ATRIBUT SENSORI DAN NARASI SEQUENCE PADA RUANG …
Transcript of ATRIBUT SENSORI DAN NARASI SEQUENCE PADA RUANG …
ATRIBUT SENSORI DAN NARASI SEQUENCE PADA RUANG GAME KOMPUTER
UNTUK TERAPI ANAK AUTIS
Khodijah Salimah
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424
E-mail : [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang anak autis yang mengalami permasalahan pada penerimaan dan
pemrosesan integrasi sensori. Permasalahan ini dapat di-treatment dengan penyesuaian pada
pengalaman sensori dan integrasinya melalui aspek arsitektural berupa penyesuaian atribut
sensori dan narasi sequence. Penanganan ini juga dapat dilakukan melalui game komputer.
Skripsi ini menganalisis game Rufus Goes to School dan keterkaitan aspek arsitektural tersebut
dengan ruang game. Atribut sensori visual hadir melalui representasi game komputer dengan
treatment sensori secara spesifik. Sedangkan narasi sequence diciptakan dari sifat yang muncul
dalam assigned qualities yaitu pengoperasian ruang game dan elemen game sebagai penanaman
adaptasi terhadap karakter repetitif dari anak autis.
Kata kunci : Anak autis, disfungsi integrasi sensori, atribut sensori, narasi sequence, representasi,
assigned qualities
Sensory Attributes and Naration Sequence in Space Game Narrative Therapy for Autistic
Children
Abstract
This thesis discusses the autistic child who had problems with sensory processing and
integration. This problem can be treated with sensory experience and integration with
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
architectural aspects such as adjustment of sensory attributes and narrative sequences. The
teratment can be conducted through computer games. This thesis analyzes the game Rufus Goes
to School by exploring the architectural aspects in the game space. Visual sensory attributes are
present through representation of computer games with sensory specific treatment. While the
narrative sequence is present in the characters that appear in the assigned qualities, namely the
operation of gaming space and elements of the game as a learning treatment for adaptation to
repetitive character of children with autism.
Keywords: Children with autism, sensory integration dysfunction, sensory attributes, narrative
sequences, representation, assigned qualities
Pendahuluan
Lingkungan membentuk pengalaman ruang yang dapat mempengaruhi respon dan perilaku
pengguna berdasarkan informasi sensori dari lingkungan tersebut yang akan diorganisasikan dan
diintegrasi oleh Sistem Saraf Pusat (SSP) manusia. Pengorganisasian berbagai input sensori ini,
dapat menghasilkan persepsi dalam membentuk pemahaman. Akan tetapi pada anak autis terjadi
disfungsi pada penerimaan dan pengintegrasian sensori ini (Ayres, 2005). Permasalahan
penerimaan sensori dan pengintegrasiannya pada penyandang autisme, dapat diperbaiki dengan
memfasilitasi pengalaman sensori secara spesifik dan adaptif (Kranowitz, 1998) yang dapat
melalui persepsi dan pengalaman ruang dengan atribut arsitektural didasarkan pada sensory
design matrix dan narasi dalam pengorganisasian ruang (Mostafa, 2008).
Seiring dengan perkembangan teknologi, pemulihan kondisi penyandang autisme juga
dikembangkan melalui media visual. Media visual ini tampil dalam bentuk game komputer yang
disesuaikan dengan isu permasalahan pada penyandang autisme. Game komputer
merepresentasikan lingkungan buatan dan narasi interaksi yang akan membantu anak autis
memahami dunia nyata (Jenkins, tanpa tanggal).
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Untuk itu, saya ingin mengetahui bagaimana konsep desain ruang di dalam game tersebut
berkaitan dengan ruang dan atribut sensori arsitektural dalam ruang nyata yang didasarkan pada
kondisi penyandang autisme.
Penanganan anak autis dapat didasarkan pada tiga hal yaitu melalui pendekatan persepsi,
teori perkembangan dan teori perilaku (Whitman & DeWitt, dalam Reeves 2012). Berdasarkan
uraian di atas pada karakteristik anak autis dalam merespon sensori dan melakukan repetisi,
untuk itu dalam skripsi ini penanganannya difokuskan pada aspek yang melibatkan persepsi
melalui ruang game.
Tinjauan Teoritis
2.1 Autisme dan Integrasi Sensori
a. Pemrosesan Sensori (Sensory Processing)
Anak autis mengalami disfungsi pada penerimaan sensori. Pada sensori visual, penerima
informasi dari lingkungan berupa cahaya, bayangan, warna, kontras, bentuk, dan pergerakan
(Malnar, 2004). Rangsangan visual juga terkait pada kemampuan visual mengenali dan
mencocokan bentuk, huruf ataupun susunan potongan gambar. Rangsangan ini memberi
informasi untuk diproses sebagai bahan pertimbangan menentukan dan memilih hal yang penting
dan tidak penting untuk dilihat, yang selanjutnya akan membentuk respon reaksi dan perilaku
(Dodd, 2005). Dalam melihat, manusia memahami dua kemungkinan visual, yaitu sebagai
elemen positif yang dikenal sebagai figure dan elemen negatif yang dikenal sebagai background.
Gangguan visual ini menyebabkan anak autis tidak bisa membedakan figure dan background
sehingga kesulitan untuk fokus pada figure dan mudah terditraksi dengan background (Dodd,
2005). Respon terhadap sensori pada anak autis juga dapat menyebabkan kesalahan dalam
merespon dan menampilkan perilaku (Kranowitz, 1998). Kesalahan tampilan perilaku dapat
terjadi dalam tiga kondisi, yaitu hipersensitif, hiposensitif maupun keduanya (Krawnowitz,
1998).
Penanganan gejala autis ini perlu diwadahi dalam pengaturan penerimaan sensori secara
spesifik yang disesuaikan dengan kebutuhan anak autis. Selain disfungsi pada penerimaan
sensori, disfungsi juga terjadi pada integrasi antar tiap-tiap sensori tersebut. Disfungsi ini terjadi
saat pengolahan masukan berbagai sensori di dalam Sistem Saraf Pusat (SSP).
b. Pengintegrasian Sensori (Sensory Integration)
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Pengolahan informasi dari sensori ini di proses dalam SSP yang terdiri dari empat proses,
yaitu modulasi, inhibisi, habituasi, dan fasilitasi. Ke empat proses ini menjadikan individu dapat
beradaptasi dengan lingkungannya. Proses ini membuat individu mampu berpindah dari suatu
keadaan ke keadaan lain. Akan tetapi, anak autis mengalami kegagalan dalam sistem pengolahan
informasi tersebut (Kranowitz, 1998). Penanganan gejala autis ini dapat dilakukan melalui
pendekatan adaptasi perubahan. Penanganannya berupa proses membangun pemahaman akan
sequence aktivitas harian secara bertahap dan beradaptasi pada perubahan.
2.2 Ruang untuk Autisme
2.2.1 Atribut Sensori dalam Penanganan Anak Autis
Penanganan masalah pada aspek sensori salah satunya melalui pengaturan lingkungan.
Lingkungan ini disesuaikan dengan input sensori yang akan di-treatement. Hal ini akan
memudahkan anak autis memahami persepsi tiap sensori yang ada pada lingkungan (Ayres,
2005). Tujuan utamanya adalah membuat ligkungan yang membuat mereka fokus dalam
pembelajaran (Dodd, 2005). Menurut Winter (1997) atribut sensori visual terkait pemahaman
kualitas sensori ruang sebagai konsep visual thinking melalui pemahaman konsep-konsep dari
warna, bentuk, dan jarak dalam arsitektur. Konsep pemahaman warna akan memberikan stimuli
maupun penegasan melalui pengaturan kontras. Kontras juga menjadi batas (outline shape and
plane) dalam memahami relasi keterhubungan antara plane (background) dan obyek. Dalam
memproses warna, arsitektur digunakan untuk memahami keterkaitan antar bagian bangunan. .
Pada penggunaan warna, warna dasar sebagai background dan warna stimulus sebagai figure
yang sebagai treatement secara bertahap (Dodd, 2005). Warna dasar sebagai warna netral untuk
mengurangi stimulus.
Konsep pemahaman bentuk terkait geometri dalam membentuk form arsitektur. Bentuk
memberikan identitas complexity maupun simplicity terkait pada detail form tersebut complexity
dan simplicity hadir dalam plainless. Pengurangannya dapat membantu anak autis untuk lebih
fokus (Humprey, 2008). Jarak memberi pemahaman batas visual dalam mengolah part dan
whole dalam menciptakan ruang. Sedangkan, sensori visual pada pencahayaan bertujuan untuk
menghindari silau dan silhouetting agar tidak terjadi over stimulus pada visual.
2.2.2 Narasi Sequence dalam Penanganan Anak Autis
Anak autis memiliki masalah pada perubahan. Hal ini disebabkan permasalahan pada visual
discrimination yang menyebabkan anak autis tidak dapat membedakan persamaan dan perbedaan
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
pada pergantian kondisi aktivitas (Dodd, 2005). Penanganannya dapat melalui pemberian
pemahaman persepsi akan urutan atau langkah-lagkah peristiwa kegiatan rutinitas
(Southerington, 2007). Untuk itu ruang yang dirancang perlu didasarkan pada identitas
aktivitasnya, sehingga dapat membantu anak autis memprediksi aktivitas yang terjadi dalam tiap
ruang tersebut yang disebut compartmentalization (Mostafa, 2008). Compartmentalization ruang
sendiri adalah ruang yang mengakomodasi mono-functional activities (aktivitas tunggal) yang
memiliki sensori yang spesifik (Mostafa, 2008).
Selain itu permasalahan perubahan juga disebabkan akibat mengalami gangguan pada dalam
visual tracking yaitu kemampuan memori visual dalam mengkoleksi dan mengembalikan
informasi visual pada setiap seri ruang (Dodd, 2005). Hal ini menyebabkan anak autis
mengalami kesulitan untuk memahami keberadaannya di dalam ruang maupun memahami fungsi
ruang (Ayres, 2005).
Berdasarkan hal ini, perlu pengorganisasian tiap seri ruang yang ada (sequence spatial atau
order) sehingga dapat membantu anak autis menavigasi ruang dan memprediksi ruang beserta
fungsinya (Mostafa, 2008). Hal ini dapat dicapai melalui tata letak organisasi ruang yang dapat
membantu anak autis untuk menavigasi bangunan tanpa mengalami kebingungan, sehingga dapat
memprediksi dari satu tempat ke tempat lain (Humprey, 2008).
Antar identitas ruang tersebut terjadi perubahan zona secara halus melalui zona transisi.
Zona ini berfungsi sebagai ruang untuk penyesuaian atau mengkalibrasi ulang sensori yang
diterima sebelum memasuki zona sensori maupun zona aktivitas yang berbeda (Mostafa, 2008).
Zona transisi juga sebagai pusat dalam memberikan navigasi pada tata letak ruang.
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Gambar 2.1 Diagram Keterkaitan Integrasi sensori dan Ruang
Dalam hal ini game mencoba hadir dalam pemahaman terhadap input sensori visual.
Informasi sensori visual pada ruang fisik diubah menjadi sebuah representasi ruang dalam game.
Representasi ini mempengaruhi pemain game memahami dan mengalami ruang berdasarkan
input sensori visual (McGregor, 2002).
2.3 Ruang Game sebagai Media Terapi untuk Anak Autis
2.3.1 Game sebagai Media Belajar
Game terapi ini menciptakan lingkungan sintetis bagi pengguna yang disimulasikan oleh
komputer (Strickland, 1998). Game merupakan suatu bentuk media penanganan individu bagi
anak autis (Strickland, 1998). Game memiliki pengaruh dalam menanamkan persepsi melalui
simulasi dalam game yang diberikan secara berulang dengan kondisi yang konstan dan
terprogram (Swink, 2009). Persepsi ini akan menjadi dasar kemampuan anak autis dalam
memahami sesuatu (Ponty, dalam Swink 2009).
2.3.2 Narasi dalam Game
Keterlibatan antara ruang game dan pemain menyebabkan ruang dalam game memberikan narasi
karena dapat membuat pemain merasakan terlibat dalam ruang tersebut (Jenkins, tanpa tanggal).
Game terkait pada narasi dari rules yaitu bentuk bagaimana interaktivitas yang diciptakan game
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
pada pemain (Adam, dalam Jenkins, tanpa tanggal). Narasi ini bertujuan memberikan
pengalaman ruang dalam game bagi pemain berdasarkan pada tujuan game tersebut.
2.3.4 Mengalami Ruang dalam Game
Ruang game merupakan simulasi dari dunia nyata dengan berbagai kriteria. Kriteria ini dibentuk
melalui units of game space yang terdiri dari representasi, assigned qualities, player agency dan
interpretasi (McGregor, 2009).
Gambar 2.2 Mekanisme keterkaitan ruang game dan ruang nyata
Sumber : Olahan pribadi
Atribut sensori yang digunakan dalam game terkait presentasi visual dari ruang game.
Presentasi visual ini berkaitan dengan karakter elemen-elemen yang ada pada game yang tercipta
dai representasi visual game. Karakter elemen game ini, pengoperasiannya akan memberikan
tanda pada elemen-elemen (assigned qualities) yang akan memberikan narasi interaksi antara
pemain dengan ruang game (player agency). Karakter elemen game ini juga membantu dalam
pengoperasian presentasi visual sehingga membentuk pemahaman visual tracking dan visul
discrimination dalam memahami perubahan.
Analisis Studi Kasus
Studi kasus dilakukan untuk mengetahui aspek-aspek arsitektural yang diterapkan dalam
ruang game serta keterkaitan antara aspek-aspek tersebut dengan kondisi anak autis. Pembahasan
ini difokuskan pada ruang game terapi bagi anak autis dengan pada rentang usia 7-12 Tahun
yaitu Game Rufus Goes to School. Game ini menampilkan kegiatan anak ketika pergi ke
sekolah. Di dalam game ini terdapat empat event berdasarkan lokasi kegiatan yaitu rumah,
sekolah, taman bermain, toko. Permainan Rufus Goes To School memperlihatkan dua pandangan
arsitektur dalam ruang game, yaitu arsitektur sebagai space yaitu ruang yang bisa dirasakan dari
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
dalam dan arsitektur sebagai objek, yaitu simbol event kegiatan. Arsitektur sebagai objek
direpresentasikan saat tampilan dalam map sebagai pemahaman pemain akan event keseluruhan
dan merasakan ruang terdapat pada setiap event yang ada didalam game. Berikut mekanisme
yang ada pada game :
Gambar 3.1 Mekanisme narasi game
Sumber : Olahan pribadi
3.1 Analisis Atribut Sensori
Di dalam game Rufus Goes to School terdapat atribut sensori pada representasi ruang game
pada tiap place event.
a. Representasi Place event Rumah
Gambar 3.2 Representasi Event di Rumah Sumber : Olahan pribadi
Representasi video pada place event dari rumah ke perjalanan merepresentasikan waktu
kegiatan. Hal ini untuk menanamkan kepada anak dengan autisme waktu kegiatan dan sequence
aktivitas keseharian (Southerington, 2007). Di dalam ruang realita transition card membantu
pemahaman jadwal pada sequence aktivitas harian.
a. Representasi Place Event Sekolah
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Gambar 3.3 Representasi ruang kelas di sekolah
Sumber : Olahan pribadi
Event di sekolah direpreentasikan dalam ruang individual workstation. Di dalam ruang
terdapat penyederhanaan dari detail pada background yaitu syarat bare wall pada dinding yang
tidak memiliki elemen dekorasi. Hal ini membuat anak autis sebagai pemain dapat fokus pada
elemen yang distimulus (Humprey, 2008). Individual workstation memiliki batas visual untuk
mencapai fokus. Fokus membantu anak autisme dalam pembelajaran yang disediakan (Dodd,
2005).
b. Representasi Place Event Taman
Taman bermain merepresentasikan interaksi sosial dalam pengunaan elemen taman.
Permainan juga menjadi elemen dalam game. Terdapat tiga elemen permainan swing, monkey
bars dan slape di taman. Background langit dan tanah menggunakan warna tenang berdasarkan
GAA, warna biru memberikan emosi tenang (Southerington, 2007) karena bukan main attraction
dari stimulus yang akan dihadirkan.
c. Representasi Place event Toko
Gambar 3.4 Representasi Taman Bermain Sumber : Olahan pribadi
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Place event toko divisualisasikan dengan arsitektur sebagai objek dimana simbol toko
didukung dari visual support makanan dan minuman yang bisa didapat di tempat ini. Visual
support menggunakan warna merah sebagai stimulus (Southerington, 2007). 3.2 Analisis Narasi
Sequence
Di dalam game Rufus Goes to School terdapat asigned qualities pada operasi ruang game dan
pada operasi elemen game.
a. Asigned Qualities pada Operasi Ruang Game
Di dalam game Rufus Goes to School terdapat pengaturan compartmentalization yang
ditunjukan oleh empat place event sesuai tujuan aktivitasnya yaitu rumah, sekolah, tempat snack,
dan taman bermain. Empat place event ini di layout dengan pola sirkular.
Berdasarkan teori layout sirkular guna memperjelas posisi center sebagai fokus dan event
ditempatkan sirkular agar mudah dipahami dan mudah diprediksi. Dalam arsitektur di dunia
nyata ruang disusun sirkular dengan pusat sebagai titik observasi guna mempermudah anak
melihat seluruh event dari ruang secara keseluruhan (Southerington, 2007). Tata letak organisasi
ruang membantu anak dalam menavigasi (Humprey, 2008) dan membentuk map dalam
pemahaman ruang (Ayres, 2005) . Sama halnya membuat plan ruang pada sekolah witthon
school yang menjadikan ruang transisi sebagai pusat dari pengorganisasian ruang. Ruang yang
hadir dalam map ini disebut zona transisi melalui pengaturan guna mengalibrasi atau mengatur
Gambar 3.5 Representasi Taman Bermain Sumber : Olahan pribadi
Gambar 3.6 Operasi Ruang Game Rufus Goes to School Sumber : Olahan pribadi
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
ulang indera mereka dari suatu sensor di kegiatan sebelumnya untuk menerima sensor di
kegiatan selanjutnya. Zona transisi menggunakan map untuk menavigasi keseluruhan ruang.
Layout pada game dengan menjadikan poin sentral mempermudah pemain membagi dan
memprediksi keempat event permainan tersebut. Pusat persimpangan sebagai point of view setiap
perpindahan event.
Selain pada layout, game juga memiliki rules pada elemen game. Rules pada elemen game ini
merupakan assigned qualities mengaktifkan peristiwa naratif dalam game. Elemen merupakan
bagian yang telah dikodekan untuk memungkinkan tindakan pemain (player agency) yang
bergantung pada kualitas elemen game.
b. Asigned Qualities pada Operasi Elemen Game dalam tiap Place Event
Gambar 3.8 Operasi elemen game dalam tiap place event
Sumber : Olahan pribadi
Gambar 3.7 Transisi sebagai pusat navigasi ruang pada ruang realita dan game Sumber : Olahan pribadi
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Pada place event rumah hingga perjalanan menuju sekolah ditampilkan berupa video dimana
terdapat dua hari kejadian. Disini mobil sebagai elemen dalam ruang game merubah kondisi
perjalanan. Hari pertama ke sekolah menggunakan mobil, tapi hari kedua karena kerusakan
mobil maka harus mengganti kendaraan menggunakan bus untuk ke sekolah. Narasi ini dibuat
guna memperkenalkan perubahan pada pemain.
Elemen dalam game ini pada tiap event, memiliki rules satu kali penggunaan. Hal ini
memberi narasi perubahan bagi anak dengan autisme untuk tidak pada satu kondisi aktivitas.
Ketika pemain berhasil memilih permainan lain, pemain akan mendapatkan reward.
Gambar 3.9 Diagram aspek-aspek desain dalam game Rufus Goes To School berdasarkan
karakter anak autis
Sumber : Olahan pribadi
Berdsarkan analisis game diatas, atribut sensori di dalam game ini didesain untuk
menciptakan lingkungan yang konstan dan terprogram yang memungkinkan anak autis
memproses sensori secara spesifik. Atribut sensori pada map direpresentasikan melalui
pengurangan detail lingkungan. Detail lingkungan sepanjang jalan ditiadakan selain empat event
yang dituju sehingga memudahkan anak membaca path sebagai navigasi atau penanda
pergerakan dari tempat-tempat yang berbeda. Setiap place event direpresentasikan dalam map
secara compartmentalization. Sedangkan atribut sensori dari tiap place event dirancang agar
memudahkan anak autis memproses sensori visual secara tunggal melalui penggunaan
background dengan warna dan detail netral dan figure sebagai elemen yang distimulus. Hal ini
agar anak dapat fokus bereaksi sesuai dengan sensori yang menjadi sasaran treatement.
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Meskipun pada kenyataannya penggunaan warna stimulus pada visual support seharusnya
langsung pada objek game karena game sudah hadir sebagai visual suport sehngga tidak
memerlukan elemen visual suport lagi dalam game.
Sedangkan narasi sequence pada Rufus Goes to School terlihat pada pengoperasian game
(assigned qualities) dalam menjalankan event dari game. Operasi pada narasi sequence terdapat
pada perpindahan antar event dan operasi pada tiap event tersebut. Narasi sequence pada
perpindahan antar event ditemui pada operasi pada map. Setiap kali terjadi perpindah event,
dimunculkan map sehingga berfungsi menjaga pemahaman anak autis terhadap keseluruhan
event yang ada. Map memudahkan anak autis mengidentifikasi event yang akan terjadi
berikutnya saat mengalami perpindahan event. Di dalam map terdapat karakter pada layout event
yaitu layout terprediksi dan mudah dipahami. Selain itu, map menjadikan pusat persimpangan
sebagai navigasi dalam memahami kesadaran posisi dalam arsitektur nyata ini terdpat pada ruang
sirkuasi yang memudahkan anak menavigasi keseluruhan ruang. Sedangkan narasi sequence
pada tiap event terdapat pada assigned qualities pada rules dalam penggunan elemen game.
Kesimpulan
Atribut sensori visual hadir dalam representasi elemen dan ruang game beserta
karakternya. Game ini menghadirkan treatement sensori secara spesifik melalui atribut sensori
visual. Pengolahan stimulus sensori pada game memerikan kualitas desain ruang yang
dibutuhkan yaitu memiliki pengaturan resting place atau zona netral untuk membantu anak autis
mengolah stiulus secara bertahap. Sedangkan narasi sequence, terdapat dalam
mengorganisasikan ruang (sequence event) maupun narasi operasi elemen game dalam tiap
event. Sequence event membantu anak autis dalam memahami organisasi ruang (place event)
game yang membantu anak untuk memprediksi ruang serta sequence aktivitasnya melalui map.
Map dalam game hadir sebagai transisi. Transisi ini hadir bukan berupa ruang, tetapi kehadiran
map dalam kualitas desain menjadikan transisi penting dalam memahami keseluruhan
pengorganisasian (order) yang akan digunakan sebagi kualitas desain ruang secara fisik. Narasi
keseluruhan game bertujuan menanamkan adaptasi pada perubahan.
Berdasarkan atribut sensori dan narasi sequence, game Rufus Goes to School ini
menciptakan ruang terapi berdasarkan sensori visual yang disesuaikan dengan kriteria anak autis.
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Meskipun didalam game tersebut ruang tidak di definisikan secara langsung, tetapi secara konsep
hadir dalam kualitas desain.
Daftar Pustaka
Adam, Ernest. 2002. The role of architecture in video vames. Diunduh dari
http://www.designersnotebook.com/Columns/047_The_Role_of_Architecture/047_the_rol
e_of_architecture.htm pada 10 April 2016
Assirelli, Maria Luigia. Tanpa tanggal. Designing environments for children and adults with
ASD diunduh dari http://www.autism-architects.com/wp-
content/uploads/downloads/2012/06/MLA-Presentation-November-2010-low-res-pdf.pdf
pada 5 April 2016
Ayres, A. Jean, Jeff Robbins. 2005. Sensory integration and the child: Understanding hidden
sensory challenges
Cohen, Donald J, dkk. 1997. Handbook of autism and disorder pervasive developmental
disorder. USA : John Willey & Sons, Inc
Dodd, Susan. 2005. Understanding autism. Australia : Elsevier
Humphrey, S (2005) Autism and architecture autism london bulletin diunduh dari
http://autismlondon.org.uk/pdf-files/bulletin_feb-mar_2005.pdf pada17 Mei 2015 diunduh
pada 20 Maret 2016
Jenkins, Henry. (Tanpa tanggal). Game design as narrative architecture diunduh dari
http://interactive.usc.edu/blog-old/wp-
content/uploads/2011/01/Jenkins_Narrative_Architecture.pdf pada 10 April 2016
Kranowitz, Carol Stock. 1998. The out-of-sync child: recognizing and coping with sensory
integration dysfunction. New York, NY: The Berkley Publishing Group
Malnar, Joy Monice. 2004. Sensory design. minepolis : University of Minnesota
Mostafa, Magda. 2014. ARCHITECTURE FOR AUTISM: Autism ASPECTSS™ in School
Design diunduh dari Archnet-IJAR, Volume 8 - Issue 1 - March 2014 - (143-158) –pada 6
April 2016
Masykouri, Alzena. 2002. Sensory integration (Penerapan Teknik Terapi Sensory Integration
pada Kasus attentiondeficithippereractive Disorder). Depok : Departemen Psikologi
Universitas Indonesia
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016
Mcgregor, Georgia Leigh. 2009. Game space. University of New South Wales Sydney, Australia
Mcgregor, Georgia Leigh. 2007. Situations of play: patterns of spatial use in videogames.
University of New South Wales Sydney, Australia diunduh dari http://www.digra.org/wp-
content/uploads/digital-library/07312.05363.pdf pada 12 April 2016
Psarra, Sophia. 2009. Intoduction architecture and narrative. New Zealand : Pindar NZ
Reeves, Helen. 2012 Human perception and the built environment: A proposed autism life
learning centre for durban diunduh dari
http://researchspace.ukzn.ac.za/xmlui/bitstream/handle/10413/9896/Reeves_Helen_2012.p
df?Sequence=2 pada 3 April 2016
Schell, Jesse. 2008. The art of game design. USA : Morgan Kaufmann
Scott, Iain. 2009. Designing learning spaces for children on the autism spectrum diunduh dari
http://www.aettraininghubs.org.uk/wp-content/uploads/2012/05/37.3-Scott-article-4-
designs.pdf pada 2 April 2016
Southerington, 2005. Specialized environtments :perceptual experience as generator form
diunduh dari
https://etd.ohiolink.edu/pg_10?0::NO:10:P10_ACCESSION_NUM:ucin1179164236 pada
7 April 2016
Strickland, Dorothy. 1998. Virtual reality for the treatement of autism. USA : Departement of
Computer Scince diunduh dari
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?Doi=10.1.1.217.4122&rep=rep1&type=pdf
pada 19 April 2016
Swink, Steve. 2009. Game Ffel : a game designer’s guide to virtual sensation. USA : Morgam
Kauffman
Tuan, Yi Fu. 2001. Space and place the perspective of experience (8th ed). Minepolos :
University of Minnesota Press.
Whitehurst, Teresa. 2006. The impact of building design on children with autistic spectrum
disorder http://www.autism-architects.com/wp-content/uploads/downloads/2012/06/Teresa-
Whitehurst-Impact-of-Building-Design.-Good-Autism-Practice-2009.pdf pada 11 April
2016
Winters, Nathan B..1997. Architecture is elementary. USA : Utah Heritage Foundation
Atribut sensori ..., Khodijah Salimah, FT UI, 2016