Asma Bronkial
-
Upload
dessy-vinoricka-andriyana -
Category
Documents
-
view
222 -
download
4
description
Transcript of Asma Bronkial
ASMA BRONKIAL
Menurut ‘United states National Tuberculosis Association” 1967, asma bronchial merupakan
penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai
macam rangsangan degan manifestasi berup kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyemitan
yang menyeluruh dari saluran nafas. Penyempitan saluan ini bersifat dinamis, dan derajat penyempitan
dapat berubah, baik secara spontn maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa
kelainan imunologis. Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para hli dibidang klinik,
fisiologi, imunologi dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu kesepakatan baru mengenai
batasan asma,yakni; asma bronchial adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda khas berupa :
1. Obstruksi saluran pernfasan yang dapat pulih kembali ( namun tidak pulih kembali secara
sempurna pada beberapa penderita ) baik secara spontan atau dengan pengobatan
2. Keradangan saluran pernafasan
3. Peningkatan kepekaan dan/ atau tanggapan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap
berbagai rangsangan.
Epidemiologi
Di Indonesia julah penderit asma belum dapat ditentukan dengan pasti karena elum ada data. Di
laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/UPF Paru RSUD Dr. Soetomo
Surabaya menurut data 1991, jumlah penderita asma rawat jalan dan rawat inap menduduki tempat
kedua setelah penyakit infeksi tberkulosis paru.
Prevalensi berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan asma pada anak laki-laki dan wanita sebesar 1,5:1 dan
perbandingan ini cenderung menurun pada usia yang lebih tua. Pada orang dewasa serangan asma
dimulai pada umur lebih dari 35 tahun, wanita lebih banyak daripada pria.
Faktor pencetus
Penyempitan saluran nafas pad asa bronchial, bukanlah penyempitan yang diakibatkan oleh
penyakit infeksi yang menahun pada saluran nafas (seperti bronchitis menahun) ataupun penyempitan
sebagai akibat kerusakan dinding saluran nafas (missal pada bronkiektasis ataupun emfisema paru),
namun karena reaksi inflamasi yang didahului oleh factor pencetus.
Klasifkasi asma
Ditinjau dari segi imunologi, yaitu :
1. Asma ekstrinsik
1.1 Asma ekstrinsik atopic, dengan sifat sebagai berikut :
Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihkan
dengan reaksi kulit tipe 1.
Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan; 85 kasus timbul
sebelum usia 30 tahun
Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan degan tiba-tiba pada waktu
puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda
Prognosis tergantung pada serangan pertaa dan berat ringannya gejala yang timbul.
Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang lebih berat, maka
prognosis menjadi jelek
Perubahan alamiah terjadi karena ada kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE, yang
timbul erutma paa awal kehidupan dan cenderung berkurang disore hari
Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
Dala darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
Ada riwayat keluarga yang menderita asma
Terhadap pengobatan memberikan perbaikan yang cepat.
1.2 Asma ekstrinsik non-Atopik, dengan sifat sebagai berikut :
Serangan asma timbul karena berhubungan dengan bermacam-macam allergen yang
spesifik, seringkali terjadi pada waktu melakukan pekerjaan atau timbul setelah
mengalami paparan dengan allergen yang berlebihan
Tes kulit memberikan reaksi alergi tipe segera, tipe lambat, dan ganda terhadap
alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif
Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
Timbulnya gejala, cenderung pada saat akgir masa kehidupan atau dikemudian hari.
Hal ii dapat diterangkan karena sekali sensitasi terjadi, maka respon asma dapat
dicetuskan oleh berbagai mcam rangsangan non imunlogik seperi emosi, infeksi,
kelelahan an factor sikardian dari siklus biologis.
2. Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi :
2.1 Asma intrinsic
2.2 Asma idiopatik
Asma jenis ini, allergen pencetus sukar ditentukan
Tidak ada aleren ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kullit member hasil negative
Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh
penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-bed
Sering ditemukan pada penderita dewas, dimullai pada umur diatas 30 tahun dan
disebut jugan late onset asthma.
Serangan sesak pada asa tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid
Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik namun tidak dapat
dibutikan keterlibatan IgE
Kadar IgE dalam serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
disbandingkan dengan asma ekstrinsik
Selain itu tes serologi data eunjukkan adanya fakor rematoid, missal sel SLE
Perbedaan lain dengan ekstrinsik asma ialah riwayat keluarga aleri yang jauh lebih
sedikit, sekitr 12 sampai 48 %.
Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin lebih sering dijumpai pada asma jenis
ini.
Patogenesa
Pada saat inikonsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan pengertian dasar
timbulnya asma bronchial dan manifestasi klinisnya adalah konsep inflamasi. Inflamasi sluran nafas, baik
yang dirangsang oleh mekanisme imunologi maupun non-imunologi merupakan proses penting untuk
menerangkan perkembangan pengertian asma pada umumnya.
Hipereaktivitas bronkus dan inflamasi
Gambaran histopatologi sel saluran nafas penderiita asma, merupakan factor penting
pendukung konsep inflamasi sebagai dasar pathogenesis asma bronchial. Pada asma berat hasil biopsy
saluran nafas akan tampak pengelupasan epitel, mucous plug di sluran nafas, penebalan membrane basil
infiltrasi. Sel-sel raang (terutama eosinofil) pada dinding saluran nafas dan hipertrofi otot-otot polos.
Pada asma ringan pun menunjukkan kerusakan eitel, penebalan membrane basalis, degranulasi sel
mast, menempelnya eosinofil, neutrofl monosit dan platelet pada endotel pembuluh darah saluran
nafas serta didapatkan infiltrasi eosinofil pada pada lamina propria.
Hipereaktivitas bronkus merupakan gambaran klinis yang pnting pada asma. Bila dibndingkan
dengan orang normal, penderita asma menunjukkan sesitivitas yang sangat ekstrem terhadap berbagai
rangsangan saluran nafas baik secara spesifik maupun non-spesifik. Derajat hipereaktivitas saluran nafas
tersebut mempunyai korelasi positif dengan berat ringannya gejala klinis dan obat yang diperlukan
untuk pengobatan.
Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa hipereaktivitas brnku pada manusia dan hewan
percobaan dapat terjadi Karen saluran nafas terpapar oleh antigen, infeksi virus atau inhalasi gas seperti
ozon. Namun bagaimana tepatnya tiap-tiap agen tersebut menginduksi terjadinya hipereaktivitas belum
diketahui sevara pasti. Banyak pakar mengatakan bahwa inflamasi saluran nafas oleh rangsangan
imunologi maupun non-imunologi mendasari perkembangan hipereaktivitas bronkus.
Kebanyakan penderita asma yang sensitive terhadap antigen spesifik menunjukkan respon
bronkokonstriksi ganda setelah inhalasi antigen. Respon bronkokonstriksi seger (immediate) mencapai
puncaknya dalam waktu 30 menit dan menghilanng dalam wwaktu 1-2 jam. Respon bronkokonstriksi
lambat (late) mencapai puncaknya secara lambat dalam 4-6 jam dan menghilang dalam 12-24 jam. Pada
manusia dan hewan percobaan, selama respon bronkokonstriksi lambat, timbul hipereaktivitaas bronkus
dan peningkatan tersebut hilang dalam beberapa minggu.
Dua tipe bronkokonstriksi tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Respon segera
terjadi sebelum iflamasi saluran nafas, tidak sensitive terhadap obat anti inflamasi kortikosteroid dan
tidak berhubungan dengn peningkatan hipereaktivitas bronkus. Sebaliknya fase lambat terbukti
berhubungan dengan inflamasi saluran nafas, relative resisten terhadap bronkodilator, namun dapat
dihilangkan dengan kortikosteroid dan berkaitan dengan terjadinya hipereaktivitas bronkus.
Inflamasi oleh saluran nafa oleh sebab-sebab nonimunologi juga dihubungkan dengan timbulnya
hipereaktivitas bronkus. Sebagai contoh, inhalasi ozon dan infeksi virus merusak epitel bronkus dan
menyebabkan respon inflamasi di saluran nafas.
Akibat paparan alergen, virus atau noxious gas akan terjadi pelepasan mediator dari sel-sel
saluran nafas seperti sel mast, sel epitel dan sel saraf. Mediator-mediator seperti histamine dapat
menimbulkan bronkospasme dengan merangsang kontraksi otot polos saluran nafas atau peningkatan
pelepasan neurotransmiter dari saraf kolinergik terminal yang menginervasi otot.
Mediator lain seperti PAF (platelet activating factor) mungkin tidak menyebabkn bronkospasme
langsung, namun bersifat menarik sel radang yang nantinya akan melepaskan mediator yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, produksi mucus dan timbulnya hipereaktivitas
bronkus.
Sel-sel yang terlihat pada pathogenesis asma bronchial
Pada beberapa penderita asma, terdapat antigen spesifik yang dapat menimbulkan inflamasi
dan hipreaktivits bronkus, melalui mekanisme IgE independen. Reaksi radang yang diperankan oleh IgE
adalah hasil aktivasi sel mast, basofil, dan platelet. Beberapa mediator yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag bersifat menarik sel radang lain seperti eosinofil dan sel-sel radang lain tersebut juga
melepaskan mediator baru.
Mediator sel mast.
Mediator Sasaran Gejala
Histamine Otot polosKelenjar
Pembuluh darahSaraf kolinergik
KontraksiSekresi
PerebesanPelepasan neurotransmiter
Prostaglandin D2 Otot poloskelenjar
Kontraksisekresi
Lekotrien B4 Sel darah putih Kemotaksis
Lekotrien C4, D4 Otot polosKelenjar
Pembuluh darah
KontraksiSekresi
perembesan
adenosin Otot polos Kontraksi
NCF dan ECF Sel darah putih Kemotaksis
Chymase, trypase Otot poloskelenjar
Mudah kontraksisekresi
Namun sampai sekarang hrus diakui bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tetapi hanya dapat
dikendalikan. Pada penderita asma telah terjadi perubahan periodic yang dapat menimbulkan kontraksi
otot polos dengan intensitas berubah-ubah disertai hipersekresi mucus. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan factor imunologis, sedangkan pada penderita lain mungkin factor keturunan yang lebih
berperan, malahan pada sebagian penderita lain tidak jelas factor apa yang menjadi penyebab. Tetpi
kalau dilihat dari factor keturunan, maka untuk menegakkan diagnosis asma bronchial yang penting
diketahui adalah riwayat atopi di dalam keluarga penderita.
Reseptor adrenergic
Sungguh pun persyarafan simpatik untuk jaringan paru sangat sedikit (hapir tidak ada) kecuali
persyarafan untuk jaringan vaskuler, namun bahan kimiawi circulating catecholamine yang dihasilkan
mempunyai peranan amat besar dalam jaringan paru. Secara farmakologis bahan kimia ini mempunyai
dua reseptor dasar yakni reseptor beta adrenergic dan reseptor alfa adrenegik. Alfa adrenergic
mempunya reseptor yang terletak di dalam otot polos dan kelenjar eksokrin. Sedangkan beta adrenergic
secara farmakologik dapat dibedakan antara beta-1 yang berada di otot jantung dan beta-2 yang berada
di otot polos di seluruh tubuh, termasuk otot polos yang berada di jaringan bronkus dan pembuluh
darah.
Secara umum rangsangan pada alfa reseptor berakhir dengan timbulnya proses
pembangkitan,sedangkan rangsangan pada reseptor beta berakhir dengan dua bentuk reaksi,yaitu
penghambatan (missal terjadi relaksasi dari bronkus) dan dapat juga berakhir dengan proses
pembangkitan (missal terjadi peningkatan denyut dan kontraksi jantung) dan di dalam tubuh manusia
terdapat jaringan tertentu yang memiliki kedua reseptor di atas. Sedangkan akhir suatu kejadian atau
proses dalam jaringan paru tergantung dari peran katekolamin dan pebandingan relative dari dua
reseptor tersebut. Dalam tubuh manusia terdapat tiga bentuk katekolamin yaitu: dopamine, Nor-
Epinefrin dan Epinefrin. Dopamine merupakan neurotransmitter saraf ekstrapiramidal. Norepinefrin
adalah neurotransmiter pos-ganglion dari serabur saraf simpatik yang merupakan precursor metabolic
dari epinefrin.
Dalam tubuh orang normal,tegangan dinding saluran napas merupakan keseimbangan antara kekuatan
bronkorelaksasi yang dipengaruhi oleh rangsangan pada reseptor beta adrenergic dn bronkokontriksi
yang dipengaruhi rangsangan vagal. Rangsangan pada beta adrenergic akan mengaktifkan
Adenilsiklase,yaitu suatu enzim yang terdapat pada dinding sel otot dan sel mast,tetapi enzim ini tidak
sama dengan enzim yang terdapat pada reseptor beta adrenergic. Adenilsiklase yang aktif ini merupakan
katalisator pada pembentukan siklik adenosine monofosfat (cyclic 3’,5’-AMP atau CAMP) dari
adenosintrifosfat (ATP),CAMP kemudian merembes masuk ke dalam sel dan di dalam sel ini CAMP
mempunyai bermacam-macam fungsi. Salah satu fungsi CAMP yang sangat penting dalam sel otot polos
bronkus adalah mengaktifkan suatu mekanisme yang mencegah timbulnya kontraksi otot polos atau
mekanisme yang membangkitkan relaksasi otot tersebut. Di dalam sel mast,CAMP merupakan bahan
cadangan yang menghambat pelepasan mediator. Reseptor ini dapat mengatur tinggi rendah aktivitas
adenilsiklase,engan cara mengatur kadar CAMP dan karena itu merupakan gambaran dari fungsi
metabolismedari sel tersebut.
Bahan kimia lain yaitu CGMP mempunyai fungsi biologis sebagai zat yang bekerja berlawanan dengan
CAMP serta mempunyai reseptor pada permukaan sel yang peka pada rangsangan spesifik rangsangan
spesifik dapat mengaktifkan siklinukleotida, 3’,5’ guanosin monofosfat (CGMP) meningkat akan terjadi
bronkokontriksi otot polos saluran napas.
Penghambat Beta-adrenergik (Beta Adrenergik Blockade)
Dapat terjadi bila ada malfungsi atau defisiensi enzim adenilsiklse dalam sel otot polos saluran
napas,kelenjar,pembuluh drah paru dan sel mast. Defisiensi enzim adenilsiklase tersebut dapat terjadi
dapat terjadi karena bawaan sejak lahir dan dapat pula diperoleh karena pengaruh bahan metabolit
lain.keadaan lain yang mungkin timbul adalah kemapuan yang rendah dari adenilsiklase mengkatalisasi
pembentukan CAMP,sedangkan kerja adrenergic cukup baik. Bila keaaan ini terjadi akan timbul tonus
konriksi dari saluran napas yang berlebihan dan berlangsung lama, seolah-olah terjadi counter balance
dalam sel mast,dengan akibat terjadi pelepasan mediator yang cukup besar. Blockade adrenergic dapat
juga terjadi karena pengaruh obat-obatan yang termasuk dalam kelompok adrenergic blocking agent
misal propanlol, yaitu obat penurun tekanan darah.
Peranan N.Vagus
Bronkostriksi yang terjadi adalah sebagai akibat refleks saraf otonom. Serabut-serabut aferen berasal
dari reseptor yang terletak di permukaan sinus paranasalis dan sinus maksilaris. Serabut-serabut saraf
aferen membawa kembali rangsangan motorik menuju paru melalui n.vagus dan berakhir pada otot
polos bronkus. Daerah ini merupakan pusat refleks untuk rangsangan yang bersifat iritan,perubahan
diameter saluran napas dapat terjadi karena ada perubahan PaO2 dan PaCO2. Perubahan ini
kemungkinan disebabkan oleh emboli paru,serangan asma atau dapat juga karena serangan langsung
oleh bahan-bahan kimia yang bersifat mediator pada otot polos bronkus. Rangsangan sentral,juga dapat
menyebabkan kenaikan tonus motorik otot polos bronkus dengan akibat bronkostriksi. Engan demikian
jelas bahwa bahn kimia yang bersifat kolinergik yang konsentrasinya dipengaruhi oleh n.Vagus dapat
diterima sebagai penyebab asma.
Pelepasan dan Aktivitas Meditor
Seperti telah diungkapkan di atas bhwa paparan ulang alergen akan mengakibtkan pelepasan
bahan mediator kimia baik oleh sel mast yang berada pada mukosa saluran napas atau oleh sel basofil
yang berada dalam sirkulasi. Dalam hal demikian komplemen tidak terlibat,demikian pula tidak terjadi
peristiwa sitolisis. Pelepasan miator dari dalam sel mast sel basofil dipengaruhi oleh CAMP dan CGMP
dalam sel.
Kenaikan kadar CAMP akan menghambat pelepasan bahan meditor dari dalam sel mast dan basofil serta
mencegah terjadinya bonkokontriksi dan memberi kemudahan kepda otot polos bronkus untuk
relaksasi. Sedangkan kenaikan CGMP juga dapat terjadi bila reseptor kolinergik terangsang oleh
asetilkolin. Kenaikan kadar CGMP ini mendorong sel mast dan sel basofil mengeluarkan mediator. Oleh
karena itu,tinggi rendahnya sel mast dan basofil yang tersensitisasi sangat tergantung dari kepekaan
otot polos saluran napas. Selain itu bahan-bahan yang menstabilkan dinding sel mast dan mengubah
kesimbangan CAMP dan CGMP, dapat pula menghambat pelepasan mediator. Pengertian ini secara
imunologi dapat diterima sebagai pengobatan asma yang rasional.
Mediator kimia yang banyak telibat dalam peristiwa serangan asma bronchial adalah:
1. Histamin
Histamine merupakan amin vasoaktif yang tersebar luas dalam jaringan tubuh,terutama di
jaringan paru. Histamine ini terampung dalam bentuk granula did lam jaringan sel
mast,terutama pada bagian paling depan dari endotel kapiler yang terdapat di submukosa
bronkus. Histamine juga dijumpai sebagai granula dalam sel basofil dan sel netrofil,tetapi juga
paling penting justru mukosa saluran napas dan daerah perivskuler,karena kaya sel
mast,sehingga daerah ini mempunyai potensi untuk timbul alergi bila terjadi paparan ulang
terhadap alergen yang spesifik. Pelepasan histamine oleh sel mast dan basofil menyebabkan
kenaikan permeailitas pembuluh darah dan vasodilatasi,yang akhirnya akan menyebabkan
sembab dan infiltrasi sel-sel radang. Histamine menyebabkan kontraksi otot polos bronkus
dengan akibat terjadi bronkospasme serta sekresi kelenjar bronkus bertambah. Pada orang
normal pengaruh histamine ini kecil sekali sehingga dapat diabaikan.
2. Slow Recting Substance of Anaphylaxis (SRS-A)
SRS-A adalah bahan kimia yang bersifat asam,termostabil (pada keadaan basa) dan meupakan
mediator yang terbesar. SRS-A mulai tampak dalam darah 30 enit setelah terjadi ikatan antara
IGE dengan alergen ulang(rangsangan ulang). Segera setelah terjadi reaksi akibat rangsangan
ulang,dimulai metilasi pada sel membrane yang terdiri dari fosfolopid sel mast atau basofil
maupun sel imunokompeten lain. Fosfolipid yang mengalami metilasi akan menarik enzim
fosfolipase ke tempat terebut dan selanjutnya terjadilah proses metabolisme. Scara
farmakologis SRS-A memberikan pengaruh bronkostriksi lebih lama,300-400 kali lebih kuat
dibandingkan dengan histamine. Kerjanya juga tidak dipengaruhi oleh histamine,walaupun
secara in vitro peristiwa ini belum dapat dibuktikan. Pengaruh bronkostriksi histamine,timbul
lebih cepat.
3. Eosinophyl Chemotatic Factor of Anaphylaxis (ECF-A)
ECF-A terdapat di dalam jaringn paru yang baru mengalami paparan ulang dengan alergen serta
mempunyai aktivitas menarik eosinofil ke tempat terjadinya peristiwa alergi tersebut. Demikian
juga netrofil Chemotataic Factor of Anaphylaxis (NCF-A) mempunyai aktivitas menarik netrofil ke
tempat alergi terjadi, ECF-A dan NCF-A dapat menyebbkan sel radang bermigrasi dan mentap ke
dalam sel mukosa bronkus. Kedua sel ini mengeluarkan Major Basic Protein (MBP) dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) yang dapat merusak membrane basalis sluran pernapasan dan
pengelupasan epitel mukosa bronkus dengan akibat serangan asma menjadi lebih lama dan
berat.
4. Serotonin
Zat ini menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan konstriksi otot plos,walaupun kadar
dalam jaringan paru sedikit. Sedangkan pemberian serotonin perinhalasi tidak menunjukkan
reaksi nyata.
5. Prostaglandin (PG)
PG merupakan metabolit asam arakidonat yang juga dilepaskan oleh jaringan paru,sebagai
akibat dari berbagai macam angsangan termasuk paparan ulang alergen yang spesifik. PGE
bronkodilator sedangkan PGF2a dan tromboksan bersifat bronkokontriksor. Kedua PG diatas
perlu dijaga keseimbangan konsentrasinya dalam serum,karena keduanya mempunyai efek yang
berlawanan dalam mempengaruhi ketegangan otot polos bronkus. Interaksi komlek dari semua
mediator ini dapat dapat timbul dalam suatu peristiwa,misalnya kontraksi otot polos yang
disebabkan oleh histamine akan diperkuat oleh SRS-A atau oleh PGF2a. sebaliknya kerja
histamin akan diperlunak oleh PGE sehingga pelepasan mediator berikutnya tidak terjadi.
6. Platelet Activating Factor (PAF)
PAF merupakan bahan kimia yang dikeluarkan oleh makrofag yang pada permukaannya telah
terjadi ikatan antara IGE-Alergen. Dalam 10 tahun terakhir ini PAF dianggap merupakan
mediator yang kuat sebagai penyebab keradangan saluran pernapasan sehingga dapat
menimbulkan berbagai macam gambaran patologi dalam saluran pernapasan yang khas pada
asma, yakni sembab mukosa. Pengelompokan eosinofil dan peningkatan tanggapan yang
berlebihan.
7. Kortikosteroid Adrenal
Zat ini adalah suatu hormone yang dihasilkan anak ginjal dan ikut dalam proses serangan
asma,walaupun begitu jalur yang dipergunakan masih belum jelas. Namun pengaruh hormone
ini dalam proses penyembuhan sangat dominan, karena berfungsi sebagai anti
inflamasi,mengurangi sekresi mukosa,mempertahankan stabilitas lisosom,menghmbat
pembentukan antibody. Selain itu,hormone anak ginjal ini diduga dapat menghambat kerja
histamine dalam jaringan serta bersifat potensiator terhadap keja bronkodilator.
Hubungan Pengobatan Asma Dengan Kortikosteroid
Di dalam sitoplasma sel mast,CAMP mengalami perubahan menjadi 5’-AMP oleh
fosfodiesterase. Penurunan kadar CAMP ini dapat dicegah dengan pemberian derivate santin yang
bersifat inhibitor kompetitif terhadap fosfodieratase. Fungsi CAMP ini dapat diperkuat oleh obat beta-
adrenergik,sedangkan fungsi ortikosteroid ialah meningkatkan kerja adrenergik. Peningkatan kerja
adrenergik,mediator-mediator yang dapat mengakibatkan perubahan patologi pada jaringan saluran
napas,baik pembentukan atau pelepasan dapat ditekan serta dihambat peredarannya.
Obat-obat yang tergolong dalam beta blocking agent,seperti propanolol,akan memperberat
asma. Dalam tubuh,bahan kimia yang mempunyai sifat seperti betabloker ialah CGMP yang kerjanya
dipengaruhi oleh n.vagus. jadi secara rasional pemakaian obat asma (termasuk kortikosteroid baik
aeroso,oral dan injeksi) seyogyanya ditujukan untuk menghambat pembentukan dan pelepasan
mediator oleh sel mast serta supaya terjadi relaksasi otot polos.
Perubahan Patologi Pada Asma
Perubahan yang terjadi pada sediaan secara makroskopik dan mikroskopik dari penderita status
asmatikus yang telah diotopsi,mudah diamati. Perubahan tersebut berupa sembab mukosa dan
submukosa,penebalan membrane basalis,infiltrasi sel radang (terutama eosinofil dan netrofil),hiperplasi
otot polos,mucus plug yang terdapat di dalam lumen bronkus dan kontraksi otot polos bronkus. Pada
sediaan mikroskopik paru tampak kepucatan,menggelembung (over distended). Selain itu dijumpai pula
daerah ateletaksis,yaitu bagian paru yang tidak terisi udara atau kolaps, sehingga daerah tadi ditandai
dengan jaringan paru yang mengeras,kaku,dan disertai dahak kental (mucus plug). Mucus plug
mengandung sek PMN,sel eosinofil,kristal “Charcot Leyden” ,dan campuran sel eosinofil bersama sel
epitel yang membentuk spiral dariChurschmann. Pada dahak penderita asma,sering dijumpai sel epitel
bersilia memadat dan membentuk massa sferis yang disebut Badan Creola (Creola Bodies) sebagai
akibat adanya deskuamasi.
Gejala Klinik dan Laboratorium Penderita Asma
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak,disertai fase inspirasi yang lebih
pendekdibandingkan dengan fase ekspirasi,dan diikuti bunyi mengi (wwheezing),batuk yang disertai
serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat
ringan,sedang atau berat dan sesak napas penderita biasanya timbul mendadak,dirasakan makin lama
makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita
dengan rhinitis alergi atau radang saluran napas bagian atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita
keluhan utama ialah sukar bernapasdisertai rasa tidak enak di daerah retrosterna. Mengi (wheezing)
terdengar terutama waktu ekspirasi.
Suara mengi ini seringkali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat. Keadaan ini
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan
atau kelelahan otot pernapasan,mengi atau wheezing akan terdengar lemah atau tidak sama sekali.
Sedang batuk hamper selalua ada,bahkan seringkali disertai dengan dahak putih yang berbuih. Selain itu
makin kental dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih berat,apalagi penderita
mengalami dehidrasi.
Dalam keadaan sesak napas hebat,penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan
kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang menyertai sesak napas berat ialah
pergerakan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan,otot bantu pernapasan ikut aktif dan
penderita tampak gelisah. Frekuensi pernapasan ikut meningkat (takipneu),selain karena sesa napas
mungkin pula karena rasa takut. Pada fase permulaan sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2
dan PaCO2,tetapi PH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian aan
memperberatsesak napas,karena akan menyebabkan penurunan PaO2 dan PH serta meningkatkan
PaCO2 darah. Selain itu akan terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai
110-30/menit,karena peningkatan katekolamin dalam darah. Bila tanda-tanda hipoksemia tetap ada,
(PaO2 < 60 mmHg),diikuti dengan hiperkapnia (PaCO2 < 45 mmHg),asidosis
respirasi,sianosis,gelisah,kesadaran menurun,papiledema,pulsus paradoksus, berarti asma makin berat.
Pada perkusi dada,suara napas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan letak diafragma
masih normal, dan menjadi datar serta rendah pada asma berat. Suara vesikuler meningkat,disertai
ekspirasi memanjang. Kalau ada sekret,terdengar ronki kasar waktu inspirasi dan tumpang tindih dengan
wheezing waktu inspirasi. Suara napas tambahan yang bersifat lokal mungkin menunjukkan ada
bronkiektaksis atau pneumonia dan kadang-kadang karena atelektaksis ringan.
Pada pemeriksaan fisik,mungkin disertai penyulit yang sering menyertai asma misalnya
pneumonia,pneumotoraks,pleuritis,payah jantung dan emboli paru. Sedangkan jari tabuh hamper tidak
pernah dijumpai pada penderita asma,kecuali pada penyakit paru supuratif,keganasan atau penyakit
paru yang menimbulkan hipoksemia. Pemeriksaan telinga,hidung,tenggorokan,sinus
paranasalis,kulit,perut dan anggota gerak sangat penting karena infeksi didaerah ini dapat merangsang
serarangan asma.
Gejala klinik pada penderita asma
Keluhan utama pada penderita asma adalah sesaknafas mendadak disertai fase inspirasi yang
lebih pendek dan diikuti bunyi mengi(wheezing), batuk yang disertai serangan sesak nafas yang kumat-
kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat dirasakan ringan, sedang atau berat
dan sesaknya muncul mendadak dan dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi
lebih berat.
Suara mengi ini seringkali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat. Keadaan ini
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan
atau kelelahan otot pernafasan, suara wheezing akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali.
Sedang batuknya hampir selalu ada.
Daalm keadaan sesak nafas berat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan
kedua tangan memegang kedua lutut. Frekuensi pernafasan terlihat meningkat(takipneu). Pada fase
permulaan sesak nafas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, hal ini akan menyebabkan pH
darah ikut menurun dan menyebabkan asidosis metabolik dimana sesak adalah salah satu gejalanya.
Selain itu juga terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi 110-130 kali/menit, karena peningkatan
katekolamin dalam darah.
Pada perkusi dada, suara nafas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan letak diafragma
masih normal dan menjadi datar serta rendah pada asma berat. Suara vesikuler meningkat disertai
ekspirasi yang memanjang. Kalau ada sekret, maka suara ronki kasar waktu inspirasi akan tumpang
tindih dengan suara wheezing. Pada pemeriksaan fisik, sering dijumpai penyakit penyerta asma misalnya
pneumonia, pneumotoraks, pleuritis, payah jantung dan emboli paru.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Dahak
Dahak atau srasal dari putum mukoid berwarna jernih, terdiri dari mukopolisakarida dan serabut
glikoprotein, bila disebabkan alergi murni, umumnya dahak sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak
yang sangat kental sering sekali menyebabkan penyumbatan. Dahak purulen berwarna kuning atau
kehijauan umumnya berjumlah banyak dengan konsistensi kenyal atau lunak dan berasal dari
jaringan epitel yang mengalami nekrosis yang bercampur dengan sel-sel radang dan bakteri. Pada
pemeriksaan mikroskopis, tampak gambaran spiral Churscmann, badan Creola dan kristal Charcot-
Leyden serta dahak 90 % mengandung eosinofil
2. Pemeriksaan darah
Pada penderita yang mengalami stress, dehidrasi dan stress dapat terjadi leukositosis (15.000/mm 3).
Sedang eosinofil meningkat diatas harga normal (800-1000 mm3). Jika jumlahnya mencapai lebih
1000 mm3 maka kemungkinan disebabkan infeksi. Bila eosinofil tetap tinggi setelah diberi
kortikosteroid maka disebut steroid resistant bronchial asthma.
3. Pemeriksaan EKG
Didapatkan sinus takikardi, bila peningkatan detak jantung diatas 120 kali/menit maka menunjukkan
ada hipoksia dan mungkin disertai dengan tekanan oksigen 40-60 mmHg. Bila terjadi serangan asma
akut, tekanan darah meningkat dan EKG menunjukkan gambaran strain ventrikel kanan yang disertai
perubahan aksis jantung kekanan dan perubahan ini dapat pulih keasal. Juga didapatkan RBBB (Right
Bundle Branch Block) P-pulmomal. Aritmia dapat terjadi bila penderita mendapat NE atau mendapat
katekolamin pada saat serangan.
Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan secara farmakologi harus diperhatikan :
1. Target yang akan tercapai
a. Menjaga kelangsungan hidup penderita pada tahap normal
b. Mempertahankan semaksimal mungkin fungsi paru normal
c. Mencegah timbulnya keluhan yang bersifat menahun
d. Mencegah timbulnya serangan ulang
e. Menghindari efek samping obat asma
2. prinsip-prinsip pengobatan asma secara umum
sebelum memberikan pengobatan yang spesifik, beberapa prinsip umum pengobatan harus
ditegakkan terlebih dulu.
a. Asma adalah suatu keadaan menahun yang mengalami eksaserbasi. Pengobatan yang
diberikan haruslah bekesinambungan, mampu menghilangkan keluhan dan mencegah
kekambuhan serta mampu menekan timbulnya proses peradangan menahun pada
saluran nafas
b. Mencegah timbulnya eksaserbasi akut merupakan prinsip pengobatan yang penting ,
menghindari faktor pencetus dan bagi yang alergi menghindari bahan alergen. Bagi
kelompok yang toleransinya rendah terhadap latihan jasmani, serangan asma pada
malam hari yang berulang , terutama asma ringan sampai sedang pemberian obat anti
antiasma merupakan hal yang mutlak terutama yangmempunyai sifat anti radang.
c. Pengobatan asma harus didasarkan pada mekanisme patofisiologi yang menyebabkan
timbulnya asma. Yakni ditekankan pada bagaimana timbulnya peradangan saluran nafas
tersebut.. apa karena jenis mediator spesifik yang menyebabkannya? Bila demikian,
maka pengobatan ini harus mampu menekan komponen-komponen keradangan yang
menyebabkan timbulnya keluhan penderita. Jadi, yang diharapkan ialah bagaimana
hyperresponsives saluran nafas dan mencegah timbulnya obstrusi yang tak dapat pulih
kembali.
d. Berkeyakinan bahwa pengobatan tersebut dapat menyembuhkkan serangan eksaserbasi
akut sehingga dapat menghindari penyempitan saluran nafas lebih lanjut.
e. Pengobatan asma adalah suatu tindakan yang melibatkan banyak hal, antara lain
penyuluhan penderita, pengawasan lingkungan dan pemakaian obat-obatan untuk
mengawais secara objektif perjalanan penyakit tersebut
3. Pengobatan nonfarmakologis
Secara optimal, pengobatan non farmakologis harus dilakukan padsa penyakit asma dan tindakan
tersebut meliputi :
a. penyuluhan mengenai penyakit asma kepada penderita dan keluarganya
b. menjauhi bahan-bahan yang dapat menimbulkan serangan asma dan faktor pencetus
timbulnya asma
c. Imunoterapi
4. Pengobatan farmakologis (medikamentosa)
Tujuannya adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas. Obat-obatan yang dipergunakan meliputi
bronkodilator dan anti keradangan atau keduanya. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya
proses peradangan lebih lanjut sedangkan bronkodilator bekerja dengan cara relaksasi otot polos
bronkus.
Obat antiinflamasi meliputi :
- kortikosteroid
- sodium cromolyn
- anti Inflamasi lainnya
Obat bronkodilator meliputi :
- B-adrenergik agonis
- Metilsantin
- Antikolinergik
Bronkodilator atau kortikosteroid dapat diberikan secara peroral, parenteral atau inhalasi. Obat-
obat ini memiliki indeks terapetik yang lebih baik diberikan sebagai aerosol daripada parenteral ataupun
enteral.
Kortikosteroid
Respon asma terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan
pasien yang resisten terhadap steroid meskipun jarang dan tak menunjukkan hasil yang baik dengan
inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asma bronkial akut
maupun kronik untuk mengatasi secara cepat reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat
serangan asma. Glukokortikoid tidak bekerja langsung sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti
inflamasi, obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis
eikosanoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain dijaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vaskular, sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat yang efektif untuk
asma bronkial. Pengobatan sistemik beresiko tinggi untuk timbulnya efek samping serius, penemuan
glukokortikoid inhalasi merupakan penemuan besar dalam terapi asma karena obat langsung sampai ke
target organ sehingga sangat efektif sedangkan resiko efek samping sistemik sangat rendah. Saat ini ada
5 preparat yang berbentuk inhalasi yaitu beklometason diproprionat, triamsolon asetonid, flunisolid,
budesonid dan flutikason propionat. Indeks terapi semua preparat hampir tidak berbeda bila
digunakan dalam dosis yang dianjurkan. Inhalasi digunakan untuk pencegahan, tetapi dibutuhkan waktu
yang cukup lama dalam pengawasan dokter untuk mencapai keadaan berkurangnya hiperaktivitas paru.
Pasien yang perlu diterpai dengan kortikosteroid adalah pasien yang memerlukan B2-adrenergik agonis
4 kali seminggu atau lebih dalam seminggu. Dosis untuk tiap individu harus dicari dan dapat berbeda
antar individu. Efek samping sistemik dapat terjadi bila obat tertelan, terapi preparat terkini mengalami
metabolisme lintas pertama sehingga lebih kecil kemungkinan efek sistemiknya.
Pada keadaan status asmatikus, glukokortikoid dosis besar harus segera diberikan: metil
prednisolon –Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam diberikan secara IV. Bila gejala mereda, dapat diikuti
pemberian prednison oral 40-60 mg/hari.
Eksaserbasi akut asma dapat diatasi dengan prednison 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari
kemudian bila masih perlu dapat diperpanjang 1 minggu dengan dosis yang lebih rendah. Bila
memberikan respon yang baik, kortikosteroid dapat dihentikan. Gejala supresi fungsi adrenal dapat
timbul dalam waktu 1-2 minggu tergantung besar dosis.
Pasien yang sedang menggunakan glukortikoid oral harus menurunkan dosis secara bertahap
bila akan menggunakan inhalasi beklometason. Inhalasi ini akan menyebabkan kandidiasis orofaring
tanpa gejala. Adapun pencegahannya adalah dengan berkumur setiap sehabis pemakaian.
Risiko efek samping yang ditakuti misalnya penekanan sumbu hipotalamus-hipofise-korteks
adrenal tidak bermakna pada dosis budesonid atau beklometason <1500 µg/hari pada dewasa dan <400
µg/hari pada anak. Begitu pula digunakan metabolisme karbohidrat dan lipid tak nyata pada
beklometason <1000 µg/hari. Purpura atau peniipisan kulit dapat terjadi dan terkait dengan dosis pada
pemakaian beklometason 400-2000 µg/hari. Disfoni juga tak pernah terjadi, kandidiasis <5% dan
menurun dengan menggunakan alat khusus (spacer device), ham,batan pertumbuhan tidak terbukti dan
sulit dipisahkan antara efek obat dan akibat penyakitnya.
Bronkodilator
Spasme otot polos merupakan faktor utama yang menimbulkan obstruksi pada asma. Obat-
obatan beta-adregenergik agonis, teofilin dan antikolinergik terbukti mampu mengendurkan spasme
otot polos tersebut.
a. adrenergik suatu bronkodilator yang spesifik
1. Efinefrin. Merupakan gabungan alfa dan beta adrenergik agonis. Pemberian subkutan
dengan dosis 0,01 mg/kgbb menghasilkan bronkodilator cepat tetapi dengan adanya alfa
adrenergik yang mempunyai aktivitas kuat, pemakaian epinefrin harus dibatasi pada orang
tua, terutama yang menderita penyakit jantung iskemik. Karena obat ini dapat menimbulkan
efek samping seperti iskemia miokard, aritmia dan hipertensi. Kontraindikasi ini tidak
berlaku pada semua penderita yang mengalami eksaserbasi. Pada penderita asma yang juga
mengidap PJK, hipertensi, angina atau aritmia dianjurkan memakai beta-2-agonis aerososl
2. Efedrin. Merupakan bronkodilator ringan yang dikombinasikan dengan aminofilin dan
sedatif.
3. Isoproterenol. Obat ini diberikan dengan menggunakan nebulizer da dalam dosis kecil. Kerja
obat baru tampak setelah 5 menit pemberian dan waktu kerja obat hanya 2 jam. Obat ini
dapat diberian secara injeksi tetapi hati-hati untuk penderita sakit jantung
4. Beta-adrenergik Agonis selektif. Obat ini bekerja selektif sebagai bronkodilator pada
reseptor beta-2 otot polos bronkus sehingga terrjadi pelebaransaluran nafas serta
menghambat terlepasnya mediatosr sel mast dan basofil. Bila diberikan peroral, lama
kerjanya 4-6 jam namun bila diberikan secara aerosol efeknya sampai 12-18 jam. Pemberian
aerosol juga dapat mengurangi pengaruh sampingan dibanding dengan pemberian peroral
maupun parenteral dan pemberian secara inhalasi lebih rasional, baik untuk pencegahan
maupun pengobatan eksaserbasi akut, karena asma merupakan penyakit sakluran nafas.
B. Non adrenergik bronkodilator
1. Teofilin. Teofilin dan derivatnya merupakan obat asma kelopmpok pertama yang sering
dipakai. Untuk pengobatan asma akut tersedia dalam bentuk tablet tipis dengan kerjanya yang
cepat. Namun tak tidak dapat dipakai sebagai maintenance drug karena cepat pula
dimetabolisme. Efek kerja obatnya selama 12-24 jam sehingga dapat dipakai dua kali sehari.
Pada orang dewasa, 400 mg dapat diberikan dengan dosis tunggal atau diminum dua kali (200
mg/tablet). Jika terjadi toleransi terhadap obat, maka dosis dapat dinaikkan sebesar 25% dari
dosis permulaan dengan interval pemberian setiap 3 hari sampai mencapai dosis maksimum.
Untuk mengurangi efek samping seperti mual, muntahdan nyeri perut, teofilin dapat diberikan
dalam bentuk sustained release sehari satu kali dan diberikan pada malam hari. Kadar terapetik
teofilin optimal dalam plasma berkisar sekitar 10-20 µg/ml. Pada orang tua, kadar <10µg/ml
sudah dapat memberikan efek bronkodilatasi. Teofilin menghambat enzim fosfodiesterase
sehingga 5’-cAMP tidak terbentuk dan konstriksi bronkus tak terjadi. Teofilin bekerja melawan
adenosin yang dapat menyebabkan bronkostriksi, meningkatkan pelepasan katekolamin dalam
tubuh, mempengaruhi aliran kalsium dalam sel, mempercepat terjadinya ikatan cAMP dengan
protein menjadi cAAMP-protein dan mengurangi kelelahan otot diafragma.
2. Obat-obat antikolinergik
Atropin, prototipe antikolinergik digunakan sebagai obat asma terbatas karena pengaruh sampingan
yang sering terjadi. Atropin diserap tubuh melewati mukosa. Namun obat sintetiknya banyak dipakai
pada pengobatan penderita PPOK yakni ipatropium bromide dengan nama dagang Atroven dan Robinul.
Merupakan obat yang mempunyai kemampuan bronkodilatasi dua kali liapt dengan waktu kerja yang
lebih lama. Puncak kerja obat ini adalah 60-90 menit dengan lama kerja mencapai 12 jam. Obat ini jauh
lebih efektif pada penderita usia diatas 40 tahun dibandingkan dengan golongan albuterol, manakala
penyakitnya sudah berlangsung lama dan terutama mempunyai dasar emosi. Kombinasi antikolonergi
dengan obat golongan adrenergik akanmenghasilkan relaksasi otot polos bronkus dengan cepat dan
lebih lama.