Angina Pektoris Stabil
Click here to load reader
-
Upload
muhamad-amars -
Category
Documents
-
view
41 -
download
3
description
Transcript of Angina Pektoris Stabil
A. Angina Pektoris Stabil
Angina pektoris (AP) merupakan rasa nyeri yang timbul karena iskemia
miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik tertentu: 1
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya dengan
penjalaran ke leher, rahang, gigi, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari
bagian ulnar, punggung atau pundak kiri2
Kualitas nyeri merupakan nyeri yang tumpul, seperti rasa tertindih atau berat
di dada, rasa desakan yang kuat, seperti diremas-remas atau dada mau pecah
dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak
napas. Tidak jarang keluhan hanya berupa rasa tidak enak di dada1. Nyeri
berhubungan dengan aktivitas (seperti olahraga, terburu-buru)2, hilang dengan
istirahat. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stress fisik, stress emosional,
kemarahan, ketakutan, atau frustasi2.
Kuantitas nyeri. Nyeri yang pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari
beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Menurut ESC Guideline 2006,
nyeri dada ini biasanya terjadi singkat, yaitu dari 1-10 menit5. Bila lebih dari
20 menit dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil
(unstable angina pectoris = UAP) dan dimasukkan kedalam sindrom koroner
akut. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan
detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terus menerus tetapi hilang timbul
dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai
terkontrol1.
Nyeri dada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap
disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri yang meragukan tidak
mempunyai cirri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan hati-hati disebut
angina atipik. Nyeri dada lain yang jelas bukan berasal dari jantung disebut nyeri non
kardiak. Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka perlu diketahui
faktor risiko lainnya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok, strok,
penyakit vaskuler perifer, obesitas, kurangnya latihan olahraga, dan lain-lain.1
Ambang nyeri untuk angina pektoris dapat bervariasi tergantung dari waktu
dan status emosional. Banyak pasien yang mengalami angina yang dapat diprediksi
pada tingkat aktivitas tertentu. Pada pasien ini, stenosis koroner dan pencukupan
oksigen miokardial tetap dan iskemia dipicu oleh peningkatan kebutuhan oksigen
miokardial. Terdapat juga pasien dengan ambang nyeri yang sangat bervariasi pada
1
suatu waktu atau hari ke hari. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan tonus
vaskuler koroner. Angina juga dapat disebabkan oleh makan berat dan kedinginan.2
Gradasi beratnya nyeri dada berdasarkan Canadian Cardiovaskuler Society
sebagai berikut 1,2:
Klas I Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2
lantai dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru
timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu
kerja atau berpergian
Klas II Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila
melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok,
naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak
atau melawan angin dan lain-lain
Klas III Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok,
naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa
Klas IV AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas
dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu, dan lain-lain
Pada sebagian pasien, nyeri dada dapat berkurang terus dan bahkan dapat
menghilang, yaitu menjadi asimtomatik walaupun sebenarnya tetap ada iskemia dan
dapat dilihat pada EKG istirahatnya. Keadaan ini disebut sebagai silent ischemia.1
Iskemi sunyi ini sering terjadi pada dini hari dan menyebabkan disfungsi kontraksi
miokardial. Mekanisme dari iskemi ini belum diketahui. Kemungkinan karena adanya
ambang rangsang nyeri yang tinggi pada beberapa orang atau karena produksi banyak
endorphin.3
Iskemi miokardial terjadi ketika aliran darah koroner tidak mampu mencukupi
kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini menyebabkan sel otot jantung beralih ke
metabolisme anaerobic, dengan perubahan progresif pada fungsis metabolic, mekanik,
dan elektrik. Angina pektoris terjadi karena stimulasi kimia dan mekanik dari saraf
sensoris aferen pada pembuluh darah koroner dan miokardium. Serabut saraf ini
terletak memanjang dari saraf spinal torakal 1-4, kemudian naik melalui sumsun
tulang belakang ke thalamus dan ke korteks serebri. Hasil penelitian menunjukkan
adenosine sebagai mediator kimia utama penyebab nyeri angina. Selama iskemi, ATP
didegradasi menjadi adenosine, yang kemudian berdifusi ke ruangan ekstraseluler,
2
dan menyebabkan dilatasi arteriolar dan nyeri angina. Adenosine menginduksi angina
dengan menstimulasi reseptor A1 pada ujung saraf afferent jantung.
Peningkatan pada detak jantung, status kontraktil miokardial, dan tekanan
dinding miokardial dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Maka dari
itu, dibutuhkan peningkatan aliran darah koroner yang proporsional untuk mencukupi
peningkatan kebutuhan oksigen. Kemampuan arteri koroner untuk meningkatkan
aliran darah disebut seabgai coronary flow reserve (CFR). Pada orang normal, aliran
darah koroner maksimal setelah dilatasi penuh dapat sampai 4-6 kali aliran darah
koroner istirahat. CFR dipengaruhi oleh resistensi arteri koroner, resistensi
ekstravaskuler (miokardial dan interstisial), dan komposisi darah.
Iskemi miokardial dapat terjadi karena adanya reeduksi dari aliran darah
koroner karena stenosis arteri koroner epicardial, konstriksi abnormal atau relaksasi
yang tidak sempurna dari mikrosirkulasi koroner, atau penurunan kapasitas darah
mengangkut oksigen (HB < 8 g/dl). Penyebab tersering dari stenosis arteri koroner
epikardial yang kemudian menyebabkan angina pektoris adalah atherosclerosis.
Spasme koroner juga dapat menurunkan CFR dengan menyebabkan stenosis dinamis
pada arteri koroner. Prinzmetal angina merupakan angina resting dimana terjadi
elevasi segmen ST akibat spasme arteri koroner fokal. Beberapa penyakit seperti
hipertensi, DM, dan penyakit vaskuler sistemik kolagen (Seperti SLE) diyakini
menyebabkan abnormalitas mikrovaskular dan menurunkan CFR.
Tekanan ekstravaskuler akibat kontraksi dari miokardium dan tekanan
intravaskuler juga dapat meningkatkan resistensi mikrosirkulasi koroner dan
menurunkan CFR. Tekanan kompresi ekstravaskuler paling tinggi pada
subendokardium dan menurun pada subepicerdium. Hipertrofi left ventrikel (LV)
bersama dengan kebutuhan oksigen otot jantung yang tinggi dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya iskemi pada lapisan subendokardial.3
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemui hal-hal yang khusus, bahkan pada
kebanyakan pasien menunjukkan hasil normal. Mungkin pemeriksaan fisik yang
dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan
murmur, ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri
berhenti.1Ketika serangan datang, ventrikel kiri gagal dan dapat terdengan suara
jantung ketiga dan/atau keempat, apeks kardiak diskinetik (pada palpasi terdapat
pembesaran kardiak dan kontraksi abdominal saat jantung berdenyut), mitral
regurgitasi, dan bahkan edema paru.2
3
Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis umumnya seperti sklerosis arteri
karotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum pedis/tibialis posterior tidak teraba,
hipertensi, kelainan fundus mata juga dapat membantu.1,2
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah hemoglobin,
hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula
darah, profil lipid, dan penanda inflamasi akut jika nyeri dada cukup berat dan lama
(enzim CK, CKMB, CRP/hs CRP, troponin).Pemeriksaan diagnostic yang dapat
dilakukan misalnya adalah foto toraks untuk melihat adanya kalsifikasi koroner
ataupun katup jantung atau tanda lain1. EKG pada waktu istirahat terekam normal
pada sekitar 50% pasien dengan AP. Tes yang sering digunakan untuk diagnosis
adalah dengan EKG 12-leads sebelum, ketika, dan sesudah latihan, biasanya pada
treadmill. Tes dihentikan jika terdapat nyeri dada, napas tersengal-sengal, pusing, dan
berkunang-kunang, depresi segmen ST > 0.2 mV, penurunan tekanan darah sistolik
>10mmHg, atau adanya takiaritmia ventricular. Tes ini digunakan untuk mengetahui
keterbatasan dari performa dalam latihan, mendeteksi tipikal tanda EKG untuk iskemi
miokardial, dan hubungannya dengan nyeri dada. Respon segmen ST iskemik
umumnya terlihat sebagai depresi rata pada segmen ST >0,1mV dibawah garis dasar
dan menetap lebih dari 0.08 detik. Kontraindikasi dari pengukuran stress testing ini
adalah angina dalam 48 jam, ritma yang tidak stabil, stenosis aorta yang parah, akut
miokarditis, gagal jantung yang tidak terkontrol, dan endokarditis infektif aktif.2
Selain itu, pada pasien dengan hipertensi >200/100 mmHg, serta gangguan fisik yang
menyulitkan untuk melakukan tes juga merupakan kontraindikasi. Treadmill exercise
test(TCT) ini memiliki sensitivitas dan spesifitas masing-masing sebesar 68% +/-16%
dan 77%+/-17%.1
Ekokardiografi dilakukan untuk menentukan adanya stenosis aorta, luasnya
iskemia saat nyeri dada berlangsung, menganalisis fungsi miokardium segmental. Bila
ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit setelah serangan angina,
dapat terlihat adanya segmen miokardium yang mengalami disfungsi. Segmen ini
akan pulih kembali setelah hilangnya iskemia akut.1
Indikator prognostic utama pada pasien dengan gangguan jantung iskemi
adalah status fungsional dari ventrikel kiri, lokasi dan keparahan dari penyempitan
arteri koroner, dan keparahan dari iskemi miokardial. Pasien dengan nyeri dada tetapi
memiliki fungsi ventrikel kiri normal dan arteri koroner normal memiliki prognosis
yang baik. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal dan angina ringan tetapi
4
stenosis kritis (>= 70% diameter lumen) pada1,2, atau 3 arteri koroner memiliki
angka kematian 5 tahun sebesar 2, 8, dan 11 %. Obstruksi pada arteri koroner
descending anterior kiri proksimal pada septal arteri pertama biasanya memiliki resiko
lebih besar daripada lesi pada arteri koroner kanan atau sirkumfleksi kiri karena
memperdarahi lebih banyak miokardium. Stenosis (>50% diameter lumen) dari arteri
koroner kiri utama berhubungan dengan angka mortalitas 15% per tahun.2
Peningkatan tekanan diastolic akhir LV dan volume dengan penurunan fraksi ejeksi
LV (<40%) menyebabkan prognosis penyakit ini sangat buruk. Komplikasi dari APS
adalah UAP, Infark miokard dan kematian.3
Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya
serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan
angina sehingga memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologi
dan nonfarmakologis seperti penurunan BB dan lain-lain. Kebanyakan terapi
farmakologis adalah untuk mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi
belakangan terbukti adanya terapi yang bisa mencegah serangan jantung dan
kematian, misalnya statin sebagai obat penurun lemak darah.1
Obat yang dapat diberikan adalah:
Aspirin : dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal-
nonfatal
Beta blocker : menurunkan kebutuhan oksigen melalui efek penurunan denyut
jantung dan daya kontraksi miokardium
Angiotensin converting enzyme, terutama bila disertai dengan hipertensi atau
disfungsi LV.
Pemakaian obat-obat penurun LDL pada pasien dengan LdL lebih dari 130mg/dl
Nitrogliserin semprot atau sublingual untuk mengontrol angina, menyebabkan
vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen.
Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang :
Klopidogrel untuk pengganti aspirin jika kontraindikasi
Antagonis Ca nondihidropiridin long acting untuk pengganti beta blocker pada
terapi permulaan
Terapi terhadap faktor risiko, seperti penurunan LDL dengan perubahan gaya
hidup atau dengan obat-obatan, penurunan berat badan dan peningkatan latihan,
5
pemakaian asam nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian trigliserid atau HDL
yang rendah
Penurunan berat badan pada obesitas meskipun pasien tidak menderita hipertensi,
dislipidemia, ataupun DM
Tujuan utama dari terapi APS adalah pencegahan serangan jantung dan
kematian, setelah itu baru menghilangkan simtom dan perbaikan kualitas hidup. Maka
diantara obat-obat tersebut yang berguna untuk mengurangi angka kematian dan
serangan jantung adalah aspirin, penurunan kolesterol darah terutama dengan statin,
beta blocker dan ACE-I. Obat lainnya berguna untuk mengurangi angina dan
memperbaiki kualitas hidup.
Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu datangnya serangan
angina, terapi non farmakologis yang dianjurkan adalah perubahan gaya hidup seperi
berhenti merokok, penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur sesuai dengan
yang mampu dilakukan tubuh. Selain itu perlu edukasi seperti pemakaian obat terus
menerus sesuai anjuran dokter, mengontrol faktor resiko, serta bila perlu
mengikutsertakan keluarga dalam pengobatan pasien.
Reperfusi miokardium dapat dilakukan untuk menurunkan mortalitas serta
mengurangi serangan jantung akut. Sebaiknya pasien dengan kelainan pembuluh left
main (LM) sebaiknya langsung dilakukan reperfusi karena terbukti menurunkan
mortalitas. Reperfusi dapat dilakukan dengan intervensi koroner dengan balon dan
pemakaian stent sampai operasi CABG. Reperfusi yang dapat dilakukan adalah
dengan coronary artery bypass graft (CABG) atau percutaneous coronary
intervention.1
Dalam penatalaksanaan lanjutan pasien-pasien APS mungkin diperlukan lagi
tes-tes noninvasif seperti:
1. Foto toraks
2. Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan
ekokardiografi
3. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda kelainan katup
yangbaru atau perburukan kelainan katup yang ada.1
6
B. Angina Pektoris Tidak Stabil4
Termasuk dalam angina tak stabil yaitu pasien dengan angina yang baru 2
bulan dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering lebih dari 3 kali per hari,
pasien dengan angina stabil yang makin bertambah berat, sering, dan lebih berat sakit
dadanya sedangkan faktor presipitasi makin ringan, dan pasien dengan serangan
angina pada waktu istirahat.
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina :
Kelas I : Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada.
Kelas II : Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan,
tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Kelas III : adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut
baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan klinis :
Kelas A : Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain
Kelas B : Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak
Kelas C : Angina yang timbul setelah serangan infark jantung
Intensitas pengobatan :
Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal
Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar
Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang
maksimum
Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan
tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan EKG
untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau
adanya gelombang T yang negative. Perbedaan angina tak stabil (UAP) dengan infark
tanpa elevasi segmen ST adalah iskemi yang timbul apakah cukup berat sehingga
dapat menimbulkan kerusakan miokardium.
Rupture plak aterosklerotik merupakan penyebab terpenting UAP, sehingga
tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya
menyempit minimal.Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak
7
lemak dan pelindung jaringan fibrotic. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-
kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim
protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak.
Terjadinya rupture menyebabkan aktivas, adhesi, dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST dan jika thrombus tidak
menyumbat 100% maka akan terjadi stenosis yang berat dan terjadi angina tak stabil.
Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan
karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen.
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa
untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan thrombin
dan fibrin. Sebagai reaksi terhhadap gangguan faal endotel, terhadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan thrombus.
Disfungsi endotel dan produksi bahan vasoaktif oleh platelet berperan
menyebabkan perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme memepunyai peran dalam pembentukan thrombus.
Penyempitan juga dapat disebabkan karena proliferasi dan migrasi otot polos
sebagai reaksi karena kerusakan endotel. Hal ini dapat menyebabkan penyempitan
pembuluh darah dengan cepat dan keluhan iskemia.
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah berat dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa hanya
lebih berat, lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat atau timbul karena
aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual sampai
muntah, kadang-kadang keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani sering kali tidak
ada yang khas.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah EKG. Adanya depresi
segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T
negative juga salah satu tanda iskemia akut. Pada UAP, 4% mempunyai EKG normal.
Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi ST kurang dari
0.5mm dan gelombang T negative kurang dari 2 mm tidak spesifik untuk iskemia.
Hasil negative pada TCT menunjukkan prognosis baik, sedangkan hasil positif dan
8
depresi segmen ST yang dalam menunjukkan perlunya pemeriksaan angiografi
koroner untuk menilai keadaan pembuluh darah koronernya. Bila pada ekodardiografi
tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, insufisiensi mitral ddan abrnomalitas
gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Hasil
pemeriksaan laboratorium dianggap ada mionekrosis jika terdapat troponin T atau I
positif dalam 24 jam. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
Pertanda paling penting dakan diagnosis Sindrom Koroner Akut adalah troponin T
dan I dan CK-MB.
Pasien perlu dirawat di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner. Pasien
perlu diistirahatkan, diberi penenang, dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu untuk pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
Obat yang dapat diberikan adalah nitrat, beta bloker, antagonis kalsium,
aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dan obat-obatan antitrombin.
Sebagian besar pasien dengan UAP dapat distabilkan dalam 48 jam setelah
diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien ini kemudian membutuhkan
Treadmill test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah cukup dengan hanya
medikamentosa atau perlu tindakan revaskularisasi. Pasien yang termasuk risiko
rendah adalah pasien yang tidak punya angina sebelumnya, sudah tidak ada serangan
angina, tidak memakai obat antiangina, EKG normal, enzim jantung tidak meningkat,
usia masih muda. Risiko sedang bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan
angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak
meningkat. Risiko tinggi bila pasien mempunyai angina pada waktu istiirahat, angina
berlangsung lama atau angina pasca infark, sebelumnya sudah mendapat terapi
intensif, usia lanjut, ada perubahan segmen ST baru, kenaikan troponin, hemodinamik
tidak stabil. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasive
segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil, In : Buku Ajar Penyakit Dalam, ed.5,
jilid II. Editors; Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. Jakarta: Interna Publishing;
2009.p.1735-9
2. Selwyn AP, Braunwald E. Ischemic Heart Disease, In Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 16th ed. Editors; Kasper DL, Fauci AS, et al. New York :
McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1435-8
3. Alaeddini J. Angina Pectoris. eMedicine Cardiology. 8 Jan 2010. [ cited 2013
Feb 20]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/150215-
overview
4. Trisnohadi HB. Angina Pektoris Tak Stabil, In : Buku Ajar Penyakit Dalam,
ed.5, jilid II. Editors; Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.p.1728-32
5. Kim Fox, Chairperson, et al., Guidelines on The Management of Stable
Angina Pectoris. European Heart Journal 2006. doi:10.1093/eurheartj/ehl002
10