ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING …digilib.unila.ac.id/17877/1/skripsi Yopie Septian...
Transcript of ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING …digilib.unila.ac.id/17877/1/skripsi Yopie Septian...
ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS
(Skripsi)
Oleh
YOPIE SEPTIAN RIYADI
0412011260
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2009
ABSTRAK
ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS
Oleh
YOPIE SEPTIAN RIYADI
Sumber daya perikanan, khususnya sumber daya perikanan laut lepas dewasa ini mengalami penurunan drastis. Berdasarkan kondisi tersebut, negara-negara mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional sebanyak tiga kali. Konferensi Hukum Laut Ketiga disebut juga dengan United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS). Konferensi yang merupakan implementasi dari UNCLOS salah satunya adalah Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, selanjutnya disebut UNIA. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana pengaturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut UNIA dan bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas. Metode pendekatan yang digunakan dalam membahas permasalahan skripsi ini adalah penelitian normatif. Dalam upaya konservasi dan pengelolaan perikanan menurut UNIA mutlak diperlukan pendekatan kehati-hatian untuk menentukan tindakan apa yang tepat untuk diterapkan. Negara pihak diwajibkan melakukan kerjasama antar negara maupun membentuk sebuah organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional atau disebut RFMOs. RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup wilayah Indonesia antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
Yopie Septian Riyadi Arti penting UNIA bagi Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi adalah Indonesia akan mendapatkan alokasi tangkapan jenis ikan yang beruaya terbatas dan ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Ratifikasi UNIA ditinjau dari aspek hukum akan memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak yang telah mendapat pengaruh dari UNIA. Dari aspek upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, Indonesia akan mendapatkan bantuan berupa data dan informasi perikanan yang akurat melalui pertukaran data dan informasi. Kata kunci: UNIA, Konservasi sumber daya perikanan laut lepas
ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995
(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI LAUT LEPAS
Oleh
YOPIE SEPTIAN RIYADI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
2009
Judul Skripsi : ARTI PENTING UNITED NATIONS
IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS
Nama Mahasiswa : Yopie Septian Riyadi Nomor Pokok Mahasiswa : 0412011260 Program Studi : Hukum Internasional Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing A. Baharuddin Naim, S.H, M.H. Dharma Setiawan, S.H., M.H. NIP. 131925386 NIP. 131755944 2. Ketua Bagian Hukum Internasional A. Muthalib Tahar, S.H., M.H. NIP. 131461850
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji Ketua : A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. ………………. Sekretaris/Anggota : Dharma Setiawan, S.H., M.H. ………………. Penguji Utama : A. Muthalib Tahar, S.H., M.H. ……………….. 2. Dekan Fakultas Hukum Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 130934469 Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 14 Mei 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 September 1986, anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Suyatno dan
Ibu Hj. Dida, Amd.Kes.
Penulis memulai pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak (TK) Amanah
Tangerang diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Dasar (SD) Negeri Karawaci
Baru 2 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 1998, Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 19 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 2001, dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 7 Tangerang, diselesaikan pada
tahun 2004.
Pada tahun 2004, setelah lulus Ujian Akhir Nasional (UAN), penulis mengikuti
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus
pada Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Pusat Studi Bantuan Hukum
(PSBH) periode 2005-2006 di Bidang Pengkaderan. Pada awal tahun 2006 penulis
dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi Keuangan pada Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas (DPMF) periode 2006-2007. Penulis juga sempat aktif pada
organisasi eksternal, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
(PERMAHI). Bulan Juni 2007, penulis mengikuti kegiatan magang di Biro
Hukum dan Organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan selama 45 hari.
Kegiatan magang yang dijalani penulis merupakan sebuah pengalaman yang
sangat berharga, tidak hanya memberikan sebuah perkenalan pada dunia kerja,
tetapi juga membuka wawasan penulis dan memberikan banyak ide untuk
penulisan skripsi ini.
Pada tahun 2007 penulis berkesempatan untuk mengikuti Kompetisi Peradilan
Semu Pidana Prof. Soedarto yang diadakan oleh Universitas Diponegoro
Semarang. Penulis menjadi bagian dalam tim sebagai official dan pembuat berkas.
Dalam kompetisi ini, tim Unila berhasil masuk 5 besar. Pada tahun ini pula
penulis mengikuti Seminar Nasional Pidana yang diadakan oleh Himpunan
Mahasiswa (HIMA) Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun
2008 penulis mengikuti Seminar Nasional dan Kompetisi Peradilan Semu Pidana
Tingkat Nasional Mutiara Djokosoetono yang diadakan Universitas Indonesia,
penulis sebagai tim penyeleksi dan pembuat berkas. Dalam kompetisi ini tim
Unila hanya sampai pada babak penyisihan grup.
MOTTOMOTTOMOTTOMOTTO
Perjuangan Akan Terasa Indah Bila Kita Dapat Menikmatinya
((((PenulisPenulisPenulisPenulis))))
“ Belajar menulis adalah belajar berfikir. Anda tidaklah mengetahui apapun
dengan jelas kecuali Anda dapat mengungkapkannya secara tertulis”.
(S.I. Hayakawa)(S.I. Hayakawa)(S.I. Hayakawa)(S.I. Hayakawa)
PERSEMBAHANPERSEMBAHANPERSEMBAHANPERSEMBAHAN
Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah SWT
kupersembahkan karya kecilku ini kepada :
Keluarga Sederhana, Kecil dan BahagiakuKeluarga Sederhana, Kecil dan BahagiakuKeluarga Sederhana, Kecil dan BahagiakuKeluarga Sederhana, Kecil dan Bahagiaku
Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan dan mendukung
kesuksesanku serta kasih sayang yang tak ternilai, akhirnya aku dapat
menyelesaikan skripsi ini,
adikku Yokie, yang selalu kusayangi, terima kasih atas motivasi dan doa
yang kau berikan
dan
Almamater Tercinta
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk dapat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung dengan
judul “Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi
Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan di Laut Lepas”
Dalam proses penyusunan skripsi ini banyak sekali pihak yang telah memberikan
bantuan kepada penulis baik berupa bimbingan, kritik, saran dan masukan.
Penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Hukum Internasional serta berbagai
pihak pada umumnya. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT yang mempunyai kuasa atas jiwa-jiwa lemah yang terbalut
dalam kesempurnaan berselubung ketidaksempurnaan, tempatku bersimpuh,
berserah diri, memanjatkan segala doa. Sesungguhnya manusia hanya bisa
berusaha, Engkaulah yang mempunyai kuasa atas segalanya.
2. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
3. Bapak A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. sebagai Pembimbing I
4. Bapak Dharma Setiawan, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II
5. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H. sebagai Pembahas I dan sebagai
Ketua Bagian Hukum Internasional
6. Ibu Darnetty Dae, S.H., M.H. sebagai Pembahas II yang telah memberikan
masukan dan saran kepada penulis.
7. Bapak Heryandi, S.H., M.S. yang telah banyak memberi saran dan masukan
serta arahan yang sangat membantu dalam memulai penyusunan skripsi ini.
8. Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberikan masukan, bimbingan dan bantuan kepada penulis.
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum khususnya Dosen Bagian Hukum
Internasional yang telah berbagi ilmu kepada penulis.
10. Seluruh staf Tata Usaha, khususnya Mas Marjiono, Spd. yang telah banyak
memberikan motivasi bagi penulis dan membantu dalam proses
administrasi.
11. Pak Fuad, Pak Rifky dan Pak Rusmana Biro Hukum Departemen Kelautan
dan Perikanan, terima kasih telah meluangkan waktu berbagi pikiran dan ide
untuk skripsi ini.
12. Papah, Mamah dan Ade Yokie, keluarga kecil bahagia yang selalu
memberikan cahaya terang dan kebahagiaan yang sempurna.
13. Kawan-kawan FH’04, Nazar, Dwita, Aziz, Apri, Nike, Nitha, Bunga, Arif,
Sofyan², Noya, Vivi, Safta ‘meho’, Dian ‘ibu haji gile’, Mae, Abas, dan lain-
lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
14. Anak-anak PSBH, Andha, Yogi Beni, Selvia, S.H., Titi, S.H., Pipit, S.H.,
Jaksa Ikhsan, S.H., Yulinda, Heni, Astri, Adel, Eko ‘betis’, Terry ‘tejo’,
Bang Erwan, Bang Andi Barkan, Bang Adi, Mumu, Risman, Chandra
‘Aming’, Alrizki, Gatra+Umi, Icha, Uli, Anggi, Intan, Nita, Ikang, Dian,
Dine, Sari, Dina Sirait, Ivin, Aji, Virly, Sarmaida, Susi dll. (Tim MCC
Undip dan Tim MCC Mutdjok, terima kasih telah memberikan pengalaman
dan pembelajaran yang sangat berharga kepada penulis). Tetap Semangat
Majukan PSBH… !!
15. Kawan-kawan HI COMMUNITY 04 Ali, Desni’bull’, Diah, Bram, Asta,
Rizki, Joel, Yeyen, Nine, Rama, Marfuah, Andi, Suci, Agus.
16. Aldilla Moniqa, yang selama ini telah setia menemani dan memberikan
kasih sayang serta motivasi kepada penulis.
17. Para Sahabat, saudara seperjuangan: Ershad ‘poo’, Andi ‘Bembenk’, Zuhdi
‘Uud’ Ferdy ‘dagienk’, Hapit, Jaksa Pedro, Jefry, Indra ‘Mandra’,
18. Tauners: Mawar, Bim-Bim, Ibu Dini, Inang
19. Teman-teman 7, Arief ‘Mbe’, Fajar Siregar, Ibul, Nanda, Yudi.
Pada akhirnya penulis hanya dapat menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada
penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bandar Lampung, 14 Mei 2009
Penulis
Yopie Septian Riyadi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .......................................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 8
D. Sistematika Penulisan .............................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian-pengertian .............................................................................. 12
1. Perjanjian Internasional ...................................................................... 12
2. Pengertian Konservasi......................................................................... 13
3. Pengertian Perikanan .......................................................................... 14
4.Pengertian Pengelolaan Perikanan ....................................................... 14
5. Pengertian Laut Lepas ........................................................................ 14
6. Pengertian Organisasi Internasional ................................................... 15
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut .................................................... 17
C. Klasifikasi Perjanjian Internasional ......................................................... 19
1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang
Mengadakan Perjanjian ..................................................................... 19
2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau Dari Jumlah
Peserta yang Mengadakan ................................................................. 20
3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau Dari Sudut Bentuknya ...................... 21
4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya ............. 22
D. Peranan Hukum Internasional Dalam Pembentukan
Hukum Nasional ......................................................................................23
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Tipe Penelitian ........................................................................ 29
B. Pendekatan Masalah ............................................................................... 29
C. Data dan Sumber Data ........................................................................... 29
D. Pengumpulan Data ................................................................................. 31
E. Pengolahan Data .................................................................................... 31
F. Analisis Data ........................................................................................... 32
IV. PEMBAHASAN
A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut lepas .......... 33
1. Tujuan UNIA ..................................................................................... 33
2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan ikan yang Beruaya Terbatas
dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh ................................................ 34
2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian ........................................ 35
2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan .................. 37
3. Kerjasama Antar Negara .................................................................... 38
3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas ......................... 39
3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan ...................... 40
3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan ...... 41
3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia ........... 42
4. Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum .......................... 53
4.1. Kerjasama Regional dan Sub Regional Dalam Penegakan
Hukum ....................................................................................... 54
B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia ......................................................... 58
1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas
(Straddling Fish Stocks) ..................................................................... 58
2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks) ..... 59
3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Dari Berbagai Aspek ................. 60
3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi ................... 61
3.2. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Hukum ...................... 62
3.3. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Konservasi
dan Pengelolaan Perikanan ....................................................... 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................. 70
B. Saran ........................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1. Peta wilayah sebaran ikan tuna sirip biru selatan ................................... 52
2. Peta wilayah RFMOs dunia ................................................................... 53
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika
merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu
diadakan Konferensi Hukum Laut PBB ketiga. Konvensi Hukum Laut PBB ketiga
ini merupakan puncak karya dari PBB mengenai peraturan kelautan. United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS
1982) telah disepakati oleh kurang lebih 130 negara, termasuk Indonesia.
UNCLOS mengatur secara lengkap dan menyeluruh segala hal mengenai laut.
Bagi Indonesia, UNCLOS merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa,
karena usulan Indonesia mengenai negara kepulauan akhirnya disetujui. Indonesia
telah meratifikasi UNCLOS dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, karena itu
Indonesia telah terikat kepada setiap peraturan yang tercantum dalam UNCLOS.
Peraturan-peraturan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan laut lepas
tercantum dalam Bab VII, dari Pasal 86 hingga Pasal 120. Laut lepas merupakan
bagian-bagian laut yang terletak berdampingan dan berada di luar Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) suatu negara,1 maksudnya adalah laut lepas tidak termasuk dalam
1 Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia (buku ajar). hlm. 35
2
yurisdiksi suatu negara, sehingga tidak ada negara yang dapat memiliki atau
menguasainya.
Terdapat beberapa prinsip kebebasan di laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982.
Prinsip kebebasan di laut lepas meliputi:
a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation)
b. Kebebasan melakukan penerbangan (freedom of over flight)
c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine
cabels and pipelines)
d. Kebebasan mendirikan pulau buatan dan instalasi lain yang berdasarkan izin
hukum internasional (freedom to construct artificial island and other
installations permitted under international law)
e. Kebebasan melakukan penangkapan ikan (freedom of fishing)
f. Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific
research).2
Dari enam prinsip kebebasan di laut lepas tersebut, salah satunya adalah prinsip
kebebasan melakukan penangkapan ikan. Kebebasan-kebebasan tersebut bukan
merupakan sebuah kebebasan yang memberikan kekuasaan bagi pihak manapun,
tetapi kebebasan diberikan dengan konsep perlindungan, sehingga kegiatan yang
dilakukan di wilayah laut lepas tidak sampai merusak perairan dan sumber daya
alam hayatinya.3
2 Pasal 87 UNCLOS 1982 3 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit 2007
3
Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki potensi
yang besar. Salah satu wilayah laut yang termasuk laut lepas adalah Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan
tahun 2001, kawasan Samudera Hindia memiliki potensi sebesar 1,078 juta
ton/tahun, Laut Cina Selatan 1,057 juta ton/tahun dan Samudera Pasifik 632,72
juta ton/tahun.4 Besarnya potensi sumber daya perikanan di laut lepas
menimbulkan adanya persaingan negara-negara yang berusaha untuk
menguasainya.
Guna mencegah terjadinya kepunahan sumber daya perikanan di laut lepas,
diperlukan adanya peraturan mengenai pengelolaan dan konservasi. UNCLOS
1982 mengatur mengenai sumber kekayaan hayati di laut lepas dalam Bagian 2
Bab VII tentang Laut Lepas. Bagian 2 Bab VII mengatur mengenai Hak untuk
Menangkap Ikan di Laut Lepas, Kewajiban Negara untuk Mengadakan Tindakan
Bertalian Dengan Warga negaranya untuk Konservasi Sumber Kekayaan Hayati
di Laut Lepas, Kerjasama Negara-negara dalam Konservasi dan pengelolaan
Sumber Kekayaan Hayati, Konservasi Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas,
dan Mamalia Laut.
Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan di laut
lepas yang terdapat dalam UNCLOS 1982 memerlukan ketentuan internasional
lain yang bersifat khusus, karena itu masih perlu diadakan konvensi selanjutnya
sebagai peraturan pelaksanaannya. Konvensi yang mengatur lebih rinci tentang
pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas adalah :
4 http//www.dkp.go.id.. Diakses pada tanggal 18 oktober 2008.
4
a. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993.
(Persetujuan Untuk Memajukan Penaatan Terhadap Tindakan Konservasi Dan
Pengelolaan Secara Internasional Oleh Kapal-Kapal Ikan Di Laut Lepas,
1993)
b. Code of Conduct for Responsible Fisheries. (Tata Laksana Perikanan Yang
Bertanggung Jawab)
c. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks. (Persetujuan untuk Melaksanakan Ketentuan-
Ketentuan Dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut
Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan Dengan Konservasi dan
Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang
Beruaya Jauh).
Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory
Fish Stocks 1995, umumnya konvensi ini lebih dikenal dengan sebutan United
Nations Implementing Agreement 1995 (selanjutnya disebut UNIA). UNIA berisi
ketentuan-ketentuan dan standar pengelolaan dan konservasi jenis-jenis ikan yang
beruaya jauh, selain itu persetujuan ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya
untuk mengisi kekosongan kebijakan pengelolaan dan konservasi perikanan di
5
sebagian besar dunia, yang dianggap sebagai penyebab berkurangnya sediaan
jenis-jenis ikan yang bernilai komersial tinggi.
Indonesia sebagai negara yang secara geografis terletak diantara Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia merupakan jalur perlintasan khususnya bagi jenis-jenis ikan
yang beruaya jauh, dengan demikian Indonesia memiliki potensi ekonomi yang
besar untuk dikembangkan.
Apabila Indonesia telah meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mempunyai hak
dan kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan
yang beruaya jauh sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 tentang persediaan jenis ikan
yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik
di dalam Zona Ekonomi Eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta
berdekatan dengannya, dan Pasal 64 UNCLOS 1982 tentang persediaan ikan yang
bermigrasi jauh.5
Berdasarkan Pasal 38 UNIA, maka setiap negara yang akan menjadi Negara Pihak
harus melakukan pengesahan (ratifikasi). Perjanjian ini telah berlaku efektif pada
tanggal 11 Desember 2001 setelah negara ke-30 yaitu Malta mendepositkan
instrumen ratifikasinya pada tanggal 11 November 2001.6
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UNIA tentang kerjasama untuk pengelolaan dan
konservasi, konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas
maupun jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dimandatkan untuk diatur lebih lanjut
5 Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995 6 Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995, ibid
6
melalui organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries
Management Organizations, selanjutnya disingkat RFMOs). Organisasi ini juga
merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982.
RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk
menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan
yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara
pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya
memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di
kawasan tersebut.
Salah satu syarat untuk menjadi anggota beberapa RFMOs, setiap negara terlebih
dahulu harus meratifikasi UNIA. Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi
perjanjian tersebut, sehingga Indonesia belum menjadi anggota dan di beberapa
RFMOs, Indonesia baru menjadi negara peninjau (observer). Posisi Indonesia
yang hanya sebagai negara peninjau menyebabkan jatah penangkapan ikan-ikan
tertentu di laut lepas menjadi terbatas, padahal terdapat beberapa ikan ekonomis
yang berkembang biak di wilayah Indonesia.
Saat ini telah berdiri beberapa RFMOs yang area pengaturannya mencakup
wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya
disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna
(selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries
Commission (selanjutnya disingkat WCPFC).
7
Peraturan mengenai sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia saat ini
adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118). Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 merupakan rujukan dari diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention on The Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut). Sebagai konsekuensi hukum diratifikasinya UNCLOS
1982, Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan
pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut
lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang
berlaku.7
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tujuan
pengelolaan perikanan antara lain adalah menjamin kelestarian sumber daya ikan,
lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.8 Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004, ketentuan mengenai pengelolaan perikanan diatur dalam Bab IV
tentang pengelolaan perikanan. Mengenai kerjasama internasional pengelolaan
sumber daya perikanan terdapat dalam Pasal 10, antara lain kewajiban negara
dalam mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan, dan juga keikutsertaan pemerintah
dalam keanggotaan organisasi atau badan pengelolaan perikanan regional maupun
internasional.
7 Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 8 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
8
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian yang akan
dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Arti Penting United Nations
Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi Indonesia Dalam Kaitannya Dengan
Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Dari uraian latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi permasalahan
dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan tentang konservasi perikanan laut lepas menurut United
Nations Implementing Agreement (UNIA)?
2. Bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan
konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini secara substantif mengenai perlindungan sumber
daya perikanan di laut lepas yang diatur dalam United Nations Implementing
Agreement (UNIA) dan arti penting UNIA bagi Indonesia.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan mengenai konservasi sumber
daya perikanan di laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement
(UNIA).
9
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan arti penting UNIA bagi Indonesia dengan
aspek ekonomi, hukum, aspek hukum, dan aspek konservasi dan pengelolaan
sebagai indikatornya.
2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai 2 (dua) aspek kegunaan yaitu kegunaan praktis dan
kegunaan teoritis.
1. Kegunaan Praktis
a) Sebagai salah satu sarana untuk memperluas pengetahuan bagi peneliti di
bidang Hukum Internasional, khususnya mengenai sejauh mana UNIA
mengatur perlindungan sumber daya perikanan laut lepas
b) Sebagai upaya untuk pelatihan dan pengembangan wawasan keilmuan penulis
di bidang Hukum Internasional.
2. Kegunaan Teoritis
a) Sebagai bahan pemikiran mahasiswa bahwa ilmu hukum mempunyai bidang
penerapan yang luas tidak hanya terbatas pada satu bidang saja
b) Penelitian ini sebagai sumber informasi dan bacaan dari berbagai pihak yang
memerlukan.
D. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan maka
sistematika penulisan disusun sebagai berikut:
10
I. PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan merupakan sebuah pengantar awal untuk memasuki isi dari
penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan
kegunaan penelitian serta sistematika penulisan skripsi sebagai arahan pada
penulisan. Diharapkan, bab pendahuluan ini dapat memberikan gambaran umum
mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat
dalam hukum UNIA.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pemahaman kepada pengertian umum tentang pokok-pokok
bahasan dalam hal ini mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di
laut lepas yang menjadi dasar penelitian ini.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan
pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikan sumber dan
jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Dari proses pengolahan
data kemudian diuraikan dengan cara melakukan analisis data.
IV. PEMBAHASAN
Bab ini memuat pembahasan yaitu tentang ketentuan pengaturan konservasi
sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam Agreement for the
Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of
the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of
Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA) dan arti
pentingnya bagi Indonesia.
11
V. PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan secara ringkas dari hasil pembahasan dan penelitian
serta beberapa saran dari penulis sehubungan dengan permasalahan yang telah
dibahas.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang
diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.1
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, yang dimaksud perjanjian internasional
adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum
Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di
bidang hukum publik.2
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perjanjian internasional telah
terjawab dengan adanya Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.
Walaupun perjanjian ini tidak berlaku surut namun dapat diterapkan pada
perjanjian sebelumnya yang telah dibuat, karena konvensi ini merupakan hasil
kerja Komisi Hukum Internasional yang mantap.
1 Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.Cet. Keempat 1982 2 Pasal 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 2000
13
Komisi Hukum Internasional telah menyelesaikan rancangan konvensi hukum
perjanjian internasional antara negara-negara dan organisasi internasional atau
antara dua organisasi internasional atau lebih. Rancangan konvensi mengambil
contoh model Konvensi Wina bagi hukum perjanjian, sekalipun belum ada
konferensi diplomatik yang telah diadakan untuk mempertimbangkan dan
mengambil rancangan itu sebagai suatu konvensi.
2. Pengertian Konservasi
Konservasi sumber daya ikan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari
peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.3
Menurut Compliance Agreement, tindakan pengelolaan dan konservasi
internasional adalah tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa
spesies sumber kekayaan hayati laut yang disetujui dan diterapkan sesuai dengan
peraturan terkait dengan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam
UNCLOS 1982.4
3 UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 4 Naskah Akademik Ratifikasi Compliance Agreement 1993
14
3. Pengertian Perikanan
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkugannya mulai dari pra produksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan.5
4. Pengertian Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi
dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum
dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.6
Tindakan konservasi dan pengelolaan berarti tindakan untuk melindungi dan
mengelola satu atau beberapa spesies sumber daya hayati yang disetujui dan
diterapkan konsisten dengan ketentuan yang terkait dari hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam UNIA. 7
5. Pengertian Laut Lepas
Laut lepas adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona
ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu
negara atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Hal ini tidak
5 Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, ibid, Pasal 1 ayat (7) 7 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 1 ayat 1 (a)
15
mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua
negara di Zona Ekonomi Eksklusif.8
Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, laut lepas adalah
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan
pedalaman Indonesia.9 Secara simple laut lepas didefinisikan sebagai “bagian laut
yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. 10
Daerah ini tidak dapat di klain kedaulatannya oleh negara manapun. Laut lepas
berada di luar batas 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif. Laut ini terbuka bagi
semua negara dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan-
kepentingan negara lain.
6. Pengertian Organisasi Internasional
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang baku tentang organisasi internasional.
Bowett D.W. mengatakan :
“… dan tidak ada definisi organisasi internasional yang diterima secara umum. Pada umumnya, bagaimanapun juga organisasi ini adalah organisasi permanen (misalnya, di bidang postel atau administrasi kereta api), yang didirikan atas dasar perjanjian internasional, yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral dan dengan tujuan tertentu”.11
Sedangkan menurut Boer Mauna, organisasi internasional adalah suatu
perhimpunan negara-negara yang merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk
mencapai kepentingan bersama melalui organ-organ dari perhimpunan itu
8 Pasal 86 UNCLOS 1982 9 Pasal 1 ayat (22) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, 10 Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. hlm. 30 11 Syahmin A.K,S.H. Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, 1985 hlm 3
16
sendiri.12 Walaupun tidak mempunyai pengertian yang pasti, organisasi
internasional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a) Mempunyai organ permanen.
b) Obyeknya merupakan kepentingan semua orang / negara, bukan untuk
mencari keuntungan.
c) Keanggotaannya terbuka untuk setiap individu atau kelompok dari setiap
negara.13
Organisasi internasional juga dapat diklasifikasikan yang dimaksudkan untuk
mengetahui fungsi, tujuan serta ruang lingkup aktivitas lembaga tersebut.
Berdasarkan fungsi, organisasi internasional dapat dibagi menjadi fungsi politis,
fungsi administratif, fungsi yudisial, fungsi ekonomis, fungsi sosial dan fungsi
legislatif. Sedangkan berdasarkan ruang lingkup; organisasi global atau universal
dan organisasi regional.
Menurut Bowett D.W., organisasi internasional dapat diklasifikasikan berdasarkan
kompetensinya menjadi 2 yaitu, organisasi internasional yang mempunyai
kompetensi universal dan organisasi internasional yang kompetensinya terbatas.
Sedangkan menurut Schwarzenberger, organisasi internasional mempunyai lima
fungsi.14
12 Syahmin A.K,S.H., ibid., hlm 5 13 Syahmin A.K,S.H., op cit., hlm 9 14 Syahmin A.K,S.H.,ibid, hlm 10 – 11 5 fungsi organisasi menurut Schwarzenberger, yaitu :
1. Lamanya yang diharapkan, ad-hoc, professional dan lembaga yang permanen. 2. Sifat kekuasaannya : judicial, conciliatory, governmental, administrative, co-odative dan lembaga legislative. Jika lemabag memberikan bantuan
secara menyeluruh atau sebagian dari kekuasaannya, maka alembaga tersebut adalah komprehensif, sebaliknya apabila tidak, disebut non- komprehensif.
3. Sifat homogen atau heterogen sasarannya, yakni lembaga memiliki satu atau beberapa maksud dan tujuan sejalan dengan sifat sesungguhya, juga tujuannya adalah politis dan fungsional yang disebutkan dalam ekonomi, social serta kemnusiaan dan kelembagaan.
4. Bidang yurisdiksinya : a. Personal scope (ratione personae) menyangkut universal, universalist dan sectional. Terhadap lembaga yang bertujuan hidup bersama-sama,
tetapi tidak cukup mencapai obyeknya, keadaan Negara ini diistilahkan dengan universalist. Sedangkan apabila Negara-negara anggota termaksud diuji kebenaran lembaga-lembaga terbatas tersebut saling berlawanan jajarannya, maka mereka sectional group.
b. Geographical scope ( ratione loci ) berupa : global, regional dan local c. Substantive scope ( ratione materiae ), berbentuk general dan limited. d. Temporal scope ( rationae temporis ), dimana yurisdiksi lembaga pengadilan internasional fungsinya terbatas pada perselisihan yang timbul
setelah diadakan perjanjian tertentu.
5. Tingkat integrasi ; yang meliputi lembaga internasional dan lembaga supranasional.
17
UNCLOS 1982 merumuskan Organisasi Internasional sebagai suatu organisasi
antar pemerintah yang dibentuk oleh negara-negara yang kepadanya telah
dialihkan oleh negara-negara anggotanya kompetensi mengenai hal-hal yang di
atur oleh Konvensi ini, termasuk kompetensi untuk membuat perjanjian yang
berkenaan dengan hal-hal tersebut.15
Organisasi internasional yang bergerak dalam pengelolaan perikanan di laut lepas
disebut Regional Fisheries Management Organization (RFMOs). RFMOs
merupakan organisasi internasional yang bersifat sub regional, regional dan
internasional yang melakukan pengelolaan perikanan di laut lepas. Organisasi ini
merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982.
RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk
menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan
yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara
pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya
memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di
kawasan tersebut.
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut
Bumi yang dihuni oleh umat manusia 70 % terdiri atas air atau lautan. Air
merupakan sebuah komponen bumi yang sangat penting. Manusia membutuhkan
air, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan terhadap air secara
langsung contohnya adalah untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci,
minum dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan tidak langsungnya adalah kebutuhan 15 Lampiran IX pasal 1 UNCLOS 1982
18
manusia terhadap kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam air, seperti
ikan.
Kekayaan alam yang terkandung dalam air, dalam hal ini adalah laut, sangat
banyak, baik itu kekayaan alam hayati maupun mineral. Karena itu wajar saja
apabila manusia, dalam hal ini negara, berusaha untuk mengeksploitasinya
sedemikian rupa bahkan menguasainya. Pada abad ke-16 timbul dua pemikiran
mengenai siapa yang berhak memiliki laut. Pertama adalah Mazhab Res
Communis yang dicetuskan Hugo Grotius pada tahun 1609. Mazhab ini
beranggapan bahwa laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia,
sehingga tidak ada satupun negara yang berhak untuk menguasainya. Pada saat itu
kegunaan laut hanya untuk pelayaran dan penangkapan ikan. Pelopornya adalah
Kekaisaran Romawi. Yang kedua adalah Mazhab Res Nullius yang beranggapan
bahwa laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat untuk memilikinya bisa
menguasai dengan mendudukinya. Seiring dengan perkembangan zaman, pada
akhirnya dapat ditemukan sebuah titik temu diantara kedua mazhab tersebut, yaitu
bahwa pada dasarnya laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia.
Walaupun begitu, negara masih mempunyai wilayah perairan dengan batas-batas
yang telah ditentukan.
Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga
telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) di Montego Bay,
Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 117 (seratus
19
tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara.
Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Hukum Laut,
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur
rezim-rezim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh.
C. Klasifikasi Perjanjian Internasional
Secara formal, perjanjian internasional tidak dapat digolongkan atau
diklasifikasikan. Walaupun begitu, beberapa sarjana berpendapat bahwa
perjanjian internasional dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam yang
ditinjau dari beberapa segi atau beberapa hal sebagai berikut :
1) Subyek (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian;
2) Jumlah pihak yang mengadakan perjanjian;
3) Corak atau bentuk dari perjanjian itu sendiri;
4) Proses atau tahapan pembentukan perjanjian;
5) Sifat pelaksanaan perjanjian itu sendiri; dan
6) Fungsi dari perjanjian internasional itu sendiri dalam pembentukan
hukum.
Berikut adalah penjelasan secara singkat dari masing-masing jenis klasifikasi
perjanjian tersebut secara berurutan.16
1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang Mengadakan
Perjanjian Berdasarkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian maka perjanjian
internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 16 Syahmin, A.K, S.H. 1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969)..hlm 11.
20
a) Perjanjian antar negara. Perjanjian ini adalah perjanjian antar negara
dengan negara lainnya yang didasari atas kesetaraan bersama.
b) Perjanjian antara negara dengan subyek hukum internasional lainnya.
Perjanjian ini misalnya dengan organisasi internasional, atau dengan Kursi
Suci (Vatikan) yang merupakan subyek hukum internasional dalam arti
yang terbatas.
c) Perjanjian antara subyek hukum internasional lain selain negara satu sama
lainnya. Perjanjian khususnya antara satu organisasi internasional lainnya.
Misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara negara-negara
yang tergabung di dalam sebuah organisasi internasional dengan
organisasi internasional lainnya.
2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau da ri Jumlah Peserta yang
Mengadakan Perjanjian ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a) Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian yang hanya diadakan oleh dua pihak
(negara) saja. Pada umumya, perjanjian jenis ini hanya mengatur soal-soal
khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja. Misalnya
perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Philipina di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Perjanjian bilateral ini bersifat
tertutup (gesloten verdrag), artinya tertutup kemungkinan bagi pihak
ketiga untuk ikut sebagai peserta bagi perjanjian itu. Perjanjian bilateral
pada umunya termasuk apa yang dinamakan “Treaty Contracts”
(perjanjian yang bersifat kontrak).
21
b) Perjanjian Multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak
(negara), yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open
verdrag). Hal-hal yang diatur didalamnya adalah hal-hal yang lazim
menyangkut kepentingan umum yang tidak hanya menyangkut
kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja, melainkan
menyangkut pula kepentingan lain yang bukan peserta perjanjian.
Perjanjian multilateral inilah yang umumnya dikategorikan “Law Making
Treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum, bersama-sama dengan
“ treaty contract” termasuk dalam klasifikasi ke-6 yang mempunyai
hubungan erat dengan kedudukan perjanjian sebagai sumber hukum
internasional.
3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau dari Sudut Bent uknya Penggolongan perjanjian berdasarkan atas corak atau bentuknya, dapat dibedakan
atas tiga macam.
a) Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta dari
perjanjian ini lazimnya disebut “High Contracting State” (pihak peserta
Agung). Dalam praktek, pihak yang mewakili negara dalam pembuatan
perjanjian itu dapat pula diwakilkan/dikuasakan kepada menteri luar
negeri atau duta besar sebagai pejabat “kuasa penuh” (full
powers/plenipotentiaries).
b) Perjanjian antar pemerintah (inter-government form atau inter
departemental form). Seperti halnya dalam perjanjian antar kepala negara,
dalam perjanjian antar pemerintah ini pun dapat dan bahkan sudah sering
22
ditunjuk menteri luar negeri atau duta besar yang diakreditasikan pada
negara dimana perjanjian itu diadakan. Pihak peserta perjanjian umumnya
tetap disebut “contracting state” walaupun para pesertanya dan perjanjian
itu sendiri dinamakan perjanjian antar pemerintah (inter-government
form).
c) Perjanjian antar negara (inter state form). Di dalam perjanjian ini, pihak
peserta perjanjian sesuai dengan namanya, disebut negara. Sebagai pejabat
yang berkuasa penuh mewakilinya adalah dapat pula ditunjuk menteri luar
negeri atau duta besar.
4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya Penggolongan perjanjian berdasarkan atas tahap pembentukannya dapat
dibedakan atas 2 macam, yaitu :
a) Perjanjian yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan, yakni
perundingan, penandatanganan dan ratifikasi yang lazimnya diadakan
untuk hal-hal yang dianggap badan perwakilan rakyat. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, untuk perjanjian ini dapat digunakan kata “perjanjian
internasional atau traktat”.
b) Perjanjian yang hanya melewati dua tahap pembentukan yaitu perundingan
dan penandatanganan. Merupakan perjanjian yang sederhana sifatnya, dan
diadakan untuk hal-hal yang tidak begitu penting dan memerlukan
penyelesaian yang cepat, seperti perjanjian perdagangan yang berjangka
pendek. Untuk perjanjian internasional jenis ini dinamakan “persetujuan”.
23
D. Peranan Hukum Internasional dalam Pembentukan Hukum Nasional
Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua
teori utama yang dikenal, yaitu monisme dan dualisme.
1 Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia.17 Penulis-penulis yang mendukung
konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar pandangannya
pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern dari sistem-sistem
hukum tersebut.
Pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai ketentuan
tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa
kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan lain yang
bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan
kesatuan bidang pengetahuan dan point yang menentukan, karenanya adalah
apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan.
Perangkat hukum nasional dan hukum internasional mempunyai hubungan yang
hierarkis. Hubungan hierarkis dalam teori monisme melahirkan dua pendapat
berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional
dan hukum internasional. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih
utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai
paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum
17 Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hal 60
24
internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham
monisme dengan primat hukum internasional.
Menurut paham monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional
merupakan perpanjangan tangan dari hukum nasional, atau dapat dikatakan bahwa
hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada
hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan
yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
a) tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara;
b) dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak
pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang
berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing
negara.18
Monisme dengan primat hukum internasional berangapan bahwa hukum nasional
bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk
pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat
berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.19
2. Dualisme
Penganut aliran dualistik melihat hukum nasional dan hukum internasional
sebagai tidak saling tergantung satu dengan lainnya. Kedua sistem itu mengatakan
18 Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 60-61 19 http://www.google.com/.ratifikasi/panmohamadfaiz.html
25
pokok permasalahan yang berbeda. Hukum internasional mengatur hubungan
antara negara yang berdaulat sementara hukum nasional mengatur urusan dalam
negeri negara bersangkutan, contohnya hubungan antar eksekutif dengan warga
negaranya dan hubungan antar warga negara dengan yang lainnya secara
individual. Sejalan dengan itu, aliran dualis berpendapat bahwa kedua sistem
saling tolak menolak satu sama lain dan tidak bisa mempunyai kontak satu sama
lain. Jika hukum internasional diterapkan dalam negara, hanyalah karena hukum
internasional telah secara jelas dimasukkan ke dalam hukum nasional.
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.20 Terdapat beberapa
alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme, antara lain:
a) sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat
hukum internasional
b) subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik
dalam hukum perdata, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
c) struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum
pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang hanya
terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam
hukum internasional
20 Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 57
26
d) kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak
dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan
hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku
secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.21
3. Transformasi dan Adopsi Khusus
Uraian di atas tampaknya belum lengkap jika tanpa menyinggung secara ringkas
beberapa teori yang berkenaan dengan hukum internasional di dalam lingkungan
hukum nasional.
Kaum positivisme telah mengemukakan pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum
internasional tidak dapat diberlakukan secara langsung di dalam lingkungan
hukum nasional oleh pengadilan nasional atau oleh siapapun, untuk
memberlakukan kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus ke
dalam hukum nasional. Menurut teori kaum positivisme, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda
secara struktural, sistem yang pertama tidak dapat menyinggung sistem hukum
nasional kecuali sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang sepenuhnya
logis, memperkenankan perangkat konstitusinya dipakai untuk tujuan tersebut.
Berkaitan dengan kaidah-kaidah traktat, dikatakan bahwa harus ada suatu
transformasi traktat yang bersangkutan, dan transformasi traktat ke dalam hukum
nasional ini, yang bukan hanya menjadi syarat formal, melainkan merupakan
syarat substantif, dengan sendirinya mengesahkan perluasan berlakunya kaidah
yang dimuat dalam traktat-traktat terhadap individu-individu.
21 Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 57-58
27
Teori-teori transformasi bersandar pada sifat konsensual hukum yang berbeda
dengan sifat non-konsensual dari hukum nasional. Secara khusus teori
transformasi yang didasarkan atas suatu anggapan adanya perbedaan antara traktat
di satu pihak dan undang-undang atau peraturan-peraturan nasional di pihak lain
menurut teori ini ada perbedaan antara traktat yang memiliki sifat janji-janji
(promises) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands).
Akibat dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi dari
satu tipe ke tipe yang lain baik secara formal maupun secara substantif. Penentang
teori transformasi berpendapat bahwa hal perbedaan tersebut tampak dibuat-buat,
mereka berpendapat bahwa apabila diperhatikan fungsi sebenarnya dari
ketentuan-ketentuan dalam traktat atau undang-undang maka akan tampak bahwa
tidak ada satupun yang terlalu melebih-lebihkan “janji-janji” daripada “perintah-
perintah”. Tujuan dari traktat dan undang-undang yang menjadi landasan umum
adalah untuk menetapkan bahwa keadaan tertentu dari fakta akan menimbulkan
akibat hukum tertentu, perbedaan antara janji dan perintah memang relevan
dengan bentuk dan prosedur, akan tetapi tidak pada karakter hukum yang
sebenarnya dari instrumen ini. Oleh karena itu tidak benar menganggap bahwa
transformasi dari sistem yang satu ke sistem yang lain merupakan hal yang
penting secara material.
Sebagai jawaban terhadap teori transformasi, para penentang teori ini
mengemukakan teori mereka, yakni teori delegasi. Menurut teori delegasi, ada
suatu pendelegasian kepada setiap konstitusi negara oleh kaidah-kaidah
konstitusional dari hukum internasional yaitu hak untuk menentukan kapan
ketentuan suatu traktat atau konvensi berlaku dan bagaimana cara ketentuan
28
tersebut dimasukkan ke dalam hukum nasional. Prosedur atau metode-metode
yang dipakai untuk maksud ini oleh negara yang merupakan suatu kelanjutan dari
proses yang dimulai sejak penutupan traktat atau konvensi. Dalam hal ini tidak
ada transformasi, tidak ada penciptaan kaidah atau hukum nasional baru, yang ada
hanyalah suatu perpanjangan dari satu pembentukan hukum. Dengan demikian
persyaratan-persyaratan hukum nasional semata-mata merupakan bagian dari satu
mekanisme tunggal untuk menciptakan hukum.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundang-
undangan, buku-buku, atau literatur hukum serta bahan-bahan lain yang sesuai
dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.1
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan secara yuridis teoritis, yaitu
kajian terhadap peraturan perundang-undangan beserta peraturan-peraturan
lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam
skripsi ini.
C. Data dan Sumber Data Data adalah informasi atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam
penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
1 Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Hlm 112
30
yaitu data yang bersumber dari data kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum mengikat yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, terdiri dari :
a) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
b) Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks 1995
c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer, misalnya artikel-artikel ilmiah, buku-buku, hasil penelitian
hukum atau bahan-bahan yang berhubungan dengan pembahasan mengenai
pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari
literatur-literatur di bidang ilmu hukum dan tulisan ilmiah yang berhubungan
dengan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas, pendapat-pendapat
para sarjana, berita serta berbagai keterangan dari media massa dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
31
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan studi
pustaka, yaitu menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan
dalam penelitian ini, perjanjian-perjanjian internasional, dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan laut lepas. Kegiatan studi
pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1) Menentukan sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan,
dokumen hukum, catatan hukum, dan literatur hukum.
2) Identifikasi data sekunder yang diperlukan yaitu proses mencari dan
mengenal bahan hukum berupa ketentuan pasal perundang-undangan,
nama dokumen hukum, nama catatan hukum dan judul, nama pengarang,
tahun terbit dan halaman karya tulis bidang hukum.
3) Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara
mengutip atau pencatatan.
4) Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya
dengan kebutuhan dan rumusan masalah.
E. Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data yang dilakukan
dengan cara:
1) Pemeriksaan data yaitu mengoreksi data yang sudah terkumpul apakah
sudah lengkap, benar, dan sesuai dengan masalah.
32
2) Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan
jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-undangan atau
dokumen.
3) Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan,
dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
4) Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika
bahasan berdasarkan urutan masalah.
F. Analisis Data
Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut kemudian dianalisis secara
kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisa guna menjawab permasalahan yang
ada sehingga dapat menarik suatu kesimpulan.
IV. PEMBAHASAN
A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut Lepas Pada pembahasan ini akan diuraikan konservasi dan pengelolaan sumber daya
perikanan laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement
(selanjutnya disingkat UNIA).
1. Tujuan UNIA
Tujuan dari UNIA berdasarkan Pasal 2 adalah untuk menjamin konservasi jangka
panjang dan penggunaan berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas
dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas
ketentuan-ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982.
Perjanjian ini menggalakkan ketertiban di laut melalui konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam di laut lepas secara efektif, antara lain dengan secara rinci
menetapkan standar internasional minimum untuk konservasi dan pengelolaan
jenis-jenis ikan yang berada di ZEE dua negara (beruaya terbatas) serta jenis ikan
yang bermigrasi jauh.1
1 Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Alumni, 2003, hal 193
34
2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh
Adapun prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam konservasi dan pengelolaan
sumber daya perikanan laut lepas menurut Pasal 5 adalah:
a) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimum mereka;
b) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang terkait termasuk kebutuhan khusus negara berkembang dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan sediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub regional, regional, maupun global;
c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6; d) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan
faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut;
e) Mengambil, apabila diperlukan, tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies tersebut diatas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam;
f) Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies yang bukan target, baik ikan maupun bukan spesies ikan, (selanjutnya disebut sebagai spesies non target) dan dampak terhadap spesies berhubungan atau tergantung, khususnya spesies yang terancam, melalui tindakan termasuk, yang lazim, pengembangan dan penggunaan yang selektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan murah;
g) Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut; h) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;
i) Memperhatikan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten; j) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat, data yang lengkap
dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan non target dan usaha penangkapan ikan,
35
sebagaimana tercantum di dalam Lampiran I, juga informasi dari program riset nasional dan internasional;
k) Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; dan
l) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan.2
2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian
Sumber daya perikanan laut lepas merupakan sumber daya yang bersifat
kompleks. Kompleksitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan sistem alam itu
sendiri, tetapi juga dalam penentuan seberapa besar sumber daya perikanan yang
terkandung di dalamnya, agar dapat diketahui batasan dalam mengeksploitasi
sumber daya tersebut. Dimensi kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya
perikanan juga ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan
resiko pengelolaan yang ditimbulkan. Jumlah stok ikan, misalnya, tidak pasti.
Selain itu, tidak ada input yang digunakan, seperti halnya pakan dalam budi daya,
untuk mengendalikan pertumbuhan ikan. Pengetahuan tentang pertumbuhan ikan,
migrasi, dan mortalitas sangat fragmentary.3 Sampai saat ini alasan utama untuk
dibutuhkannya usaha konservasi dan pengelolaan dikarenakan jumlah tangkapan
yang kian menurun setiap tahunnya.
Sulit diketahuinya jumlah potensi sumber daya perikanan di laut lepas
menyebabkan usaha konservasi dan pengelolaan memerlukan penerapan
pendekatan kehati-hatian dari setiap negara yang melakukan eksploitasi.
Pendekatan kehati-hatian dilakukan agar eksploitasi tidak dilakukan secara besar-
besaran, sedangkan jumlah potensinya belum diketahui secara pasti. Penerapan 2 Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 5 3 Fauzi, A., dan Suzi Anna. 2008. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan, P.T Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 12.
36
pendekatan kehati-hatian dilakukan sampai diperoleh data yang akurat mengenai
besarnya sediaan ikan yang dimiliki, sehingga dapat dilakukan konservasi jangka
panjang.
Dalam Pasal 6 ayat 3, dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negara-
negara harus:
a) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagikan informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjutan untuk menangani risiko dan ketidakpastian;
b) Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui;
c) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies non target dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan
d) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus.4
Dalam hal penangkapan ikan baru, atau eksploratori, negara-negara harus
mengambil tindakan konservasi pengelolaan, termasuk antara lain batas
penangkapan dan batas-batas upaya secara sangat berhati-hati. Tindakan tersebut
harus dilakukan sampai diperoleh data yang akurat untuk memungkinkan
penilaian terhadap dampak dari penangkapan ikan untuk kelestarian jangka
panjang sediaan tersebut. Negara-negara juga harus mengambil tindakan-tindakan
4 Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 6 ayat 3
37
dengan basis darurat apabila kegiatan perikanan mengakibatkan ancaman yang
serius bagi kelestarian sumber daya tersebut.
2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
Setiap negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas
harus menyesuaikan tindakannya dengan konvensi, tanpa mengabaikan hak
berdaulat negara-negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber daya hayati kelautan di bawah yurisdiksi nasional.
Kewajiban negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang
beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh antara lain:
a) Untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas, negara-negara meminta secara
langsung ataupun melalui mekanisme yang sesuai untuk kerjasama dengan
negara lain yang wilayahnya berdampingan dengan laut lepas untuk
menyetujui tindakan-tindakan yang diperlukan untuk konservasi sediaan-
sediaan ikan tersebut.
b) Untuk sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara yang warga
negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut pada suatu
regional tertentu harus melakukan kerjasama, baik secara langsung atau
melalui mekanisme yang sesuai untuk melakukan kerjasama sebagaimana
ditentukan dalam Bagian III UNIA, baik di dalam maupun di luar wilayah
yurisdiksi nasional dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan
meningkatkan tujuan penggunaan optimum dari sediaan tersebut pada
seluruh regional tersebut. 5
5 Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 7 ayat 1
38
Dari kerjasama yang telah dilakukan, negara-negara wajib memberikan informasi
secara teratur setiap tindakan yang telah mereka setujui untuk sediaan ikan
beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah di
bawah yurisdiksi nasional mereka dan pengaturan kegiatan-kegiatan kapal
perikanan yang mengibarkan bendera mereka yang melakukan penangkapan ikan
di laut lepas kepada negara-negara lain yang melakukan penangkapan ikan di laut
lepas di dalam regional maupun sub regional yang sesuai.
3. Kerjasama Antar Negara
Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Pasal 7 UNIA, setiap negara yang
warga negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas
maupun sediaan ikan yang beruaya jauh harus bekerjasama dalam upaya
konservasi dan pengelolaan. Pasal 8 berisi tentang mekanisme kerjasama antar
negara tersebut.
Dalam upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas
maupun sediaan ikan yang beruaya jauh dibagi menjadi wilayah sub regional dan
regional berdasarkan wilayah migrasi ikan tersebut. Setiap negara yang akan
melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut wajib untuk mengikuti kerjasama
yang berkaitan dengan sediaan ikan tersebut.
Apabila suatu negara memiliki bukti adanya eksploitasi berlebihan terhadap
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh atau
negara tersebut sedang mengembangkan penangkapan ikan baru untuk sediaan
tersebut, maka negara tersebut harus segera melakukan konsultasi dengan itikad
39
baik. Konsultasi dapat dimulai atas permintaan negara yang bersangkutan untuk
merumuskan pengaturan yang memadai untuk menjamin konservasi dan
pengelolaan sediaan tersebut dengan menjadikan UNIA sebagai acuan
pengaturannya dengan tetap memperhatikan hak, kepentingan dan kewajiban
negara lain. Apabila mempunyai efek yang besar terhadap tindakan konservasi
yang telah ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan sub regional maupun
regional yang kompeten, negara yang akan melakukan tindakan tersebut harus
berkonsultasi melalui organisasi atau pengaturan tersebut dengan anggota atau
pesertanya.
3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas
Kerjasama antar negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di
laut lepas sesuai dengan Pasal 8 UNIA tersebut diamanatkan dalam bentuk
organisasi pengelolaan perikanan. Organisasi pengelolaan perikanan dibagi
menjadi dua berdasarkan wilayah pengelolaannya, yaitu organisasi pengelolaan
perikanan sub regional dan organisasi pengelolaan perikanan regional. Dalam hal
suatu negara akan melakukan permintaan untuk tindakan konsultasi, negara
tersebut dapat melakukan permintaan konsultasi terhadap organisasi pengelolaan
perikanan sub regional maupun regional sesuai dengan wilayah pengelolaannya.
Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas
dan sediaan ikan yang beruaya jauh pada laut lepas serta negara-negara pantai
harus melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama menjadi anggota dalam
organisasi pengelolaan perikanan tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan
40
tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan ketentuan yang telah
dirumuskan organisasi pengelolaan perikanan atau pengaturan tersebut.
Keuntungan menjadi anggota dalam sebuah organisasi pengelolaan perikanan
salah satunya adalah negara anggota mempunyai akses terhadap spesies sumber
daya ikan yang telah ditetapkan tindakan pengelolaannya. 6
Apabila tidak ada organisasi pengelolaan sumber daya perikanan untuk
merumuskan tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, maka negara-negara yang
berkepentingan terhadap spesies tersebut dan negara pantai yang terkait harus
bekerjasama untuk membentuk organisasi dan berpartisipasi dalam kerja
organisasi tersebut, dan membuat pengaturan lain yang sesuai dalam upaya
menjamin kelestarian sumber daya perikanan di laut lepas.
3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan
Dalam pembentukan pengaturan maupun organisasi pengelolaan perikanan sub
regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan
yang beruaya jauh, berdasarkan Pasal 9 UNIA, negara-negara harus menyetujui:
a) Sediaan terhadap mana tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan diterapkan, dengan memperhatikan karakteristik biologis dari sediaan dimaksud dan sifat dari perikanan yang terkait;
b) Wilayah penerapan, dengan memperhatikan Pasal 7 ayat 1, dan karakteristik dari sub regional atau regional termasuk faktor-faktor sosial ekonomi, geografis dan lingkungan;
c) Hubungan antara bekerjanya organisasi atau pengaturan baru tersebut dan peranan, tujuan dan operasi dari setiap organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan terkait yang telah ada; dan
6 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 8 ayat (4)
41
d) Mekanisme dengan mana organisasi atau pengaturan akan mendapatkan pengarahan ilmiah dan perubahan status dari sediaan tersebut, termasuk apabila dimungkinkan, pendirian suatu badan penasehat ilmiah.
Negara-negara pembentuk pengaturan atau organisasi pengelolaan perikanan sub
regional atau regional tersebut selain mempunyai beberapa hal yang harus
disetujui di atas, juga terikat pada kewajiban untuk memberikan informasi kepada
negara-negara lain yang diketahui memiliki kepentingan nyata dalam kerja
pengaturan atau organisasi yang diusulkan.7
3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan
Adapun fungsi pengaturan dan organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan
regional yang juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara
menurut Pasal 10 UNIA adalah:
a) Menyetujui dan mengikuti tindakan konservasi dan pengelolaan untuk menjamin kelestarian jangka panjang dari sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh;
b) Menyetujui, jika sesuai, pada hak keikutsertaan antara lain alokasi tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat usaha penangkapan perikanan;
c) Menyetujui dan menerapkan setiap standar umum minimum internasional yang direkomendasikan untuk tata laksana yang bertanggung jawab untuk operasi penangkapan ikan;
d) Menghasilkan dan mengevaluasi saran ilmiah, perubahan status sediaan tersebut dan menilai dampak penangkapan ikan pada spesies non target dan berhubungan atau bergantung;
e) Menyetujui standar untuk pengumpulan, pelaporan, verifikasi dan pertukaran data perikanan untuk sediaan tersebut;
f) Mengumpulkan dan menyebarluaskan data statistik yang akurat dan lengkap, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, untuk menjamin bahwa bukti ilmiah terbaik tersedia, serta memelihara keterbatasan apabila diperlukan;
g) Memajukan dan melaksanakan penilaian ilmiah dari sediaan tersebut dan riset yang relavan dan penyebarluasan hasil-hasilnya;
h) Merumuskan mekanisme kerja sama yang memadai untuk pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum yang efektif;
7 Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 9
42
i) Menyetujui sarana dengan mana kepentingan-kepentingan penangkapan dari anggota-anggota baru dari organisasi atau peserta baru dalam pengaturan akan diakomodasikan;
j) Menyetujui prosedur pengambilan keputusan yang memfasilitasi persetujuan tindakan konservasi dan pengelolaan secara cepat dan efektif;
k) Memajukan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Bagian VIII;
l) Menjamin kerja sama penuh dari badan-badan dan industri nasional yang terkait dalam pelaksanaan rekomendasi dan keputusan dari organisasi atau pengaturan; dan
m) Melakukan publikasi tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan.8
3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia
Organisasi pengelolaan perikanan laut lepas dapat disebut juga Regional Fisheries
Management Organizations atau selanjutnya disingkat RFMOs. Saat ini telah
terbentuk beberapa RFMOs yang wilayah pengelolaannya berada di sekitar
wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya
disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna
(selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries
Commission (selanjutnya disingkat WCPFC).
a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
Perjanjian pembentukan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) disetujui
melalui Resolusi 1/105 pada Sidang ke 105 Dewan FAO, tanggal 25 Desember
1993 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 27 Maret 1996. Sebelum adanya
IOTC, terdapat suatu badan yang terlebih dahulu dibentuk, yaitu The Indo-Pacific
Tuna Development and Management Programme (selanjutnya disingkat IPTP).
IPTP dibentuk pada tahun 1982 di Colombo, Srilanka, dengan pendanaan dari
8 Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 10
43
UNDP dan dijalankan oleh FAO, tetapi sejak 1986 IPTP didanai oleh anggotanya.
Program IPTP mencakup wilayah lautan India dan area sekitar Pasifik Barat.
IOTC dapat disebut sebagai pewaris langsung segala kegiatan yang dilakukan
oleh IPTP.9
IOTC merupakan RFMOs yang secara khusus mengatur spesies ikan tertentu,
antara lain Yellowfin Tuna, Skipjack Tuna, Albacore Tuna, Bigeye Tuna, Southern
Bluefin Tuna, Long Tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Narrow Barred Spanish
Mackerel, Indo Pasific King Mackerel, Indo Pasific Blue Marlin, Black Marlin,
Strip Marlin, Indo Pasific Sailfish, dan Swordfish. Area pengaturannya berada
pada Samudera Hindia dan laut-laut sekitarnya, termasuk perairan sebelah utara
Konvergensi Antartika. Negara yang sudah menjadi anggota diantaranya adalah
Australia, China, Commoros, Eritrea, European Union, Perancis, India, Iran,
Jepang, Korea Selatan, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Oman, Pakistan,
Seychlelles, Srilangka, Sudan, Thailand, Inggris dan Indonesia.10
Fungsi dan tanggung jawab IOTC antara lain:
a). Menjaga kondisi dibawah pengawasan dan tren dari stok dan untuk
mengumpulkan, menganalisis dan menyebarkan informasi ilmiah,
tangkapan dan data lain yang relevan dengan konservasi dan pengelolaan
stok dan penangkapan ikan berdasarkan perjanjian;
b). Meningkatkan, merekomendasikan, dan mengkoordinasi aktivitas
penelitian dan pengembangan dalam menjaga stok dan perikanan yang
9 Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI,2005,Jurnal Hukum Internasional,Jakarta,hal 513 10 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 20
44
dilingkupi perjanjian ini, dan aktivitas lain yang diputuskan komisi,
termasuk aktivitas yang berkaitan dengan pertukaran teknologi, pelatihan,
berdasarkan kebutuhan untuk menjamin keikutsertaan anggota komisi
yang sepatutnya dalam perikanan dan kepentingan istimewa dan
kebutuhan anggota dalam wilayah negara-negara berkembang;
c). Menerapkan, sesuai dengan Pasal IX dan landasan bukti ilmiah,
konservasi dan pengelolaan sumber daya, untuk menjamin konservasi stok
yang diliputi oleh perjanjian ini dan untuk meningkatkan tujuan
penggunaan optimum mereka di dalam wilayah pengelolaan;
d). Menjaga aspek sosial dan ekonomi perikanan dilandasi dengan stok yang
diliputi oleh perjanjian yang disikapi, secara khusus, keuntungan negara
pantai yang sedang berkembang;
e). Mempertimbangkan dan menjawab program organisasi dan anggaran
otonom, seperti pertimbangan anggaran periode sebelumnya;
f). Menyebarkan laporan kegiatan, program, pertimbangan dan anggaran
otonom dan tindakan lain yang mungkin layak untuk dilakukan oleh
Dewan atau Konferensi FAO kepada Direktur Jenderal FAO;
g). Menerapkan tata peraturannya sendiri, Regulasi Keuangan dan peraturan
administratif internal lain yang dibutuhkan untuk mencapai fungsi komisi,
dan
h). Menjalankan kegiatan lain yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan
komisi.11
11 Terjemahan Bebas Pasal 5 ayat 2 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission, 1993
45
Keanggotaan Indonesia dalam IOTC sangat penting dan menguntungkan dalam
rangka mendukung upaya pemerintah dalam program revitalisasi perikanan,
khususnya tuna. Manfaat keanggotaan Indonesia pada IOTC secara detail antara
lain:
a). Membantu Indonesia dalam menanggulangi Illegal, Unregulated,
Unreported (IUU) Fishing;
b). Membuka kesempatan kerjasama dengan negara lain;
c). Menjaga kelestarian sumber daya ikan tuna melalui penetapan peraturan-
peraturan;
d). Terhindar dari embargo atas ekspor tuna;
e). Ikut serta mengatur pengelolaan SDI tuna di Samudera Hindia;
f). Rencana pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka
dalam memanfaatkan sumber-sumber perikanan;
g). Turut menentukan kuota hasil tangkapan maupun kuota ekspor, dan
h). Sebagai wahana kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan.12
b. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC)
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) mengatur mengenai
spesies Skipjack Tuna, Yellowfin Tuna, Albacore Tuna, dan Bigeye Tuna. Wilayah
pengaturannya meliputi Samudera Pasifik Barat dan Tengah. Status Indonesia
dalam organisasi ini adalah sebagai non-cooperating parties. Konvensi
12 http://www.sdi.dkp.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18, diakses pada tanggal 26 April 2009
46
pembentuk RFMOs ini adalah Convention on the Conservation and Management
of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean.
Adapun fungsi WCPFC antara lain adalah:
a) Menentukan jumlah tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan
dalam area konvensi untuk sediaan ikan yang beruaya jauh seperti yang
ditetapkan komisi dan menerapkan konservasi dan pengelolaan sumber
daya lain dan bila perlu merekomendasikan untuk menjamin ketahanan
jangka panjang sediaan tersebut.
b) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar anggota komisi untuk
menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh
dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional suatu negara dan sumber daya
yang sama dan sesuai di laut lepas
c) Menerapkan, apabila dibutuhkan, konservasi dan pengelolaan sumber daya
dan rekomendasi untuk spesies non target dan spesies yang bergantung
atau berhubungan dengan sediaan target, dengan tujuan untuk
mempertahankan atau mengembalikan populasi spesies di atas tingkat
reproduksi dimana mereka dimanfaatkan secara serius.
d) Menerapkan standar penangkapan, pemeriksaan dan untuk pergantian
waktu dan melaporkan data perikanan untuk sediaan ikan yang beruaya
jauh di area konvensi yang sesuai dengan Lampiran I Konvensi, yang
merupakan bagian dari konvensi
e) Mengembangkan, dimana dibutuhkan, kriteria untuk alokasi jumlah
tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan bagi sediaan ikan yang
beruaya jauh dalam area konvensi
47
f) Menerapkan standar minimum internasional yang direkomendasikan bagi
peraturan operasi perikanan yang bertanggung jawab
g) Mengamati dan mengevaluasi perekonomian dan aspek perikanan lain-
berkaitan dengan data dan informasi yang sesuai dengan kerja komisi
h) Menyetujui, dalam artian mengakomodasi segala keuntungan
penangkapan ikan yang dilakukan oleh anggota baru komisi
i) Menerapkan prosedur dan regulasi ekonomi dan regulasi administratif
internal lain yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi fungsi komisi
j) Mempertimbangkan dan menjawab proposal anggaran komisi
k) Mendiskusikan setiap pertanyaan atau masalah yang kompeten dengan
komisi dan menerapkan setiap rekomendasi yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan konvensi ini.13
c. Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) adalah
organisasi regional dalam penangkapan ikan khusus spesies tuna sirip biru selatan
di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pembentukan CCSBT didasari oleh
menurunnya jumlah stok ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna/SBT) dewasa,
dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an.
Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun
1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia,
Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk
meningkatkan stok ikan tuna sirip biru selatan pada tahun 1985, dengan cara
13 Terjemahan bebas Pasal 10 Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and central Pacific Ocean 2000.
48
membatasi kuota tangkapan kapal ikannya. Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia,
Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of
Southern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20
Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi. Adapun tujuan
dan sasaran konvensi adalah:
a) Pengaturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan alokasi
penangkapan SBT untuk setiap negara anggota.
b) Sebagai suatu mekanisme pengaturan untuk aktivitas anggota yang terkait
dengan perikanan SBT.
c) Membantu kegiatan-kegiatan langsung yang ditujukan pada perlindungan
ekologi, khususnya spesies SBT dan yang terkait dengan kehidupannya
serta by-catch.
d) Mendorong negara bukan anggota untuk turut serta berpartisipasi sebagai
Cooperating non-members atau berpartisipasi sebagai Observer.
e) Bekerjasama dengan organisasi regional perikanan tuna lainnya yang
memiliki wilayah konvensi yang sama.14
CCSBT sebagai organisasi pengelolaan regional memiliki beberapa fungsi, antara
lain:
a) Bertanggung jawab untuk menetapkan jumlah tangkapan total dan
alokasinya bagi setiap negara anggota;
b) Mengambil keputusan untuk mendukung dan melaksanakan pengelolaan
perikanan; 14 Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007. DKP, hal 3
49
c) Bekerjasama dengan RFMOs lain di wilayah yang sama-sama diminati;
d) memfasilitasi diadakannya forum diskusi mengenai issue yang relevan
dengan tujuan konservasi dari konvensi ini, dan
e) Bertindak sebagai koordinator mekanisme aktivitas para anggota terkait
perikanan tuna sirip biru selatan.15
Efektivitas pelaksanaan konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang
melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru selatan, namun belum menjadi
anggota seperti Korea dan Taiwan. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat
tambahan negara anggota CCSBT, yaitu Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan
Taiwan pada tanggal 30 Agustus 2002. Sementara bagi negara yang belum mau
menjadi anggota, pada pertemuan bulan Oktober 2003, CCSBT menyepakati
untuk mengundang negara-negara yang tertarik pada perikanan tuna sirip biru
selatan untuk menjadi co-operating non-member. Namun status negara co-
operating non-member hanya berpartisipasi dalam bisnis atau tidak punya hak
suara dalam pertemuan CCSBT. Selain itu, negara co-operating non-member
disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Beberapa negara yang
diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina (2 Agustus 2004),
Afrika Selatan (24 Agustus 2006) dan Uni Eropa (13 Oktober 2006). Komisi ini
dapat diikuti oleh setiap negara yang memiliki kapal perikanan yang terlibat
dalam penangkapan tuna sirip biru selatan atau setiap negara pantai yang memiliki
wilayah ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi oleh migrasi tuna. Indonesia,
Korea dan Taiwan memiliki jumlah kapal penangkapan tuna sirip biru selatan
15 http;//www.ccsbt.org/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009
50
yang cukup signifikan, namun status Indonesia baru menjadi member pada tahun
2007.
Indonesia mempunyai kepentingan tersendiri dalam perikanan tuna sirip biru
selatan karena mereka bertelur dan berkembang biak di ZEEI di Selatan Jawa, tapi
Indonesia belum mempunyai peranan besar dalam penangkapan dan pemanfaatan
ikan tersebut, walaupun harganya sangat mahal di jepang.16 Pertemuan CCSBT
ke-14 berhasil menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable
catch/TAC) selama tahun 2007-2009 sebesar 11.810 ton. Alokasi untuk Jepang
berlaku sampai tahun 2011 dan untuk negara anggota lainnya berlaku sampai
tahun 2009. Sementara untuk non-member dan observer hanya untuk tahun 2007.
Alokasi untuk negara member seperti Jepang (3.000 ton), Australia (5.265 ton),
Korea Selatan (1.140 ton), Taiwan (1.1.40 ton), Selandia Baru (420 ton),
sementara untuk negara non-member dan observer seperti Filipina (45 ton),
Afrika Selatan (40 ton) dan Uni Eropa (10 ton).
Namun demikian, bagi Indonesia CCSBT sangatlah dilematis. Di satu sisi, jumlah
tangkapan ikan tuna di wilayah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan beban
membership fee yang harus dibayarkan sekitar US$ 150 ribu. Di sisi lain, ancaman
pemboikotan tuna Indonesia di pasar dunia juga patut dipertimbangkan. Akan
tetapi, sebenarnya Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground
tuna sirip biru selatan ada di wilayah Selatan Jawa Indonesia. Hal ini sebagaimana
informasi yang terdapat pada website CCSBT (www.ccsbt.org), disebutkan bahwa
perkembangbiakan tuna sirip biru selatan di perairan hangat Selatan Jawa
Indonesia pada bulan September hingga April. Lalu setelah itu, juvenil tuna sirip 16 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 21
51
biru selatan akan bermigrasi ke pantai barat Australia. Bersyukur, Indonesia pada
tahun 2007 sudah menjadi anggota tetap CCSBT. Fakta inilah yang dapat
dijadikan senjata diplomasi Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan anggota
CCSBT, baik dalam jumlah kuota maupun jumlah fee yang harus dibayarkan.
Adapun manfaat keikutsertaan Indonesia pada CCSBT dari berbagai aspek
adalah:
a) Aspek politik domestik. Keikutsertaan pada CCSBT akan mendukung
kebijakan nasional Indonesia bagi upaya konservasi dan pengelolaan
perikanan yang bermigrasi jauh (Highly Migratory Fish Stocks),
khususnya jenis Southern Bluefin Tuna (SBT). Dengan menjadi anggota
CCSBT, Indonesia dapat secara langsung mempengaruhi keputusan-
keputusan yang diambil CCSBT.
b) Aspek politik luar negeri. Lebih memperkuat posisi Indonesia dalam
forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan
komitmen Indonesia sebagai negara Pihak pada UNCLOS 1982 dalam
kerjasama internasional bagi kegiatan konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
c) Aspek teknis ekonomi. Memberikan jaminan dan kepastian usaha,
terutama bagi para pelaku usaha Indonesia yang memanfaatkan tuna sirip
biru selatan dengan lancar. Keikutsertaan pada CCSBT juga akan
memberikan peluang bagi tersedianya bantuan teknis dan finansial dari
CCSBT, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia
oleh negara-negara anggota CCSBT. Manfaat lainnya juga akan
memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran informasi dan data
52
perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dalam rangka
kegiatan konservasi sumberdaya tuna sirip biru selatan.
d) Aspek yuridis. Keikutsertaan Indonesia pada CCSBT merupakan
implementasi dari Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan, dimana telah disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia
berusaha untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan
badan/lembaga/organisasi regional dan internasional. Disamping itu,
pengelolaan perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan
dan standar internasional. Tujuan dari kebijakan ini agar tercapainya
manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian
sumber daya ikan.17
Gambar 1. Peta jalur migrasi ikan tuna sirip biru selatan
17 Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007. DKP, hal 5
53
Gambar 2. Peta lokasi pengaturan RFMOs di dunia
4. Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukum
Berdasarkan Pasal 20 UNIA, negara-negara yang menjadi anggota organisasi atau
pengaturan internasional konservasi pengelolaan perikanan sub regional atau
regional memiliki kewajiban untuk bekerjasama berkaitan dengan upaya
penegakan hukum. Setiap negara berkewajiban untuk memenuhi permintaan
negara lain yang sedang melakukan penyelidikan atas pelanggaran terhadap
tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh. Apabila terdapat sebuah negara yang sedang
melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran tersebut, maka negara lain harus
berupaya memenuhi permintaan negara tersebut yang berkaitan dengan proses
penyelidikan.
Suatu negara dalam proses penyelidikan tersebut dapat melakukannya secara
langsung, bekerjasama dengan negara lain yang berkaitan, maupun melalui
54
organisasi internasional atau pengaturan internasional pengelolaan perikanan sub
regional atau regional yang terkait. Informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan
dan hasil penyelidikan harus dapat disediakan untuk semua negara, baik negara
yang berkepentingan maupun negara yang akan terpengaruh oleh hasil
penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut.18
4.1. Kerjasama sub regional dan regional dalam penegakan hukum
Demi menjamin penaatan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan
ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, suatu negara yang
menjadi anggota pada organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan
regional melalui inspektur yang berwenang dapat naik ke atas kapal dan
memeriksa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera negara lain di
wilayah laut lepas yang dinaungi oleh suatu organisasi atau pengaturan perikanan
sub regional dan regional.
Prosedur untuk menaiki kapal perikanan yang diduga melakukan pelanggaran atas
tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional dibuat oleh
negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan
regional. Prosedur yang akan dibuat tidak membedakan antara negara anggota dan
bukan anggota dari organisasi atau pengaturan sub regional dan regional. Negara-
negara harus mengumumkan prosedur-prosedur yang telah disepakati kepada
negara-negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas.
18 Naskah Akademik UNIA 1995 Pasal 20
55
Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan kapal, baik langsung maupun melalui
organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional,
harus menginformasikan semua negara yang kapal-kapalnya melakukan kegiatan
penangkapan ikan pada sub regional dan regional dalam bentuk identifikasi
masalah kepada inspektur berwenang negara tersebut. Kapal yang akan digunakan
untuk memeriksa kapal perikanan harus mempunyai tanda yang jelas, sehingga
dapat teridentifikasi sebagai kapal pemerintah.
Setelah menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan, apabila terdapat alasan yang
cukup untuk menduga bahwa kapal tersebut melakukan pelanggaran terhadap
tindakan konservasi dan pengelolaan, negara yang memeriksa secepatnya
melindungi bukti yang didapat dan menginformasikan negara bendera kapal
tersebut. Negara bendera harus menanggapi informasi tersebut dalam jangka
waktu 3 hari dalam 5 hari kerja setelah menerima informasi tersebut atau jangka
waktu yang lain yang mungkin ditentukan dalam prosedur yang dibuat oleh
negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub
regional atau regional. Negara bendera yang telah diinformasikan tersebut harus
memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk melakukan penyelidikan dan
mengambil tindakan hukum apabila terdapat bukti yang meyakinkan, kemudian
memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk
melakukan penyelidikan.
Apabila negara bendera memberikan wewenang kepada negara yang melakukan
pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan, negara yang menerima wewenang
tersebut harus memberitahukan hasil penyelidikannya tersebut kepada negara
56
bendera. Setelah negara bendera menerima hasil penyelidikan, maka negara
bendera harus memenuhi kewajibannya untuk mengambil tindakan penegakan
hukum. Sebagai alternatif, negara bendera juga dapat memberikan wewenang
kepada negara yang melakukan penyelidikan untuk mengambil tindakan
penegakan hukum yang telah ditentukan oleh negara bendera terhadap kapal
perikanannya.
Apabila negara yang memeriksa sebuah kapal perikanan yang telah cukup bukti
melakukan pelanggaran serius dan negara bendera telah gagal menanggapi atau
mengambil tindakan sebagaimana ditentukan di atas, maka inspektur yang
memeriksa dapat tetap berada di atas kapal dan meminta nakhoda kapal tersebut
untuk membantu penyelidikan lanjutan, bahkan apabila memungkinkan membawa
kapal tersebut ke pelabuhan terdekat atau pelabuhan lain yang telah ditentukan
dalam prosedur yang telah dibuat. Setelah sampai di pelabuhan, negara pemeriksa
secepatnya menginformasikan negara bendera letak dan nama pelabuhan tersebut.
Negara pemeriksa dan negara bendera, apabila memungkinkan negara pelabuhan
harus menjamin kesejahteraan para anak buah kapal tanpa memandang
kewarganegaraannya. Hasil penyelidikan negara pemeriksa harus diinformasikan
kepada negara bendera dan organisasi yang terkait.
Inspektur dari negara pemeriksa harus memperhatikan kesejahteraan para anak
buah kapal dan mengurangi campur tangan dengan operasi penangkapan ikan
serta menghindari tindakan yang akan merugikan hasil tangkapan di atas kapal.
Negara pemeriksa harus menjamin bahwa menaiki dan pemeriksaan tidak
dilaksanakan apabila mengganggu kapal perikanan.
57
Negara bendera dapat setiap saat mengambil tindakan untuk memenuhi
kewajibannya mengenai penaatan dan penegakan hukum oleh negara bendera.
Apabila kapal yang melakukan pelanggaran berada dalam pengarahan oleh negara
pemeriksa, negara pemeriksa harus menyerahkan kapal tersebut kepada negara
bendera dengan seluruh informasi dan hasil penyelidikannya, atas instruksi negara
bendera.
Apabila terdapat alasan yang memungkinkan untuk mencurigai bahwa sebuah
kapal perikanan di laut lepas tanpa kebangsaan, suatu negara dapat menaiki dan
memeriksa kapal tersebut. Bila bukti yang didapat memungkinkan, maka negara
tersebut dapat mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum
internasional. Adapun pelanggaran serius yang diatur dalam Pasal 21 UNIA
adalah:
a) melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi, otorisasi atau izin yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh negara bendera sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 (a);
b) gagal untuk memelihara catatan-catatan yang akurat mengenai tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana diminta atau dipersyaratkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait, atau salah pelaporan yang serius terhadap tangkapan, bertentangan dengan persyaratan-persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut;
c) melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, melakukan penangkapan ikan selama musim yang tertutup atau melakukan penangkapan ikan tanpa, atau setelah pencapaian dari, suatu kuota yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait;
d) mengarahkan penangkapan ikan untuk suatu sediaan yang tunduk pada moratorium atau untuk mana kegiatan penangkapan ikan dilarang;
e) menggunakan alat tangkap yang dilarang; f) memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas, atau
pendaftaran dari kapal perikanan; g) menyembunyikan, merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan
dengan suatu penyelidikan;
58
h) melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan; atau
i) pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait.19
B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian lautnya bersinggungan
dengan laut lepas yang memiliki sumber daya perikanan yang potensial,
khususnya sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya
jauh. Potensi tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap
memperhatikan upaya konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut, mengingat
sediaan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas
(Straddling Fish Stocks)
Dalam bahasan ini, ikan-ikan yang beruaya terbatas dalam artian melakukan ruaya
antara dua wilayah yurisdiksi yang berbeda, secara fisik akan bergerak dari
Indonesia ke wilayah negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia (Malaysia,
Filipina, Brunei dan Australia) atau sebaliknya. Dari 22 spesies ikan kakap yang
berada di Indonesia bagian timur, melalui genetic study baru terbukti hanya tiga
spesies yang merupakan straddling fish stocks. Hal ini menunjukkan bahwa
penentuan suatu jenis ikan sebagai straddling fish stocks seyogyanya melalui
suatu pengkajian terlebih dahulu karena ini akan berimplikasi terhadap
pengelolaannya. Jenis-jenis ikan lain yang dikaji dengan Australia sehubungan
19 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 21 ayat (11)
59
dengan straddling fish stocks management adalah cucut dan pari, dimana pada
tahap pertama telah diidentifikasikan sekitar 200 spesies.20
2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks)
Perairan Indonesia dan ZEE Indonesia (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik)
merupakan lintasan ikan-ikan yang beruaya jauh yang termasuk ke dalam
kelompok Tuna Besar (large tuna) dan Paruh Panjang (bill fish).
Jenis ikan yang termasuk Tuna Besar adalah:
a). Madidihang/ Yellowfin Tuna/ Thunus Albacores;
b). Mata Besar/ Big Eye/ Thunus Obesus;
c). Albacora/ Albacore/ Thunus Alalunga;
d). Tuna Sirip Biru Selatan/ Southern Bluefin Tuna/ Thunus Tonggol;
e). Cakalang/ Skipjack/ Katsowonnus Pelamis
Sedangkan yang termasuk kelompok Paruh Panjang adalah:
a). Ikan Layaran/ Sail Fish/ Istiophonus Platypterus;
b). Ikan Pedang/ Swordfish/ Xiphias Gladius;
c). Setuhuk/ Marlin/ Makaria Spp;
d). Setuhuk Loreng/ Stripped Marlin/ Tetrapturus Audaxs. 21
Pada umumnya ikan-ikan ini mempunyai umur yang relatif panjang, misalnya Big
eye, Yellowfin, dan Skipjack memiliki usia hingga 5 sampai 6 tahun, bahkan
Southern Bluefin Tuna dapat mencapai 40 tahun. Kehati-hatian perlu diberikan
dalam pengelolaan sumber daya yang berumur panjang. Sumber daya ikan yang
20 Naskah Akademis Pengesahan UNIA 1995 hal 14 21 Naskah Akademis Pengesahan UNIA , ibid, hal 13
60
berumur panjang membutuhkan waktu recovery yang cukup lama apabila jenis
ikan tersebut collapse.
Selain merupakan lintasan perjalanan ikan-ikan yang beruaya jauh, perairan
Indonesia juga merupakan tempat pemijahan, misalnya tempat pemijahan
Southern Bluefin Tuna berada di Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa dan Bali.
Indikasi menunjukkan bahwa baik di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik
tingkat tangkapan (catch rate/hook rate) terlihat lebih tinggi di laut lepas bila
dibandingkan dengan yang di ZEE Indonesia dimana hal itu mendorong kapal-
kapal Indonesia menangkap ikan di laut lepas. Adapun tingkat pemanfaatan
sumber daya highly migratory fish stocks ini secara global (Indonesia termasuk di
dalamnya) sudah hampir jenuh dieksploitasi (nearly heavy exploited), hal ini
ditandai dengan penurunan tingkat tangkapan, rata-rata ukuran ikan yang
tertangkap semakin kecil, serta daerah penangkapannya yang semakin jauh.
3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Melihat kondisi sumber daya perikanan dunia dewasa ini, dimana sumber daya
perikanan, khususnya perikanan laut lepas yang semakin menurun dan posisi
Indonesia sebagai negara yang bersinggungan dengan laut lepas, sudah saatnya
Indonesia meratifikasi UNIA sebagai salah satu perjanjian yang mengatur
mengenai konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh. Dalam pembahasan ini hanya akan dibatasi arti
penting UNIA ditinjau dari aspek ekonomi, aspek hukum dan aspek upaya
konservasi dan pengelolaan perikanan.
61
3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi
Jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh dalam
bermigrasi melintas di wilayah perairan Indonesia dan juga untuk tempat
pemijahan bagi jenis tertentu, misalnya Southern Bluefin Tuna. Indonesia
walaupun sebagai tempat pemijahan, tetapi tidak memiliki jatah tangkapan yang
besar untuk jenis ikan tersebut karena belum meratifikasi UNIA. Apabila
Indonesia meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mendapatkan alokasi sumber
daya ikan untuk jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis ikan yang
beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional, sehingga akan sangat
menguntungkan Indonesia. Alokasi tersebut memberikan Indonesia hak dan
kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas.
Kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas sangat
berpengaruh pada usaha di bidang perikanan Indonesia. Usaha di bidang
perikanan merupakan kegiatan yang salah satunya bergantung pada lahan usaha
yang di dalamnya terkandung potensi sumber daya ikan (selanjutnya disingkat
SDI). Oleh karenanya, tidak dapat dihindari dan bahkan suatu keharusan untuk
melakukan kajian potensi SDI. Bahkan lebih dari itu kiranya dapat diungkap
informasi yang jelas dan transparan tentang peluang usaha komoditas prospektif
yang dapat dikembangkan untuk pasaran lokal maupun ekspor, yang sekaligus
sebagai bahan informasi bagi calon investor.
UNIA mengatur mengenai kerjasama dengan negara berkembang. Indonesia
sebagai negara berkembang tentunya akan sangat terbantu dengan kerjasama
tersebut. Dengan meratifikasi UNIA, Indonesia akan memperoleh perlakuan
62
khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan
keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, dan
bantuan pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu Indonesia juga akan
mendapatkan bantuan dana untuk penerapan UNIA, termasuk bantuan dana untuk
penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antara negara yang bersangkutan dan
negara pihak lainnya.22
3.2. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Hukum
Sesuai dengan Bagian VI tentang Penaatan dan Penegakan Hukum, apabila
Indonesia meratifikasi UNIA maka Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan fisik terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan
bendera Indonesia yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap tindakan
konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas. Indonesia juga
dapat bekerjasama dengan negara lain yang juga negara pihak UNIA dalam
penaatan dan penegakan hukum. Indonesia dapat meminta bantuan kepada negara
lain yang berkepentingan atau melalui organisasi pengelolaan perikanan sub
regional dan regional yang terkait dalam tindakan penyelidikan. Setiap negara
yang dimintai bantuan tersebut berkewajiban untuk membantu. Kewenangan yang
diberikan terhadap negara pihak UNIA tersebut tentunya akan memberikan
kekuatan hukum bagi Indonesia dalam upaya pencegahan pelanggaran tindakan
konservasi.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dimana 2/3 wilayahnya merupakan
laut yang didalamnya terdapat sumberdaya alam hayati yang melimpah, sudah 22 Daftar Inventarisasi Masalah Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang RI Tentang Pengesahan UNIA. Draft Hasil Pembahasan Tgl 20 Februari 2009. DKP.
63
seharusnya instrumen internasional yang telah ada dirumuskan oleh Indonesia,
sehingga Indonesia dapat turut berperan serta. Akan sangat rugi apabila Indonesia
tidak berpartisipasi ke dalam peraturan-peraturan internasional tentang laut lepas
yang telah ada. Apalagi banyak spesies ikan ekonomis yang berada dalam wilayah
laut Indonesia. Ratifikasi juga ditujukan agar pengelolaan dan konservasi dapat
dilakukan dengan lebih baik agar sumber daya alam hayatinya dapat tetap terjaga
dengan baik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
(selanjutnya disebut UU Perikanan) yang dimiliki Indonesia saat ini sudah cukup
menunjukkan bahwa Indonesia sangat memperhatikan kondisi sumber daya
perikanan saat ini dan mendukung upaya konservasi dan pengelolaan perikanan
untuk menjaga sumber daya tersebut dari kepunahan. Ratifikasi UNIA yang fokus
terhadap konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh dapat memantapkan kebijakan pemerintah
Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara melanggar hukum di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia oleh kapal-kapal perikanan
asing, dan membuka kesempatan bagi kapal perikanan Indonesia untuk
melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas.
Walaupun Indonesia belum meratifikasi UNIA, tetapi pada dasarnya ketentuan-
ketentuan dalam UU Perikanan menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari
ketentuan konservasi dan pengelolaan dalam UNIA. Ada beberapa ketentuan
dalam UU Perikanan yang sesuai dan sejalan dengan UNIA, karena UU Perikanan
juga mencakup mengenai kegiatan perikanan di laut lepas seperti tercantum dalam
Pasal 5 ayat (2) UU Perikanan telah dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan di
laut lepas diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
64
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pasal
tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah melakukan penyesuaian terhadap
instrumen-instrumen peraturan internasional mengenai hukum laut, khususnya
laut lepas.
Azas dan tujuan UU Perikanan adalah salah satu bagian yang secara jelas telah
sesuai dengan UNIA. Azas pengelolaan perikanan Indonesia ada dalam Pasal 2,
yaitu berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan
pengelolaan perikanan Indonesia tercantum dalam Pasal 3, yaitu:
1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil; 2. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; 3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; 4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; 5. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; 6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; 7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; 8. Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara optimal;dan 9. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
tata ruang.23
Selain itu masih ada beberapa pasal dalam UU Perikanan yang mendapat
pengaruh dari UNIA, antara lain:
1. Pasal 8 UU Perikanan mengenai larangan penggunaan bahan peledak,
bahan kimia ataupun cara-cara yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sesuai dengan prinsip umum UNIA dalam Pasal 1.
23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pasal 3
65
2. Ketentuan dalam UNIA mengenai kewajiban negara untuk menyesuaikan
tindakan konservasi dan pengelolaan dengan yang terdapat dalam
Konvensi telah diterapkan UU Perikanan dalam Pasal 9 (larangan
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat di kapal
perikanan yang melanggar peraturan), Pasal 14 (pengaturan dan/atau
pengembangan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan), Pasal 23 (larangan penggunaan alat yang membahayakan
manusia atau lingkungan), dan Pasal 52 (penelitian dan pengembangan
perikanan).
3. Pengembangan sistem informasi dan data statistik perikanan dalam Pasal
46 UU Perikanan didasarkan pada Pasal 6 UNIA tentang pendekatan
kehati-hatian.
4. Ketentuan dalam UNIA mengenai kerjasama internasional untuk
konservasi dan pengelolaan (Pasal 8), fungsi-fungsi organisasi atau
pengelolaan pengelolaan perikanan sub regional dan regional (Pasal 10),
transparansi kegiatan organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan
sub regional dan regional (Pasal 12), kewajiban-kewajiban negara bendera
(Pasal 18), penaatan dan penegakan hukum oleh negara bendera (Pasal
19), dan kerjasama internasional dalam penegakan hukum (Pasal 20),
mekanismenya telah diatur dalam Pasal 10 UU Perikanan mengenai
kerjasama internasional.
5. Transparansi kegiatan yang dilakukan oleh negara seperti diatur dalam
Pasal 47 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) merupakan penerapan dari Pasal
12 UNIA tentang transparansi kegiatan.
66
6. Kewajiban-kewajiban negara bendera yang diatur dalam Pasal 18 UNIA
juga sejalan dengan ketentuan dalam UU Perikanan, tetapi diatur secara
terpisah dalam Pasal 9, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 28, Pasal 31, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 47.
7. Prosedur dasar pemeriksaan kapal dan pengejaran yang ada dalam Pasal
22 UNIA memang telah diterapkan dalam UU Perikanan, tetapi dalam UU
Perikanan hanya ada kewenangan dari petugas penyidik dalam Bab XIV
tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Perikanan, tetapi tidak ada kewaiban seperti yang terdapat dalam UNIA.
Ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut
lepas dalam UU Perikanan tidak seluruhnya sesuai dengan ketentuan dalam UNIA
masih terdapat kekurangan-kekurangan yang harus segera dibenahi dalam rangka
ikut serta aktif dalam mengelola perikanan laut lepas secara lebih profesional dan
bertanggung jawab.
Pengaturan pengelolaan perikanan di laut lepas dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang mendapat pengaruh dari UNIA selain UU Perikanan
antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan.
Dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa walaupun sumberdaya ikan
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
kesejahteraan rakyat, namun demikian dalam memanfaatkan sumberdaya
ikan harus senantiasa menjaga kelestariannya sehingga dapat memberi
manfaat secara terus menerus dan lestari. Salah satu cara untuk menjaga
67
kelestarian sumberdaya ikan dilakukan melalui perizinan baik bagi
perusahaan perikanan Indonesia maupun perusahaan perikanan asing yang
melakukan usaha penangkapan ikan di ZEE Indonesia.
2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006 Tentang
Usaha Perikanan Tangkap. Dalam Pasal 6, dijelaskan bahwa setiap orang
atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha di
bidang penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (selanjutnya
disingkat WPP) Indonesia wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(selanjutnya disingkat SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan
(selanjutnya disingkat SIPI). Dalam Pasal 7, dijelaskan bahwa orang atau
badan hukum yang akan melakukan kegiatan usaha perikanan di laut lepas
wajib memiliki SIUP, SIPI, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (selanjutnya
disingkat SIKPI), dan pemberiannya memperhatikan ketentuan hukum
internasional yang berlaku. Dalam Pasal 8, dijelaskan bahwa kapal
penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melakukan kegiatan di
WPP Indonesia harus mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan
pangkalan yang telah ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI. Khusus bagi
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dapat menitipkan ikan ke
kapal penangkap ikan lainnya berbendera Indonesia atau ke kapal
pengangkut ikan berbendera Indonesia dalam satu kesatuan manajemen
usaha termasuk yang dilakukan melalui kerjasama usaha, dan didaratkan
di pelabuhan pangkalan di Indonesia. Dalam Pasal 11, dijelaskan bahwa
kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia dapat melakukan
pengangkutan ikan dari pelabuhan yang satu ke pelabuhan yang lain
68
sebagaimana tercantum dalam SIKPI dan/atau dari sentra-sentra kegiatan
nelayan ke pelabuhan dan/atau dari pelabuhan dalam negeri ke luar negeri.
Dalam Pasal 50, dijelaskan bahwa setiap orang atau badan hukum asing
dapat menanamkan modalnya pada perusahaan Indonesia yang
menggunakan fasilitas Penanaman Modal Dalam Negeri (selanjutnya
disingkat PMDN) Dalam Pasal 61, dijelaskan bahwa ikan hasil tangkapan
dari kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam rangka
Penanaman Modal Asing (selanjutnya disingkat PMA) dan PMDN wajib
didaratkan di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI dan/atau
SIKPI
3. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan
dari UU Perikanan seperti diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (2) mengenai
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Peraturan Pemerintah ini
merupakan amanat dari UU Perikanan Pasal 56 mengenai
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan perikanan yang diatur
dalam Bab VIII Pasal 52 sampai Pasal 55.
3.3. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Upaya Konservasi dan
Pengelolaan Perikanan
Sumber daya hayati laut, meskipun bersifat dapat diperbaharui, namun
kemampuan untuk pulihnya bersifat terbatas. Pemanfaatan sumber daya hayati
laut yang tidak terkendali dapat berdampak pada menurunnya populasi sumber
69
daya. Apabila tidak segera direhabilitasi, pada gilirannya sumber daya tersebut
akan menjadi kritis dan akhirnya akan terjadi kelangkaan spesies.
Keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi UNIA antara lain untuk meningkatkan
upaya perlindungan dan konservasi sumber daya ikan, baik di ZEEI maupun di
laut lepas, selain itu juga untuk mengurangi pencurian ikan di wilayah ZEEI
Indonesia, di lain pihak Indonesia juga bertanggung jawab atas panangkapan ikan
oleh kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera Indonesia di laut lepas.
Dalam mencapai upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara pihak UNIA akan
mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat
waktu, melalui mekanisme pertukaran data dan informasi.
Sebagai negara berkembang, Indonesia akan dapat bekerjasama dengan negara
lain untuk meningkatkan kemampuan dalam upaya melindungi dan mengelola
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan juga
untuk mengembangkan perikanan Indonesia, khususnya untuk sediaan tersebut.24
24 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 25 ayat (1)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab IV, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan UNIA, tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang
beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh mewajibkan negara-
negara yang terkait untuk menerapkan prinsip pendekatan kehati-hatian, agar
dapat diketahui tindakan yang tepat berdasarkan kondisi sumber daya
perikanan di suatu wilayah tertentu. Negara-negara yang melakukan kegiatan
pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas diwajibkan untuk saling
bekerjasama. Kerjasama tersebut diamanatkan dalam bentuk organisasi
konservasi dan pengelolaan perikanan sub regional dan regional. Organisasi
konservasi dan pengelolaan perikanan regional disebut dengan Regional
Fisheries Management Organizations (RFMOs). Saat ini telah terbentuk
beberapa RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup wilayah Indonesia
antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission For The
Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central
Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
71
2. Arti penting UNIA bagi Indonesia dapat ditinjau dari aspek ekonomi,
aspek hukum, dan aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan.
Ditinjau dari aspek ekonomi, apabila Indonesia meratifikasi UNIA, Indonesia
akan memperoleh alokasi sumber daya jenis ikan yang beruaya terbatas dan
ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Sebagai negara
berkembang, Indonesia akan mendapat perlakuan khusus, antara lain untuk
mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi,
bantuan penelitian ilmiah dan bantuan pengawasan dan penegakan hukum.
Dari aspek hukum, ratifikasi UNIA dapat memantapkan kebijakan Pemerintah
Indonesia dalam upaya memberantas penangkapan ikan secara melanggar
hukum. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak yang telah
mendapat pengaruh dari UNIA, sehingga peraturan pengelolaan di Indonesia
akan semakin baik. Dari aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan,
Indonesia akan mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara
mudah dan tepat waktu, melalui mekanisme pertukaran data dan informasi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa pendapat yang
dapat dijadikan masukan serta pertimbangan, yaitu:
1. Konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya sediaan
ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh menjadi
hal yang sangat penting dan mendesak saat ini. Indonesia sebagai negara
yang menjadi lintasan migrasi sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh, harus secepatnya meratifikasi UNIA agar
72
Indonesia dapat memanfaatkan sediaan tersebut secara maksimal tanpa
melupakan tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional.
2. Indonesia harus menerapkan pengaturan konservasi dan pengelolaan
perikanan laut lepas yang terdapat dalam UNIA ke dalam peraturan-
peraturan pengelolaan perikanan nasional.
3. Indonesia turut serta sebagai anggota dan berperan aktif dalam organisasi
dan pengaturan perikanan sub regional dan regional yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Bowett, D.W, Q.C.LL.D.1995. Hukum Organisasi Internasional.Cet. Kedua.Sinar Grafika, Jakarta
Fauzi, A., dan Suzi Anna. 2008. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan
Kelautan, P.T Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Kusumaatmadja, Mochtar.1982. Pengantar Hukum Internasional. Cet. Keempat
Binacipta,Bandung __________. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni Bandung __________ dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni,
Bandung. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional. 2005. Jurnal Hukum Internasional.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya
Bakti. Bandung Syahmin, A.K, S.H.1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi
Wina 1969).C.V. AMRICO,Bandung. ______.1985. Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional.Bina Cipta,
Palembang. Tahar, Abdul Muthalib. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982
dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Buku Ajar. Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas
Lampung Press. Bandar Lampung.
Perjanjian Internasional Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995
Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission. 2003 Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish
Stocks in the Western and Central Pacific Ocean. 2000. The Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 Naskah Akademis Agreement for the Implementation of the Provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA I995). Departemen Kelautan dan Perikanan.
Naskah Terjemahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA). Departemen Kelautan dan Perikanan.
Naskah Akademik Penerimaan (Acceptance) Agreement to Promote Compliance
with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Hasil Seminar Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya
Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret Tahun 2007 di Hotel Transit 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hasil Rapat Urgensi dan Konsekuensi Pengesahan UNIA 1995, Departemen Kelautan dan
Perikanan. Tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Daftar Inventarisasi Masalah Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang
Republik Indonesia Tentang Pengesahan UNIA. Draft Hasil Pembahasan Tgl 20 Februari 2009. Departeman Kelautan dan Perikanan.
Pustaka Online
http//www.dkp.go.id.. Diakses pada tanggal 18 oktober 2008
http://www.sdi.dkp.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18. Diakses pada tanggal 26 April 2009
http://www.ccsbt.org/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009. http://www.google.com/.ratifikasi/panmohamadfaiz.html
LAMPIRAN
UNITEDUNITED ANATIONSNATIONS
General AssemblyDistr.GENERAL
A/CONF.164/378 September 1995
ORIGINAL: ENGLISH
UNITED NATIONS CONFERENCE ONSTRADDLING FISH STOCKS ANDHIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
Sixth sessionNew York, 24 July-4 August 1995
AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OFTHE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEAOF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION ANDMANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY
MIGRATORY FISH STOCKS
95-27467S (E) 271095 /...
A/CONF.164/37EnglishPage 2
AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OFTHE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEAOF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION ANDMANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY
MIGRATORY FISH STOCKS
The States Parties to this Agreement,
Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on theLaw of the Sea of 10 December 1982,
Determined to ensure the long-term conservation and sustainable use ofstraddling fish stocks and highly migratory fish stocks,
Resolved to improve cooperation between States to that end,
Calling for more effective enforcement by flag States, port States andcoastal States of the conservation and management measures adopted for suchstocks,
Seeking to address in particular the problems identified in chapter 17,programme area C, of Agenda 21 adopted by the United Nations Conference onEnvironment and Development, namely, that the management of high seas fisheriesis inadequate in many areas and that some resources are overutilized; notingthat there are problems of unregulated fishing, over-capitalization, excessivefleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear,unreliable databases and lack of sufficient cooperation between States,
Committing themselves to responsible fisheries,
Conscious of the need to avoid adverse impacts on the marine environment,preserve biodiversity, maintain the integrity of marine ecosystems and minimizethe risk of long-term or irreversible effects of fishing operations,
Recognizing the need for specific assistance, including financial,scientific and technological assistance, in order that developing States canparticipate effectively in the conservation, management and sustainable use ofstraddling fish stocks and highly migratory fish stocks,
Convinced that an agreement for the implementation of the relevantprovisions of the Convention would best serve these purposes and contribute tothe maintenance of international peace and security,
Affirming that matters not regulated by the Convention or by this Agreementcontinue to be governed by the rules and principles of general internationallaw,
Have agreed as follows:
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 3
PART I
GENERAL PROVISIONS
Article 1
Use of terms and scope
1. For the purposes of this Agreement:
(a) "Convention" means the United Nations Convention on the Law of the Seaof 10 December 1982;
(b) "conservation and management measures" means measures to conserve andmanage one or more species of living marine resources that are adopted andapplied consistent with the relevant rules of international law as reflected inthe Convention and this Agreement;
(c) "fish" includes molluscs and crustaceans except those belonging tosedentary species as defined in article 77 of the Convention; and
(d) "arrangement" means a cooperative mechanism established in accordancewith the Convention and this Agreement by two or more States for the purpose,inter alia, of establishing conservation and management measures in a subregionor region for one or more straddling fish stocks or highly migratory fishstocks.
2. (a) "States Parties" means States which have consented to be bound by thisAgreement and for which the Agreement is in force.
(b) This Agreement applies mutatis mutandis:
(i) to any entity referred to in article 305, paragraph 1 (c), (d) and(e), of the Convention and
(ii) subject to article 47, to any entity referred to as an "internationalorganization" in Annex IX, article 1, of the Convention
which becomes a Party to this Agreement, and to that extent "States Parties"refers to those entities.
3. This Agreement applies mutatis mutandis to other fishing entities whosevessels fish on the high seas.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 4
Article 2
Objective
The objective of this Agreement is to ensure the long-term conservation andsustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocksthrough effective implementation of the relevant provisions of the Convention.
Article 3
Application
1. Unless otherwise provided, this Agreement applies to the conservation andmanagement of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks beyondareas under national jurisdiction, except that articles 6 and 7 apply also tothe conservation and management of such stocks within areas under nationaljurisdiction, subject to the different legal regimes that apply within areasunder national jurisdiction and in areas beyond national jurisdiction asprovided for in the Convention.
2. In the exercise of its sovereign rights for the purpose of exploring andexploiting, conserving and managing straddling fish stocks and highly migratoryfish stocks within areas under national jurisdiction, the coastal State shallapply mutatis mutandis the general principles enumerated in article 5.
3. States shall give due consideration to the respective capacities ofdeveloping States to apply articles 5, 6 and 7 within areas under nationaljurisdiction and their need for assistance as provided for in this Agreement.To this end, Part VII applies mutatis mutandis in respect of areas undernational jurisdiction.
Article 4
Relationship between this Agreement and the Convention
Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction andduties of States under the Convention. This Agreement shall be interpreted andapplied in the context of and in a manner consistent with the Convention.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 5
PART II
CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKSAND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
Article 5
General principles
In order to conserve and manage straddling fish stocks and highly migratoryfish stocks, coastal States and States fishing on the high seas shall, in givingeffect to their duty to cooperate in accordance with the Convention:
(a) adopt measures to ensure long-term sustainability of straddling fishstocks and highly migratory fish stocks and promote the objective of theiroptimum utilization;
(b) ensure that such measures are based on the best scientific evidenceavailable and are designed to maintain or restore stocks at levels capable ofproducing maximum sustainable yield, as qualified by relevant environmental andeconomic factors, including the special requirements of developing States, andtaking into account fishing patterns, the interdependence of stocks and anygenerally recommended international minimum standards, whether subregional,regional or global;
(c) apply the precautionary approach in accordance with article 6;
(d) assess the impacts of fishing, other human activities andenvironmental factors on target stocks and species belonging to the sameecosystem or associated with or dependent upon the target stocks;
(e) adopt, where necessary, conservation and management measures forspecies belonging to the same ecosystem or associated with or dependent upon thetarget stocks, with a view to maintaining or restoring populations of suchspecies above levels at which their reproduction may become seriouslythreatened;
(f) minimize pollution, waste, discards, catch by lost or abandoned gear,catch of non-target species, both fish and non-fish species, (hereinafterreferred to as non-target species) and impacts on associated or dependentspecies, in particular endangered species, through measures including, to theextent practicable, the development and use of selective, environmentally safeand cost-effective fishing gear and techniques;
(g) protect biodiversity in the marine environment;
(h) take measures to prevent or eliminate overfishing and excess fishingcapacity and to ensure that levels of fishing effort do not exceed thosecommensurate with the sustainable use of fishery resources;
(i) take into account the interests of artisanal and subsistence fishers;
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 6
(j) collect and share, in a timely manner, complete and accurate dataconcerning fishing activities on, inter alia, vessel position, catch of targetand non-target species and fishing effort, as set out in Annex I, as well asinformation from national and international research programmes;
(k) promote and conduct scientific research and develop appropriatetechnologies in support of fishery conservation and management; and
(l) implement and enforce conservation and management measures througheffective monitoring, control and surveillance.
Article 6
Application of the precautionary approach
1. States shall apply the precautionary approach widely to conservation,management and exploitation of straddling fish stocks and highly migratory fishstocks in order to protect the living marine resources and preserve the marineenvironment.
2. States shall be more cautious when information is uncertain, unreliable orinadequate. The absence of adequate scientific information shall not be used asa reason for postponing or failing to take conservation and management measures.
3. In implementing the precautionary approach, States shall:
(a) improve decision-making for fishery resource conservation andmanagement by obtaining and sharing the best scientific information availableand implementing improved techniques for dealing with risk and uncertainty;
(b) apply the guidelines set out in Annex II and determine, on the basisof the best scientific information available, stock-specific reference pointsand the action to be taken if they are exceeded;
(c) take into account, inter alia, uncertainties relating to the size andproductivity of the stocks, reference points, stock condition in relation tosuch reference points, levels and distribution of fishing mortality and theimpact of fishing activities on non-target and associated or dependent species,as well as existing and predicted oceanic, environmental and socio-economicconditions; and
(d) develop data collection and research programmes to assess the impactof fishing on non-target and associated or dependent species and theirenvironment, and adopt plans which are necessary to ensure the conservation ofsuch species and to protect habitats of special concern.
4. States shall take measures to ensure that, when reference points areapproached, they will not be exceeded. In the event that they are exceeded,States shall, without delay, take the action determined under paragraph 3 (b) torestore the stocks.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 7
5. Where the status of target stocks or non-target or associated or dependentspecies is of concern, States shall subject such stocks and species to enhancedmonitoring in order to review their status and the efficacy of conservation andmanagement measures. They shall revise those measures regularly in the light ofnew information.
6. For new or exploratory fisheries, States shall adopt as soon as possiblecautious conservation and management measures, including, inter alia, catchlimits and effort limits. Such measures shall remain in force until there aresufficient data to allow assessment of the impact of the fisheries on thelong-term sustainability of the stocks, whereupon conservation and managementmeasures based on that assessment shall be implemented. The latter measuresshall, if appropriate, allow for the gradual development of the fisheries.
7. If a natural phenomenon has a significant adverse impact on the status ofstraddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States shall adoptconservation and management measures on an emergency basis to ensure thatfishing activity does not exacerbate such adverse impact. States shall alsoadopt such measures on an emergency basis where fishing activity presents aserious threat to the sustainability of such stocks. Measures taken on anemergency basis shall be temporary and shall be based on the best scientificevidence available.
Article 7
Compatibility of conservation and management measures
1. Without prejudice to the sovereign rights of coastal States for the purposeof exploring and exploiting, conserving and managing the living marine resourceswithin areas under national jurisdiction as provided for in the Convention, andthe right of all States for their nationals to engage in fishing on the highseas in accordance with the Convention:
(a) with respect to straddling fish stocks, the relevant coastal Statesand the States whose nationals fish for such stocks in the adjacent high seasarea shall seek, either directly or through the appropriate mechanisms forcooperation provided for in Part III, to agree upon the measures necessary forthe conservation of these stocks in the adjacent high seas area;
(b) with respect to highly migratory fish stocks, the relevant coastalStates and other States whose nationals fish for such stocks in the region shallcooperate, either directly or through the appropriate mechanisms for cooperationprovided for in Part III, with a view to ensuring conservation and promoting theobjective of optimum utilization of such stocks throughout the region, bothwithin and beyond the areas under national jurisdiction.
2. Conservation and management measures established for the high seas andthose adopted for areas under national jurisdiction shall be compatible in orderto ensure conservation and management of the straddling fish stocks and highlymigratory fish stocks in their entirety. To this end, coastal States and Statesfishing on the high seas have a duty to cooperate for the purpose of achieving
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 8
compatible measures in respect of such stocks. In determining compatibleconservation and management measures, States shall:
(a) take into account the conservation and management measures adopted andapplied in accordance with article 61 of the Convention in respect of the samestocks by coastal States within areas under national jurisdiction and ensurethat measures established in respect of such stocks for the high seas do notundermine the effectiveness of such measures;
(b) take into account previously agreed measures established and appliedfor the high seas in accordance with the Convention in respect of the samestocks by relevant coastal States and States fishing on the high seas;
(c) take into account previously agreed measures established and appliedin accordance with the Convention in respect of the same stocks by a subregionalor regional fisheries management organization or arrangement;
(d) take into account the biological unity and other biologicalcharacteristics of the stocks and the relationships between the distribution ofthe stocks, the fisheries and the geographical particularities of the regionconcerned, including the extent to which the stocks occur and are fished inareas under national jurisdiction;
(e) take into account the respective dependence of the coastal States andthe States fishing on the high seas on the stocks concerned; and
(f) ensure that such measures do not result in harmful impact on theliving marine resources as a whole.
3. In giving effect to their duty to cooperate, States shall make every effortto agree on compatible conservation and management measures within a reasonableperiod of time.
4. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, any ofthe States concerned may invoke the procedures for the settlement of disputesprovided for in Part VIII.
5. Pending agreement on compatible conservation and management measures, theStates concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make everyeffort to enter into provisional arrangements of a practical nature. In theevent that they are unable to agree on such arrangements, any of the Statesconcerned may, for the purpose of obtaining provisional measures, submit thedispute to a court or tribunal in accordance with the procedures for thesettlement of disputes provided for in Part VIII.
6. Provisional arrangements or measures entered into or prescribed pursuant toparagraph 5 shall take into account the provisions of this Part, shall have dueregard to the rights and obligations of all States concerned, shall notjeopardize or hamper the reaching of final agreement on compatible conservationand management measures and shall be without prejudice to the final outcome ofany dispute settlement procedure.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 9
7. Coastal States shall regularly inform States fishing on the high seas inthe subregion or region, either directly or through appropriate subregional orregional fisheries management organizations or arrangements, or through otherappropriate means, of the measures they have adopted for straddling fish stocksand highly migratory fish stocks within areas under their national jurisdiction.
8. States fishing on the high seas shall regularly inform other interestedStates, either directly or through appropriate subregional or regional fisheriesmanagement organizations or arrangements, or through other appropriate means, ofthe measures they have adopted for regulating the activities of vessels flyingtheir flag which fish for such stocks on the high seas.
PART III
MECHANISMS FOR INTERNATIONAL COOPERATION CONCERNING STRADDLINGFISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
Article 8
Cooperation for conservation and management
1. Coastal States and States fishing on the high seas shall, in accordancewith the Convention, pursue cooperation in relation to straddling fish stocksand highly migratory fish stocks either directly or through appropriatesubregional or regional fisheries management organizations or arrangements,taking into account the specific characteristics of the subregion or region, toensure effective conservation and management of such stocks.
2. States shall enter into consultations in good faith and without delay,particularly where there is evidence that the straddling fish stocks and highlymigratory fish stocks concerned may be under threat of over-exploitation orwhere a new fishery is being developed for such stocks. To this end,consultations may be initiated at the request of any interested State with aview to establishing appropriate arrangements to ensure conservation andmanagement of the stocks. Pending agreement on such arrangements, States shallobserve the provisions of this Agreement and shall act in good faith and withdue regard to the rights, interests and duties of other States.
3. Where a subregional or regional fisheries management organization orarrangement has the competence to establish conservation and management measuresfor particular straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, Statesfishing for the stocks on the high seas and relevant coastal States shall giveeffect to their duty to cooperate by becoming members of such organization orparticipants in such arrangement, or by agreeing to apply the conservation andmanagement measures established by such organization or arrangement. Stateshaving a real interest in the fisheries concerned may become members of suchorganization or participants in such arrangement. The terms of participation insuch organization or arrangement shall not preclude such States from membershipor participation; nor shall they be applied in a manner which discriminatesagainst any State or group of States having a real interest in the fisheriesconcerned.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 10
4. Only those States which are members of such an organization or participantsin such an arrangement, or which agree to apply the conservation and managementmeasures established by such organization or arrangement, shall have access tothe fishery resources to which those measures apply.
5. Where there is no subregional or regional fisheries management organizationor arrangement to establish conservation and management measures for aparticular straddling fish stock or highly migratory fish stock, relevantcoastal States and States fishing on the high seas for such stock in thesubregion or region shall cooperate to establish such an organization or enterinto other appropriate arrangements to ensure conservation and management ofsuch stock and shall participate in the work of the organization or arrangement.
6. Any State intending to propose that action be taken by an intergovernmentalorganization having competence with respect to living resources should, wheresuch action would have a significant effect on conservation and managementmeasures already established by a competent subregional or regional fisheriesmanagement organization or arrangement, consult through that organization orarrangement with its members or participants. To the extent practicable, suchconsultation should take place prior to the submission of the proposal to theintergovernmental organization.
Article 9
Subregional and regional fisheries management organizationsand arrangements
1. In establishing subregional or regional fisheries management organizationsor in entering into subregional or regional fisheries management arrangementsfor straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, States shall agree,inter alia, on:
(a) the stocks to which conservation and management measures apply, takinginto account the biological characteristics of the stocks concerned and thenature of the fisheries involved;
(b) the area of application, taking into account article 7, paragraph 1,and the characteristics of the subregion or region, including socio-economic,geographical and environmental factors;
(c) the relationship between the work of the new organization orarrangement and the role, objectives and operations of any relevant existingfisheries management organizations or arrangements; and
(d) the mechanisms by which the organization or arrangement will obtainscientific advice and review the status of the stocks, including, whereappropriate, the establishment of a scientific advisory body.
2. States cooperating in the formation of a subregional or regional fisheriesmanagement organization or arrangement shall inform other States which they are
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 11
aware have a real interest in the work of the proposed organization orarrangement of such cooperation.
Article 10
Functions of subregional and regional fisheries managementorganizations and arrangements
In fulfilling their obligation to cooperate through subregional or regionalfisheries management organizations or arrangements, States shall:
(a) agree on and comply with conservation and management measures toensure the long-term sustainability of straddling fish stocks and highlymigratory fish stocks;
(b) agree, as appropriate, on participatory rights such as allocations ofallowable catch or levels of fishing effort;
(c) adopt and apply any generally recommended international minimumstandards for the responsible conduct of fishing operations;
(d) obtain and evaluate scientific advice, review the status of the stocksand assess the impact of fishing on non-target and associated or dependentspecies;
(e) agree on standards for collection, reporting, verification andexchange of data on fisheries for the stocks;
(f) compile and disseminate accurate and complete statistical data, asdescribed in Annex I, to ensure that the best scientific evidence is available,while maintaining confidentiality where appropriate;
(g) promote and conduct scientific assessments of the stocks and relevantresearch and disseminate the results thereof;
(h) establish appropriate cooperative mechanisms for effective monitoring,control, surveillance and enforcement;
(i) agree on means by which the fishing interests of new members of theorganization or new participants in the arrangement will be accommodated;
(j) agree on decision-making procedures which facilitate the adoption ofconservation and management measures in a timely and effective manner;
(k) promote the peaceful settlement of disputes in accordance withPart VIII;
(l) ensure the full cooperation of their relevant national agencies andindustries in implementing the recommendations and decisions of the organizationor arrangement; and
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 12
(m) give due publicity to the conservation and management measuresestablished by the organization or arrangement.
Article 11
New members or participants
In determining the nature and extent of participatory rights for newmembers of a subregional or regional fisheries management organization, or fornew participants in a subregional or regional fisheries management arrangement,States shall take into account, inter alia:
(a) the status of the straddling fish stocks and highly migratory fishstocks and the existing level of fishing effort in the fishery;
(b) the respective interests, fishing patterns and fishing practices ofnew and existing members or participants;
(c) the respective contributions of new and existing members orparticipants to conservation and management of the stocks, to the collection andprovision of accurate data and to the conduct of scientific research on thestocks;
(d) the needs of coastal fishing communities which are dependent mainly onfishing for the stocks;
(e) the needs of coastal States whose economies are overwhelminglydependent on the exploitation of living marine resources; and
(f) the interests of developing States from the subregion or region inwhose areas of national jurisdiction the stocks also occur.
Article 12
Transparency in activities of subregional and regional fisheriesmanagement organizations and arrangements
1. States shall provide for transparency in the decision-making process andother activities of subregional and regional fisheries management organizationsand arrangements.
2. Representatives from other intergovernmental organizations andrepresentatives from non-governmental organizations concerned with straddlingfish stocks and highly migratory fish stocks shall be afforded the opportunityto take part in meetings of subregional and regional fisheries managementorganizations and arrangements as observers or otherwise, as appropriate, inaccordance with the procedures of the organization or arrangement concerned.Such procedures shall not be unduly restrictive in this respect. Suchintergovernmental organizations and non-governmental organizations shall have
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 13
timely access to the records and reports of such organizations and arrangements,subject to the procedural rules on access to them.
Article 13
Strengthening of existing organizations and arrangements
States shall cooperate to strengthen existing subregional and regionalfisheries management organizations and arrangements in order to improve theireffectiveness in establishing and implementing conservation and managementmeasures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
Article 14
Collection and provision of information and cooperationin scientific research
1. States shall ensure that fishing vessels flying their flag provide suchinformation as may be necessary in order to fulfil their obligations under thisAgreement. To this end, States shall in accordance with Annex I:
(a) collect and exchange scientific, technical and statistical data withrespect to fisheries for straddling fish stocks and highly migratory fishstocks;
(b) ensure that data are collected in sufficient detail to facilitateeffective stock assessment and are provided in a timely manner to fulfil therequirements of subregional or regional fisheries management organizations orarrangements; and
(c) take appropriate measures to verify the accuracy of such data.
2. States shall cooperate, either directly or through subregional or regionalfisheries management organizations or arrangements:
(a) to agree on the specification of data and the format in which they areto be provided to such organizations or arrangements, taking into account thenature of the stocks and the fisheries for those stocks; and
(b) to develop and share analytical techniques and stock assessmentmethodologies to improve measures for the conservation and management ofstraddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
3. Consistent with Part XIII of the Convention, States shall cooperate, eitherdirectly or through competent international organizations, to strengthenscientific research capacity in the field of fisheries and promote scientificresearch related to the conservation and management of straddling fish stocksand highly migratory fish stocks for the benefit of all. To this end, a Stateor the competent international organization conducting such research beyondareas under national jurisdiction shall actively promote the publication and
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 14
dissemination to any interested States of the results of that research andinformation relating to its objectives and methods and, to the extentpracticable, shall facilitate the participation of scientists from those Statesin such research.
Article 15
Enclosed and semi-enclosed seas
In implementing this Agreement in an enclosed or semi-enclosed sea, Statesshall take into account the natural characteristics of that sea and shall alsoact in a manner consistent with Part IX of the Convention and other relevantprovisions thereof.
Article 16
Areas of high seas surrounded entirely by an area underthe national jurisdiction of a single State
1. States fishing for straddling fish stocks and highly migratory fish stocksin an area of the high seas surrounded entirely by an area under the nationaljurisdiction of a single State and the latter State shall cooperate to establishconservation and management measures in respect of those stocks in the high seasarea. Having regard to the natural characteristics of the area, States shallpay special attention to the establishment of compatible conservation andmanagement measures for such stocks pursuant to article 7. Measures taken inrespect of the high seas shall take into account the rights, duties andinterests of the coastal State under the Convention, shall be based on the bestscientific evidence available and shall also take into account any conservationand management measures adopted and applied in respect of the same stocks inaccordance with article 61 of the Convention by the coastal State in the areaunder national jurisdiction. States shall also agree on measures formonitoring, control, surveillance and enforcement to ensure compliance with theconservation and management measures in respect of the high seas.
2. Pursuant to article 8, States shall act in good faith and make every effortto agree without delay on conservation and management measures to be applied inthe carrying out of fishing operations in the area referred to in paragraph 1.If, within a reasonable period of time, the fishing States concerned and thecoastal State are unable to agree on such measures, they shall, having regard toparagraph 1, apply article 7, paragraphs 4, 5 and 6, relating to provisionalarrangements or measures. Pending the establishment of such provisionalarrangements or measures, the States concerned shall take measures in respect ofvessels flying their flag in order that they not engage in fisheries which couldundermine the stocks concerned.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 15
PART IV
NON-MEMBERS AND NON-PARTICIPANTS
Article 17
Non-members of organizations and non-participantsin arrangements
1. A State which is not a member of a subregional or regional fisheriesmanagement organization or is not a participant in a subregional or regionalfisheries management arrangement, and which does not otherwise agree to applythe conservation and management measures established by such organization orarrangement, is not discharged from the obligation to cooperate, in accordancewith the Convention and this Agreement, in the conservation and management ofthe relevant straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
2. Such State shall not authorize vessels flying its flag to engage in fishingoperations for the straddling fish stocks or highly migratory fish stocks whichare subject to the conservation and management measures established by suchorganization or arrangement.
3. States which are members of a subregional or regional fisheries managementorganization or participants in a subregional or regional fisheries managementarrangement shall, individually or jointly, request the fishing entitiesreferred to in article 1, paragraph 3, which have fishing vessels in therelevant area to cooperate fully with such organization or arrangement inimplementing the conservation and management measures it has established, with aview to having such measures applied de facto as extensively as possible tofishing activities in the relevant area. Such fishing entities shall enjoybenefits from participation in the fishery commensurate with their commitment tocomply with conservation and management measures in respect of the stocks.
4. States which are members of such organization or participants in sucharrangement shall exchange information with respect to the activities of fishingvessels flying the flags of States which are neither members of the organizationnor participants in the arrangement and which are engaged in fishing operationsfor the relevant stocks. They shall take measures consistent with thisAgreement and international law to deter activities of such vessels whichundermine the effectiveness of subregional or regional conservation andmanagement measures.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 16
PART V
DUTIES OF THE FLAG STATE
Article 18
Duties of the flag State
1. A State whose vessels fish on the high seas shall take such measures as maybe necessary to ensure that vessels flying its flag comply with subregional andregional conservation and management measures and that such vessels do notengage in any activity which undermines the effectiveness of such measures.
2. A State shall authorize the use of vessels flying its flag for fishing onthe high seas only where it is able to exercise effectively its responsibilitiesin respect of such vessels under the Convention and this Agreement.
3. Measures to be taken by a State in respect of vessels flying its flag shallinclude:
(a) control of such vessels on the high seas by means of fishing licences,authorizations or permits, in accordance with any applicable procedures agreedat the subregional, regional or global level;
(b) establishment of regulations:
(i) to apply terms and conditions to the licence, authorization or permitsufficient to fulfil any subregional, regional or global obligationsof the flag State;
(ii) to prohibit fishing on the high seas by vessels which are not dulylicensed or authorized to fish, or fishing on the high seas by vesselsotherwise than in accordance with the terms and conditions of alicence, authorization or permit;
(iii) to require vessels fishing on the high seas to carry the licence,authorization or permit on board at all times and to produce it ondemand for inspection by a duly authorized person; and
(iv) to ensure that vessels flying its flag do not conduct unauthorizedfishing within areas under the national jurisdiction of other States;
(c) establishment of a national record of fishing vessels authorized tofish on the high seas and provision of access to the information contained inthat record on request by directly interested States, taking into account anynational laws of the flag State regarding the release of such information;
(d) requirements for marking of fishing vessels and fishing gear foridentification in accordance with uniform and internationally recognizablevessel and gear marking systems, such as the Food and Agriculture Organizationof the United Nations Standard Specifications for the Marking and Identificationof Fishing Vessels;
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 17
(e) requirements for recording and timely reporting of vessel position,catch of target and non-target species, fishing effort and other relevantfisheries data in accordance with subregional, regional and global standards forcollection of such data;
(f) requirements for verifying the catch of target and non-target speciesthrough such means as observer programmes, inspection schemes, unloadingreports, supervision of transshipment and monitoring of landed catches andmarket statistics;
(g) monitoring, control and surveillance of such vessels, their fishingoperations and related activities by, inter alia:
(i) the implementation of national inspection schemes and subregional andregional schemes for cooperation in enforcement pursuant to articles21 and 22, including requirements for such vessels to permit access byduly authorized inspectors from other States;
(ii) the implementation of national observer programmes and subregional andregional observer programmes in which the flag State is a participant,including requirements for such vessels to permit access by observersfrom other States to carry out the functions agreed under theprogrammes; and
(iii) the development and implementation of vessel monitoring systems,including, as appropriate, satellite transmitter systems, inaccordance with any national programmes and those which have beensubregionally, regionally or globally agreed among the Statesconcerned;
(h) regulation of transshipment on the high seas to ensure that theeffectiveness of conservation and management measures is not undermined; and
(i) regulation of fishing activities to ensure compliance withsubregional, regional or global measures, including those aimed at minimizingcatches of non-target species.
4. Where there is a subregionally, regionally or globally agreed system ofmonitoring, control and surveillance in effect, States shall ensure that themeasures they impose on vessels flying their flag are compatible with thatsystem.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 18
PART VI
COMPLIANCE AND ENFORCEMENT
Article 19
Compliance and enforcement by the flag State
1. A State shall ensure compliance by vessels flying its flag with subregionaland regional conservation and management measures for straddling fish stocks andhighly migratory fish stocks. To this end, that State shall:
(a) enforce such measures irrespective of where violations occur;
(b) investigate immediately and fully any alleged violation of subregionalor regional conservation and management measures, which may include the physicalinspection of the vessels concerned, and report promptly to the State allegingthe violation and the relevant subregional or regional organization orarrangement on the progress and outcome of the investigation;
(c) require any vessel flying its flag to give information to theinvestigating authority regarding vessel position, catches, fishing gear,fishing operations and related activities in the area of an alleged violation;
(d) if satisfied that sufficient evidence is available in respect of analleged violation, refer the case to its authorities with a view to institutingproceedings without delay in accordance with its laws and, where appropriate,detain the vessel concerned; and
(e) ensure that, where it has been established, in accordance with itslaws, a vessel has been involved in the commission of a serious violation ofsuch measures, the vessel does not engage in fishing operations on the high seasuntil such time as all outstanding sanctions imposed by the flag State inrespect of the violation have been complied with.
2. All investigations and judicial proceedings shall be carried outexpeditiously. Sanctions applicable in respect of violations shall be adequatein severity to be effective in securing compliance and to discourage violationswherever they occur and shall deprive offenders of the benefits accruing fromtheir illegal activities. Measures applicable in respect of masters and otherofficers of fishing vessels shall include provisions which may permit,inter alia, refusal, withdrawal or suspension of authorizations to serve asmasters or officers on such vessels.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 19
Article 20
International cooperation in enforcement
1. States shall cooperate, either directly or through subregional or regionalfisheries management organizations or arrangements, to ensure compliance withand enforcement of subregional and regional conservation and management measuresfor straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
2. A flag State conducting an investigation of an alleged violation ofconservation and management measures for straddling fish stocks or highlymigratory fish stocks may request the assistance of any other State whosecooperation may be useful in the conduct of that investigation. All Statesshall endeavour to meet reasonable requests made by a flag State in connectionwith such investigations.
3. A flag State may undertake such investigations directly, in cooperationwith other interested States or through the relevant subregional or regionalfisheries management organization or arrangement. Information on the progressand outcome of the investigations shall be provided to all States having aninterest in, or affected by, the alleged violation.
4. States shall assist each other in identifying vessels reported to haveengaged in activities undermining the effectiveness of subregional, regional orglobal conservation and management measures.
5. States shall, to the extent permitted by national laws and regulations,establish arrangements for making available to prosecuting authorities in otherStates evidence relating to alleged violations of such measures.
6. Where there are reasonable grounds for believing that a vessel on the highseas has been engaged in unauthorized fishing within an area under thejurisdiction of a coastal State, the flag State of that vessel, at the requestof the coastal State concerned, shall immediately and fully investigate thematter. The flag State shall cooperate with the coastal State in takingappropriate enforcement action in such cases and may authorize the relevantauthorities of the coastal State to board and inspect the vessel on the highseas. This paragraph is without prejudice to article 111 of the Convention.
7. States Parties which are members of a subregional or regional fisheriesmanagement organization or participants in a subregional or regional fisheriesmanagement arrangement may take action in accordance with international law,including through recourse to subregional or regional procedures established forthis purpose, to deter vessels which have engaged in activities which underminethe effectiveness of or otherwise violate the conservation and managementmeasures established by that organization or arrangement from fishing on thehigh seas in the subregion or region until such time as appropriate action istaken by the flag State.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 20
Article 21
Subregional and regional cooperation in enforcement
1. In any high seas area covered by a subregional or regional fisheriesmanagement organization or arrangement, a State Party which is a member of suchorganization or a participant in such arrangement may, through its dulyauthorized inspectors, board and inspect, in accordance with paragraph 2,fishing vessels flying the flag of another State Party to this Agreement,whether or not such State Party is also a member of the organization or aparticipant in the arrangement, for the purpose of ensuring compliance withconservation and management measures for straddling fish stocks and highlymigratory fish stocks established by that organization or arrangement.
2. States shall establish, through subregional or regional fisheriesmanagement organizations or arrangements, procedures for boarding and inspectionpursuant to paragraph 1, as well as procedures to implement other provisions ofthis article. Such procedures shall be consistent with this article and thebasic procedures set out in article 22 and shall not discriminate againstnon-members of the organization or non-participants in the arrangement.Boarding and inspection as well as any subsequent enforcement action shall beconducted in accordance with such procedures. States shall give due publicityto procedures established pursuant to this paragraph.
3. If, within two years of the adoption of this Agreement, any organization orarrangement has not established such procedures, boarding and inspectionpursuant to paragraph 1, as well as any subsequent enforcement action, shall,pending the establishment of such procedures, be conducted in accordance withthis article and the basic procedures set out in article 22.
4. Prior to taking action under this article, inspecting States shall, eitherdirectly or through the relevant subregional or regional fisheries managementorganization or arrangement, inform all States whose vessels fish on the highseas in the subregion or region of the form of identification issued to theirduly authorized inspectors. The vessels used for boarding and inspection shallbe clearly marked and identifiable as being on government service. At the timeof becoming a Party to this Agreement, a State shall designate an appropriateauthority to receive notifications pursuant to this article and shall give duepublicity of such designation through the relevant subregional or regionalfisheries management organization or arrangement.
5. Where, following a boarding and inspection, there are clear grounds forbelieving that a vessel has engaged in any activity contrary to the conservationand management measures referred to in paragraph 1, the inspecting State shall,where appropriate, secure evidence and shall promptly notify the flag State ofthe alleged violation.
6. The flag State shall respond to the notification referred to in paragraph 5within three working days of its receipt, or such other period as may beprescribed in procedures established in accordance with paragraph 2, and shalleither:
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 21
(a) fulfil, without delay, its obligations under article 19 to investigateand, if evidence so warrants, take enforcement action with respect to thevessel, in which case it shall promptly inform the inspecting State of theresults of the investigation and of any enforcement action taken; or
(b) authorize the inspecting State to investigate.
7. Where the flag State authorizes the inspecting State to investigate analleged violation, the inspecting State shall, without delay, communicate theresults of that investigation to the flag State. The flag State shall, ifevidence so warrants, fulfil its obligations to take enforcement action withrespect to the vessel. Alternatively, the flag State may authorize theinspecting State to take such enforcement action as the flag State may specifywith respect to the vessel, consistent with the rights and obligations of theflag State under this Agreement.
8. Where, following boarding and inspection, there are clear grounds forbelieving that a vessel has committed a serious violation, and the flag Statehas either failed to respond or failed to take action as required underparagraphs 6 or 7, the inspectors may remain on board and secure evidence andmay require the master to assist in further investigation including, whereappropriate, by bringing the vessel without delay to the nearest appropriateport, or to such other port as may be specified in procedures established inaccordance with paragraph 2. The inspecting State shall immediately inform theflag State of the name of the port to which the vessel is to proceed. Theinspecting State and the flag State and, as appropriate, the port State shalltake all necessary steps to ensure the well-being of the crew regardless oftheir nationality.
9. The inspecting State shall inform the flag State and the relevantorganization or the participants in the relevant arrangement of the results ofany further investigation.
10. The inspecting State shall require its inspectors to observe generallyaccepted international regulations, procedures and practices relating to thesafety of the vessel and the crew, minimize interference with fishing operationsand, to the extent practicable, avoid action which would adversely affect thequality of the catch on board. The inspecting State shall ensure that boardingand inspection is not conducted in a manner that would constitute harassment ofany fishing vessel.
11. For the purposes of this article, a serious violation means:
(a) fishing without a valid licence, authorization or permit issued by theflag State in accordance with article 18, paragraph 3 (a);
(b) failing to maintain accurate records of catch and catch-related data,as required by the relevant subregional or regional fisheries managementorganization or arrangement, or serious misreporting of catch, contrary to thecatch reporting requirements of such organization or arrangement;
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 22
(c) fishing in a closed area, fishing during a closed season or fishingwithout, or after attainment of, a quota established by the relevant subregionalor regional fisheries management organization or arrangement;
(d) directed fishing for a stock which is subject to a moratorium or forwhich fishing is prohibited;
(e) using prohibited fishing gear;
(f) falsifying or concealing the markings, identity or registration of afishing vessel;
(g) concealing, tampering with or disposing of evidence relating to aninvestigation;
(h) multiple violations which together constitute a serious disregard ofconservation and management measures; or
(i) such other violations as may be specified in procedures established bythe relevant subregional or regional fisheries management organization orarrangement.
12. Notwithstanding the other provisions of this article, the flag State may,at any time, take action to fulfil its obligations under article 19 with respectto an alleged violation. Where the vessel is under the direction of theinspecting State, the inspecting State shall, at the request of the flag State,release the vessel to the flag State along with full information on the progressand outcome of its investigation.
13. This article is without prejudice to the right of the flag State to takeany measures, including proceedings to impose penalties, according to its laws.
14. This article applies mutatis mutandis to boarding and inspection by a StateParty which is a member of a subregional or regional fisheries managementorganization or a participant in a subregional or regional fisheries managementarrangement and which has clear grounds for believing that a fishing vesselflying the flag of another State Party has engaged in any activity contrary torelevant conservation and management measures referred to in paragraph 1 in thehigh seas area covered by such organization or arrangement, and such vessel hassubsequently, during the same fishing trip, entered into an area under thenational jurisdiction of the inspecting State.
15. Where a subregional or regional fisheries management organization orarrangement has established an alternative mechanism which effectivelydischarges the obligation under this Agreement of its members or participants toensure compliance with the conservation and management measures established bythe organization or arrangement, members of such organization or participants insuch arrangement may agree to limit the application of paragraph 1 as betweenthemselves in respect of the conservation and management measures which havebeen established in the relevant high seas area.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 23
16. Action taken by States other than the flag State in respect of vesselshaving engaged in activities contrary to subregional or regional conservationand management measures shall be proportionate to the seriousness of theviolation.
17. Where there are reasonable grounds for suspecting that a fishing vessel onthe high seas is without nationality, a State may board and inspect the vessel.Where evidence so warrants, the State may take such action as may be appropriatein accordance with international law.
18. States shall be liable for damage or loss attributable to them arising fromaction taken pursuant to this article when such action is unlawful or exceedsthat reasonably required in the light of available information to implement theprovisions of this article.
Article 22
Basic procedures for boarding and inspection pursuantto article 21
1. The inspecting State shall ensure that its duly authorized inspectors:
(a) present credentials to the master of the vessel and produce a copy ofthe text of the relevant conservation and management measures or rules andregulations in force in the high seas area in question pursuant to thosemeasures;
(b) initiate notice to the flag State at the time of the boarding andinspection;
(c) do not interfere with the master’s ability to communicate with theauthorities of the flag State during the boarding and inspection;
(d) provide a copy of a report on the boarding and inspection to themaster and to the authorities of the flag State, noting therein any objection orstatement which the master wishes to have included in the report;
(e) promptly leave the vessel following completion of the inspection ifthey find no evidence of a serious violation; and
(f) avoid the use of force except when and to the degree necessary toensure the safety of the inspectors and where the inspectors are obstructed inthe execution of their duties. The degree of force used shall not exceed thatreasonably required in the circumstances.
2. The duly authorized inspectors of an inspecting State shall have theauthority to inspect the vessel, its licence, gear, equipment, records,facilities, fish and fish products and any relevant documents necessary toverify compliance with the relevant conservation and management measures.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 24
3. The flag State shall ensure that vessel masters:
(a) accept and facilitate prompt and safe boarding by the inspectors;
(b) cooperate with and assist in the inspection of the vessel conductedpursuant to these procedures;
(c) do not obstruct, intimidate or interfere with the inspectors in theperformance of their duties;
(d) allow the inspectors to communicate with the authorities of the flagState and the inspecting State during the boarding and inspection;
(e) provide reasonable facilities, including, where appropriate, food andaccommodation, to the inspectors; and
(f) facilitate safe disembarkation by the inspectors.
4. In the event that the master of a vessel refuses to accept boarding andinspection in accordance with this article and article 21, the flag State shall,except in circumstances where, in accordance with generally acceptedinternational regulations, procedures and practices relating to safety at sea,it is necessary to delay the boarding and inspection, direct the master of thevessel to submit immediately to boarding and inspection and, if the master doesnot comply with such direction, shall suspend the vessel’s authorization to fishand order the vessel to return immediately to port. The flag State shall advisethe inspecting State of the action it has taken when the circumstances referredto in this paragraph arise.
Article 23
Measures taken by a port State
1. A port State has the right and the duty to take measures, in accordancewith international law, to promote the effectiveness of subregional, regionaland global conservation and management measures. When taking such measures aport State shall not discriminate in form or in fact against the vessels of anyState.
2. A port State may, inter alia, inspect documents, fishing gear and catch onboard fishing vessels, when such vessels are voluntarily in its ports or at itsoffshore terminals.
3. States may adopt regulations empowering the relevant national authoritiesto prohibit landings and transshipments where it has been established that thecatch has been taken in a manner which undermines the effectiveness ofsubregional, regional or global conservation and management measures on the highseas.
4. Nothing in this article affects the exercise by States of their sovereigntyover ports in their territory in accordance with international law.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 25
PART VII
REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES
Article 24
Recognition of the special requirements of developing States
1. States shall give full recognition to the special requirements ofdeveloping States in relation to conservation and management of straddling fishstocks and highly migratory fish stocks and development of fisheries for suchstocks. To this end, States shall, either directly or through the UnitedNations Development Programme, the Food and Agriculture Organization of theUnited Nations and other specialized agencies, the Global Environment Facility,the Commission on Sustainable Development and other appropriate internationaland regional organizations and bodies, provide assistance to developing States.
2. In giving effect to the duty to cooperate in the establishment ofconservation and management measures for straddling fish stocks and highlymigratory fish stocks, States shall take into account the special requirementsof developing States, in particular:
(a) the vulnerability of developing States which are dependent on theexploitation of living marine resources, including for meeting the nutritionalrequirements of their populations or parts thereof;
(b) the need to avoid adverse impacts on, and ensure access to fisheriesby, subsistence, small-scale and artisanal fishers and women fishworkers, aswell as indigenous people in developing States, particularly small islanddeveloping States; and
(c) the need to ensure that such measures do not result in transferring,directly or indirectly, a disproportionate burden of conservation action ontodeveloping States.
Article 25
Forms of cooperation with developing States
1. States shall cooperate, either directly or through subregional, regional orglobal organizations:
(a) to enhance the ability of developing States, in particular theleast-developed among them and small island developing States, to conserve andmanage straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and to developtheir own fisheries for such stocks;
(b) to assist developing States, in particular the least-developed amongthem and small island developing States, to enable them to participate in highseas fisheries for such stocks, including facilitating access to such fisheriessubject to articles 5 and 11; and
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 26
(c) to facilitate the participation of developing States in subregionaland regional fisheries management organizations and arrangements.
2. Cooperation with developing States for the purposes set out in this articleshall include the provision of financial assistance, assistance relating tohuman resources development, technical assistance, transfer of technology,including through joint venture arrangements, and advisory and consultativeservices.
3. Such assistance shall, inter alia, be directed specifically towards:
(a) improved conservation and management of straddling fish stocks andhighly migratory fish stocks through collection, reporting, verification,exchange and analysis of fisheries data and related information;
(b) stock assessment and scientific research; and
(c) monitoring, control, surveillance, compliance and enforcement,including training and capacity-building at the local level, development andfunding of national and regional observer programmes and access to technologyand equipment.
Article 26
Special assistance in the implementation of this Agreement
1. States shall cooperate to establish special funds to assist developingStates in the implementation of this Agreement, including assisting developingStates to meet the costs involved in any proceedings for the settlement ofdisputes to which they may be parties.
2. States and international organizations should assist developing States inestablishing new subregional or regional fisheries management organizations orarrangements, or in strengthening existing organizations or arrangements, forthe conservation and management of straddling fish stocks and highly migratoryfish stocks.
PART VIII
PEACEFUL SETTLEMENT OF DISPUTES
Article 27
Obligation to settle disputes by peaceful means
States have the obligation to settle their disputes by negotiation,inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort toregional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 27
Article 28
Prevention of disputes
States shall cooperate in order to prevent disputes. To this end, Statesshall agree on efficient and expeditious decision-making procedures withinsubregional and regional fisheries management organizations and arrangements andshall strengthen existing decision-making procedures as necessary.
Article 29
Disputes of a technical nature
Where a dispute concerns a matter of a technical nature, the Statesconcerned may refer the dispute to an ad hoc expert panel established by them.The panel shall confer with the States concerned and shall endeavour to resolvethe dispute expeditiously without recourse to binding procedures for thesettlement of disputes.
Article 30
Procedures for the settlement of disputes
1. The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV ofthe Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties tothis Agreement concerning the interpretation or application of this Agreement,whether or not they are also Parties to the Convention.
2. The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV ofthe Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties tothis Agreement concerning the interpretation or application of a subregional,regional or global fisheries agreement relating to straddling fish stocks orhighly migratory fish stocks to which they are parties, including any disputeconcerning the conservation and management of such stocks, whether or not theyare also Parties to the Convention.
3. Any procedure accepted by a State Party to this Agreement and theConvention pursuant to article 287 of the Convention shall apply to thesettlement of disputes under this Part, unless that State Party, when signing,ratifying or acceding to this Agreement, or at any time thereafter, has acceptedanother procedure pursuant to article 287 for the settlement of disputes underthis Part.
4. A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention,when signing, ratifying or acceding to this Agreement, or at any timethereafter, shall be free to choose, by means of a written declaration, one ormore of the means set out in article 287, paragraph 1, of the Convention for thesettlement of disputes under this Part. Article 287 shall apply to such adeclaration, as well as to any dispute to which such State is a party which isnot covered by a declaration in force. For the purposes of conciliation and
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 28
arbitration in accordance with Annexes V, VII and VIII to the Convention, suchState shall be entitled to nominate conciliators, arbitrators and experts to beincluded in the lists referred to in Annex V, article 2, Annex VII, article 2,and Annex VIII, article 2, for the settlement of disputes under this Part.
5. Any court or tribunal to which a dispute has been submitted under this Partshall apply the relevant provisions of the Convention, of this Agreement and ofany relevant subregional, regional or global fisheries agreement, as well asgenerally accepted standards for the conservation and management of livingmarine resources and other rules of international law not incompatible with theConvention, with a view to ensuring the conservation of the straddling fishstocks and highly migratory fish stocks concerned.
Article 31
Provisional measures
1. Pending the settlement of a dispute in accordance with this Part, theparties to the dispute shall make every effort to enter into provisionalarrangements of a practical nature.
2. Without prejudice to article 290 of the Convention, the court or tribunalto which the dispute has been submitted under this Part may prescribe anyprovisional measures which it considers appropriate under the circumstances topreserve the respective rights of the parties to the dispute or to preventdamage to the stocks in question, as well as in the circumstances referred to inarticle 7, paragraph 5, and article 16, paragraph 2.
3. A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention maydeclare that, notwithstanding article 290, paragraph 5, of the Convention, theInternational Tribunal for the Law of the Sea shall not be entitled toprescribe, modify or revoke provisional measures without the agreement of suchState.
Article 32
Limitations on applicability of procedures for thesettlement of disputes
Article 297, paragraph 3, of the Convention applies also to this Agreement.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 29
PART IX
NON-PARTIES TO THIS AGREEMENT
Article 33
Non-parties to this Agreement
1. States Parties shall encourage non-parties to this Agreement to becomeparties thereto and to adopt laws and regulations consistent with itsprovisions.
2. States Parties shall take measures consistent with this Agreement andinternational law to deter the activities of vessels flying the flag ofnon-parties which undermine the effective implementation of this Agreement.
PART X
GOOD FAITH AND ABUSE OF RIGHTS
Article 34
Good faith and abuse of rights
States Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed underthis Agreement and shall exercise the rights recognized in this Agreement in amanner which would not constitute an abuse of right.
Part XI
RESPONSIBILITY AND LIABILITY
Article 35
Responsibility and liability
States Parties are liable in accordance with international law for damageor loss attributable to them in regard to this Agreement.
PART XII
REVIEW CONFERENCE
Article 36
Review conference
1. Four years after the date of entry into force of this Agreement, theSecretary-General of the United Nations shall convene a conference with a view
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 30
to assessing the effectiveness of this Agreement in securing the conservationand management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. TheSecretary-General shall invite to the conference all States Parties and thoseStates and entities which are entitled to become parties to this Agreement aswell as those intergovernmental and non-governmental organizations entitled toparticipate as observers.
2. The conference shall review and assess the adequacy of the provisions ofthis Agreement and, if necessary, propose means of strengthening the substanceand methods of implementation of those provisions in order better to address anycontinuing problems in the conservation and management of straddling fish stocksand highly migratory fish stocks.
PART XIII
FINAL PROVISIONS
Article 37
Signature
This Agreement shall be open for signature by all States and the otherentities referred to in article 1, paragraph 2(b), and shall remain open forsignature at United Nations Headquarters for twelve months from the fourth ofDecember 1995.
Article 38
Ratification
This Agreement is subject to ratification by States and the other entitiesreferred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of ratification shallbe deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 39
Accession
This Agreement shall remain open for accession by States and the otherentities referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of accessionshall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 40
Entry into force
1. This Agreement shall enter into force 30 days after the date of deposit ofthe thirtieth instrument of ratification or accession.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 31
2. For each State or entity which ratifies the Agreement or accedes theretoafter the deposit of the thirtieth instrument of ratification or accession, thisAgreement shall enter into force on the thirtieth day following the deposit ofits instrument of ratification or accession.
Article 41
Provisional application
1. This Agreement shall be applied provisionally by a State or entity whichconsents to its provisional application by so notifying the depositary inwriting. Such provisional application shall become effective from the date ofreceipt of the notification.
2. Provisional application by a State or entity shall terminate upon the entryinto force of this Agreement for that State or entity or upon notification bythat State or entity to the depositary in writing of its intention to terminateprovisional application.
Article 42
Reservations and exceptions
No reservations or exceptions may be made to this Agreement.
Article 43
Declarations and statements
Article 42 does not preclude a State or entity, when signing, ratifying oracceding to this Agreement, from making declarations or statements, howeverphrased or named, with a view, inter alia, to the harmonization of its laws andregulations with the provisions of this Agreement, provided that suchdeclarations or statements do not purport to exclude or to modify the legaleffect of the provisions of this Agreement in their application to that State orentity.
Article 44
Relation to other agreements
1. This Agreement shall not alter the rights and obligations of States Partieswhich arise from other agreements compatible with this Agreement and which donot affect the enjoyment by other States Parties of their rights or theperformance of their obligations under this Agreement.
2. Two or more States Parties may conclude agreements modifying or suspendingthe operation of provisions of this Agreement, applicable solely to the
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 32
relations between them, provided that such agreements do not relate to aprovision derogation from which is incompatible with the effective execution ofthe object and purpose of this Agreement, and provided further that suchagreements shall not affect the application of the basic principles embodiedherein, and that the provisions of such agreements do not affect the enjoymentby other States Parties of their rights or the performance of their obligationsunder this Agreement.
3. States Parties intending to conclude an agreement referred to inparagraph 2 shall notify the other States Parties through the depositary of thisAgreement of their intention to conclude the agreement and of the modificationor suspension for which it provides.
Article 45
Amendment
1. A State Party may, by written communication addressed to theSecretary-General of the United Nations, propose amendments to this Agreementand request the convening of a conference to consider such proposed amendments.The Secretary-General shall circulate such communication to all States Parties.If, within six months from the date of the circulation of the communication, notless than one half of the States Parties reply favourably to the request, theSecretary-General shall convene the conference.
2. The decision-making procedure applicable at the amendment conferenceconvened pursuant to paragraph 1 shall be the same as that applicable at theUnited Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory FishStocks, unless otherwise decided by the conference. The conference should makeevery effort to reach agreement on any amendments by way of consensus and thereshould be no voting on them until all efforts at consensus have been exhausted.
3. Once adopted, amendments to this Agreement shall be open for signature atUnited Nations Headquarters by States Parties for twelve months from the date ofadoption, unless otherwise provided in the amendment itself.
4. Articles 38, 39, 47 and 50 apply to all amendments to this Agreement.
5. Amendments to this Agreement shall enter into force for the States Partiesratifying or acceding to them on the thirtieth day following the deposit ofinstruments of ratification or accession by two thirds of the States Parties.Thereafter, for each State Party ratifying or acceding to an amendment after thedeposit of the required number of such instruments, the amendment shall enterinto force on the thirtieth day following the deposit of its instrument ofratification or accession.
6. An amendment may provide that a smaller or a larger number of ratificationsor accessions shall be required for its entry into force than are required bythis article.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 33
7. A State which becomes a Party to this Agreement after the entry into forceof amendments in accordance with paragraph 5 shall, failing an expression of adifferent intention by that State:
(a) be considered as a Party to this Agreement as so amended; and
(b) be considered as a Party to the unamended Agreement in relation to anyState Party not bound by the amendment.
Article 46
Denunciation
1. A State Party may, by written notification addressed to theSecretary-General of the United Nations, denounce this Agreement and mayindicate its reasons. Failure to indicate reasons shall not affect the validityof the denunciation. The denunciation shall take effect one year after the dateof receipt of the notification, unless the notification specifies a later date.
2. The denunciation shall not in any way affect the duty of any State Party tofulfil any obligation embodied in this Agreement to which it would be subjectunder international law independently of this Agreement.
Article 47
Participation by international organizations
1. In cases where an international organization referred to in Annex IX,article 1, of the Convention does not have competence over all the mattersgoverned by this Agreement, Annex IX to the Convention shall apply mutatismutandis to participation by such international organization in this Agreement,except that the following provisions of that Annex shall not apply:
(a) article 2, first sentence; and
(b) article 3, paragraph 1.
2. In cases where an international organization referred to in Annex IX,article 1, of the Convention has competence over all the matters governed bythis Agreement, the following provisions shall apply to participation by suchinternational organization in this Agreement:
(a) at the time of signature or accession, such international organizationshall make a declaration stating:
(i) that it has competence over all the matters governed by thisAgreement;
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 34
(ii) that, for this reason, its member States shall not become StatesParties, except in respect of their territories for which theinternational organization has no responsibility; and
(iii) that it accepts the rights and obligations of States under thisAgreement;
(b) participation of such an international organization shall in no caseconfer any rights under this Agreement on member States of the internationalorganization;
(c) in the event of a conflict between the obligations of an internationalorganization under this Agreement and its obligations under the agreementestablishing the international organization or any acts relating to it, theobligations under this Agreement shall prevail.
Article 48
Annexes
1. The Annexes form an integral part of this Agreement and, unless expresslyprovided otherwise, a reference to this Agreement or to one of its Partsincludes a reference to the Annexes relating thereto.
2. The Annexes may be revised from time to time by States Parties. Suchrevisions shall be based on scientific and technical considerations.Notwithstanding the provisions of article 45, if a revision to an Annex isadopted by consensus at a meeting of States Parties, it shall be incorporated inthis Agreement and shall take effect from the date of its adoption or from suchother date as may be specified in the revision. If a revision to an Annex isnot adopted by consensus at such a meeting, the amendment procedures set out inarticle 45 shall apply.
Article 49
Depositary
The Secretary-General of the United Nations shall be the depositary of thisAgreement and any amendments or revisions thereto.
Article 50
Authentic texts
The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of thisAgreement are equally authentic.
IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorizedthereto, have signed this Agreement.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 35
OPENED FOR SIGNATURE at New York, this fourth day of December, one thousand ninehundred and ninety-five, in a single original, in the Arabic, Chinese, English,French, Russian and Spanish languages.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 36
ANNEX I
STANDARD REQUIREMENTS FOR THE COLLECTION AND SHARING OF DATA
Article 1
General principles
1. The timely collection, compilation and analysis of data are fundamental tothe effective conservation and management of straddling fish stocks and highlymigratory fish stocks. To this end, data from fisheries for these stocks on thehigh seas and those in areas under national jurisdiction are required and shouldbe collected and compiled in such a way as to enable statistically meaningfulanalysis for the purposes of fishery resource conservation and management.These data include catch and fishing effort statistics and other fishery-relatedinformation, such as vessel-related and other data for standardizing fishingeffort. Data collected should also include information on non-target andassociated or dependent species. All data should be verified to ensureaccuracy. Confidentiality of non-aggregated data shall be maintained. Thedissemination of such data shall be subject to the terms on which they have beenprovided.
2. Assistance, including training as well as financial and technicalassistance, shall be provided to developing States in order to build capacity inthe field of conservation and management of living marine resources. Assistanceshould focus on enhancing capacity to implement data collection andverification, observer programmes, data analysis and research projectssupporting stock assessments. The fullest possible involvement of developingState scientists and managers in conservation and management of straddling fishstocks and highly migratory fish stocks should be promoted.
Article 2
Principles of data collection, compilation and exchange
The following general principles should be considered in defining theparameters for collection, compilation and exchange of data from fishingoperations for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks:
(a) States should ensure that data are collected from vessels flying theirflag on fishing activities according to the operational characteristics of eachfishing method (e.g., each individual tow for trawl, each set for long-line andpurse-seine, each school fished for pole-and-line and each day fished for troll)and in sufficient detail to facilitate effective stock assessment;
(b) States should ensure that fishery data are verified through anappropriate system;
(c) States should compile fishery-related and other supporting scientificdata and provide them in an agreed format and in a timely manner to the relevant
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 37
subregional or regional fisheries management organization or arrangement whereone exists. Otherwise, States should cooperate to exchange data either directlyor through such other cooperative mechanisms as may be agreed among them;
(d) States should agree, within the framework of subregional or regionalfisheries management organizations or arrangements, or otherwise, on thespecification of data and the format in which they are to be provided, inaccordance with this Annex and taking into account the nature of the stocks andthe fisheries for those stocks in the region. Such organizations orarrangements should request non-members or non-participants to provide dataconcerning relevant fishing activities by vessels flying their flag;
(e) such organizations or arrangements shall compile data and make themavailable in a timely manner and in an agreed format to all interested Statesunder the terms and conditions established by the organization or arrangement;and
(f) scientists of the flag State and from the relevant subregional orregional fisheries management organization or arrangement should analyse thedata separately or jointly, as appropriate.
Article 3
Basic fishery data
1. States shall collect and make available to the relevant subregional orregional fisheries management organization or arrangement the following types ofdata in sufficient detail to facilitate effective stock assessment in accordancewith agreed procedures:
(a) time series of catch and effort statistics by fishery and fleet;
(b) total catch in number, nominal weight, or both, by species (bothtarget and non-target) as is appropriate to each fishery. [Nominal weight isdefined by the Food and Agriculture Organization of the United Nations as thelive-weight equivalent of the landings];
(c) discard statistics, including estimates where necessary, reported asnumber or nominal weight by species, as is appropriate to each fishery;
(d) effort statistics appropriate to each fishing method; and
(e) fishing location, date and time fished and other statistics on fishingoperations as appropriate.
2. States shall also collect where appropriate and provide to the relevantsubregional or regional fisheries management organization or arrangementinformation to support stock assessment, including:
(a) composition of the catch according to length, weight and sex;
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 38
(b) other biological information supporting stock assessments, such asinformation on age, growth, recruitment, distribution and stock identity; and
(c) other relevant research, including surveys of abundance, biomasssurveys, hydro-acoustic surveys, research on environmental factors affectingstock abundance, and oceanographic and ecological studies.
Article 4
Vessel data and information
1. States should collect the following types of vessel-related data forstandardizing fleet composition and vessel fishing power and for convertingbetween different measures of effort in the analysis of catch and effort data:
(a) vessel identification, flag and port of registry;
(b) vessel type;
(c) vessel specifications (e.g., material of construction, date built,registered length, gross registered tonnage, power of main engines, holdcapacity and catch storage methods); and
(d) fishing gear description (e.g., types, gear specifications andquantity).
2. The flag State will collect the following information:
(a) navigation and position fixing aids;
(b) communication equipment and international radio call sign; and
(c) crew size.
Article 5
Reporting
A State shall ensure that vessels flying its flag send to its nationalfisheries administration and, where agreed, to the relevant subregional orregional fisheries management organization or arrangement, logbook data on catchand effort, including data on fishing operations on the high seas, atsufficiently frequent intervals to meet national requirements and regional andinternational obligations. Such data shall be transmitted, where necessary, byradio, telex, facsimile or satellite transmission or by other means.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 39
Article 6
Data verification
States or, as appropriate, subregional or regional fisheries managementorganizations or arrangements should establish mechanisms for verifying fisherydata, such as:
(a) position verification through vessel monitoring systems;
(b) scientific observer programmes to monitor catch, effort, catchcomposition (target and non-target) and other details of fishing operations;
(c) vessel trip, landing and transshipment reports; and
(d) port sampling.
Article 7
Data exchange
1. Data collected by flag States must be shared with other flag States andrelevant coastal States through appropriate subregional or regional fisheriesmanagement organizations or arrangements. Such organizations or arrangementsshall compile data and make them available in a timely manner and in an agreedformat to all interested States under the terms and conditions established bythe organization or arrangement, while maintaining confidentiality ofnon-aggregated data, and should, to the extent feasible, develop databasesystems which provide efficient access to data.
2. At the global level, collection and dissemination of data should beeffected through the Food and Agriculture Organization of the United Nations.Where a subregional or regional fisheries management organization or arrangementdoes not exist, that organization may also do the same at the subregional orregional level by arrangement with the States concerned.
/...
A/CONF.164/37EnglishPage 40
ANNEX II
GUIDELINES FOR THE APPLICATION OF PRECAUTIONARY REFERENCEPOINTS IN CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH
STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
1. A precautionary reference point is an estimated value derived through anagreed scientific procedure, which corresponds to the state of the resource andof the fishery, and which can be used as a guide for fisheries management.
2. Two types of precautionary reference points should be used: conservation,or limit, reference points and management, or target, reference points. Limitreference points set boundaries which are intended to constrain harvestingwithin safe biological limits within which the stocks can produce maximumsustainable yield. Target reference points are intended to meet managementobjectives.
3. Precautionary reference points should be stock-specific to account,inter alia, for the reproductive capacity, the resilience of each stock and thecharacteristics of fisheries exploiting the stock, as well as other sources ofmortality and major sources of uncertainty.
4. Management strategies shall seek to maintain or restore populations ofharvested stocks, and where necessary associated or dependent species, at levelsconsistent with previously agreed precautionary reference points. Suchreference points shall be used to trigger pre-agreed conservation and managementaction. Management strategies shall include measures which can be implementedwhen precautionary reference points are approached.
5. Fishery management strategies shall ensure that the risk of exceeding limitreference points is very low. If a stock falls below a limit reference point oris at risk of falling below such a reference point, conservation and managementaction should be initiated to facilitate stock recovery. Fishery managementstrategies shall ensure that target reference points are not exceeded onaverage.
6. When information for determining reference points for a fishery is poor orabsent, provisional reference points shall be set. Provisional reference pointsmay be established by analogy to similar and better-known stocks. In suchsituations, the fishery shall be subject to enhanced monitoring so as to enablerevision of provisional reference points as improved information becomesavailable.
7. The fishing mortality rate which generates maximum sustainable yield shouldbe regarded as a minimum standard for limit reference points. For stocks whichare not overfished, fishery management strategies shall ensure that fishingmortality does not exceed that which corresponds to maximum sustainable yield,and that the biomass does not fall below a predefined threshold. For overfishedstocks, the biomass which would produce maximum sustainable yield can serve as arebuilding target.
-----