Ats tsabat ed 5 09 13

10
1 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi Indonesia:Surga Toleransi Oleh: KH Hasyim Muzadi* Di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan seperti di Indonesia? Nahdlatul Ulama (NU) dan para penganut mazhab ahlusunnah waljamaah (aswaja) mengenalnya dengan istilah “tasamuh“ dan masyarakat Indonesia kebanyakan memaknainya dengan istilah “toleransi“ Di kalangan NU, bersifat dan bersikap tasamuh bukan semata pilihan organisasi, tetapi sudah menjadi “laku“ yang melekat dalam kehidupan umat sehari-hari. Sifat tasamuh dalam bermuamalah dijadikan landasan. Bahkan, ketika teks-teks keagamaan mengenai muamalah tumbuh dalam praksis kemasyarakatan, sikap tasamuh didahulukan dibanding sikap-sikap positif lainnya. Begitu kuatnya sikap tasamuh itu dalam praktik kehidupan sehari-hari, hingga muncul kesan seolah-olah mereka yang bersikap tasamuh sama dengan bersikap abu-abu alias tidak jelas. Padahal, di situlah inti kehidupan. Ajaran Islam bisa diterima, salah satu sebabnya karena mampu berinteraksi dengan lingkungan secara damai. Istilahnya, berakulturasi dengan sehat. Bukan karena meyakini suatu kebenaran lalu menutup pintu munculnya tafsir berbeda atas kebenaran tersebut. Islam, karena itu, amat kuat menjunjung sikap tasamuh agar dapat menjadi solusi dan alternatif. Demikian juga yang terjadi di tengah-tengah kita. Begitu biasanya bangsa ini bersifat tasamuh, hingga bermacam-macam “ideologi“ boleh tumbuh dan berkembang di negeri ini dengan bebas. Namun begitu, ketika berkaitan dengan urusan prinsip, seperti masalah akidah keyakinan atau hal-hal yang mengancam konstitusi, maka bersikap toleransi dalam keyakinan dan pandangan menjadi http://apcinstitute.files.wordpress.com

description

Bulletin Ats Tsabat, Buletin Group KAMMI Lintas Generasi. InsyaAllah terbit setiap Jum'at.

Transcript of Ats tsabat ed 5 09 13

Page 1: Ats tsabat ed 5 09 13

1 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

Indonesia:Surga Toleransi Oleh: KH Hasyim Muzadi*

Di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan seperti di Indonesia?

Nahdlatul Ulama (NU) dan para penganut mazhab ahlusunnah waljamaah (aswaja) mengenalnya dengan istilah “tasamuh“ dan masyarakat Indonesia kebanyakan memaknainya dengan istilah “toleransi“

Di kalangan NU, bersifat dan bersikap tasamuh bukan semata pilihan organisasi, tetapi sudah menjadi “laku“ yang melekat dalam kehidupan umat sehari-hari. Sifat tasamuh dalam bermuamalah dijadikan landasan. Bahkan, ketika teks-teks keagamaan mengenai muamalah tumbuh dalam praksis kemasyarakatan, sikap tasamuh didahulukan dibanding sikap-sikap positif lainnya.

Begitu kuatnya sikap tasamuh itu dalam praktik kehidupan sehari-hari, hingga muncul kesan seolah-olah mereka yang bersikap tasamuh sama dengan bersikap abu-abu alias tidak jelas.

Padahal, di situlah inti kehidupan. Ajaran Islam bisa diterima, salah satu sebabnya karena mampu berinteraksi dengan lingkungan secara damai. Istilahnya, berakulturasi dengan sehat. Bukan karena meyakini suatu kebenaran lalu menutup pintu munculnya tafsir berbeda atas kebenaran tersebut. Islam, karena itu, amat kuat menjunjung sikap tasamuh agar dapat menjadi solusi dan alternatif.

Demikian juga yang terjadi di tengah-tengah kita. Begitu biasanya bangsa ini bersifat tasamuh, hingga bermacam-macam “ideologi“ boleh tumbuh dan berkembang di negeri ini dengan bebas.

Namun begitu, ketika berkaitan dengan urusan prinsip, seperti masalah akidah keyakinan atau hal-hal yang mengancam konstitusi, maka bersikap toleransi dalam keyakinan dan pandangan menjadi

http://apcinstitute.files.wordpress.com

Page 2: Ats tsabat ed 5 09 13

2 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

tidak pada tempatnya. Ketika Orde Reformasi bergulir, keran kebebasan terbuka lebar sehingga beragam ideologi juga bebas masuk.

Situasi ini membuat Indonesia seperti pasar bebas yang kaya akan pilihan. Namun belakangan, karena sifatnya yang tidak tasamuh dan rigid serta terus mengklaim kebenaran hanya datang dari “pihaknya”, maka paham transnasional yang datang bergelombang sejak era reformasi, telah menyebabkan keresahan di beberapa daerah.

Kalau sebatas menyampaikan ajakan, tidak menjadi masalah. Urusan berubah menjadi masalah karena mereka mengusung ajaran yang menyebut keyakinan “penduduk“ asli sebagai ajaran sesat. Mereka bahkan menyediakan neraka bagi yang berada di pihak lain.

Dalam beberapa kasus, mereka malah mencaplok masjid yang sudah sekian lama menjadi tempat berbadah penduduk asli mazhab tasamuh. Mengambil sebagian ajaran Islam dan memasukkan ajaran lain yang bukan dari Islam. Tindakan semacam ini yang lantas mengganggu harmoni sosial yang sudah biasa bertasamuh.

Di satu-dua daerah, pemaksaan keyakinan dan kebenaran ini memunculkan aksi membela diri yang kadang berbau kekerasan. Ahmadiyah salah satu contoh dan GKI Yasmin, Bogor, contoh lainnya.

Begitulah kehidupan penuh toleransi itu berlangsung selama ratusan tahun. Paling kurang, ada beberapa agama yang mendapatkan pengakuan negara. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan belakangan Kong Huchu, adalah contohnya.

Kalau demikian, di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan? Jangan hanya gara-gara kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin, para kolonialis mengutuk kita negara yang intoleran dalam beragama.

Menjadi tidak beralasan jika sidang PBB di Jenewa, Swiss, lantas menuding Indonesia sebagai tidak toleran dalam praktik keberagamaan sehari-hari. Sebenarnya, tahukah mereka tentang toleransi di Indonesia? Tahu apa mereka soal Ahmadiyah di Indonesia dan kasus GKI Yasmin?

Penulis sungguh sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena ada laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, penulis belum bertemu negara Muslim setoleran Indonesia.

Bagaimana bisa mereka mengukur kehidupan keagamaan kita sementara mereka menggunakan ukuran yang tidak pas dan bahkan menyiapkan ukuran dengan desain mereka sendiri. Oleh sebab itu,

Page 3: Ats tsabat ed 5 09 13

3 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

penting dipertanyakan ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang PBB di Jenewa Swiss.

Kalau ukuran yang dipakai semata masalah Ahmadiyah, memang sejatinya Ahmadiyah sendiri telah menyimpang dari pokok ajaran Islam. Namun, mereka selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia.

Sementara kasus GKI Yasmin Bogor, Jawa Barat, juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia intoleransi beragama. Penulis berkali-kali berkunjung ke lokasi (GKI Yasmin), namun tampaknya mereka memang tidak ingin masalahnya selesai. Mereka lebih suka Yasmin jadi masalah nasional dan dunia daripada masalahnya selesai.

Kalau ukurannya pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua.

Jika yang dijadikan ukuran adalah protes konser Lady Gaga dan feminis Irsyad Manji, maka tidak ada bangsa di dunia ini yang mau tata nilainya dirusak orang lain.

Tidak ada bangsa manapun yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan intelektualisme kosong.

Kalau ukurannya HAM di Papua, mengapa TNI, Polri, dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM?

Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid. Indonesia lebih baik dari Prancis yang terus mengurus jilbab, dan lebih baik dari Denmark, Swedia, dan Norwegia yang tak menghormati agama karena di sana ada UU perkawiman sejenis.

Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis? Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia dan kaum Muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar humanisme dan mana yang sekadar Westernisme?

Sungguh disayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM PBB yang menyebut Indonesia intoleran dalam beragama dalam sidang tinjauan periodik universal II (Universal Periodic Review UPR) di Jenewa, Swiss. Wallaahu a'lamu bish-showaab.[] *REPUBLIKA (edisi cetak Ahad 3/6/12)

Page 4: Ats tsabat ed 5 09 13

4 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

"Kultural” Pasti Berlalu?

Oleh : Dharma Setyawa, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Ada anggapan, bahwa KAMMI Kultural akan hilang seiring waktunya dan hanya menjadi gerakan pragmatisme, karena dianggap sebagai alat untuk menuju posisi-posisi kekuasaan Pimpinan Pusat. Mungkin anggapan ini lahir karena ada yang mengira –seperti bebreapa elit yang “sinis” dengan Kultural—bahwa KAMMI Kultural adalah faksi tertentu, dan

akan mengalami apa yang terjadi pada sebagian kelompok-kelompok faksi yang sejak dulu telah bersemayam di tubuh KAMMI.

Banyak beberapa kalangan menyebut bahwa konflik yang terjadi antara kubu Andriyana dan Fikri Aziz telah menjadikan KAMMI Kultural akhirnya diberi ruang Struktural. Secara pribadi saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Untuk membacanya, kita perlu menyegarkan kembali wacana dan pengertian tentang hakikat kekuasaan –lebih khusus ketika memaknai“amanah” struktural—yang menjadi perebutan beberapa kawan-kawan menuju PP KAMMI.

Menyegarkan Kembali “Gerakan Kultural”

Banyak beberapa kalangan menyebut KAMMI masih disebut sebagai gerakan moral.KAMMI selama ini dikenal dengan kesantunan, kesolidan, dan militansi kader yang cukup dipandang dalam gerakan ekstra-kampus. Akan tetapi, bagi pelaku-pelaku gerakan di tubuh KAMMI sendiri, anggapan ini sulit untuk dipercayai, mengingat semakin pragmatisnya elit-elit gerakan yang bertahta di kursi singgasana Pimpinan.

Jika anda pernah membaca Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KAMMI (Baik yang terlapor di Muktamar maupun yang termuat di berbagai media) serta memperhatikan seluk-beluk gerakan satu delade terakhir di tingkat pusat, hal semacam ini tentu sudah sering kita temui. Anda akan menemui

Page 5: Ats tsabat ed 5 09 13

5 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

dana-dana yang sebenarnya secara real masuk ke tubuh organisasi, tapi tidak dilaporkan secara akuntabel dan jujur oleh pengurus KAMMI.

Ibarat Ikan yang sudah busuk di bagian kepala, perlu dilakukan semacam “amputasi”agar tidak membusuk sampai ke ekor. Demikianlah saya membaca wajah KAMMI hari ini. Gerakan kritik bukannya tidak pernah dilakukan. Sebagaimana kita ketahuibersama, ada beberapa gerakan semacam “Daulat KAMMI” setelah MLB 2009, kaum“Nihilis” –untuk menyebut kader yang sama sekali apriori terhadap KAMMI, Kritikindividual dari tokoh atau alumni KAMMI, hingga hadirnya gerakan KAMMI Kultural.

Gerakan Kultural sendiri sebenarnya bukan berawal dari kader tertentu, tetapi justrupengurus KAMMI yang hadir untuk melakukan sarasehan lintas generasi. Sarasehan tersebut, sebagaimana disebut dalam acara di Yogyakarta, dirangkai sebagai upaya solusi dan dialektika yang adil. Sikap kritis itu tak berhenti sampai sarasehan belaka; ia berlanjut dengan kawan-kawan Jogja menuliskan ide-ide pembaharuan gerakan dalam Jurnal KAMMI Kultural (http://www.kammikultural.org/) .

Namun, kini yang terjadi adalah “lanjutan” dari perdebatan beberapa kubu di KAMMI dan sepertinya akan terus berlanjut, bahwa gerakan Kultural mulai masuk ke ruang struktural dengan adanya beberapa pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural di Kepengurusan PP KAMMI. Bisa disebut, “kultural” hanya seperti badai yang tidak diharapkan datang membuat keributan, kemudian berlalu begitu saja karena telah ada beberapa yang masuk ke structural.

Padahal, Gerakan Kultural tidak diciptakan hanya sekadar untuk memuaskan ‘keinginan masuk ke struktur’. Gerakan Kultural adalah sisi lain dari pluralitas berfikir KAMMI yang selama ini merasa didominasi oleh ideologi tertentu, diatur oleh struktur tertentu, dan hampir dipastikan sulit mencari ruang dialektika di tubuh KAMMI. Pokok persoalannya adalah, banyak pengurus KAMMI di berbagai daerah yang cenderung konservatif dan tidak egaliter dalam memperlakukan kader-kadernya yang agak “bandel”.

Saya menyebut KAMMI Kultural sebagai “upaya memenangkan kekuasaan pada tingkat berpikir kader”. Ia tentu saja bukan sekedar alat politik yang tujuannya hanya bersifat pragmatis, yaitu untuk berkuasa; KAMMI Kultural ingin menciptakan kader-kader intelektual yang progresif. Kita tentu pernah mengingat sosok Al-Farabi. Ia adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang hari untuk tuannya.

Page 6: Ats tsabat ed 5 09 13

6 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

Akan tetapi, tapi kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai penguasa di jagad pemikiran dan dirinya dalam hidupnya.

Sejak usia baligh, ia hanya tidak menulis saat dua hari –yaitu saat malam pertama menikah dan saat Ayahnya meninggal. Selain dua hari itu, Al-Farabi menulis sampai akhir hayatnya. Wajar jika Muhammad Natsir dalam “Capita Selecta” menyebut Al-Farabi sebagai “Penguasa di jagad Ruh kendati menjadi budak di jagad materi”.

Begitulah saya menafsirkan gerakan kultural sebagai sebuah gerakan ‘kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI untukmemberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempatiposisi/jabatan struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.

Pada titik inilah KAMMI Kultural berupaya memberi ruang adil agar kader-kader KAMMI di struktur yang lebih tinggi dapat mengakomodir dan mengakui proses tumbuhnya ilmu di tubuh KAMMI sampai di tingkat komisariat.

Menghadirkan “Yang Lain” dari KAMMI

KAMMI Kultural juga berupaya mengajak alumni-alumni yang selama ini menghilang dari sejarah gerakan akibat tidak aktif di struktur partai tertentu. Alumni KAMMI yang selama ini aktif di dunia luar –pendidikan, akademisi, ekonomi, Bbdaya, dan lainnya— yang bukan partai politik (baca: PKS), hampir dipastikan tidak dihadirkan sebagai alumni yang cemerlang. Mereka tidak dipandang layaknya alumni yang menempati jabatan politik di partai tingkat nasional hingga daerah. KAMMI Kultural kemudian mulai mengakomodasi mereka-mereka yang menghilang dari sejarah gerakan masa-masa awal KAMMI.

Sejak sarasehan Yogyakarta dan Jakarta, mereka-meraka yang menghilang dihadirkan untuk berbicara tentang KAMMI. Bisa disebut beberapa tokoh: Haryo Setyoko (SekjenPertama KAMMI) yang lebih dari 12 tahun tidak pernah berbicara tentang KAMMI, Mu’tamar Ma’ruf –salah satu pencetus “paradigma gerakan” KAMMI, serta banyakalumni lainnya yang dianggap keluar dari barisan tarbiyah dan tokoh

Page 7: Ats tsabat ed 5 09 13

7 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

alumni lainnya.Kami merasa ketidakadilan itu mencolok bahwa alumni yang dihargai adalah mereka yang di struktur politik bahkan khusus partai tertentu dalam definisi partai yang menjadi panglima dakwah khususnya di Indonesia.

Kritik berlanjut tentang “Tarbiyah” yang seharusnya sebagai payung bersama. Uraian tentang ‘kritik epistemologis atas Tarbiyah tidak dapat saya lakukan di tulisan sederhana ini –mengingat keterbatasan tempat. Akan tetapi, pada hematnya, KAMMI Kultural adalah sebuah kesadaran bersama kader-kader yang ingin memperbaiki gerakan KAMMI dengan cara memperbaiki proses cara berfikir tanpa ada hegemoni dari struktur tertentu.

Jika struktur politik dianggap sebagai panglima dakwah dan menjadi payung bersama bagi gerakan dakwah, maka posisi politik ini bukanlah dakwah yang syumul(menyeluruh). Yang terjadi sebenarnya adalah hegemoni peran dakwah oleh struktur politik sehingga ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dll.) sedang diatur oleh dakwah politik yang bisa melegitimasi kebenaran dakwah atas nama “jamaah’.

Sekarang, kita masih mendapati mereka yang melakukan kritik atas dakwah politik yang melenceng –korupsi, bermewah-mewah, dan lainnya—dianggap tidak pahammanhaj atau bahkan dianggap murtad dari gerakan dakwah versi “tarbiyah Indonesia”(Sekali lagi. versi “tarbiyah Indonesia”).

KAMMI Kultural adalah gerakan yang ingin bergerak beyond hal tersebut. Di GerakanKultural, kami memimpikan sesuatu yang lebih. Setidaknya Tarbiyah juga ada untukuntuk para pengamat politik, ekonom, gerakan mahasiswa sehingga mereka mandiri tanpa takut mengkritik saudara mereka yang keblabasan di tingkat parlemen. Gerakan ini adalah gerakan kembali pada hakikat kultural yaitu melepaskan sejenak ikatan-ikatan struktur yang sering menjajah dan melegitimasi kebenaran struktur tertentu melalui kekuasaan yang ia tajamkan di tubuh gerakan.

KAMMI Kultural berupaya memberi ruang kepada alumni KAMMI yang tidak di partai politik untuk memberi sumbangsih pemikiran kembali. Dengan harapan, ada mekanisme terarah untuk KAMMI agar bias bergerak merata di semua lini dan bergerak secara strategis lebih baik di masa depan. Sehingga, ketika terjadi perdebatan tentang tafsir Paradigma Gerakan, pengelolaan anggaran KAMMI, Definisi Tarbiyah, Ideologi KAMMI dan lain sebagainya, maka kader diberikan ruang untuk berdebat secara intelektual. Perdebatan itu hendaknya tidak tersandera oleh sekat-sekat struktural.

Page 8: Ats tsabat ed 5 09 13

8 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

Penegasan KAMMI Kultural

KAMMI Kultural tidak berlalu begitu saja sampai di sini. KAMMI Kultural akan terus berusaha menghadirkan sisi egaliter dalm berbagai hal di tubuh KAMMI yang selama ini diselesaikan dengan cara-cara Top-down. KAMMI Kultural memberi kebebasan kepada kader untuk memberikan buah berfikir yang rasional, bergerak sadar untuk ummat --bukan golongan tertentu— serta dirasakan di masyarakat. KAMMI Kultural juga ingin menegaskan pada public bahwa KAMMI bukan gerakan “broker anggaran”yang jamak kita temui di mayoritas gerakan mahasiswa Indonesia pasca-reformasi.

KAMMI Kultural tidak akan berlalu begitu saja ketika sebagian pegiatnya ada di struktur KAMMI. KAMMI Kultural akan tetap ada bagi mereka-mereka yang sadar untuk memperluas gerakan dakwah tanpa kasta, terutama saat struktur politik sudahbergerak offside dari makna dakwah itu sendiri. KAMMI Kultural akan terus melaju!

Wallahu a’lam bish shawwab.

KAMMI DARI AKSI KE AKSI,

Datang dari Barat, Datang dari Timur

Aksi Solidaritas Mesir Pengurus Daerah KAMMI Papua dakwatuna.com – Jayapura. Gelombang protes mengutuk pembantaian rakyat sipil Mesir yang dilakukan oleh militer Mesir menggema di seantero dunia dan nusantara tak terkecuali dari Ujung Timur Indonesia tepatnya di Jayapura-Papua. Aksi solidaritas Peduli Mesir yang dilakukan oleh

Pengurus Daerah (PD) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Papua menggelar aksi nya di Lingkaran Traffic Light Abepura Jayapura pada hari selasa (20/08/2013) pukul 15.00-17.30 WIT. Aksi yang dimulai dari Masjid Assolihin Abepura

Page 9: Ats tsabat ed 5 09 13

9 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

kemudian long march menuju lingkaran Abe ini di ikuti kurang lebih 50 orang KAMMIers yang dibawa naungan PD KAMMI Papua.

“Pelanggaran HAK Azasi Manusia (HAM) sekaligus pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi terjadi di Mesir. Pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh Militer terhadap rakyat sipil yang melakukan demonstrasi damai menuntut pengembalian kekuasaan yang sah hasil proses demokrasi kepada Presiden DR. Muhammad Mursi yang sebelumnya di kudeta oleh militer Mesir. Akibat pembantaian yang dilakukan oleh militer bersenjata ribuan orang demonstran sipil tewas dan puluhan ribuan lainnya luka-luka. Pembantaian ini merupakan pelanggaran HAM terberat abad 21,” ujar Basri Koordinator Lapangan Aksi dalam orasinya.

Dalam aksi ini juga dibacakan Pernyataan Sikap yang disampaikan langsung oleh Ketua PD KAMMI Papua Andi Mangewai Latif, S.HI. Dikatakan bahwa Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Papua sebagai salah satu organisasi mahasiswa yang terdepan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan realitas tersebut menyatakan sikap;

1. Mengutuk pelanggaran HAM dan Demokrasi yang dilakukan oleh militer terhadap demonstran sipil tak bersenjata di Mesir

2. Mendesak Dewan Keamanan PBB dan Lembaga HAM Internasional untuk melakukan intervensi dalam rangka menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap rakyat sipil Mesir

3. Mengembalikan pemerintahan yang sah hasil proses demokrasi kepada DR. Muhamad Mursi 4. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk menarik Duta Besar Indonesia untuk Mesir sebagai bentuk protes

terhadap pelanggaran HAM dan Demokrasi yang dilakukan militer Mesir 5. Mengadili pelaku pelanggaran HAM dan Demokrasi di Mesir di Mahkamah Internasional. Aksi ini cukup menarik perhatian masyarakat yang melintas sore itu yang pada saat itu .pengguna kendaraan

ramai lancar. (www.dakwatuna.com)

KAMMI ACEH Salurkan Bantuan ke Gayo

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh menyalurkan langsung bantuan untuk korban bantuan gempa Gayo di Aceh Tengah pada tanggal 26 Juli 2013. Rombongan KAMMI Aceh datang bersama 10 orang relawan yang bertolak dari Banda Aceh menuju posko pengungsian korban Gempa yang berpusat di Simpang 4, Rajawali. Relawan yang

Page 10: Ats tsabat ed 5 09 13

10 Bulletin ATS-TSABAT Edisi 05/09.2013 :: Bulletin Jum’at Group KAMMI Lintas Generasi

menamakan diri dengan Relawan KRC (KAMMI Reaksi Cepat) KAMMI Aceh berada di tempat pengungsian korban gempa, Simpang 4, Rajawali, Bener Meriah selama 5 hari dari tanggal 23 Juli sampai 27 Juli 2013.

Adapun beberapa program yang dilaksanakan selama disana yaitu pembangunan sekolah darurat bekerja sama dengan PKPU Aceh berlokasi di desa Ratewali. Sekolah yang dibantu adalah MIN Ratewali yang hancur total karena gempa. Selain itu, di titik simpang empat rajawali, relawan melakukan kegiatan bersifat mental spiritual dan motivasi. Kegiatan tersebut berupa trauma healing untuk anakanak, lomba mewarnai dan menggambar, lomba menulis puisi untuk ibu, buka puasa bersama serta kajian islam dan tahsin Alquran untuk ibu-ibu pengungsi. Relawan KRC juga membantu membangun rumah untuk korban yang rumahnya hancur total. Kegiatan ini dilakukan di titik desa Cekal, Kab. Bener Meriah.

Sedangkan bantuan yang disalurkan ke masing-masing titik pengungsian seperti Cekal, Ratewali, dan Blang Mancong yaitu berupa keperluan alat sekolah untuk anak-anak, perlengkapan shalat, serta uang. Agus Fajri, selaku Ketua Sosmas PW KAMMI Aceh mengungkapkan hadirnya Relawan KRC dari Banda Aceh ini merupakan wujud keinginan dan kepedulian langsung dari teman-teman KAMMI Aceh atas musibah yang dialami korban gempa. Kammi menyalurkan bantuan yang merupakan hasil dari penggalangan dana yang dilakukan oleh teman-teman KAMMI di Aceh dan KAMMI di seluruh Indonesia.

Bantuan ini juga berasa dari donatur baik itu secara kelembagaan atau individu yang menyumbangkan bantuan melalui KAMMI Aceh. Penyaluran ini merupakan penyaluran tahap kedua setelah sebelumnya dikirim melalui KRC KAMMI yang ada di Aceh tengah. Total dana yang sudah tersalurkan ke lokasi mulai dari hari pertama terjadinya musibah (03/07) senilai total 40 juta rupiah. Kedepan, KRC KAMMI Aceh menargetkan akan terus melakukan penggalangan bantuan hingga masa rekonstruksi selesai. Dalam menanggapi proses rekonstruksi yang belum siap ini, KRC Kammi juga memprogramkan desa Bah menjadi desa binaan KAMMI Komisariat Aceh tengah, sebagai tindakan tindak lanjut pasca gempa dan relokasi, sehingga kedepan masyarakat yang belum terbantu dan belum mandiri dapat segera ditindaklanjuti. (*) www.anabawia.com