Aspek Hukum KIP

download Aspek Hukum KIP

of 12

Transcript of Aspek Hukum KIP

  • 11

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    Aspek Hukum KIPI(Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)

    Agus Purwadianto

    Imunisasi secara medis merupakan tindakan yang aman, namun sesekali terancam olehefek samping atau efek buruk yang disebut KIPI. Dalam bentuk program, imunisasi massalakan memunculkan kekerapan KIPI yang dapat merugikan jasmani dan bahkan nyawapasien yang semula sebagai klien petugas kesehatan. Hukum, khususnya hukum administrasinegara yang dilandasi oleh etika sosial dan manajemen yang lege artis mengharuskan pejabatkesehatan hingga ke tenaga pelaksana kesehatan melaksanakan program tersebut sehinggatujuan imunisasi tercapai, tanpa menimbulkan gugatan hukum yang tidak perlu dari pasienyang dirugikan akibat KIPI. Efektivitas dan efisiensi program akan seimbang denganyuridisitas dan legalitasnya. Bila gugatan hukum muncul, kerangka hukum penyelesaiandan perlindungannya terdapat dalam lingkup hukum administrasi negara, yang berbedadengan hukum kesehatan perorangan. Petugas kesehatan dilindungi oleh standar proseduroperasional, pemberian informed-consent kolektif, pembuatan surat-tugas dan bahkantindakan diskresioner sesuai dengan kondisi dan situasi lapangan demi kepentingan kliendan pasien. Persyaratan diskresi tersebut secara hukum diuraikan, termasuk rantaitanggungjawabnya hingga ke pejabat tertinggi dalam bidang kesehatan. Pokja KIPI yangberfungsi sebagai lembaga independen dan penasehat pemerintah, dapat berfungsi sebagailembaga yang memverifikasi fakta hukum, penyelesaian kasus sengketa medik pada KIPI,serta usulan pemberian santuan kepada korban bila diperlukan, sebelum kasus tersebutmasuk ke lembaga peradilan resmi yang seringkali justru sulit menciptakan keadilan.

    Kata kunci: Imunisasi hukum administrasi negara program kesehatan sengketa medik.

    Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta, Anggota Pokja KIPIDepkes RI, Staf Pengajar Bagian Forensik FKUI/RSCM Jakarta.

    Alamat korespondensi:Dr. Agus Purwadianto,SpKF,SHJl. Salemba No. 6, Jakarta 10430, Indonesia.Telpon: (021) 310 6976. Fax.: (021) 315 4626,e-mail: [email protected].

    MMMMM araknya kesadaran masyarakat akan hak-haknya, dalam sisi positif termasukkesadaran terhadap hak atas informasi danhak penentuan nasib sendiri, mengiringi perkembanganhukum kedokteran dan kesehatan di dunia; sedangkandari sisi negatif dapat menyebabkan timbulnya beberapaekses. Ekses tersebut antara lain berupa mulai seringnyadokter diadukan, dituntut atau digugat oleh pasien

    (beserta pengacaranya). Ekses ini agaknya lebihmembekas atau bahkan mencekam kalangan dokterdan tenaga kesehatan lainnya, ketimbang berbuat hati-hati dan teliti sesuai dengan standar profesi dan standarprosedur operasional. Malahan sebagian dokter bersikapdefensif. Reaksi seperti ini secara sosiopsikologis adalahnormal, karena para dokter yang selama berabad-abadtelah menikmati alam kebebasan/otonomipaternalistik (baca : dokter lebih merupakan ayah,sedangkan pasien merupakan anak-anaknya) tiba-tibadidudukkan dalam kesejajaran dengan klien/pasiennya.Terdapat kesan bahwa hukum dianggap mencari-carikesalahan dokter.1 Padahal persepsi tersebut dalamhukum yang adil tidaklah demikian. Justru hukumberfungsi untuk melindungi termasuk tenaga kesehatanyang bersikap profesional dan lege artis, sampai kapan

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 11 - 22

  • 12

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    pun dan di mana pun, serta terhadap siapa saja.2 Dengandemikian hukum yang adil pun pasti akan melindungidokter di barisan paling depan (PTT atau Inpres diPuskesmas) beserta tenaga kesehatan bawahannya darigugatan masyarakat yang terkena atau korban KIPI.Hukum ini pun diwujudkan dan akan selalu dijunjungtinggi oleh pemerintah, termasuk aparat penegakhukumnya seperti kepolisian, kejaksaan, dan aparatlainnya, yang pada gilirannya (bila peradilan tak bisadihindari), juga oleh hakim di pengadilan.

    Kedudukan Hukum

    KIPI ditinjau dari segi medis merupakan faktaempirik yang menyatu dalam suatu fenomena yangdisebut tindakan medik. KIPI merupakan side-effectdan atau adverse effect dari tindakan medik berupaimunisasi (pengebalan). Yang dimaksud dengantindakan medik di sini adalah dalam arti sempit, yaknisuatu intervensi terhadap badan (tubuh) dan jiwaklien (pasien) dalam rangka suatu pencegahan,proteksi spesifik, diagnostik, terapi, dan rehabilitasidalam rangka tujuan medik.

    Imunisasi merupakan tindakan medik dalam aspekpencegahan dan proteksi spesifik yang ditujukan kepadaorang (anak) sehat, bukan anak sakit, jadi ditujukankepada klien. Oleh karena itu, hubungan (hukum) yangada pada tindakan imunisasi adalah hubungan tenagakesehatan - klien, yang pada peristiwa (hukum) KIPIhubungan tersebut dapat tetap atau segera berubahmenjadi hubungan dokter - pasien. Pada KIPI si klienyang semula sehat telah berubah menjadi sakit (disebutpasien), yang bahkan - dalam keadaan tertentu,sebagaimana risiko tindakan medik lainnya - dapat sakit,cacat, fatal, sehingga terdapat gugatan (disebut korban).Kejadian KIPI walaupun amat jarang4 dapat terjadidimana saja, pada siapa saja dan oleh petugas kesehatansiapa saja.3 KIPI dapat terjadi pada program imunisasimassal maupun hingga kini masih (hampir semua)dilakukan oleh pemerintah, namun dapat jugaditemukan pada kejadian imunisasi perorangan (olehdokter atau tenaga kesehatan pada saat praktek swasta).Pada imunisasi massal (menyangkut jutaan orang), secaranumerik kemungkinan KIPI akan semakin terungkapke permukaan. Beberapa di antaranya berpotensimenjadi sengketa medik. Yang dibahas dalam tulisanini adalah KIPI pada program imunisasi massal yangdilakukan oleh pemerintah.

    Tatanan Hukum

    Program imunisasi massal sifat hukumnya adalah hukumpublik, yakni menyangkut hubungan hukum (bacakepentingan) antara pemerintah/negara denganwarganegara/penduduknya. Program imunisasi dijalankansebagai kewajiban (akrab disebut : tugas) pemerintahdalam suatu negara demi kepentingan rakyatnya (dikenalsebagai : hak rakyat).4 Dalam perkembangannya saat inisetiap orang wajib dan bertanggungjawab tentangkesehatan (termasuk imunisasi), yang ditandai adanyaperan swasta (termasuk profesi dokter praktek swasta)dalam program kesehatan.6 Karenanya sifat hukumnyaadalah menyelenggarakan upaya kesehatan dalam rangkakesejahteraan umum, melalui (sistem) pemerintahansebagai tugas administrasi negara, sehingga kajian programimunisasi massal termasuk dalam hukum administrasinegara.

    Prinsip Hukum Administrasi Negara (HAN)Bertolak dari dasar-dasar bahwa Indonesia adalahnegara hukum (rechstaat) 6 dan batasan bahwa negaramerupakan organisasi kekuasaan yang berdaulat, makapemerintah memiliki kedaulatan negara dalam bidangeksekutif. Pemerintah memiliki kewenangan publikyang tidak bisa didikte siapapun.7 Demi menyongsongperkembangan dunia dengan kemajuan iptek sertakeperluan (hajat hidup) teknis masyarakatnya, untukkelenturan dan adaptasinya tak mungkin dibuatperaturan (hukum positif ) lebih dahulu. Oleh karenaitu pemerintah diberi kemerdekaan kekuasaanbertindak atas inisiatif sendiri untuk mengatasipersoalan khusus dan mendesak yang peraturannyabelum sempat dibuat oleh legislatif. Hal ini dikenalsebagai kewenangan diskresioner (freies Ermessen) yangdiemban oleh kekuasaan membuat peraturan kebijakandari pejabat administrasi negara. Namun kewenanganpublik yang besar ini harus diimbangi denganserangkaian etika sosial, prinsip manajemen lege artisdan kebenaran yuridis. Etika sosial dan manajemenlege artis tadi antara lain adalah prinsip AAUPB (azas-azas umum pemerintahan yang baik) dan kode etikpejabat pemerintah.

    Prinsip HAN lainnya adalah bahwa pemerintah(dan pejabatnya) harus bersikap teliti, hati-hati, hematdan seksama dalam menyimpan/ merawat hartakekayaan negara, sehingga harus ada pemisahan tegas

  • 13

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    antara kas pejabat selaku individu dengan kas negara.Keputusan yang dibuat pemerintah bertujuan untukmelindungi jiwa, raga dan harta warga masyarakatnya.Prinsip AAUPB dan kode etik pejabat dimaksud untukmencegah penyalahgunaan wewenang/kekuasaan(detournement de pouvouir).

    Azas-azas Umum Pemerintahan yangBaik (AAUPB)Kriteria Wiarda1. Azas kejujuran (fair play).2. Azas kecermatan (zorgvuldigheid).3. Azas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van

    oogmerk).4. Azas keseimbangan (evenwichtigheid).5. Azas kepastian hukum (rechtszekerheid).

    Kriteria Le Roy1. Prinsip kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel,

    principle of legal security).2. Prinsip keseimbangan (evenredigheidsbeginsel,

    principle of proportionality).3. Prinsip kesamaan dalam mengambil keputusan

    (gelijk heidsbeginsel, principle of equality).4. Pr ins ip ber t indak cermat atau seksama

    (z o r g vu ld in gh e i d s b e g in s e l , p r in c i p l e o fcarefulness).

    5. Prinsip motivasi untuk setiap keputusan(motiveringsbeginsel, principle of motivation).

    6. Prinsip jangan menyalahgunakan kewenangan(verbod van detournement de pouvoir, principle ofnon-misuse of competence).

    7. Prinsip permainan tulus (fair play beginsel).8. Prinsip keadilan atau larangan bertindak se-

    wenang-wenang (redelijkheidsbeginsel verbod vanwillekeur, principle of reasonableness or prohibitionor arbitrariness).

    9. Prinsip pemenuhan pengharapan yang di-timbulkan (principe van opgewekte verwachtingen,principle of meeting raised expectation)

    10. Prinsip meniadakan akibat keputusan yangdibatalkan (herstelbeginsel, priciple of undoing theconsequences of annuled decision)

    11. Prinsip perlindungan pandangan hidup pribadi(principe van bescherming van de persoonlijkelevenssfeer, the principle of protecting the personal wayof live).

    Kriteria Purbopranoto

    Tambahan kriteria Le Roy dengan dua prinsip/azas:

    12. Azas kebijaksanaan (sapientia).13. Azas penyelenggaraan kepentingan umum

    (principle of public service).

    Pengelompokan Azas(Prajudi Atmosudirdjo):A. Asas prosedural (proses pengambilan keputusan)

    yang bila dilanggar: keputusan tersebut batal demihukum (tak perlu dicek isinya lagi):1. Pejabat penentu keputusan & lingkungannya

    tak boleh ada kepentingan pribadi (langsungatau tidak)

    2. Audi et alteram partem : Keputusan yangmerugikan/mengurangi hak seseorang/warganegara tidak boleh diambil sebelummemberi kesempatan mereka membelakepentingannya.Contoh : informed-consent.

    3. Konsiderans keputusan faktual benar danwajib sesuai dengan/pembenar diktum(penetapan) keputusan tersebut.

    B. Azas kebenaran faktual (isi/substansi keputusan):1. Larangan kesewenang-wenangan (willekeur,

    arbitrary act): tidak mempertimbangkansemua faktor yang gayuh secara lengkap danwajar/lumrah demi kemakmuran, kebahagia-an dan kesejahteraan rakyat, sifatnya obyektifdan impersonal, keputusan secara akal sehatterasa timpang; digugat perdata (melanggar1365 KUHP)

    2. Larangan penyalahgunaan wewenang3. Larangan diskriminasi hukum (adil dan

    impersonal)4. Kepastian hukum (bila perlu memberlakukan

    masa peralihan bagi yang akan dirugikan,tidak boleh mendadak dan merugikan bagianterbesar rakyat).

    5. Batal akibat kecerobohan pejabat ber-sangkutan.

    Khusus untuk penyelenggaraan tata peme-rintahan di Indonesia, azas-azas umum untukpemerintahan yang baik itu harus disesuaikandengan pokok-pokok Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

  • 14

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    Analisis Hukum Program Imunisasi

    1. Subyek hukum (persoonsleer, dalam hal iniambtenleer):a. Pejabat pemerintah (Departemen Kesehatan)

    beserta jajarannya sebagai penanggungjawabpersonal. Pejabat atribusian (pemilik ke-wenangan) ialah: Menteri Kesehatan yangdalam hal teknis dilaksanakan oleh DirjenP2M-PLP yang membuat kebijakan imunisasitingkat nasional.

    b. Departemen Kesehatan (khususnya DitjenP2M-PLP) sebagai instansi beserta instansi dibawahnya sebagai penanggung-jawab insti-tusional.

    Sesuai dengan kewenangan dan tata organisasiDepkes, pejabat delegasian (penerima kewenangan)adalah Kakanwil Depkes atau Kadinkes yang berturut-turut adalah di Tingkat Propinsi (Dati I), TingkatKabupaten/Kotamadya (Dati II). Pejabat ini sekaligusjuga pejabat atribusian (pemilik kewenangan)berdasarkan keputusan Gubernur (Kepala DaerahTingkat I) atau Bupati/Walikodya (Kepada Dati II)yang membuat kebijakan tingkat daerah masing-masing. Kadinkes akhirnya memberi tugas danmendelegasikan kewenangannya kepada dokterpuskesmas di wilayah masing-masing.

    Surat tugas yang umum dari Kadinkes (Dati II)diperlukan, dengan menyebut nama program, namasasaran, jangka waktu, tempat, pejabat yang ditunjukdan garis besar tugasnya. Petunjuk teknis medis tugasyang harus dilakukan (standar prosedur operasional)dilampirkan. Dengan demikian dokter puskesmas sahsecara hukum sebagai pejabat lapangan yang bertugasuntuk melakukan imunisasi di wilayahnya.

    Mengingat banyaknya tugas dokter puskesmas,tugas tersebut dapat dilimpahkan kepada sesama dokterdi wilayahnya (PTT atau dokter lainnya yang sah) danatau tenaga kesehatan bawahannya seperti perawatselaku juru imunisasi. 10 Diperlukan Surat Tugas daridokter selaku Kepala Puskesmas Kecamatan dan atauKelurahan yang terinci untuk itu, seperti waktu (jangkatertentu), nama-nama murid dan nama sekolah, lokasi/tempat imunisasi, vaksin yang dipakai, nomor batch,nama-nama petugas/tenaga kesehatan pemberiimunisasi dengan keterangan kompetensinya, saranayang diperlukan (termasuk untuk penanggulanganKIPI), dan lain lain. Dengan demikian masing-masing

    perawat selaku juru imunisasi secara administratif sahmemperoleh delegasi program (kewenangan) pe-merintah tersebut sesuai dengan kompetensinya.

    Rantai tanggungjawab berjenjang memberi pulapola pertanggungjawaban program yang berjenjang,sehingga kesalahan perawat pemberi imunisasi secaravicarious liability pada gilirannya merupakantanggungjawab Dirjen P2M-PLP.

    2. Kekuasaan hukum (gebiedsleer)a. Terhadap orang: imunisasi dilakukan terhadap

    masyarakat yakni anak sekolah (sebagaiadressat/penerima imunisasi).

    b. Terhadap ruang: melalui sekolah-sekolah diwilayah kelurahan dan kecamatan di seluruhIndonesia.

    c. Terhadap waktu : setiap tahun (pelaksanaansesuai waktu yang telah diprogramkan).

    d. Terhadap benda: dengan vaksin yang telahdiakui secara sah efektif dan efisien yangdidistribusikan ke sekolah-sekolah.

    Kekuasaan hukum ini yang harus tercermin secararinci dalam setiap Surat Tugas atau Surat Keputusanpejabat berwenang.

    3. Hubungan hukum (leer de administratieve recht)

    Ada 3 jenis hubungan hukum antara pejabat /tenaga kesehatan dengan murid/anak sekolahterkait yakni:

    a. Pelaksanaan imunisasi massal anak sekolah yangtelah diprogramkan sebelumnya oleh tenagakesehatan tertentu yang berkompeten dan ber-wenang terhadap klien (anak sekolah) yang telahdisetujui oleh orangtuanya dengan vaksin yang telahmemenuhi standar tertentu melalui sekolah-sekolahsesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.Dalam hubungan hukum ini informed-consent dariorangtua mutlak diperlukan mengingat anaksekolah belum dianggap sebagai pribadi hukummandiri (belum dewasa).8 Materi informed-consentmeliputi pula manfaat dan risiko imunisasi sepertiKIPI.8 Mengingat program ini adalah massal yangdilakukan oleh pemerintah dengan itikad baik makaproses informed-consent dapat ditempuh secarakolektif melalui penyuluhan pra-imunisasi olehdokter puskesmas kepada para orangtua murid di

  • 15

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    sekolah, dengan bukti berita acara yang dilampirkandaftar hadir serta disaksikan oleh kepala sekolah.Dalam kondisi khusus informed-consent ini dapatberupa implied-consent bila orangtua ikutmengantarkan anaknya di-imunisasi. Setelah prosespemberian informasi, dibuka kemungkinanpenolakan oleh orangtua tertentu. Penolakan iniharus tertulis disertai alasan-alasannya. Namunharus disertai pernyataan kewajiban kesediaan siorangtua agar anaknya diimunisasi serupa padakesempatan atau tempat lain.

    b. Penatalaksanaan komprehensif KIPI tahap awalyang timbul akibat hubungan hukum se-belumnya terhadap (sebagian kecil) klien yangtelah (berubah status hukum) menjadi pasien.Dalam kondisi tidak gawat/darurat, ditempuhproses informed-consent untuk mengobati anakyang terkena KIPI. Dalam kondisi darurat tidakdiperlukan hal itu, langsung saja dilakukantindakan medis life-saving di Puskesmas setempatatau di fasilitas RS rujukan. Kondisi KIPI adalahkhas yang memerlukan kompetensi khusus untukmenegakkan diagnosis. Oleh karena itu diagnosisharus dilakukan oleh dokter. Rekam medismenjadi penting untuk kepastian hukum danperlindungan hukum bagi dokter maupunpasiennya. Aturan hukum kedokteran yangumum berlaku di sini.

    c. Penatalaksanaan komprehensif KIPI tahap lanjutyang timbul akibat hubungan hukum sebelumnyaterhadap (lebih sebagian kecil lagi) pasien yang telah(berubah status hukum) menjadi korban. Penata-laksanaan hampir sama dengan butir b., namun agarobyektif, bila diperlukan surat keterangan medikharus dilakukan pemeriksaan oleh dokter lainnyaatau atasannya. Untuk pasien yang mati dianjurkanuntuk otopsi forensik, agar penyebab pasti kematiandapat ditegakkan. Penolakan otopsi oleh keluargakorban harus dicatat dengan disebutkan alasannya.Biaya yang timbul pada kondisi butir b dan csewajarnya ditanggung (sebagian atau seluruhnya)oleh pemerintah. Namun untuk meneliti keab-sahannya perlu suatu verifikasi oleh tim ataulembaga independen, seperti Pokja KIPI, agarmempermudah kerja pemerintah dan terciptanyarasa keadilan bagi korban.9

    Dari ketiga jenis hubungan hukum ini aspek

    bidang hukum yang terkait adalah hukum administrasinegara, hukum pidana, dan hukum perdata. Selainitu ada pula hubungan hukum antara pejabat kesehatandengan pihak lain, baik BUMN maupun swasta dalamhal pembuatan atau pengadaan vaksin, seperti denganPT (Persero) Biofarma dan lain lain yang aspekhukumnya pada umumnya adalah perdata (di-masukkan ke dalam hal jual/beli perdata).

    Anatomi Hukum Administrasi yangTerkait10

    1. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh PembentukUU: 15

    yakni peraturan perundang-undangan (wettelijkeregels) mulai dari UU, PP, Keppres delegasian dariPP atau UU, Kepmen, Keputusan LPND, Kep.Dirjen delegasian, Keputusan Badan Negara yangdibentuk berdasarkan atribusi UU, Perda TingkatI, Kep. Gubernur Kepala Daerah Tingkat Idelegasian dari Perda Tingkat I, Perda Tingkat IIserta keputusan Bupati/Walikotamadya Dati IIdelegasian dari Perda Tingkat II. Contoh yangterkait dengan program imunisasi: UU Wabah UU Kesehatan No. 23/1992 PP tentang tenaga kesehatan No. 32/1996 PP tentang P2M-PLP SK Menteri terkait SK tentang organisasi Ditjen P2MPLP

    Depkes Peraturan Daerah Tingkat I dan II terkait SK pengangkatan Dirjen

    2. Peraturan yang bukan dibuat oleh PembentukUndang-Undang, tetapi dibuat oleh badan-badanadministratif (pemerintah / Depkes) berupa per-aturan kebijakan.11

    Peraturan ini disebut sebagai peraturan kebijakan(beleidsregels) yang bersumber pada fungsi eksekutifnegara. Contoh yang terkait program imunisasi : SK program imunisasi anak sekolah (BIAS) SE tentang juklak dan juknis imunisasi

    (prosedur tetap, model implementasi, dan lainlain)

    SK Pengadaan vaksin dengan proyek tertentudan anggaran tertentu

    SK Pembentukan KIPI (pusat maupun

  • 16

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    daerah) Disposisi Dirjen menugaskan/melibatkan

    organisasi profesi, Biro Hukum Pemda dankepala sekolah tertentu untuk membantupenyelesaian kasus KIPI dan lain lain

    Syarat faali Administrasi Negara yangBerkaitan dengan Program Imunisasi

    1. Efektivitas (doelmatigheid, aktivitas/produk-tivitasmencapai tujuan/sasaran).Dalam hal ini tujuannya adalah menurunkanangka kematian, kecacatan dan kesakitan penyakitwabah, penyakit karantina dan penyakit yangdianggap sejenis.

    2. Legitimitas (keabsahan).Pemerintah dalam hal ini Dirjen P2M-PLP secarakelembagaan telah dipercaya menyelenggarakandan menjadi penanggung jawab programimunisasi.

    3. Yuridisitas (rechtmatigheid, kesesuaian hukumdalam arti luas, tidak melawan atau melanggarhukum).Peraturan perundang-undangan positif menunjuk-kan adanya hal ini, khususnya dari UU Kesehatan,antara lain:a. Aturan tentang kelembagaan (organische

    rechtregels)b. Aturan tentang fungsi administrasi negara

    (functionele rechtregels)c. Hal-hal yang dibenarkan secara hukum

    (jurisdische rechtvaardiging)4. Legalitas (wetmatigheid, berdasar hukum, terbukti

    dasar hukumnya).Dasar hukumnya sama seperti anatomi HANtentang program imunisasi. Untuk suatu program,umumnya tampak pada bagian Mengingat suatuproduk hukum keputusan administratif misalnyaSK tertentu.

    5. MoralitasDari kaidah etika kedokteran dan etika pelayananmedis mendasari program ini. Untuk programterkait tampak pada bagian Menimbang, karenaberisi kebijakan hukum yang menjadi dasar programtersebut. Bagi pejabat pelaksana dapat digunakansebagai pedoman dalam kewenangan diskresioner,khususnya yang belum diatur oleh hukum.

    6. Efisiensi (hemat).

    Merupakan tolok ukur program ini yang menyatudengan manajemen program secara umum, dalamstandar prosedur operasional, indikator keberhasil-an, dan lain lain.

    7. Teknis (kualifikasi maksimal mencapai mututertinggi).Hal ini juga menyatu dalam standar proseduroperasional. Segi hukum dari mutu SDM terkaitdengan kriteria kompetensi tenaga kesehatan yangbersangkutan yang menjadi dasar dari kewenangan-nya. Dalam program ini pelaksanaannya dilakukanoleh tenaga medis yang kompeten dalam bidangnyadengan mutu vaksin standar.

    Titik Imbang (Keserasian) Syarat FaaliAspek efektivitas dan efisiensi (kemanfaatan ataudoelmatigheid). Dalam hal ini pencapaian tujuan harusseimbang dengan aspek yuridisitas (rechtmatigheid) danlegalitas (wetmatigheid). Hal ini yang menjadi salah satutolok ukur PTUN dalam memeriksa kasus sengketaadministrasi negara.

    Dasar Hukum (Aspek Legalitas) ProgramImunisasi Ada di UU Kesehatan No. 23/1992:

    a. Keberadaannya :Hak pemerintah mengatur bidang kesehatantercantum pada pasal 6, 7 dan 8 yo pasal 30 danpasal 31 yo pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yakni adanyakekuasaan pengaturan secara umum (algemeneregeling) yang merupakan bagian dari kekuasaanpemerintahan negara (staatsregering) yang beradadi tangan Presiden.Pasal 30 Pemberantasan penyakit menular di-laksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan,pengebalan, menghilangkan sumber dan perantarapenyakit, tindakan karantina dan upaya lain yangdiperlukanPasal 31 Untuk penyakit karantina dan wabah,tunduk pada ketentuan UU terkait.

    b. Kaitan dengan pembinaan.Pembinaan oleh pemerintah terhadap semua upayakesehatan (pasal 73)

    c. Kaitan dengan perlindungan masyarakatImunisasi merupakan upaya melindungimasyarakat terhadap kemungkinan kejadiangangguan dan atau bahaya kesehatan (pasal 74

  • 17

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    butir 3) dan PP terkaitd. Kaitan dengan peran serta sekolah/ guru dan

    masyarakat lainPasal 71 ayat (1) yo kegiatan Upaya KesehatanSekolah : pasal 10 ayat (1) butir l. yo pening-katan kesehatan anak (usia sekolah) : pasal 17ayat (2) dengan tujuan peningkatan kemam-puan hidup sehat dalam lingkungan sekolahsehingga proses pendidikan lancar dan optimal(pasal 45 ayat (1) melalui sekolah atau lembagapendidikan lain (pasal 45 ayat 2) dilengkapi PPterkait.

    e. Kaitan dengan pengadaan vaksin mengenai per-bekalan tercantum dalam pasal 60, 61, 62 dan 64.

    Isi Hubungan Hukum

    1. Suatu kewajiban melakukan imunisasi kepadarakyat (anak sekolah)

    2. Hak menagih atau meminta laporan pertanggung-jawaban dari pejabat pelaksana terkait

    3. Ijin atau persetujuan kepada dokter puskesmasbeserta tenaga medis bawahannya di lapanganuntuk melaksanakan imunisasi dan mengatasikomplikasi berupa KIPI yang terjadi.

    4. Pemberian status kepada seseorang atau lembaga/sesuatu yang menimbulkan hubungan hukumtertentu (yang baru), misalnya:a. PT (Persero) Biofarma (sebagai BUMN) dan

    pihak lainnya (bila ada) untuk mengadakanvaksin dan alat/keperluan terkait lainnya.

    b. Pejabat di tingkat lebih bawah berturut-turuthingga sampai ke dokter puskesmas sebagaipenanggungjawab lapangan untuk melaksana-kan imunisasi masal anak sekolah di sekolah-sekolah atau tempat lain yang ditunjuk.

    c. Kelompok Kerja KIPI Pusat dan Daerahuntuk membantu menangani protokolpelaksanaan dan pengaduan atas gugatan KIPIdan penyelesaiannya.

    Jenis Tindakan Hukum Publik ProgramImunisasi

    1. Penetapan (beschikking, administrative discretion)Berupa SK pengangkatan jajaran Kanwil, Kadinas,Dokter Puskesmas sebagai penanggungjawab

    kegiatan imunisasi massal setempat dan sesuaijenjangnya ke bawah sampai batas petugas tenagakesehatan yang kompeten, yakni dokter (sebagaipelaku tindakan medik berupa imunisasi danKIPI-nya). Oleh karenanya SK pengangkatan iniharus ada terlebih dahulu, dilengkapi denganfungsi, wewenang dan tanggungjawabnya. Dalamhal terkait juga SK penunjukan sekolah tertentusebagai tempat penyelenggaraan, dan bila perlumelibatkan kepala sekolahnya sebagai pembantupemberi informasi.

    2. Rencana (plan)Rencana berupa pencanangan BIAS yang telahditetapkan sesuai program. Sifatnya luas, tertulisdan umum. Rencana ini sifatnya mengikat semuapihak terkait, khususnya di wilayah (daerah)masing-masing.

    3. Norma jabaran (concrete normgeving)Tindakan hukum pejabat Depkes membuatperaturan perundang-undangan yang memuat isiyang konkrit dan praktis sehingga laik-terap diwaktu dan tempat wilayahnya. Isinya mengikatdan bisa bersanksi hukum. Bentuknya berupa SE(surat edaran), SI (surat instruksi dinas),pengumuman, dan lain lain. dari Kanwil/Kandepkes dan atau dokter pus-kesmas setempatditujukan kepada warga setempat.

    4. Legislasi-semu (pseudo-wetgeving)Penciptaan aturan hukum oleh pejabat Depkesberwenang sebagai pedoman (richtlijnen),pelaksanaan policy (kebijakan) pelaksanaanperundang-undangan yang dipublikasikan luas.Asalnya dari wewenang kebebasan pertimbangankebijakan atau diskresioner (freies Ermessen) untukmengatasi situasi konkrit tertentu di lapangan.Contoh : juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis(petunjuk teknis), petunjuk lisan ke bawahan,disposisi, dan lain lain dari Kanwil/Kandepkesdan/atau dokter puskesmas setempat.

    Bentuk ke 3 dan 4 dimasukkan ke dalamPeraturan kebijakan (beleidsregels) yakni peraturanyang menyelenggarakan kebijakan pemerintahan yangtidak terikat (tidak terikat kepada UU/peraturan positiflainnya), berupa kebijakan dari Dirjen maupun pejabatatribusian/delegasian terkait.11

  • 18

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    Wewenang Pengelola Program Imunisasi

    Dirjen P2M-PLP merupakan pihak berwenang dalampengelolaan program imunisasi. Dasar dari kewenang-an ini ialah otonomi pemerintah (dalam rangkakepentingan hukum masyarakat yakni terciptanyaderajat kesehatan yang tinggi). Kewenangan DirjenP2M-PLP sebagai administrasi negara di bidangimunisasi tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun.

    Perbuatan hukum Dirjen P2M-PLP sebagaipenanggung jawab (public authority) dalam programimunisasi menghasilkan wewenang publik:1. Sebagai pemerintah (penguasa eksekutif ):

    a. Menghasilkan keputusan pelaksanaan /eksekutif / pemerintahan di bidang imunisasi

    b. Penegakan UU Wabah dan UU Kesehatanterkait atau wibawa negara secara umum agarnegara tetap diakui sebagai alat untukmenyejahterakan rakyatnya.

    2. Sebagai administrator negara (penguasaadministratif ):a. Menghasilkan keputusan administratif

    (TUN) di bidang imunisasi : misalnyapengangkatan pejabat / petugas imunisasi,Pokja KIPI, pengadaan vaksin, penelitianvaksin, dan lain lain.

    b. Melaksanakan keputusan penyelenggaraan ataurealisasi di bidang imunisasi: misal pencananganBIAS dengan targetnya setiap tahun, dan lainlain.

    Sifat wewenang publik yang dalam hal ini dipegangoleh pemerintah (Ditjen P2M-PLP dan jajarannya)adalah kekuasaan luar biasa (tidak bisa dilawan denganjalan biasa, tetap harus melalui jalan khusus yaknigugatan ke peradilan TUN).

    Jenis wewenang publik yang dimiliki12

    1. Wewenang prealabel : melaksanakan ke-putusanyang telah diambil sendiri tanpa meminta terlebihdulu persetujuan instansi atau peroranganmanapun.

    2. Wewenang ex-officio : membuat putusan berdasar-kan jabatan (beberapa atas dasar sumpah jabatan),yang tidak bisa dilawan siapapun, dilindunginegara (yang melawan diberi sanksi pidana : pasal160, 161, 211, 212, 216 KUHP).

    Mengingat demikian besar wewenang pemerintah,maka sering muncul bahaya hukum yakni penyalah-gunaan wewenang/kekuasaan (detournement de pouvoir,ultra-vires). Pembatasan penyalahgunaan kewenangantersebut pada pokoknya adalah berupa penjabaran azaslegalitas dan yuridisitas.

    Aspek Hukum Pelaksanaan Program diLapangan

    Kemajuan iptek kedokteran dan kebutuhanpelayanan kesehatan masyarakat di wilayah Indonesiayang plural akan mempengaruhi pelaksanaan imunisasi.Pelaksanaan di lapangan yang beragam tidak selamanyaharus sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Hal ini memungkinkan Ditjen P2M-PLPdan jajarannya lebih leluasa dalam membuat peraturankebijakan tentang program tersebut sesuai dengan situasidan kondisi setempat. 10

    Persyaratan peraturan kebijakan Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar

    yang mengandung wewenang diskresioner yangdijabarkannya

    Tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengannalar sehat

    Harus dipersiapkan dengan cermat. Kalau perlusebelumnya dimintakan advis teknis dari instansi-instansi berwenang terkait, diadakan rembukandengan pihak terkait dengan keputusan TUN yangbersangkutan, dilengkapi pertimbangan semuakepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif yang ada

    Isi yang dirumuskannya harus cukup mem-berikankejelasan mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga yang terkena serta harus ada kepastianmengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukanoleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukumformal)

    Pertimbangannya, walau tidak rinci, namunmemuat jelas tujuan-tujuan serta dasar-dasarditempuhnya kebijakan itu

    Harus memenuhi syarat kepastian hukummaterial, artinya hak-hak dari warga masyarakatyang terkena harus dihormati, kemudian jugaharapan-harapan yang telah diberikan jangansampai diingkari.

  • 19

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    Bila mengalami kesulitan dalam operasionalisasi danimplementasi di lapangan, Dirjen P2M-PLP besertajajarannya hingga ke dokter puskesmas lapangan berhakmelakukan kebijakan diskresioner.13 Diskresi merupakankebebasan untuk melakukan penilaian (kebebasanpertimbangan) dalam hukum pada suatu situasi yangmana pengambilan suatu keputusan pemerintah tidakdiatur oleh suatu peraturan hukum.22 Artinya instansipemerintah, dengan melihat pada situasi faktualmasyarakat, memiliki kebebasan untuk menentukansendiri keputusan apa, kapan, dan yang bagaimana yangakan dikeluarkan. Wewenang diskresioner tidak bolehdibatasi oleh norma hukum tertulis maupun yang tidaktertulis.

    Dalam hal imunisasi antara lain ialah kewenanganmenetapkan atau menolak seorang anak diimunisasi(setelah menarik kesimpulan kontraindikasi relatif seperti ada tidaknya demam dan lain lain),membebani kewajiban kepada orangtua yangmenolak anaknya diimunisasi untuk melakukannyadi sarana kesehatan lainnya, memberikan atau tidakmemberikan pelayan-an khusus/ekstra kepadapasien/korban, pemberian santunan pada korbanKIPI, pemilihan waktu imunisasi yang tidak haruspagi hari sebagaimana dianjurkan, sampai kepembatalan dipakainya sekolah tertentu. Kewenangandiskresioner ini dikaitkan dengan otonomi profesi,dapat digunakan sebagai langkah khusus me-modifikasi standar profesi yang kurang terinci,asalkan langkahnya rasional (dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah), adil dan hanya demikepentingan klien/pasien (sikap berbuat baik).Contoh: melakukan tindakan pencegahan awal KIPI,perubahan RS rujukan, penganjuran otopsi bagikasus meninggal, menghubungi teman sejawatterdekat untuk meminta second-opinion diagnosisKIPI yang meragukan, dan lain lain.

    Tanggunggugat pasien/ korban KIPI

    Dokter puskesmas selaku pejabat lapangan maupunpejabat Depkes lainnya (atasannya, selaku respondensuperior) bisa digugat bila melakukan penyim-pangan:a. Administratif : digugat PTUNb. Pidana : pelanggaran jabatan dalam KUHPc. Perdata : menimbulkan kerugian warga masyarakat

    (dalam hal ini korban KIPI).

    Dalam hal penyimpangan administratif, sebelumdiajukan ke PTUN, terlebih dahulu ditempuhprosedur administratif yang telah ditetapkan olehpejabat Depkes yang berwenang. Misalnya ketentuanprosedur pengajuan tuntutan oleh orangtua pasien/korban KIPI yang umum-nya diatur secara berjenjangdengan prinsip subsidiaritas (yang bisa diselesaikan olehkelompok bawahan tidak perlu diselesaikan olehatasan/pusat). Prosedur tersebut harus diatur dalamkeputusan atau penetapan pejabat Depkes demi rasakeadilan masyarakat dan maraknya isu penegakan hak-hak asasi manusia. Prosedur tersebut juga menampungrujukan bila mereka belum menerima putusan ataukebijakan yang diberikan. Dengan pendekatanpersuasif, yang melibatkan peers group dan rapinyaketentuan peraturan maupun kebijakan secara hukum,akan sulit membawa dokter/perawat atau pejabatDepkes lainnya ke PTUN.

    Delik pidana jabatan dalam KUHP ialah:a. Pasal 415 : penggelapan uang/surat berhargab. Pasal 417 : peniadaan (hilangkan, gelapkan) barang

    bukti, akta, surat, daftar dan lain lain sehinggamembuat penetapan tidak adil, tidak betul danlain lain

    c. Pasal 418 & 419 : menerima hadiah/janjid. Pasal 421 : menyalahgunakan kekuasaan untuk

    memaksa seseorang berbuat/tidak berbuat/membiarkan sesuatu

    e. Pasal 422 : menggunakan sarana paksaan untukmemeras pengakuan/memperoleh keterangan

    f. Pasal 425 : pemerasang. Pasal 429 : memaksa masuk pekarangan/rumah

    tertutup tanpa ijin penghuni yang berhak, tidaksegera meninggalkannya setelah diminta penghuni,tanpa ijin memeriksa/merampas surat-surat, buku-buku, dan lain lain.

    h. Pasal 435 terlibat KKN dalam pemborongan,penyewaan dan lain lain dalam lingkup tugasnya.

    Dalam penyimpangan pidana, selain delik jabatan,dimungkinkan secara strict liability menuntut dokteratau perawat penyuntik vaksin, bila terbukti tidakbekerja secara teliti/hati-hati, tidak ada indikasi medik(ada kontraindikasi medik namun tetap diimunisasi),tidak sesuai dengan standar profesi dan standarpelayanan dan tidak ada informed-consent. Kriteriamalpraktek seperti duty, deriliction of duty, damages,

  • 20

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    direct causational of damages (4-D) harus dipenuhisecara kumulatif. Rangkuman hal-hal tersebut di atasharus memenuhi rumusan delik pidana sepertikelalaian yang menyebabkan sakit berat/cacatnya (pasal360 KUHP) atau matinya orang lain (pasal 359KUHP). Di samping itu aspek hukum pidana yangbisa dikenakan kepada tenaga kesehatan antara lainpasal 378 KUHP tentang penipuan terhadap penderitaatau pasien; tentang pembuatan surat keterangan palsu(pasal 263 dan 267 KUHP); kesengajaan membiarkanpenderita tidak tertolong (pasal 349 KUHP); tidakmemberikan pertolongan pada orang yang beradadalam bahaya maut (pasal 267 KUHP); pelanggarankesopanan (pasal 290 ay.1, pasal 294 ay.1, pasal 285dan 286 KUHP); memberikan atau menjual obat palsu(pasal 386 KUHP).14 Unsur kesengajaan (opzet) dokteratau perawat penyuntik juga harus dibuktikan. Dengandemikian sepanjang bekerja sesuai standar prosedur,kejadian KIPI apapun sulit memperkarakan dokter/perawat secara pidana dalam kasus imunisasi.

    Gugatan Perdata

    Yang digugat adalah penetapan pejabat Depkes yangsampai menimbulkan kerugian. Pada gugatan iniperlu pembuktian adanya unsur melawan hukum(onrechtmatig), yakni bila:a. Keputusan tidak / kurang mengindahkan, diambil

    secara bertentangan dengan perundang-undanganb. Detournement de pouvoir: menyalahgunakan

    wewenang, menyimpang dari tujuan pemberianwewenang.

    c. Keputusan secara sewenang-wenang (ceroboh,tidak sesuai standar prosedur operasional atau datayang sesuai).

    Pertanggungjawaban perdata tenaga kesehatanada dua bentuk yakni atas kerugian pasien yangdisebabkan oleh karena wanprestasi, dan per-tanggungjawaban atas kerugian yang disebabkankarena perbuatan melawan hukum.15 Hak menuntutganti rugi pasien ini diatur dalam pasal 55 ayat (1)UU Kesehatan No. 23/1992.

    Wanprestasi adalah suatu keadaan seseorang(dokter) yang tak memenuhi kewajibannya yangditentukan pada suatu kontrak/ perjanjian. Yangdijanjikan dokter dalam hal ini adalah mewujudkansuatu usaha atau daya upaya secara maksimal.

    Wanprestasi terjadi ketika pihak yang berjanji takmemenuhi prestasi sama sekali, terlambat ataumemenuhi prestasi secara buruk. Pengertian perbuatanmelawan hukum dalam arti luas mencakup pengertianberbuat atau tidak berbuat, yang melanggar hak oranglain dan bertentangan dengan kewajiban hukumsendiri atau kesusilaan/ kepatutan. Dengan kata lain,perbuatan itu harus mencakup: karena melawanhukum (onsrechtmatige daad), karena menimbulkankerugian, dan atau karena antara perbuatan dankerugian tersebut terdapat hubungan kausal.

    Suatu pertanggungjawaban perdata bertujuan untukmemperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritayang menjadi pangkal tolak atau dasar menggugatdokter. Dasar hukum per-tanggungjawaban perdatatersebut didasarkan atas tiga pasal yang terdapat dalamKitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer) yopasal 55 ayat (2) UU Kesehatan No. 23/1992. Ketigapasal tersebut dipakai sebagai dasar dalam menentukanada atau tidaknya kewajiban dokter (terhadap pasien)dengan segala implikasinya.16 Pasal-pasal tersebut ialah: Pasal 1365 KUHPer: setiap tindakan yang

    menimbulkan kerugian atas diri orang lain berartibahwa orang yang melakukannya harus membayarkompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian

    Pasal 1366 KUHPer: seseorang harus ber-tanggungjawab tidak hanya karena kerugian yangdilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karenakelalaian atau kurang berhati-hatinya

    Pasal 1367 KUHPer: seseorang harus mem-berikan pertanggungjawaban tidak hanya ataskerugian yang ditimbulkan dari tindakan oranglain yang berada di bawah pengawasannya

    Tuntutan perdata mungkin akan sama seringnyadengan tuntutan administratif. Namun sebelumnyaharus terlebih dahulu dibuktikan bahwa tenagakesehatan lalai (kriteria seperti di tuntutan pidana). Hal-hal seperti syok anafilaktik dan kejadian KIPI lainnyasepanjang telah dilakukan tindakan medik sebatas upayamaksimal dengan standar kemampuan tenaga kesehatanrata-rata, tak bisa dituntut karena dianggap sebagaikecelakaan atau kemelesetan medik.27 Adanya standarrata-rata menyiratkan adanya kewenangan organisasiprofesi, sehingga pelibatan organisasi profesi seperti IDI(dengan jajarannya seperti IDAI, PDFI, PERDAFKI,dan lain lain), PPNI, ISFI akan memberi ketenanganbekerja bagi dokter puskesmas di daerah, karena dalamorganisasi profesi selalu ada Badan Pembelaan Anggota.

  • 21

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    Penyelesaian Sengketa

    A. Litigasi (melalui peradilan, yakni: PTUN)Hakim PTUN terbatas hanya meneliti azasyuridisitas keputusan/tindakan hukum/peraturankebijakan HAN pejabat (rechtmatigheid, segikesesuaian hukumnya).Titik berat tindakan adalah pemeriksaan lisanpejabat. Hakim aktif membela warga masyarakatyang titik imbang hukumnya lebih lemahdibandingkan pejabat.

    B. Non Litigasi:1. Internal Departemen Kesehatan:

    Via Badan Peradilan Semu, misal MDTK(Majelis Disiplin Tenaga Ke-sehatan) sesuaidengan Keppres No.56 Tahun 1995 yopasal 54 ayat (2) dan (1) UU KesehatanNo. 23/1992.

    Via pejabat/instansi atasan: misal Ankum(atasan berhak menghukum pada ABRI).

    Via Panitia/Tim Khusus : misal Pokja KIPI.2. Eksternal Intansi Administrasi Negara:

    Via badan arbitrase (internasional)

    Tim Khusus seperti Pokja KIPI memilikikeuntungan sebagai berikut:

    Melancarkan tugas pemerintah (karena sudahcukup sibuk dengan tugas rutinnya) dankategori KIPI pada hakekatnya merupakanmasalah profesional kedokteran (amat sarat danterkait dengan iptekdok dan praktek ke-dokteran). Tim akan membantu memberikananalisis secara lebih bebas namun profesionaluntuk akhirnya mem-berikan rekomendasipenyelesaian kasus.

    Bisa merekrut para profesional dan ahli yangterkait yang tidak dimiliki aparat pemerintahseperti dokter (dengan beragam spesialisasi),sarjana hukum, ahli farmasi, sarjana komunikasi,dan lain lain.

    Membantu agar pemerintah tidak hilang mukadan mau menang sendiri (khususnya saat iniyaitu saat kredibilitas pemerintah agak turun).Rekomendasi tim akan menjadi pendukungkebijakan pemerintah dari segi ilmiah danprofesional.

    Perlu syarat ketat seperti:a. Instruksi yang tegas mengenai tugas, we-

    wenang, kewajiban dan tanggung-jawabnya(misalnya kewenangan pe-nentuan kasustermasuk KIPI atau tidak)

    b. Prosedur penyelesaian yang harus ditem-puh(termasuk penyelesaian internal administratifdan rujukan/banding putusannya bila belumselesai)

    c. Sanksi bagi anggota tim yang tidak men-jalankan butir a.

    d. Penampungan akibat/konsekuensi ke-putusanpanitia beserta pelaksanaannya, serta bila butirc. terjadi (misalnya kebijakan pemberiansantunan pada korban).

    Walaupun diperiksa oleh instansi internal Depkespemeriksaan harus dilakukan secara teliti namun adil,dengan tolok ukur pelbagai standar profesi danpelayanan medik serta pedoman/model implementasiyang telah dibakukan. Terhadap tenaga kesehatan yangterbukti bersalah, khususnya dari segi profesionalitas danetika pelayanan medik, harus dilakukan sanksiadministratif yang diberikan oleh pejabat/instansi atasan,karena upaya ini akan efektif. Selain itu, bila padapemeriksaan ternyata diperoleh adanya kesalahansistem (di luar tanggungjawab tenaga kesehatan: sepertikondisi vaksin, atau alat suntik dan perlengkapan pe-nunjang lainnya, pejabat atasan akan efektif pula dalammengubah peraturan atau pedoman/modelimplementasi terkait. Dari pihak masyarakat luar bisadidapat kesan bahwa sanksi yang dijatuhkan dianggaptidak adil karena dugaan kesejawatan/kesetiakawanandalam arti negatif (KKN).

    Dari segi hukum administratif, sanksi bagi pejabatkesehatan yang bersalah secara perorangan dapatberupa peringatan, teguran dan rekomendasi pen-cabutan ijin atau kewenangan melakukan imunisasi(bila berat bahkan bisa pencabutan ijin dokternya,sebagaimana ditetapkan oleh MDTK).28 Terhadappenanggungjawab program (secara institusional) bisadilakukan eksekusi riil akibat pelanggaran terhadap ijinyang diberikan dan atau melakukan sesuatu di luar ijinseperti pengamanan/penyitaan vaksin dan alatsuntiknya, eksekusi langsung (parate executie) misalnyapenarikan pajak, piutang, dan lain lain. Juga dilakukandenda administratif serta pencabutan kembali ijinoperasional program di wilayahnya (sebelumnyadiperingatkan secara tertulis via surat tercatat ataumelalui jurusita, disertai penjelasan mengenaialasannya).

  • 22

    Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000

    Otonomi Daerah dan Globalisasi

    Beberapa saat lagi akan berlaku UU tentang OtonomiDaerah, di antaranya bidang kesehatan akan di-desentralisasikan ke Dati I dan atau Dati II. Namunmengingat imunisasi bertujuan menghapuskanpenyakit wabah, karantina dan penyakit menularlainnya yang di era globalisasi juga tak mengenal batasnegara, otomatis penanggulangannya lebih sering lintaspropinsi atau lintas daerah. Pengelolaan imunisasi(termasuk KIPI-nya) agaknya masih lebih efektif danefisien bila tetap terpusat. Diharapkan peraturanperundang-undangan yang mengatur-nya juga harusmengantisipasi masyarakat modern atau masyarakatmadani yang berciri-ciri minimal 5 kualitas, yaknistabilitas, peramalan (predictability), adil (fairness),pendidikan (education) dan profesionalitas.17 Hak-hakklien (konsumen)30 serta hak-hak dasar pasien yaknihak atas penentuan nasib sendiri dan hak atas informasiharus diperhatikan lebih seksama. Hal ini sejalandengan konsep terkini dari pemerintah sebagaireinventing government.

    Daftar Pustaka1. Agus Purwadianto. Reformasi hukum kesehatan.

    Disampaikan dalam: Seminar Tracee II Orde BaruUniversitas Indonesia, 30 Maret-1 April 1998.

    2. Agus Purwadianto. Aspek hukum bagi tenaga kesehatandi era global. Perlindungan dan realisasi. Disampaikandalam: Seminar Nasional LKMI-PB HMI, Malang, 13-14 September 1997.

    3. Monograf Pokja KIPI Pusat. 1999.4. Amrah Muslimin. Sistem, isi dan beberapa persoalan

    mengenai hukum administrasi/tata usaha negara,Pidato Pengukuhan Gurubesar Fakultas HukumUniversitas Negeri Sriwijaya, Palembang, 10 Februari1970.

    5. Undang-undang tentang kesehatan, UU No. 23 Tahun1992, TLN No. 3495 Tahun 1992. Pasal 1 butir 2(Ketentuan Umum).

    6. Dasar falsafah negara: Pancasila, dasar konstitusi: UUD1945, dasar operasional: GBHN yang memuat wawasannusantara dan ketahanan nasional.

    7. UUD 1945 dengan kekuasaan yang begitu tinggi padalembaga kepresidenan (pasal 4 dan 5). Dikutip olehAmrah Muslimin 1970.

    8. Permenkes No. 585/1989.9. Agus Purwadianto. Penanganan sengketa medik.

    Disampaikan dalam Seminar FH-FK Trisakti 1997.10. Attamimi H. Hukum tentang peraturan perundang-

    undangan dan peraturan kebijakan (Hukum TataPengaturan, FHUI, Jakarta, 1993).

    11. Girindro Pringgodigdo. Kebijaksanaan, hirarkhiperundang-undangan dan kebijaksanaan dalam kontekspengembangan hukum administrasi negara diIndonesia. (Pidato Pengukuhan Gurubesar FakultasHukum Universitas Indonesia), Depok, 16 Nopember1994.

    12. Atmosudirdjo P. Hukum administrasi negara. GhaliaIndonesia. Jakarta 1988.

    13. Indroharto. Perbuatan pemerintahan menurut hukumpublik dan hukum perdata. (Bogor Jakarta: LembagaPenelitian dan Pengembangan Hukum AdministrasiNegara, 1995), hlm. 40-1.

    14. Soerjono Soekanto. Hukum kesehatan, Kursus dasarIlmu hukum kesehatan, Perhuki, Jakarta, 1989.

    15. Guwandi. Dokter dan rumah sakit, FKUI, Jakarta 1993;hlm. 39-40.

    16. Guwandi. UU RI No. 23. Dalam: Undang-UndangKesehatan 1992. Jakarta: Sinar Grafika 1993.