Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

138
PUTRI MOHULINTOLI DAN PUTRI AMBALO Cerita Rakyat Gorontalo Armiati Rasyid Efendi KANTOR BAHASA GORONTALO BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2018

Transcript of Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

Page 1: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

PUTRI MOHULINTOLI DAN PUTRI AMBALO

Cerita Rakyat Gorontalo

Armiati Rasyid

Efendi

KANTOR BAHASA GORONTALO

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

2018

Page 2: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

PUTRI MOHULINTOLI DAN PUTRI AMBALO

Cerita Rakyat Gorontalo

Sampul

Wisnu Wijanarko

Penerbit

Kantor Bahasa Gorontalo

Alamat Redaksi

KANTOR BAHASA GORONTALO

Jalan Dokter Zainal Umar Sidiki,

Tunggulo, Kecamatan Tilongkabila,

Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo

Telepon/Faksimile(0435)831336

Pos-el:[email protected]

ISBN: 978-602-53283-2-9

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dengan cara dan

bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

Penyunting

Sukardi Gau dan Darmawati M.R

Penata Letak

Siti Rahmatia Ntou

Page 3: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

iii

DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................... iii

Kata Pengantar Kepala Kantor Bahasa ................... v

Putri Mohulintoli ...................................................... 1

1. Duka Nestapa Sang Putri ................................. 1

2. Wuni-Wunia Menjelma Jadi Ular ..................... 9

3. Gadis Jelita di Puncak Pohon............................ 17

4. Mohulintoli Menjadi Permaisuri ....................... 35

5. Wuni-Wunia Menjadi Raja ............................... 49

Putri Ambalo ............................................................. 57

Page 4: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

iv

Page 5: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

v

KATA PENGANTAR

KEPALA KANTOR BAHASA GORONTALO

Kearifan lokal sebuah daerah tersimpan dalam

cerita-cerita yang terserak dalam lisan sebuah masyarakat

tutur dari mulut ke mulut, dari masa ke masa. Kearifan

lokal itulah yang kemudian didata dan dikemas kembali

dalam rangkuman data dan informasi yang diterbitkan

oleh Kantor Bahasa Gorontalo. Penerbitan ini adalah

upaya untuk mempreservasi kearifan lokal tersebut agar

tetap terpelihara hingga nantinya dapat diwariskan ke

generasi penerus.

Kearifan lokal itu pula yang coba diceritakan

kembali oleh Armiati Rasyid dan Efendi. Melalui cerita

Putri Mohulintoli, Armiati mengisahkan kembali

bagaimana kasih sayang seorang kakak perempuan untuk

mengembalikan adiknya menjadi manusia setelah

berubah jadi ular. Kecerdasan Putri Mohulintoli berhasil

menyelamatkan mereka

Cerita kedua mengisahkan kearifan lokal yang

berbeda. Kali ini, dikisahkan oleh Efendi, kisah betapa

Page 6: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

vi

luasnya maaf yang bisa dimiliki oleh hati manusia. Kisah

Nou yang telah dibuang oleh orang tuanya karena

penyakit kulit yang ia derita sangat menyentuh. Meskipun

dibuang, Nou tetap bisa memaafkan kedua orang tuanya

bahkan menyelamatkan mereka dari hukuman.

Buku ini lahir sebagai upaya Kantor Bahasa

Gorontalo menanamkan pendidikan karakter pada

masyarakat, terutama anak-anak sekaligus turut

menyukseskan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang

telah dicanangkan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia. Semoga buku ini dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan daya literasi

masyarakat Gorontalo.

Kepala Kantor Bahasa Gorontalo

Dr. Sukardi Gau, M. Hum.

Page 7: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

1

PUTRI MOHULINTOLI Armiati Rasyid

1. Duka Nestapa Sang Putri

Pada sebuah dusun di Batudaa, di Negeri

Mohulintoli lahir dari sebuah pasangan yang

sangat bahagia. Ayahnya seorang yang terpandang dan

terhormat di Negeri Batudaa. Ibunya pun seorang wanita

yang cantik jelita, sehingga tidak mengherankan jika

Mohulintoli memiliki paras yang cantik jelita pula.

Mereka tinggal di bele daa „sebuah rumah

panggung yang besar dan asri‟.

Kebahagiaan keluarga Mohulintoli semakin

lengkap setelah kelahiran adiknya, Wuni-Wunia. Ayah

Hulontalo, hiduplah seorang putri yang cantik jelita. Ia

bernama Mohulintoli. Wajahnya bersih, kulitnya kuning

langsat, mata yang selalu berbinar penuh semangat,

menandakan dia bukan gadis biasa. Selain wajahnya

yang cantik nan rupawan, gadis tersebut memiliki budi

pekerti yang luhur. Dia sangat menyayangi adik semata

wayangnya, Wuni-Wunia. Ia juga selalu menghormati

keluarga ibu dan bapaknya.

Page 8: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

2

dan ibu Mohulintoli sangat bersyukur karena telah

dikaruniai sepasang anak yang cantik dan tampan. Akan

tetapi, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama.

Ayah Mohulintoli jatuh sakit.

Hari demi hari, kondisi ayah Mohulintoli

semakin memburuk. Penyakitnya semakin parah. Para

tabib pun sudah angkat tangan dan tidak mampu

menyembuhkan penyakitnya. Ibu Mohulintoli tidak bisa

berbuat banyak. Mohulintoli kecil pun sangat sedih

sekali karena tidak bisa bermain dan bermanja-manja

kepada ayahnya seperti dulu lagi. Hingga suatu saat,

ayah Mohulintoli memanggil istrinya, ibu Mohulintoli.

“Bu, kemarilah mendekat bawa Mohulintoli dan

Wunia,” terdengar suara ayah Mohulintoli yang semakin

melemah.

“Ya, Pak. Kami sudah di dekat, Bapak.”

“Maafkan bapak, Bu. Bapak sudah tidak kuat

lagi. Sepertinya waktu bapak tidak lama lagi.”Ayah

Mohulintoli dengan raut wajah sedih dan menahan rasa

sakit berusaha bicara pada keluarganya.

“Bapak harus kuat dan semangat. Bapak harus

sembuh!” Sambil menahan rasa sedih dan pilu, ibu

Page 9: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

3

Mohilontoli terus menyemangati suaminya, “Mohulintoli

dan Wunia masih sangat membutuhkan Bapak. Jadi,

Bapak harus kuat dan bertahan.”

Ayah Mohulintoli mengumpulkan sisa- sisa

napasnya, lalu menoleh ke putrinya. Dia membelai

wajah putrinya dengan kasih sayang sambil

berkata,“Putriku, Mohulintoli.”

“Ya, Ayah. Ayah harus sembuh ya.” Mohulintoli

menciumi tangan ayahnya.

“Nak. Maafkan ayah. Jangan nakal ya, Nak.

Hormati ibumu dan sayangi Wunia, adikmu.” Suara ayah

Mohulintoli semakin kecil dan tersengal-sengal.

Setelah itu, tangan ayah Mohulintoli terlepas dari

genggaman putrinya. Mohulintuli kaget dan berteriak.

“Ayah, Ayah!” Mohulintoli mengguncang tubuh

ayahnya.“Ayah kenapa, Bu? Kenapa ayah diam dan

tidak bicara, Bu?” pekik Mohulintoli.

Ibu Mohulintoli memeriksa tangan dan hidung

suaminya. Dia tidak merasakan lagi hembusan napas

suaminya. Kemudian dia memeriksa nadi suaminya di

bagian leher. Dia pun tetap tidak merasakan denyut nadi

suaminya. Dengan rasa sedih dan pilu ibu Mohulintoli

Page 10: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

4

memeluk kedua anaknya, dan menyampaikan bahwa

ayah mereka telah tiada.

“Mohulintoli, Puteriku dan Wunia, Puteraku.

Kalian harus sabar dan ikhlas ya, Nak. Ayah kalian telah

meninggalkan kita.”

Dengan wajah polos Mohulintoli bertanya.

“Ayah kemana, Bu?”

“Eya telah memanggil ayah kalian, Nak. Jadi,

ayah menghadap pada-Nya.”Ibu Mohulintoli dengan

suara sesak berusaha menenangkan dan membujuk

kedua anaknya.

“Apakah ayah akan kembali lagi ke kita, Bu?”

“Nak, ayahmu pergi untuk selamanya. Dia tidak

akan kembali lagi.”

Mohulintoni pun tunduk dan memeluk ayahnya.

Wuni-Wunia hanya diam dan bingung melihat ibu dan

kakaknya yang mulai menangisi kepergian ayahnya. Ibu

Mohulintoli tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.

Ia menangis dan meratap. Ia sangat sedih karena kedua

anaknya masih kecil dan membutuhkan ayahnya untuk

melewati masa-masa sulit dalam kehidupannya.

Mohulintoli pun ikut menangis.

Page 11: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

5

Ketika itu, Mohulintoli berusia tujuh tahun dan

adiknya, Wuni-Wunia berusia dua tahun. Usia yang

sangat belia untuk menjadi anak yatim.

Setelah ayahnya meninggal, Mohulintoli tinggal

bersama ibu dan adiknya di Bele Daa. Sebagai anak

pertama, Mohulintoli tumbuh menjadi gadis yang

mandiri. Sejak kecil dia diajari menenun oleh ibunya.

Setiap hari ia membantu ibunya menenun kain.

Meskipun jari-jemarinya masih kecil, dia sangat lincah

mengambil sabut kering untuk dipakai untuk membasahi

benang yg sedang ditenun. Dia pun sudah pintar

menyelipkan benang di antara alat-alat tenun.

Seiring dengan berjalannya waktu, Mohulintoli

tumbuh menjadi gadis remaja. Di usia empat belas tahun

tahun, tanpa dia sangka dan dia duga, ibunyatercinta pun

menyusul ayahnya menghadap Eya. Mohulintoli kembali

bersedih dan bermuram durja. Dia menjadi yatim piatu.

Ibunya yang selama ini menjadi sandaran hidupnya, juga

telah pergi untuk selamanya. Seakan kehilangan

pegangan hidup, Molihuntoli hampir putus asa. Kini dia

hanya tinggal bersama adiknya Wuni-Wunia yang sangat

dicintainya, yang baru berusia sembilan tahun.

Page 12: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

6

Ketika itu, ibu Mohulintoli sedang menenun dan

tiba-tiba kepalanya pening dan penglihatannya berputar.

Dia menghentikan pekerjaannya. Sambil merintih

kesakitan, dia memanggil Mohulintoli yang berada di

depan rumah.

“Mohulintoli, tolong ibu, Nak. Kepala ibu sakit

sekali.”

Sayup-sayup terdengar suara rintihan di telinga

Mohulintoli. “Sepertinya itu suara ibu memanggilku.Ada

apa ya ibu memanggilku?” Mohulintoli segera berlari ke

dalam rumah. Ia mendapati ibunya mengerang kesakitan

sambil memijit kepalanya. Ia sangat mencemaskan

keadaan ibunya.

“Ibu! Ibu kenapa?”

“Nak, Mohulinto...!” seketika itu ibu Mohulintali

tak sadarkan diri.

“Wunia! Wunia! Kamu di mana? Ibu, Wunia!

Tolong ibu, Dik!”

Wuni-Wunia datang menghampiri kakak dan

ibunya dan bertanya pada Mohulintoli.

“Kak, ibu kenapa?

Page 13: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

7

“Tidak tahu, Dik. Tiba-tiba ibu memanggil kakak

dan tidak lama setelah kakak datang, ibu tak sadarkan

diri.

“Bu, bangun. Ibu kenapa?” Mohulintoli dan

Wuni-Wunia secara bersamaan memanggil nama ibu

mereka sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Sambil menangis terisak-isak Mohulintoli berusaha

menyadarkan ibunya.

“Ibu, bangun. Jangan tinggalkan kami! Jangan

tinggalkan Mohulintoli dan Wunia, Bu.”

Tiba-tiba, mata ibu Mohulintoli terbuka dan

menggerakkan tangannya lalu meraih tangan kedua

anaknya seraya berkata,

“Anakku Mohulintoli dan Wuni-Wunia. Kini

tiba saatnya ibu akan menyusul ayah kalian. Kalian harus

saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.

Maafkan ibu, Nak.” ibu Mohulintoli menatap wajah

kedua anaknya kemudian dia menutup mata dengan

meneteskan air mata kesedihan untuk yang terakhir

kalinya.

Air mata Mohulintoli dan adiknya pun

bercucuran melepas kepergian ibu mereka. Perih hati

Page 14: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

8

Mohulintuli menatap wajah ibunya. Untung tak dapat

diraih, malang tak dapat ditolak. Dia dan adiknya tak

punya siapa-siapa lagi, kini mereka menjadi anak yatim

piatu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Page 15: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

9

2. Wuni-Wunia Menjelma Jadi Ular

Mohulintoli beranjak remaja. Parasnya semakin

cantik, hatinya lembut, sopan, dan semakin bertanggung

jawab. Perhatian dan kasih sayangnya pada Wuni-Wunia

melebihi dari apa pun. Mohulintoli selalu berusaha

memenuhi kebutuhan adiknya tanpa bergantung pada

keluarganya yang lain.

Pagi itu, ketika fajar menyingsing, burung-

burung mulai memberikan makan anaknya, ayam jantan

pun berkokok, Mohulintoli mulai membenahi rumahnya

yang besar dan asri. Rumah itu, satu-satunya harta

peninggalan orang tuanya yang ia miliki. Mohulintoli

sangat cekatan menata barang-barang peninggalan orang

tuanya sehingga rumahnya selalu tampak tertata rapi dan

bersih. Setelah selesai membersihkan rumahnya,

Mohulintoli kembali berbenah untuk menenun.

Layaknya gadis-gadis Batudaa lainya,

Mohulintoli kembali menekuni pekerjaan menenun

seperti ketika ibunya masih hidup. Pada awalnya, ia

menenun kain buat dirinya sendiri. Setelah semakin

mahir, ia pun menenun buat adiknya yang juga mulai

beranjak remaja. Pada suatu hari, Mohulintuli menenun

Page 16: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

10

kain buat bibinya, Maputi dan sepupunya, Te Talenga,

yang selalu datang ke rumahnya dan melindunginya

sejak orang tuanya meninggal. Setelah selesai, kain

tenunan itu dia berikan kepada bibinya.

“Kain ini buat Bibi.”

“Wah, bagus sekali. Terima kasih, Nak. Beli di

mana? Bibi baru melihat kain tenun yang rapi dan halus

seperti ini.”

“Saya tidak beli, Bi. Itu hasil tenunan saya.”

“Nak, Bibi tidak menyangka kamu bisa menenun

sebagus itu. Bibi bangga padamu, Mohulintoli.”

“Yang ini buat Te Talenga.”

“Terima kasih Kak. Talenga senang sekali.”

“Sama-sama, Dik. Syukurlah kalau Maputi dan

Talenga menyukai hasil tenunan saya.”

Mohulintoli sangat puas melihat sinar

kegembiraan yang ditampakkan oleh bibi dan

sepupunya. Dia pun semakin bersemangat menenun.

Apalagi ketika ia tahu kain pemberiannya itu dijadikan

baju dan sering dipakai oleh bibi dan sepupunya. Setiap

kali memakai baju hasil tenunan Mohulintoli, Talenga

sering mendapatkan pujian dari teman-temannya.

Page 17: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

11

“Talenga, kain bajumu bagus sekali. Beli di mana

kainnya?”

“Iya, kain ini memang bagus. Tenunannya rapi.

Itu hasil tenunan saudara sepupuku, Mohulintoli.”

“Wah, Mohulintoli hebat ya.”

Nama dan kerapian hasil tenunan Mohulintoli

semakin dikenal di seluruh kampung, sehingga banyak

orang yang meminta Mohulintoli menenun buat mereka.

Hari berganti hari, musim pun berganti.

Mohulintoli dan Wuni-Wunia beranjak dewasa.

Mohulintoli menjadi wanita cantik jelita nan rupawan.

Wuni-Wunia pun menjadi pria tampan, gagah, lagi

perkasa. Suatu hari, terbersit dalam hati Mohulintoli

untuk membuatkan ikat pinggang emas buat Wuni-

Wunia. Dia sangat berharap Wunia memakai ikat

pinggang itu menari Saronde di hari pernikahannya.

Keesokan harinya, Mohulintoli mulai menenun ikat

pinggang emas itu. Sementara itu, si tampan Wuni-

Wunia selalu meninggalkan kakaknya untuk memenuhi

undangan teman-temannya.

Silih berganti pemuda-pemudi datang ke Bele

Daa mengundang Mohulintoli dan Wuni-Wunia

Page 18: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

12

bertandan ke rumah mereka. Karena ingin tenunannya

cepat selesai, Mohulintoli jarang menemani Wuni-Wunia

menghadiri undangan tersebut. Undangan para pemudi

itu dianggap biasa saja oleh Wuni-Wunia. Tidak lebih

sebagai undangan teman-teman saja. Akan tetapi, sikap

Wuni-Wunia itu sendiri akhirnya mencelakai dirinya

sendiri.

Suatu sore, seorang gadis mengundang Wuni-

Wunia bertandan ke rumahnya. Dengan sikap ramah

yang dibuat-buat, ia menyuguhkan makanan dan

minuman beserta daging buat Wuni-Wunia. Gadis itu

tahu betul Wuni-Wunia sangat menyukai daging.

“Wuni-Wunia, silakan minum dan makan!”

“Terima kasih. Saya disuguhi makanan yang

enak sekali.”

“Saya yang berterima kasih karena Wuni-Wunia

mau memenuhi undangan saya. Saya sangat bahagia.”

Wuni-Wunia pun makan dengan lahapnya tanpa

menyisakan sedikit pun makanan dan minumannya.

Setelah makan, dia pun merasakan sesuatu yang aneh

pada dirinya. Dia merasa seperti ingin merayap di lantai

dan meliuk-liukkan badannya, tapi tidak mengatakan itu

Page 19: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

13

pada gadis yang mengundangnya. Akhirnya Wuni-

Wunia segera pamit pulang. Gadis itu pun merasa puas

sekali karena berhasil membalas dendam pada Wuni-

Wunia dengan menyuguhkan daging ular karena yang

tidak membalas perhatian dan kasih sayangnya. Wuni-

Wunia lalu menemui kakaknya yang sedang menenun di

rumah.

“Mohulintoli, kenapa perasaanku aneh sekali?”

“Ada apa denganmu, Wunia?”

“Seakan-akan aku ingin merayap di lantai sambil

meliuk-liukkan badanku. Lidahku juga seakan ingin

terjulur keluar.”

“Kenapa bisa begitu Wunia? Apa yang telah

kamu lakukan, Dik?”

“Tadi Wunia dari rumah seorang gadis dan

disuguhi makanan dan daging. Wunia makan dengan

lahap daging itu karena Wunia sangat suka.”

“Kamu tahu itu daging apa?”

“Tidak. Aduh Mohulintoli! Sepertinya aku akan

berubah menjadi seekor ular.”

“Wunia! Jangan-jangan daging yang kamu

makan tadi betul daging ular?”

Page 20: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

14

“Entahlah! Kenapa jika betul daging ular, Kak?”

“Wunia, waktu kecil dulu ayah sering cerita

bahwa keluarga kita tidak boleh makan daging ular

karena nenek moyang kita memiliki perjanjian dengan

bangsa ular. Jika salah seorang anak cucu turunan

keluarga kita memakan daging ular, dia akan berubah

wujud menjadi ular. Nah, mungkin Wunialah yang

merasakan karma itu.”

“Kak. Wunia takut itu terjadi!”

Dengan berurai air mata, Mohulintuli merangkul

adiknya sambil berteriak histeris, “Mengapa derita kita

tidak berakhir? Mengapa derita ini menimpa kita?”.

Tiba-tiba Mohulintoli mendengar suara bisikan halus,

“Mohulintoli, setiap celaka, ada gunanya. Bersabarlah,

dan teruskan pekerjaanmu!”

Suara itu pun menghilang. Mohulintoli

melanjutkan pekerjaannya membuat ikan pinggang

emas. Ia ingin ikat pinggang emas itu segera dililitkan ke

pinggang adiknya sebelum berubah menjadi ular agar

kelak ketika Wunia berubah wujud menjadi ular dia

mengenalinya. Wunia pun mondar-mandir di dekat

Mohulintoli tapi tak sedetik pun di perhatikan oleh

Page 21: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

15

kakaknya. Wunia hanya mendengar kakaknya bergumam

seolah menyampaikan pesan.

Nantikan aku, nantikan,

Nantikan di hulunya,

Nantikan di datarannya

Selang beberapa saat. Mohulintoli berteriak

kegirangan karena ikat pinggang buatannya telah selesai

dan akan diberikan pada adiknya.

“Wunia, kemarilah Dik!”

Wunia pun mendekati kakaknya, tetapi alangkah

kaget dan sedihnya Mohulintoli. Wunia telah berwujud

menjadi seekor ular. Wunia tidak tega melihat kakaknya

sedih. Dia pun pergi meninggalkan kakaknya sendiri.

Melihat adiknya pergi, Mohulintoli kembali histeris dan

berteriak.

Wuni-Wuni adikku,

Aku tunggu, tunggu

Tunggu aku di hulunya

Tunggu aku di datarannya.

Mohulintoli berlari mengejar adiknya yang telah

merayap perlahan. Ketika Wunia-Wunia akan terjun ke

sungai, dengan sigap, cermat, dan tepat, Mohulintoli

melilitkan ikat pinggang emas itu. Mohulintoli berdiri

Page 22: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

16

sambil mengangkangi ekor Wuni-Wunia untuk mengikat

dengan erat ikat pinggang emas itu. Secepat kilat pun

Wuni-Wunia mengebaskan ekornya hingga Mohulintoli

tercampak ke atas puncak pohon di tepi sungai itu.

Dari puncak pohon, Mohulintoli menyaksikan

adiknya merayap ke daratan menuju sebuah liang yang

besar. Wuni-Wunia telah disambut oleh ular-ular besar

dan kecil di liang itu. Dengan ikat pinggang emas itu,

Mohulintoli pun dapat mengenal adiknya.

Rasa sepi dan sedih mulai merambah ke hati

Mohulintoli. Hatinya pun semakin sedih memikirkan

adiknya yang berubah wujud menjadi ular, sedih karena

ia tidak bisa turun dari pohon untuk kembali ke

rumahnya. Hari semakin gelap, senja mulai datang dan

malam pun tiba.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Page 23: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

17

3. Gadis Jelita di Puncak Pohon

Malam semakin kelam, bintang dan bulan tak

menampakkan cahayanya, suasana hutan pun semakin

sunyi. Sesekali terdengar suara jangkrik bersahutan

bergantian dengan suara burung hantu. Mohulintoli tidak

dapat memejamkan matanya. Dia berusaha melawan

hawa dingin angin malam. Untungnya tangkai pohon

yang diduduki bisa menahan dan melindungi tubuhnya

dari rasa dingin yang semakin menusuk-nusuk kulit

halusnya. Hawa dingin itu semakin merisaukan dirinya,

pikirannya selalu tertuju pada adiknya yang telah jauh

darinya, sampai dia terbawa mimpi bertemu dengan

adiknya.

“Aduhai Wunia, adikku sayang. Pasti kamu

kedinginan juga di luar sana. Kakak sangat

mengkhawatirkan kamu, Dik!”.

“Mohulintoli, kakakku. Bersabarlah. Aku tak

dapat menolak takdirku menjadi seekor ular. Di sini

banyak teman-temanku yang menjaga aku. Tidak usah

mengkhawatirkanku. Pulanglah ke rumah.”

“Tapi Wunia, kakak tidak bisa meninggalkanmu

di sini.”

Page 24: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

18

“Tidak apa-apa, Kak. Semoga Eya menolong dan

menjaga kita, Kak.”

Tiba-tiba Wunia menghilang dari hadapan

Mohulintoli. Mohulintoli berusaha memanggil adiknya

kembali.

“Wuni-Wunia! Wunia! Kembalilah pada kakak.

Kakak masih ingin berbincang denganmu, Dik.”

Mohulintoli berusaha mengejar adiknya tapi ia

kehilangan jejak. Akhirnya Mohulintoli menangis sedih

lalu terbangun dari mimpinya.

Pada waktu yang sama di tempat yang berbeda,

ketika menjelang senja, Istana Limboto sangat ramai.

Baginda Raja Walungo, Raja Limboto, mengundang

para pemuda dan pemburu pada jamuan makan malam.

Baginda sangat senang bergaul dengan mereka karena

raja sendiri masih muda dan belum menikah. Para bate

sudah lama menunggu titah untuk dicarikan pendamping

hidup, tetapi Baginda Raja Walungo belum pernah

menitahkannya.

Sore itu, tanpa sengaja salah seorang sahabat

Baginda Walungo berkelakar secara halus.

Page 25: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

19

“Duhai,Baginda Raja. Alangkah semaraknya

sangkar ini bila lengkap penghuninya.”

“Eya pasti akan menurunkan burung yang

disenangi rakyat kepada rajanya.”

Para pemuda dan pemburu itu sangat senang

mendengar jawaban sang raja yang tampak gembira dan

bersemangat. Pada saat makan malam, tiba-tiba sang raja

berkata

“Alangkah enaknya bila makanan ini dilengkapi

dengan daging rusa.”

“Baginda, besok pagi kami semua ke hutan

berburu.” Serentak para pemuda dan pemburu menjawab

mendengar sindiran raja.

“Baiklah, kalau begitu, kalian harus berpencar.

Ada yang ke timur, ada yang ke barat. Sebagian ke utara,

dan sebagian lainnya ke selatan.”

“Daulat, Tuan Baginda Raja.”

Malam semakin larut. Satu per satu pemuda dan

pemburu berdatang sembah dan memohon diri kembali

rumah masing-masing.

Keesokan harinya ketika fajar menyingsing, para

pemuda dan pemburu berkumpul. Mereka sudah siap

Page 26: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

20

dengan tombak, kelewang, dan sumpit. Sebelum

meninggalkan kampung, mereka membagi diri dalam

empat kelompok lalu berpencar sesuai dengan titah raja.

Para kelompok pemburu pun bergerak menuju hutan.

Di tengah hutan, mentari mulai menampakkan

sinarnya. Di sela-sela dedaunan pohon tinggi dan

rindang, tampak bayangan sinar mentari seakan

menembus setiap daun yang dilaluinya. Meskipun

matahari sudah bersinar, hutan masih terasa sangat sejuk.

Binatang-binatang hutan pun asyik menikmati pagi hari.

Burung-burung beterbangan dari ranting ke ranting

pohon sambil bersiul gembira. Monyet-monyet

bergelantungan lalu berlari di atas dahan. Rusa dan anoa

dengan lincah melompat kegirangan ke kiri dan ke sana

ketika mendapat makanan yang mereka cari. Tiba-tiba

suasana hutan berubah ketika burung-burung

memberikan tanda bahwa bahaya sedang mengancam

penghuni hutan.

“Cuit...cuit...cuit...cuit...cuit...cuit.”

“Kaok... kaok... kaok...kaok...kaok.”

Pekikan suara burung yang bersahutan itu

mendengar tanda-tanda alam bagi seluruh penghuni

Page 27: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

21

hutan bahwa nyawa mereka terancam. Spontan seluruh

binatang berusaha menyelamatkan diri. Burung-burung

yang tadinya bermain dan bersiul di ranting pohon,

semuanya membisu dan bersembunyi di balik dedaunan.

Babi butan dan rusa lari mencari tempat yang aman.

Sekelompok monyet yang bergelantungan di pohon juga

tak nampak lagi. Dalam sekejap hutan menjadi dan

lengang. Suara binatang kecil pun tidak kedengaran.

Seakan mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka

menampakkan diri.

Para pemburu pun memasuki hutan. Mereka

heran mengapa hutan sangat sepi. Tak seekor binatang

pun yang tampak. Mereka pun mengatur strategi

pemburuan. Pemimpin pemburu menyuruh anggotanya

berjalan pelan-pelan sambil mengendap-ngendap dan

mengintai binatang buruan mereka.

“Siiit!” pemimpin pemburu meletakkan

telunjuknya di bibir lalu mengarahkan para pemburu

untuk mengintai binatang buruan. Mereka berusaha

menemukan binatang buruan agar Raja Walungo tidak

kecewa. Akhirnya, mereka menemukan persembunyian

Page 28: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

22

binatang-binatang tersebut. Para pemburu itu pun berlari

dan mengejar binatang buruan sambil berteriak-teriak.

“Nah, itu rusa. Ayo kejar!”

“Kejar! Awas! Dia lari ke sana.”

“Itu anoa! Kejar! Kejar!”

Hutan pun menjadi ramai dengan suara hiruk

pikuk dari segala penjuru, binatang-binatang di hutan

berusaha menyelamatkan diri. Pada akhirnya mereka

berhasil memperoleh seekor rusa dan anoa.

Matahari mulai condong ke barat. Para pemburu

pun pulang ke kampung. Di tengah perjalanan, secara

kebetulan mereka melintasi sungai tempat si ular Wuni-

Wunia menyeberang. Air sungai itu sangat bening,

sebening kaca, sehingga bayangan kecil pun tampak

dalam air. Sejenak mereka berhenti beristirahat di tepi

sungai itu.

Salah seorang pemburu pun mengambil air di

sungai. Pada saat akan mengambil air, secara tak sengaja

ia melihat seorang puteri jelita sedang duduk di puncak

sebatang kayu dalam air. Ia kaget dan sontak berteriak ke

pemburu lainnya.

“Hei! Ada seorang gadis di lubuk sana!”

Page 29: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

23

“Ah! Tidak mungkin!”

“Kalau kalian tidak percaya, kemarilah! Lihat

sendiri!”

Serentak para pemburu mendekat dan melihat

dengan jelas bahwa benar ada puteri cantik yang sedang

duduk di atas puncak pohon di lubuk. Salah seorang

pemburu memperhatikan tanda-tanda alami yang

dinampakkan sang puteri. Lalu ia berkata kepada

pemimpin pemburu.

“Tuan, menurut saya, puteri itu memperlihatkan

tanda baik dan bahagia.”

“Apa yang nampak padanya?”

“Tuan, puteri itu sedang menghadap ke Timur

Laut sementara berusaha memetik buah yang tidak bisa

dia jangkau. Itu sebuah pertanda baik. Andaikan dia

duduk termenung dengan rambut terurai, itu pertanda

buruk.”

“Baiklah, jika demikian, mari kita cari puteri itu.

Lalu kita persembahkan kepada Baginda Raja Walungo.”

Satu per satu para pemburu itu menyelam untuk

mencari sang puteri jelita. Mereka berusaha menemukan

Page 30: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

24

puteri itu, tetapi tak seorang pun menemukannya.

Akhirnya, mereka pun kembali ke permukaan sungai.

Matahari semakin condong ke barat. Sinar

lembayung senja semakin memenuhi kaki langit.

Pemimpin pemburu pun memerintahkan semua

anggotanya mengangkat hasil buruan dan melanjutkan

perjalanan pulang ke kampung. Terbersit dalam pikiran

sang pemimpin pemburu bahwa berita tentang gadis itu

harus disampaikan kepada raja. Lalu dia diskusikan

kepada anggotanya.

“Tuan-tuan, berita ini harus segera kita

sampaikan kepada raja.”

“Ya, barangkali gadis itulah pemberian Eya yang

dimaksud oleh raja kemarin malam di istana,” sahut

pemburu yang mampu melihat tanda baik gadis itu.

Cahaya merah kekuningan telah menghilang.

Perlahan cahaya remang terang bulan mulai menerangi

langkah para pemburu. Tidak lama kemudian, mererka

tealh sampai di Istana Limboto. Pemimpin pemburu pun

menyampaikan penyesalannya karena hasil buruan

mereka sangat sedikit.

Page 31: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

25

“Ampun, Baginda. Maafkan kami karena kami

tidak membawa hasil buruan yang banyak!”

“Tidak apa-apa. Yang penting kalian semua

pulang dengan selamat.”

“Ada satu berita penting lagi, Baginda.”

“Aada apa gerangan?”

“Dalam perjalanan pulang, kami singgah

beristrahat di tepi sungai. Tanpa sengaja salah seorang

dari kami melihat seorang puteri cantik jelita di lubuk.

Dia duduk di atas di puncak pohon. Dia menghadap ke

Timur Laut sambil berusaha memetik buah yang jauh

dari jangkauannya.”

“Lalu?”

“Kami sepakat untuk mencari puteri itu dan

membawanya pulang.”

“Di mana puteri itu sekarang?”

“Ampun, Yang Mulia. Setelah menyelam, kami

tak menemukan puteri itu. Akhirnya kami kembali ke

permukaan dan puteri itu masih tampak di lubuk. Karena

hari sudah mulai malam, kami memutuskan pulang ke

istana, untuk melaporkan hal ini kepada Baginda.”

Page 32: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

26

Raja Walungo tersentak dari tempat duduknya

ketika mendengar berita tentang puteri jelita itu. Baginda

Raja Walungo seakan-akan tidak percaya dengan berita

tersebut. Beliau ragu dan bimbang. Terbersit tanya dalam

hatinya, “Apakah benar puteri jelita itu di atas pohon dan

sendirian di tengah hutan?” Lalu, Raja Walungo

menjawab sendiri pertanyaannya, “Tidak ada yang tidak

mungkin.” Saat itu pula Baginda Raja Walungo bertitah.

“Pengawal! Siapkan segala sesuatunya. Besok

menjelang fajar kita ke hutan bersama-sama.”

“Daulat, Tuanku Yang Mulia.”

Keesokan harinya, ketika fajar menyingsing dan

cahaya kekuningan mulai tampak di ufuk timur, para

pemburu kembali berkumpul di istana. Tiba-tiba muncul

seorang ibu hamil melintas di depan istana dan salah

seorang pemburu langsung bersin. Raja Walungo pun

segera bertitah.

“Ini pertanda baik. Ayo kita berangkat.”

Dengan wajah berseri dan bersemangat

rombongan raja menuju ke tepi sungai tempat puteri

ditemukan. Ketika melihat sungai itu Raja Walungo pun

bergumam.

Page 33: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

27

“Air sungai ini benar-benar jernih dan bening. Di

manakah gerangan puteri jelita yang mereka ceritakan

semalam?”

Raja pun mendekati tepian sungai dan beliau

menyaksikan sendiri bayangan puteri jelita di atas

puncak pohon di dalam air. Raja pun menyuruh

rombongannya untuk menyelam mencari puteri itu.

“Temukan puteri itu. Bawalah ke hadapanku

sekarang!”

Dimulailah penyelaman ke dasar sungai untuk

mencari puncak pohon yang tampak di permukaan

sungai, namun tak seorang pun menemukan pohon dan

puteri jelita itu. Raja Walungo semakin penasaran dan

tanpa pikir panjang mahkotanya ditanggalkan lalu

menuju tepi sungai. Bayangan wajah sang puteri jelita

semakin tampak jelas di dalam air.

“Kasihan puteri itu. Aku harus menolongnya dan

membawanya pulang ke istana.”

Raja pun meloncat ke sungai dan menyelam

sampai ke dasarnya. Namun, usahanya sia-sia belaka.

Raja tak menemukan sang puteri. Raja tetap bersemangat

menyelam meskipun tenaganya sudah mulai menurun

Page 34: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

28

dan perutnya minta diisi. Samar-samar terdengar suara

dari atas permukaan sungai.

“Telentang-telentang, miring selam, miring-

miring.”

Sejenak raja muncul ke permukaan dan melihat

siapa yang berbicara. Rupanya tidak ada orang di sekitar

sungai karena semua rombongannya sedang menyelam.

Yang ada hanya seekor katak betina. Raja pu

melanjutkan mencari sang puteri. Si kodok betina

bersuara lagi.

“Telentang-telentang, selam miring-miring,

miring-miring selam,”

Raja merasa bahwa katak tersebut mengarahkan

gaya selamnya. Raja seolah-seolah memperoleh

kekuatan baru lalu mengikuti arahan katak tersebut, lalu

menyelam dengan gaya telentang dan miring-miring.

Berulang kali dicobanya gaya tersebut, tetapi raja tak jua

menemukan sang puteri. Raja pun kehabisan tenaga dan

berusaha kembali ke tepi sungai. Raja semakin iba pada

puteri itu karena tidak berhasil ditolongnya. Raja mulai

berbicara pada dirinya sendiri.

Page 35: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

29

“Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan

puteri itu. Kasihan dia. Dia membutuhkan

pertolonganku. Aku harus menyelamatkan nyawanya.”

Ketika raja sedang berbicara sendiri, seekor katak

jantan di dalam air juga bergumam seolah menyambung

kata-kata katak betina tadi.

“Miring-miring, telentang-telentang

selam miring-miring,

selam telentang-telentang.”

Suara katak itu bagaikan kilat menyentuh hati

Raja Walungo. Raja seakan meyakini bahwa itu bukan

suara katak, melainkan Eya memberikannya tanda. Tiba-

tiba sebuah kekuatan gaib menyusup ke dalam tubuhnya

dan membuatnya bergerak dengan cepat untuk

menyelam lagi.

Baginda Raja pun melemparkan dirinya ke

sungai dalam keadaan telentang lalu miring kemudian

telentang lagi di air. Secara tidak sengaja raja

menghadap ke atas. Sungguh tak diduga apa yang raja

lihat di atas ketinggian sana, seorang puteri jelita sedang

duduk di atas puncak pohon di tepi sungai. Raja pun

Page 36: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

30

menertawakan dirinya sendiri, dengan napas terengah-

engah. Ia berhasil menangkan diri.

“Hampir mati aku menyelam mencarimu.

Padahal Engkau duduk manis di atas sana.”

Segera raja membalikkan badan dan berenang ke

tepian seraya memanggil rombongannya kembali ke

darat.

“Kalian semua, naiklah kalian ke darat.”

Seluruh anggota rombongan pun berkumpul dan

heran melihat tingkah laku raja mereka. Mereka sangat

kasihan pada raja yang telah bersusah payah mencari

sang puteri jelita namun tiada hasil.

“Lihatlah ke atas pohon itu. Pandang baik-baik!”

“Ada apa gerangan di atas pohon sana, Yang

Mulia?”

“Perhatikan puncak pohon besar itu!”

Seluruh mata terpaku memandang dan melihat ke

arah pohon besar itu. Di sana, tampak seorang puteri

jelita yang menyamping menghadap Timur Laut sambil

memetik buah seperti bayangan di sungai. Tiba-tiba

salah seorang pemburu bersuara.

Page 37: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

31

“Rupanya Eya telah mempertemukan Baginda

dengan sang puteri jelita!”

“Betul! Hanya dengan kesabaran, ketekunan, dan

kepasrahan, yang baik itu dapat diperoleh,” sambung

pemburu lainnya.

“Ayo, turunkanlah puteri itu untukku!” Teriak

raja kepada semua anggota rombongan.

Semua anggota rombongan mulai berpikir

bagaimana cara menurunkan sang puteri dari atas puncak

pohon. Akhirnya, mereka menemukan cara yang tepat.

Mereka harus membuat tangga dengan berdiri sambung

menyambung hingga bisa mencapai tempat sang puteri.

Orang yang berdiri paling atas pun berusaha membujuk

sang puteri agar mau turun ke tanah.

“Wahai Tuan Puteri! Siapakah gerangan dirimu?”

“Hamba Mohulintoli.”

“Apa yang engkau lakukan di atas sini?”

“Hamba sedang menanti adik hamba dan

mengawasinya dari jauh.”

“Apa gerangan yang terjadi?”

“Adik hamba, Wuni-Wunia, sedang dalam

bahaya. Dia berubah wujud menjadi ular karena ulah

Page 38: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

32

seorang yang tidak menyukainya. Ketika hamba

melilitkan ikat pinggang emas di tubuhnya, tanpa

sengaja adik hamba menendangku dengan ekornya

hingga hamba terpental jauh naik ke puncak pohon ini,

dan hamba takut turun sendiri. Akhirnya hamba

memutuskan untuk tetap di atas puncak pohon ini sambil

mengawasi adik hamba.”

“Sungguh malang nasibmu! Di sini sangat

bahaya. Kami akan menolongmu. Baginda Raja

Walunga memerintahkan kami untuk menolongmu,

Puteri Mohulintoli. Ikutlah dengan kami turun ke

bawah.”

“Hamba tidak mau ikut turun kecuali Baginda

Raja Walunga memenuhi permintaan hamba.”

Baginda Raja Walunga mendengar percakapan

mereka. Lalu Baginda Raja berteriak dengan lantang.

“Wahai Tuan Puteri yang cantik jelita! Apa

sajakah permintaanmu? Katakanlah! Akan kudengarkan

sekarang.”

“Permintaan hamba tidak banyak, Baginda.”

Page 39: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

33

“Ya, Tuan Puteri. Apa pun permintaanmu akan

kukabulkan, asalkan Tuan Puteri mau turun dari pohon

besar itu.”

“Baiklah, Baginda. Permintaan hamba yang

pertama, hamba tidak mau turun jikalau Baginda tidak

berusaha membantu hamba mengubah adik hamba

menjadi manusia kembali. Kedua, kelak Wuni-Wunia

harus menjadi raja jika Baginda wafat.”

Tanpa berpikir panjang, Raja Walungo segera

menerima permintaan Puteri Mohulintoli. Raja hanya

mengingat pertolongan buat sang puteri lebih utama.

Akhirnya Puteri Mohulintoli turun dari puncak pohon

melalui pundak anggota rombongan yang berdiri

bersusun.

Raja Walungo bersama rombongan pun kembali

ke istana bersama Puteri Mohulintoli. Raja telah berpikir

untuk menikahi Putri Muhulintoli. Ketika mereka telah

tiba di istana, Raja pun berkata kepada Putri Mohulintoli.

“Bolehkah aku mempersuntingmu? Hanya itu

satu-satunya cara agar kau bisa tinggal di istana. Apa

kata orang nanti jika kita tinggal bersama?”

Page 40: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

34

Tiba-tiba Puteri Mohulintoli bersembah di

hadapan Raja Walungo.

“Baginda, Yang Mulia.”

“Ya, Puteri. Mengapa Engkau tiba-tiba bersujud

di hadapanku?”

“Duli, Tuanku Yang Mulia. Apakah hamba boleh

mengajukan satu permintaan lagi?”

“Tentu saja boleh. Silakan!”

“Baginda, bukankankah Baginda junjungan adat

dan teladan bagi seluruh negeri? Hamba bersedia, tapi

hamba mohon agar acara pernikahan kita ditangguhkan

hingga adikku Wuni-Wunia kembali menjadi manusia

agar Baginda Raja dapat melaksanakan acara adat

pernikahan.”

Sang raja terkesima dengan permintaan Puteri

Mohulintoli. Raja merasa berat untuk menolak

permintaan sang puteri. Akan tetapi, sebagai junjungan

adat di daerah kerajaan, Raja pun mengiyakan keinginan

Puteri Mohulintoli. Akhirnya, Puteri Mohulintoli tidak

dibawa masuk ke istana, tetapi diantar ke bele daa

keluarga raja di sekitar istana.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Page 41: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

35

4. Mohulintoli Menjadi Permaisuri

Berita tentang seorang puteri jelita di puncak

pohon yang ditemukan Raja Walungo tersebar ke seluruh

negeri malam itu juga. Rakyat Limboto di sekitar istana

pun gempar dan penasaran ingin melihat langsung wajah

Sang Puteri. Mereka berbondong-bondong menuju

istana. Istana menjadi ramai dengan cahaya gemerlap

dan penuh sesak dengan manusia.

Semua yang hadir di istana bertanya-tanya

mengapa raja mereka membawa pulang puteri jelita itu.

Tiba-tiba salah seorang di antara mereka menyeletuk.

“Siapa ya puteri jelita itu? dan kira-kira apa ya...

tujuan raja membawa puteri itu kemari?”

“Menurut salah seorang pengawal yang ikut

bersama raja ke hutan, gadis itu bernama Puteri

Mohulintoli. Karena kecantikannya, Raja Walungo ingin

menyunting puteri itu,” Jawab salah seorang pelayan

istana.

“Hhh! O...Eya terima kasih. Engkau telah

mengirimkan calon permaisuri bagi raja kami.”

Serempak yang hadir di istana bersyukur pada Eya.

Page 42: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

36

Malam itu, Raja walungo sangat bersukacita

karena sebentar lagi akan memiliki pendamping hidup.

Sukacita Raja disambut riang gembira oleh rakyatnya

meskipun mereka tidak dapat melihat langsung wajah

Puteri Mohulintoli.

Pada waktu yang sama di bele daa, Mohulintoli

hanya boleh melihat kebahagiaan raja dan rakyatnya dari

balik jendela. Adat istana tak mengizinkan anak gadis

yang akan menikah tidak boleh keluar dari rumah.

Malam itu pula, berita keputusan Sang Raja

untuk mempersunting Sang Puteri Jelita pun tersebar ke

seluruh penjuru. Timbul desas desus di kalangan gadis-

gadis istana, tak terkecuali Minanga, puteri Panglima

Kerajaan Limboto. Dia bertanya pada para dayang-

dayangnya.

“Secantik apakah puteri itu hingga Baginda Raja

menjatuhkan pilihan padanya?”

“Wah, kami juga tidak tahu Tuan Puteri. Kami

belum melihat wajahnya karena Baginda Raja langsung

membawa puteri itu ke bele daa di samping istana.”

Puteri Minanga sangat kecewa dengan jawaban

dayang-dayangnya. Sebenarnya dia sangat marah dan

Page 43: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

37

kecewa karena Raja Walungo lebih memilih gadis yang

baru dikenalnya daripada dirinya yang sejak kecil

tumbuh bersama dengan Sang Raja. Akhirnya dia hanya

memendam keinginannya untuk mendampingi sang raja.

Tiba-tiba muncul ide dalam pikiran Puteri Minanga

untuk bertemu dengan Puteri Mohulintoli di bele daa.

Malam semakin larut, bulan telah berlindung di

balik awan, temaram cahaya lampu mulai redup, rakyat

pun kembali ke rumah masing-masing. Istana perlahan

mulai sepi. Hanya pengawal istana yang sesekali

kelihatan mengitari istana.

Sementara itu, di bele daa, Mohulintoli berusaha

memejamkan matanya. Sudah dua hari ia tidak tidur

dengan nyaman. Sebenarnya ia pun tak menyangka akan

menjalani idup seperti sekarang. Akan tetapi, demi

adiknya Wuni-Wunia, dia rela melakukan apa saja

termasuk jika harus menikah dengan seorang raja yang

baru dikenalnya. Tak lama kemudian, Mohulintoli

tertidur pulas.

Keesokan harinya, menjelang pagi, Mohulintoli

terjaga dari tidurnya karena suara ayam jantan berkokok

yang saling bersahutan. Rasa lelah dan kantuknya

Page 44: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

38

terbayarkan. Tubuhnya kembali segar. Mohulintoli

bergegas bangkit dan merapikan tempat tidurnya. Ketika

ia menyibak jendela kamar, tampak olehnya para petani

yang sudah menggiring sapinya ke sawah. Setelah

membersihkan dirinya, Mohulintoli pun membenahi bele

daa seperti kebiasaannya di rumahnya sendiri. Para

penghuni bele daa lainnya masih terlelap. Mohulintoli

dengan cekatan menata dan merapikan bele daa itu.

Setelah itu, Mohulintoli menyeduh kopi untuk anggota

keluarga bele daa.

Aroma kopi buatan Mohulintoli membangunkan

paman Baginda Raja Walungo, yang menemani

Mohulintoli di bele daa. Paman Raja sangat terkesima

karena bele daa sudah rapi dan bersih. Penghuni rumah

lainnya pun ikut terbangun.

“Uhhmm... wangi sekali! Siapa yang membuat

kopi?”

“Maafkan Mohulintoli, Paman. Saya sudah

lancang masuk ke dapur tadi dan menyeduh kopi buat

Paman.”

“Terima kasih, Nak. Kamu rajin sekali. Pasti Nak

Mohulintoli yang membereskan bele daa ini, kan?”

Page 45: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

39

Mohulintoli hanya tersipu malu dipuji oleh

paman raja. Lalu Mohulintoli menjawab dengan sopan

dan lemah lembut.

“Paman, saya hanya melakukan yang seharusnya

saya lakukan. Terima kasih juga karena Paman telah

menjaga saya di rumah ini.”

“Mohulintoli, alangkah bahagianya ponakanku,

Baginda Walungo, bila kelak ia mempersunting kamu,

Nak. Parasmu tidak saja cantik, perilakumu pun sangat

sopan dan sabar. Kamu memang pantas untuk

ponakanku.”

Mohulintoli semakin tersipu malu dan beranjak

menuju kamarnya. Paman raja lalu memanggilnya untuk

tetap bersama keluarga bele daa menikmati pagi dengan

kopi dan pisang goreng.

“Mohulintoli, duduklah sebentar bersama kami di

sini, Nak.”

“Baiklah, Paman.”

“Nak. Paman akan menceritakan sesuatu padamu.

Sesungguhnya Pohalaa Limutu „Kerajaan Limboto‟

terdiri dari satu linula besar yang merupakan gabungan

dari lelaa-lelaa, termasuk lelaa Batu dan tempat

Page 46: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

40

Mohulintoli dilahirkan. Perkawinan antara orang-orang

dari satu lelaa dan lelaa lainnya dalam satu linula adalah

hal yang biasa.”

Ucapan terakhir paman raja membuat hati

Mohulintoli semakin tak karuan dan ia pun berusaha

meninggalkan keluarga raja menuju kamarnya. Ketika

Mohulintoli sudah mulai beranjak, tiba-tiba beberapa

orang tua dan pengawal istana menaiki tangga bele daa.

“Tunggu! Mohulintoli, jangan beranjak dulu,

Nak. Tamu dari istana ini ingin bertemu denganmu.”

Tanpa sepatah kata pun, Mohulintoli mengikuti

keinginan paman raja. Dia merapikan duduknya lalu

menjemput tamu dari istana dengan senyuman yang

ramah. Paman raja pun membuka pembicaraan lagi.

“Nak, Negeri Limboto ini mempunyai adat.

Pertemuanmu dengan baginda dan ikatan janji yang telah

dimufakati di depan rakyat telah dianggap sebagai

peminangan resmi atas dirimu. Sambil menunggu

adikmu berubah menjadi manusia, hingga memasuki

pernikahan, kau telah resmi bertunangan dengan

baginda.”

Page 47: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

41

Mohulintoli hanya tertunduk dan diam

mendengar perkataan paman raja. Dia tidak berani

menatap orang-orang yang hadir di bele daa itu. Paman

raja lalu melanjutkan pembicaraannya.

“Nak, para tamu dari istana membawa wohiya

„hadiah pertunangan‟. Bungkusan kecil yang di atas baki

ini adalah tilamungo „bungkusan yang berisi perhiasan‟

dan bungkusan yang satu ini adalah putu „bungkusan

kain-kain bahan pakaian‟. Semua itu buat kamu, Nak.”

“Terima kasih, Paman.”

Hanya sepatah kata itu yang mampu keluar dari

mulut Mohulintoli di pagi hari yang cerah itu.

Tanpa disadari oleh Mohulintoli, sepasang mata

telah mengawasinya dari balik pintu bele daa sejak tamu

dari istana belum datang. Puteri Minanga telah

mendengar semua percakapan Mohulintoli dan paman

raja sejak awal. Dia tidak berdaya dan tidak bisa

berharap banyak lagi untuk menjadi permaisuri Raja

Walungo. Akhirnya, ia pun harus mengakui bahwa

Mohulintoli memang pantas menjadi permaisuri Raja

Walungo.

Page 48: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

42

Hari pun mulai siang. Sinar matahari semakin

menyengat. Para tamu dari istana pun memohon pamit.

Sementara itu, di istana Raja Walungo sudah tidak sabar

ingin segera melangsungkan perkawinannya dengan

Mohulintoli. Raja pun mendapat ide dengan meminta

bantuan rakyat atau orang pintar di negerinyauntuk

mengubah adik Mohulintoli menjadi manusia lagi. Raja

mengumpulkan rakyat, para hulubalang, dan dukun-

dukun yang terkenal dari seluruh penjuru kampung. Tak

lama kemudian, Raja Walungo yang duduk di atas tahta

berdiri dan berteriak lantang.

“Wahai rakyatku dan seluruh dukun-dukun

penjuru negeri ini. Siapakah di antara kalian yang

mampu mengubah seekor ular menjadi manusia?”

Semua yang hadir saling berpandangan dan

seketika istana sepi. Tak seorang pun yang berani

mengangkat kepalanya, karena mereka pikir tidak

mungkin mengubah seekor ular menjadi manusia. Tiba-

tiba seorang dukun tua dan sakti memberanikan diri

berbicara pada raja.

“Baginda, hamba ini hanya manusia biasa.

Hamba akan berusaha melakukannya. Namun, hamba

Page 49: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

43

mohon pada Baginda jangan hukum hamba jika usaha ini

tidak berhasil karena semua itu bergantung pada Eya.

Dialah Yang Mampu melakukan segalanya.”

“Baiklah, Paman. Apa yang harus kita lakukan?”

“Kita membutuhkan minyak tujuh tempayan.

Tuangkan minyak itu setempayan demi setempayan

hingga tempayan keenam ke dalam liang ular tersebut.

Tempayan ketujuh digunakan untuk menyiram tubuh

ular yang akan diubah itu.”

Raja Walungo memerintahkan para pengawalnya

untuk menyiapkan minyak tujuh tempayan. Setelah itu,

raja dan seluruh hulubalang, bate-bate, penghuni bele

daa termasuk Mohulintoli, menuju liang lahat tempat

Wuni-Wunia bersembunyi. Satu persatu tempayan yang

berisi minyak dituang ke dalam liang ular itu. Ketika

tempayan ketiga dituang, ular-ular kecil mulai merayap

keluar dari liang itu. Setelah minyak di tempayan

keenam dituang, keluarlah seekor ular besar yang

berlilitkan ikat pinggang emas.

“Lihat! Itu Wunia-Wunia, adikku. Ikat pinggang

emas yang melingkar di tubuhnya adalah hasil tenunanku

sendiri.”

Page 50: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

44

Mohulintoli secara spontan berteriak kegirangan

memecahkan sepi dan tegangnya orang-orang

menyaksikan ular-ular yang keluar dari liang itu. Lalu,

dukun sakti itu pun mendekati Mohulintoli dan

menyerahkan tempayan ketujuh.

“Tuan Puteri, siramkanlah minyak ini pada

adikmu, dan berdoalah pada Eya agar adikmu berubah

wujud menjadi manusia kembali.”

“Baiklah, Paman.”

Mohulintoli pun menuangkan minyak dalam

tempayan itu ke tubuh adiknya dan perlahan-lahan ia

berkata:

“Wuni-Wunia, adikku

kembalilah kepadaku

engkaulah yang menjadi waliku

menikah dengan rajaku.

dalam sekejap mata

berdirilah bulu roma

ular merayap

menjadi manusia pastilah sudah.”

Tak lama kemudian, Wuni-Wunia berubah wujud

kembali menjadi manusia. Mohulintoli pun mendekap

dan merangkul adiknya. Semua yang hadir saat itu ikut

Page 51: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

45

serta merasakan kegembiraan Mohulintoli dan adiknya.

Baginda Raja lalu bertitah.

“Kalian, rakyatku sekalian. Marilah ke istanaku

dengan adikku Wuni-Wunia mempersatukan bicara.”

Mohulintoli melihat adiknya kebingungan

melihat sikap dan titah Sang Raja. Dia pun membisiki

adiknya.

“Ssttt...Wuni-Wunia, adikku. Berterima kasihlah

pada Raja Walungo yang telah menolong kita. Baginda

Rajalah yang menolong kakak setelah kau tidak sengaja

menendangku hingga terlontar ke atas pohon. Baginda

pula yang menolong Wunia berubah menjadi manusia

kembali.”

“Maafkan Wunia, Kak. Wunia tidak sengaja

melakukannya.”

“Ya, tidak apa-apa Wunia. Satu lagi, Wunia. Raja

Walungo telah melamar kakak, tetapi kakak tidak mau

menikah hingga Wunia berubah wujud, menjadi manusia

lagi. Sekarang tiba saatnya kita membalas kebaikan

Baginda Raja Walungo, Dik.”

Wuni-Wunia pun mengerti dan memahami sikap

ramah raja kepadanya. Dia merasa simpati dan nyaman

Page 52: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

46

atas sikap Raja Walungo padanya. Wuni-Wunia pun

menerima uluran tangan Baginda Raja Walungo dengan

penuh rasa persahabatan.Tidak terasa, sore menjelang.

Lembayung senja kembali menghias kaki langit

menyambut Wuni-Wunia memasuki bele daa bersama

kakaknya, Mohulintoli.

Beberapa hari setelah kembalinya Wuni-Wunia,

istana kembali sibuk dengan persiapan pesta adat

pernikahan Raja Walungo dan Puteri Mohulintoli.

Keluarga Mohulintoli dari Batudaa juga turut hadir pada

acara tersebut. Setelah melalui berbagai rangkaian adat,

Raja Walungo mengumumkan kepada seluruh rakyatnya

bahwa Mohulintoli telah resmi menjadi permaisurinya.

“Rakyatku sekalian, hari ini Mohulintoli resmi

menjadi permaisuri negeri pohalaa Limboto. Jika aku

mangkat, iparku, Si Wuni-Wunia akan menggantikanku.

Inilah janjiku. Dan Eya akan murka terhadap orang-

orang yang ingkar akan janji.”

Setelah selesai mengumumkan hal tersebut di

atas, Raja Walungo kembali duduk di samping

permaisurinya yang mencerna setiap kata Baginda tadi.

Sekejap tampak rona wajah yang beraneka macam

Page 53: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

47

mendengar titah sang raja. Keluarga raja yang merasa

berhak, tampak pucat pasi. Namun, situasi tegang itu tak

berlangsung lama karena tertelan oleh meriahnya pesta

selama 40 hari 40 malam.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Page 54: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

48

Page 55: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

49

5. Wuni-Wunia Menjadi Raja

Setelah bertahun-tahun menikah, Raja Walungo

dan permaisurinya, Mohulintoli, tak kunjung dikaruniai

putera mahkota. Rakyat Limboto semakin risau karena

Baginda Raja semakin lanjut usia. Siapakah yang akan

melanjutkan kepimpinan kerajaan? Adat negeri Limboto

hanya membenarkan tahta kerajaan turun kepada

keluarga raja yang sedarah.

Di suatu sore, ketika hari sudah mulai senja,

Puteri Mohulintoli duduk termenung di taman istana.

Sang Permaisuri memikirkan mengapa sampai bertahun-

tahun dirinya tidak dapat memberikan keturunan bagi

Baginda Raja Walungo. Permaisuri memikirkan pula

bahwa negeri Limboto akan kacau balau karena

perebutan tahta kerajaan jika Baginda Raja mangkat.

Permaisuri pun berpikir bahwa mungkin Eya

mendengarkan permintaannya kepada Baginda Raja

dahulu. Tiba-tiba Baginda Raja menghampiri

permaisurinya dan bertanya apa yang membuatnya

termenung.

Page 56: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

50

“Adinda, Mohulintoli. Mengapa engkau duduk

termenung seperti itu? Apa yang menghantui

pikiranmu?”

“Ampun, Baginda. Adinda memikirkan mengapa

sampai saat ini kita belum dikaruniahi keturunan?”

“Adinda. Jangan kau risaukan masalah itu.

Bukankah sejak dulu Kakanda katakan bahwa putera

bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Adinda

selalu sehat dan setia mendampingi Kakanda saja sudah

cukup membuat Kakanda bahagia.”

“Ya, Kakanda, tapi...”

“Sudahlah, Adinda. Mungkin ini ujian dari Eya

agar kakanda membuktikan janji Kakanda kepadamu

agar Wuni-Wunia kelak mengantikanku sebagai raja.”

Sebulan setelah berbincang dengan

permaisurinya, Baginda Raja Walungo terjatuh sakit.

Raja terbaring lemah dan tidak bisa berbuat banyak lagi.

Di istana telah berkumpul para hulubalang dan semua

perangkat kerajaan. Raja Walungo lalu memanggil

permaisurinya dengans suara perlahan.

“Adinda Mohulintoli, mungkin panggilan Eya

tidak lama lagi akan datang. Kelak Kakanda akan

Page 57: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

51

bahagia di sana jika Adinda menyerahkan kerajaan ini

kepada Wuni-Wunia. Ini janjiku. Semoga Eya

menolongmu.”

Permaisuri Mohulintoli pun tidak sempat

menjawab titah Sang Raja karena pada saat itu pula

Baginda Raja Walungo menghembuskan napas

terakhirnya dengan senyuman tipis di bibirnya. Semua

yang hadir terhenyak dan meneteskan air mata melepas

kepergian sang raja yang begitu dicintai.

Alam pun seakan turut berduka. Langit menjadi

teduh, suasana semakin mengharu biru. Di hadapan

jenazah Baginda Raja Walungo, keluarga raja yang

merasa berhak mulai menuntut untuk segera dilantik

menjadi raja. Balairung sudah penuh dengan orang.

Namun para bate tidak berani menentukan siapa yang

paling berhak memakai mahkota raja.

Para bate tampak bingung, seluruh yang hadir

gelisah, bahkan para calon pengganti raja sudah

melongok ke kiri dan ke kanan sambil menggosok

dahinya yang tidak berkeringat. Rupanya mereka

menunggu Permaisuri Mohulintoli, yang paling bisa

Page 58: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

52

menentukan siapakah yang akan menggantikan posisi

Raja Walungo.

Tak lama kemudian, Puteri Mohulintoli muncul

bersama adiknya Wuni-Wuni yang didampingi istrinya,

adik Raja Walungo. Mereka memakai pakaian biru,

warna kedukaan. Di depan permaisuri, berjejal rakyat

dengan pakaian berwarna putih sebagai tanda berkabung

atas kepergiaan raja mereka.

Suasana kembali hening. Tiba-tiba berdiri

seorang bate berdiri dan berkata.

“Wahai rakyat Limboto. Kita semua berduka atas

kepulangan Baginda Raja. Namun, hari ini pula kita

harus menentukan siapa yang berhak menggantikan

Baginda Raja. Kami para bate telah sepakat untuk

mencari calon pengganti raja yang memenuhi

persyaratan. Dia harus jujur, berilmu, cinta pada rakyat,

dan suka beramal.”

Para calon pengganti raja pun sudah mulai

berharap bahwa merekalah yang akan menggantikan

Raja Walungo. Tiba-tiba para bate berjalan mengitari

para calon pengganti raja tersebut. Tiba-tiba para bate

Page 59: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

53

berhenti di depan Wuni-Wunia dan menuntunnya ke

depan.

“Inilah yang paling memenuhi syarat menjadi

Raja Limboto berikutnya. Kami telah melihat karakter

setiap calon. Akan tetapi, terdapat satu karakter Wuni-

Wunia yang tidak dimiliki oleh calon lainnya. Wuni-

Wunia selalu jujur, ikhlas, dalam bekerja, tegas, tidak

pemarah, dan selalu mendahulukan kepentingan rakyat

daripada kepentingan pribadinya. Dia selalu santun

terhadap siapa pun. Dia pun selalu mendampingi Raja

semasa hidupnya. Selain itu, pengangkatan Wuni-Wunia

menjadi raja merupakan perwujudan janji Raja Walungo

kepada Puteri Mohulintoli ketika pertama kali bertemu di

di puncak sebuah pohon, di tepi sungai, di tengah hutan.

Kemudian, janji itu dikuatkan pada saat pernikahan

Baginda Raja Walungo dan Puteri Mohulintoli dan

disetujui oleh semua rakyat Limboto. ”

Belum sempat bate menutup pembicaraannya,

seluruh rakyat langsung berteriak.

“Hidup Baginda Raja Wuni-Wunia! Hidup Puteri

Mohulintoli! Hidup kesetiaan terhadap janji!”

“Sejahteralah seluruh negeri Limboto!”

Page 60: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

54

Para calon pengganti raja lainnya langsung merah

padam mukanya mendengar teriakan seluruh rakyat

Limboto. Mereka pun meninggalkan istana dalam

keadaan kecewa dan malu sebelum pemakaman Raja

Walungo.

Mahkota raja pun diletakkan di kepala Wuni-

Wunia, Raja Limboto yang baru. Setelah itu, Raja

Walungo diantar ke peristirahatan terakhirnya.

Raja Wuni-Wunia memimpin Pohalaa Limboto

dengan adil dan jujur serta bijaksana. Dia sangat berhati-

hati mengucapkan janji dan sumpah karena Baginda Raja

menyadari bahwa dirinya menjadi raja karena sebuah

janji yang mengorbankan ketentuan yang telah

mengakar.

Daftar istilah

bate „pemangku adat‟

bele daa „rumah besar‟

Eya „Tuhan‟

kola-kola „usungan yang berbentuk perahu berisi seperangkat

buah-buahan yg biasa dibawa pada waktu mengantar harta

kepada pihak keluarga pengantin‟

linula „wilayah atau bagian dari kerajaan‟

Page 61: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

55

lelaa„

pohalaa „kerajaan kecil‟

Page 62: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

56

Page 63: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

57

PUTRI AMBALO Efendi

Dua ekor kucing, yang satu betina berbulu kuning-

putih dan yang satu lagi jantan berbulu hitam-belang

saling berebut makanan di dapur menimbulkan suara

gaduh. Dua piring berbahan tanah liat berisi beberapa

potong ayam dan ikan goreng terjatuh ke tanah dan

pecah, mengiringi bunyi dentingan gelas logam yang

menggelinding.

“Huss... huss... husshh...!” Seorang perempuan

berusia 50 tahun masuk ke dapur dan mengambil kain

taplak meja, lalu mengibas-ngibaskannya untuk

mengusir kedua kucing itu. Kedua kucing pembuat

gaduh langsung lari terbirit-birit menyelamatkan diri

melalui pintu belakang. Halijah, si perempuan separuh

baya segera membersihkan makanan yang berserakan di

lantai tanah dan merapikan meja makan. Pintu belakang

ia tutup rapat agar kucing-kucing tidak dapat masuk

kembali dan mengobrak-abrik makanan di dapur. Segera

setelah itu, Halijah kembali ke ruang tengah melanjutkan

perbincangannya bersama para tamu. Suara canda dan

Page 64: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

58

tawa hampir tiada putusnya memenuhi ruang tengah

rumah kecil atau lebih tepat disebut gubuk itu.

Sementara itu, di halaman depan, duduk beberapa

orang pria berusia 50-an tahun. Sama dengan para wanita

yang berkumpul di ruang tengah, mereka juga sedang

asyik berbincang sambil sesekali mengangkat gelas

bambu ke bibirnya, menghabiskan isinya, kemudian

mengisinya kembali. Busa putih kadang-kadang

menyembul keluar melampaui tingginya gelas yang

terbuat dari bambu. Saguer adalah sejenis tuak yang

terbuat dari aren.

“Akhirnya kalian berhasil juga mendapatkan anak,

Madi. Tampaknya Eya sudah bosan mendengar doa-doa

kalian, sehingga mengabulkannya, hehehehe.” Salah

seorang tamu berumur lima puluhan dengan setengah

bercanda berkata kepada Madi.

“Iya. Sudah lama kami membina rumah tangga.

Segala daya dan upaya telah kami lakukan untuk

mendapatkan buah perkawinan kami, sampai hampir-

hampir kami putus harapan. Alhamdulillah, ternyata

EyaYang Maha berkehendak masih mengasihani kami.

Page 65: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

59

Meskipun agak terlambat, kami tetap sangat

mensyukurinya.”

Rupanya di tempat itu sedang melaksanakan hajatan

tujuh hari kelahiran anak. Madi dan Haijah, pasangan

suami-istri yang sudah hampir memasuki 50 tahunan

yang melaksanakan hajatan. Sebuah hajatan sederhana

mereka lakukan untuk bayi mereka yang baru berumur

seminggu.

---*---

Pada zaman dahulu, terdapat sebuah perkampungan

yang letaknya cukup terpencil dari perkotaan. Kampung

yang sebagian besar wilayahnya dilalui aliran sungai

Bulango itu diperintah oleh seorang raja yang arif dan

bijaksana. Raja penguasa negeri Bulango.

Di dalam kampung terpencil tersebut tinggal

sepasang suami-istri. Mereka hidup sangat sederhana.

Namun, kesederhanaan dalam sebuah gubuk kecil yang

letaknya di ujung kampung itu mereka bingkai dengan

kebahagiaan bertopang kerja keras dan keikhlasan.

Page 66: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

60

Ya, mereka sangatlah berbahagia. Namun, ada satu

hal yang mengurangi kebahagiaan mereka. Anak.Ya,

meskipun rumah tangga yang mereka bina sudah

memasuki hampir dua dasawarsa, namun sampai sejauh

ini mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Padahal

menurut beberapa orang pintar, sebenarnya di antara

Madi dan Halijah tidak ada permasalahan ataupun

penyakit yang menjadi penghalang untuk mendapatkan

keturunan. “Mungkin hanya faktor waktu keberuntungan

saja. Teruslah kalian berusaha dan berdoa. Kelak,

jikalau waktunya tiba, kalian pasti akan dikarunai juga

keturunan. Tetaplah yakin.” Ucapan orang pintar terus

mengiang-ngiang di telinga mereka setiap kali

memikirkan tentang anak. Dorongan itulah yang menjadi

penyemangat bagi pasangan suami-istri tersebut,

sehingga mereka tidak putus asa dan terus berdoa kepada

Yang Mahakuasa agar dikaruniai anak.

Akhirnya, tiba juga waktu yang mereka nantikan.

Sang istri mengandung dan melahirkan seorang anak

perempuan. Setelah dikarunai anak, kebahagiaan mereka

semakin bertambah. Semangat hidup suami-istri itu kian

Page 67: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

61

berkobar. Mereka pun lebih semangat dalam bekerja

memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hanya canda dan

tawa yang terdengar dari dalam gubuk kecil itu sebagai

yang mengiringi tangisan si bayi sepanjang hari.

Sayangnya, hari-hari berbahagia itu mereka nikmati

tidak lama. Pada masa-masa ketika si kecil mulai

mempelajari alam, bayi mungil menggemaskan itu

terserang penyakit kulit yang tidak dapat disembuhkan.

Seiring waktu, penyakit kulit si kecil bertambah parah.

Keadaan tersebut menimbulkan pemikiran yang tidak

sehat di kepala Madi. Ia khawatir keadaan anaknya akan

memberi aib dan menjadi buah bibir bagi keluarganya.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, dan tahun-

tahun pun berganti penyakit si Nou terus memburuk.

Akhirnya, Madi, sang ayah tak tahan menganggung malu

dan aib yang akan muncul nantinya. Perselisihan antara

Madi dan istrinya, Halijah, sempat terjadi. Puncaknya,

Nou mereka tinggalkan saat melakukan pembalakan liar

di tengah hutan.

Beberapa hari setelah pembuangan si Nou, Madi dan

Halijah diadili. Berita hilangnya Nou menjadi bahan

Page 68: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

62

cerita penduduk kampung dan penduduk kota. Berbagai

pendapat pun diutarakan orang-orang. Ada yang

mengatakan bahawa Nou dibunuh, ada yang mengira-

ngira Nou dikubur hidup-hidup, ada yang berpikir bahwa

Nou dibuang ke jurang, dihanyutkan ke sungai, dan

banyak lagi perkiraan lainnya yang menyebar dengan

cepat. Berita tersebut sampai juga ke telinga Raja

Penguasa Negeri. Sidang adat digelar dan terbuka untuk

diikuti oleh semua penduduk negeri. Jika Madi dan

Halijah terbukti bersalah, maka tiang gantungan siap

menjerat leher sampai mereka menghembuskan nafas

terakhir.

- - - *---

Lolongon panjang anjing hutan melengking sesekali

memecah dan menenggelamkan nyanyian kodok yang

bersahutan dalam kesunyian. Redup-temaram cahaya

bulan, tak sanggup memperlihatkan kawanan jangkrik

yang bersembunyi di balik rerumputan. Angin yang

cukup kencang seolah-olah mengiringi gelegar halilintar

ke bumi, menghadirkan bayangan-bayangan raksasa

beberapa pohon tua. Sungguh menambah kengerian

Page 69: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

63

suasana desa terpencil itu kala memasuki musim

penghujan.

Sementara itu, di bagian ujung perkampungan,

terdengar sayup-sayup rintihan halus seorang

perempuan. Asalnya tidak lain dari sebuah rumah kecil

berdinding rumbia yang lebih pantas disebut gubuk. Nou

sang anak, akan memasuki usia yang kedua belas. Madi

dan Halijah adalah pemilik gubuk tersebut. Gubuk yang

menjadi tempat membesarkan putri mereka dengan

sepenuh hati.

“Aduuhh...aduuhh.., Mama…sakiiitt....,” rintih

perempuan di atas bale-bale.

“Tidak bisakah kau diam sedikit, Nou? Setiap hari

kau merintih saja...” sahut pria di luar gubuk. Bau saguer

tajam menyengat seolah-olah merontokkan bulu hidung.

Entah berasal dari gelas bambu dan potongan bambu

,tempat tuak yang isinya sebanyak hampir tiga liter yang

terletak di sampingnya, ataupun dari keluar mulutnya

yang sudah menenggak saguer sebanyak dua tempat

bambu.

Page 70: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

64

“Sakit, Papa. Nou tidak tahan... gatalnya bukan

main” sahut Nou menjawab ucapan pria di luar gubuk

yang ternyata Madi, ayahnya.

“Mana obat yang papa ambil dari hutan kemarin?

Sudah habis?” tanya Madi kepada anaknya yang terus

meringis karena rasa gatal yang menjalari seluruh

badannya.

Sementara itu, Halijah segera keluar mendapati

suami dan anaknya dengan membawa sebuah mangkuk

berbahan dasar tanah liat berisi ramuan obat “Ini masih

ada. Dioleskan lagi ya, nou” Kata Halijah menjawab

pertanyaan suaminya, sekaligus meminta anaknya

bersedia diolesi ramuan obat yang dibawanya.

“Aduh..., jangan, Mama, perih sekali itu obat.

Sakit....” sambil meringis Nou membayangkan efek

perih dari ramuan obat yang akan dioleskan ke seluruh

badannya.

“Bersabar, Nou... tahan perihnya supaya kamu lekas

sembuh. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kamu bisa

kembali belajar dan bermain bersama teman-temanmu.”

Page 71: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

65

Kata Halijah lembut, berusaha menghibur anaknya

sambil mengusapi sekujur badan Nou dengan obat

dedaunan ramuannya.

“Aduh, Mama... gatal dan perih sekali rasanya...!”

Nou meringis-ringis berusaha menahan rasa gatal dan

perih yang teramat sangat yang ia rasakan di sekujur

badannya.

Halijah terus berupaya mengajak Nou berbicara

untuk mengalihkan perhatian Nou pada rasa perih yang

menghinggapinya.

“Papa..., sebaiknya Nou kita bawa lagi ke dukun

untuk diobati.” Halijah mengalihkan pembicaraan

kepada suaminya.

Madi melepaskan gelas tanah liat yang menempel di

bibirnya, menyeka busa tuak saguer yang meleleh di

sudut bibinya sambil mendelikkan mata menatap

istrinya. “Aahhh... coba kau hitung-hitung, sudah berapa

dukun yang kita datangi, tetapi tidak ada satupun yang

bisa menyembuhkan penyakitnya. Malahan, lukanya

kian hari kian menjalar dan melebar.”

Page 72: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

66

“Penyakitnya mungkin keras, Papa,” kata Halijah

berusaha membujuk suaminya agar yakin jika kelak

penyakit anak mereka akan sembuh seperti sedia kala.

“Mama... obat yang kemarin kucari katanya masih

ada?!” tanya Madi kemudian.

“Iya, masih ada. Tapi besok papa cari yang lain yang

lebih mujarab” pinta Halijah kepada suaminya.

“Ya, baiklah. Besok saya akan kembali ke hutan

mencari obat” dengan perasaan agak kesal karena

dilanda rasa putus asa, akhirnya Madi menyanggupi

permintaan istrinya.

Nou yang sedari tadi hanya mendengarkan

perbincangan kedua orang tuanya sedikit merasa risih

dijadikan bahan perbincangan. Di dalam hatinya, ia amat

sedih melihat penyakitnya yang kunjung sembuh juga,

apalagi keadaannya itu memaksa orang tuanya

memberikan perhatian yang lebih. Ia merasa telah

menyusahkan orang tuanya tanpa bisa berbuat apa untuk

membantu mereka.

Page 73: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

67

“Mama kenapa harus bertengkar dengan papa? Nou

akhirnya bersuara.

“Tidak, Sayang, mama hanya meminta papamu

untuk mencari obat yang lebih mujarab, supaya

penyakitmu bisa disembuhkan dengan cepat.” hibur

Halijah memahami perasaan putrinya.

“Tapi, Ma... jangan obat yang lebih perih, Ma... Nou

tidak tahan,” pinta Nou.

“Perih atau tidak, tidak perlu kau pikirkan. Yang

penting kau bisa sembuh dan kita disini tidak ribut lagi.

Ayo masuk kau.” Dengan agak kesal, Madi menyuruh

anaknya masuk ke dalam gubuk beristirahat.”

Nou segera masuk mengindahkan perintah ayahnya.

Dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya, ia masuk

sambil memandangi wajah kedua orang tuanya secara

bergantian. Sementara itu, Madi kembali sibuk dengan

gelas tuaknya sambil sesekali merenung mencari jalan

keluar dari persoalan yang tengah mereka hadapi.

Madi mengambil gelas berisi penuh dengan tuak,

menghabiskan isinya sekaligus kemudian menarik nafas

Page 74: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

68

panjang. Ia kemudian memandangi wajah istrinya,

seperti hendak mengatakan sesuatu. Gelas tuak ia

letakkan kembali, mengisinya sampai penuh, kemudian

ia habiskan lagi. Ia menimbang-nimbang apakah pikiran

yang ada di benaknya pantas untuk diutarakan kepada

istrinya atau tidak. “Kira-kira apa jawaban Halijah jika

apa yang aku pikirkan kusampaikan kepadanya? batin

Madi bertanya-tanya. Sekali lagi, ia menatap gelas tuak

di tangannya, mengisinya sampai penuh, kemudian

menghabiskannya lagi. Sejurus kemudian....

“Begini, Ma..., aku punya rencana. Aku harus

melakukan sesuatu, satu-satunya jalan... Nou harus kita

buang ke hutan.” sangat berhati-hati dan sedikit ragu

Madi mengutarakan isi pikirannya kepada istrinya.

“Apa? Membuangnya di hutan? Apa papa sudah

gila??! tanya Khadijah kepada suaminya. Ia tidak

percaya suaminya akan berpikir sejauh dan setega itu

kepada anak mereka satu-satunya.

“Daripada kita harus menanggung malu dan tak

punya kawan, tidak punya tamu yang datang kemari”

kata Madi

Page 75: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

69

“Pa..., janganlah kita mau menanggung dosa dengan

bertindak seperti itu. Biarlah kalau orang-orang enggan

datang bertamu, ataupun tidak ada yang mau berkawan

sama kita, asalkan anak kita jangan sampai dibuang”

Halijah memohon terisak. Mendengar suaminya berkata

seperti itu membuat ia yakin jika suaminya akan betul-

betul membuang Nou, anak mereka.

“Apa kau bisa hidup dengan tenang jikalau orang-

orang membenci keluarga kita, bahkan akan

mengucilkan kita sekeluarga. Terus... apakah kau juga

bisa tahan jika mereka terus-terusan mengolok-olok

Nou?” Sergah Madi naik pitam.

“Kita tidak usahlah mendengarkan olokan mereka.

Saya yakin kita bisa bertahan, asalkan kita bertiga terus

bersama Pa.”

“Kau ini terlalu keras kepala, tidak mau mendengar

kata-kataku.Aku bertindak demikian karena untuk

kebaikan kita bertiga.” Madi naik pitam. Suaranya

meninggi.

Page 76: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

70

“Ingatlah, Pa..., ketika kita sangat mendambakan

anak, siang dan malam kita berdoa agar dapat dikarunai

anak. Lebih sepuluh tahun lamanya kita berusaha baru

doa kita terkabul. Oh..., tetapi sekarang... papa akan

membuang anak kita. Itu sama saja akan

membunuhnya..., dimana kasih sayangmu sebagai

seorang ayah? Mana...? Mana ...?

“Jangan kau perlemah hatiku.” Bentak Madi kepada

istrinya.“Aku memang sayang kepada Nou, tetapi kita

akan sanggup bertahan terus-menerus dengan cemoohan

orang-orang terhadap keluarga kita? Apa kita sanggup?

Kalau kau tidak mau mendengarkan kata-kataku dan

mengikuti jalan pikiranku, maka aku akan pergi.” ancam

Madi serius.

“Papa, apa sudah tidak ada jalan lain untuk

membatalkan keputusan itu? Tolonglah, Pa,...

pikirkanlah dahulu jalan keluarnya, sambil menunggu

beberapa waktu lagi siapa tau Nou masih bisa

disembuhkan.” harap Halijah terisak berharap suaminya

masih memberi kesempatan kepada putrinya untuk

sembuh.

Page 77: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

71

“Otakku sudah buntu sekarang! jawab Madi

setengah menggumam. Suara kecil tapi datar. Tiba-tiba

Madi berdiri. Ia berjalan bergegas mengambil beberapa

lembar pakaian yang masih tergantung di jemuran lalu

menghempaskannya ke balai-balai. Selanjutnya, ia

masuk ke dalam rumah, terdengar pintu lemari dibuka

dengan agak kasar. Sejurus kemudian, ia keluar lagi

dengan membawa bungkusan sarung kotak-kotak.

Pakaian yang ia hempaskan di balai-balai tadi

dimasukkan juga ke dalam bungkusan sarung.

Halijah yang sedari tadi masih duduk terisak di

balai-balai tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali

memerhatikan suaminya yang sedang sibuk dengan

pakaian dan bungkusannya.

“Tapi, Papa..., aku sangat kasihan sama Nou....”

tiba-tiba ia membuka suara. Suaranya datar seolah-olah

ditujukanpada pepohonan yang jauh, sejauh mana ia

menancapkan pandangan kosongnya.

Madi tetap diam mendengar kata-kata istrinya. Ia

tetap sibuk memasukkan lembaran pakaiannya ke dalam

bungkusan sarung. Bungkusan sarung selesai dengan

Page 78: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

72

menyimpulkan keempat sudut sarung membentuk

bungkusan. Sesaat kemudian ia menoleh kepada istrinya,

“Kau boleh memilih, merelakan No‟u tidak bersama kita

lagi dan aku tetap bersamamu, atau aku yang pergi

meninggalkan rumah dan No‟u bisa tetap tinggal

denganmu.” katanya kepada istrinya.Tekanan suaranya

tidak tinggi lagi, tetapi tetap datar dan tegas. Suatu

pertanda bahwa keputusannya sudah tidak bisa ditawar-

tawar lagi.

Halijah hanya bisa menangis sesegukan mendengar

keputusan suaminya. Ibaratnya, ia sedang diperhadapkan

pada “buah simalaka”. Dua pilihan yang sama sulitnya.

Air matanya berderai membasahi pipinya yang sudah

mulai memperlihatkan keriput-keriput halus di beberapa

bagian. Di usianya kini, tentu tidak mudah untuk

mendapatkan buah hati lagi. Namun bukan hal itu yang

menjadi penyebab kesedihannya. Anaknya,

bagaimanapun juga, No‟u adalah darah daging mereka.

Sejelek apapun dia, seburuk apapun wajah dan bentuk

fisiknya, tidak akan mungkin dengan rela

melepaskannya. Apalagi jika harus membuangnya, tanpa

Page 79: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

73

mengetahui nasib yang akan menimpa anaknya nanti.

Mati atau sanggup bertahan di dalam hutan sendirian.

Bagaimana mungkin No‟u mampu bertahan hidup

sendirian di dalam hutan di usia yang masih sangat

belia?

“Baik kalau begitu, kau tidak memberi jawaban atas

pertanyaanku, berarti kau lebih memilih

mempertahankan No‟u, dan aku akan pergi.” kata Madi

seraya melangkahkan kaki meninggalkan istrinya.

Sementara Halijah, kata-kata Madi barusan membuat

lamunannya buyar seketika. Ia diam seribu bahasa. Tidak

tahu harus berbuat apa, kecuali memandangi punggung

Madi yang melangkah pergi dengan linangan air mata.

Tiba-tiba....

“Papa...! Tunggu, Papa!” Halijah. Halijah terkesiap.

Madi sudah tidak berada di tempatnya berdiri tadi.

Setengah berlari ia mengejar suaminya yang sudah

berada di pagar terakhir halaman gubuknya. Halijah

menarik tangan suaminya, memeluknya. “Papa jangan

pergi.” pintanya dengan suara berat tertahan. “Aku akan

menuruti semua ucapan Papa. Meskipun Nou dan Papa

Page 80: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

74

sama berharganya, tetapi, saya tidak akan mampu

memenuhi kebutuhan hidup kami berdua.” sambungnya

di sela-sela isak tangisnya.

“Saya juga sebenarnya tidak mungkin tega

melakukannya kepada Nou, Mama. Tetapi usaha kita

selama bertahun-tahun sia-sia. Tidak kunjung ada

hasilnya.” ucap Madi membenarkan batin istrinya.

“Kalau begitu, segeralah siapkan bekal untuk

perjalanan sebentar. Kita berangkat ke hutan setelah

kokok pertama ayam jantan.” sambung Madi kemudian.

Nada suaranya berat terucap. Matanya menatap jauh

dengan kosong dan hampa.

Halijah membalikkan badan dan melangkah

mendahului suaminya. Langsung masuk ke dalam gubuk

dan memeriksa keadaan Nou.

Madi berjalan menuju dipan, di tempat saguer dan

gelas bambunya masih di posisinya semula. Masih dalam

keadaan berdiri ia menumpukan kedua telapak

tangannya di pinggiran dipan. Matanya menatap ke

dalam gelas bambu. Tetapi pikirannya jauh melayang.

Page 81: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

75

Dadanya bergemuruh dan turun naik. Sedang terjadi

pertentangan batin yang sangat tidak terperikan. Hanya

cahaya dari lampu minyak yang terpantulkan dari kaca-

kaca di sudut-sudut matanya memberi sedikit gambaran.

Sejurus kemudian ia masuk ke dalam gubuk dan

langsung menuju dimana Nou tertidur. Ia menatapi

anaknya. Meneliti setiap garis di wajah si Nou. Sedang

di sudut dapur, Halijah menunggui nasi yang ia masak

sambil menatap punggung suaminya. Di kedua pipinya

masih basah oleh air mata. Batinnya masih berharap

kalau-kalau suaminya masih mau mengubah

keputusannya.

---***---

Malam itu, tepat pada kokok pertama ayam jantan,

Madi membangunkan istrinya dan menyuruhnya bersiap-

siap untuk melakukan perjalanan. Halijah yang masih

sembab dan bengkak matanya segera bangun dan

memeriksa barang-barang beserta bekal yang

akanmereka bawa malam itu. Setelah memastikan bekal

mereka siap, Halijah membangunkan Nou.

Page 82: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

76

“Nou, bangunlah Nak.” panggilnya pelan dengan

suara berat tertahan.”

“Ada apa, Mama? Apakah ada hal yang penting

sehingga kita bangun selarut ini? Tanya Nou?

“Iya, Anaakku. Kita harus berjalan menuju hutan

malam ini” jawab Halijah singkat.

“Ke hutan mana, Mama.”

“Kamu tidak usah bertanya, Anakku, nanti kamu

akan tau juga.” Jawab Halijah tidak tega kepada

anaknya.

Nou menuruti perkataan ibunya. Mereka berdua

menuju balai-balai depat gubuk, tempat Madi menunggu

dengan perasaan was-was memenuhi rongga dadanya.

Perjalanan jauh pun dimulai. Di antara ketiganya,

tidak ada yang membuka suara.

Setelah melakukan perjalanan selama hampir sehari-

semalam, mereka tiba di suatu hutan gelap. Malam telah

berlalu sepenanakan nasi begitu Madi bersama istri dan

Nou tiba di sebuah goa. Madi mengajak Halijah dan Nou

memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam gua,

Page 83: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

77

Madi memberi tahu istrinya bahwa disitulah Nou akan

ditinggalkan. Dengan berat hati dan air mata berderai di

pipinya, Halijah meletakkan bungkusan perbekalan

untuk Nou, kemudian memeluk Nou.

“Nou…, untuk sementara kau tinggal disini dulu.

Papa dan Mama akan tetap mencarikan obat untuk

penyakit. Papa dan Mama juga akan seing datang

menjengukmu disini. Jagalah dirimu baik-baik, Nak,”

kata Madi kepada anaknya, Nou.

Sedangkan Halijah tidak mampu lagi berkata-kata,

hanya air matanya saja yang berderai. Madi pun

mengajak Halijah meninggalkan tempat itu.

“Papa… Mama…, jangan tinggalkan Nou… Nou

takut sendirian disini,” Nou menangis penuh harap.Akan

tetapi, papa dan mamanya terus melangkah

meninggalkan dirinya di gua itu.

Dengan tersedu-sedu, Nou duduk bersandar pada

dinding goa. Ia meratapi nasibnya. Bertanya kepada

Tuhan, dan berdoa agar penyakitnya itu dapat segera

sembuh.

Page 84: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

78

Cukup lama Nou merenungi nasibnya. Tiba-tiba ada

suara yang menegurnya.

“Wei, Nou... sedang apa kau disini”

“Tidak..., ampun..., jangan bunuh saya...” kata Nou

takut. Ia terkejut dengan panggilan perempuan yang

sedang melangkah pelan ke arahnya. Ia berpikir jangan-

jangan perempuan yang sedang berjalan ke arah itu

sebangsa jin atau nenek sihir penghuni hutan.

“Tidak usah takut...,Nou. Kau tidak kuapa-apakan.

Aku orang baik-baik.” Perempuan itu menimpali kata-

kata Nou dengan suara perlahan dan setengah ditekan. Ia

berhenti sekitar lima langkah dari hadapan Nou.

Ternyata seorang perempuan tua. “Kamu siapa dan apa

yang kamu lakukan disini seorang diri? Hutan ini adalah

tempat yang berbahaya, apalagi bagi anak gadis kecil

sepertimu.” Si perempuan tua melanjutkan

pertanyaannya. Ia heran mengapa ada seorang gadis

kecil di dalam hutan yang gelap begini.

“Nama saya Nou, Nek. Bukan kemauanku berada di

dalam hutan ini. Orang tuakulah yang membawaku

Page 85: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

79

kemari. Ayah membuangku di tempat ini karena

penyakitku tidak bisa disembuhkan.” jawab Nou.

“Astaga!” Nenek itu terkejut mendengar jawaban

Nou. Ia mendekat untuk dapat melihat penyakit apa

gerangan yang diderita gadis kecil di hadapannya itu,

sejurus kemudian mengangguk-angguk. “Tapi mengapa

harus ke hutan ini? Apakah mereka tidak tahu hutan ini

dihuni oleh seorang raksasa?” sambung si nenek lagi.

“Haah... raksasa...? Saya takut. Tolonglah saya,

Nek.” Nou terkejut dan gemetaran mendengar kata-kata

si nenek.

“Tenanglah, Nenek akan berusaha menolongmu dari

raksasa itu asal kamu mau mengikuti kata-kata nenek.

Sebentar lagi dia akan datang. Kamu harus bersembunyi

dan tenang di tempat persembunyianmu. Jangan

membuat atau menimbulkan suara apapun supaya dia

tidak mengetahui keberadaanmu. Kalau dia tahu

keberadaanmu, maka nenek tidak akan mampu

menolongmu. Kamu paham ucapan nenek, Nou?”

Page 86: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

80

“Nou paham, Nek. Terima kasih.” jawab Nou

sedikit lebih tenang karena merasa mempunyai teman di

hutan yang gelap dan sunyi itu.

Pembicaraan terjadi antara Nou dan si nenek dengan

panjang lebar. Tidak terasa suasana akrab terjalin antara

keduanya. Nou yang tadinya sudah putus asa merasa

sebatang kara merasa sangat bersyukur atas kehadiran si

nenek di samping. Rasa-rasanya ingin menganggap

perempuan tua itu sebagai neneknya sendiri. Apalagi si

nenek mau menerima dan sama sekali tidak

memperlihatkan sikap jijik kepadanya yang penyakitan.

Si sisi lain, si nenek tua sangat iba kepada nasib Nou.

Ingin rasanya mengajak Nou tinggal bersamanya jikalau

hutan itu tidak berbahaya bagi keselamatan si Nou. Ia

tidak habis pikir mengapa ada orang tua yang tega

membuang darah dagingnya sendiri. Tidak ikhlas

menerima keadaan fisik anaknya yang menderita

penyakit yang susah disembuhkan. Sedangkan penyakit

itu datangnya dari Allah SWT., sebagai ujian bagi

hamba-hamba-Nya yang beriman dengan taat, sebagai

peringatan bagi hamba-Nya yang beriman tetapi terlupa

Page 87: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

81

dan terlena dengan kehidupan dunia, sebagai hukuman

bagi hamba-Nya yang gemar melakukan dosa dan

maksiat, dan sebagai azab bagi hamba-Nya yang

mengingkari kekuasaan-Nya.

Sedang asyiknya mereka berbincang, tiba-tiba tanah

yang mereka duduki bergetar. Pepohonan ikut bergetar.

Getaran itu semakin lama semakin keras, bahkan diikuti

suara mendentum.

“Bunyi apa itu, Nek?” Nou bertanya dalam

keterkejutannya. Seketika ia gemetar ketakutan.

“Itu langkah kaki si raksasa yang nenek bicarakan

tadi. Sekarang pergilah engkau bersembunyi di

rerimbunan pohon di sebelah sana. Ingat pesan nenek

tadi, jangan timbulkan suara apapun, tutup mata dan

telingamu seolah-olah sedang tertidur, supaya kamu

tidak melihat wajahnya yang mengerikan dan mendengar

suaranya yang menakutkan. Raksasa itu bisa merasakan

bau badan, detak jantung, dan bau darah manusia. Ia

memiliki kemampuan mengenali mangsa dengan baik.

Ayo cepat! Segeralah bersembunyi!” kata si nenek

Page 88: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

82

kepada Nou. Nou pun segera bersembunyi di rumpunan

semak dan pohon yang ditunjuk oleh nenek tadi.

Tidak lama berselang tibalah si raksasa dan

langsung berdiri tepat di hadapan si nenek. Tampaklah

wajahnya yang sama dengan manusia, tapi sangat

mengerikan. Empat gigi taringnya, dua di bagian atas,

dan dua di bagian bawah menyembul keluar dari bibir

tebalnya hidungnya besar, kedua bola matanya menonjol

keluar besar dan merah. Kepalanya botak, tidak ada

selembarpun rambut yang tumbuh di atasnya. Hidung

dan telinganya memakai anting-anting yang terbuat dari

tulang. Dadanya ditumbuhi bulu lebat. Tingginya hampir

empat kali tinggi badan si nenek.

“Aku mencium bau manusia yang membusuk.

Wahai, Nenek Tua, apakah engkau yang

membawakannya buatku?” raksasa itu gembira melihat

si nenek datang ke tempatnya bersama ember kecil di

tangannya. Ia senang sekali karena menyangka si nenek

membawakannya daging manusia.

“Bukan daging manusia. Ini daging anoa yang kau

tangkap kemarin. Baunya sudah membusuk.” Jawab si

Page 89: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

83

nenek kepada raksasa. Ia khawatir raksasa itu

mengetahui kehadiran Nou karena penyakit yang diderita

Nou memang mengeluarkan bau busuk. Makanya, si

nenek cepat-cepat memberikan alasan yang yang bagi

raksasa itu.

“Tetapi baunya seperti manusia ya?” Raksasa itu

masih penasaran dengan bau ia yang rasakan.

“Betul. Baunya memang seperti bau manusia yang

sudah membusuk, karena sisa daging anoa itu saya olah

dengan rempah-rempah lain supaya baunya mirip bau

daging manusia. Engkau kan suka dengan aroma daging

manusia.” Si nenek mencoba bersikap tenang. Ia

berusaha bersikap tenang untuk menutupi

kecemasannya. Kalau sampai raksasa itu tau kegelisahan

si nenek, Nou pasti ketahuan ada di sekitar situ.

“Engkau memang baik hati, Nenek Tua.” ucap

raksasa senang. Ia percaya betul bahwa nenek tua yang

baik hati dan jujur itu pandai mengolah makanan.

Selama ini, makanan apapun yang disediakan si nenek

selalu lezat di tenggorokannya. “Kalau begitu saya

istirahat dulu, sebentar saya akan menyantap habis

Page 90: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

84

makanan itu setelah terbangun.” sambung raksasa lalu

beranjak keluar menuju ke gua kediamannya

yangletaknya tak jauh dari tempat itu.

Setelah raksasa itu pergi dan si nenek merasa sudah

aman, barulah ia memanggil Nou keluar dari tempat

persembunyiannya lalu mmberinya makanan.

“Keluarlah Nou, raksasa itu sudah pergi. Sekarang

duduklah di balok kayu di dekat persembunyianmu tadi.

saya akan mengambilkan makanan lalu meramu obat

untuk menyembuhkan penyakitmu itu.”

“Baik, Nek. Terima kasih.”

Si nenek segera mengambilkan makanan untuk Nou,

kemudian mencari dedaunan dan rerumputan di sekitar

gua untuk dijadikan obat. Setelah mendapatkan apa yang

ia cari, nenek itupun segera merebus dan meramunya

menjadikan obat.

“Bersyukurlah tempat istirahat raksasa itu luas dan

cukup panjang ke dalam gua. Tempatnya juga tidak

bersih, banyak tulang-tulang binatang berserakan,

sehingga bau badanmu tidak mudah ia kenali. Engkau

Page 91: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

85

tinggallah untuk beberapa hari di tempatku ini. Nanti

kalau penyakitmu itu sudah sembuh barulah segera pergi

mencari tempat yang lebih aman.” Sambil berkata

panjang lebar, si nenek menggilas-gilas sampai halus

ramuan obat yang telah ia direbus. Sesekali ia meniup

asap yang mengepul dari obat tersebut.

“Minumlah dahulu obat ini, lalu gantilah pakaianmu

dengan gunakan sarung ini, setelah itu segeralah

berbaring. Nenek akan mengoleskan ramuan obat ke

sekujur tubuhmu, kamu harus tahan rasa panasnya, ya.”

kata nenek memperingatkan Nou.

“Baiklah, Nek.” Nou menjawab menyanggupi.

“Aduh. Panas sekali rasanya sekujur badanku, Nek.”

Nou ramuan si nenek.

“Tahanlah, Nou, rasa panas itu akibat obat ramuan

itu.”

“Hah? Lihatlah, Nek, penyakitku sudah sembuh,

benar-benar sudah sembuh. Terima kasih, Nek.” Nou

senang dan girang bukan main melihat penyakit kulitnya

berangsur-angsur sembuh.

Page 92: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

86

“Syukurlah kalau begitu. Ternyata sesuai perkiraan

nenek, kalau penyakitmu itu masih bisa disembuhkan

oleh ramuan obat yang kubuat.” kata si nenek sambil

berjalan menuju balai-balai. Terlihat si nenek mengambi

dua bungkusan di atas balai-balai itu, kemudian kembali

menghampiri Nou menyerahkan kedua bungkusan tadi.

“Ini ada dua bungkusan saya berikan untukmu. Satu

berisi beberapa lembar pakaian, buka dan pakailah.

Sedangkan bungkusan yang ini berisi emas dan berlian,

gunakanlah sebagai bekalmu.”

Nou segera membuka bungkusan berisi pakaian dan

mengganti pakaiannya. Setelah selesai, Nou membuka

bungkusan yang satu lagi dan melihat isinya, “Waaah...,

Nek, ini banyak sekali. Mengapa Engkau memberikan

harta sebanyak ini, Nek. Bagaimana saya bisa membalas

budi dan jasa-jasa Nenek? Nou senang bukan main. Ia

tidak menyangka di tempat seperti ini, sebuah gua di

dalam hutan yang terpencil dan berbahaya, tinggal

seorang nenek tua yang sangat baik hati. Ia juga

mengasuh seorang raksasa yang bengis. Namun,

Page 93: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

87

kebengisan raksasa itu langsung hilang jikalau di

hadapan si nenek.

“Jangan kau pikirkan itu, Nou. Bawalah harta itu,

kau lebih membutuhkannya daripada nenek. Hidupmu

masih panjang. Pesan nenek, cari dan temukan kembali

orang tuamu. Sebenarnya mereka tidaklah jahat. Jikalau

mereka jahat, dalam keputusasaannya mereka pasti

membunuhmu, atau membuangmu ke jurang dimana

tidak ada seorangpun yang bisa menemukanmu. Mereka

hanya lemah dan mudah putus asa, sehingga mereka

khilaf dengan mengucilkanmu di hutan yang terpencil

ini. Untuk itu, jikalau engkau sudah menemukan mereka,

berbaktilah kepada mereka. Anggap apa yang telah

mereka perbuat kepadamu tidak pernah ada. Semoga

orang tuamu menyadari kekhilafan mereka, dan semoga

hidup kalian di hari depan lebih beruntung. Berikan harta

itu kepada ibumu untuk dimanfaatkandi jalan yang baik.

Harta itu cukup untuk kau gunakan menuntut ilmu di

kota. Tuntutlah ilmu dan pengetahuan setinggi-

tingginya, karena orang yang berilmu dan

berpengetahuan luas sangat mudah meraih cita-citanya.

Page 94: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

88

Ingat pula dua hal, Cucuku, “Ilmu dan pengetahuan lebih

berharga daripada emas dan berlian. Kasih sayang orang

tua lebih utama dibandingkan emas dan berlian.” pesan

si nenek panjang lebar dengan perasaan iba dan penuh

kasih sayang.

Si nenek sangat ingin mengajak Nou tinggal

bersamanya, tetap ia merasa keselamatan Nou bisa

terancam. Lagipula, si nenek sadar bahwa gadis kecil itu

masih memiliki orang tua kandung. Nou harus

menemukan orang tuanya dan berbakti sepenuhnya

kepada mereka. Sejahat-jahatnya orang tua kepada

anaknya, pasti masih lebih besar kasih sayangnya.

Seburuk dan sejelek apapun orang tua kita pasti masih

lebih baik daripada orang lain.

Nou terdiam dan memperhatikan dengan baik pesan-

pesan yang diucapkan si nenek kepadanya. Air matanya

menetes perlahan di kedua pipinya yang halus tanpa ia

rasakan. Seketika itu pula ia merasa sangat rindu kepada

kedua orang tuanya. Dia tidak dendam. Bahkan, Nou

merasa bahwa dirinyalah yang menyebabkan kedua

orang tuanya putus asa dalam mengasuhnya.

Page 95: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

89

“Terima kasih, Nek. Terima kasih atas semua pesan

dan nasehat nenek. Pesan dan nasehat Nenek sangat

berharga. Nou akan selalu ingat pesan dan nasehat

Nenek. Nou akan mencari orang tua Nou, dan memohon

ampun kepada mereka. Suatu saat, kalau saya dan kedua

orang tua sudah bertemu dan berkumpul kembali. Nou

akan mengajak mereka mengunjungi Nenek.” kata Nou

kepada si nenek. Suaranya bergetar dan sedikit terbata-

bata lantaran terharu dengan nasehat si nenek. Ia juga

sangat terharu karena harus berpisah dengan nenek tua

yang sangat baik hati itu.

“Iya, Nou. Sekarang pergilah menuju matahari

terbenam. teruslah berjalan sampai engkau tiba di Sungai

Bulango. Lalu, ikuti terus aliran sungai itu sampai

engkau tiba di sebuah kampung. Mungkin itulah

kampung, karena hanya kampung itu yang paling dekat

jaraknya dengan hutan ini.”

Nou langsung memeluk si nenek tua dengan erat. Ia

terharu sekali. Ia sayang sekali kepada nenek yang baik

hati itu. Sangat berat rasanya berpisah dengan si nenek.

Ia berjanji dalam hati, jika dirinya sudah bertemu dengan

Page 96: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

90

ibu dan ayahnya, keduanya akan diajak mengunjungi si

nenek. Cukup lama Nou memeluk si nenek yang sudah

ia anggap sebagai neneknya sendiri. Selanjutnya, Nou

segera berangkat mencari kedua orang tuanya. Ia

mengikuti jalan yang ditunjukkan si nenek. Nenek tua

itupun memandangi kepergian Nou sampai Nou tidak

terlihat lagi oleh kedua mata tuanya. Si nenek tua

mengusap wajah keriputnya dengan kedua tangannya,

lalu masuk ke dalam gua melanjutkan pekerjaannya.

Nou menempuh perjalanan dengan aman. Ia

mengikuti jalan yang ditunjukkan si nenek. Menurut si

nenek, di waktu siang yang cukup terik ini raksasa

penghuni hutan masih tertidur pulas. Lagipula, jalanan

yang dilaluinya bukanlah jalan yang biasa dilalui si

raksasa.

Sambil terus berjalan, Nou kembali teringat pesan

nenek tua itu. Ia merenungi semua pesan dan nasehat si

nenek dengan dalam-dalam. Di tengah-tengah

renungannya, muncul rasa rindu Nou kepada kedua

orang tuanya yang sudah cukup tua. Rindu kepada

ibunya yang sangat memanjakannya. Rindu kepada

Page 97: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

91

ayahnya yang selalu menggendongnya, jikalau ayahnya

pulang dari bekerja di kota. Dulu, masih pagi-pagi

sekali, ayah sudah berangkat kota untuk bekerja dan

mencari nafkah buat kebutuhan keluarga. Hanya

berbekal nasi dan lauk secukupnya ayah berjalan kaki ke

kota yang jaraknya cukup jauh. Ibu menggendongnya

pergi mencari buah-buahan dan kayu bakar di hutan.

Buah-buahan dan kayu bakar itulah yang dikumpulkan

untuk dibawa oleh ayah untuk dijual di kota. Sebelum

siang, mereka kembali ke rumah. Ibu memasak makanan

buat mereka berdua, sedangkan Nou asyik bermain di

halaman.

Setelah makan siang, ibu beristirahat secukupnya,

lalu sore hari kembali lagi ke hutan mencari buah-

buahan dan kayu bakar. Mereka kembali sebelum senja.

Setiba di rumah, ibupun langsung merapikan buah-

buahan dan kayu bakar yang dibawa dari hutan.

Selanjutnya, ibu ke dapur dan memasak untuk makan

malam mereka bertiga. Adapun Nou, kembali asyik

dengan mainannya. Ia bermain sambil menunggu

ayahnya pulang. Sesampai di rumah, ayah tidak langsung

Page 98: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

92

beristirahat, karena Nou pasti merengek minta digendong

kesana-kemari, lalu bermain kejar-kejaran.

Mereka berhenti bermain begitu magrib tiba.

Ayahnya pun dapat beristirahat dan mandi. Sedangkan

Nou segera dimandikan oleh ibu. Setelah itu, mereka

bertiga menantikan waktu makan malam. Begitulah

kehidupan mereka sehari-hari. Ibu dan ayah sangat

sayang kepadanya.

Nou tahu bahwa dirinya disayang. Ia menjadi sangat

manja dan pemalas. Nou tidak pernah membantu ibu

mengumpulkan buah-buahan dan kayu bakar. Ia malah

keasyikan bermain dengan boneka kayunya yang

dibuatkan ayahnya. Nou juga tidak pernah membantu ibu

memasak ataupun mencuci piring. Bahkan, ia selalu

membantah jika ibu dan ayahnya memintanya belajar.

Meskipin begitu, ibu dan ayahnya tetap sabar dan sayang

kepadanya.

Hingga tibalah bencana yang menyedihkan itu. Nou

tiba-tiba terkena penyakit kulit yang berbau dan menular.

Akibatnya penyakitnya itu, waktu bagi ayahnya untuk

mencari nafkah berkurang. Ibunya pun tidak lagi ke

Page 99: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

93

hutan mencari buah-buahan dan kayu bakar. Mereka

sibuk mencarikan ramuan obat. Bahkan sering ayahnya

mencarikan orang yang pandai mengobati dan membayar

mereka untuk mengobati penyakit Nou. Namun,

berbagai usaha telah mereka lakukan tetapi penyakit Nou

tak kunjung sembuh.

Akhirnya, ayahpun menyerah dan putus asa. Dengan

sangat terpaksa ayah mengajak ibu membuangnya di

sebuah gua di dalam hutan. Hingga akhirnya, bertemulah

Nou dengan nenek tua yang baik hati itu. Ternyata,

nenek itu yang menghuni gua tempatnya dibuang. Si

neneklah yang merawat dan menyembuhkan penyakit

kulit Nou. Si nenek pula yang memberinya bekal berupa

makanan, pakaian, bahkan perhiasan. Semua ingatan itu

membuat dirinya sangat sedih. Ia merasa sangat berdosa

kepada kedua orang tuanya. Ia pun segera bertobat dan

memohon ampun kepada Yang Mahakuasa. Ia berdoa

masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kedua

orang tuanya. Ia berjanji dalam hati akan patuh dan

berbakti sebaik-baiknya kepada ibu dan ayahnya. Ia pun

berdoa semoga ibu dan ayahnya tetap diberi kesehatan.

Page 100: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

94

Sepanjang jalan Nou tak henti-hentinya berdoa untuk

kedua ibu dan ayahnya.

---***---

Pagi itu, tidak seperti biasanya. Sepertinya ada

sebuah kejadian atau peristiwa yang bakal terjadi. Di

pagi hari seperti ini, penduduk setempat maupun orang-

orang yang datang dari berbagai tempat biasanya sibuk

dengan pekerjaan masing. Ada yang berdagang

campuran, berdagang ternak, menjual kain, ikan, dan

sebagainya. Akan tetapi, di pagi itu semua orang

berkumpul di sebuah lapangan besar yang letaknya tidak

jauh dari pasar.

“Ampun, Tuanku Yang Mulia, hamba Teme Kadi

memberi hormat dan mengantarkan Tuanku ke kursi

kehormatan.” Seorang pria berumuran 50 tahunan

menjemput dan memberi hormat kepada pria yang tiba

bersama beberapa pengawal di belakangnya. Pakaiannya

sangat indah dan mewah, berwarna merah, hitam, dan

kuning keemasan. Ia memakai mahkota di kepalanya.

Mahkotanyapun sangat indah dan berkilauan karena

berhiaskan mutiara berbagai warna. Teme Kadi, pria

Page 101: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

95

yang menjemputnya tadi segera berjalan di belakang

mengikuti dan mengantarnya ke panggung menuju ke

sebuah kursi yang telah disediakan sebelumnya.

Beberapa orang di belakangnya ikut menempati kursi-

kursi yang yang terletak di sisi kanan dan kiri kursinya.

Teme Kadi yang berdiri sambil membungkuk di

depannya kembali berkata, “Ampun, Tuanku, Raja

penguasa negeri. Dengan kehadiran izin Tuan, maka

sidang adat segera dimulai.” Selesai mengucapkan kata-

kata, Teme Kadi segera mengeluarkan selembar kertas

yang tergulung dan diikat rapih dengan benang berwarna

merah. Setelah ikatannya dilepaskan kertas bergulung itu

ia serahkan kepada pria yang ternyata raja penguasa di

negeri itu.

Sang Raja segera membuka gulungan kertas,

memerhatikan isinya, kemudian berkata dengan lantang.

“Atas nama Tuhan Yang Mahaesa, pengadilan adat

segera kita mulai. Sebelum kedua rakyatku yang

tertuduh, Madi dan Halijah dijatuhi hukuman adat, siapa

di antara rakyatku yang lain yang bersedia memberikan

Page 102: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

96

kesaksian? Sang Raja memulai siang adat secara

bijaksana. Suaranya lantang dan penuh wibawa.

Salah seorang di antara kerumunan orang yang

berada di barisan depan naik ke atas panggung lalu

hormat membungkukkan badan, “Ampun, Tuanku

Yangmulia, saya Teme Sajapi mohon izin menceritakan

fakta. Sudah beberapa hari ini anak mereka, Nou, tidak

terlihat bermain di rumahnya. Setiap petang sepulang

bekerja di sawah, saya selalu melihatnya bermain di

halaman rumah mereka dan menegurnya. Setelah tiga

hari tidak melihatnya, sayapun bertanya-tanya dalam hati

dan khawatir jikalau telah terjadi sesuatu kepada

Nou.Saya mengira penyakit anak mereka, Nou,

bertambah parah. Jikalau benar demikian, saya sebagai

tetangga terdekatnya merasa berkewajiban

membantunya. Lalu saya mengunjungi rumah mereka

dan menanyakan perihal keadaan Nou kepada Madi dan

Halijah. Akan tetapi, mereka menghindar dan

mengatakan kalau Nou baik-baik saja. Nou hanya sedang

malas keluar rumah dan lebih senang bermain di dalam

rumah.” Teme Sajapi bercerita panjang lebar.

Page 103: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

97

“Baik. Selanjutnya, apakah masih ada tuduhan

lain?” bertanya Sang Raja lagi kepada rakyatnya.

Seorang perempuan berumur 40 tahunan dari sudut

kiri naik ke panggung pengadilan adat, lalu

membungkukkan badannya untuk memberi hormat

kepada raja. “Ampun, Tuanku Yang Mulia. Nama saya

Hapusa mohon izin menceritakan fakta yang saya lihat,

bukan kabar yang saya dengar. Selama ini, pekerjaan

saya sama dengan pekerjaan Halijah, yaitu mencari

buah-buahan dan kayu bakar di hutan untuk dibawa ke

pasar dan dijual. Kami setiap hari bertemu jadi saling

kenal satu sama lainnya, begitu juga dengan anaknya,

Nou. Namun, selama empat hari lalu, saya melihat

Halijah tidak lagi membawa Nou bersamanya, ia

ditemani suaminya, Madi, tetapi bukan untuk mencari

buah-buahan dan kayu bakar. Mereka menebang kayu

yang ada di hutan. Sudah dua kali mereka menebang

kayu. Sepengetahuan saya, tanah di hutan itu bukan

milik mereka, tetapi saya tidak mau menuduh mereka

mencuri. Lalu, saya menanyakan perihal tersebut kepada

perwakilan dewan adat negeri. Oleh Dewan Adat

Page 104: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

98

Perwakilan Negeri mengatakan bahwa perbuatan mereka

adalah tindakan pencurian yang bisa merugikan negeri

kita sendiri. Saya pun menyampaikan kepada Madi dan

Halijah, agar mereka menghentikan perbuatan tersebut.

Akan tetapi, mereka beralasan bahwa semua orang

berhak mengambil dan menebang pohon di hutan.

Mereka yakin bahwa pohon-pohon itu tumbuh secara liar

di hutan dan tidak ada seorang pun yang memilikinya.

Sayapun tidak berbuat apa-apa lagi. Sampai akhirnya,

orang-orang Dewan Adat Perwakilan Negeri sendirilah

yang melihat perbuatan mereka. Saya Hapusa

menceritakan yang sebenar-benarnya, saya tidak berani

menambah-nambah ataupun mengurangi kejadian

ataupun perbuatan yang saya lihat, Tuanku.” cerita

Hapusa lalu memberi hormat memohon izin kembali ke

tempatnya semula.

Raja mendengarkan cerita kedua rakyatnya tadi

dengan saksama. “Apakah masih ada tuduhan yang

lainnya.” tanya Raja kembali bertanya kepada penduduk

negeri yang berkumpul. Para penduduk saling pandang,

mengira-ngira jikalau masih ada lagi yang akan bersaksi.

Page 105: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

99

Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi

seorangpun yang maju dan naik ke atas panggung, sang

raja mengarahkan pandangannya kepada Madi dan

Halijah, “Apakah kalian mendengar dengan jelas cerita

kedua penduduk tadi dan apakah mereka menceritakan

kebenaran perbuatan kalian?”

“Ampun, Tuanku Yang Mulia, saya mendengar

dengan jelas semua cerita mereka dan yang mereka

ceritakan benar adanya, Tuanku.” jawab Madi dan

Halijah bersamaan sambil membungkukkan badan.

“Sekarang, saya mengizinkan kalian berbicara untuk

membela diri atau mengemukakan alasan kalian

mengapa melakukan perbuatan seperti itu.” Raja secara

bijaksana memberikan kesempatan kepada Madi dan

Halijah untuk berbicara. Meskipun, mereka berdua

mengakui kebenaran cerita kedua penduduk tadi, namun

sang raja tidak mau sewenang-wenang kepada rakyatnya.

Siapapun dia dan apapun statusnya, sang raja tetap

menganggap bahwa rakyat harus diberi hak dan

kewajiban yang sama. Apalagi dalam perkara hukum

Page 106: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

100

begini, mereka berhak memberi alasan atau membantah

untuk memberikan kebenaran yang sebenarnya.

“Terima kasih, Tuanku Yangmulia dan bijaksana.

Saya mewakili istri saya untuk berbicara. Sebelumnya,

saya mohon ampun, Tuanku. Ada dua kesalahan yang

telah kami perbuat, yaitu penebangan pohon di hutan dan

membuang anak sebagai pelanggaran malaksanakan

kewajiban sebagai orang tua.” Madi berbicara dengan

suara terbata-terbata. Sejenak ia terdiam, ia berpaling

kepada istrinya, memeluknya, menciumi dahinya, dan

menyeka air mata yang menetes di pipinya yang mulai

berkeriput. Lalu, iapun menyeka air matanya sendiri.

Madi menarik nafas panjang berusaha mendapatkan

kekuatan untuk bercerita kembali.

“Saya akan memulai dari dakwaan penebangan

pohon terlebih dahulu, Tuanku. Awalnya, pekerjaan

kami sehari-hari adalah mencari buah-buahan dan kayu

bakar. Adalah istri saya yang melakukan pekerjaan

tersebut, dan saya yang akan membawanya ke kota untuk

di jual. Setiap hari di waktu pagi-pagi sekali saya sudah

berangkat dengan berjalan kaki menuju kota yang

Page 107: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

101

jaraknya cukup jauh dari kampung kami. Setiba di kota,

selain menjual, saya mencari pekerjaan sampingan di

sekitar pasar, yaitu membantu penempa besi membuat

pisau, parang, dan alat perkakas lainnya, sering juga saya

memperbaiki rumah penduduk jikalau ada yang rusak,

dan beberapa pekerjaan lainnya. Semua jenis pekerjaan

akan saya lakukan demi menghidupi keluarga kami,

sepanjang pekerjaan itu halal. Saya tidaklah pernah

mengeluh. Demikian pula dengan istri saya. Ia tidak

pernah berkeluh kesah terhadap kekurangan kami.

Meskipun kami sering mengalami kekurangan makanan,

tapi kami tidak pernah sekalipun mengharapkan welas

kasih dan bantuan orang lain untuk menalanginya.

Padahal, tetangga dan teman-teman sekampung sering

menawarkan bantuan makanan. Kami bukannya

sombong, melainkan menjaga diri dari sikap manja dan

malas bekerja. Sepanjang kaki masih bisa berdiri,

betapapun susahnya hidup biarlah kami pikul sendiri.

Itulah prinsip hidup kami, Tuanku Yangmulia. Hingga

terjadilah satu peristiwa yang luar biasa. Cobaan

mendatangi kami. Persediaan makanan dan keuangan

keluarga berkurang. Dengan sangat terpaksa kami

Page 108: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

102

berutang kepada tetangga sekampung danteman-teman di

kota. Cukup lama uang mereka saya pinjam tanpa

pengembalian sepeser pun.” Madi berhenti sejenak, lalu

membungkukkan badan tanda meminta izin melanjutkan

ceritanya kembali. Sang Raja menganggukkan kepalanya

pertanda mengizinkan.

“Keadaan tersebut yaitu banyaknya utang memaksa

kami berpikir keras mencari jalan keluar agar bisa segera

mengatasinya. Satu-satunya jalan keluar yang saya

temukan adalah dengan cara menebang pohon di hutan,

hasilnya saya jual ke kota. Saya yakin hanya dengan

jalan itu utang-utang kami bisa segera kami lunasi.

Selama empat hari saya telah menebang empat pohon

dengan memilih jenis kayu yang terbaik. Pada hari ketiga

penebangan, Hapusa menemui istri saya dan

memberitahukan perihal larangan menebang pepohonan

yang berada di sekitar hutan. Akan tetapi, kami sudah

kepalan tanggung untuk menghentikannya.Kami

kekurangan makanan, keuangan kami habis, ditambah

lagi dengan sejumlah utang yang harus kami lunasi,

membuat saya tidak berikir lebih panjang untuk

Page 109: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

103

memikirkan perihal larangan tersebut. Apalagi, saya

masih meyakini jikalu pohon-pohon itu tumbuh secara

liar dan tidak ada yang memilikinya. Sampai pada hari

keempat setelah selesai melakukan penebangan yang

keempat, Tuan-tuan dari Dewan Adat Perwakilan Negeri

datang menangkap kami. Begitulah jalan ceritanya untuk

dakwaan penebangan pohon, Tuanku Yangmulia.” Madi

kembali berhenti sesaat, lalu membungkukkan badannya

meminta izin kepada raja.

“Lanjutkan ceritamu.” perintah raja singkat seraya

mengangkat tangannya pertanda memberi izin.

“Beberapa tahun sebelumnya, kehidupan saya

bersama istri rukun dan sangat berbahagia. Meskipun

kami hanya sebuah keluarga miskin, namun kehidupan

kami mungkin lebih bahagia dibandingkan orang

kebanyakan. Apalagi setelah Eya mengaruniai kami

seorang putri yang sudah sejak lama kami dambakan.

Kebahagiaan kami bertambah tiadalah terkira. Semangat

kerja saya untuk memenuhi kebutuhan keluarga

bertambah besar. Pekerjaan kami tidak berubah, tetapi

semangat kerja kami berlipat ganda. Setiap pagi sebelum

Page 110: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

104

berangkat, Nou, putri mungil kami pasti merengek minta

digendong berkeliling halaman rumah. Sebelum sore hari

saya pulang, si Nou yang sudah hafal dengan waktu

kedatangan saya, pasti sudah menunggu di

halamandengan cerianya. Seperti itulah kebahagiaan

hidup kami jalani setiap hari. Kebahagiaan yang tiada

terkira. Sayangnya, kebahagiaan itu tidak sepanjang

hidup kami. Terlalu singkat kebersamaan kami Eya

berikan. Namun, apalah daya seorang hamba. Eyalah

Yang Maha Berkehendak. Kami hanya bisa pasrah

dalam keputusasaan.” Madi menghentikan ceritanya.

Matanya mulai berkaca-kaca, mengenang beberapa hari

yang lalu saat-saat terakhir kebersamaan mereka dan

putrinya. Sejenak ia berpaling kepada istrinya,

memeluknya, dan menciumi dahinya, memberi ketegaran

kepada istrinya. Madi menarik napas panjang dua kali

kemudian melanjutkan ceritanya.

“Hingga pada suatu hari, datanglah sebuah ujian

yang sangat berat menimpa kami. Nou, putri kami

terkena penyakit kulit yang menular. Kami panik. Kami

berupaya melakukan segala cara untuk dapat

Page 111: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

105

menyembuhkannya. Mulai orang-orang sekampung

sampai ke penduduk di kota kami tanyai jikalau ada di

antara mereka yang tahu obat penyembuhnya ataupun

tabib yang mampu mengobati dan menyembuhkan

penyakit Nou. Tidak sedikit saran yang kami dapatkan,

baik itu berupa ramuan, maupun tabib. Kami mencari

semua ramuan yang disarankan kepada kami,

mengolahnya menjadi obat. Di samping itu, beberapa

tabib kami datangi, tidak peduli harus berjalan selama

berhari-hari, melintasi sungai, ataupun menyeberangi

pulau, kami tetap lakukan asalkan penyakit putri kami

dapat disembuhkan. Setelah tabib pertama tidak mampu

menyembuhkannya, kami mendatangi tabib kedua. Tabib

kedua tidak mampu, kami mengunjungi tabib ketiga.

Begitu seterusnya, hingga kami tidak tahu lagi berapa

jumlah tabib yang telah kami datangi, tetapi hasilnya

masih sama. Penyakit Nou tidak sembuh-sembuh juga.

Selain itu,tidak sedikit pula tabib yang kami undang ke

rumah untuk mengobatinya. Namun, semua upaya kami

sia-sia. Bahkan, penyakit Nou kian hari semakin

memburuk. Penyakit kulit itu sudah menjangkiti ke

seluruh badannya. Hampir sepanjang siang dan malam ia

Page 112: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

106

mengeluh dan menangis merasakan gatal dan perih yang

ditimbulkan oleh penyakitnya itu. Melihat kondisinya

yang semakin parah membuat saya putus asa. Namun,

istri saya tetap memberi dorongan dan kekuatan untuk

terus mencoba dan berupaya. Obat dan ramuan tetap

kami cari setiap hari, waktu kami banyak tercurahkan

untuk mencari ramuan obat. Kami sudah tidak sanggup

lagi memanggil tabib, karena uang persediaan hidup

keluarga kami telah habis kami gunakan untuk

membayar para tabib. Bahkan utang kami pun

bertumpuk. Saya sudah jarang ke kota berjualan dan

mencari nafkah. Halijah, istriku, juga sudah jarang

mencari buah-buahan dan kayu bakar di hutan oleh

karena waktu kami banyak tercurah untuk mencari

ramuan obat. Namun, dua bulan berupaya di tengah-

tengah keputuasaan membuat saya menyerah. Penyakit

Nou tetap bertambah parah, bahkan mengeluarkan bau

busuk. Rintihan dan tangisan Nou semakin menjadi-jadi

akibat gatal dan perih yang ia rasakan di sekujur

badannya. Saya tidak tahan lagi melihat penderitaan

putri kami. Ingin rasanya mengakhiri penderitaannya

dengan jalan membunuhnya saja. Namun, naluri sebagai

Page 113: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

107

orang tua tidak sanggup melaksanakannya. Saya semakin

bingung dan putus asa. Akhirnya, saya menyerah.

Dengan hati yang hancur tak terkira, saya memaksa istri

saya, Halijah agar menyetujui usulan saya, yaitu

menelantarkannya ke hutan. Ya, anak kami satu-satunya.

Anak yang kehadirannya sangat lama kami damba-

dambakan, terpaksa kami buang dan kami telantarkan di

hutan.” Madi menghentikan ceritanya. Ia kembali

menyeka air mata yang membasahi pipinya. Ia berpaling

kepada istrinya yang juga tak henti-henti menyeka air

mata. Madi mangambil tangan Halijah, menggenggam

erat jari-jarinya.

“Maafkanlah saya, istriku.” ucapnya kepada istrinya

dengan perasaan sedih tiada terkira. Halijah, hanya

sanggup memeluk suaminya tanpa sanggup berkata

sepatah katapun. Cukup lama Madi terdiam. Badannya

bergetar berusaha menahan gejolak kesedihannya.

Beberapa kali ia menarik nafas panjang sekadar untuk

mengumpulkan kekuatan agar dapat bercerita lagi. Sang

Rajapun dengan sangat bijaksana tidak menyela kedua

rakyatnya yang terdakwa itu.

Page 114: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

108

Akhirnya, Madi mendapatkan sedikit kekuatan batin

untuk melanjutkan ceritanya. “Setelah kami membuang

Nou, kami segera pulang. Sungguh tiada kata-kata yang

dapat melukiskan betapa hampa hati kami merasakan

suasana rumah tanpa suara si Nou. Kami mengingat-

ingat kembali semua peristiwa dan kejadian sejak Nou

lahir hingga di malam pembuangannya. Suara tangisan

pertamanya sampai tangisan terakhirnya di dalam gua,

terus terdengar dan menjadi bahan tangisan kami setiap

malam. Sampai detik ini kami seolah-olah masih tidak

percaya akan musibah yang menimpa kami. Sungguh,

Yang Mulia, sayalah yang pantas dihukum atas

kejahatan-kejahatan itu. Istri saya sama sekali tidak ada

niat untuk melakukannya. Ia terpaksa mengikutinya

lantaran sayalah yang memaksanya.” Madi

menghentikan ceritanya. Kembali jari-jari istrinya ia

genggam. Sedang Halijah hanya mampu bersandar di

bahunya.

“Papa jangan berkata begitu. Kesalahan kita berdua

haruslah kita berdua yang memikulnya. Lagipula, saya

tidak sanggup bertahan hidup jika tidak bersama Papa.”

Page 115: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

109

bisik kata istrinya pelan dan lirih sambil menyeka air

matanya. Mendengar ucapan lirih istrinya membuat

Madi semakin erat menggenggam jemari istrinya yang

mulai mengeriput.

Raja mengangguk-angguk bijaksana mendengar

cerita Madi. Untuk sepintas, Raja memandangi para

Dewan Adat Perwakilan Negeri, penduduk negeri, dan

para penasehat yang mendampinginya, sebelum akhirnya

membuka suara dengan lantang dan berwibawa.

“Baiklah, wahai rakyatku sekalian. Kita telah

mendengar pengakuan yang disampaikan terdakwayang

bernama Madi. Dari ceritanya, mereka telah mengakui

kesalahannya. Sebelum hukuman diputuskan apakah

masih ada dakwaan lainnya atau pihak-pihak

berkeberatan permasalahan utang?” tanya raja kepada

seluruh rakyatnya yang berkumpul.

Setelah menunggu beberapa saat namun tidak ada

lagi yang engajukan tuntutan, maka raja segera

memutuskan hukuman perkara.

Page 116: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

110

“Karena tidak ada lagi tuntutan maupun dakwaan

maka saya sebagai Raja Penguasa Negeri mewakili

seluruh rakyat memutuskan: untuk kesalahan yang

pertama, terdakwa melakukan pelanggaran pencurian

dan penebangan pohon secara liar. Alasan yang dia

kemukakan tidak bisa diterima oleh karena sudah diberi

peringatan berupa nasehat oleh Hapusa, tetapi mereka

tetap melanjutkan penebangan pohon. Hukumannya,

mereka akan penjara, dan harus ditanggung oleh pihak-

pihak yang bersalah sesuai dengan kadar kesalahannya

dan tidak bisa diwakilkan. Untuk Madi sebagai pelaku

utama hukumannya tiga kali lebih berat dan lebih lama

daripada Halijah. Mereka bisa dibebaskan dari hukuman

tersebut jika mampu mengganti ganti rugi yang sesuai

dengan kerugian yang telah timbulkan atau ada orang

yang bersedia menebus ganti rugi tersebut” Raja berhenti

sejenak dan memerhatikan kepada peserta sidang jikalau

ada yang keberatan dengan keputusan hukuman.

“Untuk tuntutan kedua, Madi dan Halijah didakwa

melakukan persekongkolan dalam hal menelantarkan

anak. Perbuatan tersebut sama dengan pelanggaran

Page 117: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

111

terhadap hak hidup penduduk negeri. Hukumannya bisa

dilaksanakan hukuman mati. Akan tetapi, sebelum

kepeutusan sidang diumumkan, terlebih dahulu

dilakukan pencarian terhadap Nou selama seminggu.

Jika Nou ditemukan dalam keadaan masih hidup, maka

Madi dan Halijah sebagai orang tuanya akan dihukum

penjara seberat-beratnya. Akan tetapi, jika Nou tidak

bisa ditemukan, atau ditemukan dalam keadaan sudah

meninggal, maka Madi dan Halijah akan dihukum mati

di tiang gantungan.” Hukuman untuk kasus kedua akan

segera Madi dan Halijah jalani, selesai mereka menjalani

hukuman pada kasus pertama. Semoga keputusan sidang

ini dapat berjalan adil dan kita semoga kita dapat

mengambil hikmahnya.” Raja menutup sidang di siang

hari yang terik itu dengan mengetukkan palu tiga kali.

Selanjutnya, empat orang algojo berbadan kekar dan

tegap, memakai topeng hitam dan bersenjatakan golok

dipinggang segera bergerak. Mereka membagi diri

menjadi dua bagian. Dua orang menggiring Madi dan

dua orang lagi menggiring Halijah. Madi dan Halijah

tertunduk dengan air mata yang berlinang membasahi

Page 118: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

112

pipi mereka. Mereka pasrah menjalani hukuman. Ya...,

apapun hukumannya mereka dengan ikhlas

menjalaninya. Mereka tidak takut. Mereka tidak

memikirkan beratnya hukumannya yang akan mereka

jalani. Yang mereka pikirkan adalah nasib putri mereka,

Nou. Ya, kesedihan atas nasib Nou tidak bisa

digambarkan dengan kata-kata. Meskipun merekalah

yang membuang dan menelantarkan Nou, namun jauh di

lubuk hati Madi dan Halijah tetap tersimpan kasih

sayang sebagai orang tua. Semenjak di malam

pembuangan itu, Madi dan Halijah tak henti-hentinya

mendoakan keselamatan dan kesembuhan Nou. Berharap

terjadi keajaiban.

Raja penguasa negeri beserta para penasehat telah

berdiri dan bersiap-siap melangkah meninggalkan tempat

sidang. Sementara itu, para penduduk negeri yang

menyaksikan proses penggiringan Madi dan Halijah

terdiam seribu bahasa. Mereka merasa sangat iba atas

nasib yang derita keluarga miskin dan sederhana

tersebut. Mereka tak habis pikir, Madi yang dikenal

sebagai sosok yang ramah, pekerja keras, dan jujur itu,

Page 119: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

113

harus menerima kenyataan yang memaksanya putus asa.

Begitupun Halijah, seorang ibu rumah tangga yang setia,

tabah, dan tidak kenal lelah, harus mengkuti rasa

keputuasaan. Dan berbagai macam pertanyaan muncul di

kepala para penduduk.

Pada saat Madi dan Halijah bersama para algojo

yang menggiringnya hendak melangkah turun dari

panggung pengadilan, “Tunggu!” sebuah suara jeritan

menghentikan langkah para algojo tersebut. Langkah

Madi dan Halijahpun terhenti. Suara seorang perempuan.

Para penduduk yang sibuk dengan berbagai pertanyaan

di kepala terkejut dan mendongakkan kepala mengira-

mengira asal suara itu. Sedang mereka yang berada di

sebelah utara panggung menolehkan kepalanya ke arah

seorang anak perempuan belasan tahun. Gadis kecil yang

sedari tadi sesegukan berusaha menahan suara

tangisannya agar tidak terdengar orang lain. Sedang Raja

beserta para penasehatnyapun berhenti, ikut

memalingkan kepala masing-masing ke arah gadis kecil

yang melangkah menuju panggung. Dengan langkah

tergesa-gesa, gadis itu menuju ke rombongan raja dan

Page 120: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

114

penasehatnya. Beberapa orang pengawal yang berada di

sekitar panggung segera bergerak hendak menahan laju

gadis itu. Namun, niat mereka terhenti melihat raja

mengangkat tangannya sebagai isyarat agar membiarkan

gadis itu mendekat. Gadis kecil itu berhenti sekitar

sepuluh langkah di depan raja dan berlutut memberi

hormat.

“Mohon ampun, Tuanku Raja. Saya mohon

ampunilah ibu dan ayah saya.” Si gadis kecil yang

ternyata si Nou itu bermohon dengan suara terbata-bata.

Penduduk di sekitar panggung pengadilan terkesima

setelah mengetahui bahwa gadis kecil yang cantik itu

ternyata Nou. Memang Nou belum dikenali oleh

penduduk di kota. Sedangkan penduduk yang

sekampung dengannya saja sudah tidak ada yang

mengenalinya karena sejak menderita penyakit kulit

bertahun-tahun lalu, Nou tidak bermain lagi dengan

teman-temannya. Ia lebih banyak menghabiskan

waktunya di tempat tidur atau berbaring di bale-bale

bambu di depan rumahnya. Kalaupun ada, yang mereka

kenal adalah Nou yang buruk rupa, atau Nou yang

Page 121: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

115

berpenyakit menular, bukan Nou yang ada sekarang,

cantik dan bersih kulitnya. Apalagi jika melihat

pakaiannya yang terbuat dari bahan halus pemberian

nenek tua di hutan, mereka sulit mempercayainya.

Lain halnya dengan Madi dan Halijah. Sejak

mendengar suara jeritan tadi, suasana hati mereka sudah

tidak menentu. Berdebar-debar dan tidak percaya dengan

apa yang didengarnya. Mereka khawatir suara yang

mereka dengar hanyalah khayalan mereka saja. Akan

tetapi, ketika melihat siapa yang sedang berlutut di

hadapan raja sekarang, gadis kecil yang sedang

memohonkan ampunan buat mereka, lutut mereka pun

jadi goyah, jatuh dan berlutut. Madi dan Halijah tak

mampu lagi berdiri akibat menahan gejolak haru yang

luar biasa di dalam dadanya. Mereka berpelukan dan

sesegukan tanpa mampu berkata sepatah katapun.

Memandangi lekat-lekat tahi lalat kecil di dahi si gadis,

tanda lahir yang sudah lama tidak terlihatkarena tertutupi

oleh penyakit. “Sungguh, Eya..., dia itu anakku, anak

yang dengan tega telah kami telantarkan.... betapa

terkutuknya kami sebagai orang tua. Terima kasih, Eya,

Page 122: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

116

terima kasih telah menyebuhkan anak kami. Engkau

sungguh Maha Mendengar lagi Maha Pemurah, Engkau

masih juga mengabulkan doa-doa orang tua yang

durhaka ini. Sekarang, kami akan tenang dan ikhlas

menjalani hukuman yang berujung kematian ini..

Eya....” Seperti itulah suara batin Madi dan Halijah tak

henti-hentinya memuji kepada Yang Mahakuasa atas

kesembuhan Nou. Masih banyak lagi dan tak henti-

hentinya bantin mereka memuji.

Sementara itu, Sang Raja penguasa negeri

memandangi gadis kecil yang berlutut di hadapannya.

Dengan pandangan teduh ia mendekati Nou, mengangkat

kedua bahu si Nou untuk membantunya berdiri,

“Bangunlah.” perintahnya dengan lembut. Batinnya

tergetar juga melihat kepolosan anak kecil di hadapannya

itu. Nalurinya sebagai manusia sangat menyelesaikan

permasalahan dengan penuh damai. Namun, sebagai

seorang raja yang berkuasa, ia harus tetap menegakkan

hukum adat di negerinya,dan tidak boleh menunjukkan

perasaan itu di hadapan para rakyatnya.

Page 123: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

117

“Terima kasih, Tuanku Yang Mulia.” Nou berdiri

tertunduk. Kepala tertunduk tidak berani menatap raja di

hadapannya. Matanya yang sembab karena air mata

ditancapkan ke lantai panggung sambil berharap semoga

sang raja mengabulkan permintaannya.

“Apakah betul gadis kecil ini anak kalian, Madi.,

Halijah?” tanya raja sambil mengarahkan pandangannya

kepada Madi Halijah yang masih terguncang jiwanya.

Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil

menjawab pertanyaan raja. Namun, hanya bibirnya saja

yang bergetar tanpa ada sepatah katapun yang keluar

bibir kedua orang tua itu. Hanya anggukan kepalanya

yanng jelas terlihat.

“Baik. Oleh karena pihak korban pada kasus

penelantaran anak dan pelanggaran hak hidup penduduk

negeri telah ada, maka sidang untuk kasus kedua dibuka

kembali.” Raja mengetukkan palu satu kali untuk

membuka ulang sidang.

“Nou, sekarang dengarkan dan pikirkan baik-baik

pertanyaan ini. Jawab kalau engkau siap menjawab, atau

mintalah waktu kalau engkau membutuhkan waktu untuk

Page 124: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

118

berpikir. Apakah benar dan secara sungguh-sungguh

engkau memaafkan kedua orang tuamu yang atas

perbuatannya yang sengaja menelantarkan dan

membuang dirimu ke dalam hutan?” Raja mengajukan

bertanya kepada Nou.

“Saya bersungguh-sungguh, Tuanku Yang Mulia.”

jawab Nou seraya menganggukkan kepalanya berkali-

kali.

“Mengapa engkau memafkan mereka? Apakah ada

orang yang mengancam dirimu supaya engkau

memaafkan mereka?‟ Raja bertanya lagi untuk

memastikan keyakinan Nou.

“Tidak ada yang mengancam saya, Tuanku

Yangmulia. Saya menyayangi dan membutuhkan orang

tua saya. Apapun yang telah terjadi, itu karena mereka

terpaksa melakukannya. Lagipula, penyakit itu menimpa

saya atas kesalahan sendiri, bukan kesalahan ibu dan

ayah saya.Sewaktu sehat, saya bermain sesuka hati tanpa

melihat kebersihan tempat saya bermain. Meskipun,

dinasehati bahkan dilarang, saya tidak mengindahkannya

.Saya terlalu manja, malas, dan selalu membantah kata-

Page 125: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

119

kata orang tua. Jadi, sayalah yang harus memohon maaf

kepada ibu dan ayah. Saya yang telah banyak

menyusahkan mereka yang selalu bekerja keras

mencarikan nafkah dan merawat saya, tanpa sedikitpun

ikut membantu.”

“Baik. Oleh karena pihak korban sendiri yang

meminta secara sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak

lain, maka tuntutan menelantarkan anak dan pelanggaran

atas hak hidup penduduk negeri dicabut. Madi dan

Halijah dinyatakan bebas.” Raja mengetuk palu tiga

“Selanjutnya, Madi dan Halijah akan menjalani

hukuman atas dakwaan melakukan penebangan liar yang

dapat merugikan kerajaan dan orang banyak.”

“Ampun, Tuanku Yang Mulia, bisakah saya juga

memohon ampunan agar kedua orang tua saya

dibebaskan hukuman itu agar kami dapat berkumpul

bersama lagi.” Nou memohon, memelas agar

permohonannya dikabulkan Raja.

Raja tersenyum lembut tapi berwibawa mendengar

permohonan Nou.

Page 126: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

120

“Nou, Saya paham dan mengerti isi hatimu, tetapi

ayah dan ibumu melakukan tindakan yang dapat

merugikan negeri beserta penduduknya. Perbuatannya

itu mengancam keselamatan kita semua jika diteruskan.

Jikalau ayah dan ibumu dibebaskan, maka orang-orang

akan menuntut untuk bisa juga menebang pohon agar

dapat memperoleh keuntungan pribadi. Jika hal itu

dibiarkan terjadi, maka hutan dalam waktu singkat akan

gundul. Sedangkan pepohonan itu berfungsi untuk

mencegah terjadinya banjir dan longsor.” Raja menjawab

secara mencoba memberi pengertian kepada Nou.

“Ampun, Yang Mulia, saya tidak berniat

membantah. Akan tetapi, apakah masih ada cara lain

yang dapat membebaskan orang tua saya dari hukuman

itu?”

“Ada. Seperti yang sudah dibacakan pada saat

sidang tadi, bahwa terdakwa Madi dan Halijah bisa

dibebaskan dari hukuman penjara jika sanggup

membayar sesuai dengan kerugian yang mereka

timbulkan. Atau jikalau ada orang yang bersedia

Page 127: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

121

membayarkan sebagai tebusan sejumlah kerugian

tersebut.” jawab Sang Raja tenang dan bijaksana.

“Ampun, Tuanku Yangmulia. Saat di hutan, saya

ditolong, dirawat, dan diobati oleh seorang nenek tua

hingga sembuh. Setelah saya sembuh, beliau

mengizinkan saya kembali untuk mencari orang tua saya.

Nenek itu juga memberi saya pakaian serta harta berupa

emas. Katanya sebagai bekal buat saya manfaatkan di

jalan yang benar. Apakah emas itu dapat saya gunakan

juga untuk menebus kesalahan orang tua saya,

Yangmulia?”

“Tentu saja bisa, Gadis Pintar.” Jawab Sang Raja

tersenyum lembut seraya memuji Nou.

“Jika nilai emas yang engkau miliki sama dengan

kerugian yang diakibatkan kedua orang tuamu, maka

mereka dibebaskan. Jikalau nilai emasmu lebih sedikit,

maka engkau masih bisa menggunakannya untuk

mengurangi masa hukumannya. Akan tetapi, jika nilai

emasmu lebih besar, maka akan diambil secukupnya dan

selebihnya akan dikembalikan kepadamu.” dengan

Page 128: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

122

tenang Raja menguraikan secara rinci tentang cara

penebusan Madi dan Halijah kepada Nou.

“Baik, Tuanku Yang Mulia.” Nou mengangguk

hormat lalu segera merogoh sesuatu di balik ikatan

selendang di pinggangnya. Setelah tangannya ia

keluarkan kembali, tampak ia memegang lipatan kain

lalu menyerahkannya kepada Raja dengan kedua

tangannya. “Tabik, Tuanku Raja, emas yang saya

ucapkan tadi ada di dalam kain ini, saya mohon

diampuni jika nilainya tidak cukup.”

Raja segera mengambil kain yang diserahkan Nou

kepadanya. Ketika Sang Raja membuka kain tersebut,

tampaklah oleh tiga batang emas pipih persegi. Sang

Raja memerhatikan dengan saksama batangan emas di

tangannya, lalu menoleh dan mengulurkan ketiga batang

emas itu kepada para penasehatnya. Para penasehat

secara bergantian ikut memeriksa dengan teliti batangan

emas tersebut.

“Betul, Tuanku Raja, ketiganya emas murni..., dan

jikalau saya tidak salah memperkirakan, satu batang

emas ini seharga dengan seratus ekor sapi dewasa.”

Page 129: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

123

penasehat pertama mengemukakan pendapatnya perihal

batangan emas tersebut, lalu menyerahkannya kembali

kepada Raja. Ketiga penasehat yang lain mengangguk

membenarkan kata-kata penasehat pertama tadi.

“Emas ini memiliki nilai yang sangat besar. Satu

batang emas sudah melebihi nilainya untuk

membebaskan orang tuamu. Selebihnya saya kembalikan

kepadamu. Ambil dan simpanlah baik-baik.

Manfaatkanlah di jalan yang baik dan benar sesuai

amanah nenek penolongmu.” Rajapun mengembalikan

dua batang emas kepada Nou.

“Mohon ampun, Tuanku Raja. Kalau boleh emas ini

saya serahkan saja kepada Raja. Saya sudah sangat

bersyukur ibu dan ayah saya dapat dibebaskan dari

hukuman. Saya lebih membutuhkan ibu dan ayah saya

daripada emas-emas itu,” ucap Nou kepada Raja. Kata-

katanya yang polos membuat Raja tersenyum. Begitu

pula dengan keempat penasehatnya ikut tersenyum dan

saling pandang. Mereka sangat terharu oleh kepolosan

anak kecil seumur Nou, yang belum mengerti dengan

baik nilai harta kekayaan. Dibanding harta, anak kecil

Page 130: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

124

seumur Nou pada umunya memang lebih membutuhkan

dekapan orang tua dibandingkan silaunya harta.

Rakyat negeri yang melihat emas-emas tersebut

seketika takjub, sampai-sampai beberapa di antara

mereka melelehkan air liur tanpa sadar. Madi dan

Halijah yang sedari tak henti-hentinya memandangi

putrinya hanya mampu mengucap puji syukur yang tak

henti-hentinya di dalam hati mereka. Bukan banyaknya

nilai emas yang mereka pikirkan, melainkan betapa

polos dan mulianya budi Nou, anak yang telah mereka

telantarkan beberapa hari sebelumnya.

“Wahai penduduk negeri, dengarkanlah baik-baik

yang akan saya ucapkan. Siang ini, Nou sebagai korban

telah memohon pembebasan atas diri pelaku Madi dan

Halijah. Untuk itu, hukuman atas pelanggaran

penelarantaran anak dan pelanggaran hak hidup yang

dijatuhkan atas diri Madi dan Halijah saya nyatakan

dicabut. Madi dan Halijah dibebaskan. Selanjutnya,

untuk kasus kedua yaitu penebangan pohon di hutan

secara liar akan ditebus dengan harta berupa emas yang

dimiliki Nou. Untuk itu, hukuman atas pelanggaran ini

Page 131: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

125

saya nyatakan dicabut. Madi dan Halijah dibebaskan

sepenuhnya dan dikembalikan hak asuhnya atas diri

Nou, putrinya.” keputusan akhir persidangan yang

diumumkan Raja membuat seluruh penduduk yang hadir

menarik napas panjang. Mereka lega. Tidak tahan

dengan suasana haru yang terpampang di atas panggung

persidangan itu. Tidak sedikit di antara mereka yang

bahkan mengeluarkan air mata. Mereka yang membawa

anak, perempuan bahkan yang laki-laki, seketika

memeluk anaknya erat-erat karena larut dalam emosi.

Begitu mendengar keputusan yang diumumkan

Raja, Nou berlutut membungkukkan badannya, sebagai

tanda hormat dan ungkapan terima kasih kepada Raja.

Ucapan terima kasih berulang kali ia ucapkan, yang

mendapat balasan berupa elusan di kepalanya oleh Raja.

Tak jauh dari tempat Nou berdiri, Madi dan Halijah

yang mendengar pengumuman keputusan tersebut

seolah-olah tidak percaya. Mereka terpana, sesegukan,

bahkan semakin tak mampu berdiri. Kaki-kaki tua itu

roboh berlutut, sedangkan badannya yang sudah sangat

kurus menjatuhkan kepala mencium lantai persidangan.

Page 132: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

126

Bersujud mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang

Maha Pengasih. Tanpa mereka sadari dua kaki kecil

menghampiri dan meraih tangan kedua-duanya, lalu

menciumnya. Terasa ada air yang mengalir di tangannya,

kedua orang tua itu perlahan-lahan mengangkat kepala.

Nou yang menghampiri mereka. Gadis kecil itu yang

menempelkan tangan Madi dan Halijah ke pipinya yang

berderai air mata. Seketika itu pula ketiga berpelukan

erat. Sangat erat. Barulah mereka melepaskan pelukan

setelah menyadari bahwa Raja beserta empat

penasehatnya menghampiri mereka.

“Terima kasih, Tuanku Yang mulia. Terima kasih

Tuanku Raja. Terima kasih telah mengampuni dua orang

tua yang lemah dan bodoh ini.” Ucap Madi berulang-

ulang sambil membungkukkan badannya. Tidak berani

mengangkat wajahnya menghadap Sang Raja.

“Kalian jangan berterima kasih kepadaku. Saya

hanya melaksanakan kewajiban seadil-adilnya. Kepada

anakmulah kalian berterima kasih. Dan kepada Eyalah

kalian sepatutnya bersyukur.” berkata Raja dengan

santun dan bijak.

Page 133: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

127

“Madi dan Halijah, kalian telah dinyatakan bebas

darin hukuman. Dengan demikian, tanggung jawab dan

hak mengasuh juga dikembalikan. Laksanakan tanggung

jawab itu sebaik-baiknya. Jangan mudah berputus asa

apalagi menyerah. Bagaimanapun buruknya anak yang

dipunyai, tetap menjadi bagian dari diri orang tuanya.

Mereka adalah amanah dari Yang Mahakuasa bagi orang

tua. Jangan lagi mengabaikan amanah tersebut.”

“Baik, Tuanku.” sahut Madi singkat dan hormat.

“Sekarang, masih ada satu hal lagi. Emas yang

dimiliki anak kalian jumlahnya sangatlah besar.

Sebatang dari emas itu akan kami bawa untuk dihitung

nilainya dan disesuaikan dengan nilai penebusanmu.

Yang dua batang selebihnya adalah hak Nou, yang juga

berarti amanah bagi kalian.” Kata Raja menjelaskan

kepada Madi dan Halijah.

“Mohon ampun, Tuanku Yangmulia. Kami sangat

bersyukur sudah bertemu kembali dengan putri kami.

Keberadaannya di sisi kami tidak bisa dibandingkan

dengan emas dan harta. Persoalan harta, dapat kami cari

kembali. Kami takut gelimangan harta emas itu justru

Page 134: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

128

akan menyilaukan akal dan hati kami. Mohon izinkanlah

kami pulang secepatnya, Tuanku Raja.” Pinta Madi

dengan takzimnya kepada Sang Raja Penguasa Negeri.

“Baik. Oleh karena kalian sendiri yang meminta

begitu juga dengan Nou yang sebelumnya menyerahkan

emas ini kepada pihak kerajaan, maka emas-emas ini

akan kami bawa ke istana, sebagai gantinya, kebutuhan

hidup kalian bersama pendidikan Nou akan ditanggung

oleh pihak istana. Sekarang sidang ini sudah ditutup,

kalian silakan pulang dan berkumpul lagi.”

Diakhir kata-katanya Raja mengizinkan Madi dan

Halijah beserta Nou pulang ke rumahnya. Entah

mengapa, di dalam sanubarinya terbersit rasa lega.

Mungkin karena merasa telah melaksanakan suatu

persidangan secara arif dan bijaksana tanpa ada yang

harus terpidana. Atau mungkin juga karena telah

diperlihatkan satu hikmah dan kasih sayang Allah Swt.

yang tiada ternilai kepada hamba-hamba-Nya. Sejurus

kemudian, Raja Penguasa Negeri yang bijaksana itu

menghadapkan badannya ke peserta sidang.

Page 135: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

129

“Wahai rakyatku, hari ini kita telah melaksanakan

persidangan dengan lancar. Saya Raja Penguasa Negeri

ini berharap pengadilan ini telah dijalankan secara

bijaksana dan tanpa melanggar hukum adat kita. Marilah

kita mengambil dan mempelajari hikmahnya, agar kita

semua bersama negeri kita senantiasa diberkahi dan

dilindungi oleh Penguasa Alam Semesta ini.” setelah

mengucapkan beberapa kata tersebut, Raja segera

menutup persidangan dengan mengetukkan palu sidang

sebanyak tiga kali.

Para penduduk negeri yang setia mengikuti jalannya

persidangan pun segera meninggalkan sidang secara

teratur, kembali pulang ke rumah masing-masing dan

menghayati hikmah yang didapatkan hari ini.

---***---

Senja itu, di atas bale-bale bambu di halaman sebuah

gubuk kecil, tampak seorang lelaki sedang berbaring

telentang. Dia bukan lain Madi. Matanya yang masih

sembab sesekali berkedip menatapi gumpalan awan

putih yang berarak di belakang awan hitam. Langit yang

tadinya gelap seolah-olah akan terjadi hujan badai kini

Page 136: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

130

berganti dengan terang cemerlang. Hujan tak jadi turun

membanjiri bumi. Suasana itu seolah-olah

menggambarkan nasib Madi dan Halijah. Dia dan

istrinya yang sudah digiring ke penjara, secara tidak

terduga terbebaskan.

Sementara di dalam gubuk, seorang perempuan tua

sedang menyelimutkan sarung tua ke tubuh anaknya.

Nou, gadis kecil itu, baru saja selesai mandi ditemani

oleh ibunya, Halijah. Demi menyaksikan badan gadis

kecilnya, Halijah kembali mengucapkan rasa syukur di

dalam hatinya. Badan yang beberapa waktu lalu dipenuhi

tonjolan cacar yang mengeluarkan bau busuk. Kini sudah

bersih dan halus.

Setelah berpakaian, Nou mengajak ibunya keluar

gubuk untuk mendapati ayahnya yang sedang telentang

memerhatikan arakan awan. Menyadari kehadiran anak

dan istrinya, Madi segera bangkit duduk di pinggiran

bale-bale dan mempersilakan mereka duduk bersamanya.

Keluarga kecil dan sederhana itu terlibat pembicaraan

yang kembali meneteskan air mata. Akan tetapi, kali ini

bukan air mata duka, melainkan air mata haru, air mata

Page 137: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

131

kebahagiaan, dan air mata kesyukuran. Sampai akhirnya

Nou membicarakan secara jelas perihal pertemuannya

dengan nenek tua berhati mulia di hutan. Tidak

ketinggalan pula raksasa pemakan manusia yang

menghuni hutan ia ceritakan. Mereka lalu merencanakan

akan berkunjung ke tempat si nenk tua berada.

“Nou, anakku, terima kasih telah memaafkan

tindakan ibu dan ayah. Terima kasih telah membebaskan

kami berdua dari hukuman pengadilan.” kata Madi

memohon seraya menggenggam jari-jemari putrinya itu.

“Mama. Papa. Nou yang sepatutnya berterima kasih

karena telah dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih

sayang. Dan, Nou pula yang harus memohon

ampunkarena telah memberikan kesusahan dan

penderitaan yang sangat lama kepada Mama dan Papa.”

Nou menimpali kata-kata ayahnya sambil bersandar di

bahu ibunya yang sedang duduk memangkunya. Lalu

ketiganya kembali berpelukan. Larut dalam kebahagiaan.

Hanyut dalam rasa syukur.

Tamat

Page 138: Armiati Rasyid Efendi - Kemdikbud

132

Catatan

1. Sumber cerita Putri Mohulintoli berasal dari cerita

rakyat yang terdapat dalam sebuah buku kumpulan

cerita rakyat Sulawesi Utara yang berjudul Putri

Mohulintoli dan Tiga Cerita Rakyat Lainnya dari

Sulawesi Utara. Buku itu diterbitkan oleh Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977.

2. Cerita Putri Ambalo diadaptasi dari naskah teater

karya siswa SMA Negeri 3 Gorontalo saat Festival

Teater Kantor Bahasa Gorontalo Tahun 2016.