Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

21
Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Abses Regio Inguinalis BAB III PENDAHULUAN 1.1 Definisi Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat. 1.2 Penyebab / Faktor Predisposisi Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain: 1.Infeksi mikrobial Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi

Transcript of Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

Page 1: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Abses Regio Inguinalis

BAB III

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga

Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut Smeltzer,

S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai

dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC

(1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk

akibat kerusakan jaringan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal

merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat.

1.2 Penyebab / Faktor PredisposisiUnderwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain:1.Infeksi mikrobial

Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi

mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri

melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi

Page 2: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada

hubungannya dengan dinding sel.

2.Reaksi hipersentivitas

Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan

tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.

3.Agen fisik

Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik,

ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).

4.Bahan kimia iritan dan korosif

Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak

jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu, agen

penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung

mengakibatkan radang.

5.Nekrosis jaringan

Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya

pasokan oksigen dan makanan pada daerahbersangkutan, yang akan mengakibatkan

terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus

yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu

respons, radang akut.

1.3 Gambaran Klinik

Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan.

Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa manifestasi klinis pada Abses

meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses

(Lewis, S.M et al, 2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak,

terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar

luka, warna merahjelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil

atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).

1.4 Anatomi / Patologi

Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus

adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis.

Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan

lapisannya yang relatif tebal.

Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan

ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli,

pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa

fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan

bertindak sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk

folikel, rambut dan kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis

terdapat vena-vena besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar

getah bening regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi,

depoenergi (penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan

lapisan penggeser antara korium dan fasia tubuh).

Page 3: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh

darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran

darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti.

Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki

kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab.

Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan

kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang

berlebihan.

Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat

perubahan-perubahan berikut:

1.Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.

2.Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak

(akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau

pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)

3.Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama

dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis septal)

Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah subkutan dan

menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al, 1995: 256).

1.5 Patofisiologi

Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke

dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin.

Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik

yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan

endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila

perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya

reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan

dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus

yang kuat untuk terjadi infeksi.

Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu

penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang

terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai

daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas

terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood,

J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat

endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur

lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C, 1995:

647-648).

Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi

perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian

aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh

darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel,

sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya

Page 4: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

aliran darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas

vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel

darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan

penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler

yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan

akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa

mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan

merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus

terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya

edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan

fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.

Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama masih

ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka debris

akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila

trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan

terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang

lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan

reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan

jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase

organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan

melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan

berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang

merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan

(FKUI, 1989: 21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi

dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).

1.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari abses yaitu :

1.      Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang

mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni kemrahan

(rubor), panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi.

(http: //id.wikipedia.org/wiki/Abses)

2.      Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut

benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah

(pus).

(http//www.surabayapost.co.id)

3.      Gambaran Klinis

a.     Nyeri tekan

b.    Nyeri lokal

c.     Bengkak

d.    Kenaikan suhu

e.     Leukositosis

(Modifikasi: Smeltzer at aI, 2001 : 496. Levis, S Met al,200 : 1187,589)

Page 5: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

4.      Tanda-tanda infeksi

a.     Rubor ( kemerahan ).

b.    Kolor (panas) menggigil atau demam ( lebih dari 37,7° C ).

c.     Dolor ( nyeri ).

d.    Tumor ( bengkak ) terdapat pus ( rabas ) bau membusuk.

e.     Fungtio laesa.

1.7  Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:

1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang

paling efektif.

2.Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000 - 30.000)

mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.

3.  Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan acidosis,

perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal

4.Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit,

PT/PTT mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang diasosiasikan dengan iskemia

hati/sirkulasi toksin/status syok.

5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.

6.Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati

sebagai respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.

7.BUN/Kreatinin :Peningkatan kadar diasosiasikan dengan

dehidrasi,ketidakseimbangan/kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.

8.GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis respiratorik dan

metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.

9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel

darah merah.

10.Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di

dalam abdomen/organ pelvis.

11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang

menyerupai infak miokard.

(Doenges,2000:873)

1.8   Penatalaksanan

Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun

demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen atau

kuretase. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya,

utamanya apabila disebabkan oleh benda asing karena benda asing tersebut harus diambil.

Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil

absesnya, bersama dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan menggunakan

pembedahan biasanya diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang

keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak.

Page 6: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, antibiotik

antistafilokokus seperti flucloxacillin atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya

kemunculan stophylococcus aureus yang dapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut

menjadi tidak efekif.

Page 7: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

BAB IV

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ABSES R. INGUINALIS

4.1  Fokus Pengkajian

Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang terkena

1.        Aktifitas / istirahat

Gejala : Malaise

2.        Sirkulasi

Tanda  :    Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung

tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik); lemah/lembut/mudah

hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat

mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari asidosis/ketidakseimbangan elektrolit. Kulit

hangat, kering, bercahaya (vasodilatasi), pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).3.                  EliminasiGejala : Diare4.                  Makanan/cairanGejala    :    Anoreksia, mual, muntah.

Page 8: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

Tanda    :    Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi).

Penurunan haluaran, konsentrasi urine; perkembangan ke arah oliguria, anuria.

5.                  Neurosensori

Gejala    :    Sakit kepala, pusing, pingsan.

Tanda    :    Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma

6.                  Nyeri I/kenyamanan

Gejala    :    Kejang abdominal, lokalisasi nyeri/ketidaknyamanan, urtikaria, pruritus umum.

7.                  Pemafasan

Tanda    :    Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan kortikosteroid,

infeksi baru, penyakit viral.

Tanda    :    Suhu umumnya meningkat (37,95°C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia

mengganggu pasien, kadang sub normal (dibawah 36,5°C), menggigil, luka yang sulit/lama

sembuh, drainase purulen, lokalisasi eritema, ruam eritema makuler.

8.                  Sexualitas

Gejala    :    Perineal pruritus, baru saja menjalani kelahiran/aborsi

Tanda    :    Maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen.

9.                  Penyuluhan / pembelajaran

Gejala    :    Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal,

kecanduan alkohol. Riwayat splenektomi.  Baru saja menjalani operasi prosedur invasive, luka

traumatik.

10.              Pertimbangan : Menunjukan lama hari rawat 7,5 hari.

11.  Rencana pemulangan         :    Mungkin dibutuhkan bantuan dengan perawatan/alat dan

bahan untuk luka, perawatan, perawatan diri, dan tugas-tugas rumah tangga

Prioritas Keperawatan :

a.     Menghilangkan infeksi.

b.     Mendukung perfusi jaringan/volume sirkulasi.

c.     Mencegah komplikasi.

d.    Memberikan informasi mengenai proses penyakit, prognosa dan kebutuhan pengobatan.

(Doenges,2000:240)

4.2 Diagnosa Keperawatan

Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan antara lain :

1.         Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasif

2.         Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada

hipotalamus, perubahan regulasi temperatur.

3.         Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran

darah arteri dan vena.

4.         Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas /

kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).

5.          Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah.

Page 9: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

6.         Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan interpretasi

informasi.

7.         Nyeri berhubungan dengan regangan dan distorsi abses (kerusakanjaringan).

8.         Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan

neuromuskular).

9.         Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena

destruksi lapisan kulit.

( Doenges,2000:241 )

J.            Fokus Intervensi

Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :

1.    Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan dengan

prosedur invasif.

Tujuan                 : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.

Kriteria Hasil       : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.

( Doenges, 2000: 874)

No Intervensi Rasionalisasi

a.       Berikan isolasi / pantau pengunjung

sesuai indikasi.

b. Cuci tangan sebelum dan sesudah

melakukan aktifitas walaupun

menggunakan sarung tangan steril.

c.         Batasi penggunaan alat /

prosedur invasif jika memungkinkan.

d.        Lakukan inspeksi terhadap

luka / sisi alat invasif setiap hari,

berikan perhatian utama terhadap

jalur hiperalimentasi

e.         Gunakan teknik steril pada

waktu penggantian balutan

f.         Gunakan sarung tangan /

pakaian pada waktu merawat luka

yang terbuka/antisipasi dari kontak

langsung dengan sekresi ataupun

ekskresi.

b.       Isolasi luka / linen dan mencuci tangan

adalah yang dibutuhkan untuk

mengalirkan luka, sementara isolasi /

pembatasan pengunjung dibutuhkan

untuk melindungi pasien imunosupresi.

Mengurangi resiko kemungkinan infeksi.

b. Mengurangi kontaminasi silang.

c.       Mengurangi jumlah lokasi yang dapat

menjadi tempat masuk organisme.

d.      Memberikan gambaran untuk

identifikasi awal dari infeksi sekunder.

e.       Mencegah masuknya bakteri,

mengurangi resiko infeksi nosokomial.

f.       Mencegah penyebaran infeksi /

kontaminasi silang.

g.      Mengurangi area kotor / membatasi

penyebaran organisme melalui udara.

Page 10: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

g.        Buang balutan/bahan yang kotor

dalam kantung ganda

h.        Pantau kecenderungan suhu.

i.          Amati adanya menggigil dan

diaphoresis

j.        Memantau tanda - tanda

penyimpangan kondisi / kegagalan

untuk membaik  selama masa terapi.

k.        Inspeksi rongga mulut terhadap

sariawan. Selidiki laporan rasa gatal /

peradangan vaginal / perineal.

l.          Berikan obat anti infeksi sesuai

petunjuk.

m.      Bantu / siapkan insisi dan

drainase luka.

h.      Demam tinggi menunjukan efek

endotoksin pada hipotalamus dan

endorphin yang melepaskan pirogen.

Hipotermi adalah tanda-tanda genting

yang merefleksikan perkembangan status

syok / penurunan perfusi jaringan.

        Menggigil seringkali mendahului

memuncaknya suhu pada adanya infeksi

umum.

j.         Dapat menunjukan ketidak tepatan

terapi antibiotik atau pertumbuhan

berlebihan dari organisme resisten.

k.      Depresi sistem imun dan penggunaan

antibiotik dapat meningkatkan resiko

infeksi skunder; terutama ragi.

        Dapat membasmi / memberikan

imunitas sementara untuk infeksi umum

atau penyakit khusus.

m.    Memberikan kemudahan untuk

memindahkan material purulen / jaringan

nekrotik dan meningkatkan

penyembuhan.

2.   Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,

perubahan pada regulasi temperatur.

Tujuan               :    Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.

Kriteria Hasil     :    Tidak mengalami komplikasi berhubungan

Intervensi

 (Doenges,2000 : 874 )

No Intervensi Rasionalisasi

a.         Pantau suhu pasien (derajad dan

pola); perhatikan menggigil /

diaphoresis.

b.        Pantau suhu lingkungan,

a.        Suhu 38,9°C menunjukan proses

infeksius akut .Pola demam dapat

membantu dalam diagnosis.

b.        Suhu ruangan/jumlah selimut harus

Page 11: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

batasi/tambahkan linen tempat tidur,

sesual indikasi.

c.         Berikan kompres mandi hangat;

hindari penggunaan alcohol.

d.        Berikan antipiretik.

e.         Berikan selimut pendingin.

diubah untuk mempertahankan suhu

mendekati normal.

c.       Dapat mengurangi demam, alkohol

dapat mengeringkan kulit.

d.      Digunakan untuk mengurangi demam

dengan aksi sentralnya pada

hipotalamus.

e.       Digunakan untuk mengurangi demam

tinggi pada waktu terjadi

kerusakan/gangguan pada otak.

3.    Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah

arteri dan vena.

Tujuan               :    Menunjukan perfusi jaringan adekuat

Kriteria Hasil     :    Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat

kesadaran umum, haluaran urine individu yang sesuai dan bising usus aktif

Intervensi

No Intervensi Rasionalisasi

a.       Pertahankan tirah baring; bantu

dalam aktifitas dan perawatan.

b.      Pantau kecenderungan pada

tekanan darah, mencatat

perkembangan hipotensi, dan

perubahan pada tekanan denyut.

c.       Pantau frekuensi dan irama

jantung. Perhatikan disritmia.

d.      Perhatikan kualitas / kekuatan

dari denyut perifer.

e.       Kaji frekuensi pernafasan,

kedalaman, dan kualitas. Perhatikan

dispnea berat.

f.       Selidiki perubahan pada

sensorium.

a.       Menurunkan beban kerja miokard dan

konsumsi O2 memaksimalkan efektifitas

dari perfusi jaringan.

b.      Hipotensi akan berkembang bersamaan

dengan mikroorganisme menyerang aliran

darah.

c.       Disritmia jantung dapat terjadi sebagai

akibat dari hipoksia.

d.      Pada awal nadi cepat menunjukan

peningkatan curah jantung, nadi lemah

menunjukan penurunan curah jantung.

e.       Peningkatan pernafasan terjadi sebagai

respon terhadap efek langsung dari

endotoksin pada pusat pemafasan.

f.       Perubahan menunjukan penyimpangan

perfusi serebral, hipoksemia,dan atau

asidosis.

g.      Mekanisme kompensasi dari vasodilatasi.

Page 12: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

g.      Kaji kulit terhadap perubahan

warna, suhu, kelembaban.

h.      Catat haluaran urine dan berat

jenisnya.

         Auskultasi bising usus.

j.        Pantau pH gaster sesuai

petunjuk. Hematest sekresi gaster /

feses darah samar.

k.      Evaluasi kaki dan tangan bagian

bawah untuk pembengkaan jaringan

lokal, eritema, tanda Homan positif

l.        Pantau tanda-tanda perdarahan.

m.    Catat efek obat-obatan dan tanda-

tanda keracunan.

n.      Berikan cairan parenteral.

o.      Berikan obat-obatan steroid

sesuai petunjuk.

p.      Pantau pemeriksaan

laboratorium.

q.      Berikan suplemen O2

h.      Penurunan haluaran urine dan

peningkatan berat jenis akan

mengindikasikan penurunan perfusi

ginjal.

        Vasokonstrisi splaknik menurunkan

peristaltik dan dapat menimbulkan ileus

paralitik.

j.        Stress dari penyakit dan penggunaan

steroid meningkatkan resiko erosi /

perdarahan mukosa gaster.

k.      Stasis vena dan proses infeksi dapat

menyebabkan perkembangan thrombosis.

        Akselerasi pembekuan pada

mikrosirkulasi menciptakan situasi

perdarahan yang membahayakan jiwa /

emboli multiple

m.    Dosis antibiotik massif sering memiliki

efek toksik potensial bila perfusi hepar /

ginjal terganggu.

n.      Untuk mempertahankan perfusi

jaringan.

o.      Untuk menurunkan permiabilitas

kapiler

p.      Untuk mengetahui perkembangan

asidosis.

q.      Peningkatan suhu meningkatkan

metabolisme O2.

4.    Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan

permiabilitas/kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial.

Tujuan               :    Mempertahankan volume sirkulasi adekuat

Kreteria Hasil    :    Tanda vital dalam batas normal, nadi perifer teraba haluaran urine

adekuat.

No. Intervensi Rasional

a.        Catat haluaran urine dan berat a.       Keseimbangan cairan positif lanjut

Page 13: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

jenis. Catat keseimbangan masukan

dan keluaran komulatif. Dorong

masukan cairan oral sesuai toleransi.

b.      Pantau tekanan darah dan denyut

jantung, ukur CVP.

c.         Palpasi denyut perifer.

d.      Kaji membrane mukosa, turgor kulit

dan rasa haus.

e.       Amati edema dependen / perifer pada

saluran, skrotum, punggung kaki.

f.       Berikan cairan IV, misal kristaloid

(0,5%) sesuai indikasi.

g.      Pantau nilai laboratorium.

dengan disertai penambahan berat

badan dapat mengindikasikan edema

ruang ketiga,dan edema jaringan,

menunjukan perlunya mengubah

terapi/komponen pengganti

b.      Mekanisme kompensasi awal dari

takikardia untuk meningkatkan curah

jantung dan meningkatkan tekanan

darah sistemik.

c.       Denyut yang lemah, mudah hilang

dapat menyebabkan hipovolemi.

d.      Hipovolemi / cairan ruang ketiga

akan memperkuat tanda-tanda

hipovolemi.

e.       Kehilangan cairan dari kompartemen

vaskuler kedalam ruang interstisiil

akan menyebabkan edema.

f.       Menggantikan kehilangan dengan

maningkatkan permiabilitas kapiler

dan meningkatkan sumber-sumber tak

kasat mata.

g.      Mengevaluasi perubahan didalam

hidrasi/viskositas

darah.

.

 (Doenges, 2000 ; 878 - 879)

5.    Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan :

a.         Perubahan pada suplai O2, efek endotoksin pada pusat pemafasan

b.        Perubahan aliran darah

Tujuan               :            Pasien menunjukan GDA dan frekuensi pemafasan dalam batas normal

Kriteria Hasil     :            Bunyi nafas bersih dan sinar x dada jelas / membaik tidak mengalami

dispnea / sianosis

No. Intervensi Rasional

a.       Pertahankanjalan nafas paten

(Kepala lebih tinggi).

b.      Pantau frekuensi dan kedalaman

pemafasan, catat penggunaan otot

bernafas.

a.       Meningkatkan ekspansi paru, upaya

pemafasan.

b.      Hipoventilasi dan dipsnea

merefleksikan mekanisme kompensasi

yang tidak efektif dan merupakan

indikasi bahwa diperlukan ventilator.

c.       Kesulitan pernafasan dan munculnya

Page 14: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

c.       Auskultasi bunyi nafas.

d.      Catat munculnya  sianosis

`sirkumoral.

e.       Selidiki perubahan pada sensori.

f.       Sering ubah posisi. Dorong untuk

batuk dan latihan napas dalam.

g.      Patau GDA / nadi oksimetri.

h.      Berikan O2 tambahan melalui jalur

yang sesuai.

        Tinjau sinar X dada.

bunyi adventisius merupakan

indikator.

d.      Menunjukan oksigen sistemik tidak

adekuat/hipoksemia.

e.       Fungsi serebral sangat sensitif

terhadap penurunan oksigenasi.

f.       Untuk memaksimalkan pertukaran

gas.

g.      Pada waktu kondisi septic memburuk,

asidosis metabolik yang meningkat

untuk membangun asam laktat dan

metabolisme anaerob.

h.      Untuk mengoreksi hipoksemia dengan

menggagalkan asidosis respiratorik.

        Perubahan menunjukan

perkembangan dan komplikasi

pulmonal.

 (Doenges, 2000: 879 - 880)

6.    Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan

pengobatan bergubungan dengan :

a.         Kurangnya pemajanan / mengingat, kesalahan Interpretasi informasi

b.        Keterbatasan Kognitif

Ditandai

1)        Pertanyaan permintaan informasi,pernyataan salah konsepsi

2)        Ketidak akuratan mengikuti instruksi / perkembangan komplikasi yang dapat dicegah

Tujuan                 :    Menunjukkan pemahaman akan proses penyakit dan prognosis

Kreteria Hasil      :    Ikut serta dalam program pengobatan, memulai perubahan gaya hidup

yang diperlukan dengan dapat penunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan

rasional dan tindakan.

(Doenges, 2000 : 880 - 881)

No. Intervensi Rasional

a.       Tinjau proses penyakit dan

harapan masa depan.

b.      Tinjau faktor resiko individual

dan bentuk penularan tempat

masuk infeksi.

a.       Memberikan pengetahuan dasar

dimana pasien dapat membuat pilihan.

b.      Menyadari terhadap bagaimana

infeksi ditularkan akan memberikan

informasi untuk

merencanakan/melakukan tindakan

protektif.

Page 15: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

c.       Berikan informasi mengenai

terapi obat - obatan, efek samping

dan pentingnya ketaatan

pengobatan.

d.      Diskusikan kebutuhan input yang

tepat dan seimbang.

e.       Dorong periode istirahat adekuat

dan aktivitas terjadwal.

f.       Tinjau perlunya kesehatan pribadi

dan kebersihan lingkungan.

g.      Diskusikan penggunaan yang tepat

atau menghindari tampon sesuai

indikasi.

h.      Identifikasi tanda / gejala yang

membutuhkan evaluasi medis.

        Tekankan pentingnya imunisasi

profilaktik / terapi antibiotik sesuai

kebutuhan.

c.       Meningkatkan pemahaman dan

meningkatkan kerja sama dalam

penyembuhan/profilaksis, dan untuk

mengurangi resiko kambuhnya

komplikasi.

d.      Perlu untuk penyembuhan optimal

dan kesejahteraan umum.

e.       Mencegah kepenatan, penghematan

energi, dan meningkatkan

penyembuhan.

f.       Membantu pemajanan lingkungan

dengan mengurangi jumlah bakteri

patogen yang ada.

g.      Tampon superabsorbent /merupakan

resiko potensial bagi infeksi

stpahilococcus aureus (sindrom syok

toksik).

h.      Pengenalan dini dari perkembangan

infeksi akan memungkinkan intervensi

dan mengurangi resiko kearah situasi

yang membahayakan jiwa.

        Penggunaan pencegahan terhadap

infeksi.

.

 (Doenges, 2000 : 881)

7.      Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan

neuromuskular).

a. Gangguan neuromuskuler, nyeri/tidak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.

b. Terapi pembatasan, imobilisasi tungkai, kontraktur.

Ditandai:

a.         Menolak bergerak/tidak mampu bergerak sesuai tujuan rentang gerak terbatas,

penurunan kekuatan kontrol dan/atau masa otot.

Tujuan   :            Menyatakan dan menunjukan keinginan berpartisipasi dalam aktifitas.

Kriteria Hasil :

a. Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur.

b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi

tubuh.

c. Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan melakukan aktifitas.

No. Intervensi Rasional

Page 16: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

a.       Bantu klien dalam beraktifitas

bila tidak mampu.

b.      Tingkatkan aktifitas perawatan

diri pasien setiap saat.

c.       Berikan alternative dengan

periode yang cukup.

d.      Pantau rtespon terhadap aktifitas

a.       dengan membantu aktivitas yang di

perlukan pasien akan membantu

mengurangi resiko yang tidak di

inginkan.

b.      aktivitas dapat meningkat jika

memotivasi yang sesuai dengan kondisi

pasien.

c.       aktifitas dapat meningkatkan istirahat

yang untuk menurunkan kebutuhan

oksigen tubuh.

d.      meningkatkan kontrol terhadap situasi

 (Doenges,2000 : 738)

8.    Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

a. Trauma      :            Kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka

bakar dalam).

Ditandai   :            Tak ada jaringan hidup.

Tujuan               : Menunjukan regenerasi jaringan.

Kriteria Hasil     : Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka.

No. Intervensi Rasional

a.       Kaji/ ukuran, wama, kedalaman

luka , perhatikan jaringan

nekrotik dan kondisi sekitar luka.

b.      Berikan perawatan luka yang

tepat dan tindakan kontrol infeksi.

c.       Pertahankan penutupan luka

sesuai indikasi.

d.      Siapkan/bantu prosedur bedah.

a.       Memberikan informasi dasar tentang

kebutuhan penambahan kulit dan

kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi

pada area luka.

b.      Menurunkan resiko infeksi.

c.       Mencegah kontaminasi dengan agent

dan mencegah infeksi.

d.      Mempercepat penyembuhan abses.

 (Doenges, 2000: 653 )

9.    Nyeri berhubungan dengan

a.    Kerusakan kulit/jaringan, pembentukan edema.

b.    Manipulasi jaringan cidera,debridement luka

Ditandai:

Page 17: Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Abses Regio Inguinalis

a. Keluhan nyeri.

b. Fokus menyempit, penampilan wajah nyeri.

c. Perubahan tonus otot; respon autonomik.

d. Perilaku distraksi, melindungi; ansietas / ketakutan.

Tujuan               :  Melaporkan nyeri berkurang / terkontrol.

Kriteria Hasil    :

a. Menunjukan ekspresi wajah / postur tubuh rileks.

b.  Berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur / istirahat dengan tepat.

No. Intervensi Rasional

a.       Tutup luka sesegera mungkin

kecuali perawatan luka bakar

metode pemajanan pada udara

terbuka.

b.      Tinggikan ekstremitas luka bakar

secara periodik.

c.       Berikan tempat tidur ayunan

sesuai indikasi.

d.      Tutup jari / ekstremitas pada

posisi berfungsi (menghindari posisi

fleksi sendi yang sakit)

menggunakan bebat pada papan

kaki sesuai keperluan.

e.       Ubah posisi dengan sering dan

rentang gerak pasif dan aktif sesuai

indikasi.

a.       Suhu berubah dan gerakan udara

dapat menyebabkan nyeri hebat pada

pemajanan ujung saraf.

b.      Peninggian mungkin diperlukan pada

awal untuk mnenurunkan pembentukan

edema setelah perubahan posisi dan

peninggian menurunkan

ketidaknyamanan serta resiko

kontraktur sendi.

c.       Peninggian linen dari luka membantu

menurunkan nyeri.

d.      Posisi fungsi menurunkan deformitas /

kontraktur dan meningkatkan

kenyamanan. Meskipun posisi fleksi

sendi cendera dapat merasa lebih

nyaman, ini dapat mengakibatkan

kontraktur fleksi.

e.       Gerakan dan latihan menurunkan

kekakuan sendi dan kelelahan otot tetapi

tipe latihan tergantung pada lokasi dan

luas cendera.

 (Doenges, 2000:654)