Atresia Ani

28
1. DEFINISI Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001). Atresia berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan

Transcript of Atresia Ani

1. DEFINISIAtresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).Atresia berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti.Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya

2. KLASIFIKASI Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada 6invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu :a. Tanpa anus tetapi dengan dekompensasi adekuat traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna.Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectogina atau rectofourchette yang relative besar, dimana fistula ini dibantu dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara waktu.b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar tinja.Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisadiklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi, yaitu :1) Anomali rendah / infralevator Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius. 2) Anomali intermediet Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal. 3) Anomali tinggi / supralevator Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

3. EPIDEMIOLOGIAngka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005)Angka kejadian penyakit atresia ani pada tahun 1990-1994 di RSUP dr. M. Jamil, Padang diperoleh 36 kasus , 25 (69.4 %) bayi laki-laki dan 11 (30,6%) bayi perempuan.

4. ETIOLOGIAtresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).Ada beberapa factor penyebab terjadinya atresia ani adalah:a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik. b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang duburc. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 buland. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.e. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani f. Berkaitan dengan sindrom down.g. Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti:1) Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe)2) Kelainan sistem pencernaan.3) Kelainan sistem pekemihan.4) Kelainan tulang belakang(Purwanto, 2001)

5. FAKTOR RESIKOAtresia ani merupakan suatu kelainan kongenital. Secara umum faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya kelainan kongenital antara lain :a. Pemakaian alkohol oleh ibu hamilPemakaian alkohol oleh ibu hamil bisa menyebabkan sindroma alkohol pada janin dan obat-obat tertentu yang diminum oleh ibu hamil juga bisa menyebakan kelainan bawaan.b. Penyakit Rh, terjadi jika ibu dan bayi memiliki faktor Rh yang berbeda.c. TeratogenikTeratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan.Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen.Secara umum, seorang wanita hamil sebaiknya: mengkonsultasikan dengan dokternya setiap obat yang dia minum berhenti merokok tidak mengkonsumsi alcohol tidak menjalani pemeriksaan rontgen kecuali jika sangat mendesak.d. Infeksi pada ibu hamil juga bisa merupakan teratogen. Beberapa infeksi selama kehamilan yang dapat menyebabkan sejumlah kelainan bawaan: Sindroma rubella kongenital ditandai dengan gangguan penglihatan atau pendengaran, kelainan jantung, keterbelakangan mental dan cerebral palsy Infeksi toksoplasmosis pada ibu hamil bisa menyebabkan infeksi mata yang bisa berakibat fatal, gangguan pendengaran, ketidakmampuan belajar, pembesaran hati atau limpa, keterbelakangan mental dan cerebral palsy Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi Penyakit ke-5 bisa menyebabkan sejenis anemia yang berbahaya, gagal jantung dan kematian janin Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.e. GiziMenjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen, tetapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik.Salah satu zat yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat.Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya. Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia hamil, maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat minimal sebanyak 400 mikrogram/hari.f. Faktor fisik pada RahimDi dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan pelindung terhadap cedera.Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan bawaan.Cairan ketuban yang terlalu sedikit bisa mempengaruhi pertumbuhan paru-paru dan anggota gerak tubuh atau bisa menunjukkan adanya kelainan ginjal yang memperlambat proses pembentukan air kemih.Penimbunan cairan ketuban terjadi jika janin mengalami gangguan menelan, yang bisa disebabkan oleh kelainan otak yang berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus).g. Faktor genetik dan kromosomGenetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan. Beberapa kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua orang tua.Gen adalah pembawa sifat individu yang terdapat di dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa terjadi kelainan bawaan.h. Semakin tua usia seorang wanita ketika hamil (terutama diatas 35 tahun) maka semakin besar kemungkinan terjadinya kelainan kromosom pada janin yang dikandungnya.

6. PATOFISIOLOGI (Terlampir)7. MANIFESTASI KLINISGejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24 48 jam. Gejala itu dapat berupa : a. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertamab. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula)c. Perut kembung. d. Muntah- muntah pada usia 24 48 jame. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009). Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akannampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejaladalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terusmenerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus denganatresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosaapabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.( Kessel D, 2011)Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatusmendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jikaatresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yangtinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental.Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampakadanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiranketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi denganpemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalamiobstruksi usus.( Kessel D, 2011)Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkandiagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yangjumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abudibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memilikimekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jampertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadigangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akanmengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit.Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarnaempedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.( Kessel D, 2011)Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik denganukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukurankurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguanpada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi inidisebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103 F,maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.( Kessel D, 2011)Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensiini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapattidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidaknampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yangdikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentarimenjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah harike tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usussehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresiaduodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.( Kessel D, 2011) Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewatiepigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadrankanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, makagelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.( Kessel D, 2011) Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah a. Kelainan kardiovaskuler.Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect. b. Kelainan gastrointestinal.Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%). c. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.d. Kelainan traktus genitourinarius.Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKUntuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus.Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan.Jika terdapat kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat masuk.Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.Pemeriksaan penunjang :a. Pemeriksaan radiologisPemeriksaan radiologis dapat ditemukani. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.ii. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.iii. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.b. Sinar X terhadap abdomenDilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.c. Ultrasound terhadap abdomenDigunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.d. CT ScanDigunakan untuk menentukan lesi.e. Pyelografi intra venaDigunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.f. Pemeriksaan fisik rectumKepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.g. Rontgenogram abdomen dan pelvisJuga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.h. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel meconium.i. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukkan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika meconium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm. Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.j. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.k. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.l. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong

9. PENATALAKSANAAN MEDISPenatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009). Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009). Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada: a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP). (atau berat BB > 10 kg)b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus. c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion. d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009). Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009). Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004). Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anusnormal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).

Teknik Operasia. Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.b. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple.c. Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm didepannya.d. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.e. Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah tampak dinding belakang rektum.f. Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.g. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.h. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.

Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-laki

Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama dengan bayi laki-laki.

Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus perempuan

AnoplastyPSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.3Penatalaksanaan Post-operatifPerawatan Pasca Operasi PSARPa. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila businasi nomor 13-14 mudah masuk.Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga.Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L., Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGCCarpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGCWong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGCojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/5343/4092Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis OfDuodenal Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. TheBritish Journal of Radiology.2011;66: 86-88Doenges, Marilynn (2010).Rencana Asuhan Keperawatan; pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien; Jakarta: EGCKartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82.Dorland.(1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC.Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi).Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.Long, Barbara. C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. USA: CV Mosby.Mansjoer, Arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.Hidayat, A. Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta : Salemba Medika. Anonim. 2011. Kolostomi. (online) http://www.respiratoryUSU.comMeliyana. 2010. Perawatan Kolostomi. (online) http://meliyana.student.umm.ac.id/2010/07/09/perawatan-kolostomi/