Asma

30
HIPERSENSITIVITAS – ASMA BRONKIAL A. Epidemiologi Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (Gina, 2009). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 5–15% B. Definisi Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran

Transcript of Asma

HIPERSENSITIVITAS – ASMA BRONKIAL

A. Epidemiologi

Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat

300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak

maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (Gina, 2009).

Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai

propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh

penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.

Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian

(mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan

prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006).

Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah

sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma

bronkial sebesar 5–15%

B. Definisi

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh

dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak

napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough)

terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2009).

Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang

reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai

rangsang, inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel

netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-

kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan

(Nurafiatin,2007).

Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu

yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan

obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

Asma dibedakan jadi dua jenis, yakni asma bronkial dan kardial. Penderita asma

bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar, seperti debu rumah,

bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat

mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan

pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa datang.

Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya radang yang

mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat

berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan

pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.

Sedangkan asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung disebut asma

kardial. Gejala asma kardial biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang

hebat. Kejadian ini disebut nocturnal paroxymul dyspnea. Biasanya terjadi pada saat

penderita sedang tidur (Barbara, 2006). Di dalam makalah ini, kami lebih membahas

mengenai asma bronkial.

Klasifikasi Asma :

A.Berdasarkan Etiologi.

 a. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang

spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan

aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu

predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus

spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :

(i) Asma ekstrinsik atopik

Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:

- Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat

diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1

- Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85% kasus

timbul sebelum usia 30 tahun

- Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber, dengan

serangan asma yang berbeda-beda

1

- Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang

timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai dengan gejala yang lebih

berat, maka prognosis menjadi jelek.

- Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan tubuh pada

IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di

kemudian hari

- Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif 

- Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik

- Ada riwayat keluarga yang menderita asma

- Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat ( Neal, 2005).

(ii) Asma ekstrinsik non atopik 

Memiliki sifat-sifat antara lain:

- Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacam-macam alergen yang

spesifik 

- Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap alergi yang

tersensitasi dapat menjadi positif

- Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik 

- Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau dikemudian hari

( Neal, 2005)

b. Intrinsik/idiopatik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang

tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh

adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat

dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis

kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Sifat dari

asma intrinsik :

- Alergen pencetus sukar ditentukan

- Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil

negatif

1

 - Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan

oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda

- Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun

dan disebut juga late onset asma

- Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali

menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid

- Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak

dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE

- Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan asma ekstrinsik

- Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya sel

LE

- Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12 - 48%

- Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai (Neal, 2005).

c. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk

alergik dan non-alergik (Neal, 2005).

B.Berdasarkan Keparahan Penyakit

1. Asma intermiten

Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa

jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam1 bulan, fungsi paru

normal dan asimtomatik di antara waktu serangan, Peak Expiratory Flow (PEF) dan

Peak Expiratory Value in 1 second (PEV1) > 80%

2. Asma ringan

Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari,

eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali

dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%

1

3. Asma sedang (moderate)

Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala

asma malam hari terjadi > 1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi β2 agonis

kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 > 60% dan < 80%

4. Asma parah (severe)

Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari

sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60% (Depkes

RI, 2007).

C. Patofisiologi

Asma termasuk reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana reaksi yang terjadi

berlangsung cepat. Asma akibat alergi bergantung kepada respons IgE yang dikendalikan

oleh limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE

yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang menimbulkan asma bersifat

airbone. Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak dalam periode waktu

tertentu agar mampu menimbulkan gejala asma. Namun di lain kasus terdapat pasien

yang sangat responsif, sehingga sejumlah kecil alergen masuk ke dalam tubuh sudah

dapat mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas (Somantri, 2007).

1

Adapun mekanisme inflamasi pada asma adalah sebagai berikut.

Alergen dihadapkan ke sistem imun oleh makrofag mengkibatkan aktivasi sel CD4 (T

Helper) yang kemudian memproduksi interleukin (terutama IL-2, interferon, IL-4, IL-5,

dan IL-8). Sitokin-sitokin ini mengaktivasi sel inflamasi lain termasuk limfosit B,

polimorfonukleosit (PMN), eosinofil, dan makrofag.

Sel B menghasilkan IgE yang melekat ke reseptor pada sel mast dan mengakibatkan

degranulasi sel mast; iritan dapat secara langsung menstimulasi degranulasi sel mast.

Degranulasi sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, leukotrien,

prostaglandin, dan sel kemotaktan inflamasi menyebabkan inflamasi jalan napas yang

berat (Brashers, 2007).

Inflamasi ini menyebabkan bronkokonstriksi, sekresi mukus, dan edema mukosa yang

mengakibatkan serangan akut.

Eosinofil, limfosit, PMN, dan makrofag menyebabkan cedera jaringan secara langsung

dan menstimulasi pelepasan neuro-peptida toksik yang dapat menyebabkan deskuamasi

lebih lanjut pada epitel bronkial mengakibatkan peningkatan hiperresponsivitas bronkial.

1

Sitokin inflamasi juga mengubah fungsi reseptor muskarinik mengakibatkan peningkatan

kadar asetilkolin yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan sekresi mukus.

Pada penyakit alergi, bisa terjadi respons asmatik lambat (late asthmatic response, LAR)-

eosinofil melepaskan neuro-peptida dan limfosit kemudian diaktivasi lebih lanjut

mengakibatkan kekambuhan bronkokonstriksi pada 4 sampai 12 jam setelah serangan

awal.

Bukti menunjukkan bahwa asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan deskuamasi

jangka panjang pada epitel bronkus dengan menunjukkan hiperresponsivitas bronkus dan

terjadinya jaringan parut pada jalan napas dengan obstruksi jalan napas permanan, yaitu

remodeling jalan napas (obstruksi jalan napas kronis CAO). (Brashers, 2007).

D. Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda-tanda merupakan variabilitas indikasi tingkat keparahan

penyakit asma dari yang tingkat asma ringan hingga berat yaitu asma fatal. Asma ditandai

dengan kesulitan episodik bernafas, sesak dada, dan batuk. Berikut ini gejala dari

penyakit asma:

1. Batuk-batuk akibat dari penyempitan saluran napas, hipersekresi lendir, dan

peningkatan reaksi saraf aferen yang dilihat karena adanya peradangan saluran

napas. Batuk juga dapat terjadi sebagai akibat infeksi saluran nafas oleh virus. Pada

pasien asma, batuk akan mendorong lendir atau lumen kental yang menyumabat

bronkiolus. Akibat dari tekanan yang tinggi dari gejala batuk tersebut maka dapat

menimbulkan edema pada didnding bronkiolus. Batuk pada asma dapat berupa batuk

kronis kering atau batuk produktif yang terjadi secara terus menerus. Frekuensi batuk

biasanya meningkat pada malam hari. Secara fisik terjadi pembengkakan mukosa hidung

dikarenakan peningkatan sekresi hidung, dan hidung polyp sering terlihat pada pasien

dengan asma alergi, eksim, gangguan kulit atropic, bahu membungkuk. 

2. Wheezing (nafas yang berbunyi) dari kontraksi otot halus bersamaan dengan

hipersekresi lendir dan retensi saluran nafas. Nafas yang mengi (mencuit-cuit) sebagai

akibat dari penyempitan bronkiolus baik pada salurannapas kecil, sedang maupun yang

besar karena adanya lendir atau lumen kental pada bronkiolus sehingga pada saat

1

ekspirasi udara sulit dikeluarkan dan menimbulkan nada mengi. Gejala mengi

menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar.

3. Dyspnea atau sesak dada terjadi karena peningkatan kerja otot pada dinding dada

dalam mengatasi resistensi jalan napas. Penderita asma biasanya dapat melakukan

inspirasi tetapi kesulitan dalam melakukan ekspirasi sebab secara fisiologis saluran nafas

menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya

obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi

4. Takipnea, takikardia-takipnea dan takikardia umumnya terjadi pada penyakit asma

akut.

5. Pulsus Paradoxus adalah penurunan lebih dari 10 mm / Hg tekanan arteri sistolik

selama inspirasi dan terjadi pada asma akut.

6. Hipoksemia yaitu penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah (Clifford, 2006).

Manifestasi Klinik:

ASMA KRONIK

Asma klasik ditandai dengan episode dispnea yang disertai dengan bengek, tapi

gambaran klinik asma beragam. Pasien dapat mengeluhkan sempit dada (sesak), batuk

(terutama pada malam hari), atau bunyi saat bernapas. Hal ini sering terjadi saat latihan

fisik tapi dapat terjadi secara spontan atau berhubungan dengan allergen tertentu. Tanda-

tandanya termasuk bunyi saat ekspirasi dengan pemeriksaan auskultasi, batuk kering

yang berulang, atau tanda atropi. Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai

gejala yang berselang. Terdapat keparahan dan remisi berulang, dan interval antar gejala

dapat mingguan, bulanan atau tahunan. Keparahan ditentukan oleh fungsi paru- paru dan

gejala sebelum terapi disamping jumlah obat yang diperlukan untuk mengontrol gejala.

Pasien dapat menunjukkan gejala berselang ringan yang tidak memerlukan pengobatan

atau hanya penggunaan sewaktu- waktu agonis β inhalasi kerja cepat. Pasien dapat juga

menunjukkan gejala asma kronik walau sedang menjalani pengobatan berganda

( Anonim, 2008).

1

ASMA PARAH AKUT

Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut dimana inflamasi, edema jalan

udara, akumulasi mucus berlebihan, dan bronkospasmus parah menyebabkan

penyempitan jalan udara yang serius yang tidak responsive terhadap terapi bronkodilator

biasa. Pasien mungkin mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea parah, nafas

pendek, sesak dada, atau rasa terbakar. Mereka mungkin hanya dapat mengatakan

beberapa kata dalam satu nafas. Gejala tidak responsive terhadap penanganan yang biasa.

Tanda termasuk bunyi yang terdengar dengan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi,

batuk kering yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang

mengembang disertai dengan retraksi interkostal dan supraklavilar. Bunyi nafas dapat

hilang bila obstruksi sangat parah (Anonim, 2008).

Tanda Tanda Terkait Pernapasan :

Sesak napas, fase ekspresi memanjang, mengi dapat terdengar, tulang zigomatik

memerah dan telinga merah, bibir berwarna merah gelap, dapat berkembang menjadi

sianosis pada dasar kuku dan/sianosis sirkumoral, dengan berkembangnya serangan

asma. Pada anak yang sudah besar dapat duduk tegak dengan bahu dibungkukkan, tangan

berada di atas meja atau kursi dan lengan menahan. Berbicara dengan frasa yang singkat,

terpatah-patah dan terengah-engah.

Dada hiperesonansi pada perkusi, bunyi napas kasar dan keras. Mengi di bidang seluruh

bidang paru, ekspirasi memanjang, ronki kasar serta mengi pada saat inspirasi dan

ekspirasi: nada meninggi. Pada episode berulang. Dapat berupa dada barrel, bahu

meninggi dan penggunaan otot-otot pernapasan aksesori. Tampilan wajah: tulang

zigomatik mendatar, lingkaran di sekeliling mata, hidung mengecil, gigi atas menonjol

(Clifford, 2006).

E. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

1

Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat

hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis

alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang,

sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas

karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat

keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang

di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk

mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu,

sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-

bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain

yang merokok di rumah atau lingkunan kerja, obat yang digunakan pasien, adakah ada

beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma

dirangkum dalam tabel (Karnen, 2007).

1

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: penderita tampak sesak napas dan gelisah, penderita lebih

nyaman dalam posisi duduk. Jantung: pekak jantung mengecil, takikardi. Paru: inspeksi

(dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah), auskultasi

(terdengar mengi, ekspirasi memanjang), perkusi (hipersonor) dan palpasi (vocal fremitus

kanan = kiri) (Tucker, 2007).

Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga

untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Karnen, 2007).

2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru

sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari

paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis

asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih

diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV.

untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,

PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam

diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1 (Karnen,

2007).

3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan

asma (Karnen, 2007).

4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi

IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor

pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.

Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST)

bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism) (Karnen, 2007).

5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya

tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan

spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif

inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil

1

dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis

sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan

Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi

endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang

atau sulit dilakukan di luar riset (Karnen, 2007).

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%,

HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan

menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi

saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih

besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam

alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai

ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi

sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes

provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan

jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin (Karnen, 2007).

Pemeriksaan Klinis

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,

menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis

pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk

anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas,

menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat

ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang (Tucker, 2007).

F. Pemeriksaan Laboratorium

Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, Kristal

Charcot Leyden). Leukositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya

infeksi. Eosinofil darah meningkat >250/mm3, jumlah eosinofil ini menurun dengan

pemberian kortikosteroid (Tucker, 2007).

1

G. Penatalaksanaan Terapi

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan

kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan terapi:

ASMA KRONIK

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

Mencegah eksaserbasi akut

Meningkatkan faal paru mendekati normal dan mempertahankan faal paru seoptimal

mungkin

Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise

Menghindari efek samping obat

Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation/ obstruksi) ireversibel

Mencegah kematian karena asma ( Anonim, 2008).

ASMA PARAH AKUT

Perbaikan hipoksemia signifikan

Pembalikan cepat penutupan jalan udara ( dalam hitungan menit)

Pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang parah timbul kembali

Pengembangan rencana aksi tertulis jika keadaan memburuk (Anonim, 2008).

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma

terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (PDPI,

2006).

KRITERIA ASMA TERKONTROL

1. Tidak ada gejala atau gejala minimal

2. Tidak ada gejala asma pada malam hari

3. Tidak ada keterbatasan aktivitas

4. Tidak ada atau minimal pemakaian obat pelega

5. Faal paru normal atau mendekati normal

6. Tidak ada kunjungan ke emergency ( GINA, 2009).

1

Adapun penatalaksanaan terapi asma bronkial terbagi menjadi 2 menurut Global

Initiative for Asthma (GINA) 2009, yaitu :

1. Terapi non farmakologis:

− Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya tentang asma

− Menghindari faktor pencetus (allergen, makanan, perubahan cuaca, infeksi

saluran nafas, aktivitas berlebih, emosi, zat kimia/ obat- obatan)

− Fisiotherapy ( latihan terapi) seperti berenang (memperkuat otot pernapasan),

senam asma ( mengurangi frekuensi serangan dan pemakaian obat) dan bersepeda

− Pemakaian oksigen bila perlu.

2. Terapi farmakologis :

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri

atas pengontrol asma dan pelega nafas.

2.1. Pengontrol asma (Controllers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan rutin setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol

pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol:

• Kortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.

Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan

dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma

persisten (ringan sampai berat). Contoh: Beklometason dipropionat, Budesonid,

Flunisolid, Flutikason, Triamsinolon asetonid.

• Kortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi

(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral

jangka panjang.

• Kromolin (Sodium kromoglikat dan Nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten

ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini

bermanfaat atau tidak.

1

• Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti

antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat

pengontrol. Berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol

gejala dan memperbaiki faal paru.

• Agonis beta-2 kerja lama ( inhalasi)

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2

mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari

sel mast dan basofil.

• Leukotrien modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah

preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar

di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

• Antihistamin generasi ke dua (antagonis –H1)

2.2. Pelega Nafas (Reliever)

Prinsipnya untuk bronkodilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut

seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau

menurunkan hiperesponsif jalan napas. Digunakan setiap kali terjadi serangan.

Golongan obat yang termasuk pelega nafas adalah:

• Agonis beta2 kerja singkat inhalasi

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol

yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.

Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,

meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

1

modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan

akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise - induced asthma

• Kortikosteroid sistemik.

Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator

yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan

dengan bronkodilator lain.

• Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan

menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks

bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah

ipratropium bromide dan tiotropium bromide

• Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian

secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan

gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi

harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Cara Pemberian Pengobatan:

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral

(subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan langsung ke jalan

napas (inhalasi) adalah lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan

napas; efek sistemik minimal atau dihindarkan; beberapa obat hanya dapat diberikan

melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan

kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada

oral.

1

Tabel. Terapi farmakologis sesuai beratnya asma

(GINA, 2009).Dari tabel diatas dapat dilihat, antara lain:

Asma intermiten, tidak membutuhkan pengobatan. Hal ini dikarenakan gejala yang

muncul dari asma intermiten ini < 1 kali dalam 1 minggu atau < 2 kali dalam 1 bulan,

dimana fungsi paru masih tetap normal jika serangan muncul.

Asma presisten ringan, membutuhkan medikasi pengontrolan harian dengan

glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug BB/hari atau ekivalennya). Selain

menggunakan glukorkortikosteroid pengobatan asma presisten ringan juga dapat

menggunakan teofilin lepas lambat, kromolin dan leukotriene modifiers. Obat-obat

ini berfungsi untuk mengontrol asma (controllers) agar eksaserbasi yang timbul tidak

menggangu aktivitas atau tidur.

1

Asma presisten sedang, membutuhkan medikasi pengontrol harian dengan

menggunakan kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau

ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama. Selain menggunakan pilihan medikasi

pengontrol harian, dapat juga menggunakan pilihan lain yaitu

− Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah

teofilin lepas lambat ,atau

− Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah

agonis beta-2 kerja lama oral, atau

− Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

− Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah

leukotriene modifiers.

Apabila pilihan lain yang digunakan kurang berkhasiat dapat juga kita memiliki

alternatif lain yang dapat digunakan (medikasi pengontrol harian + alternatif lain)

yaitu

− kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau

ekivalennya) d itambah agonis beta-2 kerja lama oral dan

− agonis beta-2 kerja lama ditambah teofilin lepas lambat.

Asma presisten berat, membutuhkan medikasi pengontrol harian dengan

menggunakan Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau

ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:

− teofilin lepas lambat

− leukotriene modifiers

− glukokortikosteroid oral

Selain menggunakan pilihan medikasi pengontrol harian, dapat juga menggunakan

pilihan lain yaitu Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah

agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

1

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, ISO Farmakoterapi, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta

Barbara, G W., Joseph T. Dipiro., Terry L. Schwinghammer., Cindy W. Hamilton, 2006,

Pharmacotherapy Handbook, sixth edition, The McGraw-Hill companies,

Singapore

Brashers, Valentina. L., 2007, Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen,

Ed. 2, EGC, Jakarta, pp. 70-71.

Clifford, 2006, Symptoms, Atopy, and Bronchial Response to Methacholine in Parents

with Asthma and Their Children, www.ncbi.nlm.nih.gov/

pmc/articles/.../pdf/archdisch00702-0072.pdf, diakses tanggal 17 April 2013

Depkes RI, 2007, Pharmaceutical Care Penyakit Asma, Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik DITJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Global Initiative for Asthma (GINA), 2009, Global Strategy for Asthma Management

and Prevention, Available from: http://www.ginasthma.com/download.asp?

intId=411, diakses pada 16 April 2013

Karnen, 2007, Pedoman Penatalaksanaan Asma Bronkial, CV Infomedika, Jakarta

Neal, M.J., 2005, Medical Pharmacology At a Glance, fifth edition, Blackwell

Publishing Ltd, London

Nurafiatin, A., Ayu, E.S., Mabruroh, F., dan Fauziah, N., 2007, Patofisiologi Asma,

Universitas Sumatera Utara

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006, Asma: Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Sastrawan, I.G.P., Suryana, K., dan Ngurah Rai I.B., 2008, Prevalensi Asma Bronkial

Atopi pada Pelajar di Desa Tenganan, Jurnal Penyakit Dalam Volume 9, Nomor

1, Januari 2008

Somantri, I., 2007, Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien

dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Salemba Medika, Jakarta, pp. 45.

Tucker S.M., 2007, Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan, Diagnosis, dan

Evaluasi, EGC, Yogyakarta

1