Annex 15-Sahabat 4thIssue
-
Upload
jenny-hernandez -
Category
Documents
-
view
10 -
download
0
Transcript of Annex 15-Sahabat 4thIssue
8
ore itu kunjungan ASB disambut ceria o l e h A r t h a S a k a W i j a y a , d i Skediamannya di dusun Ngemplak,
Caturharjo, Sleman. Artha, 8 tahun, merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus yang telah mendapatkan pelatihan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dari kader desa Caturharjo dalam program PRB untuk Anak Berkebutuhan Khusus, keluarga, serta tetangga dalam program kerjasama Pemerintah Kabupaten Sleman bersama ASB yang didanai oleh Direktorat Jenderal Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Masyarakat Komisi Eropa. Dalam perbincangan kami, Suparmi, ibunda Artha, mengungkapkan kalau pada awalnya ia bersedia menerima pelatihan dari kader desa dikarenakan rasa ingin tahu. Pada kenyataannya, pelatihan yang telah dilakukan tersebut dirasa sangat berguna dan memberi pengetahuan serta kesiapan bagi Artha, keluarga dan tetangga dalam menghadapi berbagai bencana yang rawan terjadi di Indonesia, khususnya di daerah Sleman. Mengenai berbagai bencana tersebut, Suparmi menyebut gempa bumi sebagai yang paling mengancam. Ia sendiri menyatakan jika setelah pelatihan ia jadi mengetahui bagaimana caranya melindungi diri maupun melindungi anaknya, Artha, yang down syndrome. Di lain pihak, ia juga jadi lebih menyadari kebutuhan khusus dan kerentanan anaknya.
Dalam waktu dekat, sekalian merenovasi rumahnya, Suparmi dan suaminya Suryono, berencana untuk menata ulang seisi rumah, terutama kamar Artha, agar lebih aman ditempati. Suryono sendiri yang sebelumnya tidak dapat menghadiri pelatihan karena sedang bekerja mengatakan, kalau ia jadi mengetahui tentang penataan ruangan aman dari kertas tanda silang (menandakan bahaya) dan centang (menandakan pendukung) yang masih menempel di perabot rumahnya selepas pelatihan.
ProfilSahabat
Suryono, berharap informasi penting semacam ini tidak hanya berhenti sampai kepada anak berkebutuhan khusus, keluarga dan tetangganya saja, tapi juga dapat menjamah masyarakat yang lebih luas. Dia sendiri dan keluarga berkomitmen untuk menularkan pengetahuan yang telah mereka dapat kepada kerabat maupun lingkungan sekitarnya.
Lalu bagaimana dengan Artha? Bocah yang sempat putus sekolah dan baru saja didaftarkan ke sekolah inklusi ini mengaku senang dengan pelatihan yang diberikan padanya. Dalam pelatihan yang lalu, Artha memang dengan penuh semangat mengikuti simulasi evakuasi, dan belajar dari materi ASB yang berbentuk cerita bergambar. Dengan sedikit pancingan, ia sudah dapat memperagakan kembali dengan benar bagaimana caranya melindungi kepala saat melakukan evakuasi setelah gempa. Ketika ditanya bagian mana yang paling ia sukai, Artha dengan lugu menjawab, “Masuk ke bawah meja”. (Asa, ASB)
“Masuk ke Bawah Meja!”
DATA ANAKNama: Artha Saka WijayaUmur: 8 tahunIbu : SuparmiAyah : Suryono Pekerjaan orang tua:Pegawai Bank
Pelatihan di rumah keluarga Artha yang juga melibatkan tetangga sekitar
Kader Desa melatih Artha dengan materi Cerita Bergambar dari ASB
4Agustus 2011
Terbit Setiap
3 BulanEdisi
Sanggahan: Dokumen ini diproduksi dengan bantuan dana dari Komisi Eropa. Pandangan yang dinyatakan di dalam dokumen ini tidak dapat dianggap dengan cara
apapun untuk mencerminkan opini resmi dari Komisi Eropa
Newsletter ini diterbitkan atas kerjasamaDidanai oleh:
Arbeiter-Samariter-BundDeutschland e.V.
Pada edisi-edisi SAHABAT sebelumnya, ASB dan Handicap International (HI) Federation secara terus-menerus mempromosikan
pengarusutamaan isu kecacatan, pentingnya pelibatan penyandang cacat, dan kebutuhan khusus penyandang cacat dalam PRB. SAHABAT juga telah memaparkan berbagai program PRB yang dijalankan ASB dan bersama pemerintah dan partner kerja, baik di tingkatan sekolah maupun masyarakat. Di sini, penyandang cacat tidak hanya menjadi penerima manfaat, namun juga aktor yang terlibat langsung dalam program. Program PRB inklusif tersebut telah memperluas kesempatan penyandang cacat untuk berpartisipasi dalam
masyarakat.
Agar di masa depan upaya tersebut masih dapat terus berlanjut, diperlukan adanya u s a h a s e c a r a berkesinambungan. Untuk m e w u j u d k a n n y a , p e r l u
dukungan beberapa faktor. Pertama, kesadaran masyarakat
luas tentang PRB dan isu kecacatan,agar perencanaan dan pelaksanaan program PRB mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan penyandang cacat. Kedua, perlu pelibatan semua pihak, baik pemerintah, lembaga-
HI
KOMISI EROPA
Bantuan Kemanusiaan
1
lembaga penggerak dan semua golongan masyarakat. Dan terakhir yang tak kalah penting adalah kebijakan Pemerintah dan sistem yang berjalan dengan baik sebagai landasan keberlanjutan program ke depan.
SAHABAT edisi ke-4 sekaligus edisi terakhir ini mengangkat tema PRB inklusif yang berkelanjutan. Rubrik Gagasan Sahabat menekankan peran utama pemerintah untuk membangun sistem penyampaian informasi PRB berkelanjutan yang melibatkan berbagai kelompok sebagai tenaga penggerak. Teropong Sahabat memaparkan pelaksanaan program PRB yang telah dilaksanakan dan berbagai upaya di d a l a m n y a u n t u k m e m a s t i k a n inklusivitas dan keberlanjutan menjadi nafas program. Selain itu SAHABAT juga menyajikan profil penyandang cacat dalam program PRB inklusif dan hasil wawancara dengan keluarga yang mendapat pelatihan PRB. Semoga edisi kali ini dapat memberi pandangan yang lebih kuat tentang upaya PRB inklusif yang berkelanjutan. (Agnes, ASB)
DariRedaksi
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang inklusif merupakan rangkaian upaya PRB yang melibatkan semua orang atau kelompok, tak terkecuali kelompok rentan seperti penyandang cacat. Pelibatan ini haruslah dalam keseluruhan proses, baik pada saat tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan kembali, pencegahan dan mitigasi, maupun dalam kesiapsiagaan.
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
( ) PRBYANG DAN
INKLUSIF
BERKELANJUTAN
Praktek simulasi evakuasi dalam perayaanHari Kartini 2011 di Semin, Gunungkidul
dilatih untuk menjadi pelatih PRB.
Selanjutnya, kader tingkat kecamatan akan
melatih kader-kader di desanya masing-
masing, dan baru pada akhirnya kader tingkat
desa menyampaikan pelatihan kepada
masyarakat. Kader-kader yang terlibat dalam
mekanisme ini adalah kader-kader yang
sebenarnya sudah ada di masyarakat
Indonesia, seperti Tenaga Kesejahterahan
Sosial Masyarakat, Peker ja Sosial
Masyarakat, Organisasi Penyandang Cacat
setempat, Kader Penggerak PKK, dll.
Kelebihan dari kader-kader tersebut antara
lain, mereka sudah terbiasa untuk melakukan
kegiatan kemasyarakatan, termasuk
penyuluhan kepada masyarakat. Sedangkan
pelibatan kader dari organisasi penyandang
cacat lokal sebagai pelatih dalam mekanisme
ini memberikan motivasi lebih kepada
penyandang cacat lainnya, karena mereka
dapat melihat langsung bahwa penyandang
cacat juga mampu terlibat dalam upaya PRB.
Penyandang cacat juga lebih memahami dan
mengetahui kebutuhan khusus yang
diperlukan dalam upaya PRB. Kader
penyandang cacat dan non-penyandang
cacat saling berkoordinasi mulai dari
persiapan, hingga pelaksanaan pelatihan.
Pembentukan kader PRB saja, baik di tingkat
kecamatan maupun desa tidaklah cukup
dalam mekanisme ini. Peran aparat
pemerintah baik di tingkat kabupaten,
kecamatan dan desa yang menangani bidang
penanggulangan bencana, sosial dan
p e m b e r d a y a a n m a s y a r a k a t /
kemasyarakatan juga sangat penting untuk
melakukan monitoring terhadap kegiatan-
3
Kader Kecamatan sedang melatih Kader Desa tentang Penataan Ruangan Aman.
Kader Desa sedang melatih Anak BerkebutuhanKhusus dengan materi ASB.
Diterbitkan oleh:
Pemimpin Redaksi:
Wakil Redaktur:
Editor:
Reporter:
Layout:
Alamat Redaksi:
ASB Indonesia dan Indonesia
Petrus Ana Andung.
Rofikul Hidayat.
HI dan ASB
Agnes Patongloan, Asa Rahmana, Buce Ga, Eldy Diaz, Noor Alifa
Ardianingrum,Puthut Sulastomo
ASB Indonesia.
Kantor HI Federation di KupangJl. Bajawa No. 1 Kel. Oebufu,Kupang,
Provinsi NTT , Indonesia,Telepone : +62-380-821301.
Email : [email protected]
HI Federation Program
Susunan Redaksi
kegiatan PRB, yang dilakukan para kader di
level masyarakat. Hasil dari monitoring
tersebut tentunya sangat bermanfaat untuk
mengevaluasi dan mengembangkan
p rogram dan keg ia tan PRB yang
berkelanjutan.
Dengan adanya mekanisme berkelanjutan
dari kader di tingkat kecamatan dan desa
hingga ke masyarakat, Pemerintah sangat
terbantu dalam mempercepat proses
penyebaran informasi dan pelatihan PRB.
Mekanisme ini akan berjalan dengan baik,
jika didukung dengan penggunaan materi dan
metode pelatihan PRB yang sederhana,
praktis, dan disesuaikan dengan kebutuhan
khusus penyandang cacat. Terakhir,
himbauan resmi dari Pemerintah Kabupaten
mengenai praktek simulasi evakuasi yang
harus dilakukan secara rutin, akan
mendorong masyarakat untuk membangun
kebiasan diri berbudaya aman dalam
menghadapi bencana. Ke depannya,
diharapkan mekanisme ini dapat diadopsi
dan diadaptasikan di kabupaten-kabupaten
lain di Indonesia. (Phutut WS, ASB)
GagasanSahabat
2
alam Undang-Undang no.24 tahun
2007 tentang Penanggulangan DBencana disebutkan bahwa salah
satu prinsip penanggulangan bencana adalah
non-diskriminatif dan memberikan prioritas
perlindungan terhadap kelompok rentan.
Prinsip tersebut harusnya mendorong kita
semua untuk melibatkan kelompok rentan
termasuk penyandang cacat dalam upaya
PRB karena dalam situasi darurat seorang
penyandang cacat menghadapi kesulitan
yang lebih besar jika kebutuhan khususnya
tidak terpenuhi. Sementara sebelum terjadi
bencana penyandang cacat kesulitan
mengakses informasi sederhana mengenai
perlindungan diri.
Kunci dari PRB adalah meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan
dan mengurangi kerentanan masyarakat
dalam menghadapi bencana. Kerentanan
masyarakat dapat dikurangi dengan adanya
peningkatan pengetahuan dan latihan
pembiasaan diri dalam mengambil langkah
kesiapsiagaan yang tepat, tidak terkecuali
untuk penyandang cacat.
Menyikapi kenyataan diatas, Pemerintah
Kabupaten Gunungkidul dan Sleman di
Provinsi D.I. Yogyakarta telah memelopori
pembangunan sebuah
MEMBANGUN KETAHANAN DENGAN MEMBANGUN
SISTEM PENYAMPAIAN INFORMASI PENGURANGAN RESIKO BENCANA
mekanisme penyampaian informasi PRB
kepada masyarakat secara inklusif, yang
nantinya juga akan diformalkan menjadi
regulasi di tingkat kabupaten. Mekanisme
tersebut sebenarnya merupakan hal yang
sederhana. Intinya adalah informasi PRB dan
pelatihan kesiapsiagaan dapat disampaikan
dari pusat sumber kepada seluruh lapisan
masyarakat dengan mudah, cepat dan hemat
biaya.
Hal tersebut dilakukan dengan membentuk
kader-kader PRB di setiap kecamatan yang
Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
sebenarnya sudah sering kita dengar pada
tahun-tahun belakangan ini, tapi pada kenyataannya
masih banyak masyarakat yang tidak
dapat mengakses informasi PRB. Selain itu pelibatan semua
orang termasuk kelompok rentan masih
sangat minim.Kader Desa sedang berlatih menggunakan materi PRB dariASB
MEKANISME PENYAMPAIAN INFORMASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA
PEMERINTAH KABUPATEN
KADER TANGGAP BENCANA KECAMATAN
KADER TANGGAP BENCANA DESA
WARGA MASYARAKAT(TERMASUK PENYANDANG CACAT DAN KELOMPOK RENTAN LAINNYA)
Desa Noebesa dan Nakfunu, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan 2 desa yang diintervensi
Handicap International (HI) Federation bekerja sama dengan OISCA/BSK untuk projek pengarusutamaan isu kecacatan dalam upaya PRB. Untuk mengkoordinasi kegiatan-
kegiatan PRB di tingkat komunitas, masyarakat di 2 desa ini difasilitasi oleh OISCA/BSK dengan dukungan HI, berhasil membentuk Forum PRB yang beranggotakan berbagai
elemen yang ada dalam masyarakat.
4
Desa Noebesa dan Nakfunu Hasilkan Peraturan Desa (Perdes)
tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang Mencakup Kecacatan
Masyarakat desa, juga penyandang cacat mendiskusikan draft peraturan desa mengenai PRB Inklusif di Desa Nakfunu
erbagai kegiatan telah berhasil dilakukan forum PRB ini seperti mitigasi bencana Bd a l a m b e n t u k p e n a n a m a n d a n
pemeliharaan tanaman-tanaman umur panjang dan pembuatan tembok penahan longsor. Untuk menjaga keberlanjutan dari program PRB ini, forum PRB difasilitasi OISCA/BSK telah mempelopori diterbitkannya Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Lingkungan Dan Penanggulangan Resiko Bencana yang isinya mencakup kecacatan (inklusi).
Perdes ini mengikat semua warga desa untuk me lakukan be rbaga i upaya m i t i gas i . Sebagaimana Bab V, Pasal 5 dalam Perdes tersebut disebutkan secara jelas bahwa setiap anggota keluarga (KK) diwajibkan untuk menanam pohon sebanyak 25 pohon/tahun/jiwa. Setiap masyarakat desa juga dilarang untuk menebang pepohonan secara sembarangan. Pasal 11, sudah menetapkan sanksi berupa denda sebesar RP.100.000 per orang bagi yang menebang pohon sembarangan.
Sementara itu, Pasal 9 butir (f) mengatur bahwa penyandang cacat harus dilibatkan dalam upaya pengurangan risiko bencana (khususnya mitigasi). Selain itu, pasal 9 ini juga memberi mandat agar penyandang cacat mendapat prioritas utama dalam upaya pencarian, penyelamatan, dan evakuasi bencana.
Tentu saja, keberadaan Perdes menjadi sebuah pengalaman sukses tersendiri bagi forum PRB ini. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang anggota forum PRB Desa Nakfunu yang juga penyandang cacat (tunadaksa), Yustus Ta'ek, pada Sabtu, 16 Juli 2011, “Kami sangat senang karena kami terlibat dalam seluruh tahapan pembuatan Perdes ini mulai dari diskusi di tingkat forum PRB, penyusunan draft Perdes, dan sosialisasi di masyarakat. Pendapat kami juga didengarkan (diakomodir, Red). Saat rapat, saya usul ke forum agar hak-hak penyandang cacat juga dimunculkan dalam Perdes PRB ini dan akhirnya diterima sehingga isi Perdes dalam pasal 9 sudah mengatur secara khusus tentang penyandang cacat”. Pendapat Ta'ek ini
dibenarkan oleh Marthen Boimau yang juga tunadaksa.
Sementara itu, Orianci Liunima, salah satu anggota forum PRB Desa Noebesa, juga menyambut positif akan kehadiran Perdes ini. “Adanya Perdes ini dapat mengikat masyarakat untuk melakukan mitigasi bencana dengan menanam banyak pohon, mencegah terjadinya kecacatan pada anak karena ibu-ibu hamil diwajibkan melahirkan di Polindes dengan bantuan medis. Bila tidak melahirkan di Polindes d ikenakan sanks i sebesar RP.250.000”, kata anggota forum PRB yang mewak i l i kaum perempuan ini.
Jacob Benu, ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Nakfunu yang sekaligus anggota forum PRB menyatakan “Dengan a d a n y a P e r d e s i n i m a k a keputusan-keputusan forum PRB menjadi lebih kuat dan mengikat. Mitigasi juga dapat dilakukan secara terus-menerus. Apalagi tanaman-tanaman yang ditanam dalam program mitigasi ini adalah t a n a m a n p e r k e b u n a n d a n kehutanan yang selain mencegah erosi, longsor dan banjir juga dapat m e n g h a s i l k a n t a m b a h a n pendapatan atau ekonomi rumah tangga masyarakat”.
Keberhasilan Desa Nakfunu dan Noebesa dalam mengeluarkan Perdes tentang PRB inklusi merupakan sebuah prestasi yang pa tu t d iha rga i . Meng inga t keberlanjutan upaya PRB yang mencakup Halaman depan peraturan desa mengenai PRB Inklusif di
Desa Noebesa dan Desa Nakfunu
5
Mitigasi bencana dengan menanam tanaman di areal rawan longsor yang melibatkan penyandang cacat
Penyandang cacat juga dilibatkan dalam pembuatan draft peraturan desa mengenai PRB Inklusif di Desa Noebesa
kecacatan hanya bisa terwujud bila didukung dengan produk kebijakan yang mengikat. Perdes inklusi ini juga menjadi salah satu upaya yang strategis agar proses pengarusutamaan isu kecacatan dalam upaya PRB dapat berkelanjutan di tingkat masyarakat dan Handicap International akan senantiasa berjuang untuk mendukung pengembangan Perdes serupa dalam implementasi PRB di daerah lainnya di Propinsi NTT. Kontribusi lain dari lahirnya Perdes ini terhadap keberlanjutan PRB inklusi yakni mengikat Pemerintah Desa untuk memastikan dan mengontrol agar pelaksanaan Perdes dapat dilakukan secara baik. Selain itu, dengan Perdes ini, mengikat kerjasama kemitraan antara pemerintah desa dengan forum PRB di desa tersebut. Dengan demikian ketika pihak luar (LSM) tidak lagi melakukan pendampingan maka keberlanjutan aktifitas PRB inklusi dapat dikoordinasi oleh Pemerintah Desa.
(Petrus, HI)
TeropongSahabat
ejak tahun 2006, ASB bekerjasama dengan Dinas Pendidikan mengawal Sprogram PRB berbasis sekolah yang
dilaksanakan di Provinsi DIY, Jawa Tengah, Nias Selatan, dan Jawa Barat. Total sejumlah 130 Sekolah Inklusi, 91 Sekolah Luar Biasa (SLB), dan 4915 SD di Provinsi DIY, Nias Selatan, dan Ciamis, Jawa Barat sudah mendapatkan pelatihan. Pelibatan berbagai macam sekolah tersebut merupakan upaya PRB yang inklusif dengan tujuan mengurangi kerentanan semua anak, termasuk penyandang cacat anak. Dalam program tersebut, ASB menyiapkan perwakilan guru melalui serangkaian pelatihan. Tujuannya, guru perwakilan yang sudah dilatih dapat menyebarluaskan kepada guru lain di sekolah serta di gugus/daerahnya masing-masing, yang kemudian akan melatih para siswa dengan menggunakan materi PRB dari ASB dan melakukan simulasi evakuasi di sekolah.
Angka-angka tersebut di atas tidak berarti banyak tanpa strategi tindak lanjut program. Pemaksimalan fungsi sistem yang sudah ada o leh pemer intah merupakan kunci keberlanjutan. Artinya, tidak hanya guru yang perlu disiapkan tetapi juga kepala sekolah, pihak dinas dan pengawas sekolah. Strategi ini diperkuat pula dengan dikeluarkannya surat edaran Dinas Pendidikan yang memerintahkan seluruh sekolah untuk melakukan praktek simulasi evakuasi gempa setiap tiga bulan sekali.
Kekuatan program tersebut terletak pada pembentukan sistem penyampaian informasi yang efektif sehingga ASB mampu melaksanakan program PRB berskala luas dengan biaya ef isien. Belajar dari pengalaman in i , ASB menerapkan pendekatan yang sama di masyarakat dengan menggunakan kader. Hal ini penting d i lakukan meng ingat sek i ta r 95%
penyandang cacat anak di Indonesia tidak bersekolah (Data: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2006). Ketika mereka tidak bersekolah, mereka akan terhambat mendapatkan informasi, termasuk informasi PRB.
Oleh karenanya, ASB merangkul Pemerintah Kab. Gunungkidul dan Kab. Sleman di bawah koordinasi Pemerintah D.I. Yogyakarta untuk melaksanakan program PRB berbasis masyarakat dengan sasaran utama penyandang cacat anak yang belum/tidak bersekolah (usia 5-15 tahun). ASB bersama PemKab menyiapkan kader kecamatan, dan anggota dari Organisasi Penyandang Cacat (OPC) untuk memberikan pelatihan dan melakukan pengawasan kepada kader-kader di tingkat desa. Nantinya, kader-kader desa akan melatih penyandang cacat anak, keluarga dan masyarakat sekitar (tetangga dan tokoh masyarakat). (Juga lihat artikel di Gagasan)
Upaya tersebut berbuah manis, respon masyarakat ternyata sangat positif. Selain masyarakat merasa lebih aman setelah mendapat pelatihan, muncul pula inisiatif untuk menyebarluaskan secara mandiri informasi PRB lewat pertemuan informal, bahkan juga radio komunitas desa. Terlihat pula komitmen kader desa tidak hanya menyebarluaskan informasi PRB kepada masyarakat, tetapi juga memperluas akses bagi penyandang cacat anak, terlebih dengan adanya partisipasi dari tokoh masyarakat. Hal ini berarti, selangkah menuju PRB inklusif; lebih banyak masyarakat, terutama penyandang cacat anak dapat menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Bahkan lebih besar lagi, program ini juga berkontribusi dalam memperluas kesempatan mereka berpartisipasi dalam masyarakat. (Alifa, ASB)
TeropongSahabat
6
Kader Siap, PRB Inklusif Mantap!
Selain pelibatan pemerintah, strategi tak kalah penting
adalah penyiapan kader. Proses penyiapan, pelatihan, dan
penyebarluasan informasi PRB diupayakan seinklusif mungkin agar lebih
banyak nyawa terselamatkan. Sekolah dan masyarakat merupakan wadah
efektif untuk upaya tersebut..
7
imon Betty, (63 tahun) adalah salah satu warga (tunadaksa) di desa Noebesa, SKecamatan Amanuban Sela tan,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Laki-laki paruh bayah ini dikenal warga karena kelincahan dan kegesitannya sehari-hari. Ia tidak pernah mengeluh dengan kondisinya. Ia terus berjuang dan bekerja keras untuk menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya hingga mengenyam ilmu hingga ke perguruan tinggi. Tanggungjawab besar sebagai seorang suami dan ayah membuat Bapak simon tidak pernah menyerah walaupun ia harus bekerja dari pagi hingga sore hari. Setelah dari berkebun, ia masih harus membantu sang istri tercinta mempersiapkan bahan dagangan untuk dijual ke pasar lokal.
Selain bertani dan beternak, Bapak Simon Betty juga terlibat aktif dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Hetven di Desa Noebesa. Sebagai anggota Forum PRB yang d iben tuk OISCA/BSK, Bapak S imon ditempatkan di seksi mitigasi yang bertugas mengkoordinir penanaman anakan, dan pengukuran tempat-tempat yang rawan longsor guna direkomendasikan ke forum untuk dibuatkan tembok penahan. Untuk pekerjaan mitigasi, seperti halnya semua warga desa lainnya, Bapak Simon juga menyiapkan anakan/bibit pada lokasi persemaian guna dilakukan penanaman di lokasi-lokasi yang berpotensi bencana (longsor). Namun keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan Forum PRB ini tetap memperhatikan kapasitas dan kenyamanannya secara pribadi.
Sejak kehadirannya sebagai anggota forum PRB telah merubah cara pandang masyarakat akan kemampuan penyandang cacat. Apalagi,
bapak Simon juga kerap memberikan masukan bagi kemajuan forum. Bapak Simon adalah sa lah satu tokoh masyarakat. Karena itu ia mengatakan, “Saya senang karena dengan bergabung di Forum PRB, saya bisa memastikan bahwa kegiatan PRB dan kegiatan p e m b a n g u n a n d e s a l a i n n y a m e m p e r t i m b a n g k a n k e b u t u h a n p e n y a n d a n g c a c a t . Ya n g l e b i h membanggakan, melalui keterlibatan kami dalam PRB, saat ini kami sudah berhasil membuat Perdes tentang PRB yang di d a l a m n y a j u g a m e n j a m i n a g a r penyandang cacat dilibatkan dalam setiap kegiatan dan keputusan desa. Memang, sebelum adanya pendampingan dari bapak-bapak (HI dan OISCA/BSK, Red), penyandang cacat tidak pernah dilibatkan dalam tiap kegiatan desa”.
Bapak Simon berharap, keterlibatannya dalam kegiatan pembangunan desa ini dapat memberikan contoh dan pelajaran menarik bahwa penyandang cacat dapat berbuat sesuatu guna membantu membangun desa sesuai dengan kapasitas dan kenyamanan mereka. Memang, kehadiran dan peran bapak Simon telah memberi motivasi bagi penyandang cacat lainnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan PRB baik sebagai anggota forum dan juga dalam mi t igas i . K in i ke te r l i ba tan para penyandang cacat di Desa Noebesa sudah semakin meningkat dan lebih aktif. Dengan keterlibatan aktif mereka baik sebagai anggota forum PRB maupun dalam kegiatan nyata PRB dapat tetap menjaga keberlanjutan pelaksanaan upaya PRB yang mencakup kecacatan (inklusi).
(Bertholens-OISCA/BSK, Eldy/HI).
Bangga bisa Terlibatdalam MembuatPeraturan Desa“...saat ini kami sudah berhasil membuat Perdes tentang PRB yang di dalamnya juga menjamin agar penyandang cacat dilibatkan...”
ProfilSahabat
Simon Beti, anggota Forum PRB “Hetven” di Desa Noebesa