Artikel adaptasi khairunisa pranadila

5

Click here to load reader

Transcript of Artikel adaptasi khairunisa pranadila

Page 1: Artikel adaptasi khairunisa pranadila

Pendahuluan

Adaptasi merupakan penyesuaian dalam sistem sosial, ekonomi, atau ekologi sebagai

respons terhadap dampak dari perubahan yang terjadi. Penjelasan adaptasi membutuhkan

spesifikasi tentang siapa atau apa yang beradaptasi, perubahan apa yang terjadi sehingga

menyebabkan adaptasi itu terjadi, dan proses adaptasi yang seperti apa yang terjadi

(Downing et al., 1997). Dalam sudut pandang ekologi, istilah ini mengacu pada proses

perubahan organisme dan spesies agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya

(Lawrence, 1995; Abercrombie et al., 1997), sedangkan sudut pandang sosial ekonomi,

istilah ini mengacu pada penyesuaian individu dan tingkahlaku kolektif dari sistem sosial

ekonomi itu sendiri (Denevan, 1983; Hardesty, 1983). Kemudian adaptasi terhadap iklim

melibatkan penyesuaian untuk mengurangi kerentanan suatu komunitas, wilayah, atau

aktivitas akibat perubahan iklim. Adaptasi sangat diperlukan ketika terjadi perubahan iklim

karena sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyesuaian akan terjadinya perubahan

dan respon yang dilakukan untuk mencegah hal serupa sebagai evaluasi.

Adaptasi dianggap sebagai opsi respon penting setelah mitigasi terhadap bencana. Karena

meskipun dengan berkurangnya emisi dari efek rumah kaca, temperatur global diperkirakan

akan terus naik menyebabkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Maka dari

itu pengembangan strategi rencana adaptasi sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko-

risiko perubahan iklim yang terjadi dan dianggap sangat penting seperti halnya aksi mitigasi.

Kemampuan adaptasi sendiri merupakan potensi atau kemampuan sebuah sistem, wilayah,

atau komunitas untuk menyesuaikan diri terhadap akibat dari perubahan iklim. Sebagai

kondisi dan proses, adaptasi merupakan istilah relatif yang melibatkan perubahan sesuatu—

dapat berupa sistem, aktivitas, distrik, komunitas, atau wilayah—menjadi bentuk yang baru.

Misalnya, pada awalnya semua distrik tersebar dalam suatu kota, namun karena sebuah

bencana banjir yang melanda, kini distrik-distrik penting berpindah ke wilayah yang paling

sedikit terkena dampak banjir dan memusat di sana. Hal ini merupakan respon adaptasi dari

masyarakat yang tekena bencana banjir untuk tetap bertahan hidup.

Perubahan iklim dan kondisi lokasi Ibukota Jakarta seringkali mengakibatkan banjir. Hal ini

sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk dan masyarakat sekitar. Sejarah mencatat,

sejak masih berada di bawah naungan penjajah dengan nama Batavia, banjir telah menjadi

masalah utama Ibu Kota. Tahun 1621, 1654, 1873, dan 1918 adalah tahun-tahun yang buruk

dalam rekaman sejarah banjir besar di Batavia. Berlanjut pada dekade belakangan ini, banjir

besar yang melanda Jakarta terjadi pada 1979, 1996, 1999, 2002, dan 2007. Kondisi itu

disusul dengan banjir-banjir yang setiap tahun nyaris melumpuhkan Ibu Kota hingga saat ini.

Sejak pemerintahan Belanda, banjir di Ibu Kota diurus secara serius. Pada 1850-an,

pemerintah kolonial membentuk Burgelijke Openbare Werken sebagai badan khusus untuk

mengurusi banjir di Jakarta. Setelah banjir besar pada 1918, upaya penanganan banjir

Jakarta tampak mulai direncanakan secara komprehensif. Kanal Banjir Barat (KBB) yang

Page 2: Artikel adaptasi khairunisa pranadila

dibangun pada 1922 adalah artefak hidup hasil kerja Tim Penyusun Rencana Pencegahan

Banjir yang dikepalai oleh Profesor Dr Herman van Breen.

Namun KBB tak mampu meredam banjir dalam jangka waktu lama. Ketika alih fungsi lahan

resapan menjadi permukiman kian meluas, KBB tak mampu menampung luapan air di Ibu

Kota. Di titik itu juga, ketika banyak situ (danau) mati dan ditumbuhi permukiman anyar,

kekuasaan Kali Ciliwung pun pudar. Nasib Ciliwung tak seindah Sungai Nil di Mesir ataupun

Sungai Tigris di Bagdad yang dibanggakan penduduknya.

Masalah banjir di Jakarta lantas menjadi warisan turun menurun bagi para pemimpin

nomor satu di Jakarta. Tak hanya Gubernur DKI Jakarta, bahkan Presiden Republik Indonesia

turut mengambil peran penting dalam penanggulangan banjir di Ibu Kota. Pada 1965,

Presiden pertama sekaligus Plokamator Republik Indonesia, Soekarno, membentuk

Komando Proyek Pencegahan Banjir yang dikenal dengan nama Kopro Banjir. Waduk Pluit,

Waduk Setiabudi, Waduk Tomang, dan Waduk Grogol, yang merupakan sejumlah waduk di

Jakarta, adalah buah karya Kopro Banjir. Sayangnya, waduk-waduk ini, kini telah banyak

yang menghilang.

Pada 1973, Soeharto mengusulkan proyek perluasan KBB, namun batal direalisasi. Sebagai

gantinya, pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah membangun Sistem

Drainase Cengkareng sebagai jaringan pengendali banjir yang selesai dikerjakan satu dekade

sesudahnya. Akan tetapi upaya-upaya tersebut masih tidak mampu untuk mencegah banjir

yang sudah langganan melanda Ibu Kota. Bahkan pembangunan megaproyek Kanal Banjir

Timur (KBT), yang didanai secara berjangka pada masa pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono, hanya memperkecil risiko terjadinya banjir belaka. (Sejarah Banjir Jakarta,

Tempo, 2015)

Sebagai orang nomor satu di Ibukota Jakarta, Basuki Tjahja Purnama merasa Kelapa Gading

kawasan elit yang paling bobrok sistemnya. Daerah yang dulunya merupakan daerah rawa-

rawa resapan air, kini telah dipermak habis menjadi kawasan perumahan elit dan bisnis.

Sehingga ketika musim hujan datang, tidak ada tempat untuk genangan air ini berlabuh dan

berakhir menggenang disepanjang jalan boulevard dan sekitarannya.

Kecamatan Kelapa Gading yang terletak di timurlaut Jakarta memang merupakan daerah

rawa-rawa sebelum menjadi kawasan bisnis seperti sekarang. Daerah dengan ketinggian 5

meter di atas permukaan laut ini dekat dengan Cakung yang merupakan kawasan industrial

dimana jarang sekali ditemukan daerah resapan air. Kelapa Gading pernah terkenal sebagai

wilayah rawa-rawa dan persawahan, namun semenjak tahun 1970-an, daerah ini mulai

berkembang dengan masuknya berbagai perusahaan properti.

Kelapa Gading merupakan daerah yang cukup digemari masyarakat Jabodetabek karena

berlimpahnya wisata kuliner dan mal-mal besar untuk hiburan akhir pekan. Namun Kelapa

Gading bukan hanya menjadi tujuan wisata akhir pekan keluarga, pada pekan kerja dari hari

Page 3: Artikel adaptasi khairunisa pranadila

senin sampai jumat, daerah ini dipenuhi para pekerja-pekerja kantoran dan industri saat jam

makan siang atau jam pulang kerja. Hal ini karena wilayahnya yang dikelilingi banyak pabrik

industri dan kantor-kantor swasta.

Pembahasan

Distrik-distrik yang ada di Kelapa Gading secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga yaitu

distrik bisnis, distrik pemukiman, dan distrik industri.

Sumber: http://www.maps.co.id/peta_kota.html

Di bagian barat, merupakan distrik bisnis, di bagian

tengah merupakan pemukiman, dan di sebelah

timur dekat perbatasan cakung terdapat distik

industri. Jika kita melihat dari konsep keterkaitan

antar ruangnya, pada pagi hari orang-orang

berpindah dari daerah pemukiman menuju distrik

bisnis dan industri, pun orang-orang dari luar

daerah Kelapa Gading yang menjadi pekerja di

distrik bisnis dan industri Kelapa Gading. Kemudian

pada siang hari saat istirahat makan siang, para

pekerja berlabuh di sekitar jalan boulevard yang

masuk ke dalam distrik bisnis, sehingga pada siang

hari, distrik ini lebih ramai. Ketika memasuki jam

pulang kerja, sore hingga malam, pekerja-pekerja

dari distrik bisnis dan industri kembali menuju daerah pemukiman di utara dan tengah

Kelapa Gading, sehingga jalanan-jalanan utama lebih padat pada waktu-waktu ini.

Kecamatan Kelapa Gading sering menjadi langganan banjir karena beberapa hal yang sudah

disebutkan sebelumnya, yaitu sebagai daerah yang dulunya rawa dan persawahan untuk

penampungan air, kini telah disulap menjadi daerah pemukiman, bisnis, dan industri,

sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi daerah resapan air lagi. Kemudian wilayahnya

yang memang rendah dengan ketinggian 5 meter di atas permukaan laut, tidak

memungkinkan air untuk turun ke daerah yang lebih rendah lagi karena memang

daratannya relatif datar.

Air banjir di wilayah Kelapa Gading ini bukan berasal dari meluapnya sungai karena Kelapa

Gading sendiri jauh dari sungai-sungai besar yang sering meluap menyebabkan banjir di

wilayah Jakarta lainnya seperti Ciliwung. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Kelapa

Gading dulunya merupakan daerah rawa-rawa persawahan, yang sudah biasa menjadi

tempat penampungan air atau sebagai daerah resapan. Namun karena sudah mengalami

peralihan fungsi, Kelapa Gading tidak lagi memiliki daerah resapan akhir, sehingga

mengakibatkan air yang seharusnya berlabuh di wilayah ini, tidak memiliki tujuan dan

akhirnya mengakibatkan banjir

Page 4: Artikel adaptasi khairunisa pranadila

Banjir di Kelapa Gading mungkin tidak separah banjir yang terjadi di Kampung Melayu yang

bisa mencapai atap rumah penduduk, namun karena wilayah Kelapa Gading merupakan

salah satu distrik bisnis tersibuk di Jakarta Utara dengan banyak pekerja yang keluar masuk

wilayah ini, sungguh banjir menjadi hal yang mengganggu aktivitas mereka. Pekerja -pekerja

dari berbagai wilayah sekitar Kelapa Gading—seperti wilayah industri di Cakung—sering

terlihat beristirahat di sepanjang jalan boulevard—yang memang merupakan kawasan

kuliner—untuk makan siang, bahkan beberapa pekerja menyewa tempat tinggal di

kecamatan Kelapa Gading untuk mempermudah akses ke kantornya. Tidak jarang genangan

banjir mencapai setinggi paha kaki pria dewasa dan dengan genangan air setinggi itu, mobil

akan susah lewat dan rumah-rumah dikawasan ini sudah terjamin akan ikut tergenang.

Akses yang mereka kira akan lebih mudah dengan menyewa tempat di kawasan sekitar

kantornya malah sulit dilewati ketika musim hujan melanda. Hal ini menyebabkan kawasan

bisnis Kelapa Gading ini pun tidak jarang seakan mati karena banjir menggenangi sepanjang

jalan Boulevard yang merupakan jalan utama di Kelapa Gading. Akses yang sulit karena

banjir menyulitak orang-orang untuk keluar masuk wilayah ini.

Berkali-kali kebanjiran membuat masyarakat resah, satu per satu rumah tangga

meninggikan rumahnya masing-masing sehingga jika kita berjalan-jalan ke Kelapa Gading

sekarang, kita akan mendapati banyak sekali rumah-rumah dengan garasi dan pintu masuk

yang tinggi. Hal ini merupakan adaptasi preventif dari penduduk Kelapa Gading untuk

mengantisipasi musim-musim hujan yang akan datang. Bahkan beberapa wilayah

perkantoran dan ruko-ruko di sekitar jalan boulevard juga meninggikan bangunannya.

Tindakan ini adalah upaya masyarakat untuk menyelamatkan properti dan tempat tinggal

mereka. Walaupun jalan-jalan di daerah ini masih terus tergenang ketika musim hujan

datang, setidaknya rumah-rumah mereka terhindar dari banjir.

Setelah menjadi daerah langganan banjir, harga properti dan tanah di Kelapa Gading

memang sempat turun namun tetap dengan harga yang cukup tinggi seakan banjir tidak

mempengaruhi pertimbangan para calon pembeli. Hal ini bisa disebabkan karena penduduk

Kelapa Gading-nya sendiri pun enggan mencari tempat tinggal baru dan lebih memilih untuk

meninggikan rumah untuk antisipasi banjir-banjir selanjutnya daripada pindah ke wilayah

yang lebih aman, sehingga Kelapa Gading masih menjadi kawasan yang difavoritkan sebagai

tempat tinggla. Setelah ditelusuri, tenyata masyarakat Tionghoa yang mempercayai bahwa

Kelapa Gading merupakan daerah “Kepala Naga” yaitu daerah yang membawa keuntungan

dalam bisnis, karena itu banyak masyarakat yang berlomba-lomba berinvestasi di wilayah

ini.

Memilih untuk tetap tinggal di Kelapa Gading yang merupakan langganan banjir, masyarakat

beradaptasi dengan meninggikan bangunan-bangunannya dan menambahkan tanggul di

setiap kali-kali yang melewati dekat rumah mereka. Upaya lain untuk mengantisipasi banjir

di musim hujan yang akan datang adalah dari pemerintah, yaitu pembuatan banjir kanal.

Pembuatan banjir kanal diharapkan akan membawa air kiriman dari hulu langsung ke laut.

Page 5: Artikel adaptasi khairunisa pranadila

Dengan begitu, meskipun pada musim hujan yang akan datang terjadi banjir lagi,

masyarakat tidak akan cemas seperti tahun-tahun sebelumnya karena sebagian air telah

teralokasikan langsung ke laut ditambah dengan tindakan preventif dari masyarakat itu

sendiri dengan meninggikan rumah dan ruko mereka masing-masing.

Kesimpulan