repository.maranatha.edu Adult Attachment dan...repository.maranatha.edu
Attachment
description
Transcript of Attachment
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperaldosteronisme merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan
sekresi aldosteron. Hiperaldosteron dapat dibagi menjadi primer dan sekunder.
Hiperaldosteron primer (Sindroma Conn) dapat dikarenakan oleh adanya
tumor/neoplasma adrenokorteks yang meningkatkan sekresi aldosteron,
mekanisme pasti ini belum jelas. Pada hiperaldosteron sekunder, pelepasan
aldosteron terjadi sebagai respons atas pengaktifan system renin-angiotensin.1
Hiperaldosteron Primer (Sindroma Conn) seperti yang sudah dijelaskan di
atas bahwa sindroma ini disebabkan oleh adanya neoplasma adrenokorteks yang
menyekresi aldosteron berlebihan. Meskipun pada awalnya dianggap langka,
hiperaldosteronism primer (PH) sekarang dianggap salah satu penyebab umum
dari hipertensi sekunder (HTN). Walaupun penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa aldosteronoma adalah penyebab paling umum dari PH (70-80% dari
kasus), kemudian epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi PH karena
hiperplasia adrenal bilateral idiopatik (IAH) lebih besar dari yang diyakini
sebelumnya. Laporan-laporan ini menyarankan bahwa IAH mungkin bertanggung
jawab atas sebanyak 75% kasus PH. Selain itu, laporan menggambarkan sindrom
langka PH dicirikan oleh fitur histologis perantara antara adenoma adrenal dan
hiperplasia adrenal.
Gejala klinisnya adalah hipertensi esensial benigna, disertai sakit kepala,
jarang dijumpai edema. Gejala yang terpenting adalah hipokalemia idiopatik
(tanpa penyebab yang jelas). Kadang-kadang pasien mengalami hipokalemia yang
mempengaruhi ginjal atau system nueromuskuler seperti poliuria, nokturia,
parestesia, kelemahan otot, hiporefleksi episodic atau paralisis. Hipokalemia
merupakan gejala terpenting, jarang ditemukan normokemia.Diagnosis ditegakkan
dengan kadar aldosteron yang tinggi dan renin yang rendah. Pengobatan dapat
menggunakan spironolakton untuk menghilangkan gejala hiperaldosteronisme.
Sementara pilihan perawatan untuk aldosteronoma adalah pembedahan, serta
pengobatan pilihan untuk keadaan ini adalah terapi medis dengan antagonis
aldosteron
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Hiperaldosteronisme adalah keadaan dimana kelenjar adrenal menghasilkan
hormon aldosteron secara berlebihan, gejala klinisnya adalah hipertensi esensial
benigna, disertai sakit kepala, dan jarang dijumpai edema.1 Gejala yang terpenting
adalah hipokalemia (K < 3,0 mMol/L) tanpa sesuatu sebab yang jelas seperti
pemakaian diuretik atau muntah – muntah. Kadang-kadang pasien mengalami
simptom hipokalemia yang mempengaruhi ginjal atau sistem neuromuskular
seperti poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot, hiporefleksi episodik atau
paralisis. Hiperaldosteronisme primer adalah salah satu hipertensi sekunder,
merupakan sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tidak
terkendali, umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme
primer secara klinis dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemia dan
alkalosis metabolik. Sindrom ini dilaporkan pertama kali tahun 1955 oleh Jerome
W. Conn. Skrining untuk hiperaldosteronisme primer ini diindikasikan pada
pasien dengan hipertensi dengan hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan,
hipertensi resisten dan hipertensi grade 2, hipertensi pada juvenile dan atau stroke
(< 50 tahun), ditemukan massa adrenal non fungsional insidental (insidentaloma),
bukti adanya kerusakan organ akhir, dan sindrom metabolik.
Telah dilaporkan adanya hubungan antara aldosteronisme primer dan
gangguan metabolisme karbohidrat oleh Conn pada tahun 1965 dan disebutkan
bahwa aldosterone-producing adenoma (APA) menjadi penyebab yang mungkin
untuk timbulnya diabetes melitus oleh American Diabetes Association. Namun,
hasil penelitian retrospektif potong lintang Matrozova dkk (2009) tidak dapat
menunjukkan adanya perbedaan signifikan prevalensi sindrom metabolik antara
pasien aldosteronisme primer dan hipertensi esensial.
Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens
hiperaldosteronisme primer di masyarakat. Saat ini banyak laporan yang
menunjukkan kejadian hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5-10%. Hasil
2
ini didapatkan dengan memeriksa semua pasien hipertensi terhadap kemungkinan
hiperaldosteronisme primer. Pada pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi
peningkatan insidens hiperaldosteronisme primer yang dilaporkan sebagian besar
disebabkan peningkatan insidens kejadian hiperplasia adrenal. Keadaan ini paling
sering terjadi pada wanita usia pertengahan akibat sekresi aldosteron autonom.
Pasien dengan hiperaldosteronisme primer mengalami hipertensi pada
dekade ke-4 sampai 7, kecuali mereka dengan glucocorticoid-remediable
aldosteronism (GRA), di mana hipertensi terjadi sejak lahir atau awal masa
kanak-kanak. Predominan pada wanita, kecuali pada GRA yang dapat
mempengaruhi pria dan wanita sama banyak. Prevalensi komplikasi
serebrovaskular awal meningkat pada GRA, terutama kejadian stroke hemoragik
yang berasal dari aneurisma intraserebral yang mengalami ruptur.
2.2 Etiologi
Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami adenoma adrenal soliter,
kecil, dengan penampang berwarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia
adrenokortikal mikro/makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh
hipertensi dan hipokalemia. Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami
adenoma adrenal soliter, kecil, dengan penampang berwarna kuning. Sisanya
mengalami hiperplasia adrenokortikal mikro atau makronoduler. Gambaran
patologi disebabkan oleh hipertensi atau hipokalemia. Ada 6 subtipe
hiperaldosteronisme primer, yaitu:
1. Aldosterone-producing adrenal adenomas (APA). Terjadi pada kira-kira
40% kasus. Hiperaldosteronisme cenderung lebih berat, dengan hipertensi
dan hipokalemia yang lebih jelas.
2. Idiopathic hyperaldosteronism (IHA) . Disebabkan oleh hiperplasia
adrenal bilateral, terdapat pada 50-60% kasus. Secara umum, lebih ringan.
3. Primary adrenal hyperplasia (PAH) unilateral. Mempunyai kemiripan
biokimia dengan APA, tetapi menunjukkan bentuk jarang
hiperaldosteronisme.
4. Aldosterone-producing adrenocortical carcinoma. Merupakan penyebab
yang jarang dari hiperaldosteronisme primer.
3
5. Familial hyperaldosteronism. Tipe I atau glucocorticoid-remediable
aldosteronism (GRA) diturunkan sebagai trait dominan autosom yang
tergantung dengan ACTH. Kelainan itu terjadi < 3% kasus
hiperaldosteronisme primer. Tipe II juga diturunkan secara dominant
autosom, namun tidak tergantung dengan ACTH.
6. Ectopic aldosterone-producing adenoma/carcinoma. Terjadi pada < 0,1%
kasus.
Tabel 1. Demografi dan karakteristik subtipe hiperaldosteronisme
2.3 Epidemiologi
4
Kasus hyperaldosteronism primer merupakan kasus yang jarang terjadi,
dengan estimasi prevalensi kira-kira < 10 % dari semua kasus hipertensi, dimana
terjadi pada 5-15% dari total pasien dengan hypertensi sekunder. Prevalensinya
lebih tinggi (10-23%) pada pasien dengan terapi hipertensi resisten atau berat.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aldosteronoma adalah kasus
tersering pada kasus hyperaldosteronism primer (70-80% kasus). Kemudian studi
epidemiologi berikutnya menunjukkan bahwa prevalence primary
hyperaldosteronism lebih bessar daripada yang diperkirakan sebelumnya (±75%).
Kasus hyperaldosteronism primer meliputi aldosterone-producing
adenomas (APAs), aldosterone-producing renin-responsive adenomas (AP-RAs),
bilateral adrenal (glomerulosa) hyperplasia atau IAH, primary adrenal hyperplasia
(PAH), adan bentuk lain dari hyperaldosteronism primer.
2.4 Faktor Risiko
Adapun faktor resiko dari hyperaldosteronism primer adalah:
a. Wanita lebih sering daripada laki-laki (2:1).
b. Umur antara 30-50 tahun.
c. Juga berhubungan dengan peningkatan Renal Cysts (sacs in the
kidneys).
2.5 Patogenesis
Peningkatan jumlah produksi aldosteron oleh adrenal pada kebanyakan
kasus disebabkan oleh adenoma atau hiperplasia adrenal yang menyebabkan
meningkatnya hormon aldosteron. Peningkatan aldosteron meningkatkan
reabsorpsi sodium dan air pada tubulus distal ginjal, sehingga terjadi retensi
sodium dan air yang dapat menyebabkan hipertensi. Hal tersebut terjadi simultan
dengan peningkatan ekskresi kalium dan ion hidrogen. Banyaknya ekskresi
kalium menyebabkan tubuh mengalami hipokalemia (K<3mMol/L). Banyaknya
ekskresi ion hidrogen menyebabkan tubuh mengalami metabolik alkalosis. Pada
hiperaldosteronism primer, terjadi 3 keadaan utama, yaitu hipertensi, hipokalemia,
dan metabolik alkalosis yang menimbulkan rangkaian gejala lainnya sebagai
komplikasi. Peningkatan aldosteron karena kelainan adrenal (primer) ditandai
5
dengan penurunan ACTH dan kadar renin yang normal, tidak seperti pada
hiperaldosteronism sekunder.
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan hyperaldosteronism primer tidak datang dengan temuan
klinis yang khas, dan indeks kecurigaan yang tinggi berdasarkan riwayat pasien
adalah penting dalam membuat diagnosis.
Kejadian umum dimana hyperaldosteronism primer harus dipertimbangkan
mencakup:
a. Pasien dengan hipokalemia spontan atau tanpa alasan, terutama bila
pasien juga menderita hipertensi.
b. Pasien yang berkembang menjadi hipokalemia berat dan/menetap pada
pengaturan dosis potasium-wasting diuretic rendah sampai sedang.
c. Pasien dengan refractory hypertension (HTN).
Temuan klinis yang dapat terjadi pada pasien seperti:
a. Hipertensi (HTN) - Kondisi ini hampir selalu terjadi, meskipun
beberapa kasus hyperaldosteronism primer tidak berhubungan dengan
hipertensi.
b. Lemah.
c. Distensi perut.
d. Ileus dari hipokalemia.
e. Temuan terkait dengan komplikasi HTN seperti gagal jantung,
hemiparesis karena stroke, carotid bruits, abdominal bruits,
proteinuria, insufisiensi ginjal, ensefalopati hipertensi, dan perubahan
retina hipertensi.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
adalah:
- Level plasma aldosteron yang meningkat
- Kalium plasma rendah (kurang dari 3 mmol/L). Pemeriksaan ini juga
untuk membedakan dengan hipertensi esensial. Kadar renin plasma
6
turun (untuk membedakan dari hiperaldosteronism sekunder yang
meningkat kadar reninnya). Rasio aldosteron per renin plasma >750.
- Kaliuresis, kadar kalium dalam urin >3 mmol/hari
- Serum bikarbonat >31mEq/L
- CT scan
- MRI
- NP-59 iodocholesterolscintigraphy, untuk membedakan adenoma dan
hiperplasia
- Adrenal vein sampling (AVS), untuk membedakan adenoma dan
hyperplasia, untuk menentukan pilihan terapi (medikamentosa atau
pembedahan)
2.8 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari Hiperaldosteronisme adalah Adrenal
adenoma, Eklampsia, Karsinoma adrenal, Ensefalopati, hipertensi, Bedah adrenal,
Hipertensi, Sindrom Bartter, C-11 hidroksilase Defisiensi, Hipokalemia, C-17
hidroksilase Defisiensi, Alkalosis metabolik, Carney Kompleks, Stenosis Arteri
Renal, Sindrom Conn, Renovascular Hipertensi, Sindrom Cushing.
2.9 Terapi
Adapun tujuan utama terapi hiperaldosteronism primer meliputi:
a. Normalisasi tekanan darah
b. Normalisasi level serum potasium dan elektrolit
c. Normalisasi level serum aldosteron
2.9.1 Terapi medis (obat-obatan)
Pada terapi PH non-bedah, terapi obat merupakan pilihannya. Obat
yang menjadi pilihan utama untuk kebanyakan variant dari PH non-bedah
adalah spironolactone, yang digunakan untuk mencapai
normoaldosteronism dan mengontrol tekanan darah. Pada pasien yang
tidak merespon terhadap terapi spironolactone, dapat digunakan
potassium-sparing diuretics lainnya seperti amiloride dan triamterene.
7
Berbagai antihipertensi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan
darah seperti dihydropyridine calcium channel blockers (nifedipine) yang
secara langsung menghambat produksi aldosterone. Meskipun signifikan
pada hipertensi, level aldosterone, volume plasma, dan konsentrasi serum
potassium tetap tidak berubah walaupun dengan terapi nifedipine. Hal ini
tidak bisa diterangkan secara patofisiologi.
Beberapa obat yang dipakai antara lain:
a. Aldosterone Antagonists
Agent ini berkompetisi dengan receptor sites aldosterone,
menurunkan edema dan ascites.
Spironolactone (Aldactone)
Secara kompetitif mengikat reseptor pada aldosterone-
dependent sodium-potassium bertukar tempat pada distal
convulated tubules (DCT). Meningkatkan ekskresi sodium dan
air dan menahan potassium, dimana ini merupakan efek
diuretic dan antihipertensi. Pemberian spironolactone saja atau
dengan diuretic lainnya bekerja pada proximal renal tubule.
Pada orang dewasa biasanya diberikan dalam dosis 25-200
mg/d PO (peroral) pada dosis tunggal atau divided doses,
sedangkan anak-anak 3,3 mg/kg PO qd atau dibagi q6-12h.
Pemberian spironolactone harus dihindari pada kehamilan,
hipersensitivitas, anuria, acute renal insufficiency karena dapat
menyebabkan dilutional hyponattremia, asidosis ringan, dan
gynecomastia, disfungsi ginjal akut, dan hyperkalemia.
Eplerenone (INSPRA)
Secara selektif memblok aldosterone pada reseptor
mineralocorticoid di epitel (ginjal) dan nonepitel (jantung,
pembuluh darah, dan otak) sehingga menurunkan tekanan
darah dan mereabsorpsi sodium. Pada orang dewasa diberikan
dengan dosis 50 mg PO qd; dosis dapat ditingkatkan setelah 4
minggu tapi tidak lebih dari 100 mg/d. Pemberian eplerenone
juga harus dihindari pada kehamilan, hypersensitivitas,
8
hyperkalemia atau pemberian dengan obat-obatan yang
meningkatkan potassium, diabetes type 2 dengan
mikroalbuminuria, renal insufficiency sedang hingga berat
(CrCl<50 mL/min atau serum creatinine level >2 mg/dL [laki-
laki] atau >1.8 mg/dL pada perempuan)
b. Potassium-sparing diuretics
Obat ini digunakan sebagai second-line untuk terapi PH akibat
nonlateralizing disease dan atau lateralizing disease yang
kontraindikasi dengan pembedahan. Sering digunakan dengan
antihipertensif lainnya untuk mencapai kontrol tekanan darah
yang baik, karena potassium-sparing diuretics bukan
antihipertensi yang poten.
Triamterene (Dyrenium)
Potassium-sparing diuretic memiliki natriuretic properties yang
relatif lemah. Efek diuretic pada distal renal tubule untuk
menghambat reabsorpsi sodium dalam pertukaran potassium
dengan hydrogen. Peningkatan ekskresi sodium dan penurunan
kehilangan potassium dan hydrogen yang berlebih
berhubungan dengan hydrochlorothiazide. Pada orang dewasa,
triamterene diberikan dengan dosis 100-300 mg PO qd. Jangan
diberikan pada orang hamil, hipersensitivitas, level serum
potassium tinggi (>5,5 mEq/L), gangguan fungsi ginjal (anuria,
renal insufficiency akut dan kronis, gangguan ginjal yang
signifikan), diabetes (hiperkalemia dilaporkan dapat terjadi
pada penderita diabetes yang menggunakan potassium-
conserving agents tanpa ada gangguan ginjal).
Adapun efek samping obat ini meliputi:
1. Efek gastro-intestinal (jaundice, pancreatitis, gangguan
nafsu makan, perubahan rasa, mual,muntah, diarrhea,
konstipasi, anorexia, iritasi lambung, cramping)
9
2. Efek CNS (drowsiness, fatigue, insomnia, sakit kepala,
pusing, mulut kering, depresi, cemas, vertigo, restlessness,
paresthesias)
3. Efek Cardiovascular (tachycardia, nafas pendek, nyeri
dada, orthostatic hypotension)
4. Efek Renal (gagal ginjal akut, acute interstitial nephritis,
batu ginjal yang tersusun dari triamterene yang berkaitan
dengan materi kalkulus lainnya, dan perubahan warna urin)
5. Efek Hematologic (leukopenia, agranulocytosis
thrombocytopenia, aplastic anemia, hemolytic anemia,
megaloblastosis)
6. Efek Ophthalmic (xanthopsia, transient blurred vision)
7. Hipersensitivitas(eg, anaphylaxis, photosensitivity, rash,
urticaria, purpura, necrotizing angiitis [vasculitis, cutaneous
vasculitis], demam, respiratory distress [termasuk
pneumonitis])
8. Efek lainnya (kram otot dan weakness, penurunan gairah
seksual, sialadenitis)
Amiloride (Midamor)
Amiloride memiliki aktivitas potassium-conserving pada
pasien dengan terapi kaliuretic-diuretic. Amiloride bukan
merupakan aldosterone antagonist, dan efek sampingnya
terlihat tanpa ada aldosterone. Efeknya adalah menghambat
reabsorpsi sodium pada distal convulated tubule, cortical
collecting tubule, dan collecting duct. Hal ini menyebabkan
menurunnya potensial negative lumen tubular dan menurunkan
sekresi potassium dan hydrogen dan ekskresi komponen yang
berkaitan.
Amiloride biasanya bekerja dalam 2 jam setelah pemberian
dosis oral. Efek pada ekskresi elektrolit mencapai puncak
antara 6-9 jam dan berakhir sekitar 24 jam. Puncak level
plasma dalam 3-4 jam dan plasma half-live bervariasi dari 6-9
10
jam. Amiloride tidak dimetabolisme di hati dan ekskresinya
tidak diubah oleh ginjal. Sekitar 50% dosis amiloride
diekskresi dalam urin dan 40% di kotoran dalam waktu 72 jam.
Efeknya kecil pada filtrasi glomerular atau aliran darah renal.
Amiloride jarang diberikan dalam dosis tunggal karena
meningkatkan risiko hiperkalemia. Dosis tunggal hanya ketika
terjadi hipokalemia persisten dan dengan titrasi yang hati-hati
disertai pemantauan level serum elektrolitnya. Adapun
dosisnya pada orang dewasa adalah 5-20 mg/d PO. Jangan
diberikan pada penderita dengan kehamilan, hipersensitivitas;
peningkatan level serum potassium (>5.5 mEq/L), pasien yang
diterapi dengan obat potassium-conserving lainnya
(spironolactone, triamterene), suplemen potassium dalam
bentuk obat, gangguan fungsi ginjal (BUN level >30 mg/dL
atau serum creatinine levels >1.5 mg/dL), renal insufficiency
akut atau kronis, dan diabetic nephropathy.
2.9.2 Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi pilihan utama variant primary
hyperaldosteronism (PH), yaitu typical aldosteronomas dan primary
adrenal hyperplasia(PAH). Sebelum operasi, berdasarkan diagnosa
konfirmasi biokimia dan anatomi, pasien harus diterapi dengan
spironolactone 3-5 minggu. Ini berfungsi sebagai alat diagnostik tambahan
(mengkonfirmasikan diagnosis PH) dan sebagai sarana untuk memprediksi
respons tekanan darah yang dapat diharapkan pada postsurgery.
Adrenolectomy melalui laparotomy formal atau dengan teknik
laparoscopic. Pilihan laparoscipic jika pada pasien tidak bisa dilakukan
laparotomy formal. Sebelum operasi, pasien harus menerima sedikitnya 8-
10 minggu terapi medis untuk menurunkan tekanan darah dan untuk
memperbaiki sindrom metabolik yang sering dikaitkan dengan PH. Pasca
operasi, profil metabolisme harus dimonitor secara seksama. Kebanyakan
pasien tidak menjadi hypomineralocorticoidism permanen dan karenanya
tidak memerlukan penggantian fludrocortisone. Pada pasien aldostrenomas
11
dengan kontraindikasi pembedahan diberikan terapi ethanol atau acetic
acid injeksi perkutan. Teknik ini perlu skill yang tinggi.
2.9.3 Diet
Selain pembedahan dan terapi obat-obatan, harus diimbangi
dengan asupan gizi yang sesuai dan cukup. Dianjurkan diet rendah garam,
walaupun berpengaruh terhadap control tekanan darah pada PH, dapat
member hasil false-negative pada test biokimia.
2.10 Komplikasi
Komplikasi spesifik berhubungan dengan komplikasi hipertensi kronis
(infark myokard, cerebrovascular disease, gagal jantung kongestif) dan juga
berkaitan dengan terapi spesifik (reaksi obat dan komplikasi pembedahan).
Pertimbangkan diagnosis pada semua orang dengan hipertensi dan
hipokalemia. Membuat diagnosis yang benar merupakan cara untuk mencapai
kontrol tekanan darah yang adekuat sehingga mencegah kontrol hipertensi yang
buruk.
2.11 Prognosis
Pasien yang menderita hiperalodosteron kemungkinan mengalami
komplikasi tekanan darah tinggi, dan memiliki resiko tinggi untuk mengalami
angina, gagal ginjal, stroke dan serangan jantung. Pada hiperaldosteron primer
yang disebabkan oleh adenoma soliter, kemungkinan pasien memiliki prognosis
yang baik. Setelah tumor dihilangkan maka tekanan darah akan menurun, dan
sekitar 70% pasien akan mengalami remisi. Sementara pada pasien
hiperaldosteron primer yang disebabkan oleh adrenal hiperplasia kemungkinan
tekanan darah pasien akan tetap tinggi dan pada pasien ini dapat diberikan obat
antihipertensi.
2.12 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
12
a. Data biografi pasien
Hiperaldosteronisme umumnya banyak menyerang pada seseorang yang
mengalami hipertensi.
b. Keadaan umum
Klien dengan hiperaldosteronisme biasanya mengeluh badan terasa lemah,
banyak minum, banyak kencing, sering kencing malam, sakit kepala.
a) Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan sejak kapan klien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan yang dilakukan untuk menanggulanginya.
b). Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan tentang adanya riwayat penyakit atau pemakai obat-obatan
bebas yang bisa mempengaruhi.
2. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama
(hiperaldosteronisme)
a. Pemerikasaan Fisik
1. Keadaan Umum
Klien dengan hiperaldosteronisme biasanya mengeluh badan terasa lemah,
banyak minum, banyak kencing, sering kencing malam, sakit kepala.
2. Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : tidak normal (TD normal 120/80 mmHg)
Nadi : < normal
Suhu : normal
RR : normal
3. Pemeriksaan fisik head to toe
13
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk : perhatikan bentuk kepala apakah simetris atau tidak.
Rambut: perhatikan keadaan rambut mudah dicabut atau tidak,warna,
hygiene
Nyeri tekan: palpasi nyeri tekan, ada atau tidak.
b. Pemeriksaan mata
Palpebra: perhatikan kesimetrisan kiri dan kanan
Konjungtiva : ikterik atau tidak.
Sclera : ikterik atau tidak.
c. Pemeriksaan hidung
Inskpeksi kesimetrisan bentuk hidung, mukosa hidung, palpasi adanya
polip.
d. Pemeriksaan mulut
Inspeksi apakah terdapat peradangan (infeksi oleh jamur atau bakteri ),
perdarahan gusi.
e. Pemeriksaan telinga
Inspeksi simetris kiri dan kanan, sirumen. Palpasi nyeri tekan. Periksa
fungsi pendengaran dan keseimbangan.
f. Pemeriksaan leher
Inspeksi dan palpasi adanya pembesaran getah bening kelenjer tiroid,
JVP, normalnya 5-2.
g. Pemeriksaan thorak
Jantung
Inspeksi : iktus terlihat atau tidak, inspeksi kesimetrisan.
Palpasi : raba iktus kordis. Normalnya, iktus teraba.
Perkusi : tentukan batas jantung.
Auskultasi : terdengar bunyi jantung 1 dan 2, normal.
Paru- paru
Inspeksi : kesimetrisan kiri dan kanan saat inspirasi dan ekspirasi,
biasanya normal.
14
Palpasi : simetris kiri dan kanan.
Perkusi : periksa adanya suara napas tambahan
Auskultasi : biasanya bunyi nafas vesikuler.
h. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : apakah dinding abdomen mengalami memar, bekas operasi,
dsb.
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan, hepar teraba atau tidak.
Perkusi : lakukan perkusi, biasa didapat bunyi tympani untuk semua
daerah abdomen
i. Pemeriksaan Ekstremitas
inspeksi kesemetrisan, palpasi adanya nyeri tekan pada ekstremitas
atas dan bawah.
b. Pemeriksaan Penunjang
Menunjukkan adanya peningakatan aldosteron plasma, aktivitas renin plasma
ditekan atau tidak dapt dirangsang, gagal untuk menekan aldosteron dengan
manuver biasa, Hipernatremia (normal : 135 – 150 mEg/L), Hipokalemia
(normal : 3,5 –5 mEg/L).
2. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hipernatremia sekunder terhadap
hiperaldosteronisme.
2. Perubahan kenyamanan yang berhubungan dengan ekskresi urine berlebih dan
polidipsia
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses
penyakit, pengobatan dan perawatan diri.
2. Rencana Keperawatan
a. Untuk Diagnosis 1 :
15
1) Timbang pasien tiap hari pada waktu yang sama, timbangan pakaian yang sama,
laporkan bila terjadi penambahan berat badan > 0,5 kg / hari.
2) Ukur intake dan output setiap 8 jam.
3) Pertahankan diet rendah natrium.
4) Pantau kadar natrium serum setiap 8 jam.
5) Pantau tanda dan gejala kelebihan cairan, edema pulmoner (dipsnea, ortopnea,
krekels pada lapang paru).
6) Pantau hasil pemeriksaan sinar X dada.
7) Pantau tanda vital setiap 4 jam, observasi peningkatan nadi, perkembangan gallop
S3 dn pernapasan labored.
8) Pantau efektivitas dan efek samping diuretic.
b. Untuk diagnosis 2 :
1) Ukur intake dan output setiap 8 jam
2) Anjurkan klien untuk miksi dalam 1 jam sekali
3) Anjurkan klien untuk makan dengan pola seimbang
4) Berikan susana senyaman mungkin pada klien pada saat miksi
c. Untuk diagnosis 3 :
1) Jelaskan konsep dasar proses penyakit
2) Jelaskan mengenai obat-obatan
3) Jelaskan perlunya untuk menghindari obat-obatan yang dijual bebas
4) Berikan pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan proses penyakit.
BAB III
PENUTUP
16
3.1 Kesimpulan
Hiperaldosteronisme adalah keadaan dimana kelenjar adrenal
menghasilkan hormon aldosteron secara berlebihan. Hiperaldosteron dapat dibagi
menjadi primer dan sekunder. Kasus hyperaldosteronism primer merupakan kasus
yang jarang terjadi. Gejala yang terpenting adalah hipokalemia (K < 3,0 mMol/L)
tanpa sesuatu sebab yang jelas. Diagnosis ditegakkan dengan kadar aldosteron
yang tinggi dan renin yang rendah. Setengah sampai tigaperempat pasien
mengalami adenoma adrenal soliter kecil, sisanya mengalami hiperplasia
adrenokortikal mikro- atau makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh
hipertensi dan hipokalemia. faktor resiko dari hyperaldosteronism primer adalah
Wanita lebih sering daripada laki-laki (2:1), Umur antara 30-50 tahun, dan Juga
berhubungan dengan peningkatan Renal Cysts (sacs in the kidneys).
Pada hiperaldosteronism primer, terjadi 3 keadaan utama, yaitu hipertensi,
hipokalemia, dan metabolik alkalosis yang menimbulkan rangkaian gejala lainnya
sebagai komplikasi. Peningkatan aldosteron karena kelainan adrenal (primer)
ditandai dengan penurunan ACTH dan kadar renin yang normal, tidak seperti
pada hiperaldosteronism sekunder.
Adapun tujuan utama terapi hiperaldosteronism primer meliputi
normalisasi tekanan darah, normalisasi level serum potassium dan elektrolit, dan
normalisasi level serum aldosteron. Ada dua jenis terapi yang bisa diberikan,
antara lain terapi bedah dan non-bedah. Pada terapi PH non-bedah, terapi obat
merupakan pilihannya. Obat yang menjadi pilihan utama untuk kebanyakan
variant dari PH non-bedah adalah spironolactone. Pada pasien yang tidak
merespon terhadap terapi spironolactone, dapat digunakan potassium-sparing
diuretics lainnya seperti amiloride dan triamterene. Pembedahan merupakan terapi
pilihan utama variant primary hyperaldosteronism (PH), yaitu typical
aldosteronomas dan primary adrenal hyperplasia(PAH). Pada pasien
aldostrenomas dengan kontraindikasi pembedahan diberikan terapi ethanol atau
acetic acid injeksi perkutan. Selain pembedahan dan terapi obat-obatan, harus
diimbangi dengan asupan gizi yang sesuai dan cukup.
17
3.2 Saran
Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat
dan benar sehingga klien dengan penyakit hiperaldosteronisme yang biasa terjadi
pada bayi baru lahir bisa segera ditangani dan diberikan perawatan yang tepat.
Perawat juga diharuskan bekerja secara profesional sehingga meningkatkan
pelayanan untuk membantu kilen dengan penyakit hiperaldosteronisme.
DAFTAR PUSTAKA
C.Long, Barbara . 1996 . Perawatan Medikal Bedah . Bandung : I APK Pajajaran
18
Bandung.
Carpenito, Lynda Juall . 2001 . Diagnosa Keperawatan Edisi 8 . Jakarta : EGC
C. Pearce, Evelyn . 2002 . Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis . Jakarta :
Gramedia.
Effendi, Dr. Harjim . 1981 . Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi dengan
Patofisiologinya . Bandung : Alumni.
19