Antropologi Kebudayaan

4
Antropologi Kebudayaan: Filsafat Modern dan Filsafat Nusantara Saduran : Estetika Nusantara Sony Dharsono., 2008 Memahami Kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai, dan symbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kemudian akan menjadi acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai system symbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik. Pengertian kebudayaan tersebutmemberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan, dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya. Artefak seni yang lahir dari bumi Nusantara merupakan eksresi kebudayaan masyarakatnya dengan segala falsafah dan filsafat yang melatar belakanginya. Pembahasan ini mencoba mempertanyakan tentang Estetika Nusantara yang selama ini dianggap tidak punya “paugera’ (paradikma yang diyakini) terhadap karya-kaerya seni Nusantara. Pertanyaan yang selalu muncul adalah “apakah di Indonesia (Nusantara) ini tidak mempunyai filsafat yang berhubungan dengan antropologi? Sehingga pembelajaran di Perguruan Tinggi masih menekankan pada filsafat modern dan estetika modern. Di dalam kehidupan rohani, yang menjadi dasar, dan member isi kebudayaan Jawa, benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar awal segala sesuatu, renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir dari pencarian sebabterdalam dari padanya , yaitu perincian tentang “Arti Hidup Manusia, Asal Mula, dan Akhir Kehidupan (Sangkan Paraning Dumadi)dan juga hubungan antara Manusia dengan Tuhan dan Alam Semesta”.

description

free

Transcript of Antropologi Kebudayaan

Antropologi Kebudayaan:Filsafat Modern dan Filsafat Nusantara

Saduran : Estetika Nusantara Sony Dharsono., 2008

Memahami Kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai, dan symbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kemudian akan menjadi acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai system symbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik. Pengertian kebudayaan tersebutmemberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan, dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya. Artefak seni yang lahir dari bumi Nusantara merupakan eksresi kebudayaan masyarakatnya dengan segala falsafah dan filsafat yang melatar belakanginya. Pembahasan ini mencoba mempertanyakan tentang Estetika Nusantara yang selama ini dianggap tidak punya paugera (paradikma yang diyakini) terhadap karya-kaerya seni Nusantara. Pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah di Indonesia (Nusantara) ini tidak mempunyai filsafat yang berhubungan dengan antropologi? Sehingga pembelajaran di Perguruan Tinggi masih menekankan pada filsafat modern dan estetika modern.Di dalam kehidupan rohani, yang menjadi dasar, dan member isi kebudayaan Jawa, benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar awal segala sesuatu, renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir dari pencarian sebabterdalam dari padanya , yaitu perincian tentang Arti Hidup Manusia, Asal Mula, dan Akhir Kehidupan (Sangkan Paraning Dumadi)dan juga hubungan antara Manusia dengan Tuhan dan Alam Semesta. Bukankan semua pertanyaan dan pencarian, dapat pula disebut Filsafat? Filsafat dapat diartikan sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakekat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar. Maka semua usaha untuk mengartikan hidup dan dengan segalapengejawantahannya, manusia dengan tujuan akhirnya , hubungan yang tampak dan yang gaib, yang silih brganti dengan yang abadi, tempat manusia dalam alam semesta, seperti yang kita dapatkan dalam banyak perenungan di Jawa dapatkah disebut Filsafat?

Renungan Metafisik yaitu Renungan tentang ada (being) diwujudkan dalam pribadi (personifikasi) Dewa Siwa, yang digambarkan sebagai sarining paramatatwa: inti dari kebenaran tertinggi, hana tanhana: ada atau tiada, sang sangkanparaning sarat: asal dan tujuan (the where from end where to, origin and destiny) alam semesta, sakala dan niskalatmaka: wujud lahir dan batin. Hubungan manusia dengan Siwa dinyatakan wahya dhyatmika sembahaning hulun: wujud lahir dan batin (exoteric/esoteric)Renungan tentang tata laku susila (etika) didapatkan dalam dialog antara Arjuna dan Batara Indra, bukan merupakan refleksi teoritis belaka, melainkan merupakan prilaku baik baik sebagai sarana mencapai kesempurnaan, yaitu menjalankan dharma ksatria: adalah kewajiban seorang ksatria. Bilamana kewajiban ini senantiasa dilakukan dengan baik maka putusan sang hyang kalepasan dia akan mencapai kamuksan atau kebebasan (liberatin) juga.Ulasan : pengertian sangkan paran merupakan inti filsafat Nusantara Indonesia. Fenomena hidup alam semestabukannya dianggap diam statis, melainkan bergerak dinamis, demikian pula mengenai manusia. Antropologi filsafati bukanlah pertama-tama menanyakan: apakah manusia itu, melainkan: dari mana asal manusia dan kemana dia pergi. Eksistensi manusia ditinjau secara menyeluruh dahulu dan baru ditinjau citranya (image) dalam konteks tujuan mutakhirnya. Etika tidak lepas dari sangkan paran ini.Memang benar ada perbedaan yang dalam dalam system-sistem filsafat modern dengan ungkapan-ungkapan renungan filsafat Jawa (Nusantara) yang sering bersifat fragmentaris dan kurang Nampak adanya hubungan yang jelas. Terdapatlah perbedaan sebagian filsafat barat dan timur, para ahli filsafat timur mengatakan ; Bukan untuk menciptakan filssafat untuk filsafat sendiri. Pengetahuan hanya senantiasa merupakan sarana untuk mencapai kasampurnan. Suatu langkah kejalan menuju kalepana (verlossing) atau malahan mencapainya: Yaitu satu-sdatunya jalan bagi manusia untuk sampai kepada tujuan akhirnya.

Berlainan dengan kebanyakan pemikiran barat, disini tidak kita dapatkan pertentangan antara filsafat dengan pengetahuan tentang Tuhan. Justru didapatkan pada filsafat Nusantara (Jawa) bahwa kearifan tertinggi, yang merupakan puncak filsafat adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang yang Mutlak dan hubungan-Nya dengan manusia. Kalau filsafat barat selalu mempertanyakan tentang hidup ini secara logika maka filsafat Nusantara selalu mempertanyakan tentang perjalanan hidup dalam mencapai kasampurnan(ditinjau dari sudut Antropologi).Bilamana kita pakai bahasa Jawa sendiri, maka filsafat berarti: ngdi kasampurnan (berusaha untuk mencari kasampurnan sejati). Sebaliknya philosopi Yunani dibaca dengan bahasa Jawa menjadi: ngudi kawicaksanan (berusaha untuk memperoleh kepandaian/kepinteran).

Yogya , Tengah Peb.2010N.