Appendicitis Dan Peritonitis

57
BAB I PENDAHULUAN Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun 1 . Apendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan apendisitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, apendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan 1 . Diagnosis apendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis apendisitis 1 . 1

Transcript of Appendicitis Dan Peritonitis

Page 1: Appendicitis Dan Peritonitis

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermicularis, dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut

merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja.

Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan

terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun1.

Apendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum

usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan apendisitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan

operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang

lebih baik, apendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki

angka morbiditas yang signifikan1.

Diagnosis apendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya

pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada

pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan

hal yang paling penting dalam mendiagnosis apendisitis1.

Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang terinflamasi,

baik dengan laparotomy maupun dengan laparo scopy. Apabila tidak dilakukan tindakan

pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan

shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa

Apendisitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh

dunia 1. 

1

Page 2: Appendicitis Dan Peritonitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Appendix

ANATOMI

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-

15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di

bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada

pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab

rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak

intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya

bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.1

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di

belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis apendisitis

ditentukan oleh letak apendiks.1

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica

superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X.

Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.1

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.

Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan

mengalami gangren. 1

2

Page 3: Appendicitis Dan Peritonitis

Gambar 1. Variasi lokasi Apendiks

FISIOLOGI

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara

apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. 1

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)

yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin

itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini

kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. 1

INSIDENSI

Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap

tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Apendisitis lebih banyak terjadi

3

Page 4: Appendicitis Dan Peritonitis

pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Kaukasia lebih

sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Apendisitis akut lebih sering

terjadi selama musim panas.

Insidensi Apendisitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara

bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam

menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak

kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30

tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,

kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

ETIOLOGI

Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen apendiks sehingga terjadi

kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Apendisitis umumnya

terjadi karena infeksi bakteri. Sumbatan lumen appendiks merupakan factor yang

diajukan sebagai factor pencetus, dengan penyebab tersering adalah fekalit. Fekalit

ditemukan pada sekitar 20% anak dengan apendisitis. Penyebab lain dari obstruksi

appendiks meliputi:

1. Hiperplasia folikel lymphoid

2. Carcinoid atau tumor lainnya

3. Benda asing (pin, biji-bijian)

4. Kadang parasit1

Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks

oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien

apendisitis yaitu:

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia coli

Viridans streptococci

Pseudomonas aeruginosa

Bacteroides fragilis

Peptostreptococcus micros

Bilophila species

4

Page 5: Appendicitis Dan Peritonitis

Enterococcus Lactobacillus species

Apendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh

fekalit, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyuris vermicularis), akan tetapi

paling sering disebabkan obstruksi oleh fekalit dan kemudian diikuti oleh proses

peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fekalit

adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan apendisitis akut dan 30-

40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga

dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya apendisitis berhubungan

dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik

baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau

akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,

Schistosoma, atau Ascaris. Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric

atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic

fibrosis memiliki peningkatan insidensi apendisitis akibat perubahan pada kelenjar yang

mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,

khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asing

seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya apendisitis. Trauma,

stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya apendisitis.

PATOGENESIS

Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh

lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir)

setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks

ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah  banyak dan

kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan

elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan

tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan  menyebabkan terhambatnya

aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi

mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah

epigastrium di sekitar umbilikus.1,2

5

Page 6: Appendicitis Dan Peritonitis

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus

dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai

peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah.

Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.2

Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang

disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa.

Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis

berada dalam keadaan perforasi.2

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan

ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga

terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat

apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat

mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan

massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara

lambat.1,2

Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan

dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang,

memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi

karena adanya gangguan pembuluh darah.2

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan

jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada

perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan

dinyatakan mengalami eksaserbasi.1

6

Page 7: Appendicitis Dan Peritonitis

Gambar 2 Patogenesis Apendisitis

MANIFESTASI  KLINIK

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar

(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini

biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun.

Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik

McBurney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas  letaknya, sehingga merupakan

7

Page 8: Appendicitis Dan Peritonitis

nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah

epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat

pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya

perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -

38,5 derajat celcius.1,3,4

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari

apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.

Berikut gejala yang timbul tersebut.1,4

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung

oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada

tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada

saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini

timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat  atau menempel pada rektum, akan timbul gejala

dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,

pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila apendiks  terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi

peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan

diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga

biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala

apendisitis tidak jelas dan tidak khas.1,3

Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa

menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-  muntah

dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,  sering apendisitis

diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui

setelah terjadi perforasi.

8

Page 9: Appendicitis Dan Peritonitis

Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru

dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa

dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang

panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan

trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan

gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan

lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan

di perut kanan bawah tetapi lebih  ke regio lumbal kanan.

Tabel 1. Gejala Apendisitis Akut

Gejala Apendisitis AkutFrekuensi

(%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah

kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu

tinggi)

50

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Nyeri / Sakit perut

Ini terjadi karena peristaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut. Mula-mula

9

Page 10: Appendicitis Dan Peritonitis

daerah epigastrium kemudian menjalar ke McBurney. Apa bila telah terjadi inflamasi

( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Gejala

utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan gejala nyeri

abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita

apendisitis. Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala

nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk

dengan satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang

dimana yang nyeri. Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti

misalnya:

Bagaimana hebatnya nyeri?

Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau  main  atau  anak 

tinggal di tempat tidur saja?

Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah?

Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam?

Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa? 1,3

Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama

makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh  karena adanya kontraksi

apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang

mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya

hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri

ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus

mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula

di daerah epigastrium dan periumbilikal. Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium

akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan

bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah

terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam,

terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.1,3

Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan

kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir

10

Page 11: Appendicitis Dan Peritonitis

selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka

diagnosis  apendisitis akut perlu dipertanyakan.  Hampir 75% penderita disertai

dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus

hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks

dekat dengan vesika urinaria1,3

Obstipasi karena penderita takut mengejan

Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan

beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks

pelvikal yang merangsang daerah rectum. 1,3

Panas (infeksi akut)  bila timbul komplikasi

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5˚  – 38,5˚C

tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang

beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami

inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks

retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan

menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri

testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. 1,3

2. Pemeriksaan fisik

Inspeksi

pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada

pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.1

Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan

dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci

diagnosis dari apendisitis, terutama pada McBurney point (McBurney Sign). Pada

penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut

tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan

11

Page 12: Appendicitis Dan Peritonitis

juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg

(Blumberg Sign). 1,3

Gambar 3 McBurney Point

Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks,

apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri,

maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan

ini merupakan kunci diagnosis pada apendiksitis pelvika. 1,3

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetauhi letak apendiks yang meradang. Uji

psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul

kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

apendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan

menimbulkan nyeri. Sedagkan pada uji obturator dilakukan gerakan flexsi dan

endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak

dengan m.abturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan

ini akan kenimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. 1,3

12

Page 13: Appendicitis Dan Peritonitis

Gambar 4 Psoas Sign

Gambar 5 Obturator Sign

3. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada

pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml

( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah

serum yang meningkat.

Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan

ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada

13

Page 14: Appendicitis Dan Peritonitis

apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang

dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta

adanya pelebaran sekum.3

Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost effective. Kurang dari

5% pasien akan terlihat adanya gambaran opak fekalith yang nampak di kuadran

kanan bawah abdomen.

USG : pada kasus appendicitis akut akan nampak adanya : adanya struktur yang

aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. Dinding apendiks nampak

jelas, dapat dibedakan, diameter luar lebih dari 6mm, adanya gambaran “target”,

adanya appendicolith, adanya timbunan cairan periappendicular, nampak lemak

pericecal echogenic prominent.

CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding

appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran

dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan

inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding,

phlegmon, free fluid, free air bubbles, abscess, dan adenopathy. CT-Scan

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 –

97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks

dengan abses atau flegmon

Tabel 2 Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut:

Ultrasonografi CT-Scan

Sensitivitas 85% 90 – 100%

Spesifisitas 92% 95  -  97%

Akurasi 90 – 94% 94 – 100%

Keuntungan Aman Lebih akurat

relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan

flegmon lebih baik

Dapat mendignosis kelainan lain

pada wanita

Mengidentifikasi apendiks normal

lebih baik

Baik untuk anak-anak

Kerugian Tergantung operator Mahal

14

Page 15: Appendicitis Dan Peritonitis

Sulit secara tehnik Radiasi ion

Nyeri Kontras

Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah

4. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis

apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran

histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum

adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada

gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber

et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.

Tabel 3 Definisi histopatologi apendisitis akut:

1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.

4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,

dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.

5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan

keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Apendisitis acuta dibuat skor Alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6. Selanjutnya dilakukan

Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Apendiks

dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang

akut.

Tabel 4 Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis

ManifestasiSko

r

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

15

Page 16: Appendicitis Dan Peritonitis

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Laboratoriu

mLeukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:

0-4 : kemungkinan Apendisitis kecil

5-6 : bukan diagnosis Apendisitis

7-8 : kemungkinan besar Apendisitis

9-10 : hampir pasti menderita Apendisitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka

tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Apendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis

kelamin.1,5

Pada anak-anak balita

 intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.

Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.

Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Apendisitis. Nyeri divertikulitis

hampir sama dengan Apendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah

periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah

abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah

gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis,

yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.

Pada anak-anak usia sekolah

16

Page 17: Appendicitis Dan Peritonitis

gastroenteritis, konstipasi, infark omentum.

Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, tetapi

tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab

nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark

omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat

menyerupai apendisitis. Pada infark omentum, dapat teraba massa pada abdomen

dan nyerinya tidak berpindah

Pada pria dewasa muda

Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease,

klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu

menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada

skrotumnya.

Pada wanita usia muda

Diagnosis banding apendisitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan

dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID),

kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan

dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila

terjadi ruptur ataupun torsi.

Pada usia lanjut

Apendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang

sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal

dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan

dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada

apendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan

apendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus

dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang

tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan

laboratorium.

KOMPLIKASI

1. Massa periapendikuler

17

Page 18: Appendicitis Dan Peritonitis

Massa appendiks yang terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi

atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuler

yang pendinginannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga

peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,

massa periapendikuler yang masih bebas disarankan untuk segera dioperasi untuk

meencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi masih mudah. Pada anak, paling lama

dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa

periapendikuler yang terpancang dengan pendinginan sempurna, dianjurkan untuk

dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta

luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan

leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3

bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.

Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan

kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan

massa.1

2. Appendicular abses:

Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Apendiks yang meradang

yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.

3. Appendisitis perforata

Adanya fekalit dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil) dan keterlambatan

diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi appendiks.

Dilaporkan insidens perforasi 60% pada penderita diatas usia 60 tahun. Faktor yang

mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang

samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendiks berupa

penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh

dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga

memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendinginan kurang sempurna akibat

perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.1

4. Peritonitis

5. Syok septik

6. Mesenterial pyemia dengan Abses Hepar

18

Page 19: Appendicitis Dan Peritonitis

7. Gangguan peristaltik

8. Ileus

Tabel 5 Hubungan Patofisiologi dan Manifestasi Appendicitis

Kelainan patologi Keluhan dan tanda

Peradangan awal

Appendicitis Mukosa

Radang diseluruh ketebalan dinding

Appendicitis komplit, radang

peritoneum,

Parietal apendiks

Radang alat/jaringan yang menempel

Pada Apendiks

Appendicitis gangrenosa

Perforasi

Pembungkusan

-       Tidak berhasil

-       Berhasil

-       Abses

-Kurang enak ulu hati/ daerah pusat, mungkin kolik

-nyeri tekan kanan bawah

-nyeri sentral pindah ke kanan bawah,mual dan

muntah

-rangsangan peritoneum local (somatic), nyeri pada

gerak aktif dan pasif

-genitelia interna,ureter,m.psoas mayor, kantung

kemih,rectum

-Demam sedang,takikardi,mulai toksik, leukositosis

-Nyeri dan defans muskuler seluruh perut

-s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik

-masa perut kanan bawah,keadaan umum

Berangsur membaik

-demam remiten,keadaan umum toksik, keluhan dan

tanda setempat

PENATALAKSANAAN

Ketika keputusan untuk mengoperasi telah dilakukan terhadap dugaan usus buntu akut,

pasien harus disiapkan untuk ruang operasi. Hidrasi yang memadai, kelainan elektrolit

harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru, dan ginjal yang sudah ada harus diatasi.

19

Page 20: Appendicitis Dan Peritonitis

Sebuah meta analisis menunjukkan efektivitas antibiotik pra operasi dalam menurunkan

komplikasi infeksi di appendicitis.6 Kebanyakan ahli bedah memberikan antibiotik secara

rutin untuk semua pasien dengan dugaan usus buntu. Jika ditemukan usus buntu akut

sederhana, tidak ada manfaat dalam memperluas cakupan antibiotik melebihi 24 jam. Jika

usus buntu disertai perforasi atau gangren ditemukan, antibiotik dilanjutkan sampai

pasien tidak demam dan tercapai jumlah sel darah putih yang normal. Untuk infeksi intra-

abdomen yang berasal dari saluran cerna dengan derajat keparahan ringan sampai sedang,

the Surgical Infection Society telah merekomendasikan terapi tunggal dengan cefoxitin,

cefotetan, atau asam tikarsilin-klavulanat. Untuk infeksi yang lebih berat, terapi tunggal

dengan carbapenems atau terapi kombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga,

monobactam, atau aminoglikosida ditambah cakupan anaerob merupakan indikasi

pemberian dengan klindamisin atau metronidazol.

Appendektomi terbuka

Untuk appendektomi terbuka, sebagian besar ahli bedah menggunakan sayatan

McBurney (miring) atau Rocky-Davis (melintang) kuadran kanan bawah otot-insisi yang

membuka pada pasien dengan dugaan usus buntu. Insisi harus berpusat di kedua titik

yaitu antara nyeri maksimal atau teraba massa. Jika dicurigai adanya abses,penempatan

irisan lateral sangat penting untuk memungkinkan dilakukan drainase retroperitoneal dan

untuk menghindari kontaminasi dari rongga peritoneal. Jika diagnosa diragukan, sebuah

insisi midline yang lebih rendah dianjurkan untuk memungkinkan pemeriksaan yang

lebih luas dari rongga peritoneal. Ini sangat relevan pada pasien tua dengan kemungkinan

keganasan atau diverticulitis.

Beberapa teknik dapat digunakan untuk mencari usus buntu. Karena biasanya caecum

terlihat dengan insisi, sehingga konvergensi dari taeniae dapat diikuti untuk mencari

dasar apendiks. Sebuah gerakan menyapu dari lateral ke medial dapat membantu dalam

mengarahkan ujung apendiks ke bidang operasi. Terkadang, mobilisasi yang terbatas dari

caecum dibutuhkan untuk membantu visualisasi yang memadai. Sekali teridentifikasi,

usus buntu dimobilisasi dengan memisahkan mesoappendix, dengan hati-hati meligasi

arteri apendiks.

20

Page 21: Appendicitis Dan Peritonitis

Ujung dari apendiks dapat dikelola oleh ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi

baik dengan purse-string atau jahitan Z. Selama bagian ujung jelas layak dan pangkal

sekum tidak terlibat dengan proses inflamasi, bagian ujung apendiks dapat dengan aman

diligasi dengan jahitan nonabsorbable. Mukosa ini sering dibuang untuk menghindari

terjadinya mucocele. Rongga peritoneal diirigasi dan luka ditutup selapis demi selapis.

Jika perforasi atau gangrene ditemukan pada orang dewasa, jaringan kulit dan subkutan

harus dibiarkan terbuka dan dibiarkan untuk sembuh dengan maksud sekunder atau

tertutup dalam 4 sampai 5 hari sebagai penutupan primer tertunda.

Jika usus buntu tidak ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan untuk diagnosis

alternatif. Upaya juga harus dilakukan untuk memeriksa isi perut atas. Cairan peritoneal

harus dikirim untuk pewarnaan Gram dan kultur. Jika ditemukan cairan purulen, sangat

penting untuk diidentifikasi sumbernya. Sebuah perpanjangan sayatan medial (Fowler-

Weir), dengan pembagian selubung rektus anterior dan posterior, dapat diterima jika

terdapat indikasi untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut dari perut bagian bawah. Jika

patologi perut bagian atas ditemukan, irisan pada kuadran kanan bawah ditutup dan

dibuat irisan tepat diatas midline.

Antibiotik sebagai Terapi Definitif

Tatalaksana tradisional radang usus buntu akut telah memunculkan manajemen operasi.

Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa, dari waktu ke waktu, apendiksitis sederhana

akan berlanjut menjadi perforasi, sehingga terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Data terakhir menunjukkan bahwa usus buntu akut dan radang usus buntu akut dengan

perforasi mungkin penyakit yang berbeda dengan patofisiologi yang berbeda jauh.

Serangkaian waktu analisis dilakukan pada satu set data 25 tahun tidak ditemukan adanya

hubungan negatif yang signifikan antara tingkat appendektomi negatif dan perforasi.7

Sebuah studi analisis waktu untuk operasi dan perforasi menunjukkan bahwa risiko pecah

minimal dalam waktu 36 jam onset gejala. Melewati titik ini, ada sekitar risiko 5% dari

pecah dalam setiap periode 12-jam berikutnya. Namun, pada banyak pasien penyakit ini

berjalan lambat. Dalam sebuah penelitian, 10 dari 18 pasien yang tidak menjalani operasi

21

Page 22: Appendicitis Dan Peritonitis

≥ 6 hari setelah gejala dimulai tidak mengalami ruptur.8 Pelaut yang terkena usus buntu

ketika ditempatkan di kapal selam tidak memiliki akses untuk meminta perawatan bedah.

Mereka berhasil diobati dengan antibiotik dan cairan dari hari ke minggu setelah

serangan awal sampai kapal dapat mencapai permukaan dan mereka dapat dipindahkan

ke rumah sakit untuk perawatan.

Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan

apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan

diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret

1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala

tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi

setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari 124

pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki apendiks

yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17 dari 124).

Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%) menjalani

operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan peritonitis lokal

tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi. Tingkat kekambuhan

dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang diobati dengan

antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat operasi.9

22

Page 23: Appendicitis Dan Peritonitis

2. Peritoneum

ANATOMI

SUSUNAN UMUM

Peritoneum merupakan lapisan serosa tipis yang melapisi dinding cavitas

Abdomen dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.

Peritoneum dianalogikan seperti balon dimana organ-organ didorong dari luar

kedalamnya.

Peritoneum terdiri dari dua lapisan yaitu, peritoneum pariantale yang melapisi

dinding abdomen dan cavitas pelvis, serta perioneum vicerale yang melapisi

organ-organ. Diantara peritoneum pariantale dan vicerale terdapat rongga yang

dinamakan cavitas peritonealis. Rongga ini tertutup pada laki-laki, namun terbuka

pada perempuan, melalui tuba uterina, uterus, dan vagina

Cavitas peritoniales sendiri dibagi dalam dua bagian, cavitas peritonealis,

(kantong besar) yang merupakan ruang utama kavitas peritoealis yang

membentang dari diafragma ke bawah sampai pelvis, serta bursa omentalis

(kantong kecil) yang berukuran lebih kecil dan terletak dibelakang gaster.

Kantong besar dan kantong kecil dihubungkan oleh sebuah jendela oval yang

dinamakan foramen omentale atau foramen epiploicum. Peritoneum juga

menghasilkan sekret yang berupa cairan serosa dalam jumlah kecil sehingga

memungkinkan pergerakan antara visera.

INTRAPERITONEAL DAN RETROPERITONEAL

Istilah Intraperitoneal dan Retroperitoneal digunakan untuk melukiskan hubungan

berbagai organ dengan perioneum yang meliputinya. Organ yang hampir

seluruhnya diliputi oleh peritoneum viceral disebut sebagai intraperitoneal,

misalnya gaster, jejunum, ileum, lien. Sedangkan organ yang terletak dibelakang

peritoneum disebut sebagai retroperitoneal, yaitu prancreas, colon ascendens, dan

colon decendens.

23

Page 24: Appendicitis Dan Peritonitis

PERSARAFAN PERITONEUM

Peritoneum Parientale peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan. Peritoneum

parientale yang membatasi dinding anterior abdomen dipersarafi oleh enam nervi

thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis I yang mempersyarafi kulit dan otot-

otot yang ada di atasnya. Bagian sentral peritoneum diafragmatica dipersyarafi

oleh nervus phrenicus, diperifer peritoneum diafragmatica dipersyarafi oleh enam

nervi toracici bagian bawah. Peritoneum parientale didalam pelvis, terutama

dipersarafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang dari plexus lumbalis.

Peritoneum viceral hanya peka terhadap renggangan, robekan, namun tidak

terhadap rasa raba, tekan, dan suhu. Peritoneum viscerale dipersarafi oleh saraf

aferen otonom yang mensarafi vicera atau yang berjalan melalui mesenterium.

Perenggangan berlebihan pada organ berongga akan menimbulkan rasa nyeri.

Mesenterium dan mesocolon, peka terhadap renggangan mekanik.

FUNGSI PERITONEUM

Cairan peritoneum berwarna kuning pucat dan sedikit kental mengandung

leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin vicera abdomen

dapat bergerak dengan mudah satu sama lain.

Peritoneum yang meliputi usus cenderung saling melekat jika terjadi infeksi.

Omentum majus yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltik

saluran cerna juga dapat melekat pada fokus infeksi. Dengan cara ini, banyak

infeksi peritoneal dapat ditutup dan tetap terlokalisir.

Lipatan peritoneum memegang peranan penting untuk mengantungkan

berbagai organ di dalam cavitas peitonealis dan berperan sebagai tempat

jalannya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf-saraf ke organ-organ

tersebut.

Sejumlah besar lemak disimpan didalam ligamen peritoneale dan mesenteria,

khususnya pada omentum majus mungkin dapat ditemukan lemak dalam

jumlah yang besar.

24

Page 25: Appendicitis Dan Peritonitis

PERITONITIS

Peritonitis merupakan infeksi akibat kontaminasi mikroba pada cavitas peritoneal. Peritonitis

yang akut dan tidak ditangani dapat berakibat fatal. Operatif sebagai fundamental terapi pada

peritonitis didokumentasikan pertama kali pada tahun 1926 ketika Kirschner melaporkan

penurunan angka mortalitas dari 90%lebih menjadi kurang dari 40% (terhitung dari 1890-1924).

Berdasarkan etiologinya peritonitis dibagi menjadi :

1. Peritonitis primer

Muncul ketika mikroba menginvasi cavitas peritoneal melalui penjalaran secara hematogen dari

suatu focus infeksi yang letaknya jauh atau inokulasi secara langsung. Proses ini lebih sering

dijumpai pada pasien ascites atau pasien yang menjalani peritoneal dialysis. Infeksi ini jarang

membutuhkan intervensi surgical. Diagnosisnya dengan mengidentifikasi faktor risiko(yang

sudah disebutkan di atas), pemeriksaan fisik (abdomen yang tegang secara difus namun tidak

ditemukan penemuan local), dan pemeriksaan penunjang(tidak ditemukan pneumoperitoneum

pada foto rontgen, leukositosis,ditemukan mikroba pada parasentesis). Hasil kultur sering

ditemukan E. coli, K. pneumoniae, pneumococci, streptococci, enterococci, atau C.

albican.Terapinya dengan memberikan antibiotic yang masih sensitive terhadap kuman kausatif,

Sering dibutuhkan waktu 14-21 hari untuk pemberian antibiotic.

2. Peritonitis sekunder

Muncul pada kontaminasi akibat perforasi atau inflamasi yang berat dan infeksi organ intra-

abdomen, misalnya appendicitis, perforasi gastrointestinal, diverticulitis. Terapi yang efektif

dengan mengkontrol organ kausatifnya; debridement jaringan nekrotik, jaringan yang

terinfeksi, ,dan debris(operatif); dan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob.

Regio asal Sebab

25

Page 26: Appendicitis Dan Peritonitis

Esophagus

Stomach

Duodenum

Biliary tract

Boerhaave syndrome

Malignansi

Trauma (terutama trauma penetrasi)

Iatrogenic*

Perforasi ulcus peptikum

Malignansi (adenocarcinoma, lymphoma,

tumor gastrointestinal stromal)

Trauma (terutama trauma penetrasi)

Iatrogenic*

Perforasi ulcus peptikum

Trauma (tumpul dan penetrasi)

Iatrogenic*

Cholecystitis

Perforasi kantong empedu

Malignansi

Kista Choledochal (jarang)

Trauma (terutama trauma penetrasi)

Iatrogenic*

Pankreatitis ( alcohol, drugs, gallstones)

26

Page 27: Appendicitis Dan Peritonitis

Pancreas

Small bowel

Large bowel and appendix

Uterus, salpinx, and ovaries

Trauma (tumpul dan penetrasi)

Iatrogenic*

Iskemik

hernia inkarcerata (internal dan external)

obstruction

Crohn disease

Malignansi (jarang)

diverticulum Meckel

Trauma (terutama trauma penetrasi)

Iskemic

Diverticulitis

Malignansi

colitis ulseratif dan Crohn disease

Appendicitis

Colonic volvulus

Trauma (terutama trauma penetrasi)

Iatrogenic

Infeksi organ panggul ( salpingo-

oophoritis, tubo-ovarian abscess, kisat

ovarian)

Malignansi (jarang)

Trauma (jarang)

3. Peritonitis tersier

27

Page 28: Appendicitis Dan Peritonitis

Disebut juga peritonitis persisten atau pos-operatif peritonitis. Biasanya ditemukan pada yang

pasien yang imunosupres. Enterococcus faecalis dan faecium, Staphylococcus epidermidis, C.

albicans, dan Pseudomonas aeruginosa sering ditemukan, dan lebih sering ditemukan

kombinasi. Sayangnya walaupun pengobatan dengan antibiotik yang adekuat angka

mortalitasnya mencapai 50%.

Namun berdasarkan infeksi peritoneumnya dapat dibagi pula peritonitis local dan peritonitis

generalisata.

Tipe Peritonitis Kelas organisme Organisme etiologi Antibiotic

Primer Gram-negatif E coli (40%)

K pneumoniae (7%)

Pseudomonas species

(5%)

Proteus species (5%)

Streptococcus species

(15%)

Staphylococcus species

(3%)

Anaerobic species

(<5%)

Cephalosporin generasi III

Sekunder Gram negatif E coli

Enterobacter species

Klebsiella species

Proteus species

Cephalosporin generasi II dan III

Penicillins

Quinolones

Quinolone dan metronidazole

Aminoglycoside dan Gram positif Streptococcus species

28

Page 29: Appendicitis Dan Peritonitis

Enterococcus species metronidazole

Anaerob Bacteroides fragilis

Other Bacteroides

species

Eubacterium species

Clostridium species

Anaerobic

Streptococcus species

Tersier Gram negatif Enterobacter species

Pseudomonas species

Enterococcus species

Cephalosporin generasi II dan III

Penicillins

Quinolones

Quinolone dan metronidazole

Aminoglycoside dan

metronidazole

Carbapenems

Triazoles atau amphotericin

(fungal)

(atau berdasarkan hasil kultur

Gram positif Staphylococcus species

Fungal Candida species

Manifestasi klinis dan diagnosis:

Diagnosis peritonitis dibuat berdasarkan anamnesa dan manifestasi klinis yang muncul seperti

sakit perut yang menetap dan berat, anoreksia, mual, muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

keadaan umum pasien yang terlihat tidak baik(kesakitan) dan mengalami distress yang akut.

Banyak juga yang mengalami peningkatan suhu >38oC (meskipun pada pasien yang sepsis dapat

memberikan gejala hipotermi); takikardi sebagai respon terhadap pelepasan mediator inflamasi,

hipovolemik, dan kehilangan cairan ke ruang ketiga (cavum peritoneal) ; dehidrasi yang

progresif (hipotensi, oligouri atau bahkan anuri) ; pada palpasi teraba abdomen yang tegang.

29

Page 30: Appendicitis Dan Peritonitis

Pasien dengan peritonitis yang berat akan meminimalisir gerakan tubuh dan mempertahankan

posisi pinggul yang flexi untuk menurunkan tegangang abdomen. Abdomen mengalami distensi

dan penurunan hingga menghilangnya bising usus. Colok dubur juga dapat menunjang diagnosis.

ANAMNESIS

Rasa nyeri di abdomen yang tumpul dan tidak terlokalisasi (viseral

peritoneum) dan terkadang berkembang menjadi nyeri yang stabil, sangat

nyeri dan terlokalisasi (parietal peritoneum). Nyeri abdomen ini juga dapat

mengenai seluruh bagian abdomen.

Anoreksia dan nausea, kadang disertai jugad engan vomitus

PEMERIKSAAN FISIK

Tampak sakit

Demam yang melebihi 380C

Takikardia (karena hipovolemia intravaskuler dari vomitus dan demam, selain

itu juga karena 3rd space loss)

Hipotensi

Oligouri atau anuria

Pada pemeriksaan abdomen:

* Nyeri pada palpasi

* Rigitiditas yang meningkat pada dinding abdomen

* Distensi abdomen

* Bising usus yang menurun, bahkan sampai hilang

Pada pemeriksaan rektal, dapat menimbulkan rasa nyeri pada abdomen10

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium:

* Darah lengkap (adanya leukositosis)

* Kimia darah

* PT, PTT

30

Page 31: Appendicitis Dan Peritonitis

* Urinalisis (untuk menyingkirkan penyakit pada saluran kemih)

* Kultur darah untuk mikroorganisme aerob dan anaerob

* Diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk pasien yang tidak

memiliki gejala yang pasti dan pemeriksaan fisiknya kurang

mendukung ke arah peritonitis. Pada DPL yang memiliki

leukosit lebih dari 500/ml, maka dianggap positif

peritonitis.

Radiologi:

* Foto abdomen polos, menunjukkan adanya udara bebas pada

anterior gastrik dan perforasi dudenum

* USG abdomen, dapat mengevaluasi kuadran kanan atas, kanan bawah

dan adanya kelainan pada pelvis, tapi terkadang terbatas karena pasien

menjadi tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan adanya gas pada

GIT. USG dapat mendeteksi adanya peningkatan cairan peritoneum, tetapi

tidak dapat mendeteksi cairan yang kurang dari 100 ml

* CT Scan, namun apabila diagnosa peritonitis telah ditegakkan

secara klinis, maka CT Scan tidak perlu dilakukan11

TERAPI

Prinsip-prinsip umum pengobatan infeksi intra-abdomen:

(1) untuk mengontrol sumber infeksi

(2) untuk menghilangkan bakteri dan racun

(3) untuk mempertahankan fungsi sistem organ

(4) untuk mengontrol proses inflamasi.

Pengobatan peritonitis adalah multidisiplin, dengan aplikasi medis yang saling terkait,

intervensi operasi dan nonoperative yang termasuk dalam terapi. Dukungan Medis meliputi:

(1) terapi antibiotik sistemik;

31

Page 32: Appendicitis Dan Peritonitis

(2) perawatan intensif hemodinamik, paru, dan ginjal;

(3) nutrisi dan metabolisme

(4)terapi terhadap respon inflamasi.

Kontrol awal terhadap sumber infeksi adalah wajib dan dapat dicapai dengan cara operasi

dan nonoperative. Nonoperative terapi interventional termasuk percutaneous drainage dari

abses dan percutaneous and endoscopic stent placements.

Pengobatan peritonitis dan sepsis intra-abdomen selalu dimulai dengan resusitasi volume,

koreksi elektrolit dan menilai abnormalitas koagulasi, dan pemberian antibiotik spektrum

luas parenteral. Serta pengobatan terhadap syok septik.

Terapi Antibiotik

Peritonitis bakterial spontan

Peritonitis bakterial spontan yang tidak diobati memiliki tingkat kematian hingga 50%, tapi

dengan diagnosis yang cepat dan pengobatan atas kondisi tersebut, angka ini dapat ditekan

hingga 20%. terapi empiris dengan sefalosporin generasi ketiga harus dimulai segera. Hindari

aminoglikosida pada pasien dengan penyakit hati, karena pasien tersebut memiliki resiko

yang tinggi terhadap hepatotoxicity. Durasi terapi yang optimal secara pasti masih belum

diketahui; sebuah studi merekomendasikan terapi selama 10 hari, meskipun studi lain

menunjukkan bahwa 5 hari terapi sudah cukup (dengan dokumentasi dari penurunan jumlah

WBC cairan peritoneal <250 sel / μ L).

Pasien dengan Peritonitis bakterial spontan juga harus mendapat perhatian terhadap

perubahan fungsi hemodinamik sehubungan dengan proses inflamasi yang terjadi, serta

penurunan fungsi ginjal. Terdapat risiko tinggi kambuh Peritonitis bakterial spontan (40-70%

dalam 12 bulan) terhadap berbagai regimen profilaksis antibiotik. Sebuah studi

merekomendasikan norfloksasin untuk profilaksis primer dari Peritonitis bakterial spontan

adalah pilihan baik.

32

Page 33: Appendicitis Dan Peritonitis

Peritonitis sekunder dan tersier

Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi antibiotik tidak efektif terhadap infeksi yang

terjadi kemudian dan bahwa terapi (pre-operasi) dini antibiotik sistemik secara signifikan

dapat mengurangi konsentrasi dan tingkat pertumbuhan bakteri dalam cairan peritoneal.

Antibiotik terapi dimulai dengan cakupan empiris (efektif terhadap gram negatif maupun

bakteri anaerob) dan harus dimulai sesegera mungkin, dengan transisi yang dibuat dengan

agen spektrum yang lebih sempit terhadap hasil kultur.

Perforasi organ-organ saluran pencernaan bagian atas berhubungan dengan bakteri gram

positif. Hasil Budaya dapat sangat penting dalam peritonitis tersier, yang lebih cenderung

melibatkan bakteri gram positif (enterococci); resistensi antibiotik, bakteri gram-negatif, dan

yeast. Pada community-acquired infections, sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau

quinolone dengan atau tanpa metronidazole memberikan hasil yang adekuat. Kebanyakan

studi menunjukkan bahwa terapi obat tunggal sama efektifnya dengan dua atau tiga terapi

kombinasi pada kasus infeksi ringan sampai sedang .

Terapi Bedah

Terapi bedah tetap menjadi landasan terapi peritonitis. Setiap operasi harus membahas 2

prinsip pertama pengobatan infeksi intra-peritoneal: awal dan kontrol sumber definitif dan

eliminasi bakteri dan toksin dari rongga perut. Masalah waktu dan kecukupan untuk

mengontrol sumber bedah sangat penting karena operasi yang tidak tepat, sebelum waktunya,

atau salah mungkin memiliki efek sangat negatif pada hasil (dibandingkan dengan terapi

medis).

Pendekatan operasi ini didasarkan pada proses penyakit yang mendasari dan jenis serta

tingkat keparahan infeksi intra-abdomen. Dalam banyak kasus, indikasi intervensi operasi

akan menjadi jelas, seperti dalam kasus peritonitis yang disebabkan oleh kolitis iskemik, usus

buntu yang pecah, atau divertikula kolon. Dokter bedah harus selalu berusaha untuk tiba pada

suatu diagnosis spesifik dan melukiskan anatomi intra-abdomen sejelas mungkin sebelum

operasi.

33

Page 34: Appendicitis Dan Peritonitis

Namun, pada sepsis perut parah, keterlambatan dalam manajemen operasi dapat

menyebabkan peningkatan kebutuhan secara signifikan untuk reoperasi dan untuk hasil yang

lebih buruk secara keseluruhan. Intervensi bedah mungkin termasuk reseksi viskus berlubang

dengan re-anastomosis atau pembuatan suatu fistula. Untuk mengurangi beban bakteri,

sebuah lavage rongga perut dilakukan, dengan perhatian khusus pada daerah rawan untuk

pembentukan abses.

Open-abdomen technique and scheduled reoperation

Dalam situasi tertentu, pendekatan operasi terhadap infeksi intraperitoneal adalah tepat.

Operasi kembali dapat digunakan dalam mengontrol kerusakan. Pada peritonitis berat,

terutama dengan keterlibatan retroperitoneal luas (misalnya, nekrosis pankreatitis),

pengobatan terbuka dengan reexploration ulangi, debridemen, dan lavage intraperitoneal

telah terbukti efektif.

Penutupan sementara dari perut untuk mencegah herniasi dan kontaminasi dari luar isi perut

dapat dicapai dengan menggunakan kasa besar, kedap, mesh (misalnya, Vicryl, Dexon),

mesh nonabsorbable (misalnya, GORE-TEX , polypropylene) dengan atau tanpa zipper atau

perangkat seperti Velcro penutupan, dan penutupan vakum-dibantu (VAC). Keuntungan dari

strategi manajemen termasuk menghindari abdominal compartment syndrome (ACS) dan

akses mudah bagi reexploration. Kerugian termasuk gangguan signifikan mekanika

pernafasan dan potensi kontaminasi perut dengan patogen nosokomial.

Untuk penutupan primer tertunda (permanen), pengalaman kami dengan menggunakan

acellular dermis manusia (komersial dikenal sebagai AlloDerm) telah memuaskan, meskipun

pilihan ini memiliki kekurangan karena lebih mahal daripada yang lain.

Keputusan untuk melakukan serangkaian reexplorations dapat dilakukan pada awal operasi

jika debridement dan lavage tambahan diperlukan yang dapat dicapai dalam prosedur

pertama. Indikasi untuk relaparotomy direncanakan dapat mencakup kegagalan untuk

34

Page 35: Appendicitis Dan Peritonitis

mencapai kontrol sumber yang memadai, diffuse peritonitis, ketidakstabilan hemodinamik,

dan hipertensi intra-abdomen.

Beberapa reoperations dapat berhubungan dengan risiko yang signifikan, termasuk dari

respons inflamasi substansial, pergeseran cairan dan elektrolit, dan hipotensi, namun, ini

harus seimbang terhadap risiko terus-menerus fokus nekrosis atau infeksi perut. Teknik perut

terbuka memungkinkan untuk drainase menyeluruh dari infeksi intra-abdomen, namun

indikasi tertentu masih belum jelas.

Laparoskopi

Laparoskopi diterima lebih luas dalam diagnosis dan pengobatan infeksi perut. Seperti semua

indikasi untuk operasi laparoskopi, hasil bervariasi tergantung pada keterampilan dan

pengalaman ahli bedah laparoskopi. Pemeriksaan laparoskopi pertama perut dapat membantu

dalam penentuan etiologi dari peritonitis (misalnya, patologi kuadran kanan bawah pada

pasien wanita).

Preoperative

Volume resusitasi dan pencegahan disfungsi sistem organ sekunder sangat penting dalam

pengobatan pasien dengan infeksi intra-abdomen. Tergantung pada beratnya penyakit ini,

pasien harus memiliki Foley kateter ditempatkan untuk memonitor urin output. Gunakan

pemantauan hemodinamik invasif pada pasien sakit berat untuk membimbing resusitasi

volume dan dukungan inotropic.

Mulailah pengobatan spektrum luas dengan terapi sistemik antibiotik segera setelah diagnosa

infeksi intra-abdomen dicurigai dan terapi khusus sesuai dengan proses penyakit yang

mendasari dan sesuai dengan hasil kultur. Pasien dengan peritonitis sering merasakan sakit

perut yang parah, pemberikan analgesia yang memadai dengan agen narkotik parenteral

sesegera mungkin. Pertimbangkan intubasi dan dukungan awal ventilator pada pasien dengan

terbukti syok septik atau perubahan status mental untuk mencegah dekompensasi lebih lanjut.

Bahkan jika pasien tidak tampak sakit kritis awalnya, mengatur dukungan perawatan intensif

35

Page 36: Appendicitis Dan Peritonitis

pasca operasi sebelum operasi sering bijaksana, khususnya pada pasien lanjut usia dan

mereka dengan komorbiditas yang signifikan.

Intraoperative

Tujuan pengobatan operatif dari peritonitis adalah untuk menghilangkan sumber

kontaminasi, untuk mengurangi perkembangan bakteri, dan untuk mencegah sepsis berulang

atau persisten.

Pascaoperasi

Pascaoperasi, memantau semua pasien erat dalam pengaturan klinis yang tepat untuk

kecukupan resusitasi volume, resolusi atau kegigihan sepsis, dan kegagalan organ

pengembangan sistem. Pengobatan sistemik yang tepat melalui antibiotik spectrum harus

diteruskan.

Kondisi secara keseluruhan pasien harus meningkat secara signifikan dalam 24-72 jam

setelah terapi awal (misalnya, resolusi dari tanda-tanda dan gejala infeksi, mobilisasi cairan

interstisial). Hal ini tentu saja waktu dapat diperpanjang pada pasien yang sakit kritis dengan

disfungsi sistem organ beberapa signifikan.

PROGNOSIS

Pada perforasi duodenum, faktor-faktor seperti bertambahnya umur, penyakit yang

menyertai, syok preoperatif, ukuran perforasi, kecepatan penanganan dan operasi merupakan

faktor resiko yang dipercaya menyebabkan kematian.

Pasien berusia lebih dari 65 tahun memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk mengalami

peritonitis generalisata dan sepsis dibanding pasien yang berusia lebih muda dan resiko

kematian juga meningkat 3 kali lebih besar. Penemuan ini konsisten dengan hipotesis bahwa

sisi biologis dari peritonitis berbeda pada orang tua, yang biasanya menderita proses yang

lebih lanjut atau lebih berat dibanding pasien yang lebih muda. Peritonitis generalisata sering

mematikan akibat dari organisme virulennya.

36

Page 37: Appendicitis Dan Peritonitis

BAB III

KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Apendiks vermicularis, dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut

merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak

mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian

akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang

tidak khas tadi, apendisitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90%

apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting

dalam mendiagnosis apendisitis.

37

Page 38: Appendicitis Dan Peritonitis

Daftar Pustaka

1. Sjamsuhidajat S, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2005.

2. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”,

dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media

Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.

3. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., “Acute Appendicitis in Children”, 

JAMA,http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.

4. Simpson, J., Humes, D. J., “Acute Appendicitis”,  BMJ,

http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9 September 2006, 333: 530-536.

5. Townsend, Courtney M. Sabiston Textbook of Surgery, The Biological Basis of

Modern Surgical Practice (16 ed). W.B. Saunders Company

6. Andersen BR, Kallehave FL, Andersen HK: Antibiotics versus placebo for prevention

of postoperative infection after appendicectomy. Cochrane Database Syst Rev Issue

3:CD001439, 2005.

7. Livingston EH, Woodward WA, Sarosi GA, et al: Disconnect between incidence of

nonperforated and perforated appendicitis: Implications for pathophysiology and

management. Ann Surg 245:886, 2007. [PMID: 17522514]

8. Bickell NA, Aufses AA Jr., Rojas M, et al: How time affects the risk of rupture in

appendicitis. J Am Coll Surg 202:401, 2006. [PMID: 16500243

9. Styrud J, Eriksson S, Nilsson I, et al: Appendectomy versus antibiotic treatment in

acute appendicitis: A prospective multicenter randomized controlled trial. World J

Surg 30:1033, 2006

38