainnya tidak perlu secara struktural mirip dengan yang utama.

Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme penyakit autoimun

adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam sistem hematopoietik. Sebaliknya,

penyakit hasil dari pemaparan samar N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk

eukariota dan prokariota lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ

hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif mengaktifkan satu atau lebih sel

kekebalan tubuh mamalia bawaan reseptor untuk menginduksi kondisi inflamasi kronis

steril. Dengan adanya kerusakan sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh adaptif

yang direkrut dan self-toleransi hilang dengan produksi autoantibody meningkat. Dalam

bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat mempercepat kerusakan organ, dan

intravena IgG administrasi dapat terapi. Meskipun rute ini untuk penyakit autoimun

mungkin mendasari berbagai negara penyakit degeneratif, tidak ada diagnostik untuk

mekanisme penyakit ada saat ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini

tidak diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T peraturan , sel

NKT , γδ T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang sedang diselidiki.

E.     SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat organ

spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik. Pada penyakit autoimun organ spesifik,

umumnya mempengaruhi organ tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen

di dalam organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau beberapa

kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel

hidup (terutama reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler).

Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan biasanya

berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama

molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur

inti sel lainnya) .

F.      Spektrum penyakit autoimun

Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait

Antigen diri Penyakit

Reseptor hormone Reseptor TSHReseptor

insulin

Hiper atau hipotiroidismeHiper atau

hipoglikemia

Reseptor neurotransmitter Reseptor

asetilkolin

Miastenia gravis

Molekul sel adesiMolekul sel adesi

epidermal

Penyakit kulit yang melepuh

Protein plasmaFaktor VIIIβ2 glikoprotein I

dan protein antikoagulan lain

Hemofili didapatSindrom antifosfolipid

Antigen permukaan selSel darah merah

(antigen multipel)Platelet

Anemia hemolitikPurpura trombositopenia

Enzim intraselulerPeroksidase tiroidSteroid

21-hidroksilase (korteks adrenal)

Tiroiditis, kemungkinan

hipotiroidismeKegagalan adrenokortikal

(penyakit Addison)

Glutamat dekarboksilase (sel β di pulau

pankreas)Enzim lisosom (sel

fagositik)Enzim mitokondria (terutama

piruvat dehidrogenase)

Diabetes autoimun Vaskulitis sistemikSirosis

biliar primer

Molekul intraseluler yang melibatkan

transkripsi dan translasiRantai dua

DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl t-

RNA sintaseProtein sentromer

 SLESLESkleroderma difus Polimiositis

Skleroderma local

 

G.    TOLERANSI DIRI

1.      Autoimunitas dan toleransi diri

Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B yang bersifat

autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation. Sel T (terutama CD4+)

mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi

sel T lebih penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu,

sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak

menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.

2.      Toleransi timus

Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi sel T yang

dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive selection, sel akan bertahan

melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel

mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui

apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan

kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang

mempunyai afinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan

peptida asing dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya.

Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan afinitas tinggi

mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi

induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative

selection

Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus adalah

banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup di timus untuk

menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida yang berikatan dengan MHC di timus

berasal baik dari protein intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun

protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein

spesifik jaringan.

3.      Toleransi perifer

Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan kontrol lini

kedua dalam mengatur sel autoreaktif

4.      Ignorance

Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing di organ

avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut secara efektif tidak “terlihat” oleh

sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan

berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang

dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut,

maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang

cukup untuk menginduksi aktivasi sel T

5.      Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen

Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas. Sirkulasi ini

membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah antigen diri

mempunyai akses ke antigen-presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu

dibersihkan secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris

lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit berkaitan

dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.

6.      Anergi dan kostimulasi

Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui apoptosis

atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive memerlukan dua sinyal untuk

menjadi aktif dan memulai respons imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui

reseptor antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal

oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada

stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap molekul peptida

spesifik jaringan atau kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-

stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian sel T

melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal

stimulator juga terbatas pada antigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya

distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya

terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat

diinduksi melalui beberapa cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan

adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang

mempunyai akses ke lokasi perifer.

Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang mempunyai

struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek negatif terhadap aktivasi

sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang

sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau kematian melalui

apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada

berkembangnya autoimunitas.

7.      Supresi

Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif melalui

penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama (sel T supresor)

8.      Toleransi sel B

Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif dibatasi

terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B baru akan terus

dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak diantaranya bersifat

autoreaktif. Adanya proses hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat

germinal nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi

sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan

mengalami apoptosis atau anergi.

H.    ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

a.      Etiologi

Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit autoimun.

1.      Faktor genetik

Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang bersifat

subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran

genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula

hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis

atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya.

Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.

2.      Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain

hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.

3.      Hormon

Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.

4.      Infeksi

Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme molecular

mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada target organ mempunyai peran

penting dalam up-regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan

pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular

mimicry. Namun, sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian

infeksi yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.

Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara

horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan, antara lain

karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena

asosiasi pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi

terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang

paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus

hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.

5.      Obat

Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat

mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk membedakan

respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari bentuk asli maupun

kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi

hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat

berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.

Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti mekanisme molecular

mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang serupa dengan molekul diri, sehingga

dapat melewati toleransi perifer. Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung

dengan peptida yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk

menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan

oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada

metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada

SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga

mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi

normal.

6.      Agen fisik lain

Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari) merupakan

pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun

radiasi ini lebih bersifat menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada

dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa

mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga

mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam kulit

melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas

(dikenal dengan Ro dan La).  Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan dengan

autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-

transferase juga dikaitkan dengan peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang

diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.

b.      Patogenesis

Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis autoimunitas tetapi

tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahan sendiri.

Berbagai teori patogenesis autoimunitas

Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T

supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas sel

TDefek timusKlon abnormal, defek induksi

toleransiSel B refrakter terhadap sinyal

supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek

jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: gen

respons imun, gen imunoglobulin

Faktor virus

Faktor hormone

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan adanya

antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak dengan sistem

limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan

pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi,

lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila

terbebas akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.

Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme

pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun. Gangguan pada

mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan

autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.

Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah diketahui

bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran tersebut teraktivasi oleh

faktor nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat

tidak toleran akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk

diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem imun yang akan

mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan

imunitas selular, baik peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel

B.

Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat

klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik

berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel

B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas

rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran.  Aktivator  poliklonal  yang  terdiri  dari 

produk  bakteri,  virus,  atau komponen virus, parasit, atau  substansi lainnya dapat langsung

merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat

terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta

anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa

lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai

autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.

Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan antigen

pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya

adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak

diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi

kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun

adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada

penyakit autoimun masih belum konsisten.

Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah

dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya. Gangguan

toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat

diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.

Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus

terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau ekstrak jaringan

hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek

tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih

berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.

Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada

penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi

antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan

sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau

respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi

hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi

subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.

Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan, dan

perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab terhadap predisposisi

autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons

imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya

hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko

relatif.

Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau anti-

idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-idiotipik dapat menekan

atau merangsang respons imun. Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan

respons imun terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa,  autoantibodi merupakan produk

respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai

antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi

sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik

(lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau stimulasi

Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini

berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.

Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang

memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada patogenesis

autoimunitas.

I.       Mekanisme rusaknya toleransi

a.      Mengatasi toleransi perifer

Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan infeksi dan

kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin

tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2

pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan

sitokin imunosupresif.

Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat pada

antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau perubahan

cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau

kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan

meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga

menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim

proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan

ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T

yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh

virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.

b.      Kemiripan molekul

Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat

memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-

presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa.

Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri,

apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan

akses sel T ke jaringan tersebut .

Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat

Antigen microbial Antigen diri Penyakit yang diduga

akibat molecular mimicry

Protein grup A streptokokus

M

Antigen di otot jantung Demam reumatik

Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteins Terkait dengan penyakit

autoimun berat namun belum

terbukti

Protein inti Coxsackie B4 Glutamat dekarboksilase sel

pulau pankreas

Diabetes melitus dependen

insulin

Glikoprotein Campylobacter

jejuni

Gangliosida dan glikolipid

terkait mielin

Sindrom Guillain-Barre

Heat shock protein dari

Eschericia coli

Subtipe rantai HLA-DR β

mengandung “epitop

bersama” artritis reumatoid

Artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi

peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan

lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading.

Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan ko-stimulasi

melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah

teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-

stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh

karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas

di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga

lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks

MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih

mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.

c.       Mekanisme kerusakan jaringan

Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersensitivitas

tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas

tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai

antibodi dengan sel T.

Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas,

autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari

antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.

Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri,

sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan.

Kerusakan yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali

antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

J.       DIAGNOSIS

Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis penyakit

autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan penyaring pada kelompok

risiko seperti misalnya keluarga penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun

lain yang sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada

gastritis autoimun atau sebaliknya.

Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang akurat dan

pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi dengan latar belakang kelainan

tertentu pada tes laboratorium rutin (misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik

beberapa tes serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan. Gangguan

Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen  imunofluoresensi . Autoantibodi

digunakan untuk mendiagnosa beberapa  penyakit autoimun .  Tingkat autoantibodi diukur untuk

menentukan kemajuan penyakit.

Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun

Penyakit Antibodi

Tiroditis Hashimoto Tiroid

Miksedema primer Tiroid

Tirotoksikosis Tiroid

Anemia pernisiosa Lambung

Atrofi adrenal idiopatik Adrenal

Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin

Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit

Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)

Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius

Sirosis biliar orimer Mitokondria

Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria

Artritis rheumatoid Antiglobulin

LES Antinuklear, DNA, sel LE

Skleroderma Nukleolus

Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus

K.    PENGOBATAN

Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti  imunosupresif , anti-

inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi, seperti penggantian hormon pada

tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive,

sehingga ini adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi keparahan

penyakit celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid atau NSAID membatasi gejala

inflamasi dari banyak penyakit. Terapi spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa

(misalnya etanercept ), sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan

pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati RA. Beberapa

immunotherapies mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko efek samping, seperti

kerentanan terhadap infeksi.

Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan inokulasi pasien

dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing).  Saat ini ada dua perlakuan yang terkait erat

tersedia, inokulasi dengan baik Necator americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang ,

Trichuris atau Ova Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel

juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk auto-imun gangguan.

Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun atau

mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode pengobatan yang

sering digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organ yang ireversibel, contohnya

pada hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui

terapi pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik. Supresi autoimun sebelum kerusakan

organ ireversibel menjadi pilihan yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini.

Pada kasus autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi

imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian. Pengobatan

penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-inflamasi, imunosupresan, dan kontrol

imunologis.

a.      Kontrol metabolik

Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan manipulasi

respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol metabolik biasanya sudah memadai,

misalnya pemberian tiroksin untuk miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin

B12 untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.

Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam jangka panjang.

Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan bahwa kelenjar tersebut mengandung

reseptor asetilkolin dalam bentuk antigen.

b.      Obat anti-inflamasi

Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid, menunjukkan manfaat

terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks

imun. Obat AINS seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk

artritis rheumatoid.

c.       Imunosupresan

Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi dan

antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil, LES, dan artritis reumatoid

walaupun masih belum dapat diambil kesimpulan akhir tentang manfaatnya.

Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang bersifat

nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat yang biasanya diberikan

bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah sering dilakukan dengan hasil cukup baik,

misalnya untuk LES, hepatitis kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.

d.      Kontrol imunologis

Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat terbatas

pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan. Tindakan yang cukup sering

dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan

bermanfaat sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar

limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan

dapat dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang,

sel stem atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan

akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.

Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B yang terlihat

dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapa antibodi monoklonal seperti

anti-kelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan

percobaan.

Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk dimanfaatkan.

Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat bertahan terhadap efek patogen anti-

reseptor asetilkolin maternal dengan membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal

tersebut. Diharapkan aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi

berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.

Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor atau ekspresi

HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah berbagai matra sitotoksik baik

dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun bahan radioaktif.