Attachment

28
BAB I PENDAHULUAN Hiperaldosteronisme merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan sekresi aldosteron. Hiperaldosteron dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. Hiperaldosteron primer (Sindroma Conn) dapat dikarenakan oleh adanya tumor/neoplasma adrenokorteks yang meningkatkan sekresi aldosteron, mekanisme pasti ini belum jelas. Pada hiperaldosteron sekunder, pelepasan aldosteron terjadi sebagai respons atas pengaktifan system renin-angiotensin. 1 Hiperaldosteron Primer (Sindroma Conn) seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sindroma ini disebabkan oleh adanya neoplasma adrenokorteks yang menyekresi aldosteron berlebihan. Meskipun pada awalnya dianggap langka, hiperaldosteronism primer (PH) sekarang dianggap salah satu penyebab umum dari hipertensi sekunder (HTN). Walaupun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aldosteronoma adalah penyebab paling umum dari PH (70-80% dari kasus), kemudian epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi PH karena hiperplasia adrenal bilateral idiopatik (IAH) lebih besar dari yang diyakini sebelumnya. Laporan- laporan ini menyarankan bahwa IAH mungkin bertanggung jawab atas sebanyak 75% kasus PH. Selain itu, laporan menggambarkan sindrom langka PH dicirikan oleh fitur 1

description

att

Transcript of Attachment

Page 1: Attachment

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperaldosteronisme merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan

sekresi aldosteron. Hiperaldosteron dapat dibagi menjadi primer dan sekunder.

Hiperaldosteron primer (Sindroma Conn) dapat dikarenakan oleh adanya

tumor/neoplasma adrenokorteks yang meningkatkan sekresi aldosteron,

mekanisme pasti ini belum jelas. Pada hiperaldosteron sekunder, pelepasan

aldosteron terjadi sebagai respons atas pengaktifan system renin-angiotensin.1

Hiperaldosteron Primer (Sindroma Conn) seperti yang sudah dijelaskan di

atas bahwa sindroma ini disebabkan oleh adanya neoplasma adrenokorteks yang

menyekresi aldosteron berlebihan. Meskipun pada awalnya dianggap langka,

hiperaldosteronism primer (PH) sekarang dianggap salah satu penyebab umum

dari hipertensi sekunder (HTN). Walaupun penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa aldosteronoma adalah penyebab paling umum dari PH (70-80% dari

kasus), kemudian epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi PH karena

hiperplasia adrenal bilateral idiopatik (IAH) lebih besar dari yang diyakini

sebelumnya. Laporan-laporan ini menyarankan bahwa IAH mungkin bertanggung

jawab atas sebanyak 75% kasus PH. Selain itu, laporan menggambarkan sindrom

langka PH dicirikan oleh fitur histologis perantara antara adenoma adrenal dan

hiperplasia adrenal.

Gejala klinisnya adalah hipertensi esensial benigna, disertai sakit kepala,

jarang dijumpai edema. Gejala yang terpenting adalah hipokalemia idiopatik

(tanpa penyebab yang jelas). Kadang-kadang pasien mengalami hipokalemia yang

mempengaruhi ginjal atau system nueromuskuler seperti poliuria, nokturia,

parestesia, kelemahan otot, hiporefleksi episodic atau paralisis. Hipokalemia

merupakan gejala terpenting, jarang ditemukan normokemia.Diagnosis ditegakkan

dengan kadar aldosteron yang tinggi dan renin yang rendah. Pengobatan dapat

menggunakan spironolakton untuk menghilangkan gejala hiperaldosteronisme.

Sementara pilihan perawatan untuk aldosteronoma adalah pembedahan, serta

pengobatan pilihan untuk keadaan ini adalah terapi medis dengan antagonis

aldosteron

1

Page 2: Attachment

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Hiperaldosteronisme adalah keadaan dimana kelenjar adrenal menghasilkan

hormon aldosteron secara berlebihan, gejala klinisnya adalah hipertensi esensial

benigna, disertai sakit kepala, dan jarang dijumpai edema.1 Gejala yang terpenting

adalah hipokalemia (K < 3,0 mMol/L) tanpa sesuatu sebab yang jelas seperti

pemakaian diuretik atau muntah – muntah. Kadang-kadang pasien mengalami

simptom hipokalemia yang mempengaruhi ginjal atau sistem neuromuskular

seperti poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot, hiporefleksi episodik atau

paralisis. Hiperaldosteronisme primer adalah salah satu hipertensi sekunder,

merupakan sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tidak

terkendali, umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme

primer secara klinis dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemia dan

alkalosis metabolik. Sindrom ini dilaporkan pertama kali tahun 1955 oleh Jerome

W. Conn. Skrining untuk hiperaldosteronisme primer ini diindikasikan pada

pasien dengan hipertensi dengan hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan,

hipertensi resisten dan hipertensi grade 2, hipertensi pada juvenile dan atau stroke

(< 50 tahun), ditemukan massa adrenal non fungsional insidental (insidentaloma),

bukti adanya kerusakan organ akhir, dan sindrom metabolik.

Telah dilaporkan adanya hubungan antara aldosteronisme primer dan

gangguan metabolisme karbohidrat oleh Conn pada tahun 1965 dan disebutkan

bahwa aldosterone-producing adenoma (APA) menjadi penyebab yang mungkin

untuk timbulnya diabetes melitus oleh American Diabetes Association. Namun,

hasil penelitian retrospektif potong lintang Matrozova dkk (2009) tidak dapat

menunjukkan adanya perbedaan signifikan prevalensi sindrom metabolik antara

pasien aldosteronisme primer dan hipertensi esensial.

Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens

hiperaldosteronisme primer di masyarakat. Saat ini banyak laporan yang

menunjukkan kejadian hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5-10%. Hasil

2

Page 3: Attachment

ini didapatkan dengan memeriksa semua pasien hipertensi terhadap kemungkinan

hiperaldosteronisme primer. Pada pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi

peningkatan insidens hiperaldosteronisme primer yang dilaporkan sebagian besar

disebabkan peningkatan insidens kejadian hiperplasia adrenal. Keadaan ini paling

sering terjadi pada wanita usia pertengahan akibat sekresi aldosteron autonom.

Pasien dengan hiperaldosteronisme primer mengalami hipertensi pada

dekade ke-4 sampai 7, kecuali mereka dengan glucocorticoid-remediable

aldosteronism (GRA), di mana hipertensi terjadi sejak lahir atau awal masa

kanak-kanak. Predominan pada wanita, kecuali pada GRA yang dapat

mempengaruhi pria dan wanita sama banyak. Prevalensi komplikasi

serebrovaskular awal meningkat pada GRA, terutama kejadian stroke hemoragik

yang berasal dari aneurisma intraserebral yang mengalami ruptur.

2.2 Etiologi

Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami adenoma adrenal soliter,

kecil, dengan penampang berwarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia

adrenokortikal mikro/makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh

hipertensi dan hipokalemia. Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami

adenoma adrenal soliter, kecil, dengan penampang berwarna kuning. Sisanya

mengalami hiperplasia adrenokortikal mikro atau makronoduler. Gambaran

patologi disebabkan oleh hipertensi atau hipokalemia. Ada 6 subtipe

hiperaldosteronisme primer, yaitu:

1. Aldosterone-producing adrenal adenomas (APA). Terjadi pada kira-kira

40% kasus. Hiperaldosteronisme cenderung lebih berat, dengan hipertensi

dan hipokalemia yang lebih jelas.

2. Idiopathic hyperaldosteronism (IHA) . Disebabkan oleh hiperplasia

adrenal bilateral, terdapat pada 50-60% kasus. Secara umum, lebih ringan.

3. Primary adrenal hyperplasia (PAH) unilateral. Mempunyai kemiripan

biokimia dengan APA, tetapi menunjukkan bentuk jarang

hiperaldosteronisme.

4. Aldosterone-producing adrenocortical carcinoma. Merupakan penyebab

yang jarang dari hiperaldosteronisme primer.

3

Page 4: Attachment

5. Familial hyperaldosteronism. Tipe I atau glucocorticoid-remediable

aldosteronism (GRA) diturunkan sebagai trait dominan autosom yang

tergantung dengan ACTH. Kelainan itu terjadi < 3% kasus

hiperaldosteronisme primer. Tipe II juga diturunkan secara dominant

autosom, namun tidak tergantung dengan ACTH.

6. Ectopic aldosterone-producing adenoma/carcinoma. Terjadi pada < 0,1%

kasus.

Tabel 1. Demografi dan karakteristik subtipe hiperaldosteronisme

2.3 Epidemiologi

4

Page 5: Attachment

Kasus hyperaldosteronism primer merupakan kasus yang jarang terjadi,

dengan estimasi prevalensi kira-kira < 10 % dari semua kasus hipertensi, dimana

terjadi pada 5-15% dari total pasien dengan hypertensi sekunder. Prevalensinya

lebih tinggi (10-23%) pada pasien dengan terapi hipertensi resisten atau berat.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aldosteronoma adalah kasus

tersering pada kasus hyperaldosteronism primer (70-80% kasus). Kemudian studi

epidemiologi berikutnya menunjukkan bahwa prevalence primary

hyperaldosteronism lebih bessar daripada yang diperkirakan sebelumnya (±75%).

Kasus hyperaldosteronism primer meliputi aldosterone-producing

adenomas (APAs), aldosterone-producing renin-responsive adenomas (AP-RAs),

bilateral adrenal (glomerulosa) hyperplasia atau IAH, primary adrenal hyperplasia

(PAH), adan bentuk lain dari hyperaldosteronism primer.

2.4 Faktor Risiko

Adapun faktor resiko dari hyperaldosteronism primer adalah:

a. Wanita lebih sering daripada laki-laki (2:1).

b. Umur antara 30-50 tahun.

c. Juga berhubungan dengan peningkatan Renal Cysts (sacs in the

kidneys).

2.5 Patogenesis

Peningkatan jumlah produksi aldosteron oleh adrenal pada kebanyakan

kasus disebabkan oleh adenoma atau hiperplasia adrenal yang menyebabkan

meningkatnya hormon aldosteron. Peningkatan aldosteron meningkatkan

reabsorpsi sodium dan air pada tubulus distal ginjal, sehingga terjadi retensi

sodium dan air yang dapat menyebabkan hipertensi. Hal tersebut terjadi simultan

dengan peningkatan ekskresi kalium dan ion hidrogen. Banyaknya ekskresi

kalium menyebabkan tubuh mengalami hipokalemia (K<3mMol/L). Banyaknya

ekskresi ion hidrogen menyebabkan tubuh mengalami metabolik alkalosis. Pada

hiperaldosteronism primer, terjadi 3 keadaan utama, yaitu hipertensi, hipokalemia,

dan metabolik alkalosis yang menimbulkan rangkaian gejala lainnya sebagai

komplikasi. Peningkatan aldosteron karena kelainan adrenal (primer) ditandai

5

Page 6: Attachment

dengan penurunan ACTH dan kadar renin yang normal, tidak seperti pada

hiperaldosteronism sekunder.

2.6 Manifestasi Klinis

Pasien dengan hyperaldosteronism primer tidak datang dengan temuan

klinis yang khas, dan indeks kecurigaan yang tinggi berdasarkan riwayat pasien

adalah penting dalam membuat diagnosis.

Kejadian umum dimana hyperaldosteronism primer harus dipertimbangkan

mencakup:

a. Pasien dengan hipokalemia spontan atau tanpa alasan, terutama bila

pasien juga menderita hipertensi.

b. Pasien yang berkembang menjadi hipokalemia berat dan/menetap pada

pengaturan dosis potasium-wasting diuretic rendah sampai sedang.

c. Pasien dengan refractory hypertension (HTN).

Temuan klinis yang dapat terjadi pada pasien seperti:

a. Hipertensi (HTN) - Kondisi ini hampir selalu terjadi, meskipun

beberapa kasus hyperaldosteronism primer tidak berhubungan dengan

hipertensi.

b. Lemah.

c. Distensi perut.

d. Ileus dari hipokalemia.

e. Temuan terkait dengan komplikasi HTN seperti gagal jantung,

hemiparesis karena stroke, carotid bruits, abdominal bruits,

proteinuria, insufisiensi ginjal, ensefalopati hipertensi, dan perubahan

retina hipertensi.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis

adalah:

- Level plasma aldosteron yang meningkat

- Kalium plasma rendah (kurang dari 3 mmol/L). Pemeriksaan ini juga

untuk membedakan dengan hipertensi esensial. Kadar renin plasma

6

Page 7: Attachment

turun (untuk membedakan dari hiperaldosteronism sekunder yang

meningkat kadar reninnya). Rasio aldosteron per renin plasma >750.

- Kaliuresis, kadar kalium dalam urin >3 mmol/hari

- Serum bikarbonat >31mEq/L

- CT scan

- MRI

- NP-59 iodocholesterolscintigraphy, untuk membedakan adenoma dan

hiperplasia

- Adrenal vein sampling (AVS), untuk membedakan adenoma dan

hyperplasia, untuk menentukan pilihan terapi (medikamentosa atau

pembedahan)

2.8 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding dari Hiperaldosteronisme adalah Adrenal

adenoma, Eklampsia, Karsinoma adrenal, Ensefalopati, hipertensi, Bedah adrenal,

Hipertensi, Sindrom Bartter, C-11 hidroksilase Defisiensi, Hipokalemia, C-17

hidroksilase Defisiensi, Alkalosis metabolik, Carney Kompleks, Stenosis Arteri

Renal, Sindrom Conn, Renovascular Hipertensi, Sindrom Cushing.

2.9 Terapi

Adapun tujuan utama terapi hiperaldosteronism primer meliputi:

a. Normalisasi tekanan darah

b. Normalisasi level serum potasium dan elektrolit

c. Normalisasi level serum aldosteron

2.9.1 Terapi medis (obat-obatan)

Pada terapi PH non-bedah, terapi obat merupakan pilihannya. Obat

yang menjadi pilihan utama untuk kebanyakan variant dari PH non-bedah

adalah spironolactone, yang digunakan untuk mencapai

normoaldosteronism dan mengontrol tekanan darah. Pada pasien yang

tidak merespon terhadap terapi spironolactone, dapat digunakan

potassium-sparing diuretics lainnya seperti amiloride dan triamterene.

7

Page 8: Attachment

Berbagai antihipertensi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan

darah seperti dihydropyridine calcium channel blockers (nifedipine) yang

secara langsung menghambat produksi aldosterone. Meskipun signifikan

pada hipertensi, level aldosterone, volume plasma, dan konsentrasi serum

potassium tetap tidak berubah walaupun dengan terapi nifedipine. Hal ini

tidak bisa diterangkan secara patofisiologi.

Beberapa obat yang dipakai antara lain:

a. Aldosterone Antagonists

Agent ini berkompetisi dengan receptor sites aldosterone,

menurunkan edema dan ascites.

Spironolactone (Aldactone)

Secara kompetitif mengikat reseptor pada aldosterone-

dependent sodium-potassium bertukar tempat pada distal

convulated tubules (DCT). Meningkatkan ekskresi sodium dan

air dan menahan potassium, dimana ini merupakan efek

diuretic dan antihipertensi. Pemberian spironolactone saja atau

dengan diuretic lainnya bekerja pada proximal renal tubule.

Pada orang dewasa biasanya diberikan dalam dosis 25-200

mg/d PO (peroral) pada dosis tunggal atau divided doses,

sedangkan anak-anak 3,3 mg/kg PO qd atau dibagi q6-12h.

Pemberian spironolactone harus dihindari pada kehamilan,

hipersensitivitas, anuria, acute renal insufficiency karena dapat

menyebabkan dilutional hyponattremia, asidosis ringan, dan

gynecomastia, disfungsi ginjal akut, dan hyperkalemia.

Eplerenone (INSPRA)

Secara selektif memblok aldosterone pada reseptor

mineralocorticoid di epitel (ginjal) dan nonepitel (jantung,

pembuluh darah, dan otak) sehingga menurunkan tekanan

darah dan mereabsorpsi sodium. Pada orang dewasa diberikan

dengan dosis 50 mg PO qd; dosis dapat ditingkatkan setelah 4

minggu tapi tidak lebih dari 100 mg/d. Pemberian eplerenone

juga harus dihindari pada kehamilan, hypersensitivitas,

8

Page 9: Attachment

hyperkalemia atau pemberian dengan obat-obatan yang

meningkatkan potassium, diabetes type 2 dengan

mikroalbuminuria, renal insufficiency sedang hingga berat

(CrCl<50 mL/min atau serum creatinine level >2 mg/dL [laki-

laki] atau >1.8 mg/dL pada perempuan)

b. Potassium-sparing diuretics

Obat ini digunakan sebagai second-line untuk terapi PH akibat

nonlateralizing disease dan atau lateralizing disease yang

kontraindikasi dengan pembedahan. Sering digunakan dengan

antihipertensif lainnya untuk mencapai kontrol tekanan darah

yang baik, karena potassium-sparing diuretics bukan

antihipertensi yang poten.

Triamterene (Dyrenium)

Potassium-sparing diuretic memiliki natriuretic properties yang

relatif lemah. Efek diuretic pada distal renal tubule untuk

menghambat reabsorpsi sodium dalam pertukaran potassium

dengan hydrogen. Peningkatan ekskresi sodium dan penurunan

kehilangan potassium dan hydrogen yang berlebih

berhubungan dengan hydrochlorothiazide. Pada orang dewasa,

triamterene diberikan dengan dosis 100-300 mg PO qd. Jangan

diberikan pada orang hamil, hipersensitivitas, level serum

potassium tinggi (>5,5 mEq/L), gangguan fungsi ginjal (anuria,

renal insufficiency akut dan kronis, gangguan ginjal yang

signifikan), diabetes (hiperkalemia dilaporkan dapat terjadi

pada penderita diabetes yang menggunakan potassium-

conserving agents tanpa ada gangguan ginjal).

Adapun efek samping obat ini meliputi:

1. Efek gastro-intestinal (jaundice, pancreatitis, gangguan

nafsu makan, perubahan rasa, mual,muntah, diarrhea,

konstipasi, anorexia, iritasi lambung, cramping)

9

Page 10: Attachment

2. Efek CNS (drowsiness, fatigue, insomnia, sakit kepala,

pusing, mulut kering, depresi, cemas, vertigo, restlessness,

paresthesias)

3. Efek Cardiovascular (tachycardia, nafas pendek, nyeri

dada, orthostatic hypotension)

4. Efek Renal (gagal ginjal akut, acute interstitial nephritis,

batu ginjal yang tersusun dari triamterene yang berkaitan

dengan materi kalkulus lainnya, dan perubahan warna urin)

5. Efek Hematologic (leukopenia, agranulocytosis

thrombocytopenia, aplastic anemia, hemolytic anemia,

megaloblastosis)

6. Efek Ophthalmic (xanthopsia, transient blurred vision)

7. Hipersensitivitas(eg, anaphylaxis, photosensitivity, rash,

urticaria, purpura, necrotizing angiitis [vasculitis, cutaneous

vasculitis], demam, respiratory distress [termasuk

pneumonitis])

8. Efek lainnya (kram otot dan weakness, penurunan gairah

seksual, sialadenitis)

Amiloride (Midamor)

Amiloride memiliki aktivitas potassium-conserving pada

pasien dengan terapi kaliuretic-diuretic. Amiloride bukan

merupakan aldosterone antagonist, dan efek sampingnya

terlihat tanpa ada aldosterone. Efeknya adalah menghambat

reabsorpsi sodium pada distal convulated tubule, cortical

collecting tubule, dan collecting duct. Hal ini menyebabkan

menurunnya potensial negative lumen tubular dan menurunkan

sekresi potassium dan hydrogen dan ekskresi komponen yang

berkaitan.

Amiloride biasanya bekerja dalam 2 jam setelah pemberian

dosis oral. Efek pada ekskresi elektrolit mencapai puncak

antara 6-9 jam dan berakhir sekitar 24 jam. Puncak level

plasma dalam 3-4 jam dan plasma half-live bervariasi dari 6-9

10

Page 11: Attachment

jam. Amiloride tidak dimetabolisme di hati dan ekskresinya

tidak diubah oleh ginjal. Sekitar 50% dosis amiloride

diekskresi dalam urin dan 40% di kotoran dalam waktu 72 jam.

Efeknya kecil pada filtrasi glomerular atau aliran darah renal.

Amiloride jarang diberikan dalam dosis tunggal karena

meningkatkan risiko hiperkalemia. Dosis tunggal hanya ketika

terjadi hipokalemia persisten dan dengan titrasi yang hati-hati

disertai pemantauan level serum elektrolitnya. Adapun

dosisnya pada orang dewasa adalah 5-20 mg/d PO. Jangan

diberikan pada penderita dengan kehamilan, hipersensitivitas;

peningkatan level serum potassium (>5.5 mEq/L), pasien yang

diterapi dengan obat potassium-conserving lainnya

(spironolactone, triamterene), suplemen potassium dalam

bentuk obat, gangguan fungsi ginjal (BUN level >30 mg/dL

atau serum creatinine levels >1.5 mg/dL), renal insufficiency

akut atau kronis, dan diabetic nephropathy.

2.9.2 Terapi pembedahan

Pembedahan merupakan terapi pilihan utama variant primary

hyperaldosteronism (PH), yaitu typical aldosteronomas dan primary

adrenal hyperplasia(PAH). Sebelum operasi, berdasarkan diagnosa

konfirmasi biokimia dan anatomi, pasien harus diterapi dengan

spironolactone 3-5 minggu. Ini berfungsi sebagai alat diagnostik tambahan

(mengkonfirmasikan diagnosis PH) dan sebagai sarana untuk memprediksi

respons tekanan darah yang dapat diharapkan pada postsurgery.

Adrenolectomy melalui laparotomy formal atau dengan teknik

laparoscopic. Pilihan laparoscipic jika pada pasien tidak bisa dilakukan

laparotomy formal. Sebelum operasi, pasien harus menerima sedikitnya 8-

10 minggu terapi medis untuk menurunkan tekanan darah dan untuk

memperbaiki sindrom metabolik yang sering dikaitkan dengan PH. Pasca

operasi, profil metabolisme harus dimonitor secara seksama. Kebanyakan

pasien tidak menjadi hypomineralocorticoidism permanen dan karenanya

tidak memerlukan penggantian fludrocortisone. Pada pasien aldostrenomas

11

Page 12: Attachment

dengan kontraindikasi pembedahan diberikan terapi ethanol atau acetic

acid injeksi perkutan. Teknik ini perlu skill yang tinggi.

2.9.3 Diet

Selain pembedahan dan terapi obat-obatan, harus diimbangi

dengan asupan gizi yang sesuai dan cukup. Dianjurkan diet rendah garam,

walaupun berpengaruh terhadap control tekanan darah pada PH, dapat

member hasil false-negative pada test biokimia.

2.10 Komplikasi

Komplikasi spesifik berhubungan dengan komplikasi hipertensi kronis

(infark myokard, cerebrovascular disease, gagal jantung kongestif) dan juga

berkaitan dengan terapi spesifik (reaksi obat dan komplikasi pembedahan).

Pertimbangkan diagnosis pada semua orang dengan hipertensi dan

hipokalemia. Membuat diagnosis yang benar merupakan cara untuk mencapai

kontrol tekanan darah yang adekuat sehingga mencegah kontrol hipertensi yang

buruk.

2.11 Prognosis

Pasien yang menderita hiperalodosteron kemungkinan mengalami

komplikasi tekanan darah tinggi, dan memiliki resiko tinggi untuk mengalami

angina, gagal ginjal, stroke dan serangan jantung. Pada hiperaldosteron primer

yang disebabkan oleh adenoma soliter, kemungkinan pasien memiliki prognosis

yang baik. Setelah tumor dihilangkan maka tekanan darah akan menurun, dan

sekitar 70% pasien akan mengalami remisi. Sementara pada pasien

hiperaldosteron primer yang disebabkan oleh adrenal hiperplasia kemungkinan

tekanan darah pasien akan tetap tinggi dan pada pasien ini dapat diberikan obat

antihipertensi.

2.12 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

12

Page 13: Attachment

a. Data biografi pasien

Hiperaldosteronisme umumnya banyak menyerang pada seseorang yang

mengalami hipertensi.

b. Keadaan umum

Klien dengan hiperaldosteronisme biasanya mengeluh badan terasa lemah,

banyak minum, banyak kencing, sering kencing malam, sakit kepala.

a) Riwayat Kesehatan

1. Riwayat Kesehatan Sekarang

Tanyakan sejak kapan klien merasakan keluhan seperti yang ada pada

keluhan utama dan tindakan yang dilakukan untuk menanggulanginya.

b). Riwayat Kesehatan Dahulu

Tanyakan tentang adanya riwayat penyakit atau pemakai obat-obatan

bebas yang bisa mempengaruhi.

2. Riwayat Kesehatan Keluarga

Tanyakan apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama

(hiperaldosteronisme)

a. Pemerikasaan Fisik

1. Keadaan Umum

Klien dengan hiperaldosteronisme biasanya mengeluh badan terasa lemah,

banyak minum, banyak kencing, sering kencing malam, sakit kepala.

2. Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : tidak normal (TD normal 120/80 mmHg)

Nadi : < normal

Suhu : normal

RR : normal

3. Pemeriksaan fisik head to toe

13

Page 14: Attachment

a. Pemeriksaan kepala

Bentuk : perhatikan bentuk kepala apakah simetris atau tidak.

Rambut: perhatikan keadaan rambut mudah dicabut atau tidak,warna,

hygiene

Nyeri tekan: palpasi nyeri tekan, ada atau tidak.

b. Pemeriksaan mata

Palpebra: perhatikan kesimetrisan kiri dan kanan

Konjungtiva : ikterik atau tidak.

Sclera : ikterik atau tidak.

c. Pemeriksaan hidung

Inskpeksi kesimetrisan bentuk hidung, mukosa hidung, palpasi adanya

polip.

d. Pemeriksaan mulut

Inspeksi apakah terdapat peradangan (infeksi oleh jamur atau bakteri ),

perdarahan gusi.

e. Pemeriksaan telinga

Inspeksi simetris kiri dan kanan, sirumen. Palpasi nyeri tekan. Periksa

fungsi pendengaran dan keseimbangan.

f. Pemeriksaan leher

Inspeksi dan palpasi adanya pembesaran getah bening kelenjer tiroid,

JVP, normalnya 5-2.

g. Pemeriksaan thorak

Jantung

Inspeksi : iktus terlihat atau tidak, inspeksi kesimetrisan.

Palpasi : raba iktus kordis. Normalnya, iktus teraba.

Perkusi : tentukan batas jantung.

Auskultasi : terdengar bunyi jantung 1 dan 2, normal.

Paru- paru

Inspeksi : kesimetrisan kiri dan kanan saat inspirasi dan ekspirasi,

biasanya normal.

14

Page 15: Attachment

Palpasi : simetris kiri dan kanan.

Perkusi : periksa adanya suara napas tambahan

Auskultasi : biasanya bunyi nafas vesikuler.

h. Pemeriksaan abdomen

Inspeksi : apakah dinding abdomen mengalami memar, bekas operasi,

dsb.

Auskultasi : bising usus normal

Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan, hepar teraba atau tidak.

Perkusi : lakukan perkusi, biasa didapat bunyi tympani untuk semua

daerah abdomen

i. Pemeriksaan Ekstremitas

inspeksi kesemetrisan, palpasi adanya nyeri tekan pada ekstremitas

atas dan bawah.

b. Pemeriksaan Penunjang

Menunjukkan adanya peningakatan aldosteron plasma, aktivitas renin plasma

ditekan atau tidak dapt dirangsang, gagal untuk menekan aldosteron dengan

manuver biasa, Hipernatremia (normal : 135 – 150 mEg/L), Hipokalemia

(normal : 3,5 –5 mEg/L).

2. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hipernatremia sekunder terhadap

hiperaldosteronisme.

2. Perubahan kenyamanan yang berhubungan dengan ekskresi urine berlebih dan

polidipsia

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses

penyakit, pengobatan dan perawatan diri.

2. Rencana Keperawatan

a. Untuk Diagnosis 1 :

15

Page 16: Attachment

1) Timbang pasien tiap hari pada waktu yang sama, timbangan pakaian yang sama,

laporkan bila terjadi penambahan berat badan > 0,5 kg / hari.

2) Ukur intake dan output setiap 8 jam.

3) Pertahankan diet rendah natrium.

4) Pantau kadar natrium serum setiap 8 jam.

5) Pantau tanda dan gejala kelebihan cairan, edema pulmoner (dipsnea, ortopnea,

krekels pada lapang paru).

6) Pantau hasil pemeriksaan sinar X dada.

7) Pantau tanda vital setiap 4 jam, observasi peningkatan nadi, perkembangan gallop

S3 dn pernapasan labored.

8) Pantau efektivitas dan efek samping diuretic.

b. Untuk diagnosis 2 :

1) Ukur intake dan output setiap 8 jam

2) Anjurkan klien untuk miksi dalam 1 jam sekali

3) Anjurkan klien untuk makan dengan pola seimbang

4) Berikan susana senyaman mungkin pada klien pada saat miksi

c. Untuk diagnosis 3 :

1) Jelaskan konsep dasar proses penyakit

2) Jelaskan mengenai obat-obatan

3) Jelaskan perlunya untuk menghindari obat-obatan yang dijual bebas

4) Berikan pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan proses penyakit.

BAB III

PENUTUP

16

Page 17: Attachment

3.1 Kesimpulan

Hiperaldosteronisme adalah keadaan dimana kelenjar adrenal

menghasilkan hormon aldosteron secara berlebihan. Hiperaldosteron dapat dibagi

menjadi primer dan sekunder. Kasus hyperaldosteronism primer merupakan kasus

yang jarang terjadi. Gejala yang terpenting adalah hipokalemia (K < 3,0 mMol/L)

tanpa sesuatu sebab yang jelas. Diagnosis ditegakkan dengan kadar aldosteron

yang tinggi dan renin yang rendah. Setengah sampai tigaperempat pasien

mengalami adenoma adrenal soliter kecil, sisanya mengalami hiperplasia

adrenokortikal mikro- atau makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh

hipertensi dan hipokalemia. faktor resiko dari hyperaldosteronism primer adalah

Wanita lebih sering daripada laki-laki (2:1), Umur antara 30-50 tahun, dan Juga

berhubungan dengan peningkatan Renal Cysts (sacs in the kidneys).

Pada hiperaldosteronism primer, terjadi 3 keadaan utama, yaitu hipertensi,

hipokalemia, dan metabolik alkalosis yang menimbulkan rangkaian gejala lainnya

sebagai komplikasi. Peningkatan aldosteron karena kelainan adrenal (primer)

ditandai dengan penurunan ACTH dan kadar renin yang normal, tidak seperti

pada hiperaldosteronism sekunder.

Adapun tujuan utama terapi hiperaldosteronism primer meliputi

normalisasi tekanan darah, normalisasi level serum potassium dan elektrolit, dan

normalisasi level serum aldosteron. Ada dua jenis terapi yang bisa diberikan,

antara lain terapi bedah dan non-bedah. Pada terapi PH non-bedah, terapi obat

merupakan pilihannya. Obat yang menjadi pilihan utama untuk kebanyakan

variant dari PH non-bedah adalah spironolactone. Pada pasien yang tidak

merespon terhadap terapi spironolactone, dapat digunakan potassium-sparing

diuretics lainnya seperti amiloride dan triamterene. Pembedahan merupakan terapi

pilihan utama variant primary hyperaldosteronism (PH), yaitu typical

aldosteronomas dan primary adrenal hyperplasia(PAH). Pada pasien

aldostrenomas dengan kontraindikasi pembedahan diberikan terapi ethanol atau

acetic acid injeksi perkutan. Selain pembedahan dan terapi obat-obatan, harus

diimbangi dengan asupan gizi yang sesuai dan cukup.

17

Page 18: Attachment

3.2 Saran

Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat

dan benar sehingga klien dengan penyakit hiperaldosteronisme yang biasa terjadi

pada bayi baru lahir bisa segera ditangani dan diberikan perawatan yang tepat.

Perawat juga diharuskan bekerja secara profesional sehingga meningkatkan

pelayanan untuk membantu kilen dengan penyakit hiperaldosteronisme.

DAFTAR PUSTAKA

C.Long, Barbara . 1996 . Perawatan Medikal Bedah . Bandung : I APK Pajajaran

18

Page 19: Attachment

Bandung.

Carpenito, Lynda Juall . 2001 . Diagnosa Keperawatan Edisi 8 . Jakarta : EGC

C. Pearce, Evelyn . 2002 . Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis . Jakarta :

Gramedia.

Effendi, Dr. Harjim . 1981 . Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi dengan

Patofisiologinya . Bandung : Alumni.

19