ANESTESI GILAK

36
BAB I PENDAHULUAN Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa") , secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif psikologis, dan bila perlu, pengobatan preoperatif. Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap pasien. Seorang ahli anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visite preoperatif. Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan preanestesi, tehnik yang digunakan, dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk akan berakibat pada berbagai permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi. Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada kunjungan pra-anestasi. Dengan memberikan rasa simpati dan 1 | Page

description

trtrr

Transcript of ANESTESI GILAK

BAB IPENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif psikologis, dan bila perlu, pengobatan preoperatif. Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap pasien. Seorang ahli anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visite preoperatif. Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan preanestesi, tehnik yang digunakan, dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk akan berakibat pada berbagai permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi.Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada kunjungan pra-anestasi. Dengan memberikan rasa simpati dan pengertian kepada pasien tentang masalah yang dihadapi, maka pasien dapat dibantu dalam menghadapi rasa sakit dan khawatir menghadapi operasi.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1. DEFINISIAnestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Definisi yang ditegakkan oleh The American Board of Anesthesiology pada tahun 1989 ialah mencakup semua kegiatan atau praktek yang meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anestesi.

2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic-terapeutik.

3. Memantau dan memperbaiki homeostatis pasein perioperatif dan pada pasien dalam keadaan kritis.

4. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri.

5. Mengelola dan mengajarkan Resusitasi Jantung Paru (RJP).6. Membuat evaluasi fungsi pernapasan dan mengobati gangguan pernapasan.

7. Mengajarkan, member supervise dan mengadakan evaluasi tentang penampilan personel paramedic dalam bidang anesthesia, perawatan pernapasan dan perawatan pasien dalam keadaaan kritis.

8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang fungsi fisiologis dan respons terhadap obat.

9. Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan kedokteran dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk implementasi pertanggung jawaban.Obat-obatan yang menyebabkan anastesia bekerja dengan menghalangi (blok) sinyal-sinyal yang lewat di sepanjang serabut saraf hingga ke otak. Ketika obat-obatan itu dihentikan (penggunaannya), kamu akan mulai merasakan sensasi-sensasi kembali, termasuk rasa nyeri.Trias anestesi :1. hipnotik

2. analgesik

3. relaksasi

2.2 PRE OP VISITE Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1 2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.Kunjungan preoperatif bertujuan untuk :

a. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan :

Anamnesis.

Pemeriksaan fisik.

Laboratorium.

Pemeriksaan lain.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat obat anestesi, premedikasi, obat atau alat resusitasi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien, sehingga kompliksi yang mungkin terjadi dapat di tekan seminimal mungkin.

c. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA ( Amerika Society of Anesthesiology ) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.

d. Memberikan anestesi yang aman dan efektif.

e. Menjelaskan resiko anestesi pembedahan.

f. Mengurangi costs atau biaya.

Manfaat dari kunjungan preoperative adalah untuk mengurangi rasa gelisah dan takut yang mungkin ada pada pasien atau orang tuanya. Hal-hal yang harus dilakukan di tahapan preoperative adalah : Anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Kelengkapan dan pemeriksaan penunjang.

Teknik atau rencana operasi.

Persetujuan tindakan medis tertulis ( informed consent ).

1.1 Anamnesis.

Dapat diperoleh dari pasien sendiri ( autoanamnesis ) atau keluarga pasien heteroanamnesis ). Yang harus diperhatikan pada anamnesis :

Identitas pasien ( nama, umur, alamat, pekerjaan, BB, TB, dll ). Kondisi surgical

Informasi mengenai kondisi surgikal dan operasi yang telah diajukan merupakan hal yang penting untuk dapat memperkirakan luas dan durasi pembedahan, hilangnya cairan dan darah yang diharapkan, tipe incisi serta kebutuhan analgesia intraoperatif dan postoperatif. Jika operasinya emergensi atau urgent, perut pasien mungkin dalam keadaan penuh terisi. Penilaian status cairan dan respon terhadap resusitasi sampai waktu tersebut juga diperlukan Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi.

Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu, berapa kali dan selang waktunya ( apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah ), penyakit serius yang pernah dialami, juga mengenai malaria, penyakit kuning, hemoglobinopati, penyakit kardiovasculer atau system pernafasan. Sehubungan dengan keadsan pasien sekarang, perlunjuga ditanyakan toleransi terhadap olahraga, batuk, sesak napas, wheezing, sakit dada, sakit kepala, dan pingsan.

Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi ( potensiasi, sinergis, antagonis, dll).

Obat-obatan yang berhubungan secara nyata dengan anestesi adalah obat diabetic, anti koagulan, antibiotic, kortikosteroid dan anti hipertensi, dimana dua obat terakhir harus diteruskan selama anestesi dan operasi, tetapi obat-obat lainnya harus dimodifikasi seperlunya. Riwayat alergi.

Catatlah bila ada keterangan mengenai reaksi alergi terhadap obat, juga apakah pasien atau keluarganya pernah mengalami reaksi penolakan terhadap obat anestesi pada masa yang lalu.

Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti :

Merokok : perokok berat ( > 20 batang/hari ) dapat mempersulit induksi anestesi kareba merangsang batuk-batuk, sekresi jalan nafas yang banyak atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah.

Alkohol : pencandu alcohol umunya resisten terhadap obat-obat anestesi khususnya golongan barbiturate.

Meminum obat-obat penenang atau narkotik.1.2 Pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, malnutrisi, edema, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan, apakah pasien sesak atau kesakitan.1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urine selama dan sesudah pembedahan.

2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernapasan, serta suhu tubuh.

3. keadaan psikis : gelisah, takut, kesakitan.

4. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas.

5. Jalan napas (airway). Daerah kepala dan leher diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, panjang leher (diukur jarak mento-hyoid), gangguan fleksi ekstensi leher, fraktur, deviasi trachea, massa dan bruit khususnya pada anestesi umum.Kondisi yang Berhubungan dengan Kesulitan Airway ManagementHidung

Deviasi SeptumKesulitan dalam insersi nasotracheal tube, perdarahan

PolipSama dengan diatas

Mulut

Skar dan kontraktur pada wajahRestriksi ketika membuka mulut

MakroglosiaKesulitan dalam memvisualisasikan laring saat laringoskopi

Penonjolan gigi seriSama seperti diatas dan cenderung berbahaya

Pertumbuhan gigi yang jelekGigi mudah tanggal

Mahkota gigiProteksi dari bahaya

Mandibula

Mandibula yang pendek atau tertarik ke belakangKesulitan dalam memvisualisasikan laring saat laringoskopi

Masalah pada sendi temporo-mandibularKesulitan dalam membuka mulut, bisa terjadi perburukan gejala setelah manipulasi mandibula saat airway management

Leher

Kontraktur akibat luka bakarKesulitan dalam memvisualisasikan laring saat laringoskopi

Skar pasca trakheostomiButuh tracheal tube dengan diameter yang lebih kecil

Leher yang pendek dan gemukKesulitan dalam laringoskopi

Goiter / pembengkakan leher lainnyaDeviasi atau kompresi jalan napas atas

SelulitisDeviasi, kompresi, atau pembengkakan jalan napas atas

Restriksi gerakan leherKesulitan dalam laringoskopi, petensial terjadi trauma

Arthritis rheumatoidJika terdapat bukti adanya subluksasi sendi atlanto-aksial, atau munculnya kelainan neurologis saat gerakan leher hati-hati dalam memfiksasi kepala setelah induksi dan selama intubasi

Klasifikasi MalampatiKelas 1 : Dinding posterior faring, palatum mole, dan uvula terlihat jelas

Kelas 2 : Uvula tertutup sebagian oleh lidah, dinding posterior faring dan palatum mole masih terlihat

Kelas 3 : Hanya palatum mole yang terlihat, dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah

Kelas 4 : Hanya palatum durum yang terlihat, dinding posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

6. Tanda-tanda penyakit saluran pernapasan : batuk-batuk, sputum kental atau encer, sesak napas, tanda-tanda sumbatan jalan napas atas, bising mengi (wheezing), hemoptisis, dll.

7. Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovascular : dispneu atau ortopneu, sianosis, jari tabuh, nyeri dada, edema tungkai, hipertensi, anemia, syok, murmur (bising katup).

8. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat perfusi distal, jari tabuh, sianosis, dan infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.

10. Punggung, bila ditemukan adanya deformitas, memar, atau infeksi.

11. Neurologis, misalnya status mental, fungsi saraf cranial, kesadaran, dan fungsi sensorik motorik.

Selain pemeriksaaan fisik di atas , terdapat beberapa hal yang hal penting yang harus diperiksa :

Breath ( B1 ) : jalan nafas, pola nafas, suara nafas, dan suara nafas tambahan.

Perhatikan jalan nafas bagian atas dan pikirkan bagaimana penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat, apkah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil, yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher, apakah pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas. Blood ( B2 ) : tekanan darah, perfusi, sara jantung, suara tambahan, kelainan anatomis dan fungsi jantung.

Periksalah apakah pasien menderita penyakit jantung atau pernafasan, khususnya untuk penyakit katup jantung ( selama operasi dibutuhkan antibiotic sebagai profilaksis ), hipertensi ( lihat fundus optik ) dan kegagalan jantung kiri atau kanan dengan peningkatan tekanan vena, adanya edema pada sacral dan pergelangan kaki, pembesaran hepar atau krepitasi pada basal paru. Lihatlah bentuk dada dan aktifitas otot pernafasan untuk mencari adanya obstruksi jalan nafas akut atau kronis atau kegagalan pernafasan. Rabalah trakea apakah tertarik oleh karena fibrosis, kolaps sebagian atau seluruh paru, atau pneumotoraks. Lakukan perkusi pada dinding dada, bila terdengar redup kemungkinan kolaps paru atau efusi. Dengarkan apakah ada wheezing atau ronchi yang menandakan adanya obstruksi bronkus umum atau setempat. Brain ( B3 ) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat atau perifer, dll.

Bladder ( B4 ) : GGA,GGK, produki urin. Bowel ( B5 ) : makan atu minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltic, gangguan lambung, gangguan metabolit, massa, kehamilan.

Bone ( B 6 ) : patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskuler.

1.3 Pemeriksaan penunjang.Setelah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa masalah. Putuskan apakah diperlukan pemeriksaan lain seperti laboratorium, radiologi dan elektrokardiogram. Radiologi rutin untuk thorak tidak diperlukan jika tidak ada gejala atau abnormal pada dada, tapi pemeriksaan Hb dan Hct sebaiknya rutin dilakukan pada pasien yang akan menjalani anestesi umum.

Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, tes fungsi hati ( LFT ), tes fungsi ginjal ( RFT ), serum elektrolit, faal hemostasis, dll. Pemeriksaan radiologi : foto thoraks, foto polos perut ( BOF ), USG, CT S, foto polos perut ( BOF ), USG, CT Scan, dll.

EKG, Ekokardiografi, treadmill, dll.2.3 PERENCANAAN ANESTESI

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran tentang keadaan mental pasien beserta masalah-masalah yang ada, selanjutnya dibuat rencana pemberian obat dan teknik anestesi yang digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Atau premedikasi untuk pasien dengan riwayat tirotoksikosis tidak menggunakan atropine.

Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anesthesia umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anesthesia yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.Rencana anestesi meliputi hal-hal berikut :1. Premedikasi

2. Jenis anestesi

Umum : perhatikan manajemen jalan napas (airway), pemberian obat induksi, rumatan dan relaksan otot.

Anestesi lokal/regional : perhatikan teknik dan zat anestetik yang akan digunakan.3. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi.4. Pengaturan intra operasi, meliputi monitoring, keracunan, pengaturan cairan dan penggunaan teknik khusus.

5. Pengaturan pasca oprasi, meliputi pengendalian nyeri dan perawatan intensif (ventilasi pasca oprasi dan pengawasan hemodinamik).

Menentukan Prognosis

Berdasarkan status fisik pasien praanestesia, ASA (American Society of Anesthesiologist) membuat klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut : ASA I

Pasien dalam keadaan normal dan sehat. Pasien dapat naik turun tangga atau berjalan sampai 2 blok tanpa gangguan. Sedikit atau tanpa ansietas. Sedikit atau tanpa resiko pada operasi. Klasifikasi ini masuk ke dalam kategori green flag dalam tatalaksana. Contoh :a. Seorang dewasa muda sehat akan menjalani operasi hernia inguinalis.

b. Seorang wanita muda sehat dengan myoma uteri akan dilakukan myomektomi.

ASA II

Pasien memiliki penyakit sistemik yang ringan sampai sedang atau pasien sehat ASA I namun dengan ansietas dan ketakutan yang ekstrim terhadap operasi. Pasien dapat naik turun tangga atau berjalan sampai 2 blok, tapi harus berhenti sejenak setelah selesai karena gangguan. Memiliki resiko minimal selama tatalaksana. Klasifikasi ini masuk ke dalam kategori yellow flag dalam tatalaksana. Contoh: a. Pasien dengan penyakit jantung organik tanpa pembatasan aktifitas atau dengan pembatasan ringan, direncanakan untuk operasi hernia.

b. Pasien dengan DM ringan direncanakan untuk operasi appendektomi.

c. Pasien dengan anemia atau dengan hipertensi essensial.

d. Dalam klas ini juga dimasukkan pasien dengan umur ekstrim (neonatus atau geriatri) tanpa penyakit sistemik, atau pasien dengan obesitas, bronchitis kronis.e. DM tipe 2 yang terkontrol, epilepsi, asma, penyakit tiroid, ASA I dengan gangguan respirasi, kehamilan, dan/atau alergi aktif.

ASA III

Pasien memiliki penyakit sistemik yang berat dengan keterbatasan aktifitas, namun bukan disabilitas. Pasien dapat naik turun tangga atau berjalan sampai 2 blok, tapi harus berhenti sejenak dalam perjalanan karena gangguan. Jika harus dilakukan pembedahan, maka harus dilakukan stress reduction protocol dan terapi modifikasi lainnya. Klasifikasi ini masuk ke dalam kategori yellow flag dalam tatalaksana. Contoh :a. Pasien dengan DM berat dengan komplikasi vaskuler yang memerlukan tindakan pembedahan.

b. Pasien dengan insufisiensi paru sedang sampai berat, perlu pembedahan misalnya hernia.

c. Pasien dengan angina pectoris, infark myokard lama, gagal jantung kongestif atau PPOK. ASA IV

Pasien memiliki penyakit sistemik yang berat dengan keterbatasan aktifitas dan mengancam jiwa. Pasien tidak dapat berjalan 2 blok atau naik turun tangga. Gangguan muncul bahkan saat istirahat. Pasien mempunyai resiko yang berbahaya karena pasien pada kategori ini mempunyai masalah medis yang lebih parah dibanding operasi yang direncanakan. Klasifikasi ini masuk ke dalam kategori red flag menandakan bahwa resiko terlalu berat untuk pasien untuk melakukan tindakan elektif. Atau penyakit dasar harus diatasi terlebih dahulu.Contoh: angina pektoris tidak stabil, infark miokard atau riwayat gangguan serebrovaskular dalam 6 bulan terakhir, hipertensi, gagal jantung kongestif berat atau PPOK, epilepsi yang tidak terkontrol, DM, atau penyakit tiroid. ASA V

Pasien moribund dan tidak dapat diharap bertahan hidup lebih dari 24 jam dengan atau tanpa operasi. Pasien kategori ini hampir selalu pasien dengan penyakit terminal.

Contoh : pasien shock karena perdarahan, trauma kepala hebat dengan tekanan intrakranial yang meningkat. Pada umumnya pasien-pasien ini memerlukan operasi untuk rersusitasi dan umumnya hanya perlu anestesia sedikit atau bahkan tanpa obat anestesia.

ASA-EOperasi yang emergency (biasanya ditambahkan pada salah satu klasifikasi diatas). Contoh: ASA III-E.Persiapan Pada Hari Operasi

1 . Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan.

Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa, pada pasien dewasa puasa 6-8 jam, pada bayi/anak dipuasakan 3-4 jam.Pada pembedahan darurat, pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah, memasang pipa nasogastrik atau memberi obat yang menyebabkan muntah seperti apomorphin, dsb.Cara-cara ini tidak menyenangkan pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menetralkan asam lambung dengan memberi antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidine atau famotidin) Puasa yang cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin lambung kosong secara sempurna, misalnya pada stress mental yang hebat, kehamilan, rasa nyeri atau pasien diabetes mellitus.Pemberian obat pencahar umumnya dilakukan pada laparotomi eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari kerena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan pasien geriatrik.2. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditinggalkan dan bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak menggangu pemeriksaan selama anestesi, misalnya sianosis.3. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi. Untuk membersihkanjalan napas, pasien diminta batuk kuat-kuat dan mengeluarkan lendir jalan napas.4. Penderita dimasukan ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus, diberikantanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga sudah memberikan izin pembedahan secara tertulis (informed consent).5. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulang sekali lagi di kamar operasi karena mungkin terjadi perubahan bermakna yang dapat menyulitkan perjalanan anestesi, misal hipertensi mendadak, dehidrasi, atau serangan akut asma.6. Pemberian obat premedikasi secara intra muscular atau oral dapat diberikan - 1 jam sebelum dilakukan induksi anestesi atau beberapa menit bila diberikan secara intra vena. 2.4 PREMEDIKASI Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi adalah untuk memberikan sedasi psikis, mengurangi rasa cemas dan melindungi dari stress mental atau factor-faktor lain yang berkaitan dengan tindakan anestesi yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah terjadinya sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada pra bedah.

Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atasbagian yaitu reaksi somatic (voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatic ini timbul didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap manifestasi efek somatic tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan nampak tenang. Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis untuk menimbulkan perubahan system sirkulasi dalam tubuh. Perubahan ini disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh darah, dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergic dari rasa takut timbul dikorteks cerebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedativa yang mencegah kemampuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskular secara neurologis berbeda dengan rasa takut, karena arcus reflek yang tersangkut seluruhnya ada dibatang otak dibawah sensor thalamus. Ini berarti pendekatan klinis untuk menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir dari reaksi adrenergic terhadap rasa takut ialah meningkatnya detik jantung dan tekanan darah.

Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan pra bedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak), riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah diberi anestesi sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat berpengaruh pada jalannya anestesi (missal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotic tertentu), perkiraan lamanya operasi, macamnya operasi (missal terencana, darurat, pasien rawat inap atau rawat jalan) dan rencana obat anestesi yang akan digunakan.

Kini obat premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pulih setelah pembedahan singkat. Selain itu ditekankan agar obat-obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.Maksud dan Tujuan Premedikasi :1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2. Memperlancar induksi anestesi.

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.

5. Mengurangi mual muntah pasca bedah.

6. Menciptakan amnesia.

7. Mengurangi isi cairan lambung.

8. Mengurangi refleks yang membahayakan.Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat:1. UsiaMerupakan variabel yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40 tahun, efek narkotika dan sedatif meninggi karena rasa nyeri berkurang dengan peningkatan usia. Fenomena ini disebabkan oleh karena penurunan kepekaan terhadap rangsangan sensorik. Dengan penambahan usia tidak hanya penurunan persepsi nyeri, tetapi juga penurunan aktivitas refleks jalan nafas.2. Suhu: Setiap kenaikan suhu 1 derajat Fahrenheit, laju metabolisme basal naik sebesar 7%.3. Emosi: Mungkin merupakan penyebab terbanyak kelainan metabolisme basal pra anestesia. Takut dan ketengangan merupakan faktor utama dan keduanya meninggalkan kepekaan terhadap rasa nyeri.4. Penyakit: Pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek, morfin dapat lebih mudah toksik, karena hati tidak dapat mengolah morfin dosis besar. Pada pasien anemia, pemakaian opiate atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai berikut:

BarbiturateKebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan lebih baik bila diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat digunakan golongan barbiturate per oral sebelum waktu tidur. Selain itu barbiturate juga digunakan obat premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dapat menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak berubahnya respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi minimal dan tidak menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan peroral. Premedikasi per oral belum dapat dibudayakan di Indonesia (terutama bagi golongan menengah / bawah), karena masih ditakutkan bila disamping minum obat, pasien tidak dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak.

Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria.

NarkotikMorfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat diantagonisisir dengan naloxon.

Narkotik ini dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate, narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek tersebut.

Morfin diberikan dengan dosis 0,1 0,2 mg/kbBB, sedang petidin dengan dosis 1 2 mg/kgBB. Pada orang tua dan anak-anak diberikan dosis lebih kecil.

BenzodiazepineGolongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja pada reseptor otak yang spesifik, mengahasilkan efek anti anxiety yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi napas, mual dan muntah. Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Selain itu juga rasa sakit pada penyuntikan i.m. Serta absorbsi sistemik yang jelek setelah pemberian i.m.

Benzodiazepine yang larut dalam airdan cepat diabsorbsi setelah pemberian intramuscular, yaitu midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan baik i.m atau i.v.

Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang pada anak kecil 0.2 0.5 mg/kgBB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Penggunaan midazolam ini harus dengan pengawasan ketat, karena kemungkinan terjadi depresi respirasi.

ButyrophenonDari golongan ini droperidol dengan dosis 2,5 5 mg i.m digunakan sebagai obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek anti emetic yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien pasien dengan resiko tinggi, misal pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1 1,5 mg.

Kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria (pasien merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek blockade terhadap dopaminergik reseptor sehingga dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada pasien yang normal. Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien hipertermi sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu di ingat akan terjadinya relative hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi / rhinitis vasomotorika sebaiknya penggunaan obat ini dihindari. AntihistaminDari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah promethazin (phenergen) dengan dosis 12,5 25 mg i.m pada orang dewasa. Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronkiale.

AntikholinergikAtropine mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari asetylcholin. Atropine ini dapat menembus barier lemak misalnya blood brain barrier, plasenta barrier dan tractus gastrointestinal.

Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah menghasilkan efek anti sialogoque, mengurangi sekresi ion asam lambung, menghambat reflek bradikardia dan efek sedative dan amnestik (terutama scopolamine). Efek lain yang merugikan adalah nadi yang meningkat, midriasis, cyclopegia, kenaikan suhu, mengeringnya secret jalan napas dan pada CNS toxicity terjadi gelisah dan agitasi.

AntasidaPemberian antasida 15 30 menit prainduksi hampir 100% efektif untuk menaikkan pH asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan acid aspiration syndrome atau disebut juga Mendelson syndrome. Yang dianjurkan ialah preparat yang mengandung Mg trisiklat.

Histamine H-reseptor antagonisObat ini akan melawan kemampuan histamine dalam meningkatkan sekresi cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidine oral 300 mg, 1 1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH cairan lambung diatas 2,5 sebanyak lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai.

2.5 PERAWATAN POST OPERATIFPerawatan post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah :

1) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi (recovery room).2) Perawatan post anastesi di ruang pemulihan (recovery room).3) Transportasi pasien ke ruang rawat, perawatan di ruang rawat.

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulij atau, unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual muntaj, menggigil dan kadang kadang perdarahan.

Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar bedah, supaya apabila timbul kegawatan dan perlu segera dilakukan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan. Selain itu, karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan, pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestei dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih berada di dalam kamar bedah.

Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG, peralatan resusitasi jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah :

Fungsi pulmonal yang tidak terganggu

Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang

Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam

Mual dan muntah dalam control Nyeri minimalUraian diatas telah membahas tentang hal yang diperhatikan pada pasien post anaesthesi. Untuk lebih jelasnya maka dibawah ini adalah petunjuk perawatan/ observasi diruang pemulihan:

Posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan pada pasiendengan pembiusan umum, sedang pada pasein dengan anaesthesi regional posisi semi fowler.

Pasang pengaman pada tempat tidur.

Monitor tanda vital : TN, Nadi, respirasi / 15 menit.

Penghisapan lendir daerah mulut dan trakhea.

Beri O2 2,3 liter sesuai program.

Observasi adanya muntah.

Catat intake dan out put cairan.

Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan terjadinya situasi krisis:

1. Tekanan sistolik < 90 100 mmHg atau > 150 160 mmH, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg.

2. HR kurang dari 60 x menit > 10 x/menit

3. Suhu > 38,3 C atau kurang dari 35 C.

4. Meningkatnya kegelisahan pasien5. Tidak BAK + 8 jam post operasi.Pemantaun Klinis Pasien

Pemantauan klinis dapat dibagi menjadi penilaian jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Gangguan Pernapasan Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering mengalami : lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.

Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah menutup faring, maka harus di lakukan manufer tripel dengan cara pasang jalan napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak berhasil menolong, pasang sungkup laring.

Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat, kortokosteroid (oradekson) dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot. Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi, hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi) dangkal sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Kalau penyebab jelas karena opioid dapat diberikan nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin. Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung. Gangguan Kardiovaskular Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 1,0 g/kg/ menit.

Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100% dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml. Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.

Gelisah Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang midazolam (dormikum) 0.05 0.1 mg/kgBB.

NyeriNyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan. Untuk meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa, sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat biasanya bermanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolak 10-30 mg IV atau IM.

Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali dengan pengawasan ketat.

Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya dengan titrasi perinfus.

Mual-Muntah Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia ialah :

1. Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.

2. Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg.3. Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v.

4. Cyclizine 25-50 mg. Menggigil Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion warmer, lampu untuk menghangatkan suhu.

Monitoring Khusus

Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau bedah khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi terlungkup atau pada pasien keadaan umum kurang baik yang disertai oleh kelainan sistemis.oksimeter denyut, infra red CO2 dan analisa zat anestetik yang dapat memberitahu kita akan adanya gangguan dini. NILAI PULIH DARI ANESTESI

ALDRETE SCORE Penilaian Nilai

Warna

Merah mudaPucatSianosis

210

Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batukDangkal namun pertukaran udara adekuatApnoea atau obstruksi210

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normalTekanan darah menyimpang >50% dari normal210

Aktivitas

Seluruh ekstremitas dapat digerakkanDua ekstremitas dapat digerakkanTidak bergerak 210

Jika jumlah > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruanganBAB IIIKESIMPULAN

Tujuan utama pemberian premedikasi dan preoperative tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan, akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Ada beberapa golongan obat yang digunakan sebagai premedikasi, diantaranya golongan analgesik narkotik, barbiturate, antikolinergik, dan tranquilizer. Baik pada operasi (bedah) mayor maupun minor, sangatlah diperlukan untuk menenangkan keadaan fisik maupun metal pasien. Usaha tersebut dilakukan agar pasien yang akan menjalani operasi dapat dengan mudah menerima anjuran ataupun obat-obatan yang telah diberikan dokter untuk hasil yang maksimal. Takut dan gelisah seperti yang telah dijelaskan di atas dapat mempengaruhi ambang batas (threshold) nyeri.

Pada persiapan pra-anestesi, harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan pre-operasi anestesi, perencanaan anestesi, dan menentukan prognosis penderita dengan menentukan status fisiknya. Status fisik yang diperiksa tidak hanya vital sign tetapi juga hal lain yang terkait dengan keadaan fisik pasien seperti tinggi dan berat badan, dll. Karena tinggi dan berat badan sangat mempengaruhi jenis dan jumlah obat yang akan diberikan.

Ruang pulih merupakan tempat observasi penderita segera sesudah pembedahan. Bertujuan mempersiapkan penderita sebelum kembali ke ruang rawat inap.BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Said A.Latief dkk, Monitoring Perianestesia, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2002.2. Dachlan, R.,dkk. 2002.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi FK UI.Jakarta.

3. M. Roesli Thaib, Monitoring Selama Anestesi, Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.4. B. Thomas, Boulton dan E.Colin, Alih bahasa : dr. Jonatan Oswari, Anestesiologi, Edisi 10, Penerbit Buku Kedokteran EGC.5. B. Dobson Michael, Alih bahasa : Adji Dhrama, Penuntun praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran EGC.6. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray, Clinical Anesthesiology, 4th Edition Appleton & Lange.7. Arif Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.

8. Dr. Gde Mangku, Sp.An. KIC, Standar Pemantauan Dasar Intra Operatif, Ilmu Anestesia Dan Reanimasi, Edisi Pertama, 2010, Indeks, Kembangan, Jakarta Barat.23 | Page