Aselerasi Kemiskinan

17

Click here to load reader

Transcript of Aselerasi Kemiskinan

Page 1: Aselerasi Kemiskinan

AKSELERASI PENGENTASAN KEMISKINAN DI PEDESAAN: REVITALISASI PERAN

SEKTOR PERTANIAN

Oleh : ANANG BUDI PRASETYO,SP

PPL BPP KECAMATAN TIRIS

BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN

KABUPATEN PROBOLINGGO

TAHUN 2012

PENDAHULUAN

Berdasarkan indikator makro, kinerja eko-

nomi Indonesia menunjukkan perkem-

bangan yang menggembirakan. Pertum-

buhan Produk Domestik Bruto (PDB) se-

lama periode tahun 2000-2008 mencapai

rata-rata 5,2%/tahun (BPS 2003; 2008;

2009a). Selain itu, tingkat inflasi dapat

ditekan menjadi hanya satu digit dengan

rata-rata 6,4%/tahun (BPS 2003; 2008).

Meskipun demikian, ekonomi Indonesia

masih menyisakan masalah, terutama

terkait dengan tingkat kesejahteraan

masyarakat. Tingkat pengangguran ter-

buka masih tinggi, rata-rata 9,6% dalam

periode yang sama. Tingkat kemiskinan

cenderung menurun, tetapi persentase

penduduk miskin masih cukup besar

dengan rata-rata sekitar 16,9% dari jumlah

penduduk (BPS 2009b).

Berdasarkan fakta di atas, pengentasan

kemiskinan tetap menjadi salah satu agen-

da prioritas pembangunan ekonomi Indo-

nesia. Pentingnya program pengentasan

kemiskinan dapat dilihat dari alokasi ang-

1) Klinik Konsultasi Agribisnis

" BPP KECAMATAN TIRIS

garan yang mencapai rata-rata Rp44,5

triliun/tahun selama periode tahun 2005-

2008 (Bappenas 2008).

Sekitar 65,4% penduduk miskin berada

di pedesaan dan umumnya bekerja di sek-

tor pertanian. Oleh karena itu, pengen-

tasan kemiskinan melalui sektor pertanian

menjadi sangat strategis. Fokus utama ma-

teri orasi ini adalah dinamika kemiskinan

di pedesaan serta alternatif strategi dan

kebijakan dalam rangka mengakselerasi

pengentasan kemiskinan melalui sektor

pertanian.

DINAMIKA TINGKAT KEMISKINAN

Pengukuran Tingkat Kemiskinan

Kemiskinan menunjukkan ketidakmampu-

an seseorang untuk memenuhi standar kebutuhan hidup minimum. Untuk meng-

ukur tingkat kemiskinan ditentukan “garis

kemiskinan”, yaitu standar hidup minimum

yang dianggap layak bagi masyarakat ter-

tentu. Penduduk yang tingkat kehidup-

annya di bawah standar minimum, dike-

lompokkan sebagai penduduk miskin.

Standar hidup minimum ditentukan dengan

memperkirakan nilai pengeluaran untuk

membeli sekelompok barang pokok (ma-

kanan dan bukan makanan) yang dikon-

Page 2: Aselerasi Kemiskinan

0

1

2

2 Anang Budi Prasetyo,sp

sumsi masyarakat (Raharto dan Romdiati

2000). Dengan konsep ini, tingkat kemis-

kinan umumnya diukur dengan Foster-

Greer-Thorbecke (FGT) Index yang terdiri

atas: (1) persentase penduduk miskin

terhadap jumlah penduduk (head-count

index, P ); (2) tingkat kedalaman kemis-

kinan (poverty gap index, P ); dan (3)

tingkat keparahan kemiskinan (poverty

severity index, P ). Indikator tersebut telah

digunakan secara luas karena relatif

mudah diukur dengan data yang tersedia

di setiap negara atau daerah serta berman-

faat untuk memantau dan membandingkan

tingkat kemiskinan antarwaktu dan antar-

negara atau daerah.

Pengukuran garis kemiskinan yang

digunakan Badan Pusat Statistik (BPS)

menentukan kebutuhan minimum untuk

makanan sebagai nilai pengeluaran kon-

sumsi untuk memenuhi kebutuhan energi

sebesar 2.100 kilokalori/kapita/hari.

Kebutuhan minimum untuk bukan makan-

an adalah nilai pengeluaran konsumsi

untuk memenuhi kebutuhan perumahan,

pakaian, pendidikan, kesehatan, dan lain-

lain.

Pada tahun 2009, nilai garis kemiskinan

ditetapkan sebesar Rp200.262/kapita/

bulan, setara dengan US$1,55/kapita/hari,

dikonversi dengan purchasing power

parity (BPS 2009b). Sumbangan nilai ba-

han makanan dalam garis kemiskinan men-

capai 73,6%, terutama beras, gula pasir,

telur, mi instan, tahu, dan tempe. Fluktuasi

harga-harga kelompok pangan tersebut

sangat menentukan perubahan tingkat

kemiskinan. Demikian pula pengaruh

cakupan dan komposisi barang konsumsi

yang digunakan dalam perhitungan ter-

sebut (Irawan 2000). Di tingkat global,

Bank Dunia menentukan garis kemiskinan

internasional sebesar US$1,25/kapita/hari,

yang telah diperbaharui dari angka sebe-

lumnya sebesar US$1,08/kapita/hari (Chen

dan Ravallion 2007; 2008).

Trend Global

Berdasarkan angka garis kemiskinan se-

besar US$1,25/kapita/hari, jumlah pen-

duduk miskin di dunia telah berkurang dari

sekitar 1,9 miliar pada tahun 1981 (51,8%)

menjadi 1,4 miliar (25,2%) pada tahun 2005,

atau menurun sekitar 0,8%/tahun. Tingkat

penurunan tersebut lebih tinggi dari target

penurunan menurut MDGs sebesar 0,6%/

tahun sampai tahun 2015. Berdasarkan

trend tersebut, pencapaian sasaran MDGs

secara global diperkirakan dapat dicapai

menjelang tahun 2015, namun jumlah

penduduk miskin pada saat itu diper-

kirakan masih cukup besar yaitu sekitar 800

juta orang (Chen dan Ravallion 2007; 2008).

Sebagian besar penurunan jumlah pen-

duduk miskin terjadi di Asia Timur dan

Pasifik, dari 77,7% pada tahun 1981 menjadi

16,8% pada tahun 2005. Penurunan jumlah

penduduk miskin di Cina menunjukkan

angka yang lebih signifikan, dari 84%

menjadi 15,9% dalam periode yang sama.

Sebaliknya di Sub-Saharan Afrika, jumlah

penduduk miskin naik dari 53,7% pada

tahun 1981 menjadi 58,2% pada tahun 1999,

walaupun setelah itu turun ke angka 51,2%

pada tahun 2005. Di Asia Selatan, penu-

runan jumlah penduduk miskin juga relatif

lambat, yaitu dari 59,4% pada tahun 1981

menjadi 40,3% pada tahun 2005 (Chen dan

Ravallion 2008). Variasi penurunan tingkat

kemiskinan antarkawasan dan antarnegara

disebabkan oleh perbedaan tingkat per-

tumbuhan ekonomi, perbedaan tingkat dis-

tribusi pendapatan, dan perangkap kemis-

kinan geografis (Ravalion 2007).

Page 3: Aselerasi Kemiskinan

3 Anang Budi Prasetyo,sp

Trend Nasional

Jumlah penduduk miskin di Indonesia me-

nurun secara drastis dari 54,2 juta (40,1%)

pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta (11,3%)

tahun 1996. Selanjutnya, jumlah penduduk

miskin meningkat menjadi 37,2 juta orang

(16,6%) pada tahun 2007 dan kembali me-

nurun pada tahun-tahun berikutnya se-

hingga mencapai sekitar 32,5 juta orang

(14,2%) pada tahun 2009.

Indeks kedalaman kemiskinan ber-

fluktuasi, namun selama enam tahun ter-

akhir cenderung menurun dari 3,07 pada

tahun 1992/1993 menjadi 2,64 pada tahun

2008/2009. Dalam periode yang sama,

indeks keparahan kemiskinan turun dari

0,82 menjadi 0,72. Kedua indikator tersebut

menunjukkan bahwa selain persentase

penduduk miskin, rata-rata pengeluaran

penduduk miskin makin mendekati garis

kemiskinan disertai distribusinya yang ma-

kin merata.

Dalam periode 2005-2006, terdapat 15,2

juta orang yang berhasil keluar dari kemis-

kinan, 63,8% di antaranya berada di pede- saan. Seiring dengan membaiknya kondisi

perekonomian, jumlah penduduk yang

keluar dari kemiskinan meningkat menjadi

28,7 juta orang dalam periode 2006-2007. Sebaliknya, jumlah orang yang menjadi

miskin turun dari 19,4 juta orang menjadi

16,6 juta orang selama periode tersebut.

Penduduk yang tetap miskin (chronic

poverty) tidak banyak berubah, sekitar 19,9

juta orang pada periode 2005-2006 dan 18,6

juta orang pada periode 2006-2007.

Distribusi geografis menunjukkan bah-

wa sekitar 56,7% penduduk miskin berada

di Jawa. Kondisi ini selaras dengan pangsa

penduduk di Jawa sebesar 60% dari total

penduduk (BPS 2009b). Namun, perban-

dingan berdasarkan provinsi menunjukkan

bahwa tingkat kemiskinan di tiga provinsi

tertinggi adalah Papua (37,5%), Papua

Barat (35,7%), dan Maluku (28,2%).

Sebaliknya, tingkat kemiskinan di tiga

provinsi terendah adalah DKI Jakarta

(3,6%), Kalimantan Selatan (5,1%), dan Bali

(5,1%).

Penduduk Miskin di Pedesaan

Berdasarkan data tahun 1998-2009, sekitar

65,4% penduduk miskin berada di pede-

saan. Berbeda dengan t rend global,

perubahan proporsi penduduk miskin

antara desa dan kota di Indonesia tidak

menunjukkan perubahan yang signifikan.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasi-

onal (SUSENAS) tahun 2004, sekitar 75%

penduduk miskin di pedesaan bekerja di

sektor pertanian. Lebih spesifik lagi, sekitar

41,7% penduduk miskin tersebut bekerja

sebagai petani padi dan 18,1% bekerja di

sektor nonpertanian (McCulloh 2007).

Penduduk miskin di pedesaan terutama

terdiri atas buruh tani, para petani kecil,

dan pekerja nonpertanian informal. Sa-

jogyo (1977) mendefinisikan petani kecil

sebagai rumah tangga yang mengusaha-

kan lahan pertanian <0,5 ha. Berdasarkan

definisi tersebut, data Sensus Pertanian

(BPS) menunjukkan peningkatan persen-

tase petani kecil dari 9,59 juta rumah tangga

(45,3%) pada tahun 1993 menjadi 14,07 juta

rumah tangga (56,4%) pada tahun 2003.

Pada tahun 2007, dari 17,8 juta petani

tanaman pangan, 9,6 juta (53,3%) di

antaranya adalah petani kecil (BPS 2009c).

Berdasarkan data survei di pedesaan

Jawa, proporsi petani kecil mencapai

sekitar 57,1% pada tahun 2007 (Sudaryanto

et al. 2009a). Sementara itu, jumlah buruh

tani meningkat dari 8,3 juta orang (21,1%)

pada tahun 1983 menjadi 14,4 juta orang

(24,8%) pada tahun 2003. Studi kasus di

Page 4: Aselerasi Kemiskinan

4 Anang Budi Prasetyo,sp

beberapa desa Jawa dan Luar Jawa menun-

jukkan pendapatan buruh tani lebih tinggi

dari pendapatan petani kecil, dan 60%

pendapatan mereka bersumber dari kegi-

atan nonpertanian (Susilowati et al. 2008).

Meningkatnya jumlah petani kecil di-

sebabkan oleh beberapa faktor utama,

yaitu: (1) tingginya kepadatan penduduk

(terutama di Jawa), sedangkan kesempatan

kerja di sektor nonpertanian masih ter-

batas; (2) terbatasnya luas lahan pertanian

disertai dengan konversi lahan pertanian

untuk penggunaan lain; (3) budaya sistem

pewarisan lahan pertanian yang menye-

babkan luas pengusahaan lahan makin

kecil dan terpencar; dan (4) budaya keter-

ikatan penduduk dengan lahan pertanian

yang menyebabkan mereka sulit untuk

berpindah ke pekerjaan lain (Chand 2009;

Sudaryanto et al. 2009a).

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

KEMISKINAN

Karakteristik Penduduk Miskin

Pada tingkat rumah tangga, penduduk mis-

kin umumnya memiliki karakteristik: (1)

tinggal di daerah terpencil, jauh dari fa-

silitas jalan, pasar, sekolah, dan pelayanan

kesehatan; (2) tersisihkan karena faktor

etnis, gender, atau cacat; dan (3) memiliki

keterbatasan aset, pendidikan, dan akses

terhadap kredit (Rusastra dan Napitupulu

2008). Aspek nonekonomi dari kemiskinan

terdiri atas lima faktor, yaitu: (1) ketidak-

mampuan memenuhi kebutuhan dasar; (2)

rentan terhadap goncangan faktor eks-

ternal; (3) rendahnya kualitas sumber daya

manusia; (4) terbatasnya keterlibatan dalam

kegiatan sosial-kemasyarakatan; dan (5)

ketidakmampuan berusaha karena cacat

(Sudaryanto dan Rusastra 2006).

Penduduk miskin di pedesaan memiliki

karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki

jumlah anak yang banyak; (2) pekerjaan

utama di sektor pertanian (58,8%); (3)

pendidikan sebagian besar (41,7%) tidak

tamat SD; (4) sebagian besar (71,0%)

pengeluaran rumah tangga untuk pangan;

dan (5) memiliki tingkat pelayanan kese-

hatan yang rendah (Rusastra dan Napitu-

pulu 2008).

Penyebab Kemiskinan

1. Kualitas sumber daya alam yang ren-

dah dan rentan terhadap gangguan eks-

ternal (geographical trap). Daerah yang

memiliki kualitas sumber daya alam rendah

(lahan suboptimal dan lahan kritis),

misalnya NTT, menunjukkan tingkat kemis-

kinan tinggi dan bersifat kronis. Dengan

kualitas sumber daya alam seperti itu,

produktivitas pertanian dan pendapatan

petani rendah (Sudaryanto et al. 2007b).

Selain karena faktor alam, pelambatan ke-

naikan produktivitas juga berkaitan de-

ngan ekses negatif dari revolusi hijau

(Hafsah dan Sudaryanto 2000)

2. Kebijakan pembangunan ekonomi yang

belum memberikan prioritas pada wilayah

miskin. Beberapa provinsi yang mempu-

nyai tingkat kemiskinan tinggi ternyata

memiliki kelimpahan sumber daya alam

yang memadai, misalnya Papua dan Papua

Barat. Dalam kasus ini, fenomena kemis-

kinan terutama disebabkan oleh rendahnya

intensitas kegiatan ekonomi untuk me-

manfaatkan sumber daya alam tersebut

(Rusastra dan Sudaryanto 1998). Kebi-

jakan pembangunan ekonomi di wilayah-

wilayah tersebut belum mendapat prioritas

penting, demikian pula tujuan investasi

swasta masih terkonsentrasi di wilayah

Page 5: Aselerasi Kemiskinan

5

Anang Budi Prasetyo,sp

Indonesia Barat. Kebijakan otonomi dae-

rah juga belum sepenuhnya dimanfaatkan

untuk mendayagunakan sumber daya alam

setempat (Sudaryanto et al. 2000).

3. Keterbatasan infrastruktur. Kualitas

infrastruktur pertanian dan pedesaan

berdampak pada: (a) secara langsung me-

ningkatkan produktivitas dan kualitas pro-

duk pertanian; (b) memperlancar akses

penduduk miskin terhadap peluang kegiat-

an ekonomi; dan (c) meningkatkan akses

penduduk miskin terhadap berbagai pela-

yanan publik. Dengan demikian, rendah-

nya kualitas infrastruktur di wilayah miskin

memiliki dampak berantai yang luas,

terutama pada intensitas kegiatan ekonomi.

4. Terbatasnya akses terhadap aset pro-

duktif, terutama lahan pertanian. Bagi

penduduk pedesaan, penguasaan lahan

pertanian merupakan indikator kesejah-

teraan yang penting karena lahan menjadi

basis kegiatan usaha dan sumber penda-

patan. Tingginya tingkat kemiskinan di

pedesaan terutama disebabkan oleh ting-

ginya persentase petani kecil dan buruh

tani yang tidak memiliki lahan (Sajogyo

1977). Selanjutnya, karena keterbatasan

aset produktif lainnya, khususnya modal,

petani kecil tersebut cenderung mengusa-

hakan komoditas tanaman pangan yang

memberikan pendapatan relatif rendah

(Sudaryanto et al. 2009a).

5. Tersisihkan karena aspek gender,

etnis, dan cacat. Aspek yang sering luput

dari pengamatan adalah adanya kelompok

masyarakat tertentu yang secara sistema-

tis tidak dapat mengakses kegiatan eko-

nomi produktif (Ahmed et al. 2007). Suku

terasing dan indigenous groups adalah

kelompok masyarakat yang tetap me-

nunjukkan tingkat kemiskinan kronis

(Sudaryanto et al. 2009b). Pada tingkat

rumah tangga dan individu, kemiskinan

kronis dialami pula oleh rumah tangga

wanita dan penyandang cacat.

6. Rendahnya kapasitas SDM. Kualitas

SDM yang dapat diukur dari tingkat

pendidikan berdampak pada produktivitas

pertanian, akses terhadap kesempatan

kerja, kredit, dan berbagai pelayanan publik

lainnya. Menurut data Survey Angkatan

Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2008,

sekitar 10,4% pekerja pertanian tidak

pernah sekolah, 22,9% tidak tamat SD, dan

49,8% hanya tamat SD.

PERAN SEKTOR PERTANIAN

DALAM PENGENTASAN

KEMISKINAN

Mendorong Pertumbuhan PDB

Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap

penurunan tingkat kemiskinan sudah ter-

bukti positif secara global, termasuk di In-

donesia. Dalam periode tahun 1976-1996,

saat pertumbuhan ekonomi Indonesia

mencapai rata-rata di atas 7%/tahun, ting-

kat kemiskinan juga turun drastis dari

40,1% pada tahun 1976 menjadi 11,1%

tahun 1996 (World Bank 2006). Selanjut-

nya, pada periode tahun 1993-2002,

penurunan tingkat kemiskinan disebabkan

terutama oleh keberhasilan intensifikasi

pertanian, khususnya tanaman pangan.

Pertumbuhan sektor pertanian memberikan

dampak yang lebih tinggi terhadap pe-

ningkatan pendapatan penduduk miskin.

Kaitan pertumbuhan sektor pertanian

dengan penurunan tingkat kemiskinan

antara lain terjadi melalui pertumbuhan

produktivitas. Khusus tanaman pangan,

pertumbuhan tingkat produktivitas total

Page 6: Aselerasi Kemiskinan

6 Anang Budi Prasetyo,sp

bersumber dari pertumbuhan penggunaan

masukan, yaitu pupuk, benih, dan tenaga

kerja (Sudaryanto dan Kasryno 1994).

Pertumbuhan produktivitas padi yang

mencapai rata-rata 3,29%/tahun pada

periode 1970-1980 menjadi penyebab

utama tingginya penurunan tingkat kemis-

kinan pada periode tersebut (Sudaryanto

and Kustiari 2008).

Pertumbuhan ekonomi tinggi lebih

efektif mengatasi kemiskinan bila disertai

dengan pemerataan pendapatan yang lebih

baik. Pada saat ini, walaupun pertumbuhan

ekonomi cukup tinggi, distribusi penda-

patan menunjukkan gejala yang semakin

timpang. Indeks Gini untuk tingkat penda-

patan meningkat dari 0,32 pada tahun 2004

menjadi 0,36 tahun 2007 (BPS 2008).

Mendorong Pertumbuhan

Sektor Nonpertanian

Selain kontribusi langsung dalam bentuk

pertumbuhan PDB, sektor pertanian juga

berperan secara tidak langsung dalam pe-

ngentasan kemiskinan melalui keterkait-

annya dengan pertumbuhan sektor-sektor

nonpertanian (forward and backward

linkages). Pertumbuhan sektor pertanian

mendorong perluasan kesempatan kerja

dan peningkatan pendapatan sektor-

sektor lainnya, yang pada akhirnya ber-

dampak pada penurunan tingkat kemis-

kinan (Chand 2009). Keterkaitan antara

sektor pertanian dan sektor nonpertanian

terjadi melalui kegiatan produksi, kon-

sumsi, dan pasar input. Berdasarkan ana-

lisis di beberapa negara Asia, multiplier

pendapatan sektor pertanian terhadap

sektor nonpertanian sekitar 1,6-1,8, yang

berarti bahwa setiap Rp1 peningkatan

pendapatan sektor pertanian akan menye-

babkan peningkatan pendapatan sektor

nonpertanian Rp0,6-0,8 (Haggblade et al.

2007). Bagi petani kecil dan rumah tangga

yang tidak memiliki lahan, kontribusi penda-

patan dari kegiatan nonpertanian sangat

penting dengan persentase masing-masing

46,5% dan 60% (Susilowati et al. 2008).

Meningkatkan Kesempatan Kerja

dan Tingkat Upah

Walaupun persentasenya terus menurun,

sektor pertanian masih menyerap sekitar

41% tenaga kerja. Lambatnya penurunan

persentase tenaga kerja sektor pertanian

menunjukkan bahwa sektor nonpertanian

belum mampu menyerap surplus tenaga

kerja dari sektor pertanian secara signifikan.

Dengan demikian, sektor pertanian masih

berperan besar sebagai penyangga dalam

penyerapan tenaga kerja, termasuk buruh

tani dan petani kecil.

Dalam jangka panjang, kontribusi sek-

tor pertanian dalam kesempatan kerja

diperkirakan terus menurun dengan se-

makin tingginya tenaga kerja yang terserap

di sektor-sektor lain. Elastisitas kesem-

patan kerja terhadap pendapatan sektor

pertanian juga terus menurun (Sudaryanto

et al. 1982a). Sejalan dengan proses ter-

sebut, perbedaan produktivitas tenaga ker-

ja antara sektor pertanian dan nonper-

tanian semakin kecil (Sudaryanto et al.

1982b; Saliem et al. 2006).

Bagi petani kecil, karena terbatasnya

lahan pertanian, curahan kerja di sektor

nonpertanian semakin penting (Sudar-

yanto et al.1982b). Hal ini disertai pula

dengan peningkatan tingkat upah yang

berdampak langsung pada peningkatan

pendapatan buruh tani. Dalam periode ta-

hun 1970-2008, upah riil buruh tani me-

ningkat 1,6%/tahun. Peningkatan tingkat

upah juga konsisten dengan peningkatan

Page 7: Aselerasi Kemiskinan

7 Anang Budi Prasetyo,sp

bagian yang diterima (factor shares) tenaga

kerja terhadap total produksi.

Walaupun peningkatan kesempatan

kerja cenderung lebih intensif di wilayah

beririgasi, dengan migrasi tenaga kerja dari

wilayah suboptimal, tingkat upah antar-

kedua tipe agroekosistem tersebut pada

akhirnya hampir sama (Sudaryanto 1989).

Migrasi tenaga kerja dari wilayah sub-

optimal ke wilayah yang lebih produktif

berperan dalam mengurangi ketimpangan

tingkat upah dan pendapatan antarwilayah

(Sudaryanto dan Kasryno 1994).

Menyediakan Pangan dengan

Harga yang Terjangkau

Bagi penduduk yang berpendapatan ren-

dah, pengeluaran untuk pangan mencapai

sekitar 67-72% dari total pengeluaran ru-

mah tangga, dan 16-26% di antaranya un-

tuk beras (McCulloh 2007). Pengeluaran

untuk pangan menyumbang sekitar 73,6%

terhadap nilai garis kemiskinan (BPS

2009b). Kenaikan harga-harga bahan pa-

ngan memberikan kontribusi 57,8% terha-

dap tingkat inflasi. Khusus untuk beras,

62,4% penduduk pedesaan net consumer

beras dan 9,3% petani padi juga net con-

sumer beras. Oleh karena itu, ketersediaan

pangan yang cukup (jumlah dan kualitas)

dengan harga yang terjangkau dan stabil

merupakan salah satu indikator pemba-

ngunan yang penting, terutama kaitannya

dengan kesejahteraan penduduk miskin.

Pada tahun 2007, rata-rata konsumsi

energi penduduk Indonesia mencapai

2.015 kilokalori/kapita/hari, sudah lebih

tinggi dari tingkat konsumsi menurut re-

komendasi sebesar 2.000 kilo kalori/kapita/

hari (Apriyantono 2009). Konsumsi protein

mencapai 55,7 g/kapita/hari, juga sudah

lebih tinggi dari tingkat konsumsi yang

direkomendasikan sebesar 55,4 g/kapita/

hari. Namun pada tahun 2005, sekitar 21%

rumah tangga yang berpendapatan rendah

termasuk dalam kategori rumah tangga ra-

wan pangan (Saliem dan Ariningsih 2009).

Selain ketersediaan yang cukup, harga

bahan pangan juga perlu terjangkau oleh

daya beli penduduk miskin dan perubah-

annya antarwaktu relatif stabil. Sejalan

dengan tujuan kebijakan tersebut, harga

bahan pangan di dalam negeri umumnya

relatif stabil dibandingkan dengan fluktua-

si harga di pasar dunia (Sudaryanto 1992).

Selama krisis pangan tahun 2008, harga

pangan di dalam negeri tetap stabil walau-

pun terjadi akselerasi harga di pasar dunia

(Sudaryanto 2009; Susilowati 2009).

Pasokan pangan yang cukup dengan

harga terjangkau dan stabil merupakan

dampak dari: (1) akselerasi kenaikan pro-

duksi pangan di dalam negeri, khususnya

padi dan jagung; dan (2) kebijakan stabili-

sasi harga (Apriyantono 2009). Walaupun

harga bahan pangan dikendalikan, usaha

tani komoditas tanaman pangan masih

menguntungkan. Pada tahun 2008, penda-

patan usaha tani padi mencapai Rp7,0 juta/

ha, atau 95,7% dari biaya produksi (Sudar-

yanto dan Rahman 2008). Dengan demi-

kian, kombinasi antara kebijakan stabilisasi

harga dan kebijakan insentif usaha tani da-

pat dicapai secara bersamaan.

TINJAUAN KEBIJAKAN DAN

PROGRAM PENGENTASAN

KEMISKINAN

Nasional

Kabinet Indonesia Bersatu telah mengga-

riskan triple track strategy dalam pemba-

ngunan ekonomi, yaitu pro growth, pro

employment, dan pro poor (Bappenas

Page 8: Aselerasi Kemiskinan

8 Anang Budi Prasetyo,sp

2005). Implementasi lebih lanjut dari grand

strategy tersebut diformulasikan menjadi

strategi, kebijakan, dan program yang

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

(1) strategi dan kebijakan umum yang di-

arahkan pada pengentasan kemiskinan se-

cara makro; dan (2) program-program spe-

sifik yang dirancang untuk mengentaskan

kemiskinan.

Program pengentasan kemiskinan

dikoordinasikan oleh Kementerian Koor-

dinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

melalui Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program inti

PNPM terdiri atas: (1) Program Pengem-

bangan Kecamatan (PPK), untuk wilayah

pedesaan; dan (2) Program Penanggu-

langan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP),

untuk wilayah perkotaan (Royat 2008). Di

samping itu, terdapat sekitar 55 program

khusus di masing-masing Kementerian/

Lembaga yang secara langsung atau tidak

langsung menunjang kedua program inti

tersebut (PNPM penguatan).

Berbagai program dan proyek tersebut

pada prinsipnya diarahkan untuk: (1) da-

lam jangka pendek berfungsi sebagai ja-

ring pengaman sosial agar penduduk mis-

kin dapat tetap memenuhi kebutuhan mi-

nimum untuk makanan, kesehatan, dan

pendidikan; (2) mendorong kemampuan

produktif penduduk miskin melalui fasili-

tasi permodalan dan bimbingan usaha; dan

(3) pemberdayaan kelembagaan masyara-

kat agar secara bertahap mampu meme-

cahkan berbagai persoalan yang dihadapi.

Beberapa masalah yang mempengaruhi

efektivitas pelaksanaan berbagai program

tersebut adalah: (1) koordinasi baik sub-

stansi maupun lokasi dan anggaran antar-

berbagai program; (2) perbedaan latar be-

lakang historis dari program-program

tersebut yang menyebabkan perbedaan

dampak dalam menanggulangi kemiskinan;

dan (3) belum dikembangkannya evaluasi

menyeluruh tentang dampak berbagai

program tersebut terhadap penurunan

kemiskinan.

Sektor Pertanian

Dalam sektor pertanian, terdapat beberapa

program/proyek yang dirancang secara

khusus untuk menanggulangi kemiskinan,

yaitu: (1) Proyek Pembinaan Peningkatan

Pendapatan Petani Kecil (P4K); (2) Program

Peningkatan Pendapatan Petani Melalui

Inovasi (P4MI); (3) Participatory Integra-

ted Development of Rainfed Agriculture

(PIDRA); (4) Program Rintisan dan Akse-

lerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi

Pertanian (PRIMATANI); dan (5) Pengem-

bangan Usaha Agribisnis Pedesaan

(PUAP). Komponen utama berbagai prog-

ram tersebut adalah: (1) bantuan modal

untuk memfasilitasi kegiatan usaha; (2)

rintisan/pengembangan kegiatan usaha

pertanian dan nonpertanian; (3) disemi-

nasi inovasi teknologi pertanian; (4) pem-

berdayaan petani kecil melalui pendam-

pingan dan pelatihan; (5) pembentukan/

penguatan kelembagaan desa dan kelem-

bagaan petani; dan (6) stimulan biaya in-

vestasi infrastruktur.

Pembelajaran yang dapat dipetik dari

kegiatan-kegiatan tersebut adalah: (1)

petani kecil memiliki aset atau kemampuan

terbatas sehingga memerlukan fasilitasi

untuk meningkatkan dan memanfaatkan-

nya; (2) peran fasilitator untuk mendorong

partisipasi masyarakat sangat menentukan

keberhasilan program; (3) pembentukan/

penguatan kelompok tani (atau lembaga

lain) sangat membantu akses petani ter-

hadap kredit; (4) pengembangan lembaga

keuangan mikro perlu disertai dengan fa-

sitasi kegiatan usaha ekonomi; (5) bebera-

Page 9: Aselerasi Kemiskinan

9 Anang Budi Prasetyo,sp

pa program telah berhasil dalam skala pilot

yang terbatas, tetapi kesulitan untuk di-

perluas ke wilayah lain (scalling-up prob-

lem); dan (6) untuk mendorong keberlan-

jutan kegiatan diperlukan exit stategy yang

tepat disertai pendampingan pascaproyek

secara tidak berkala (Sudaryanto dan

Rusastra 2006; Harniati 2008; Sudaryanto

and Kustiari 2008).

Dari program-program tersebut, prog-

ram PUAP memiliki karakteristik unik, yaitu:

(1) skala kegiatan besar, meliputi 10 ribu

desa di 33 provinsi dan 481 kabupaten/ko-

ta, sehingga diharapkan memiliki dampak

yang lebih luas; dan (2) dana bantuan

modal (seed money) untuk fasilitasi kegi-

atan usaha juga besar (Rp100 juta/desa).

Dari sisi konsepsi, program PUAP sangat

sejalan dengan prioritas program untuk

memfasilitasi kegiatan ekonomi berbasis

pertanian di daerah miskin. Namun demi-

kian, terdapat beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian, yaitu: (1) pemilihan

desa dan kelompok sasaran belum sepe-

nuhnya konsisten dengan konsep awal;

(2) aspek fasilitasi dan penguatan kegiatan

usaha masih perlu ditingkatkan; dan (3)

perlu peningkatan koordinasi dan sinergi

antarunit kerja Eselon I.

STRATEGI DAN KEBIJAKAN

AKSELERASI PENGENTASAN

KEMISKINAN

Sasaran

Sasaran jangka panjang (sampai tahun

2025) dalam pengentasan kemiskinan di

pedesaan adalah terhapusnya penduduk

miskin di pertanian (Sudaryanto et al.

2007a). Sejalan dengan sasaran tersebut, pendapatan petani ditargetkan mencapai

US$2.500/kapita/tahun.

Dalam konteks MDGs, Indonesia telah

berkomitmen untuk mengurangi angka

kemiskinan dari 15,1% pada tahun 1990

menjadi 7,5% pada tahun 2015. Berdasar-

kan data tingkat kemiskinan pada tahun

2009 sebesar 32,5 juta orang (14,2%), un-

tuk mencapai sasaran MDGs, penduduk

miskin tahun 2015 diperkirakan mencapai

18,6 juta orang (7,5%). Dengan sasaran ter-

sebut, penurunan angka kemiskinan harus

mencapai rata-rata 2,3 juta orang (3,5%)/

tahun. Pada saat yang sama, penduduk

miskin di pedesaan diperkirakan mencapai

12,2 juta orang (9,2%), sehingga target

penurunan harus mencapai 415 ribu orang

(3,6%)/tahun. Berdasarkan kinerja yang

dicapai sampai tahun 2009 (business as

usual), sasaran MDGs tersebut sulit di-

capai. Total penduduk miskin tahun 2015

diperkirakan berjumlah 26,3 juta orang

(10,6%), dan jumlah penduduk miskin di

pedesaan sekitar 18,1 juta orang atau

14,3% (Sudaryanto et al. 2009b).

Strategi

Dalam jangka panjang, pengentasan ke-

miskinan diprioritaskan untuk memfasi-

litasi penduduk miskin agar mampu me-

menuhi kebutuhan hidupnya. Namun,

dalam jangka pendek, sebagian penduduk

miskin, khususnya kemiskinan kronis, me-

merlukan perlindungan dan jaring pe-

ngaman sosial agar mereka dapat tetap me-

menuhi kebutuhan hidup minimum.

Sesuai dengan prioritas di atas, ada

dua jalan utama yang dapat ditempuh un-

tuk keluar dari kemiskinan (pathways out

of poverty) seperti disarankan World Bank

(2006). Kedua jalan utama tersebut adalah:

(1) transformasi dari pertanian subsisten

ke pertanian modern; dan (2) transformasi

dari kegiatan nonpertanian subsisten (di

Page 10: Aselerasi Kemiskinan

10 Anang Budi Prasetyo,sp

pedesaan maupun perkotaan) menjadi

usaha nonpertanian formal yang lebih

produktif dan menguntungkan.

Masa transisi untuk mencapai jalan

utama tersebut meliputi dua alternatif,

yaitu: (1) transformasi dari pertanian sub-

sisten ke usaha nonpertanian informal di

pedesaan; dan (2) migrasi ke arah kegiatan

nonpertanian di perkotaan (tanpa harus

berpindah domisili ke kota). Pada masa

transisi tersebut, petani subsisten dan ru-

mah tangga yang berusaha nonpertanian

informal di pedesaan akan mencari kesem-

patan kerja dan berusaha di perkotaan.

Mengacu pada konsep di atas, terdapat

tiga strategi umum dalam pengentasan

kemiskinan yang perlu ditempuh secara

bersamaan, yaitu: (1) akselerasi tingkat per-

tumbuhan sektor pertanian; (2) perluasan

dan pengembangan usaha nonpertanian

di pedesaan; dan (3) peningkatan sistem

perlindungan dan jaring pengaman sosial

untuk mempertahankan keberlanjutan ke-

giatan usaha dan kelangsungan hidup

penduduk miskin.

Akselerasi Tingkat Pertumbuhan

Sektor Pertanian

Penurunan tingkat kemiskinan yang cepat

memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi

yang tinggi dan berkelanjutan. Dari sisi

kualitas, pertumbuhan ekonomi tersebut

perlu diarahkan secara tepat untuk mem-

berikan manfaat bagi penduduk miskin

(pro-poor growth) dengan ciri-ciri: (1) prio-

ritas pada sektor pertanian yang mem-

berikan dampak langsung kepada kelom-

pok miskin; dan (2) meningkatkan kesem-

patan kerja dan tingkat upah. Mengingat

sektor pertanian Indonesia masih didomi-

nasi petani kecil, prioritas pengembangan

tetap diarahkan untuk modernisasi perta-

nian skala kecil (Sudaryanto et al. 2009a).

Untuk mencapai target penurunan ting-

kat kemiskinan di pedesaan sesuai MDGs,

PDB sektor pertanian perlu dipacu untuk

tumbuh rata-rata sekitar 5%/tahun sampai

tahun 2015 (Sudaryanto et al. 2009b). De-

ngan akselerasi tingkat pertumbuhan PDB

tersebut, pendapatan penduduk miskin di

pedesaan diharapkan dapat tumbuh lebih

cepat dari peningkatan pendapatan pen-

duduk secara umum. Sasaran pertumbuhan

tersebut dapat dicapai melalui modernisasi

pertanian dengan unsur-unsur sebagai

berikut: (1) diversifikasi ke arah komoditas

bernilai tinggi yang memiliki potensi per-

tumbuhan lebih tinggi pula; (2) pening-

katan investasi infrastruktur pertanian; (3)

akselerasi inovasi teknologi pertanian; dan

(4) peningkatan akses pasar, baik domestik

maupun internasional.

Akselerasi pertumbuhan sektor perta-

nian perlu disertai dengan strategi untuk

menciptakan pemerataan pendapatan, agar

manfaat pertumbuhan tersebut dapat men-

jangkau penduduk miskin. Strategi terse-

but meliputi: (1) peningkatan akses pengu-

asaan lahan; (2) peningkatan investasi

yang lebih merata antardaerah maupun

antarsektor; (3) perluasan kesempatan ker-

ja dan kesempatan berusaha bagi pendu-

duk miskin; dan (4) peningkatan kapasitas

kelompok miskin untuk memanfaatkan

kegiatan usaha dan kesempatan kerja baru. Perluasan dan Pengembangan Usaha

Non-Pertanian di Pedesaan Dengan kejenuhan penyerapan tenaga

kerja di sektor pertanian, transformasi ke-

giatan ekonomi ke sektor nonpertanian

perlu dikembangkan secara bersamaan.

Kegiatan usaha nonpertanian yang di-

laksanakan diharapkan dapat memperluas

Page 11: Aselerasi Kemiskinan

11 Anang Budi Prasetyo,sp

sumber pendapatan petani miskin untuk

mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih

baik. Dalam jangka panjang, hal ini ber-

dampak balik terhadap peningkatan pro-

duktivitas tenaga kerja di sektor pertanian,

karena tenaga kerja makin berkurang se-

mentara produksi terus meningkat (Hadi-

wigeno et al. 1992). Kegiatan nonper-

tanian yang dikembangkan meliputi ber-

bagai sektor sesuai potensi setempat. Na-

mun demikian, prioritas pengembangan

terutama pada sektor yang memiliki kaitan

kuat dengan sektor pertanian, yaitu pe-

ngembangan agroindustri dan pelayanan

jasa-jasa penunjang sektor pertanian.

Peningkatan Sistem Perlindungan

dan Jaring Pengaman Sosial Bagi

Penduduk Miskin

Penduduk miskin sangat rentan terhadap

gangguan kondisi eksternal, baik bencana

alam maupun gangguan aspek sosial-

ekonomi. Selain itu, sebagian dari mereka

tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup

minimal untuk pangan, kesehatan, pendi-

dikan, dan lain-lain. Untuk mengatasi hal

tersebut diperlukan skema perlindungan

dan bantuan yang ditargetkan langsung

kepada mereka. Selain skema umum yang

telah dikembangkan secara nasional, dalam

sektor pertanian perlu pengembangan le-

bih lanjut tentang skema bantuan bencana

alam untuk mengurangi kerugian bagi

petani kecil. Instrumen perlindungan yang

lebih baik dan menggunakan mekanisme

pasar adalah asuransi pertanian untuk

melindungi petani dari kerugian bencana

alam, gangguan organisme pengganggu

tumbuhan (OPT), dan fluktuasi harga

komoditas (Sudaryanto et al. 2009b). Perlu

dikembangkan pula perlindungan bagi

petani kecil terhadap persaingan komo-

ditas asal impor. Para importir perlu dido-

rong untuk turut membantu pengembang-

an usaha tani kecil melalui hubungan

grower-importer. Strategi ini bersifat

jangka pendek, tetapi akan mempengaruhi

efektivitas strategi jangka panjang.

Arah Kebijakan

Pengembangan Infrastruktur

Pertanian dan Pedesaan

Jenis infrastruktur yang paling penting

adalah jalan untuk menghubungkan pen-

duduk miskin ke berbagai pusat kegiatan

ekonomi dan sosial. Dalam sektor pertani-

an, infrastruktur paling strategis adalah ja-

ringan irigasi. Pada saat ini, sekitar 70% ja-

ringan irigasi tidak berfungsi penuh. Oleh

karena itu, salah satu prioritas investasi

irigasi perlu diarahkan pada rehabilitasi

jaringan yang tidak berfungsi. Jenis infra-

struktur lainnya yang perlu diprioritaskan

adalah jalan usaha tani yang menghu-

bungkan lokasi kegiatan produksi dengan

berbagai pusat kegiatan ekonomi dan pe-

layanan di pedesaan.

Peningkatan Akses terhadap

Penguasaan Aset Produktif

Untuk meningkatkan akses penduduk mis-

kin, terutama petani kecil, tertahap lahan

pertanian, diperlukan langkah-langkah

kebijakan sebagai berikut: (1) percepatan

realisasi reforma agraria yang didukung

komitmen politik tinggi; (2) perluasan la-

han pertanian yang pemanfaatannya di-

prioritaskan untuk penduduk miskin; dan

(3) peningkatan akses penguasaan lahan

melalui perbaikan sistem sewa, bagi hasil,

gadai, dan sejenisnya. Agar penduduk mis-

Page 12: Aselerasi Kemiskinan

12 Anang Budi Prasetyo,sp

kin dapat memanfaatkan lahan yang dikua-

sainya secara lebih optimal, diperlukan

langkah-langkah kebijakan yang dilak-

sanakan secara simultan dalam aspek

pengembangan infrastruktur, teknologi,

akses pasar, dan sebagainya.

Diversifikasi Usaha Tani Komoditas

yang Bernilai Tinggi

Penduduk miskin pada umumnya bekerja

pada usaha tani tanaman pangan yang

harganya relatif rendah. Di pihak lain, pe-

luang pasar komoditas pertanian bernilai

tinggi (hortikultura, perkebunan, dan

peternakan) semakin terbuka, baik untuk

pasar domestik maupun ekspor (Sudar-

yanto dan Susilowati 1991). Guna me-

manfaatkan peluang tersebut perlu dikem-

bangkan kebijakan yang berimbang untuk

mendorong diversifikasi usaha tani ke arah

komoditas bernilai tinggi dalam rangka

mempertahankan swasembada pangan,

meningkatkan pendapatan petani, dan

mengurangi kemiskinan. Kebijakan ter-

sebut meliputi aspek infrastruktur, inovasi

teknologi, peningkatan akses pasar, dan

anggaran pembangunan (Sudaryanto dan

Suryana 1990; Sudaryanto et al. 2002).

Penguatan Kapasitas SDM

dan Kelembagaan

Salah satu aspek krusial dalam pengentas-

an kemiskinan adalah peningkatan kapasi-

tas SDM sesuai standar yang diperlukan.

Hal ini memerlukan upaya yang sistematis

dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan

penyuluhan, baik aspek teknis maupun

manajerial dan sosial. Pada saat yang sama diperlukan upaya

sistematis untuk memperkuat kelembaga-

an petani dan masyarakat desa pada

umumnya. Kelembagaan tersebut meliputi

tiga jenis, yaitu: (1) kelembagaan kegiatan

ekonomi produktif; (2) kelembagaan pe-

ngelolaan sumber daya bersama; dan (3)

kelembagaan lobi politik ekonomi. Inisiatif

Departemen Pertanian untuk mengem-

bangkan gabungan kelompok tani (gapok-

tan) dan kelompok tani perlu diperluas

untuk menjangkau bentuk-bentuk kelem-

bagaan lainnya sesuai dengan tatanan

sosial budaya setempat.

Kebijakan dan Program yang

Ditargetkan untuk Penduduk Miskin

Kebijakan dan program pembangunan per-

tanian perlu lebih diarahkan untuk me-

ningkatkan kesejahteraan penduduk mis-

kin di pedesaan. Sehubungan itu, terdapat

empat hal penting yang perlu diperhatikan,

yaitu: (1) rancangan kebijakan dan program

perlu disesuaikan dengan karakteristik

penduduk miskin; (2) kebijakan subsidi,

khususnya pupuk dan benih, disalurkan

secara langsung kepada petani kecil; (3)

alokasi anggaran pembangunan di setiap

daerah perlu memperhatikan intensitas

kemiskinan di daerah tersebut; dan (4)

pemilihan lokasi kegiatan perlu memper-

timbangkan potensi pertanian dan inten-

sitas kemiskinan.

KESIMPULAN

DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Tingkat kemiskinan di Indonesia me-

nunjukkan penurunan yang signifikan

sebagai dampak dari pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, khususnya dalam

Page 13: Aselerasi Kemiskinan

13 Anang Budi Prasetyo,sp

sektor pertanian. Namun demikian,

target penurunan tingkat kemiskinan

seperti ditetapkan dalam MDGs sangat

sulit dicapai tanpa strategi akselerasi

pertumbuhan sektor pertanian.

2. Penyebab utama terjadinya kemiskinan

di pedesaan adalah: (a) kebijakan pem-

bangunan ekonomi yang belum mem-

berikan prioritas pada wilayah miskin;

(b) kualitas sumber daya alam yang

rendah dan rentan terhadap gangguan

eksternal; (c) rendahnya kualitas infra-

struktur; (d) terbatasnya akses terha-

dap aset produktif, khususnya lahan

pertanian; (e) terbatasnya akses terha-

dap kegiatan ekonomi produktif dan

kegiatan sosial-kemasyarakatan; (f)

rendahnya kualitas SDM; (g) tersisih-

kan karena aspek gender, etnis, dan

cacat; dan (h) terjadinya gangguan so-

sial-politik yang berkepanjangan.

3. Peran sektor pertanian dalam pe-

nanggulangan kemiskinan meliputi: (a)

mendorong pertumbuhan PDB; (b)

mendorong pertumbuhan sektor non-

pertanian; (c) meningkatkan kesempat-

an kerja dan tingkat upah; dan (d) me-

nyediakan pangan dengan harga yang

terjangkau.

Impikasi Kebijakan

1. Strategi utama yang perlu ditempuh da-

lam pengentasan kemiskinan di pe-

desaan adalah: (a) akselerasi tingkat

pertumbuhan sektor pertanian; (b) per-

luasan dan pengembangan usaha non-

pertanian, terutama agroindustri, untuk

meningkatkan nilai tambah komoditas

pertanian; dan (c) peningkatan sistem

perlindungan dan jaring pengaman

sosial.

2. Dalam rangka revitalisasi peran sektor

pertanian dalam pengentasan kemis-

kinan, pertumbuhan PDB pertanian

perlu dipacu menjadi sekitar 5%/tahun

sampai tahun 2015. Untuk mencapai

tingkat pertumbuhan tersebut perlu di-

kembangkan diversifikasi pertanian ke

arah komoditas bernilai tinggi disertai

peningkatan investasi dalam pengem-

bangan infrastruktur dan inovasi tek-

nologi pertanian.

3. Dalam rangka memacu kegiatan eko-

nomi produktif penduduk miskin, di-

perlukan kebijakan stategis untuk me-

ningkatkan pemilikan dan penguasaan

lahan pertanian. Hal ini meliputi per-

cepatan reforma agraria, perluasan areal

pertanian, dan fasilitasi penguasaan

lahan melalui sistem sewa, sakap, ga-

dai, dan sebagainya.

4. Untuk meningkatkan kesejahteraan

penduduk miskin, harga bahan pangan

perlu dipertahankan pada tingkat yang

terjangkau dan stabil tanpa merugikan

petani. Peningkatan produksi pangan

dan pendapatan usaha tani perlu di-

tempuh melalui peningkatan produkti-

vitas dan perluasan areal tanpa pene-

rapan kebijakan harga yang distortif.

PENUTUP

Untuk mempercepat pengentasan kemis-

kinan di pedesaan diperlukan perumusan

kebijakan dan progran pembangunan per-

tanian yang bersifat multidisiplin dan

holistik. Perumusan kebijakan yang tepat

memerlukan penelitian yang sistematis

dengan fokus pada: (1) dinamika kemis-

kinan daerah tertinggal, wilayah sub-

optimal, wilayah perbatasan, dan kelom-

pok etnis minoritas; (2) strategi keluar dari

Page 14: Aselerasi Kemiskinan

14 Anang Budi Prasetyo,sp

kemiskinan pada tingkat rumah tangga;

dan (3) kebijakan dan program-program

penanggulangan kemiskinan. Dinamika

kemiskinan di pedesaan perlu dipantau

secara berkala dengan menggunakan

teknologi informasi yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, A.U., R.V. Hill, and D.M. Wies-

mann. 2007. The Poorest and Hungry:

Looking below the line. 2020 Focus

Brief on the World’s Poor and Hungry

People. International Food Policy Re-

search Institute (IFPRI), Washington,

DC.

Apriyantono, A. 2009. Towards sustain-

able agriculture and food security.

Presented at the Ministerial Round-

table in the 65th Session of the Com-

mission, Bangkok, 27-29 April 2009.

Bappenas (Badan Perencanaan Pemba-

ngunan Nasional). 2005. Rencana Pem-

bangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN): 2004-2009. Bappenas,

Jakarta.

Bappenas (Badan Perencanaan Pemba-

ngunan Nasional). 2008. Profil Ke-

miskinan Indonesia (Mimeo). Bap-

penas, Jakarta.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2003, Statistik

Indonesia: Tahun 2003. BPS, Jakarta

BPS (Badan Pusat Statistik). 2008, Statistik

Indonesia: Tahun 2008. BPS, Jakarta

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009a. Growth

Rate of Gross Domestic Product at 2000

Constant Market Price by Industrial

Origin. http://www.bps.go.id/ sector/

nra/gdp /tables/html.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009b. Profil

kemiskinan di Indonesia Maret 2009.

Berita Resmi Statistik No.43/07/Th.XII,

1 Juli, 2009.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009c. Pen-

dataan Usaha Tani 2009 (PUT09). BPS,

Jakarta.

Chand, R. 2009. Poverty and hunger is

Asia. Paper presented at the Regional

Capacity Building Training Workshop.

IFAD and FAO, 15-25 June 2009, Bang-

kok, Thailand.

Chen, S. and M. Ravalion. 2007. The

changing profile of poverty in the

world. 2020 Focus Brief on the World’s

Poor and Hungry People. International

Food Policy Research Institute (IFPRI),

Washington, DC.

Chen, S. and M. Ravalion. 2008. The De-

veloping World is Poorer than We

Thought, but No Less Successful in

the Fight Against Poverty. Policy Re-

search Working Paper No. 4703. De-

velopment Research Group, The World

Bank, Washington, DC.

Hadiwigeno, S., E. Pasandaran, dan T.

Sudaryanto. 1992. Perekayasaan trans-

formasi struktur perekonomian nasi-

onal dengan meningkatkan kinerja

sektor pertanian. Pangan III(11): 72-81.

Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2000.

Sejarah intensifikasi padi dan prospek

pengembangannya. Dalam F. Kasryno,

E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Editor).

Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Jakarta.

Haggblade, S., P.B.R. Hazel, and P.A.

Dorosh. 2007. Sectoral growth lin-

kages between agriculture and the rural

non-farm economy. In S. Haggblade,

P.B.R. Hazel, and T. Reardon (Eds.).

Transforming the Rural Nonfarm Eco-

nomy. The John Hopkin University

Press, Baltimore, USA.

Harniati. 2008. Program-program sektor

pertanian yang berorientasi penanggu-

langan kemiskinan: Pengalaman Pro-

Page 15: Aselerasi Kemiskinan

15 Anang Budi Prasetyo,sp

yek Pembinaan Peningkatan Penda-

patan Petani Kecil (P4K) sebagai sebu-

ah model penanggulangan kemiskinan.

hlm. 9-22. Dalam Y. Yusdja, A.R. Nur-

manaf, dan I.S. Anugrah (Penyunting).

Prosiding Seminar Nasional Mening-

katkan Peran Sektor Pertanian dalam

Penanggulangan Kemiskinan, Bogor,

21 Agustus 2007. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bo-

gor.

Irawan, P.B. 2000. Analisis sensitivitas

pada pengukuran kemiskinan: Feno-

mena kemiskinan sementara selama

krisis ekonomi. Dalam A.K. Seta, M.

Atmowidjojo, S.M. Atmojo, A.B. Jahari,

P.B. Irawan, dan T. Sudaryanto (Editor).

Prosiding Widyakarya Nasional Pa-

ngan dan Gizi VII, 29 Februari-2 Maret

2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-

nesia, Jakarta.

McCulloh, N., J. Weisbroad, and C.P.

Timmer. 2007. Pathways out poverty

during an economic crisis: an empirical

assessment of rural Indonesia. Policy

research Working Paper Series 4173,

The World Bank. Washington, D.C.

Raharto, A. dan H. Romdiati. 2000. Iden-

tifikasi rumah tangga miskin. Dalam

A.K. Seta, M. Atmowidjojo, S.M. At-

mojo, A.B. Jahari, P.B. Irawan, dan T.

Sudaryanto (Editor). Prosiding Widya-

karya Nasional Pangan dan Gizi VII, 29

Februari-2 Maret 2000. Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Ravalion, M. 2007. Economic growth and

poverty reduction: Do poor countries

need to worry about inequality? 2020

Focus Brief on the World’s Poor and

Hungry People. International Food

Policy Research Institute (IFPRI), Was-

hington, D.C. Royat, S. 2008. Kebijakan pemerintah

dalam penanggulangan kemiskinan.

hlm. 9-22. Dalam Y. Yusdja, A.R. Nur-

manaf, dan I.S. Anugrah (Penyunting).

Prosiding Seminar Nasional Mening-

katkan Peran Sektor Pertanian dalam

Penanggulangan Kemiskinan, Bogor,

21 Agustus 2007. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bo-

gor.

Rusastra, I W. dan T. Sudaryanto. 1998.

Dinamika ekonomi pedesaan dalam

perspektif pembangunan nasional.

Dalam A. Suryana, I W. Rusastra, M.

Rachmat, dan A. Purwoto (Penyun-

ting). Prosiding Dinamika Ekonomi

Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing

Sektor Pertanian. Pusat Penelitian So-

sial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Rusastra, I.W. dan T.A. Napitupulu. 2008.

Karakteristik wilayah dan keluarga

miskin di pedesaan. hlm. 9-22. Dalam

Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, dan I.S.

Anugrah (Penyunting). Prosiding Se-

minar Nasional Meningkatkan Peran

Sektor Pertanian dalam Penanggu-

langan Kemiskinan, Bogor, 21 Agus-

tus, 2007. Pusat Analisis Sosial Eko-

nomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Sajogyo. 1977. Golongan miskin dan parti-

sipasinya dalam pembangunan desa.

Prisma VI (3): 10-17.

Saliem, H.P., Sumaryanto, G.S. Hardono, H,

Mayrowani, T.B. Purwantini, Y. Marisa,

dan D. Hidayat. 2006. Diversifikasi

usaha rumah tangga dalam mendukung

ketahanan pangan dan penanggu-

langan kemiskinan di Indonesia. Pusat

Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian, Bogor.

Saliem, H.P. dan E. Ariningsih. 2009. Per-

ubahan konsumsi dan pengeluaran

rumah tangga di pedesaan: Analisis

data SUSENAS 1999- 2005. Dalam K.

Suradisastra, Y. Yusdja, dan A.R. Nur-

manaf (Penyunting). Prosiding Seminar

Page 16: Aselerasi Kemiskinan

16 Anang Budi Prasetyo,sp

Nasional Dinamika Pembangunan Per-

tanian dan Pedesaan: Tantangan dan

peluang bagi peningkatan kesejah-

teraan petani, Bogor, 19 November

2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi

dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Sudaryanto, T., Hermanto, dan M. Syukur.

1982a. Perubahan Struktur Angkatan

Kerja dan Perkembangan Tingkat Upah

Buruh Tani. Laporan Penelitian. Pusat

Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.

Sudaryanto, T., H.P. Saliem, dan S. Pasa-

ribu. 1982b. Tingkat pencurahan kerja

rumah tangga di pedesaan. Forum

Penelitian Agro Ekonomi I(1): 1-7.

Sudaryanto, T. 1989. Perubahan teknologi

dan keseragaman tingkat upah antar

daerah. Jurnal Agro Ekonomi 8(2): 37-

49.

Sudaryanto, T. dan A. Suryana. 1990. Kebi-

jaksanaan perdagangan internasional

dalam diversifikasi pertanian. Prosiding

Seminar Nasional Diversifikasi Perta-

nian dalam Mempercepat Laju Pertum-

buhan Nasional. Perhimpunan Eko-

nomi Pertanian Indonesia (PERHEPI).

Sudaryanto, T. dan S.H. Susilowati. 1991.

Perkembangan ekonomi kakao dunia

dan implikasinya bagi Indonesia. Fo-

rum Penelitian Agro Ekonomi 9(1): 36-

45.

Sudaryanto, T. 1992. Perkembangan harga

komoditas pertanian di pasar dunia dan

refleksinya di Pasar Domestik. Jurnal

Penelitian dan Pengembangan Perta-

nian, XI(3): 43-52.

Sudaryanto, T. dan F. Kasryno. 1994.

Modern rice variety adoption and

factor market adjustment in Indonesia.

In C.C. David and K. Otsuka (Eds.).

Modern Rice Technology and Income

Distribution in Asia. Lynne Riener

Publisher, Boulder & London, and

International Rice Research Institute,

Manila.

Sudaryanto, T., I W. Rusastra, dan E. Jamal.

2000. Kebijaksanaan strategis pem-

bangunan pertanian dan pedesaan da-

lam mendukung otonomi daerah.

Dalam I W. Rusastra, A.R. Nurmanaf,

S.H. Susilowati, E. Jamal, dan B. Sayaka

(Editor). Prosiding Seminar Perspektif

Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

dalam Era Otonomi Daerah. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,

Bogor.

Sudaryanto, T., P.U. Hadi, S.H. Susilowati,

dan E. Suryani. 2002. Perkembangan

kebijaksanaan harga dan perdagangan

komoditas pertanian. Dalam T. Sudar-

yanto, I W. Rusastra, A. Syam, dan M.

Ariani (Penyunting). Analisis Kebi-

jaksanaan Paradigma Pembangunan

dan Kebijaksanaan Pengembangan

Agro Industri. Monograph Series No.

21. Pusat Penelitian dan Pengembang-

an Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sudaryanto, T. dan I W. Rusastra. 2006.

Kebijakan strategis usaha pertanian

dalam rangka peningkatan produksi

dan pengentasan kemiskinan. Jurnal

Penelitian dan Pengembangan Perta-

nian 25(4): 115-122.

Sudaryanto, T., N. Sjafa’at, K. Kariyasa,

dan H.P. Saliem. 2007a. Prospek dan

Arah Pengembangan Agribisnis: Rang-

kuman kebutuhan investasi. Edisi Ke-

dua. Badan Penelitian dan Pengem-

bangan Pertanian, Jakarta.

Sudaryanto, T., D.K.S. Swastika, B. Sayaka,

and S. Bahri. 2007b. Financial and eco-

nomic profitability of rice farming

across production environments in

Indonesia. In P.K. Aggarwal, J.K.

Ladha, R.K. Singh, C. Devakumar, and

B. Hardi (Eds.). Science, Technology,

Page 17: Aselerasi Kemiskinan

17 Anang Budi Prasetyo,sp

and Trade for Peace and Prosperity.

Proc. the 26th International Rice Re-

search Conference, New Delhi, India.

9-12 October 2006. International Rice

Research Institute, Indian Council of

Agricultural Research, and National

Academy of Agricultural Sciences.

Macmillan Ltd. India.

Sudaryanto, T. dan B. Rahman. 2008. Ana-

lisis Dampak Penetapan Harga Pembe-

lian Pemerintah (HPP) untuk Gabah dan

Beras (mimeo). Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,

Bogor.

Sudaryanto, T. dan R. Kustiari. 2008.

Poverty alleviation programs through

agriculture in Indonesia. p. 63-74. In

J.W.T. Botema, G. Thompson, I W. Ru-

sastra, and R. Baldwin (Eds). CAPSA

Monograph No. 50, Proc. Regional

Meeting Toward a Joint Regional

Agenda for the Alleviation of Poverty

through Agriculture and Secondary

Crop Development, Bangkok, Thailand,

21-22 November 2007. United Nations

ESCAP-CAPSA, Bogor.

Sudaryanto,T. 2009. Government policy

response to the impact of global food

security crises. Paper prepared for the

International Seminar on Agricultural

and Food Policy Reforms: Food se-

curity from the perspectives of Asian

small-scale farmers, Seoul, South Ko-

rea. 24-28 August 2009. Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, dan

Sumaryanto. 2009a. Increasing trend of

small farms in Indonesia: Causes and

consequences. Paper presented at the

111th EAAE-IAAE Seminar on Small

Farms: Persistence or Declined? Uni-

versity of Kent, Canterbury, UK, 25-26

June 2009.

Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, dan P.U.

Hadi. 2009b. Sasaran Pembangunan

Pertanian 2010-2014 (mimeo). Pusat

Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian, Bogor.

Susilowati, S.H., Sumaryanto, R.N. Suhaeti,

S. Friyatno, H. Tarigan, N.K. Agustin,

dan C. Muslim. 2008. Konsorsium Pe-

nelitian Karakteristik Sosial Ekonomi

Petani pada Berbagai Tipe Agroeko-

sistem: Aspek arah penguasaan lahan

dan tenaga kerja pertanian. Laporan

Penelian. Pusat Analisis Sosial Eko-

nomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor,

bekerja sama dengan Institut Pertanian

Bogor dan Universitas Padjadjaran,

Bandung.

Susilowati, S.H. 2009. Policy measures for

food price inflation in Indonesia: Im-

plications for rice industry develop-

ment and food security. Paper pre-

sented at the Australian APEC Study

Centre Training Course on Food Se-

curity, Structural Reform and Food

Price In-flation: A training program in

resolving policy conflicts, Melbourne,

Australia, June 17-24, 2009.

World Bank. 2006. Making the New

Indonesia Work for the Poor. World

Bank, Washington, D.C.

Oleh :

ANANG BUDI PRASETYO,SP PPL

BPP KECAMATAN TIRIS

BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN

KABUPATEN PROBOLINGGO