Asma Bronkial
description
Transcript of Asma Bronkial
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma meningkat dari
waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang.
Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan
peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor
(Baratawidjaja et al, 2006; Rengganis, 2008).
Asma dapat menyerang semua tingkat umur terjadi pada laki-laki maupun
perempuan dan paling banyak pada usia anak. Peningkatan penyakit ini
disetiap negara berbeda-beda dan terjadi peningkatan pada negara
berkembang. Prevalens asma bervariasi antara 0 sampai 30 persen pada
populasi yang berbeda. Penyebab peningkatan prevalens asma tidak terlepas
dari semakin kompleks dan bervariasinya faktor pencetus dan faktor yang
mendasarinya (National Institute of Health, 2005).
Di Indonesia belum ada survei asma secara nasional. Hasil penelitian
menunjukkan prevalens asma di Indonesia sangat bervariasi. Perbedaan ini
antara lain disebabkan kriteria definisi asma yang berbeda dalam penelitian,
perbedaan metodologi yang digunakan, perbedaan etnik, perbedaan faktor
lingkungan, serta status ekonomi subjek penelitian. Meskipun belum ada
survei asma secara nasional di Indonesia, penelitian yang ada menyimpulkan
bahwa prevalens asma di daerah rural (4,3%) lebih rendah daripada di daerah
urban (6,5%) dan yang tertinggi adalah di kota besar seperti di Jakarta (16,4%)
(Ratnawati, 2008).
Terdapat variasi prevalensi, angka perawatan, dan mortalitas asma, baik
regional maupun lokal, perbedaaan tersebut belum jelas apakah prevalensi
memang berbeda atau karena perbedaan kriteria diagnosis. Untuk mengatasi
hal tersebut telah dilaksanakan penelitian multisenter di beberapa negara
menggunakan definisi asma yang sama, dengan menggunakan kuesioner
1
standart. Salah satu penelitian multisenter yang dilaksanakan yaitu
International Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC) (Lenfant,
Khaltaev, 2002; WHO, 2007)
B. Tujuan penulisan
Mengetahui tentang asma bronkial secara menyeluruh yang meliputi
pemahaman yang lengkap mengenai definisi, patogenesis, patofisiologi, faktor
resiko, klasifikasi, diagnosa, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosa banding,
komplikasi dan penatalaksanaan asma bronkial.
C. Manfaat penulisan
1. Menambah wawasan tentang asma bronkial, mulai dari definisi sampai
tatalaksana.
2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi tentang asma
bronkial.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma adalah kumpulan tanda dan gejala mengi serta batuk dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung
pada malam atau dini hari (nokturnal), dan musiman. Adanya faktor pencetus
diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan penngobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau
keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan (Nelson, 1996; PPIDAI,
2004).
Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis
dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada
malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya
aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Pengertian kronik dan berulang mengacu pada kesepakatan UKK Pulmologi pada
KONIKA V di Medan tahun 1981 tentang Batuk Kronik Berulang (BKB) yaitu
batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan/atau tiga atau lebih episode dalam
waktu 3 bulan berturut-turut (Setiawati, 2004).
B. Etiologi dan Faktor Risiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian
asma, berat-ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa
faktor tersebut sudah disepakati oleh ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam
penelitian (Kartasasmita, 2008).
a. Jenis Kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding
antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun (MMWR, 2000).
3
b. Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma
pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama
kehidupan. Dari Melbourne, Australia, dilaporkan sebanyak 25% anak
dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan, dan
75% mendapat serangan mengi pertamasebelum usia 3 tahun. Hanya 5%
anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28 – 35
tahun, 60% tetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya
masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada masa
kanaknya (Peat et al, 1995)
c. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma
persisten dengan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak
usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan
mengi yang dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay
fever, rhinitis alergika, atau eksema. Menurut Buffum dan Settipane, anak
dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupan
memiliki kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak pernah
mengalami mengi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sensitisasi
alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun
pertama kehidupan merupakan prediktor timbulnya asma ( Platts-Mills et
al, 1997).
d. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens
asma den kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih. Selain prevalens, kematian anak akibat asma pada ras
kulit hitam juga lebih tinggi yaitu 3,34 per 1000 berbanding 0,65 per 1000
pada anak kulit putih ( Steyer et al, 2003).
e. Obesitas
1. Obesitas dan Fungsi Paru
Obesitas memiliki efek mekanik yang penting untuk perubahan
fisiologi paru; gejala yang timbul mirip asma. Obesitas menyebabkan
4
penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan diameter saluran
napas perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan hiperreaktivitas saluran
napas, perubahan volume darah pulmoner, dan gangguan fungsi
ventilasi perfusi.
Penurunan sistem komplians paru pada obesitas disebabkan oleh
penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta
peningkatan volume darah paru. Dispneu merupakan gejala akibat
terganggunya sistem ini. Selain itu, pada penderita obesitas aliran
udara di saluran napas terbatas, ditandai dengan menurunnya nilai
FEV1 dan FVC yang umumnya terjadi simetris.
Penurunan volume paru berhubungan dengan berkurangnya
diameter saluran napas perifer menimbulkan gangguan fungsi otot
polos saluran napas. Hal ini menyebabkan perubahan siklus jembatan
aktin-miosin yang berdampak pada peningkatan hiperreaktivitas dan
obstruksi saluran napas.
2. Obesitas dan Mediator Inflamasi
Jaringan adiposit memproduksi sejumlah molekul pro-inflamasi
yang berperan dalam sistem imun seperti interleukin (IL)-6, eotaxin,
tumor necrosis factor (TNF)-α, transforming growth factor (TGF)-β1,
leptin, dan adiponektin. Pada penderita obesitas produksi molekul-
molekul tersebut meningkat sehingga menimbulkan respons inflamasi
sistemik (Beuther et al, 2006; Delgado et al, 2008; Amanda, 2012).
f. Asap Rokok
Risiko asma bronkial terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin
masih di dalam kandungan. Oleh karena itu, merokok selama kehamilan
dapat meningkatkan risiko kejadian asma pada anak. Prevalens dan
eksaserbasi asma pada anak yang terpajan asap rokok (aktif maupun pasif)
lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. dan umumnya
fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak terpajan
(Kartasasmita, 2008).
5
g. Outdoor Air Pollution
Polusi udara secara langsung dapat menyebabkan inflamasi saluran
pernafasan yang ditandai dengan meningkatnya produksi mukus.
Sedangkan, secara tidak langsung polutan udara juga menyebabkan
peningkatan IgE dengan berbagai mekanisme (termasuk aktivitas Th2) dan
inflamasi lokal pada saluran nafas, sehingga terjadi peningkatan kontak
antara jaringan dengan alergen yang nantinya akan timbul respon imun.
Dari penelitian yang ada, disebutkan bahwa polutan dapat meningkatkan
konsentrasi neutrofil dan monosit segera setelah terjadi paparan (Ebtekar,
2006; Kartasasmita, 2008).
h. Infeksi Respiratorik
Infeksi virus diduga mempermudah timbulnya alergi. Hubungan ini
terlihat pada kejadian infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) di masa
bayi dengan timbulnya asma pada kehidupan berikutnya. Infeksi RSV
akan menyebabkan kerusakan epitel saluran nafas yang akan
mempermudah absorbsi aeroalergen dan pembentukkan IgE spesifik RSV
yang nantinya menyebabkan degranulasi sel mast dan menyebabkan
spasme bronkus (Rahmawati et al, 2008).
i. Exercise-induced asthma
Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena
meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran
napas berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang
masuk kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya
aktivasi sel mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan
keluarnya proinflamatory mediator berupa histamin, leukotrien, dan
kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya
bronkospasme pada exercised induced asthma (Laitano, Meyer, 2007).
C. Patogenesis Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi semata –
mata karena bronkospasme yang disertai hipersekresi lendir dan edema
6
dinding bronkus sehingga menyebabkan obstruksi. Kemudian pada tahun
1960 diperkenalkan konsep hiperreaktivitas bronkus pada patogenesis asma
(Rahmawati et al, 2003).
Saat ini Global Initiative for Asthma (GINA) menggambarkan bahwa
asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel
target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran
mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.
Gambaran khas yang menunjukkan adanya inflamasi saluran pernafasan
adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan limfosit T pada mukosa
saluran pernafasan (Kartasasmita, 2008).
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses reparasi saluran pernafasan yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang. Perubahan ini dikenal dengan
remodelling traktus respiratorius (airway remodelling / AR). Konsep AR
sebagai faktor yang berperan penting dalam patogenesis asma telah dipikirkan
sejak era 1990-an, dan mulanya dianggap sebagai hasil akhir dari suatu
inflamasi kronik yang menyebabkan perubahan struktur saluran pernafasan.
Pada tahun 2000-an dipikirkan bahwa AR adalah hal yang penting dan
berlangsung paralel dengan proses inflamasi. Bahkan suatu penelitian
menemukan bahwa AR yang terlihat pada biopsi bronkus telah terjadi empat
tahun sebelum awitan asma anak (Kartasasmita, 2008).
Gambar 1. Konsep patogenesis asma: inflamasi dan airway remodelling
(Lang, 2010).
7
1. Faktor Genetik
Atopi atau predisposisi genetik untuk memproduksi IgE spesifik
setelah pajanan alergen merupakan komponen dari penyakit atopi seperti
asma, rhinitis alergika, dan dermatitis atopi. Beberapa regio kromosom
yang terlibat dalam regulasi genetik asma adalah 5q, 6p, 11q, 12q, 13q,
dan 14q. Penelitian multisenter di Amerika mendapatkan regio lain juga
penting, yaitu 2q, 5p, 11p, 17p, 19q, dan 21q (Irsa, 2005).
Pada tahun 2002, diperkenalkan gen terbaru yang dikaitkan dengan
hiperaktivitas bronkus dan AR. Gen tersebut adalah ADAM-33 (a-
disintegrin and metalloprotease – 33). Gen tersebut terletak di lengan
pendek kromosom 20 yang struktur domainnya erat fungsinya untuk
proteolisis, adhesi, fusi, dan signaling. Ekspresi molekul ADAM-33
ditemukan pada sel otot polos saluran pernafasan (airway smooth muscle/
ASM), miofibroblast, dan fibroblast. Berdasarkan struktur domainnya
yang memiliki sifat adhesi dan protease, ada kemungkinan molekul ini
berperan pada proliferasi dan migrasi, serta menyebabkan fibroblast dan
ASM berperan sebagai suatu unit kontraktil tunggal (Kartasasmita,
2008).
2. Inflamasi Saluran Napas
a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan
selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi
spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel
limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan
meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sel T sitotoksik
cluster differentiation 8 (CD8+) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel
limfosit T helper (CD4+) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Keduanya
mensekresi IL-3 dan Granulocyte Monocyte Colony Stimulating
Factor (GMCSF). Namun, lebih khususnya Sel Th1 mensekresi IL-2,
interferon - (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-), Sedangkan
Th2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Respons imun
dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit
8
(dendritic cells/ DC) yang merupakan sel pengenal antigen primer (
primary antigen presenting cells/ APC) pada saluran pernafasan.
b. Mekanisme limfosit T-IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel
limfosit T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II,
limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian
berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan
produknya akan mempengaruhi dan me-ngontrol limfosit B dalam
memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B
dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B
memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang
sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E
spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE
seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen
berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan
berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi
inflamasi.
c. Mekanisme limfosit TnonIgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3,
IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi
yang lain (eosinofil, basofil, sel mast) akan saling berinteraksi
sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi
eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel
saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas
saluran napas (Airway Hyperresponsiveness/AHR).
9
Gambar 2. Respon Imun Pada Asma (Holgate et al, 2010).
d. Hiperesponsivitas Saluran Napas (Airway Hyperesponsiveness (AHR))
Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan
yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik
maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung
meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena
sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas. Hubungan antara
AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa
mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran napas,
penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar,
kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan
sel otot polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam
patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator
seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5,
10
IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet
activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl
chemotactic factor (ECF).
Tabel 1. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma.
Mediator Pengaruh terhadap asma
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan A2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Kontruksi otot polos
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan E2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
Radikal oksigen
Udema mukosa
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Sekresi mukus
Radikal oksigen
Enzim proteolitik
Faktor inflamasi dan sitokin
Deskuamasi epitel bronkial
3. Airway Remodellling (AR)
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan
maturasi struktur sel. Kombinasi antara kerusakan sel epitel, perbaikan
epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase
11
(MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth
Factors (TGF-β), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi
miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor
pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel
otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan
saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan
dengan lamanya penyakit (Supriyatno, Wahyudin, 2008).
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel
goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama
yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,
memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan
dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling
juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran
respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam
waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna
setelah terapi inhalasi kortikosteroid (Supriyatno, Wahyudin, 2008).
Teori Epithelial – mesenchymal Trophic Unit (EMTU)
Epithelial-mesenchymal trophic unit (EMTU), pertama kali
diperkenalkan oleh Holgate et al, merupakan epitel saluran respiratori dan
jaringan mesenkim di bawahnya yang bertindak sebagai trophic unit yang
saling berkomunikasi. Konsep ini membawa kita ke suatu paradigma baru
patogenesis asma, yaitu bahwa inflamasi dan remodelling bukanlah suatu hal
yang bersifat sekuele, namun berlangsung secara paralel (Supriyatno,
Wahyudin, 2008).
Selama embryogenesis, EMTU berperan dalam remodelling fisiologis
untuk regulasi morfogenesis dan percabangan traktus respiratorius dengan
12
mengatur keseimbangan antara epithelial growth factor (EGF), fibroblast
growth factor (FGF), dan transforming growth factor β (TGF β).
Pada pasien asma, EMTU teraktivasi menyebabkan remodelling
patologis dan proliferasi ASM. Komunikasi antarsel dalam EMTU, dan
interaksinya dengan Th2 ditokin proinflamasi dalam patogenesis asma
berproses salam tiga tahap. Tahap pertama (inisisasi) dimulai dengan adanya
kepekaan epitel bronkus terhadap inhalan lingkungan. Pada keadaan normal,
epitel melepas zat-zat yang menekan sel-sel mesenkim. Pada asma, epitel
yang rusak mengalami defisiensi zat-zat tersebut, sehingga akan
mengakibatkan aktivasi fibroblast dan miofibroblast di bawah lapisan epitel.
Aktivasi tersebut diatur oleh faktor-faktor pertumbuhan yang dilepas oleh
epitel (tahap propagasi).
Pada tahap amplifikasi, aktivasi miofibroblast akan melepaskan Growth
Factor (GF) yang menyebabkan proliferasi miofibroblast dan ASM. Aktivasi
miofibroblast juga menyebabkan pelepasan sitokin dan kemokin yang
menyebabkan inflamasi saluran respiratori. Secara keseluruhan, EMTU yang
teraktivasi dan interaksinya dengan sitokin Th2 akan menyebabkan inflamasi
dan AR yang prosesnya berlangsung paralel (Supriyatno, Wahyudin, 2008;
Holgate et al, 2010).
D. Patofisiologi Asma
a. Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh
sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien
C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh
saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post
ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran
nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta
terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul
pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal
13
dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler (Makmuri, 2008).
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan
oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh
struktur pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap
penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan
hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang
kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini
meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada
kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan
interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga
kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan
penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas
(Makmuri, 2008).
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
b. Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui,
14
namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas
yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun
fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut (Makmuri, 2008).
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika
pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg
% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang
merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit
yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD),
fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin,
ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos
saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut
akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat
disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya (Makmuri, 2008).
c. Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot
bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus
kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks
ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai
tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen
kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik (Makmuri, 2008).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui
melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot
polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama
tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase
terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap
atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder
terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya
edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis
(Makmuri, 2008).
15
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase
dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot
polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya
seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot
polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas
(Makmuri, 2008).
d. Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan
pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran
nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat
penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma
yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten
pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
bronkodilator (Makmuri, 2008).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial,
eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis
(Makmuri, 2008).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi
yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan
hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel
granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus
lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase
lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang
lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease
(Makmuri, 2008).
E. Gejala Klinis
16
Definisi asma bermacam-macam, tergantung kriteria mana yang dianut.
GINA mendefinisikan asma sebagai inflamasi kronis saluran nafas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi yang
berulang, sesak nafas, rasa tertekan di dada, dan batuk khususnya malam hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi
tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan (Supriyatno, 2005).
Definisi asma menurut GINA tersebut cukup lengkap namun kurang
praktis bila digunakan, sehingga untuk klinisi yang sering digunakan adalah
definisi menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA). PNAA
menyepakati kecurigaan asma apabila anak menunjukkkan gejala batuk dan
atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan
atopi pada penderita atau keluarganya (Supriyatno, 2005).
Akhir-akhir ini banyak yang berpendapat bahwa untuk menegakkan
diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila
tidak pernah dijumpai adanya wheezing. Hal itu disebabkan pada usia tersebut
kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja.
Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga tahun
(batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang
dijumpai pertama kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai
keadaan batuk kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan
karakteristik seperti di atas, tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma
(Supriyatno, 2005).
F. Diagnosis
a. Anamnesis
17
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang
menunjukkan batruk dan atau mengi yang timbul secara episodik,
cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada pasien atau
keluarga (Rahajoe, 2007; Rahajoe, Supriyatno, Setyanto, 2009).
Pada serangan asma, gejala yang timbul bergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat.
Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada
serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan
kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat
dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata
(Pusponegoro et al, 2005).
b. Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara
lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun
epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan
sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat
ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi
bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan (Pusponegoro, 2005).
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya
inflamasi kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi
lender, udem dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga
mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada
auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat
serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori
yang lebih menonjol (Pusponegoro, 2005).
c. Pemeriksaan Penunjang
18
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan
adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-
posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan
rendahnya PO2 (hipoksemia). Pengukuran faal paru sangat berguna untuk
meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma
sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula
diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat
keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita
menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai
hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan
kadar kontrol terhadap asma (Pusponegoro, 2005)
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total
dapat membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan
eusinofil total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan
diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau
metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitif
dapat ditegakkan (Pusponegoro, 2005).
Gambar 4. Diagram Alur Diagnosis Asma Anak (Konsensus Nasional Asma
Anak, 2001).
19
Klasifikasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan
tatalaksana lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma menjadi empat
klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sednag, dan asma persisten berat. Berbeda dengan GINA, PNAA membagi
asma menjadi tiga, yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan
asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak kejadian
episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas).
Menurut derajat serangannya, GINA membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, serangan
sedang, dan serangan berat.
Tabel 2. Klasifikasi derajat asma menurut GINA
Tabel 3. Klasifikasi derajat asma anak menurut PNAA
Parameter klinis Asma episodic Asma episodic Asma persisten
21
Kebutuhan obat,
dan faal paru
jarang
(asma ringan)
sering
(asma sedang) (asma berat)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang
tahun, tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu
<3x/minggu
Sering terganggu
>3x/minggu
Sangat terganggu
6.Pemeriksaan fisis
diluar serangan
Normal, tidak
ditemukan kelainan
Mungkin terganggu
(ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/
steroid inhalasi dosis
100-200 ụg
Perlu, steroid inhalasi
Dosis ≥400 ụg/hari
8.Uji faal paru
(di luar serangan)
PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal
paru
(bila ada serangan)
≥20% ≥30% ≥50%
Keterangan:
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),
FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1
detik)
Tabel 4. Penentuan Derajat serangan asma menurut GINA
Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman
22
Fungsi paru,
Laboraturium
henti napas
Sesak (breathless) Berjalan
Bayi :
Menangis keras
Berbicara
Bayi :
Tangis pendek
& lemah
Kesulitan
menetek dan
makan
Istirahat
Bayi :
Tidak mau
minum /
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka
Duduk
Duduk
bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal
kalimat
Kata-kata
Kesadaran Mungkin
irritable
Biasanya
irritable
Biasanya
Irritable
kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering
hanya pada
akhir
ekspirasi
Nyaring,
Sepanjang
ekspirasi
± inspirasi
Sangat
nyaring,
Terdengar
tanpa
stateskop
Sulit /
Tidak terdengar
Penggunaan otot
Bantu respiratorik
Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
paradox
Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal,
Retraksi
Interkosta
Sedang,
ditambah
Retraksi
suprasternal
Dalam,
ditambah
Napas cuping
hidung
Dangkal/
Hilang
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
23
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit
Pulsus paradoksus Tidak ada
<10 mmHg
Ada
10-20 mmHg
Ada
>20 mmHg
Tidak ada,
Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik
PEFR atau FEV1
Prabronkodilator
Pascabronkodilator
(% Nilai
dugaan/
>60%
>80%
Nilai terbaik)
40-60%
60-80%
<40%
<60%
Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
H. Tatalaksana Asma
24
Tatalaksana asna anak dibagi menjadi beberapa hal yaitu tatalaksana
komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya,
penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa. Pada KIE perlu
ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung
pada kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang
menanganinya. Keluarga penderita perlu dijelaskan mengenai asma secara
detail dengan bahasa yang komunikatif agar keluarga mengetahui apa saja
yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penganganan pertama
apabila terjadi serangan, dan sebagainya (Supriyatno, 2005).
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peranan
yang cukup. Serangan asma akan timbul bila ada faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratori yang
berakibat terjadinya bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi.
Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan
terhadap saluran respiratori (Supriyatno, 2005).
Tatalaksana medikamentosa dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
tatalaksana saat serangan dan jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak
secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak
secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan
yang ingin dicapai adalah:
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,
termasuk bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan:
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
25
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan (Rahajoe, 2008; Supriyatno, Makmuri, 2008).
a. Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi
digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini
digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik
saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus
diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian
pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah
tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu (Rahajoe, 2007).
1) Obat – obat Pereda (Reliever) / Terapi saat serangan
i. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi
asma akut pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel
jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas
(Supriyatno, Makmuri, 2008).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga
timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast (Supriyatno,
Makmuri, 2008).
b. Epinefrin/adrenalin
26
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali
tidak ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi
pada reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek
samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,
tremor, dan hipertensi (Supriyatno, Makmuri, 2008).
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan
karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan
menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS
(Supriyatno, Makmuri, 2008).
c. β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
- Salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6
jam.
- Tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
- Fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
- Salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
- Terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah
30 menit, efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya
sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset
kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama
kerjanya 4 – 6 jam.
- Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
- Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
- Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat
ksrena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian
27
distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi.
- Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit,
dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
- Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama
10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan
infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot
skeletal,sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
d. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2
agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan
batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik
(Supriyatno, Makmuri, 2008).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme
terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal,
atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan
karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat
besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh
tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu.
Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin (Suherman, Ascobat, 2008).
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
- 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
- 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
- 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
- > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
28
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala.
Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang,
takikardi dan aritmia (Supriyatno, Makmuri, 2008).
ii. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi
dengan nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang
lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam
(Supriyatno, Makmuri, 2008).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis
: untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.
Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma
jangka panjang pada anak (Supriyatno, Makmuri, 2008).
iii. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali
sehari selama 3 – 5 kali sehari (Supriyatno, Makmuri, 2008).
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator.
Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,
menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil,
eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vaskuler (Suherman, Ascobat, 2008).
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar,
dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang
29
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone
bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam
(Suherman, Ascobat, 2008).
2) Obat – obat Pengontrol/ Tatalaksana jangka panjang
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi
dan sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled
β2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol
yang paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma
semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi
budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit,
meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi
latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina
retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah
atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2
agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire
anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid
hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada
percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid
hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai
berikut :
30
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan
cystenil leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan
sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu
fungsi hati; sayangnya preparat montelukast ini belum ada di
Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu
dengan meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan
menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat
mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot
polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos
menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per
oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun
adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7
tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai
tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine.
Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan
formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih
baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore,
penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway
31
remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket,
yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah
penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi
teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit
kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit
perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping
muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu
terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara
bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
b. Terapi Suportif
Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi
oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal >
95%).
Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana
pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone
(ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura
negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya
edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan
rumatan.
32
c. Prevensi dan Intervensi Dini
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan,
mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap
debu rumah dan tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen
33
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing
tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi
kelompok tersebut berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel
studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang
tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu
indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat
kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat
salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia,
rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu (Sundaru,
2001; PNAA, 2004).
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat, prognosis asma
adalah baik. Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran
yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari p
opulasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka
kematiancenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan
terbatas.Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa
prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien,
khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak.
Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen;
akan tetapi persen anak yang menderita penyakit yang berat relatif rendah (6
sampai 19 persen). Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti
bronchitis kronik, asma tidak progresif (Sundaru, 2001).
III. RINGKASAN
35
1. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan
saluran napas yang paling sering dijumpai pada anak.
2. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian
asma, berat-ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma.
Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh ahli, sedangkan sebagian
lain masih dalam penelitian.
3. Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Selain teori inflamasi, airway remodelling (AR)
juga memegang penting pada patogenesis asma.
4. Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia (PNAAI) membagi asma
menjadi tiga derajat, yaitu: asma episodik jarang, asma episodik sering,
dan asma persisten.
5. Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
6. Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang. Tatalaksananya dapat berupa medikamentosa (reliever
dan controller), suportif, san upaya preventif.
7. Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat, prognosis asma
adalah baik.
36