Artikel

13
 PENAKSIRAN RISIKO RELATIF DALAM PEMETAAN PENYAKIT DBD DI KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN METODE LOCAL ESTI MATOR Fani Rahmadhayani, I Gede Mindra Jaya, M.Si , Bertho Tantular, M.Si Jurusan Statistika, Universitas Padjadjaran email : fanirahmadh [email protected] ABSTRAK Demam Berdarah  Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus dengue dari nyamuk  Aedes aegypti . Bandung merupakan salah satu kota besar di Provinsi Jawa Barat yang jumlah kasus DBD masih cukup tinggi hingga 2013 (IR :231,4 per 100.000). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi peningkatan  jumlah kasus DBD, namun jumlah kasus DBD selalu meningkat s etiap tahunnya. Pemetaan risiko relatif penyakit berguna untuk mengetahui penyebaran geografis daerah-daerah yang memiliki risiko tinggi untuk menjadi daerah endemik terjangkit DBD dan akan menjadi  bahan referensi kebijakan bagi Dinas Kesehatan Kota Bandung. Pemetaan umumnya didasarkan pada Incidence Rate (IR) yang tidak memperhitungkan perbedaan ukuran populasi di setiap daerah. Sehingga diperlukan sebuah standardisasi dari ukuran populasi yang dikenal dengan Standardized Morbidity Ratio (SMR). Penggunaan SMR kurang tepat digunakan  pada daerah dengan ukuran populasi kecil karena akan menghasilkan varians yang besar. Penelitian ini bertujuan menggunakan metode  Local Estimator yang merupakan pemulusan dari SMR dan memperhatikan aspek spasial dalam pemetaan penyakit DBD. Metode ini merupakan pengembangan dari metode  Empirical Bayes dimana parameter prior diperoleh dari rata-rata risiko relatif daerah yang berbatasan. Data yang digunakan adalah data kasus DBD Kota Bandung tahun 2013. Berdasarkan hasil perhitungan, Buah Batu merupakan kecamatan dengan risiko tertinggi, sedangkan kecamatan Bojongloa Kaler merupakan kecamatan dengan risiko terendah untuk te rjangkit penyakit DBD di Kota Bandung. Kata kunci: Pemetaan penyakit, risiko relatif, SMR, Empirical Bayes, Local Estimator . I. PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang banyak ditemukan di daerah endemis terutama daerah tropis dan subtropis. Penyebaran virus DBD di Indonesia sebagai daerah tropis telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 44 tahun terakhir. DBD juga termasuk ke dalam jenis penyakit menular yang menjadi fenomena di Kota Bandung. Beberapa program dan strategi telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung seperti program sosialisasi penanganan, pembinaan kader di setiap daerah dan  pengasapan (  fogging ) tetapi jumlah penderita DBD selalu meningkat. Upaya pencegahan dan

Transcript of Artikel

  • 5/19/2018 Artikel

    1/13

    PENAKSIRAN RISIKO RELATIF DALAM PEMETAAN PENYAKIT DBD DI

    KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN METODE LOCAL ESTIMATOR

    Fani Rahmadhayani, I Gede Mindra Jaya, M.Si, Bertho Tantular, M.Si

    Jurusan Statistika, Universitas Padjadjaran

    email : [email protected]

    ABSTRAK

    Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang

    disebabkan oleh infeksi virus denguedari nyamukAedes aegypti. Bandung merupakan salah

    satu kota besar di Provinsi Jawa Barat yang jumlah kasus DBD masih cukup tinggi hingga

    2013 (IR :231,4 per 100.000). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi peningkatanjumlah kasus DBD, namun jumlah kasus DBD selalu meningkat setiap tahunnya. Pemetaan

    risiko relatif penyakit berguna untuk mengetahui penyebaran geografis daerah-daerah yang

    memiliki risiko tinggi untuk menjadi daerah endemik terjangkit DBD dan akan menjadi

    bahan referensi kebijakan bagi Dinas Kesehatan Kota Bandung. Pemetaan umumnya

    didasarkan padaIncidence Rate(IR) yang tidak memperhitungkan perbedaan ukuran populasi

    di setiap daerah. Sehingga diperlukan sebuah standardisasi dari ukuran populasi yang dikenal

    dengan Standardized Morbidity Ratio (SMR). Penggunaan SMR kurang tepat digunakan

    pada daerah dengan ukuran populasi kecil karena akan menghasilkan varians yang besar.

    Penelitian ini bertujuan menggunakan metode Local Estimator yang merupakan pemulusan

    dari SMR dan memperhatikan aspek spasial dalam pemetaan penyakit DBD. Metode ini

    merupakan pengembangan dari metode Empirical Bayes dimana parameter prior diperoleh

    dari rata-rata risiko relatif daerah yang berbatasan. Data yang digunakan adalah data kasus

    DBD Kota Bandung tahun 2013. Berdasarkan hasil perhitungan, Buah Batu merupakan

    kecamatan dengan risiko tertinggi, sedangkan kecamatan Bojongloa Kaler merupakan

    kecamatan dengan risiko terendah untuk terjangkit penyakit DBD di Kota Bandung.

    Kata kunci: Pemetaan penyakit, risiko relatif, SMR,Empirical Bayes,Local Estimator.

    I. PENDAHULUAN

    Demam BerdarahDengue(DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang banyak

    ditemukan di daerah endemis terutama daerah tropis dan subtropis. Penyebaran virus DBD di

    Indonesia sebagai daerah tropis telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 44 tahun

    terakhir. DBD juga termasuk ke dalam jenis penyakit menular yang menjadi fenomena di

    Kota Bandung. Beberapa program dan strategi telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota

    Bandung seperti program sosialisasi penanganan, pembinaan kader di setiap daerah danpengasapan (fogging) tetapi jumlah penderita DBD selalu meningkat. Upaya pencegahan dan

  • 5/19/2018 Artikel

    2/13

    penanggulangan penyebaran infeksi virus DBD dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih

    dahulu tingkat insidensi penyebaran penyakit DBD di setiap daerah. Tingkat insidensi pada

    penyebaran penyakit DBD tersebut dapat diketahui dengan melakukan pemetaan Incidence

    Rate (IR). Pemetaan IR sangat bermanfaat untuk mengetahui penyebaran geografis daerah

    yang memiliki risiko tinggi terjangkit DBD. Penggunaan IR kurang tepat digunakan pada

    ukuran populasi antardaerah yang berbeda-beda, karena nilai IR yang dihasilkan tidak dapat

    menyajikan perbandingan keadaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Untuk itu,

    diperlukan perhitungan yang melibatkan nilai harapan jumlah kasus yang terjadi disetiap

    daerah yang distandarkan, disebut dengan Standardized Mortality Ratio (SMR). SMR

    merupakan ukuran rasio antara banyaknya kejadian penyakit dengan nilai harapannya. Nilai

    harapan diperoleh dari perkalian jumlah populasi yang berisiko dengan peluang terjadinya

    satu kasus (Clayton and Kaldor, 1987).

    Penaksiran dengan SMR menjadi tidak handal jika digunakan dalam menaksir daerah

    yang memiliki nilai harapan beragam, yang menyebabkan penyebaran geografis penyakit

    menjadi menyimpang karena varians secara keseluruhan dari SMR akan besar dengan nilai

    harapannya kecil (Rao, 2003). Pendekatan baru dalam memetakan daerah dengan

    menggunakan metode pemulusan SMR yaituEmpirical Bayes (EB). Penyebaran infeksi virus

    DBD Kota Bandung yang berhubungan secara spasial dari 30 kecamatan perlu dipetakan

    menggunakan risiko relatif yang ditaksir dengan metode yang memperhatikan

    ketergantungan spasial antardaerah. Manfaat yang diharapkan setelah melakukan penelitian

    ini adalah dengan menaksir risiko relatif, diperoleh peta penyebaran penyakit yang

    menggambarkan daerah berisiko terjangkit DBD di Kota Bandung. Peta penyebaran tersebut

    dapat membantu Dinas Kesehatan untuk menentukan daerah berisiko tinggi terjangkit DBD

    sehingga menjadi bahan referensi dalam penyusunan kebijakan, anggaran dana dan

    penanggulangan atau pencegahan penyakit menular di Kota Bandung.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pemetaan Penyakit

    Pemetaan merupakan salah satu metode untuk menggambarkan distribusi geografis

    suatu penyakit di suatu daerah. Pemetaan penyakit berguna untuk mengetahui penyebaran

    penyakit dan risiko relatif terjadinya suatu penyakit tertentu. Pemetaan tersebut menunjukkan

    ukuran incidenceatauprevalencesuatu penyakit pada sebuah populasi (Pringle, 1995).

  • 5/19/2018 Artikel

    3/13

    2.2 Risiko Relatif (RR)

    Risiko relatif didefinisikan sebagai perbandingan jumlah kasus pada suatu daerah

    tertentu terhadap banyaknya populasi yang berisiko pada daerah tersebut (Pringle, 1995).

    Analisis Incidence Rate (IR) merupakan salah satu bentuk risiko relatif. IR adalah ukuran

    epidemiologi untuk mengukur tingkat kejadian kasus suatu penyakit pada jangka waktu

    tertentu (Last, 2001). Pemetaaan risiko relatif yang umumnya menggunakan Incidence Rate

    kurang tepat digunakan pada daerah yang memiliki ukuran populasi yang berbeda antara satu

    daerah dengan daerah lainnya karena tidak dapat menyajikan perbandingan keadaan

    antardaerah.

    2.3

    Standardized M ortali ty Ratio(SMR)

    SMR merupakan penaksir risiko relatif dengan menggunakan metode Maximum

    Likelihoodyang bersifat tak bias. Misalkan yimerupakan banyaknya kasus DBD pada daerah

    i (i=1,2,...,r) yang mengikuti distribusi Poisson dengan parameteri ie dengan ei

    merupakan nilai harapan banyaknya kasus pada daerah idani

    merupakan risiko relatif pada

    daerah iyang nilainya belum diketahui.

    i

    ii

    y

    e

    (2.1)

    var( ) i

    ie

    Nilai harapan terjadinya kasus pada daerah i diperoleh dari perkalian banyaknya populasi

    pada daerah i dengan peluang terjadinya satu kasus (Clayton and Kaldor, 1987). Rumus

    umum untuk menentukan nilai harapan adalah sebagai berikut :

    1 1. /

    r r

    i i i i ii ie n p n y n

    (2.2)

    Ukuran SMR tidak selalu tepat digunakan dalam pemetaan penyakit terutama ketika

    terdapat perbedaan ukuran populasi antardaerah. Varians dari SMR yang diperoleh dari /i ie

    akan besar untuk daerah dengan populasi kecil (harapan kecil) sedangkan kecil untuk daerah

    dengan populasi besar (harapan besar), sehingga taksiran SMR secara keseluruhan

    menghasilkan varians yang besar (Meza, 2003).

  • 5/19/2018 Artikel

    4/13

    2.4 Metode Bayes

    Metode bayes merupakan metode pemulusan untuk menaksir risiko relatif yang

    memperhitungkan variasi antardaerah. Penggunaan metode bayes dalam penaksiran

    parameter adalah dengan cara menggabungkan informasi dari sampel ydan informasi awal

    yang telah tersedia sebelumnya dari parameter yang biasa disebut sebagai informasi prior.

    Informasi awal dan informasi dari sampel kemudian dikombinasikan sehingga membentuk

    sebuah distribusi posterior yang merupakan dasar dari taksiran risiko relatif (Gelman. et

    al.,2000). Permasalahan utama dalam metode bayes adalah menetukan distribusi prior dari

    parameter karena distribusi prior tidak selamanya diketahui dari data.

    2.5

    Metode Empi r ical Bayes(EB)

    2.5.1Global Shri nkage Estimator(GSE)

    Salah satu metode penaksiran risiko relatif dengan menggunakan metode Empirical

    Bayes adalah metode GlobalShrinkage Estimator. Global Shrinkage Estimatormerupakan

    penaksiran dengan metode pemulusan pada nilai SMR yang menyusut terhadap rata-rata

    daerah keseluruhan. Nilai risiko relatif yang ditaksir menggunakan SMR akan tereduksi

    terhadap nilai risiko relatif secara keseluruhan (Marshall, 1991). Metode ini tidak

    mempertimbangkan ketergantungan spasial dari kejadian yang terjadi antardaerah.

    2.5.2Local Estimator

    Local Estimatormerupakan salah satu metode pemetaan penyakit yang mengasumsikan

    daerah yang berdekatan memiliki ketergantungan spasial dan similaritas tingkat penyakit

    (Marshall, 1991). Salah satu cara untuk memperoleh similaritas tingkat penyakit antardaerah

    adalah dengan mendefinisikan daerah lain yang berbatasan dengan daerah ke-i (i=1,2,...,r).

    Jika daerah yang berbatasan dengan daerah ke-i dilambangkan dengan ( )im maka nilai ( )im

    ditaksir dengan menghitung rata-rata risiko relatif daerah yang berbatasan dan akan

    digunakan untuk taksiran priori

    . Kelebihan metodeLocal Estimatoradalah menggunakan

    daerah yang berbatasan menjadi taksiran prior i. Namun, pendekatan Local Estimator

    bergantung pada daerah yang dipilih sehingga memperlihatkan subjektif peneliti (Marshall,

    1991).

  • 5/19/2018 Artikel

    5/13

    III. METODE PENELITIAN

    3.1 Tahapan Penelitian

    Tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

    1.

    Analisis deskriptif penyakit DBD tahun 2013 di 30 kecamatan Kota Bandung

    2. Penentuan daerah yang berbatasan di setiap daerah i(i= 1,2,....,r)

    3. Penaksiran risiko relatif menggunakan metodeLocal Estimator

    4.

    Pembuatan peta sebaran

    5. Analisis pola penyebaran kejadian DBD tahun 2013

    6.

    Kesimpulan

    3.2

    Analisis SpasialMenurut Rosli et al. (2010), analisis spasial digunakan untuk mendeteksi dan mengukur

    pola kejadian penyakit yang dapat memberikan wawasan epidemiologi penyakit. Dalam

    analisis spasial terdapat tiga analisis yang dapat dilakukan yaitu menentukan autokorelasi

    spasial yang terjadi dalam ruang unit, menentukan pola kejadian penyakit dan membuat

    pemetaan penyakit. Autokorelasi Spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya

    sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu kemiripan dari objek di dalam suatu

    ruang (jarak, waktu, wilayah).

    Adanya autokorelasi spasial mengindentifikasikan bahwa jumlah kasus DBD pada

    daerah tertentu terkait oleh jumlah kasus DBD pada daerah lain yang letaknya berdekatan

    (Arrowiyah dan Sutikno, 2010).

    3.3.1Indeks Moran

    Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung hubungan

    spasial yang terjadi dalam ruang unit. Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaransebuah variabel maka terdapat autokorelasi spasial, yang artinya bahwa jumlah kasus pada

    daerah tertentu terkait oleh jumlah kasus tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan

    (berbatasan) (Rheni. et al.,2011). Indeks Moran dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

    1 1

    2

    1

    ( )( )

    ( )

    ij i ji j

    ii

    r w x x x xI

    W x x

    (3.1)

  • 5/19/2018 Artikel

    6/13

    Keterangan

    I : Indeks Moran

    r: banyak kecamatan di Kota Bandung

    ix : jumlah penderita demam berdarah pada daerah i

    jx : jumlah penderita demam berdarah pada daerahj

    x : rata-rata dari jumlah penderita demam berdarah

    ijw : elemen pada bobot matriks antara daerah idanj

    W: jumlah dari semua nilai sel pada bobot matriks

    Matriks pembobot spasial dapat ditentukan menggunakan berbagai metode. Salah satu

    metode penentuan matriks pembobot spasial adalah Queen Contiguity (persinggungan sisi-

    sudut). Matriks pembobot ( ijw ) berukuran rxrdengan setiap elemen matriks menggambarkan

    ukuran kedekatan antara pengamatan idanj(Arrowiyah dan Sutikno, 2010). Elemen matriks

    didefinisikan satu untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common

    vertex) bertemu dengan daerah yang menjadi perhatian. Sedangkan daerah lainnya

    didefinisikan elemen matriks pembobot sebesar nol.

    3.3 Metode Empir ical Bayes(EB)

    Metode EB merupakan pendekatan metode bayes untuk menaksir parameter prior. EB

    hanya memerlukan asumsi dan sifat dari distribusi prior yang diperoleh dari data pengamatan

    (Pringle, 1995). Dengan kata lain metode EB menggunakan data pengamatan untuk menaksir

    parameter prior.

    3.4.1Global Shri nkage Estimator(GSE)

    Misalkan suatu daerah dibagi menjadi beberapa daerah nsebanyak i(i = 1,2,...,r) danyi

    adalah banyaknya kasus terjadi di daerah i. yimengikuti distribusi Poisson dengan rata-rata

    i ie dengan ei adalah nilai harapan banyaknya kasus pada daerah i, i adalah tingkat

    risiko relatif pada daerah ke i. Jikai memiliki distribusi prior dengan rata-rata ( )i im E

    dan varians var ( )i iA . Menurut Effron dan Morris (1973), shrinkage factordari ix adalah

    (1 )i

    Bdan i ii

    i i i

    m eB

    A m e

    dengan

    im

    dan

    iA adalah penaksir bayes terbaik bagi

    i dalam

  • 5/19/2018 Artikel

    7/13

    mereduksi total MSE. Penaksir linear bayes terbaik dengan metode Global Shrinkage

    Estimatorsebagai berikut :

    ( )i i i i im C x m (3.2)

    Denganvar ( )

    1/ var ( )

    i ii i

    i i i x i

    AC B

    A m e x

    Beberapa penyederhanaan dari Model (3.2) diperlukan karena ada dua penaksir yang

    digunakan dalam sebuah persamaan. Dengan mdanAdiganti oleh taksiran m dan A , Global

    Shrinkage Estimatorpada Persamaan (3.2) menjadi :

    ( )i i i

    m C x m (3.3)

    Dan

    2

    2

    /

    / /i

    i

    s m eC

    s m e m e

    Nilai taksiran memungkinkan bernilai negatif jika2

    /s m e sehingga nilai varians

    0A . Ketika 2 /s m e dan nilai 0A mengakibatkan nilai 0iC dan nilai taksiran

    i m .

    3.4.2

    Local Estimator

    Penggunaan metode Local Estimator dalam menaksir parameter dilakukan oleh

    Marshall (1991) pada kasus tingkat kematian bayi dibawah usia lima tahun di Aukcland,

    Selandia Baru. Beberapa penyakit menular perlu dipertimbangkan bahwa daerah-daerah yang

    berdekatan memiliki kesamaan tingkat penyakit. Local Estimator memperhatikan

    ketergantungan spasial dan similaritas penyakit antardaerah tersebut. Berbeda dengan metode

    Empirical Bayes pada ShrinkageEstimator, Local Estimator menggunakan daerah yang

    berbatasan sebagai taksiran rata-rata awal pada distribusi prior. Untuk memperoleh rata-rata

    distribusi prior i daerah yang berbatasan harus didefinisikan terlebih dahulu. Untuk

    menggunakan metodeLocal Estimatordapat diperoleh dengan menggantii

    pada Persamaan

    (3.3) dengan( )i sehingga :

    ( ) ( ) ( ) ( )( )

    i i i i im C x m

    (3.4)

    Dengan

    2

    ( ) ( ) ( )( ) 2

    ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

    // /

    i i ii

    i i i i i

    s m eCs m e m e

  • 5/19/2018 Artikel

    8/13

    Keterangan

    ix : Nilai taksiran SMR

    ( )ie : Nilai harapan banyaknya kasus DBD dari semua daerah yang berbatasan dengan

    daerah ke-i

    ( )

    jj

    i

    jj

    ym

    e

    (j = 1,2,...,p) : Rata-rata risiko relatif dari semua daerah yang berbatasan

    dengan daerah ke-i(i=1,2,...,r).

    2 2

    ( ) ( ) ( )( ) /i j i i jj js e x m e : Varians sampel yang diberi bobot pada daerah ke-i.

    ( )

    1( )

    p

    j

    ji

    j

    e

    er

    : Rata-rata nilai harapan banyaknya kasus dari semua daerah yang berbatasan

    dengan daerah ke-i. dengan rjadalah jumlah daerah yang berbatasan di setiap daerah

    ke-i

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Data yang digunakan adalah data sekunder kasus Demam Berdarah Dengue(DBD) dan

    jumlah penduduk di 30 kecamatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Bandung.

    Berikut akan disajikan peta geografis Kota Bandung untuk lebih memperjelas letak wilayah

    dari masing-masing kecamatan yang diberi simbol dengan angka sebagai berikut :

    Gambar 4.1 Peta Geografis Kota Bandung

  • 5/19/2018 Artikel

    9/13

    Jumlah kasus DBD pada tahun 2013 di Kota Bandung mencapai 5736 kasus dan

    jumlah penduduk yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung adalah

    sebanyak 2.478.445 jiwa.

    Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Data Penelitian

    Jumlah kasus DBD paling sedikit terjadi sebanyak 48 kasus pada kecamatan Cinambo.

    Jumlah kasus yang paling banyak terjadi yaitu 540 kasus pada kecamatan Buah Batu. Rata-

    rata jumlah kasus DBD pada setiap kecamatan di Kota Bandung pada tahun 2013 adalah

    sebanyak 191 kasus dengan simpangan baku sebesar 93,92. Pemetaan geografis dari jumlah

    kasus, Incidence Rate dan SMR pada 30 kecamatan di Kota Bandung dapat dilihat dari

    gambar dibawah ini :

    Gambar 4.2 Peta Geografis Jumlah Kasus dan I ncidence Rate(IR) DBD 2013

    Gambar 4.2 menunjukkan variasi kejadian DBD pada masing-masing kecamatan yang

    ada di Kota Bandung pada tahun 2013. Perbedaan jumlah kasus dapat dibedakan dari gradasiwarna. Tingginya kasus DBD di suatu daerah tidak menjamin bahwa daerah tersebut dalam

    kategori risiko sangat tinggi berdasarkan IR, karena perhitungan IR didasarkan pada jumlah

    populasi tiap daerah yang berbeda. Gambar di atas menunjukkan bahwa kecamatan Babakan

    Ciparay yang merupakan daerah dengan ukuran populasi tertinggi termasuk pada kategori

    daerah dengan risiko sangat rendah walaupun jumlah kasus DBD kecamatan Babakan

    Ciparay hampir sama dengan daerah Cibeunying Kidul yang termasuk daerah berisiko

    sedang. Dengan menggunakan peta geografis Kota Bandung (Gambar 4.1) diperoleh daerah

    yang berbatasan di setiap kecamatan.

    Total Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan Baku

    Kasus DBD 5736 48 540 191.2 93.92

    Penduduk 2478445 24591 148200 82614.83 33622.58

    Nilai Harapan 5736 56.91 342.99 191.2 77.81

  • 5/19/2018 Artikel

    10/13

    4.1 Taksiran Risiko Relatif (RR)

    Hasil penaksiran menggunakan metode Local Estimatordisajikan dalam tabel sebagai

    berikut :

    Tabel 4.2 Taksiran Risiko Relatif DBD Metode Local Estimamtor

    No Kecamatan LE No Kecamatan LE

    1 Gedebage 1.3526 16 Regol 1.1015

    2 Ujungberung 0.9019 17 Bandung Kidul 0.8767

    3 Cinambo 0.9166 18 Astanaanyar 0.9073

    4 Bandung Kulon 0.5428 19 Kiaracondong 0.8679

    5 Andir 0.6769 20 Buah Batu 2.4316

    6 Babakan Ciparay 0.6081 21 Mandala Jati 0.7092

    7 Bojongloa Kaler 0.5201 22 Cibiru 0.9204

    8 Sukajadi 1.2522 23 Bojongloa Kidul 0.5838

    9 Cidadap 1.3476 24 Cibeunying Kaler 0.9527

    10 Coblong 0.9288 25 Panyileukan 1.4739

    11 Cicendo 0.7937 26 Antapani 0.9522

    12 Bandung Wetan 1.2698 27 Lengkong 1.3958

    13 Sumur Bandung 1.1763 28 Sukasari 1.4693

    14 Batununggal 0.7033 29 Rancasari 1.6933

    15 Cibeunying Kidul 0.872 30 Arcamanik 1.4085

    Dari tabel di atas terlihat bahwa penaksiran RR dengan metode Local Estimator

    menghasilkan nilai taksiran terendah 0.5202 pada kecamatan Bojongloa Kaler dan tertinggi

    2.432 pada kecamatan Buah Batu dengan rata-rata nilai taksiran 1.054. Daerah yang memiliki

    nilai taksiran risiko relatif yang berbeda adalah kecamatan Buah Batu. Daerah ini memiliki

    jumlah kasus tertinggi (540) yang sangat jauh dari nilai harapan terjadinya kasus DBD di

    daerah tersebut (220,68). ). Selanjutnya, daerah yang memiliki jumlah penduduk terendahyaitu kecamatan Cinambo memiliki nilai taksiran risiko relatif yang lebih tinggi

    dibandingkan dengan daerah Babakan Ciparay yang memiliki jumlah penduduk tertinggi. Hal

    ini menjelaskan bahwa permasalahan utama dalam penaksiran risiko relatif adalah jumlah

    penduduk yang sedikit berakibat pada nilai taksiran yang tinggi. Peta geografis taksiran risiko

    relatif menggunakan metodeLocal Estimator(LE) adalah sebagai berikut :

  • 5/19/2018 Artikel

    11/13

    Gambar 4.5 Peta Risiko Relatif Metode LE Kasus DBD 2013

    Gambar 4.5 memperlihatkan peta geografis berdasarkan nilai taksiran risiko relatif

    menggunakan metodeLocal Estimator. Daerah yang termasuk risiko sangat tinggi terjangkit

    DBD adalah kecamatan Buah Batu (20), Gedebage (1), Cidadap (9), Panyileukan (25),

    Lengkong (27), Sukasari (28), Rancasari (29), Arcamanik (30). Daerah dengan kategori

    risiko tinggi terjangkit DBD adalah Regol (16), Sukajadi (8), Coblong (10), Bandung Wetan

    (12), Sumur Bandung (13), Cibeunying Kaler (24) dan Antapani (26). Daerah dengan risiko

    sedang adalah Ujungberung (2), Cinambo (3), Cibeunying Kidul (15), Bandung Kidul (17),

    Astanaanyar (18), Kiaracondong (19) dan Cibiru (22). Beberapa daerah yang termasuk pada

    kategori risiko rendah adalah Bandung Kulon (4), Andir (5), Babakan Ciparay (6), Bojongloa

    Kaler (7), Mandalajati (21), Cicendo (11),Batununggal (14) dan Bojongloa Kidul (23).

    Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat bahwa pengelompokan daerah berdasarkan kategori

    risiko terjangkitnya DBD Kota Bandung dipengaruhi oleh daerah yang berbatasan.

    Kecamatan yang berisiko rendah berbatasan dengan kecamatan yang berisiko rendah dan

    sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya efek spasial terhadap banyaknya kasus

    DBD. Efek spasial perlu diperhitungkan karena ada kemungkinan interaksi antardaerah

    seperti perpindahan penduduk dan mobilitas transportasi yang berubah-ubah setiap waktunya.

    Beberapa kecamatan yang berdekatan yang merupakan kelompok daerah yang berisiko

    sedang terjangkitnya DBD seperti Batununggal, Bandung Kidul dan Kiaracondong. Namun,

    kecamatan ini berdekatan dengan kecamatan Buah Batu yang berisiko tinggi terjangkit DBD

    yang memiliki kemungkinan terkena dampak kejadian DBD dari kecamatan Buah Batu.

    Berdasarkan analisis ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji beberapa faktor

    yang menyebabkan daerah tersebut berisiko tinggi terjangkit DBD. Faktor yang dapat dilihatseperti efek spasial, pendidikan penduduk, situasi demografis daerah dan lain-lain.

  • 5/19/2018 Artikel

    12/13

    V. KESIMPULAN

    Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa :

    1. Metode Local Estimator merupakan metode penaksiran risiko relatif yang

    memperhatikan aspek spasial daerah yang berbatasan dalam penyebaran penyakit

    DBD.

    2. Pola kejadian penyakit DBD di Kota Bandung sifatnya mengelompok dengan

    pengelompokan dipengaruhi oleh daerah yang berbatasan.

    3. Kecamatan Buah Batu merupakan kecamatan dengan risiko tertinggi untuk

    terjangkit penyakit demam berdarah dengue (DBD) sedangkan kecamatan

    Bojongloa Kaler merupakan kecamatan dengan resiko terendah untuk terjangkit

    penyakit demam berdarah dengue(DBD) di Kota Bandung.

    VI. SARAN

    Berdasarkan penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah :

    1. Upaya pencegahan dan penanggulangan DBD perlu ditingkatkan terutama pada

    kecamatan yang berisiko tinggi terjangkit DBD. Daerah yang berbatasan dengan

    daerah yang berisiko tinggi terjangkit DBD perlu juga diperhatikan, misalnya

    daerah yang berbatasan dengan kecamatan Buah Batu karena memiliki

    kemungkinan terkena dampak kejadian DBD dari kecamatan Buah Batu.

    2. Perlu dilakukan analisis lanjutan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan

    pengelompokan daerah berisiko DBD di Kota Bandung seperti efek spasial,

    pendidikan penduduk, situasi demografis dan lain-lain.

    3. Penyebaran penyakit DBD tidak lepas dari faktor risiko yang mempengaruhinya

    sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan

    variabel-variabel penyerta lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap penelitian

    seperti Angka Bebas Jentik (ABJ), Kepadatan Penduduk dan Pola Curah Hujan.

    4.

    Penggunaan metode LE tidak memberikan penaksiran risiko relatif yang berbeda

    secara signifikan dengan SMR jika digunakan pada jumlah kasus yang besar

    sehingga diperlukan metode lain untuk menanggulanginya.

  • 5/19/2018 Artikel

    13/13

    VII. DAFTAR PUSTAKA

    Arrowiyah dan Sutikno. 2010. Spatial Patern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah

    Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana Di Kota Surabaya. Statistika Fmipa

    ITS : Jurnal Penelitian

    Clayton, David and John Kaldor. 1987. Empirical Bayes Estimates of Age-standardized

    Relative Risks for Use in Disease Mapping.Biometrics43, 671-681.

    Efron, B. and Morris, C. 1973. Steins Estimator and its generalisations- an empirical Bayes

    Approach. J.Am.Statist. Ass.,68, 117-130.

    Gelman, Andrew B., Carlin, John B., Stern, Hal S., Rubin, Donald B. 2000.Bayesian Data

    Analysis. Washington,D.C. : Harvard University Cambridge

    Last, John M. 2001.A Dictionary of Epidemiology. New York : Oxford University Press, Inc

    Marshall, Roger J. 1991. Mapping Disease and Mortality Rates using Empirical Bayes

    Estimators. New Zealand : University of Auckland.

    Meza, Jane L. 2003. Empirical Bayes Estimation Smoothing of Relative Risks in DiseaseMapping. Amerika Serikat : University of Nebraska Medical Center.

    Pringle, D. G. 1995.Disease Mapping: A Comparative Analysis Of Maximum Likelihood And

    Empirical Bayes Estimates Of Disease Risk. Maynooth : St. Patricks College.

    Rao, J. N. K. 2003. Small Area Estimation. New Jersey : A John Wiley & Sons, Inc.

    Rosli, M.H., Er, A.C., Asmahani A., Mohammad Naim M.R., Harsuzilawati M. (2010).

    Spatial mapping of Dengue Incident: A Case Study in Hulu Langat District, Selangor,

    Malaysia.Internasional Journal of Human and Social Sciences,Vol. 5:6, pp: 410- 414.