ASAS DISKRESI ISI
-
Upload
alitamarta -
Category
Documents
-
view
475 -
download
2
description
Transcript of ASAS DISKRESI ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus dugaan suap dan pemerasan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra
Hamzah atau yang lebih sering disebut sebagai kasus Bibit- Hamzah bermula
dari pernyataan Anggoro Widjojo, tersangka korupsi kasus sistem komunikasi
radio terpadu (SKRT) kepada mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Antasari Azhar di Singapura. Anggoro menyatakan sudah mengeluarkan
uang sebanyak 6 milyar Rupiah untuk menyuap aparat KPK. Pada bulan Juli
2009, saat ditahan Kepolisian terkait kasus pembunuhan Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen, Antasari mengeluarkan
kesaksian yang antara lain menyebutkan nama dua orang petinggi KPK yang
diduga menerima suap1.
Berdasar kesaksian Antasari Azhar, Kepolisian memeriksa seluruh
pimpinan KPK yang tersisa antara lain, M. Jasin, Haryono Umar, Bibit Samad
Rianto dan Chandra M. Hamzah. Bibit dan Chandra kemudian dijerat dengan
1 Kasusnya Dideponeering, Bibit-Chandra Tegaskan Tak Terlibat Pemerasan , http://www.detiknews.com/read/2010/10/29/174603/1479129/10/kasusnya-dideponeering-bibit-chandra-tegaskan-tak-terlibat-pemerasan, diakses 29 Oktober 2010.
1
pasal penyalahgunaan wewenang, terkait pencekalan Anggoro dan buron BLBI
Djoko S Tjandra. Keduanya saat itu lantas dijerat dengan pasal 23 UU No
31/1999 jo pasal 15 UU No 20/2001 jo pasal 421 KUHP tentang
penyalahgunaan wewenang dan pasal 12 (e) UU 31/1999, jo UU No 20/2001
tentang pemerasan2.
Pada tanggal 22 September 2010, ketika proses hukum terhadap Bibit
Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sudah sampai pada tahap pra
penuntutan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Jaksa Agung Hendarman
Supandji tidak sah lagi mengemban jabatan Jaksa Agung3. Berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) mengenai pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung.
Dengan diberhentikannya Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, Presiden
mengangkat Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (Plt)
Jaksa Agung4.
Pada tanggal 29 Oktober 2010, Kejaksaan Agung resmi mengeluarkan
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terkait kasus Bibit Samad
Rianto dan Chandra M. Hamzah5. Pejabat Pelaksana Tugas Jaksa Agung (Plt)
2 Ibid.
3 MK: Hendarman Tak Lagi Jaksa Agung Sah, http://nasional.kompas.com/read/2010/09/22/16023480/MK:.Hendarman.Tak.Lagi.Jaksa.Agung.Sah, diakses 29 Oktober 2010.
4 Keppres Pemberhentian Hendarman Supandji Sudah Diteken Presiden , http://www.detiknews.com/read/2010/09/25/070737/1448054/10/keppres-pemberhentian-hendarman-supandji-sudah-diteken-presiden, diakses 29 Okrober 2010.
2
Darmono menyatakan bahwa Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
tersebut didasarkan pada kepentingan umum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan dalam paragaraf-
paragaraf diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimanakah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebagai
bentuk penggunaan asas Diskresi oleh Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa
Agung ditinjau dari perspektif hukum?”.
BAB II
5 Kejaksaan Agung Resmi Putuskan Deponeering Kasus Bibit-Chandra, http://hukum.tvone.co.id/berita/view/45192/2010/10/29/kejaksaan_agung_resmi_putuskan_deponeering_kasus_bibitchandra, diakses 29 Oktober 2010.
3
PEMBAHASAN
A. Pejabat Pelaksana Tugas Jaksa Agung
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) 104 P/
2010 tanggal 24 September 2010 tentang pemberhentian Hendarman Supandji,
Wakil Jaksa Agung Darmono diangkat sebagai Pejabat Pelaksana Tugas (Plt)
Jaksa Agung hingga ada pengganti definitif6. Secara teknis, tidak diemukannya
teks Keputusan Presiden tersebut pada portal situs Sekretariat Negara
(www.setneg.go.id), situs Kepresidenan (www.presidenri.go.id), situs Kejaksaan
Agung (www.kejaksaan.go.id) menimbulkan kesulitan untuk menganalisis
secara tepat mengenai tugas, fungsi dan kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas
(Plt) Jaksa Agung. Hal tersebut juga menimbulkan kesan bahwa pemerintah
tidak transparan atau setidak- tidaknya lambat dalam menyediakan informasi
yang terbuka bagi publik.
Pertanyaan mendasar mengenai “Apakah Pejabat Pelaksana Tugas (Plt)
Jaksa Agung mempunyai kewenangan yang sama dengan kewenangan seorang
Jaksa Agung?” tidak akan pernah dapat dijawab tanpa melihat teks asli
Keputusan Presiden (Keppres) 104 P/ 2010 tanggal 24 September 2010. Dengan
6 Sudi: Plt Jaksa Agung bisa membuat keputusan, http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/48110/Sudi-Plt-Jaksa-Agung-bisa-membuat-keputusan-, diakses 29 Oktober 2010.
4
demikian dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa legalitas Pejabat Pelaksana
Tugas (Plt) Jaksa Agung masih tidak jelas. Jika legalitas Pejabat Pelaksana
Tugas (Plt) Jaksa Agung masih tidak jelas maka legalitas tindakan- tindakannya
juga masih dapat diragukan.
B. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
1. Pengaturan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana sebagai
Lex Generalis (Hukum Umum)
a. Pasal 14 huruf h menyatakan bahwa:
Penuntut Umum mempunyai wewenang menutup perkara demi
kepentingan hukum. Dalam penjelasan Pasal tersebut tidak
dijelaskan lebih lanjut megenai pengertian “demi kepentingan
hukum”.
b. Pasal 140 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyatakan bahwa:
Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
5
Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) adalah dokumen berisi
keputusan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan terhadap suatu
perkara karena:
a. Tidak cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut bukan termasuk perkara pidana;
c. Perkara ditutup demi hukum (dengan didasarkan pada alasan
penuntutan sudah daluarsa, meninggalnya tersangka, adanya
putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap /ne bis in
idem dan tidak adanya pengaduan dalam hal tindak pidana
aduan)7.
2. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai Lex Specialis (Hukum Khusus)
Berdasarkan Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
7 Bandingkan antara Setiyono, Kajian Yuridis mengenai Interpretsi Pihak Ketiga yang Berkepentingn dalam Praktek Pra Peradilan, http://www.m2s-consulting.com/webs/index.php?option=com_content&view=article&id=34:kajian-yuridis-mengenai-interpretasi-pihak-ketiga-yang-berkepentingan-dalam-praktek-praperadilan&catid=38:law&Itemid=25, diakses 26 Oktober 2010 dengan Bab VIII Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
6
Pada penjelasan ketentuan Pasal 35 c disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara
dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara
yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Dalam hal pengesampingan perkara demi kepentingan umum,
badan- badan kekuasaan negara hanya mengeluarkan saran dan pendapat,
Jaksa Agung tidak terikat dengan saran dan pendapat tersebut. Jadi
keputusan tersebut merupakan kewenangan Jaksa Agung sebagai aparat
pemerintah. Hanya saja rumusan mengenai kepentingan umum dalam
penjelasan Pasal 35 c Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia masih terlalu kabur dan tidak jelas
ukuran- ukurannya.
C. Asas Diskresi
1. Latar Belakang
Secara teoretis, Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu
sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara8.
Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara.
8 Iskatrinah, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang DepHan 2004.
7
Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik
dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan
(bestuuren)9. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, aparat pemerintah
dapat membuat keputusan tata usaha negara. Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata10.
Dalam melaksanakan tugasnya, pada dasarnya pemerintah tidak
hanya melaksanakan undang- undang tetapi juga melakukan perbuatan-
perbuatan/ tindakan- tindakan yang belum diatur secara tegas oleh
undang- undang11. Dalam kaitannya dengan keputusan tata usaha negara,
disamping keputusan pelaksanaan (executive decision) ada juga
keputusan bebas (discretionary decision)12. Pada keputusan bebas, aparat
pemerintah tidak mendasarkan pada peraturan perundang- undangan
yang lebih tinggi tetapi mendasarkan pada asas kebebasan bertindak
(freies ermessen) atau asas diskresi.
2. Syarat- Syarat Penggunaan Asas Diskresi
9 Ibid.
10 Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
11 Philllipus M. Hadjon dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm.138.
12 Ibid.
8
Penggunaan asas Diskresi menimbulkan dilema, antara lain:
a. Jika selalu dilaksanakan maka akan mudah terjadi perbuatan
aparat pemerintah yang sewenang- wenang13;
b. Jika tidak dilaksanakan sama sekali maka tujuan pembagunan
nasional akan sulit terwujud.
Menurut pendapat Prof. Muchsan S.H14, asas Diskresi boleh digunakan
jika:
a. Terjadi kekosongan hukum:
Tidak ada peraturan perundang- undangan yang mengatur hal
tersebut.
b. Ada kebebasan interpretasi suatu peraturan perundang- undangan:
Jika rumusan suatu pasal tidak jelas dan dalam bagian penjelasan
pasal tersebut mencantumkan “cukup jelas”.
c. Ada delegasi dari peraturan perundang- undangan:
Misalnya dalam hal Hinder Ordonnatie (H.O)/ ijin gangguan.
Kepala Daerah harus memberikan ijin H.O jika suatu usaha tidak
menimbulkan bahaya. Dalam peraturan H.O tidak dijabarkan
13 Tri Widodo, 2000, Etika dan Hukum Administrasi Publik, Lembaga Administrasi Negara, Bandung, hlm.37.
14 Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
9
mengenai unsur- unsur “bahaya” maka Kepala Daerah bebas
menjabarkan unsur- unsur tersebut.
d. Demi pemenuhan kepentingan umum:
Pengertian kepentingan umum belum di definisikan secara tegas
dalam peraturan perundang- undangan. Menurut pendapat Prof.
Muchsan, S.H, suatu hal termasuk dalam kepentingan umum jika:
Berbentuk proyek pembangunan (tidak harus
pembangunan fisik) yang dilaksanakan oleh pemerintah;
Hasilnya digunakan oleh pemerintah;
Penggunaannya bersifat nirlaba.
3. Asas- Asas Pemerintahan yang Baik:
Selain hal- hal yang telah disebutkan dalam syarat- syarat penggunaan
Asas Diskresi, untuk memperkuat perlindungan hukum maka pembuatan
keputusan tata usaha negara harus memperhatikan asas- asas
pemerintahan yang baik15. Asas- asas tersebut antara lain:
a. Asas persamaan:
Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus / fakta yang
15 Phillipus M. Hadjon, op cit, hlm.270-278.
10
sama, badan / pejabat administrasi negara dapat mengambil
tindakan yang sama16.
b. Asas Kepercayaan:
Asas ini menghendaki agar tindakan badan / pejabat administrasi
negara dapat menimbulkan dan atau memenuhi harapan-harapan
yang wajar17.
c. Asas kepastian Hukum:
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan keputusan badan / pejabat administrasi
negara. Dengan kata lain, suatu keputusan harus mengandung
kepastian dan tidak akan dicabut kembali, bahkan sekalipun
keputusan itu mengandung kekurangan18.
d. Asas Kecermatan:
Asas ini menghendaki administrasi negara
senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak
menimbulkan kerugian bagi masyarakat19.
e. Asas Pemberian Alasan (motivasi):
16 Tri Widodo, op cit, hlm.39.
17 Ibid, hlm. 42.
18 Ibid, hlm.38.
19 Ibid, hlm.40.
11
Asas ini menghendaki agar keputusan badan /
pejabat administrasi negara didasarkan pada alasan
/ motivasi yang adil dan jelas20.
f. Asas Larangan Penyalahgunaan Kewenangan:
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan, badan /
pejabat administrasi negara tidak menggunakan kewenangan
diluar maksud pemberian wewenang tersebut (detournement de
pouvoir)21.
g. Asas Larangan Bertindak Sewenang- wenang:
Asas ini menghendaki agar dalam melakukan
tindakannya, badan / pejabat administrasi negara
tidak berlaku sewenang-wenang22.
20 Ibid.
21 Ibid, hlm.41.
22 Ibid, hlm. 42.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebagai bentuk penggunaan
asas Diskresi oleh Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung ditinjau dari
perspektif hukum masih dapat diperdebatkan. Dalam hal mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum dimana ukuran kepentingan umum masih
belum jelas, maka Jaksa Agung boleh menggunakan asas Diskresi untuk
menafsirkan sendiri rumusan “kepentingan umum” tersebut. Akan tetapi, yang
13
menjadi permasalahan adalah bahwa pihak yang melakukan pengesampingan
perkara adalah Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung yang fungsi, tugas
dan kewenangannya masih belum jelas.
B. Saran
Untuk menghindari kebatalan karena tidak berwenangnya
pejabat yang membuat keputusan pengesampingan perkara
maka sebaiknya Presiden Republik Indonesia segera
mengangkat Jaksa Agung Definitif. Dengan demikian kepastian
hukum akan lebih terjamin dan itikad baik Presiden dalam hal
penegakan hukum akan semakin jelas terlihat. Opsi lain yang
dapat diambil oleh Presiden adalah mencantumkan secara
tegas bahwa fungsi, tugas dan kewenangan Pejabat Pelaksana
Tugas (Plt) Jaksa Agung adalah sama dengan yang dimiliki oleh
Jaksa Agung Definitif kemudian mengumumkan teks dokumen
Keputusan Presiden tersebut kepada publik sehingga lebih
akuntabel.
14