Askep Resiko Prilaku Kekerasan

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa pada mulanya dianggap suatu yang gaib, sehingga penanganannya secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan gaib. Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang manifestasinya pada kesadaran, emosi, persepsi, dan intelegensi. Salah satu gangguan jiwa tersebut adalah gangguan perilaku kekerasan. Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai suatu respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman individu. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruksif pada saat terjadi dapat melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya sehingga individu tidak mengalami kecemasan, stress, dan merasa bersalah dan bahkan merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Dalam hal ini, peran serta keluarga sangat penting, namun perawatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan jiwa. B. Tujuan Penulisan

Transcript of Askep Resiko Prilaku Kekerasan

Page 1: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gangguan jiwa pada mulanya dianggap suatu yang gaib, sehingga

penanganannya secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang berhubungan

dengan kekuatan gaib. Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang terjadi

pada unsur jiwa yang manifestasinya pada kesadaran, emosi, persepsi, dan

intelegensi. Salah satu gangguan jiwa tersebut adalah gangguan perilaku

kekerasan.

Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai suatu respon terhadap

kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman individu. Pengungkapan kemarahan

dengan langsung dan konstruksif pada saat terjadi dapat melegakan individu dan

membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya sehingga individu

tidak mengalami kecemasan, stress, dan merasa bersalah dan bahkan merusak diri

sendiri, orang lain dan lingkungan. Dalam hal ini, peran serta keluarga sangat

penting, namun perawatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan

jiwa.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Setelah membahas kasus ini diharapkan mengerti dan memberikan asuhan

keperawatan pada pasien perilaku kekerasan.

2. Tujuan Khusus

Setelah menyusun makalah ini diharapkan mahasiswa mampu :

a. Melakukan pengkajian pada klien dengan perilaku kekerasan

b. Merumuskan diagnosa untuk klien dengan perilaku kekerasan

c. Membuat perencanaan untuk klien dengan perilaku kekerasan

d. Melakukan implementasi pada klien dengan perilaku kekerasan

e. Membuat evaluasi pada klien dengan perilaku kekerasan.

Page 2: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap

kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman individu.

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis. Kemarahan merupakan

bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak dapat di elakkan dan sering

menimbulkan suatu tekanan.

B. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif

Kekerasan

Respon marah yang adaptif meliputi :

1. Pernyataan (Assertion)

Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa

marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini

biasanya akan memberikan kelegaan.

2. Frustasi

Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan,

atau rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak

menemukan alternatif lain.

Respon marah yang maladaptif meliputi :

1. Pasif

Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan

perasaan yang sedang di alami untuk menghindari suatu tuntutan nyata.

Page 3: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

2. Agresif

Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk

menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk destruktif tapi masih

terkontrol.

3. Amuk dan kekerasan

Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol, dimana

individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

C. Etiologi

Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku

kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga

diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa

seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat

digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan

diri, merasa gagal mencapai keinginan.

D. Tanda dan Gejala

1. Muka merah

2. Pandangan tajam

3. Otot tegang

4. Nada suara tinggi

5. Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak

6. Memukul jika tidak senang

Proses Kemarahan

Stress, cemas, harga diri rendah, dan bersalah dapat menimbulkan

kemarahan. Respons terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal

maupun internal.

Page 4: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

Eksternal yaitu konstruktif, agresif.

Internal yaitu perilaku yang tidak asertif dan merusak diri sendiri.

Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan

menggunakan kata-kata yang dapt di mengerti dan diterima tanpa

menyakiti hati orang lain, akan memberikan perasaan lega, keteganganpun

akan menurun dan perasaan marah teratasi.

Marah di ekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya

dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara ini tidak menyelesaikan

masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan

dandapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif, amuk yang ditujukan

pada orang lain maupun lingkungan.

Perilaku tidak asertif seperti menekan perasaan marah atau melarikan diri

dan rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan

rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan

kemarahan destruktif yang ditujukan pada diri sendiri.

E. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

1. Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor

predisposisi, artinya mungkin terjadi perilaku kekerasan jika factor berikut di

alami oleh individu :

a. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat mnimbulkan frustasi yang

kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak

menyenangkan yaitu perasaan di tolak, di hina, di aniyaya atau saksi

penganiayaan.

b. Perilaku : reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,

sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek

ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.

Page 5: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

c. Sosial budaya : budaya tertutup dan membalas secara alam (positif agresif)

dan control social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan diterima

(permissive)

d. Bioneurologis : banyak pendapat bahwa kerusakan sisitem limbic, lobus

frontal, lobus temporal dan ketidak seimbangan neurotransmiter turut

berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi debedakan menjadi 2, yaitu:

a. Faktor Internal

Semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya percaya

diri, rasa takut sakit, hilang kontrol, dan lain-lain.

b. Faktor Eksternal

Penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dan lain-lain.

Factor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi

dengan orang lain. Kondisi klien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik),

keputus asaan, ketidak berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi

penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang

ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang

dicintainya / pekerjaan dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain.

Interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

F. Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada

penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan

mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (tuart dan sundeen,

1998 hal : 33)

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk

melindungi diri antara lain :

Page 6: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

1. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata

masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan

penyaluranya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah

melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas remas

adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk

mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

2. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang

tidak baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia

mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik

menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya

3. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk

kealam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya

yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang

diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang

tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya

dan akhirnya ia dapat melupakanya.

4. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan.

Dengan melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan

menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada

teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat.

5. Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan.

Pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang

membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena

ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar

didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya.

Page 7: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

G. Sumber Koping

Menurut Suart Sundeen 1998 :

1. Aset ekonomi

2. Kemampuan dan keahlian

3. Tehnik defensif

4. Sumber sosial

5. Motivasi

6. Kesehatan dan energi

7. Kepercayaan

8. Kemampuan memecahkan masalah

9. Kemampuan sosial

10. Sumber sosial dan material

11. Pengetahuan

12. Stabilitas budaya

H. Penatalaksanaan Umum

1. Farmakoterapi

Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.

Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi

contohnya Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan

psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya

Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan Transquilizer

bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya

mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.

2. Terapi Okupasi

Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan

pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan

dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi. Terapi ini merupakan langkah

Page 8: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah

dilakukannyan seleksi dan ditentukan program kegiatannya.

3. Peran serta keluarga

Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan

perawatan langsung pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu

keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah

kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada

anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan

menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai

kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive

(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan skunder)

dan memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier)

sehingga derajat kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara

opti9mal. (Budi Anna Keliat,1992).

4. Terapi somatic

Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic

terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan

mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan

tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah

perilaku klien

5. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah

bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan

mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien.

Terapi ini ada awalnya untukmenangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali

terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

Page 9: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

I. Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri, Orang lain atau lingkungan

Pigmen terapeutik ↑

Inefektif → Perlaku kekerasan ←Halusinasi

↑ HDR

Mekanisme koping individu in efektif ↑ ↑

berduka difungsional Isolasi sosial

Gambar 1 : pohon masalah PK

J. Masalah Keperawatan yang mungkin muncul

1. Resiko mencederai diri dan orang lain atau lingkungan b.d perilaku

kekerasan.

2. Perilaku kekerasan b.d harga diri rendah

3. Perubahan sensori dan persepsi; Halusinasi b.d isolasi sosial

4. Isolasi sosial b.d mekanisme koping individu inefektif

K. Diagnosa Keperawatan

Perilaku kekerasan

L. Fokus Intervensi

Perilaku Kekerasan

TUM : Klien dapat melanjutkan peran sesuai dengan tanggung jawab.

TUK : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

Kriteria hasil :

Page 10: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

Klien mau menjawab salam

Klien mau menjabat tangan

Klien mau menyabutkan nama

Klien mau tersenyum

Ada kontak mata

Mau mengetahui nama perawat

Mau menyediakan waktu untuk kontak

Intervensi :

a. Memberi salam atau panggil nama klien

b. Sebutkan nama perawat sambil menjabat tangan

c. Jelaskan tujuan interaksi

d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat

e. Beri sikap aman dan empati

f. Lakukan kontrak singkat tapi sering

Page 11: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

TUK 2 : Klien dapat mengnidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

Kriteria Evaluasi :

Klien dapat mengungkapkan perasaannya

Klien dapat mengungkapkan penyebab marah, baik dari diri sendiri

nmaupun orang lain dan lingkungan.

Intervensi :

a. Anjurkan klien mengnungkapkan yang dialami saat marah.

b. Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.

c. Simpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 3 : klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

Kriteria Evaluasi :

Klien dapat mengunngkapkan yang dialami saat marah.

Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda marah yang dialami.

Intervensi :

a. Anjurkan klien mengnungkapkan yang dialami saat marah.

b. Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.

c. Simpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 4 : Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

Kriteria evaluasi :

Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan

Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan.

Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah atau

tidak.

Intervensi :

a. Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

b. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan.

Page 12: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

c. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan

masalahnya selesai.

TUK 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat dari perilaku kekerasan.

Kriteria evaluasi :

Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien.

Intervensi :

a. Berbicara akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.

b. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien.

c. Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.

TUK 6 : Klien dapat mengidentifikasi cara kontruktif dalam berespon terhadap

kemarahan.

Kriteria evaluasi :

Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan secara

konstruktif.

Intervensi :

a. Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.

b. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.

c. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat :

Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal atau memukul bantal atau

kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.

Secara verbal : katakan bahwa anda sedang kesal atau tersinggung atau

jengkel (saya kesal Anda berkata seperti itu : saya marah karena mami

tidak memenuhi keinginan saya).

Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat ;

latihan asertif.

Secara spiritual : anjurkan klien sembahyang, berdoa atau ibadah lain

meminta pada Tuhan untuk beri kesabaran, mengadu pada Tuhan

kekerasan atau kejengkelan.

Page 13: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

TUK 7 : Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.

Kriteria evaluasi :

Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.

Fisik : tarik nafas dalam olahraga menyiram tanaman,

Verbal : mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti.

Spiritual : sembahyang, berdoa atau ibadah klien.

Intrevensi :

a. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.

b. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih.

c. Bantu klien untuk memaksimulasi cara tersebut (role play).

d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien mensimulasi cara

tersebut.

e. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel

atau marah.

Page 14: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

M. Implementasi

Ada 5 prinsip utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien

khususnya, pada kien amuk/ kekerasan yaitu:

a. Psikoterapiutik

a. Membina hubungan saling percaya

b. Membantu meningkatkan harga diri

c. Membantu koping klien

b. Lingkungan terapiutik

a. Lingkungan yang bersahabat

b. Pujian atas keberhasilan klien

c. Kegiatan hidup sehari-hari

a. Membantu memenuhi aktivitas sehari-hari

b. Membimbing klien dalam perawatan diri.

d. Somatik

a. Memberi obat sesuai ketentuan, membujuk klien untuk minum obat.

N. Evaluasi

1. Pada klien

Klien tidak mencederai diri dan orang lain.

Klien mampu mempertahankan hubungan akrab dengan orang lain.

Klien mampu merawat diri secara optimal.

Klien dapat mengontrol terjadinya amuk dengan koping aktivitas

kelompok.

2. Pada keluarga

Keluarga dapat memberi support sistem yang positif untuk

menyembuhkan klien.

Keluarga mampu merawat klien

Keluarga mampu mengetahui kegiatan apa yang perlu klien lakukan

dirumah ( buat jadwal ).

Page 15: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

Keluarga mengetahui cara pemberian obatdengan benar dan waktu follow

up.

O. Perencanaan pulang

Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah.

Untuk itu semua rumah  sakit perlu membuat perencanaan pulang. Perencanaan

pulang dilakukan sesegera mungkin setelah klien dirawat dan diintegrasikan

didalam proses keperawatan. Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau

sehari sebelum klien pulang.

Tujuan perencanaan pulang:

Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.

Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.

Klien tidak terisolasi sosial

Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap ( Kelliat, 1992).

Page 16: Askep Resiko Prilaku Kekerasan

BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis. Kemarahan merupakan

bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak dapat di elakkan dan sering

menimbulkan suatu tekanan.

Tanda dan Gejala antara lain : Muka merah, Pandangan tajam, Otot

tegang, Nada suara tinggi, Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan

kehendak, Memukul jika tidak senang.

Diagnosa Keperawatan antara lain

1. Resiko menciderai ndiri dan orang lain atau lingkungan b.d perilaku

kekerasan.

2. Perilaku kekerasan b.d Mekanisme koping individu in efektif.

B. SARAN

Terimakasih telah membaca makalah ini, apabila ada kritik dan saran

mohon langsung di tujukan kepada kelompok Risiko Perilaku Kekerasan.