ASMA PADA
-
Upload
meilani-ayu-lestari -
Category
Documents
-
view
19 -
download
2
Transcript of ASMA PADA
ASMA PADA ANAK
Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Kejadian asma meningkat di hampir seluruh dunia, Dalam dekade terakhir ini terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat asma terutama pada anak-anak di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Walaupun tehnologi kedokteran dan pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, tetapi mekanisme dasar perkembangan penyakit ini belum diketahui pasti. Banyak ditemui bayi dan batita sering mengalami mengi pada saat terkena infeksi saluran napas akut dan pada perkembangan selanjutnya jarang menjadi asma di kemudian hari.
Beberapa hal yang belum terungkap jelas tersebut mengakibatkan definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan. Menegakkan diagnosis dan pengobatan asma juga sering mengalami kesulitan sehingga sering terjadi under/overdiagnosis atau under/overtreatment. Dalam mengatasi masalah tersebut di dunia internasional terdapat beberapa panduan yang dianut, antara lain Global Institute for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood Institute yang bekerja sama dengan WHO dan NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program (1997).
GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.
Batasan ini sangat lengkap, tetapi dalam penerapan klinis untuk anak tidak praktis, oleh karena itu KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan sebagai berikut: Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.
Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.Yang dimaksud serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakitnya (aspek kronik) dan derajat serangannya (aspek akut). Berdasar derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi (1) asma episodik jarang, (2) asma episodik sering dan (3) asma persisten. Berdasarkan derajat serangannya, asma dikelompokkan menjadi (1) serangan asma ringan, (2) sedang dan (3) berat.
Faktor resiko terjadinya asma anak bergantung pada faktor herediter dan lingkungan, juga pada umur. Bila salah satu orang tua menderita asma, kemungkinan anak-anak mereka menderita asma adalah 25%,
bila kedua orang tua menderita asma kemungkinannya meningkat menjadi 50%. Asma pada orang tua laki-laki merupakan prediktor yang sangat kuat untuk diturunkan ke anak-anak mereka.
ANGKA KEJADIAN
Angka kejadian asma pada masa anak-anak berkisar antara 1,4-11,4% dan di Amerika Serikat antara 8-13% dengan peningkatan sebesar 50% antara tahun 1964-1980 atau peningkatan prevalensi asma pada anak umur antara 6-11 tahun dari 4,5% antara tahun 1971-1974 menjadi 6,8% antara tahun 1976-1980, suatu peningkatan sebesar hampir 60%. Hal ini disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor modernisasi dan urbanisasi, misalnya menurunnya pemberian ASI ekslusif, pemberian makanan padat yang lebih awal, pemukiman yang makin padat, dan paparan alergen yang baru. Selain itu angka perawatan di rumah sakit meningkat, di AS sekitar 200% pada tahun 1983 dibandingkan tahun 1965, atau kenaikan sekitar 4,5% per tahun, tertinggi pada usia 0-4 tahun.
PATOFISIOLOGI
Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus, udema mukosa dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil, makrofag) dan deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai mediator inflamasi seperti histamin, lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema mukosa dan penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanisfestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 yang akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.
Sesuai dengan definisi asma, maka hiperreaktivitas bronkus merupakan dasar terjadinya asma bronkial. Hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis, udara dingin, alergen, dan zat-zat kimia, dan menimbulkan reaksi inflamasi.
Derajat hiperreaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila terpajan pada faktor pencetus dalam jangka waktu lama. Besar kecilnya intensitas faktor pencetus untuk menimbulkan serangan asma sangat tergantung pada hiperreaktivitas bronkus. Makin berat derajat hiperreaktivitasnya, makin kecil intensitas faktor pencetus yang diperlukan untuk timbulnya serangan asma.
Proses inflamasi saluran napas pasien asma tidak saja ditemukan pada pasien asma berat, tetapi juga pada pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat terjadi lewat jalur imunologik maupun nonimunologik. Akibat interaksi antigen dengan IgE spesifik yang sudah terikat pada sel mast pada mukosa saluran napas, dan/atau basofil di dalam peredaran darah, akan terjadi influks Ca++ ke dalam sel mast dan basofil, dengan akibat cAMP menurun di dalam sel mast/basofil, dan terjadi degranulasi dan pelepasan histamin dan mediator lain (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).
Pada pajanan alergen dapat terjadi 3 kemungkinan, yaitu: respons asma cepat, respons asma cepat dan diikuti respons asma lambat, atau respons asma lambat saja.Pada EAR terjadi penyempitan bronkus dengan segera, kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan alergen, dan berlangsung selama 1-2 jam. Mediator yang dilepaskan oleh sel mast/basofil adalah histamin, ECF, NCF, dan lain-lain. Akibat pelepasan mediator ini akan terjadi spasme otot polos bronkus, inflamasi, edema, dan hipersekresi. Selain itu juga terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil sebagai akibat pelepasan ECF dan NCF oleh sel mast dan hiperreaktivitas bronkus. Pada LAR proses penyempitan bronkus lebih lambat, lebih kurang 4-8 jam sesudah pajanan alergen, dan dapat berlangsung sampai 12-48 jam. Respons lambat ini disebabkan oleh reaksi inflamasi saluran napas sebagai akibat aktivasi eosinofil, dan pelepasan mediator oleh sel mast/basofil seperti leukotrien, PAF, prostaglandin, bradikinin, serotonin, dan lain-lain. Hiperreaktivitas bronkus akibat LAR dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan beberapa bulan. Bila EAR diikuti dengan LAR disebut sebagai dual response.
Polutan seperti ozon dan asap rokok secara langsung menyebabkan kerusakan epitel saluran napas tanpa melalui reaksi imunologik, dengan akibat terpaparnya dan rangsangan pada ujung nervus vagus, demikian pula infeksi virus dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus lewat jalur nonimunologik dan imunologik.
FAKTOR PENCETUS
Ada beberapa faktor pencetus yang erat hubungannya dengan serangan asma, yaitu faktor alergen, keletihan, infeksi, ketegangan emosi, serta faktor lain seperti bahan iritan, asap rokok, refluks gastroesofagal, rinitis alergi, obat dan bahan kimia, endokrin, serta faktor anatomi dan fisiologi.
Alergen
Dikenal 2 macam alergen sebagai penyebab serangan asma, yaitu:
Alergen makanan
Makanan sebagai penyebab atopi khususnya dermatitis atopik dan serangan asma banyak ditemukan pada masa bayi dan anak yang masih muda. Pada bayi dan anak berumur di bawah 3 tahun terutama adalah alergi susu sapi, telur dan kedelai yang umumnya dapat mentolerir kembali sebelum anak berumur 3 tahun. Pada anak besar dan dewasa penyebab utama adalah ikan, kerang-kerangan, kacang tanah dan nuts dan penyebabnya ini sering menetap, walaupun demikian dapat diprovokasi tiap 6 bulan.
Alergen hirup
Dibagi atas 2 kelompok, yaitu:
1. Alergen di dalam rumah (indoors) seperti tungau debu rumah, bulu kucing, bulu anjing atau binatang peliharaan lainnya. Alergen ini banyak dijumpai di negara-negara tropis, juga terdapat di negara-negara dengan 4 musim.
2. Alergen di luar rumah (outdoors), seperti serbuk sari (pollen) khususnya di negara-negara 4 musim; tree pollen pada musim semi, grass pollen pada musim panas, jamur pada musim panas dan gugur.
Tungau debu rumah
Tungau debu rumah (TDR), termasuk spesies laba-laba, banyak terdapat di dalam debu rumah, dan di tempat tidur. Di negara tropis TDR adalah penyebab utama penyakit alergi, khususnya asma bronkial, rinitis alergi dan belakangan ini diduga sebagai penyebab dermatitis atopik.
TDR tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, bahkan dengan mikroskop pun sulit dilihat tanpa sinar dari samping. Untuk hidup, TDR jenis Dermatophagoides pteronyssinus diperlukan suhu sekitar 25-30oC, dengan kelembaban nisbi diatas 50% dan untuk jenis D. farinae dapat bertahan hidup sampai suhu 15oC dan kelembaban nisbi 40%. Populasi TDR banyak ditemukan pada permukaan kasur baik dari kapuk maupun dari busa, sebab untuk makanan TDR diperlukan serpihan kulit manusia.
Infeksi saluran napas
Sekitar 42% eksaserbasi asma dihubungkan dengan infeksi virus, terbanyak respiratory syncytial virus (RSV) pada masa bayi dan anak kecil dan parainfluenza virus pada anak yang lebih besar. Akibat infeksi virus terjadi kerusakan sel epitel saluran napas dan pajanan alergen pada reseptor aferen nervus vagus dan berakibat suatu bronkospasme dan serangan asma. Mengi pertama pada bayi perlu dipertimbangkan antara bronkiolitis atau sebagai serangan pertama asma. Keduanya bisa disebabkan oleh RSV dan sulit dibedakan satu dengan yang lain. Demikian pula pada perjalanan penyakit selanjutnya, dimana penderita dengan bronkiolitis mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk berlanjut dengan mengi di kemudian hari dibandingkan anak normal. Infeksi bakteri umumnya jarang ada hubungannya dengan serangan asma.
Emosi
Emosi dapat meningkatkan aktivitas saraf parasimpatikus, sehingga terjadi pelepasan asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma. Faktor pencetus dapat bersumber dari masalah antara kedua orang tua, antara orang tua dengan anak, atau masalah dengan guru di sekolah.
Latihan jasmani
Asma yang diinduksi latihan jasmani (Exercise Induced Asthma = EIA) dapat terjadi akibat lari bebas di udara yang dingin dan kering. Bila berlari di udara yang hangat dan lembab, EIA jarang timbul. Setelah berlari 2 menit umumya terjadi dilatasi bronkus dan anak merasa lebih enak, tetapi setelah berlari antara 5-8 menit terjadilah konstriksi bronkus (respons dini), dan pada beberapa pasien juga dapat diikuti dengan respons lambat antara 4-6 jam sesudah konstriksi bronkus yang pertama.
Faktor lain
Bahan iritan. Iritan sebagai pencetus asma mencakup bau cat, hair spray, parfum, udara dan air dingin, juga ozon dan bahan industri kimia yang dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus dan inflamasi.
Asap rokok. Asap rokok mengandung beberapa partikel yang dapat dihirup, seperti hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin, nitrogen dioksida, dan akrolein. Asap rokok atau asap obat nyamuk bakar dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar, dan menghambat aktivasi fagosit serta efek bakterisid makrofag, sehingga terjadi hiperreaktivitas bronkus.
Refluks gastroesofagus. Refluks isi lambung ke saluran napas dapat memperberat asma pada anak dan merupakan salah satu penyebab asma nokturnal.
Obat dan bahan kimia. Aspirin dapat sebagai pencetus serangan asma melalui proses alergi dan non alergi. Angka kejadiannya pada orang dewasa adalah antara 4-28%, tetapi jarang pada anak. Obat lain yang perlu diperhatikan sebagai pencetus serangan asma adalah obat antiiflamasi seperti indometasin, ibuprofen, fenilbutason, asam mefenamat, dan b-bloker. Bagi penderita yang alergi terhadap aspirin, mempunyai kemungkinan besar juga alergi terhadap bahan-bahan kimia seperti tartrazin (pewarna kuning untuk kapsul obat) dan sodium benzoat sebagai pengawet makanan atau minuman.
Hormon. Asma dapat timbul atau diperberat oleh menstruasi, segera sebelum atau setelah menstruasi. Pemakaian pil KB, terkadang dapat memperberat asma.
Interaksi pelbagai faktor pencetus
Seringkali faktor pencetus tersebut timbul bersamaan, yang akan memperkuat mekanisme terjadinya asma. Misalnya, pasien asma tertentu hanya mengalami EIA (Exercise Induced Asthma) bila berolahraga pada udara dingin dan sewaktu serangan influensa. Pada pasien lain serangan asma terjadi akibat alergen tertentu dan sewaktu menderita influensa.
KLASIFIKASI ASMA
Penyakit asma dibagi menjadi dua menurut berat ringannya, yaitu:
1. Klasifikasi derajat penyakit asma
Konsensus Internasional Penanggulangan Asma Anak membagi asma berdasarkan keadaan klinis dan keperluan obat menjadi 3 golongan, yaitu asma episodik jarang, persisten sering, dan persisten berat.
1. Klasifikasi derajat serangan asma
Asma yang dinilai berdasarkan derajat serangan dan dibagi atas serangan ringan, sedang, dan berat. Seorang penderita asma persisten sedang atau berat dapat mengalami serangan ringan saja, sebaliknya seorang penderita tergolong episodik jarang (asma ringan) dapat mengalami serangan berat, bahkan ancaman henti napas, tetapi umumnya anak dengan asma persisten sering akan mengalami serangan asma berat atau sebaliknya.
KLASIFIKASI DERAJAT PENYAKIT ASMA
KNAA membagi asma menurut perjalanan penyakitnya dan berdasarkan parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru menjadi 3 derajat penyakit, yaitu: (Tabel 22-2)
Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik sering (asma sedang)
Asma persisten (asma berat)
Pembagian derajat penyakit asma pada anak
Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru
Asma episodik jarang
(Asma ringan)
Asma episodik sering
(Asma sedang)
Asma persisten
(Asma berat)
1. Frekwensi serangan
2. Lama serangan
1. Intensitas serangan
2. Di antara serangan
3. Tidur dan aktivitas
4. Pemeriksaan fisis di luar serangan
5. Obat pengendali (anti inflamasi)
6. Uji faal paru (di luar serangan)
7. Variabilitas faal paru (bila ada serangan)
< 1 x / bulan
< 1 minggu
biasanya ringan
tanpa gejala
tidak terganggu
normal (tidak ditemukan kelainan)
tidak perlu
PEF / FEV1 >80%
variabilitas < 20%
> 1 x / bulan
³ 1 minggu
biasanya sedang
sering ada gejala
sering terganggu
mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
perlu, non steroid
PEF/ FEV1 60-80%
variabilitas 20-30%
Sering
Hampir sepanjang tahun (tidak ada remisi)
biasanya berat
gejala siang & malam
sangat terganggu
tidak pernah normal
perlu, steroid
PEF / FEV1 < 60%
variabilitas > 30%
Penilaian derajat serangan asma
Parameter klinis, fungsi paru,
laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti nafas
Aktivitas Berjalan
Bayi: menangis keras
Berbicara
Bayi:
tangis pendek dan lemah
Istirahat
Bayi:
berhenti makan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin teragitasi
Biasanya teragitasi Biasanya teragitasi
Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring, sepanjang ekspir +inspirasi
Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop
Sulit/ tidak terdengar
Otot bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradoks torakoabdominal
Retraksi Dangkal, retraksi interkostal
Sedang, ditambah retraksi suprasternal
Dalam, ditambah nafas cuping hidung
Dangkal/ hilang
Laju napas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Laju nadi Normal Takikardia Takikardia Bradikardia
Pulsus paradoksus Tidak ada 10-20 mm Hg > 20 mm Hg Tidak ada (kelelahan otot napas)
PEFR atau FEV1 (% nilai dugaan / % nilai terbaik)
-pra bronkodilator
-pasca bronko
Dilator
>60%
>80%
40-60%
60-80%
<40%
<60%
Sa O2 %
Pa O2
Pa CO2
>95%
Normal
< 45 mm Hg
91-95%
>60 mmHg
<45 mm Hg
< 90%
< 60 mmHg
> 45 mm Hg
Butir-butir penilaian dalam tabel ini tidak harus lengkap ada pada setiap pasien. Penilaian tingkat awal harus diberikan jika pasien kurang memberikan respons terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi.
Pembagian derajat penyakit asma pada anak
Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru
Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma persisten
Frekuensi serangan < 1x/bulan > 1x/bulan Sering
Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis diluar serangan
Normal (tidak ditemukan kelainan)
Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
Obat pengendali (anti inflamasi)
Tidak perlu Perlu Perlu
Uji faal paru
(di luar serangan)
PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru (bila ada serangan)
Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
Penilaian derajat serangan asma
Parameter klinis,
Fungsi paru,
laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti nafas
Sesak timbul-pada saat (breathless)
Berjalan
Bayi:
menangis keras
Berbicara
Bayi :
- Tangis pendek dan lemah
- Kesulitan makan/minum
Istirahat
Bayi :
Tidak mau makan/minum
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan
Kesadaran Mungkin iritable Biasanya iritable Biasanya iritable Bingung dan mengantuk
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata/Jelas
Mengi (wheezing) Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring, sepanjang ekspirasi,
inspirasi
Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop
Sulit/tidak terdengar
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Obat Bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradok torako-abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi interkostal
Sedang, ditambah retraksi suprasternal
Dalam, ditambah nafas cuping hidung
Dangkal / hilang
Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :
Usia laju nafas normal
< 2 bulan < 60 / menit
2 – 12 bulan < 50 / menit
1 – 5 tahun < 40 / menit
6 – 8 tahun < 30 / menit
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak sadar :
Usia laju nadi normal
2 – 12 bulan < 160 / menit
1 – 2 tahun < 120 / menit
3 – 8 tahun < 110 / menit
Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis)
Tidak ada
< 10 mmHg
Ada
10-20 mmHg
Ada
> 20 mmHg
Tidak ada, tanda kelelahan otot nafas
PEFR atau FEV1 (% nilai dugaan/% nilai terbaik)
- pra bronkodilator
- pasca bronkodilator
> 60%
40-60%
> 80%
60-80%
< 40%
< 60%
Respon < 2 jam
SaO2 % > 95% 91-95% 90%
PaO2 Normal biasanya tidak perlu diperiksa
> 60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
Sistem Skoring Pernafasan
0 1 2
Sianosis (-) (+) pada udara kamar (+) pada 40% O2
Aktifitas otot-otot pernafasan tambahan (-) Sedang Nyata
Pertukaran udara Baik Sedang Jelek
Keadaan mental Normal Depresi/gelisah Koma
Pulsus paradoksus (Torr) < 10 10-40 > 40
PaO2 (Torr) 70-100 ≤ 70 pada udara kamar ≤ 70 pada 40%O2
PaCO2 (Torr) < 40 40-65 > 65
Skor :
0-4 : tidak ada bahaya
5-6 : akan terjadi gagal nafas → siapkan UGD
≥ 7 : gagal nafas
DIAGNOSIS
UKK Pulmonologi PP IDAI telah membuat pedoman nasional asma dengan gejala awal berupa batuk dan/atau mengi. Pada alur diagnosis selain anamnesis yang cermat beberapa pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan tergantung pada fasilitas yang tersedia. KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan sebagai berikut: Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.
Sedangkan GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat ditegakkan bila didapatkan :
Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1 (forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik pertama) ≥ 15%
Kenaikan ≥ 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator
Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
- Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan dari nilai normal akan menunjang diagnosis
- Foto toraks untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau adanya komplikasi pada saat serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan pada anak > 5 tahun dengan asma persisten atau sulit diatasi.
PENANGANAN
Tatalaksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya tentang penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus serta medikamentosa. Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu pereda (reliever) dan pengendali (controller). Tata laksana asma dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pada saat serangan (asma akut) dan di luar serangan (asma kronik).
Di luar serangan, pemberian obat controller tergantung pada derajat asma. Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan obat controller. Pada saat serangan lakukan prediksi derajat serangan (Lampiran 2), kemudian di tata laksana sesuai dengan derajatnya (lampiran 5).
Pada serangan asma akut yang berat :
- Berikan oksigen
- Nebulasi dengan -agonis ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali pemberian.
- Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada
- Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam
- Berikan aminofilin intra vena :
Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan separuhnya.
Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam
- Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral
- Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus, dan serangan asma merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di ruang gawat darurat.
Tujuan tatalaksana serangan
Meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin
Mengurangi hipoksemia
Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
Rencanakan tatalaksana untuk mencegah kekambuhan
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan, National Asthma Education and Prevention Program (NAEP) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala, pemeriksaan fisis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium (Tabel 22-1).
Tatalaksana serangan asma di klinik atau IGD
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai serajat serangannya menurut klasifikasi di atas dengan fasilitas yang tersedia. Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian b-agonis secara nebulisasi, dapat ditambahkan NaCl 0,9% dan/atau mukolitik. Nebulisasi serupa dapat diulang 2 kali dengan selang 20 menit dan pada pemberian kedua dapat ditambahkan prednison oral 1 mg/kg/kali dan O2. Pemberian O2 dan prednison ini juga dapat diberikan segera bila penderita datang dalam serangan berat. Pemberian prednison sistemik awal dapat mencegah penderita untuk dirawat di rumah sakit (Bagan 22-1).
Alur tatalaksana serangan asma pada anak
Nilai derajat serangan
(sesuai tabel 1)
Klinik/ IGD
Serangan berat
Nebuliser b2- agonis
Oksigen
Prednison oral
Nebuliser 1-3 kali
Prednison oral bila sebelumnya minum / tidak ada kemajuan
Intubasi + ventilator
O2 100%
Nebuliser b2- agonis
Kortikosteroid iv
Serangan ringan
Gagal nafas
Ruang Rawat Inap
Oksigen teruskan
Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada
Steroid iv tiap 6-8 jam
Nebulisasi tiap 1-2 jam
Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan
Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti nafas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif
Bekali obat ß-agonis (hirupan / oral)
Jika sudah ada obat pengendali, teruskan
Dapat diberikan steroid oral
Boleh pulang
Ruang Rawat Sehari
Oksigen teruskan
Berikan steroid oral
Nebulisasi tiap 2 jam
Bila dalam 8-12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
Jika dalam 12 jam klinis tetap belum membaik, alih rawat ke Ruang Rawat Inap
Catatan :
1. Jika menurut penilaian serangannya sedang/berat, nebulisasi dengan ß-agonis + Prednison oral + O2
2. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali maksimal 0,3 ml/kali
3. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi
Tatalaksana jangka panjang
Sehubungan kesulitan menggunakan alat-alat penunjang diagnosis asma pada anak-anak di bawah 6 tahun, maka penentuan derajat penyakit asma pada kelompok anak-anak ini sepenuhnya bergantung pada gejala-gejala klinis (Tabel 22-2).
Untuk anak-anak yang sudah besar (> 6 tahun) sebaiknya dilakukan pemeriksaan faal paru. Uji fungsi paru yang sederhana atau dengan peak flow meter, atau dengan lebih canggih dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan dengan lari bebas (exercise), udara dingin dan kering, atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Ada 3 macam pemeriksaan yang berguna untuk mendukung diagnosis asma anak:
Variabilitas PEFR atau FEV1 ³ 20%
Kenaikan ³ 20% PEFR/FEV1 setelah pemberian bronkodilator inhalasi
Penurunan ³ 20% PEFR/FEV1 setelah provokasi bronkus
Variabilitas harian adalah perbedaan peningkatan/penurunan PEFR dalam 1 hari, sebaiknya penilaian dilakukan selama 2 minggu.
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal, termasuk bermain dan berolah raga
2. Sesedikit mungkin absen sekolah
3. Gejala tidak timbul siang atau malam hari
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal (PEFR) yang mencolok
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin
6. Efek obat dapat dicegah seminimal mungkin, terutama yang menghambat tumbuh kembang anak.
OBAT-OBATAN
Obat-obat yang umum digunakan
Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi
Cairan , Obat, Waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml
-agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2
Waktu 10-15 menit 3-5 menit
Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis
Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi
Golongan -agonis
Fenoterol Berotec Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15 mg/kg)
Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule
Golongan antikolinergik
Ipratropium bromide Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
6 thn : 4-10 tetes
Golongan steroid
Budesonide
Fluticasone
Pulmicort
Flixotide
Respule
Nebule
Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma
Steroid Oral :
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis
Prednisolon Medrol, Medixon
Lameson, Urbason
Tablet
4 mg
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Prednison Hostacortin, Pehacort, Dellacorta
Tablet
5 mg
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Triamsinolon Kenacort Tablet
4 mg
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Steroid Injeksi :
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis
M. prednisolon
suksinat
Solu-Medrol
Medixon
Vial 125 mg
Vial 500 mg
IV / IM 1-2 mg/kg
tiap 6 jam
Hidrokortison-Suksinat Solu-Cortef
Silacort
Vial 100 mg
Vial 100 mg
IV / IM 4 mg/kgBB/x
tiap 6 jam
Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus, dilanjutkan 1
Kalmetason
Fortecortin
Corsona
Ampul 4 mg
Ampul 4 mg
Ampul 5 mg
mg/kgBB/hari diberikan tiap 6-8 jam
Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam
Agonis b2-Adrenergik
Sebagai bronkodilator, b2-Agonis adalah obat yang paling poten dan berkerja cepat dan paling banyak dipakai untuk mengatasi serangan asma. Ada 2 golongan b2-agonis yang tersedia di Indonesia yaitu yang bekerja cepat dan bekerja lambat, dan diberikan dalam bentuk inhalasi (metered dose inhaler), dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler). Selain bekerja sebagai bronkodilatasi, b2-agonis meningkatkan fungsi clearance daripada silia, mengurangi edema dengan menghambat kebocoran kapiler dan mungkin menghambat kerja sel mast. Efek samping b2-agonis adalah tremor, takikardia dan anak cemas, yang semuanya ini akan berkurang bila b2-agonis diberikan lewat hirupan.
Untuk serangan asma dipakai b2-agonis yang bekerja cepat seperti, salbutamol, terbutalin atau pirbeterol, sedangkan salmeterol dan formeterol dipergunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi dan sebaiknya b2-agonis kerja lambat tidak dipergunakan sebagai monoterapi.
Metilxantin
Yang tergolong dalam metilxantin adalah teofilin dan aminofilin. Cara kerja obat ini adalah menghambat kerja ensim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5’AMP yang tidak aktif. Obat ini dapat dipergunakan sebagai pengganti b2-agonis untuk mengatasi serangan asma atau kombinasi dengan b2-agonis oral atau inhalasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat diberikan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma, juga pada asma berat aminofilin masih dapat dipakai dengan memberikannya secara parenteral.
Untuk memperoleh fungsi paru yang baik, diperlukan konsentrasi aminofilin dalam darah antara 5-15 mg/ml dan efek samping terjadi bila kadar aminofilin dalam darah berada di atas 20 mg. Pemberian aminofilin intravena pada serangan berat/status asmatikus dipertimbangkan. Bila dengan obat-obat standar di atas belum ada perbaikan, berikan loading dose 4-5 mg/kg BB, diencerkan dengan NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,7-0,9 mg/kg
BB/jam atau 5-6 mg/kg BB/8 jam. Efek samping yang sering dijumpai adalah iritasi lambung, insomia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebihan dapat terjadi konvulsi.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat anti-inflamasi yang paling poten untuk pengobatan penyakit asma. Kerja obat ini melalui pelbagai cara, antara lain menghambat kerja sel inflamasi, mengambat kebocoran pembuluh darah kapiler, menurunkan produksi mukus dan meningkatkan kerja reseptor b-reseptor.
Steroid inhalasi
Walaupun pemberian steroid secara inhalasi mempunyai efek samping yang minimal (kecuali: kandidiasis oral), pada pemberian lama dan dosis tinggi akan menghambat pertumbuhan, sekitar 1-1,5 cm/tahun untuk bulan-bulan pertama pemakaian, dan pada pemakaian jangka panjang ternyata tidak berpengaruh banyak pada pertumbuhan. Walaupun demikian, perlu dipertimbangkan untuk dikombinasi dengan b-agonis kerja lambat, teofilin kerja lambat atau leukotriene receptor antagonist, bila untuk pengendali jangka panjang pasien resisten terhadap steroid inhalasi atau dosis steroid perlu ditingkatkan.
Obat asma dibagi 2 kelompok, yaitu:
obat pereda (reliever), yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma yang timbul.
obat pengendali (controller) yang digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan.
Cukup diobati dengan obat pereda seperti b-agonis inhalasi, atau nebulisasi kerja pendek dan bila perlu saja, yaitu jika ada serangan/gejala. Teofilin makin kurang perannya dalam tatalaksana serangan asma, sebab batas keamanannya sempit. NAEPP menganjurkan penggunaan kromoglikat atau b-agonis kerja pendek sebelum aktivitas fisik atau pajanan dengan alergen.
NAEPP merekomendasikan kromoglikat atau steroid inhalasi sebagai obat pengendali. Pada anak sebaiknya obat pengendali dimulai dengan kromoglikat inhalasi dahulu, jika tidak berhasil diganti
dengan steroid inhalasi. Bila dengan steroid saja asma belum dapat dikendalikan dengan baik, atau dosis steroid perlu ditingkatkan, sebagai terapi tambahan dapat digunakan b-agonis atau teofilin lepas lambat, atau leukotriene receptor antagonist (zafirlukast atau montelukast) atau leukotriene synthesis inhibitor (Zueliton).
Pada asma berat sebagai obat pengendali adalah steroid inhalasi. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan asma berat, dianjurkan untuk menggunakan steroid dosis tinggi dahulu, bila perlu disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Apabila dengan steroid inhalasi dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap sehingga tercapai dosis terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan b-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. Sebaliknya bila dengan steroid hirupan asmanya belum terkendali, maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian b-agonis kerja lambat, teofilin lepas lambat, atau leukotriene modifier.
Jika dengan penambahan obat tersebut, asmanya tetap belum terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis steroid inhalasi dinaikkan, bahkan bila perlu diberikan steroid oral. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil dan diberikan selang sehari pada pagi hari.
Tatalaksana asma jangka panjang
Derajat asma Pengendali (Controller) Pereda (Reliever)
Persisten berat Terapi harian:
Anti inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis tinggi) dan
Bronkodilator kerja panjang: ß2 agonis inhalasi/tablet kerja panjang, theophylline sustained-release atau
Kortikosteroid/Prednisone 2mg/kg/hari (max 60 mg perhari)
Bronkodilator kerja cepat: ß2 agonis inhalasi
Intensitas terapi tergantung pada seringnya eksaserbasi
Anti inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis rendah atau dosis tinggi)
Persisten sedang Terapi harian:
Anti inflamasi: salah satu dari kortikosteroid inhalasi (dosis rendah) atau cromolyn atau nedokromil (anak-anak biasanya dimulai dari kromolin atau nedokromil).
Dan jika diperlukan:
Bronkodilator jangka panjang: salah satu dari b2-agonis inhalasi atau tablet kerja panjang, theophylline sustained-release atau leukotriene receptor antagonist (LRA)
Bronkodilator kerja cepat: ß-2 agonis inhalasi untuk mengatasi gejala.
Meski demikian, penggunaan ß-2 agonis lebih dari 3-4 kali perhari atau penggunaan teratur setiap hari mengindikasikan perlunya pengobatan tambahan
Episodik ringan Tidak diperlukan terapi harian Bronkodilator kerja cepat: ß2 agonis inhalasi untuk mengatasi gejala.
Intensitas terapi tergantung pada seringnya eksaserbasi
ß2 agonis inhalasi, cro-molyn sebelum olahraga
DAFTAR PUSTAKA
Michael Sly. Asthma Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 664-80.
Lemanske RF, Green CG. Asthma in Infancy and Childhood. Dalam: Middleton E Jr, Ellis EF, penyunting. Allergy, Principle & Practice. 5th ed. St Louis, Mosby 1998, pp 877-900.
Eliss EF. Asthma in Infancy and Childhood. Dalam: Adkinson NF, penyunting. Middleton’s Allergy. Principles and Practice. 6th ed. St Louis 2003, pp 1225-62.
Siwik JP, Nowak RM, Zoratti EM. The evaluation and management of acute, severe asthma. Med Clin Amer. 2002;86:
Larche M, Robinson DS, Kay AB. The role of T lymphocytes in the patogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:450-463.
Warner JO. Guidelines for treatment of asthma. Dalam: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, penyunting. Pediatric Allergy; Principles and practice. St Louis 2003,pp 350-356.
Lemanske RF, Busse WW. Asthma. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:S502-S519.
1. · Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi : PP IDAI, 2004.
Larsen Garyl, Colasurdo GN. Assesment and treatment of Acute Asthma in Children and aldolecens Dalam: Naspitz CK, penyunting. Text Book of Pediatric Asthma an International Perspective. Edisi ke-1. United Kingdom : Martin Dunitz, 2001 : 189-209.