Artikel Opini Puan Maharani Di Kompas

5
Artikel Opini Puan Maharani di Kompas “Patriotisme Pemuda” Kompasianers, ini tulisan Puan Maharani salah satu tokoh muda PDI Perjuangan yang dimuat di Kompas, 25 oktober 2012. Dia berikan perspektif baru tentang patriotisme pemuda Indonesia. Kalau biasanya banyak orang bilang kita harus menyumbang buat bangsa dan negara, Puan bilang pemuda-pemudi Indonesia sekarang jadi saja yang terbaik di bidang-bidangnya masing- masing. Menurut dia itu salah satu kunci bangsa ini bisa besar dengan berpijak pada kearifan nasionalnya sendiri. Apa ya pendapat Kompasianers tentang pemikiran ini? Berikut artikel lengkapnya Puan Maharani: Menyambut perayaan 84 tahun Sumpah Pemuda kita jadi teringat lirik lagu karangan A. Simanjuntak “Bangun Pemudi Pemuda”. Satu kalimat di situ mengingatkan pemuda Indonesia tentang tanggung jawabnya, yaitu “masa yang akan datang kewajibanmulah”. Jika kita kembali ke masa di era Sumpah Pemuda dicetuskan pada tahun 1928, para pemuda Indonesia di masa itu berkumpul dengan satu spirit untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai anak bangsa untuk merumuskan sebuah jawaban atas tantangan jaman masa itu: penjajahan kaum kolonial atas bangsa Indonesia. Atas dasar kesadaran kolektif, juga dengan semangat kebersamaan, para Jong Indonesia di masa itu sepakat bahwa untuk menghapus penjajahan di bumi Indonesia, persatuan Indonesia adalah sebuah kemutlakan. Tidak ada jalan lain. Rumusan satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia, menjadi prasasti sekaligus tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan penjajah kolonial di bumi Indonesia.

Transcript of Artikel Opini Puan Maharani Di Kompas

Artikel Opini Puan Maharani di Kompas Patriotisme PemudaKompasianers, ini tulisan Puan Maharani salah satu tokoh muda PDI Perjuangan yang dimuat di Kompas, 25 oktober 2012. Dia berikan perspektif baru tentang patriotisme pemuda Indonesia. Kalau biasanya banyak orang bilang kita harus menyumbang buat bangsa dan negara, Puan bilang pemuda-pemudi Indonesia sekarang jadi saja yang terbaik di bidang-bidangnya masing-masing. Menurut dia itu salah satu kunci bangsa ini bisa besar dengan berpijak pada kearifan nasionalnya sendiri.

Apa ya pendapat Kompasianers tentang pemikiran ini?

Berikut artikel lengkapnya Puan Maharani:

Menyambut perayaan 84 tahun Sumpah Pemuda kita jadi teringat lirik lagu karangan A. Simanjuntak Bangun Pemudi Pemuda. Satu kalimat di situ mengingatkan pemuda Indonesia tentang tanggung jawabnya, yaitu masa yang akan datang kewajibanmulah. Jika kita kembali ke masa di era Sumpah Pemuda dicetuskan pada tahun 1928, para pemuda Indonesia di masa itu berkumpul dengan satu spirit untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai anak bangsa untuk merumuskan sebuah jawaban atas tantangan jaman masa itu: penjajahan kaum kolonial atas bangsa Indonesia. Atas dasar kesadaran kolektif, juga dengan semangat kebersamaan, para Jong Indonesia di masa itu sepakat bahwa untuk menghapus penjajahan di bumi Indonesia, persatuan Indonesia adalah sebuah kemutlakan. Tidak ada jalan lain. Rumusan satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia, menjadi prasasti sekaligus tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan penjajah kolonial di bumi Indonesia.

Dari sejarah Sumpah Pemuda tadi kita bisa menangkap pesan kuat tentang betapa para pemuda Indonesia di era itu dengan gegap gempita memenuhi panggilan jaman-nya untuk melawan penjajahan dengan sebuah komitmen tentang persatuan. Komitmen yang diniscayakan dalam sebuah sumpah agung, yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Kiprah dan peran para pemuda Indonesia pada tahun 1928 itu telah mengubah secara drastis pola perjuangan pergerakan nasional dari yang bersifat kedaerahan menjadi nasional.

Kini, 84 tahun kemudian, pertanyaan yang relevan untuk kita jawab adalah: apakah peran pemuda, yang menurut data BPS berjumlah sekitar 168 juta orang (di bawah umur 40 tahun), sebagai penggerak perubahan bagi bangsanya? Perubahan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia masa kini?

Jika dulu tantangan nyata pemuda Indonesia adalah bagaimana melawan penjajahan fisik, maka sekarang pemuda Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah besar: krisis multidimensi, yang menempatkan Indonesia terjajah oleh bangsa-bangsa lain dalam bentuk penjajahan bentuk baru. Penjajahan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Betapa tidak, Indonesia yang dahulu pernah begitu berwibawa dan mandiri, kini menjelma menjadi negeri yang bergelimang produk impor. Bukan hanya impor barang tapi juga impor pemikiran dan impor kebudayaan. Pada akhirnya, arus impor berkecepatan tinggi di segala lini tersebut memadamkan spirit dan kemampuan kita sebagai bangsa untuk mampu memproduksi barang, ide, dan kebudayaan karena terlena oleh produk-produk impor tadi.

Di sektor ekonomi, produksi dalam negeri sudah kalah bersaing dengan produk-produk bermerek mancanegara. Di bidang pemikiran, para intelektual muda lebih merasa gagah mengutip kearifan para tokoh bangsa lain, ketimbang mengutip kearifan tokoh-tokoh nasional. Padahal pemikiran Bung Karno, Hatta, Gus Dur, dan banyak tokoh lagi sudah diakui di dunia internasional. Bahkan, dalam tataran praktis, gaya demokrasi yang dianut pun lebih berorientasi pada demokrasi ala Barat ketimbang demokrasi ala Indonesia. Bukan demokrasi yang berjiwa nilai-nilai luhur kebangsaan Indonesia yang mengutamakan musyawarah dan mufakat. Kini, perbedaan pendapat lebih cenderung diselesaikan dengan mekanisme voting (pemungutan suara) daripada dengan cara musyawarah untuk mufakat.

Sementara itu, dari sisi kebudayaan, arus budaya pop impor semakin memudarkan kecintaan pemuda-pemudi Indonesia untuk melestarikan warisan budaya nasional, seperti wayang, sastra dan tari-tarian daerah dan sebagainya. Padahal, tidak sedikit orang asing yang justru kemudian mempelajari dan membawa warisan budaya leluhur ke pentas internasional.

Saya percaya bahwa keberhasilan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan para pemuda-pemudinya dalam berkiprah di bidang keahliannya masing-masing. Negeri ini sesungguhnya dilimpahi tunas-tunas bangsa yang punya potensi besar untuk membawa kejayaan bangsa di pentas internasional. Kami mencatat ada begitu banyak prestasi yang telah diraih para pemuda-pemudi Indonesia di pentas dunia. Keberhasilan pelajar-pelajar Indonesia asuhan Profesor Yohanes Surya menjadi juara Olimpiade Fisika dan Matematika tingkat dunia menjadi bukti bahwa pemuda-pemudi Indonesia punya kualitas yang tidak kalah dari kualitas pemuda-pemudi negara lain.

Publik kebudayaan sangat bersemangat ketika menyaksikan pertunjukan Matah Ati. Bagi kami, Matah Ati adalah sebuah pertunjukan budaya sangat indah dan penuh dengan nilai-nilai filosofis. Pengakuan batik Indonesia dari UNESCO juga menjadi bukti bahwa jika dikembangkan secara sungguh-sungguh, karya budaya asli Indonesia berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi soft power Indonesia di kancah internasional. Pengakuan komunitas perfilman internasional yang memuji film Denias, Senandung di Atas Awan, karya sutradara Ari Sihasale, kiprah para ilmuwan muda Indonesia di lembaga-lembaga riset internasional dengan berbagai penemuan penting mereka adalah cermin bahwa sejatinya pemuda-pemudi Indonesia punya potensi besar untuk membawa bangsa kita menjadi bangsa maju.

Bayangkan, jika setiap bidang dan sektor kehidupan di negeri ini dipenuhi dengan pemuda ber-etos baja seperti contoh-contoh sukses tadi, niscaya Republik ini akan lebih cepat bangkit dan melesat sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia.

Memang, untuk merajut potensi-potensi besar itu dibutuhkan sebuah keteladanan, yang mampu menggelorakan patriotisme kaum muda dalam konteks kekinian. Namun, jika keteladanan itu tak kunjung datang, semangat Sumpah Pemuda 1928 bisa menjadi teladan bahwa kaum muda bisa menjadi teladan untuk kaumnya sendiri. Bahkan, kaum muda bisa menjadi pelopor atas kebangkitan bangsa, di tengah-tengah krisis multidimensi yang mendera di semua lini.

Ingat kepemudaan berarti spirit. Ia adalah personalisasi dari sosok bersemangat baja; si pantang menyerah, si pekerja keras, si cerdas, dan memiliki penguasaan terhadap sejumlah keterampilan yang diperlukan. Bila pemuda bangsa tahun 1928 menjawab tantangan penjajahan dengan persatuan, maka pemuda Indonesia masa kini bisa menjawab tantangan krisis multidimensi dengan tampil sebagai pionir-pionir penuh prestasi di bidang keahlian dan bidang kecakapannya masing-masing. Para pemuda Indonesia yang memilih dunia olahraga sebagai atlet jadilah atlet yang mendalami dunia keatletannya sehingga berprestasi di pentas dunia. Begitu pula, para pemuda yang berkiprah di bidang kesenian dan kebudayaan, apakah itu sebagai penari, penyanyi, pelukis, penulis, dan sebagainya, jadilah seniman dan budayawan yang mendalami secara utuh bidangnya masing-masing sehingga diakui dunia. Juga, para pemuda yang berprofesi sebagai peneliti, ilmuwan, politisi, birokrat dan sebagainya, hendaknya menekuni profesinya secara utuh, tulus, dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Seperti kata Bung Karno, Karmane Vadni Adikaraste Maphalessu Kada Chana (laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang, sebab jika bukan engkau yang memetik buahnya maka anakmu yang akan memetik, jika bukan anakmu pastilah cucumu yang akan memetiknya).

Inilah redefinisi partriotisme pemuda Indonesia masa kini, yang tidak kalah agung dari patriotisme pemuda Indonesia 1928 ketika mencetuskan Sumpah Pemuda. Melalui redefinisi tersebut Indonesia akan selangkah lebih dekat mewujudkan impian menjadi bangsa yang besar di pentas dunia dengan berpijak pada kearifan nasional dan keahlian putra putri bangsa sendiri.