Annex 15-Sahabat 4thIssue

4
8 ore itu kunjungan ASB disambut ceria oleh Artha Saka Wijaya, di Skediamannya di dusun Ngemplak, Caturharjo, Sleman. Artha, 8 tahun, merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus yang telah mendapatkan pelatihan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dari kader desa Caturharjo dalam program PRB untuk Anak Berkebutuhan Khusus, keluarga, serta tetangga dalam program kerjasama Pemerintah Kabupaten Sleman bersama ASB yang didanai oleh Direktorat Jenderal Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Masyarakat Komisi Eropa. Dalam perbincangan kami, Suparmi, ibunda Artha, mengungkapkan kalau pada awalnya ia bersedia menerima pelatihan dari kader desa dikarenakan rasa ingin tahu. Pada kenyataannya, pelatihan yang telah dilakukan tersebut dirasa sangat berguna dan memberi pengetahuan serta kesiapan bagi Artha, keluarga dan tetangga dalam menghadapi berbagai bencana yang rawan terjadi di Indonesia, khususnya di daerah Sleman. Mengenai berbagai bencana tersebut, Suparmi menyebut gempa bumi sebagai yang paling mengancam. Ia sendiri menyatakan jika setelah pelatihan ia jadi mengetahui bagaimana caranya melindungi diri maupun melindungi anaknya, Artha, yang down syndrome. Di lain pihak, ia juga jadi lebih menyadari kebutuhan khusus dan kerentanan anaknya. Dalam waktu dekat, sekalian merenovasi rumahnya, Suparmi dan suaminya Suryono, berencana untuk menata ulang seisi rumah, terutama kamar Artha, agar lebih aman ditempati. Suryono sendiri yang sebelumnya tidak dapat menghadiri pelatihan karena sedang bekerja mengatakan, kalau ia jadi mengetahui tentang penataan ruangan aman dari kertas tanda silang (menandakan bahaya) dan centang (menandakan pendukung) yang masih menempel di perabot rumahnya selepas pelatihan. Profil Sahabat Suryono, berharap informasi penting semacam ini tidak hanya berhenti sampai kepada anak berkebutuhan khusus, keluarga dan tetangganya saja, tapi juga dapat menjamah masyarakat yang lebih luas. Dia sendiri dan keluarga berkomitmen untuk menularkan pengetahuan yang telah mereka dapat kepada kerabat maupun lingkungan sekitarnya. Lalu bagaimana dengan Artha? Bocah yang sempat putus sekolah dan baru saja didaftarkan ke sekolah inklusi ini mengaku senang dengan pelatihan yang diberikan padanya. Dalam pelatihan yang lalu, Artha memang dengan penuh semangat mengikuti simulasi evakuasi, dan belajar dari materi ASB yang berbentuk cerita bergambar. Dengan sedikit pancingan, ia sudah dapat memperagakan kembali dengan benar bagaimana caranya melindungi kepala saat melakukan evakuasi setelah gempa. Ketika ditanya bagian mana yang paling ia sukai, Artha dengan lugu menjawab, “Masuk ke bawah meja”. (Asa, ASB) “Masuk ke Bawah Meja!” DATA ANAK Nama: Artha Saka Wijaya Umur: 8 tahun Ibu : Suparmi Ayah : Suryono Pekerjaan orang tua: Pegawai Bank Pelatihan di rumah keluarga Artha yang juga melibatkan tetangga sekitar Kader Desa melatih Artha dengan materi Cerita Bergambar dari ASB 4 Agustus 2011 Terbit Setiap 3 Bulan Edisi Sanggahan: Dokumen ini diproduksi dengan bantuan dana dari Komisi Eropa. Pandangan yang dinyatakan di dalam dokumen ini tidak dapat dianggap dengan cara apapun untuk mencerminkan opini resmi dari Komisi Eropa Newsletter ini diterbitkan atas kerjasama Didanai oleh: Arbeiter-Samariter-Bund Deutschland e.V. P ada edisi-edisi SAHABAT sebelumnya, ASB dan Handicap International (HI) Federation secara terus-menerus mempromosikan pengarusutamaan isu kecacatan, pentingnya pelibatan penyandang cacat, dan kebutuhan khusus penyandang cacat dalam PRB. SAHABAT juga telah memaparkan berbagai program PRB yang dijalankan ASB dan bersama pemerintah dan partner kerja, baik di tingkatan sekolah maupun masyarakat. Di sini, penyandang cacat tidak hanya menjadi penerima manfaat, namun juga aktor yang terlibat langsung dalam program. Program PRB inklusif tersebut telah memperluas kesempatan penyandang cacat untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Agar di masa depan upaya tersebut masih dapat terus berlanjut, diperlukan adanya usaha secara berkesinambungan. Untuk mewujudkannya, perlu dukungan beberapa faktor. Pertama, kesadaran masyarakat luas tentang PRB dan isu kecacatan,agar perencanaan dan pelaksanaan program PRB mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan penyandang cacat. Kedua, perlu pelibatan semua pihak, baik pemerintah, lembaga- HI KOMISI EROPA Bantuan Kemanusiaan 1 lembaga penggerak dan semua golongan masyarakat. Dan terakhir yang tak kalah penting adalah kebijakan Pemerintah dan sistem yang berjalan dengan baik sebagai landasan keberlanjutan program ke depan. SAHABAT edisi ke-4 sekaligus edisi terakhir ini mengangkat tema PRB inklusif yang berkelanjutan. Rubrik Gagasan Sahabat menekankan peran utama pemerintah untuk membangun sistem penyampaian informasi PRB berkelanjutan yang melibatkan berbagai kelompok sebagai tenaga penggerak. Teropong Sahabat memaparkan pelaksanaan program PRB yang telah dilaksanakan dan berbagai upaya di dalamnya untuk memastikan inklusivitas dan keberlanjutan menjadi nafas program. Selain itu SAHABAT juga menyajikan profil penyandang cacat dalam program PRB inklusif dan hasil wawancara dengan keluarga yang mendapat pelatihan PRB. Semoga edisi kali ini dapat memberi pandangan yang lebih kuat tentang upaya PRB inklusif yang berkelanjutan. (Agnes, ASB) Dari Redaksi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang inklusif merupakan rangkaian upaya PRB yang melibatkan semua orang atau kelompok, tak terkecuali kelompok rentan seperti penyandang cacat. Pelibatan ini haruslah dalam keseluruhan proses, baik pada saat tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan kembali, pencegahan dan mitigasi, maupun dalam kesiapsiagaan. PENGURANGAN RISIKO BENCANA ( ) PRB YANG DAN INKLUSIF BERKELANJUTAN Praktek simulasi evakuasi dalam perayaan Hari Kartini 2011 di Semin, Gunungkidul

Transcript of Annex 15-Sahabat 4thIssue

Page 1: Annex 15-Sahabat 4thIssue

8

ore itu kunjungan ASB disambut ceria o l e h A r t h a S a k a W i j a y a , d i Skediamannya di dusun Ngemplak,

Caturharjo, Sleman. Artha, 8 tahun, merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus yang telah mendapatkan pelatihan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dari kader desa Caturharjo dalam program PRB untuk Anak Berkebutuhan Khusus, keluarga, serta tetangga dalam program kerjasama Pemerintah Kabupaten Sleman bersama ASB yang didanai oleh Direktorat Jenderal Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Masyarakat Komisi Eropa. Dalam perbincangan kami, Suparmi, ibunda Artha, mengungkapkan kalau pada awalnya ia bersedia menerima pelatihan dari kader desa dikarenakan rasa ingin tahu. Pada kenyataannya, pelatihan yang telah dilakukan tersebut dirasa sangat berguna dan memberi pengetahuan serta kesiapan bagi Artha, keluarga dan tetangga dalam menghadapi berbagai bencana yang rawan terjadi di Indonesia, khususnya di daerah Sleman. Mengenai berbagai bencana tersebut, Suparmi menyebut gempa bumi sebagai yang paling mengancam. Ia sendiri menyatakan jika setelah pelatihan ia jadi mengetahui bagaimana caranya melindungi diri maupun melindungi anaknya, Artha, yang down syndrome. Di lain pihak, ia juga jadi lebih menyadari kebutuhan khusus dan kerentanan anaknya.

Dalam waktu dekat, sekalian merenovasi rumahnya, Suparmi dan suaminya Suryono, berencana untuk menata ulang seisi rumah, terutama kamar Artha, agar lebih aman ditempati. Suryono sendiri yang sebelumnya tidak dapat menghadiri pelatihan karena sedang bekerja mengatakan, kalau ia jadi mengetahui tentang penataan ruangan aman dari kertas tanda silang (menandakan bahaya) dan centang (menandakan pendukung) yang masih menempel di perabot rumahnya selepas pelatihan.

ProfilSahabat

Suryono, berharap informasi penting semacam ini tidak hanya berhenti sampai kepada anak berkebutuhan khusus, keluarga dan tetangganya saja, tapi juga dapat menjamah masyarakat yang lebih luas. Dia sendiri dan keluarga berkomitmen untuk menularkan pengetahuan yang telah mereka dapat kepada kerabat maupun lingkungan sekitarnya.

Lalu bagaimana dengan Artha? Bocah yang sempat putus sekolah dan baru saja didaftarkan ke sekolah inklusi ini mengaku senang dengan pelatihan yang diberikan padanya. Dalam pelatihan yang lalu, Artha memang dengan penuh semangat mengikuti simulasi evakuasi, dan belajar dari materi ASB yang berbentuk cerita bergambar. Dengan sedikit pancingan, ia sudah dapat memperagakan kembali dengan benar bagaimana caranya melindungi kepala saat melakukan evakuasi setelah gempa. Ketika ditanya bagian mana yang paling ia sukai, Artha dengan lugu menjawab, “Masuk ke bawah meja”. (Asa, ASB)

“Masuk ke Bawah Meja!”

DATA ANAKNama: Artha Saka WijayaUmur: 8 tahunIbu : SuparmiAyah : Suryono Pekerjaan orang tua:Pegawai Bank

Pelatihan di rumah keluarga Artha yang juga melibatkan tetangga sekitar

Kader Desa melatih Artha dengan materi Cerita Bergambar dari ASB

4Agustus 2011

Terbit Setiap

3 BulanEdisi

Sanggahan: Dokumen ini diproduksi dengan bantuan dana dari Komisi Eropa. Pandangan yang dinyatakan di dalam dokumen ini tidak dapat dianggap dengan cara

apapun untuk mencerminkan opini resmi dari Komisi Eropa

Newsletter ini diterbitkan atas kerjasamaDidanai oleh:

Arbeiter-Samariter-BundDeutschland e.V.

Pada edisi-edisi SAHABAT sebelumnya, ASB dan Handicap International (HI) Federation secara terus-menerus mempromosikan

pengarusutamaan isu kecacatan, pentingnya pelibatan penyandang cacat, dan kebutuhan khusus penyandang cacat dalam PRB. SAHABAT juga telah memaparkan berbagai program PRB yang dijalankan ASB dan bersama pemerintah dan partner kerja, baik di tingkatan sekolah maupun masyarakat. Di sini, penyandang cacat tidak hanya menjadi penerima manfaat, namun juga aktor yang terlibat langsung dalam program. Program PRB inklusif tersebut telah memperluas kesempatan penyandang cacat untuk berpartisipasi dalam

masyarakat.

Agar di masa depan upaya tersebut masih dapat terus berlanjut, diperlukan adanya u s a h a s e c a r a berkesinambungan. Untuk m e w u j u d k a n n y a , p e r l u

dukungan beberapa faktor. Pertama, kesadaran masyarakat

luas tentang PRB dan isu kecacatan,agar perencanaan dan pelaksanaan program PRB mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan penyandang cacat. Kedua, perlu pelibatan semua pihak, baik pemerintah, lembaga-

HI

KOMISI EROPA

Bantuan Kemanusiaan

1

lembaga penggerak dan semua golongan masyarakat. Dan terakhir yang tak kalah penting adalah kebijakan Pemerintah dan sistem yang berjalan dengan baik sebagai landasan keberlanjutan program ke depan.

SAHABAT edisi ke-4 sekaligus edisi terakhir ini mengangkat tema PRB inklusif yang berkelanjutan. Rubrik Gagasan Sahabat menekankan peran utama pemerintah untuk membangun sistem penyampaian informasi PRB berkelanjutan yang melibatkan berbagai kelompok sebagai tenaga penggerak. Teropong Sahabat memaparkan pelaksanaan program PRB yang telah dilaksanakan dan berbagai upaya di d a l a m n y a u n t u k m e m a s t i k a n inklusivitas dan keberlanjutan menjadi nafas program. Selain itu SAHABAT juga menyajikan profil penyandang cacat dalam program PRB inklusif dan hasil wawancara dengan keluarga yang mendapat pelatihan PRB. Semoga edisi kali ini dapat memberi pandangan yang lebih kuat tentang upaya PRB inklusif yang berkelanjutan. (Agnes, ASB)

DariRedaksi

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang inklusif merupakan rangkaian upaya PRB yang melibatkan semua orang atau kelompok, tak terkecuali kelompok rentan seperti penyandang cacat. Pelibatan ini haruslah dalam keseluruhan proses, baik pada saat tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan kembali, pencegahan dan mitigasi, maupun dalam kesiapsiagaan.

PENGURANGAN RISIKO BENCANA

( ) PRBYANG DAN

INKLUSIF

BERKELANJUTAN

Praktek simulasi evakuasi dalam perayaanHari Kartini 2011 di Semin, Gunungkidul

Page 2: Annex 15-Sahabat 4thIssue

dilatih untuk menjadi pelatih PRB.

Selanjutnya, kader tingkat kecamatan akan

melatih kader-kader di desanya masing-

masing, dan baru pada akhirnya kader tingkat

desa menyampaikan pelatihan kepada

masyarakat. Kader-kader yang terlibat dalam

mekanisme ini adalah kader-kader yang

sebenarnya sudah ada di masyarakat

Indonesia, seperti Tenaga Kesejahterahan

Sosial Masyarakat, Peker ja Sosial

Masyarakat, Organisasi Penyandang Cacat

setempat, Kader Penggerak PKK, dll.

Kelebihan dari kader-kader tersebut antara

lain, mereka sudah terbiasa untuk melakukan

kegiatan kemasyarakatan, termasuk

penyuluhan kepada masyarakat. Sedangkan

pelibatan kader dari organisasi penyandang

cacat lokal sebagai pelatih dalam mekanisme

ini memberikan motivasi lebih kepada

penyandang cacat lainnya, karena mereka

dapat melihat langsung bahwa penyandang

cacat juga mampu terlibat dalam upaya PRB.

Penyandang cacat juga lebih memahami dan

mengetahui kebutuhan khusus yang

diperlukan dalam upaya PRB. Kader

penyandang cacat dan non-penyandang

cacat saling berkoordinasi mulai dari

persiapan, hingga pelaksanaan pelatihan.

Pembentukan kader PRB saja, baik di tingkat

kecamatan maupun desa tidaklah cukup

dalam mekanisme ini. Peran aparat

pemerintah baik di tingkat kabupaten,

kecamatan dan desa yang menangani bidang

penanggulangan bencana, sosial dan

p e m b e r d a y a a n m a s y a r a k a t /

kemasyarakatan juga sangat penting untuk

melakukan monitoring terhadap kegiatan-

3

Kader Kecamatan sedang melatih Kader Desa tentang Penataan Ruangan Aman.

Kader Desa sedang melatih Anak BerkebutuhanKhusus dengan materi ASB.

Diterbitkan oleh:

Pemimpin Redaksi:

Wakil Redaktur:

Editor:

Reporter:

Layout:

Alamat Redaksi:

ASB Indonesia dan Indonesia

Petrus Ana Andung.

Rofikul Hidayat.

HI dan ASB

Agnes Patongloan, Asa Rahmana, Buce Ga, Eldy Diaz, Noor Alifa

Ardianingrum,Puthut Sulastomo

ASB Indonesia.

Kantor HI Federation di KupangJl. Bajawa No. 1 Kel. Oebufu,Kupang,

Provinsi NTT , Indonesia,Telepone : +62-380-821301.

Email : [email protected]

HI Federation Program

Susunan Redaksi

kegiatan PRB, yang dilakukan para kader di

level masyarakat. Hasil dari monitoring

tersebut tentunya sangat bermanfaat untuk

mengevaluasi dan mengembangkan

p rogram dan keg ia tan PRB yang

berkelanjutan.

Dengan adanya mekanisme berkelanjutan

dari kader di tingkat kecamatan dan desa

hingga ke masyarakat, Pemerintah sangat

terbantu dalam mempercepat proses

penyebaran informasi dan pelatihan PRB.

Mekanisme ini akan berjalan dengan baik,

jika didukung dengan penggunaan materi dan

metode pelatihan PRB yang sederhana,

praktis, dan disesuaikan dengan kebutuhan

khusus penyandang cacat. Terakhir,

himbauan resmi dari Pemerintah Kabupaten

mengenai praktek simulasi evakuasi yang

harus dilakukan secara rutin, akan

mendorong masyarakat untuk membangun

kebiasan diri berbudaya aman dalam

menghadapi bencana. Ke depannya,

diharapkan mekanisme ini dapat diadopsi

dan diadaptasikan di kabupaten-kabupaten

lain di Indonesia. (Phutut WS, ASB)

GagasanSahabat

2

alam Undang-Undang no.24 tahun

2007 tentang Penanggulangan DBencana disebutkan bahwa salah

satu prinsip penanggulangan bencana adalah

non-diskriminatif dan memberikan prioritas

perlindungan terhadap kelompok rentan.

Prinsip tersebut harusnya mendorong kita

semua untuk melibatkan kelompok rentan

termasuk penyandang cacat dalam upaya

PRB karena dalam situasi darurat seorang

penyandang cacat menghadapi kesulitan

yang lebih besar jika kebutuhan khususnya

tidak terpenuhi. Sementara sebelum terjadi

bencana penyandang cacat kesulitan

mengakses informasi sederhana mengenai

perlindungan diri.

Kunci dari PRB adalah meningkatkan

kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan

dan mengurangi kerentanan masyarakat

dalam menghadapi bencana. Kerentanan

masyarakat dapat dikurangi dengan adanya

peningkatan pengetahuan dan latihan

pembiasaan diri dalam mengambil langkah

kesiapsiagaan yang tepat, tidak terkecuali

untuk penyandang cacat.

Menyikapi kenyataan diatas, Pemerintah

Kabupaten Gunungkidul dan Sleman di

Provinsi D.I. Yogyakarta telah memelopori

pembangunan sebuah

MEMBANGUN KETAHANAN DENGAN MEMBANGUN

SISTEM PENYAMPAIAN INFORMASI PENGURANGAN RESIKO BENCANA

mekanisme penyampaian informasi PRB

kepada masyarakat secara inklusif, yang

nantinya juga akan diformalkan menjadi

regulasi di tingkat kabupaten. Mekanisme

tersebut sebenarnya merupakan hal yang

sederhana. Intinya adalah informasi PRB dan

pelatihan kesiapsiagaan dapat disampaikan

dari pusat sumber kepada seluruh lapisan

masyarakat dengan mudah, cepat dan hemat

biaya.

Hal tersebut dilakukan dengan membentuk

kader-kader PRB di setiap kecamatan yang

Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

sebenarnya sudah sering kita dengar pada

tahun-tahun belakangan ini, tapi pada kenyataannya

masih banyak masyarakat yang tidak

dapat mengakses informasi PRB. Selain itu pelibatan semua

orang termasuk kelompok rentan masih

sangat minim.Kader Desa sedang berlatih menggunakan materi PRB dariASB

MEKANISME PENYAMPAIAN INFORMASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA

PEMERINTAH KABUPATEN

KADER TANGGAP BENCANA KECAMATAN

KADER TANGGAP BENCANA DESA

WARGA MASYARAKAT(TERMASUK PENYANDANG CACAT DAN KELOMPOK RENTAN LAINNYA)

Page 3: Annex 15-Sahabat 4thIssue

Desa Noebesa dan Nakfunu, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan 2 desa yang diintervensi

Handicap International (HI) Federation bekerja sama dengan OISCA/BSK untuk projek pengarusutamaan isu kecacatan dalam upaya PRB. Untuk mengkoordinasi kegiatan-

kegiatan PRB di tingkat komunitas, masyarakat di 2 desa ini difasilitasi oleh OISCA/BSK dengan dukungan HI, berhasil membentuk Forum PRB yang beranggotakan berbagai

elemen yang ada dalam masyarakat.

4

Desa Noebesa dan Nakfunu Hasilkan Peraturan Desa (Perdes)

tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang Mencakup Kecacatan

Masyarakat desa, juga penyandang cacat mendiskusikan draft peraturan desa mengenai PRB Inklusif di Desa Nakfunu

erbagai kegiatan telah berhasil dilakukan forum PRB ini seperti mitigasi bencana Bd a l a m b e n t u k p e n a n a m a n d a n

pemeliharaan tanaman-tanaman umur panjang dan pembuatan tembok penahan longsor. Untuk menjaga keberlanjutan dari program PRB ini, forum PRB difasilitasi OISCA/BSK telah mempelopori diterbitkannya Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Lingkungan Dan Penanggulangan Resiko Bencana yang isinya mencakup kecacatan (inklusi).

Perdes ini mengikat semua warga desa untuk me lakukan be rbaga i upaya m i t i gas i . Sebagaimana Bab V, Pasal 5 dalam Perdes tersebut disebutkan secara jelas bahwa setiap anggota keluarga (KK) diwajibkan untuk menanam pohon sebanyak 25 pohon/tahun/jiwa. Setiap masyarakat desa juga dilarang untuk menebang pepohonan secara sembarangan. Pasal 11, sudah menetapkan sanksi berupa denda sebesar RP.100.000 per orang bagi yang menebang pohon sembarangan.

Sementara itu, Pasal 9 butir (f) mengatur bahwa penyandang cacat harus dilibatkan dalam upaya pengurangan risiko bencana (khususnya mitigasi). Selain itu, pasal 9 ini juga memberi mandat agar penyandang cacat mendapat prioritas utama dalam upaya pencarian, penyelamatan, dan evakuasi bencana.

Tentu saja, keberadaan Perdes menjadi sebuah pengalaman sukses tersendiri bagi forum PRB ini. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang anggota forum PRB Desa Nakfunu yang juga penyandang cacat (tunadaksa), Yustus Ta'ek, pada Sabtu, 16 Juli 2011, “Kami sangat senang karena kami terlibat dalam seluruh tahapan pembuatan Perdes ini mulai dari diskusi di tingkat forum PRB, penyusunan draft Perdes, dan sosialisasi di masyarakat. Pendapat kami juga didengarkan (diakomodir, Red). Saat rapat, saya usul ke forum agar hak-hak penyandang cacat juga dimunculkan dalam Perdes PRB ini dan akhirnya diterima sehingga isi Perdes dalam pasal 9 sudah mengatur secara khusus tentang penyandang cacat”. Pendapat Ta'ek ini

dibenarkan oleh Marthen Boimau yang juga tunadaksa.

Sementara itu, Orianci Liunima, salah satu anggota forum PRB Desa Noebesa, juga menyambut positif akan kehadiran Perdes ini. “Adanya Perdes ini dapat mengikat masyarakat untuk melakukan mitigasi bencana dengan menanam banyak pohon, mencegah terjadinya kecacatan pada anak karena ibu-ibu hamil diwajibkan melahirkan di Polindes dengan bantuan medis. Bila tidak melahirkan di Polindes d ikenakan sanks i sebesar RP.250.000”, kata anggota forum PRB yang mewak i l i kaum perempuan ini.

Jacob Benu, ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Nakfunu yang sekaligus anggota forum PRB menyatakan “Dengan a d a n y a P e r d e s i n i m a k a keputusan-keputusan forum PRB menjadi lebih kuat dan mengikat. Mitigasi juga dapat dilakukan secara terus-menerus. Apalagi tanaman-tanaman yang ditanam dalam program mitigasi ini adalah t a n a m a n p e r k e b u n a n d a n kehutanan yang selain mencegah erosi, longsor dan banjir juga dapat m e n g h a s i l k a n t a m b a h a n pendapatan atau ekonomi rumah tangga masyarakat”.

Keberhasilan Desa Nakfunu dan Noebesa dalam mengeluarkan Perdes tentang PRB inklusi merupakan sebuah prestasi yang pa tu t d iha rga i . Meng inga t keberlanjutan upaya PRB yang mencakup Halaman depan peraturan desa mengenai PRB Inklusif di

Desa Noebesa dan Desa Nakfunu

5

Mitigasi bencana dengan menanam tanaman di areal rawan longsor yang melibatkan penyandang cacat

Penyandang cacat juga dilibatkan dalam pembuatan draft peraturan desa mengenai PRB Inklusif di Desa Noebesa

kecacatan hanya bisa terwujud bila didukung dengan produk kebijakan yang mengikat. Perdes inklusi ini juga menjadi salah satu upaya yang strategis agar proses pengarusutamaan isu kecacatan dalam upaya PRB dapat berkelanjutan di tingkat masyarakat dan Handicap International akan senantiasa berjuang untuk mendukung pengembangan Perdes serupa dalam implementasi PRB di daerah lainnya di Propinsi NTT. Kontribusi lain dari lahirnya Perdes ini terhadap keberlanjutan PRB inklusi yakni mengikat Pemerintah Desa untuk memastikan dan mengontrol agar pelaksanaan Perdes dapat dilakukan secara baik. Selain itu, dengan Perdes ini, mengikat kerjasama kemitraan antara pemerintah desa dengan forum PRB di desa tersebut. Dengan demikian ketika pihak luar (LSM) tidak lagi melakukan pendampingan maka keberlanjutan aktifitas PRB inklusi dapat dikoordinasi oleh Pemerintah Desa.

(Petrus, HI)

TeropongSahabat

Page 4: Annex 15-Sahabat 4thIssue

ejak tahun 2006, ASB bekerjasama dengan Dinas Pendidikan mengawal Sprogram PRB berbasis sekolah yang

dilaksanakan di Provinsi DIY, Jawa Tengah, Nias Selatan, dan Jawa Barat. Total sejumlah 130 Sekolah Inklusi, 91 Sekolah Luar Biasa (SLB), dan 4915 SD di Provinsi DIY, Nias Selatan, dan Ciamis, Jawa Barat sudah mendapatkan pelatihan. Pelibatan berbagai macam sekolah tersebut merupakan upaya PRB yang inklusif dengan tujuan mengurangi kerentanan semua anak, termasuk penyandang cacat anak. Dalam program tersebut, ASB menyiapkan perwakilan guru melalui serangkaian pelatihan. Tujuannya, guru perwakilan yang sudah dilatih dapat menyebarluaskan kepada guru lain di sekolah serta di gugus/daerahnya masing-masing, yang kemudian akan melatih para siswa dengan menggunakan materi PRB dari ASB dan melakukan simulasi evakuasi di sekolah.

Angka-angka tersebut di atas tidak berarti banyak tanpa strategi tindak lanjut program. Pemaksimalan fungsi sistem yang sudah ada o leh pemer intah merupakan kunci keberlanjutan. Artinya, tidak hanya guru yang perlu disiapkan tetapi juga kepala sekolah, pihak dinas dan pengawas sekolah. Strategi ini diperkuat pula dengan dikeluarkannya surat edaran Dinas Pendidikan yang memerintahkan seluruh sekolah untuk melakukan praktek simulasi evakuasi gempa setiap tiga bulan sekali.

Kekuatan program tersebut terletak pada pembentukan sistem penyampaian informasi yang efektif sehingga ASB mampu melaksanakan program PRB berskala luas dengan biaya ef isien. Belajar dari pengalaman in i , ASB menerapkan pendekatan yang sama di masyarakat dengan menggunakan kader. Hal ini penting d i lakukan meng ingat sek i ta r 95%

penyandang cacat anak di Indonesia tidak bersekolah (Data: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2006). Ketika mereka tidak bersekolah, mereka akan terhambat mendapatkan informasi, termasuk informasi PRB.

Oleh karenanya, ASB merangkul Pemerintah Kab. Gunungkidul dan Kab. Sleman di bawah koordinasi Pemerintah D.I. Yogyakarta untuk melaksanakan program PRB berbasis masyarakat dengan sasaran utama penyandang cacat anak yang belum/tidak bersekolah (usia 5-15 tahun). ASB bersama PemKab menyiapkan kader kecamatan, dan anggota dari Organisasi Penyandang Cacat (OPC) untuk memberikan pelatihan dan melakukan pengawasan kepada kader-kader di tingkat desa. Nantinya, kader-kader desa akan melatih penyandang cacat anak, keluarga dan masyarakat sekitar (tetangga dan tokoh masyarakat). (Juga lihat artikel di Gagasan)

Upaya tersebut berbuah manis, respon masyarakat ternyata sangat positif. Selain masyarakat merasa lebih aman setelah mendapat pelatihan, muncul pula inisiatif untuk menyebarluaskan secara mandiri informasi PRB lewat pertemuan informal, bahkan juga radio komunitas desa. Terlihat pula komitmen kader desa tidak hanya menyebarluaskan informasi PRB kepada masyarakat, tetapi juga memperluas akses bagi penyandang cacat anak, terlebih dengan adanya partisipasi dari tokoh masyarakat. Hal ini berarti, selangkah menuju PRB inklusif; lebih banyak masyarakat, terutama penyandang cacat anak dapat menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Bahkan lebih besar lagi, program ini juga berkontribusi dalam memperluas kesempatan mereka berpartisipasi dalam masyarakat. (Alifa, ASB)

TeropongSahabat

6

Kader Siap, PRB Inklusif Mantap!

Selain pelibatan pemerintah, strategi tak kalah penting

adalah penyiapan kader. Proses penyiapan, pelatihan, dan

penyebarluasan informasi PRB diupayakan seinklusif mungkin agar lebih

banyak nyawa terselamatkan. Sekolah dan masyarakat merupakan wadah

efektif untuk upaya tersebut..

7

imon Betty, (63 tahun) adalah salah satu warga (tunadaksa) di desa Noebesa, SKecamatan Amanuban Sela tan,

Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Laki-laki paruh bayah ini dikenal warga karena kelincahan dan kegesitannya sehari-hari. Ia tidak pernah mengeluh dengan kondisinya. Ia terus berjuang dan bekerja keras untuk menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya hingga mengenyam ilmu hingga ke perguruan tinggi. Tanggungjawab besar sebagai seorang suami dan ayah membuat Bapak simon tidak pernah menyerah walaupun ia harus bekerja dari pagi hingga sore hari. Setelah dari berkebun, ia masih harus membantu sang istri tercinta mempersiapkan bahan dagangan untuk dijual ke pasar lokal.

Selain bertani dan beternak, Bapak Simon Betty juga terlibat aktif dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Hetven di Desa Noebesa. Sebagai anggota Forum PRB yang d iben tuk OISCA/BSK, Bapak S imon ditempatkan di seksi mitigasi yang bertugas mengkoordinir penanaman anakan, dan pengukuran tempat-tempat yang rawan longsor guna direkomendasikan ke forum untuk dibuatkan tembok penahan. Untuk pekerjaan mitigasi, seperti halnya semua warga desa lainnya, Bapak Simon juga menyiapkan anakan/bibit pada lokasi persemaian guna dilakukan penanaman di lokasi-lokasi yang berpotensi bencana (longsor). Namun keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan Forum PRB ini tetap memperhatikan kapasitas dan kenyamanannya secara pribadi.

Sejak kehadirannya sebagai anggota forum PRB telah merubah cara pandang masyarakat akan kemampuan penyandang cacat. Apalagi,

bapak Simon juga kerap memberikan masukan bagi kemajuan forum. Bapak Simon adalah sa lah satu tokoh masyarakat. Karena itu ia mengatakan, “Saya senang karena dengan bergabung di Forum PRB, saya bisa memastikan bahwa kegiatan PRB dan kegiatan p e m b a n g u n a n d e s a l a i n n y a m e m p e r t i m b a n g k a n k e b u t u h a n p e n y a n d a n g c a c a t . Ya n g l e b i h membanggakan, melalui keterlibatan kami dalam PRB, saat ini kami sudah berhasil membuat Perdes tentang PRB yang di d a l a m n y a j u g a m e n j a m i n a g a r penyandang cacat dilibatkan dalam setiap kegiatan dan keputusan desa. Memang, sebelum adanya pendampingan dari bapak-bapak (HI dan OISCA/BSK, Red), penyandang cacat tidak pernah dilibatkan dalam tiap kegiatan desa”.

Bapak Simon berharap, keterlibatannya dalam kegiatan pembangunan desa ini dapat memberikan contoh dan pelajaran menarik bahwa penyandang cacat dapat berbuat sesuatu guna membantu membangun desa sesuai dengan kapasitas dan kenyamanan mereka. Memang, kehadiran dan peran bapak Simon telah memberi motivasi bagi penyandang cacat lainnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan PRB baik sebagai anggota forum dan juga dalam mi t igas i . K in i ke te r l i ba tan para penyandang cacat di Desa Noebesa sudah semakin meningkat dan lebih aktif. Dengan keterlibatan aktif mereka baik sebagai anggota forum PRB maupun dalam kegiatan nyata PRB dapat tetap menjaga keberlanjutan pelaksanaan upaya PRB yang mencakup kecacatan (inklusi).

(Bertholens-OISCA/BSK, Eldy/HI).

Bangga bisa Terlibatdalam MembuatPeraturan Desa“...saat ini kami sudah berhasil membuat Perdes tentang PRB yang di dalamnya juga menjamin agar penyandang cacat dilibatkan...”

ProfilSahabat

Simon Beti, anggota Forum PRB “Hetven” di Desa Noebesa