Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik
-
Upload
arief-munandar-andi -
Category
Documents
-
view
37 -
download
2
Transcript of Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik
BAHAN AJAR
NUR FITRIANI NURDIN
APPLY APPROACH 2014
1
BAB I. ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIKSTANDAR KOMPETENSIMemahami tentang anemia pada penyakit ginjal kronik
KOMPETENSI DASAR
1.1. Memahami definisi penyakit ginjal kronik1.2. Memahami definisi anemia 1.3. Memahami definisi anemia pada penyakit ginjal kronik1.2. Mengetahui patofisiologi anemia pada penyakit ginjal kronik1.3. Mengetahui komplikasi anemia pada penyakit ginjal kronik1.4. Mengetahui penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal kronik
Tujuan Pembelajaran
1. Memahami konsep dasar penyakit ginjal kronik
2. Memahami konsep dasar anemia
3. Memahami konsep anemia pada penyakit ginjal kronik
4. Mengetahui patofisiologi terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik
5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik
6. Mengetahui penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal kronik
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang
bersifat kronik, progresif dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal kronik merupakan
keadaan yang memerlukan penanganan khusus untuk memperlambat laju progresi
gangguan fungsi ginjal menuju tahap terminal, yang memerlukan terapi pengganti.
Definisi penyakit ginjal kronik menurut NKF-K/DOQI adalah :
1. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan. Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal
adalah bila dijumpai kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa
penurunan LFG, dengan salah satu manifestasi kelainan patologi atau petanda
kerusakan ginjal termasuk kelainan komposisi darah atau urine atau kelainan
radiologi
2. GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Jadi penyakit ginjal kronik berarti terdapat kelainan patologik ginjal, atau adanya
kelainan urin, umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin selama 3 bulan atau lebih
2
yang tidak bergantung pada nilai LFG. Selain itu terdapat penyakit ginjal kronik jika LFG
< 60 ml/menit/1,73 m2 , meskipun tidak ditemukan kelainan pada urin
Salah satu penanganan penting pada penyakit ginjal kronik (PGK) adalah
penanganan anemia. Anemia telah terjadi sebelum pasien memerlukan dialisis dan akan
memburuk sesuai dengan progresivitas penyakit ginjal. Onset anemia mulai timbul bila
LFG < 60 ml/menit/1,73 m2, sedangkan manifestasi klinik akan lebih nyata bila LFG < 40
ml/menit/1,73 m2.
Penyebab anemia pada penyakit ginjal kronik multifaktorial, tetapi faktor utama
adalah adanya defisiensi hormon eritropoetin (EPO). Akibat hormon EPO yang tidak
cukup diproduksi oleh ginjal maka terjadi gangguan eritropoiesis. Gambaran klinis
anemia renal adalah gangguan metabolisme besi yang ditandai dengan eritrosit yang
normositik dan normokromik. Berdasarkan mekanisme terjadinya anemia renal maka
pengobatan EPO eksogen merupakan upaya yang tepat. Dalam proses eritropoiesis selain
EPO, besi merupakan komponen yang penting sehingga defisiensi besi sering merupakan
penyebab kegagalan pengobatan EPO.
Komplikasi anemia disamping menurunkan kualitas hidup juga dapat
meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular, sehingga meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan anemia pada
penyakit ginjal kronik meliputi beberapa hal seperti mencari penyebab atau faktor yang
memperberat anemia, analisis status besi, terapi EPO, serta pemberian transfusi darah.
Pada makalah ini akan membahas anemia pada penyakit ginjal kronik,
penanganan serta komplikasi yang ditimbulkan.
DEFINISI ANEMIA PADA PGK
Anemia adalah manifestasi klinik akibat penurunan sel darah merah dalam
sirkulasi yang ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb). Berdasarkan
pedoman praktis pengobatan anemia pada PGK penilaian anemia pasien wanita dengan
PGK dimulai bila Hb < 11,5 g/dl atau < 13,5 g/dl pada pria, sedangkan pada yang berusia
70 tahun atau lebih dikatakan anemia apabila Hb< 12,5 g/dl. Konsensus Manajemen
Anemia pada pasien Penyakit Ginjal Kronik, PERNEFRI pada tahun 2001 menganjurkan
evaluasi anemia dimulai bila Hb = 10 g/dl atau Ht = 30 %. Untuk dapat mencapai Hb
3
seperti yang diharapkan status besi dalam tubuh harus cukup. Pengobatan diharapkan
berhasil bila serum feritin > 100 µg/L dan TSat > 20 %. Keberhasilan pengobatan EPO
akan lebih dijamin apabila TSat 30-40 % dan serum feritin 200-500 µg/L.
PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA PGK
Sel darah merah dalam sirkulasi dikontrol oleh sel-sel interstisial pada korteks
renalis yang sangat sensitif terhadap perubahan oksigenasi jaringan. Jika oksigenasi
jaringan menurun akibat anemia atau karena hal yang lain maka sel-sel interstisial ini
akan mengalami hipoksia dan akan meningkatkan pembentukan eritropoiesis. Kejadian
anemia semakin bertambah sejalan dengan penurunan fungsi ginjal, prevalensi anemia
meningkat dari 1% pada LFG 60 ml/menit menjadi 9% pada LFG 30 ml/menit dan
menjadi 33% pada LFG 15 ml/menit.
Eritropoietin adalah hormon yang diproduksi terutama oleh ginjal dan berperan
pada proses eritropoiesis. Pada proses eritropoiesis selain EPO, berbagai sitokin seperti
stem cell factor, interleukin-3 (IL-3), granulocyte-macrophage colony stimulating factor,
insulin growth factor (IGF-1) juga ikut berperan. Eritropoietin pada proses perkembangan
sel progenitor eritroid berfungsi pada proliferasi dan pematangan CFU-E (colony forming
unit erythroid) melalui eritroblas, retikulosit dan akhirnya berkembang menjadi eritrosit.
Penyebab utama terjadinya anemia pada PGK adalah berkurangnya pembentukan
sel darah merah akibat defisiensi eritropoietin. Juga terdapat bukti bahwa racun uremik
dapat menginaktifkan eritropoietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap
eritropoietin. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah masa hidup
sel darah merah yang pendek dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum
tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat, dan toksisitas aluminium serta osteitis
fibrosa yang berhubungan dengan hiperparatiroid. Selain itu faktor adanya kehilangan
darah kronik akibat perdarahan saluran cerna tersembunyi, pengambilan darah berulang
untuk pemeriksaan laboratorium, retensi darah pada dialiser dan tubing (pada pasien
hemodialisis) dan adanya penyakit penyerta serta malnutrisi akan menambah beratnya
keadaan anemia.
Selain faktor-faktor tersebut diatas faktor pro-inflamasi juga memegang peranan
penting dalam kejadian anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar sitokin pro-inflamasi
4
pada pasien yang menjalani hemodialisa 8 sampai 10 kali lebih tinggi dibandingkan
populasi normal. Penelitian oleh Stenvinkel dkk terhadap 111 pasien yang menjalani
hemodialisa menunjukkan bahwa angka harapan hidup dalam jangka 5 tahun berkurang
hingga 25% pada mereka yang mempunyai kadar IL-6 yang lebih tinggi. Beberapa
mekanisme yang berperan dalam terjadinya anemia yang dihubungkan dengan sitokin
pro-inflamasi yaitu adanya supresi eritropoiesis pada sumsum tulang, gangguan produksi
eritropoietin, perdarahan pada intestinal dan gangguan metabolisme besi.
KOMPLIKASI ANEMIA PADA PGK
Anemia hampir selalu dijumpai pada PGK dan diduga mempunyai hubungan
dengan mekanisme terjadinya penyakit kardiovaskular. Gagal jantung, penyakit jantung
koroner dan hipertrofi ventrikel kiri merupakan keadaan yang banyak dijumpai pada
PGK.10 Anemia menyebabkan hipoksia jaringan, vasodilatasi pembuluh darah perifer
dengan akibat penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan
aliran darah ke ginjal menurun dan mengaktivasi sistem renin angiotensin aldosteron.
Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron akan menambah berat kerusakan ginjal
melalui pengaruh buruk angiotensin II yang bersifat vasokonstriktor kuat. Disamping itu
sistem renin angiotensin aldosteron juga berperan secara langsung pada proses kematian
sel, fibrosis otot jantung dengan akibat gagal jantung. Gagal jantung akan mengakibatkan
berkurangnya aliran darah ke ginjal sehingga akan memperberat gangguan fungsi ginjal.
Dari uraian tersebut terbukti bahwa penyakit ginjal dapat menyebabkan anemia
dan sebaliknya anemia dapat memperberat kerusakan ginjal. Anemia juga dapat
menyebabkan gagal jantung dan demikian pula sebaliknya gagal jantung dapat
mempengaruhi anemia. Gagal jantung dapat memperberat PGK dan sebaliknya PGK
melalui berbagai mekanisme dapat mengakibatkan gagal jantung. Hubungan antara PGK,
anemia, dan gagal jantung merupakan hubungan sebab akibat dan timbal balik yang
dikenal sebagai sindrom kardio anemia renal (cardio-renal anemia syndrome). Keadaan
tersebut mengisyaratkan bahwa koreksi anemia diharapkan dapat memperbaiki keadaan
fungsi ginjal dan fungsi jantung.
5
CKD
Gambar 1. Interaksi kardio-renal
Bila terjadi anemia, maka tubuh akan berusaha mempertahankan oksigenasi
jaringan melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme kompensasi non hemodinamik dan
kompensasi hemodinamik. Pada mekanisme non hemodinamik terjadi peningkatan
produksi eritropoietin yang akan menstimulasi eritropoiesis dan peningkatan ekstraksi
oksigen untuk mempertahankan kadar Hb dalam batas normal pada awal tejadinya
gangguan fungsi ginjal. Pada tahap lanjut terjadinya hipertropi ventrikel kiri adalah
merupakan hasil dari mekanisme kompensasi hemodinamik terhadap hipoksia jaringan
akibat efek anemia.
Komplikasi kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien
PGK di USA. Sebuah penelitian retrospektif memperlihatkan bahwa pasien PGK yang
mendapatkan terapi EPO secara teratur dalam waktu 2 tahun mempunyai komplikasi
kardiovaskular dan kematian yang lebih rendah dibanding pasien yang mendapat terapi
EPO secara tidak teratur.
6
CVD
Traditional Cardiovascular
risk factor
Non-traditional Cardiovascular
Risk factor
Anemia
Gambar 2. Mekanisme hemodinamik pada kardiovaskular akibat anemia
PENATALAKSANAAN ANEMIA PADA PGK
7
Eritrosit ↓
Viskositas darah ↓
Resistensi perifer ↓
Hemoglobin ↓
Ketersediaan EDRF (NO) ↓
Pengantaran O2 ↓
Pelepasan kemoreseptor ↑
AngiogenesisVasodilatasi arteri
Curah jantung ↑ Denyut
jantung ↑
Aktifitas simpatik ↑
KontraktilitsMiokard ↑Volume sekuncup ↑
Arus balik vena ↑
Resistensi aliran balik vena ↓ Tonus vena ↑
Terapi besi
Besi merupakan salah satu komponen penting pada proses eritropoiesis, oleh
karena itu status besi harus selalu diperhatikan khususnya pada pasien yang mendapat
terapi EPO. Besi diperlukan oleh EPO dalam menjalankan fungsinya sebagai stimulator
eritropoiesis. Defisiensi besi sering merupakan salah satu faktor penyebab kagagalan
pengobatan anemia renal dengan EPO. Dalam tubuh 65% besi tersimpan dalam eritrosit
dan 30% dalam sumsum tulang, hati dan limpa sebagai ferritin dan hemosiderin. Sebagian
kecil tersimpan dalam bentuk mioglobin 3,5% dan 0,5% sebagai enzim haeme.
Besi yang berasal dari makanan akan diabsorbsi melalui sel epitel duodenum dan
jejunum sesuai dengan kebutuhan dan pasokan besi. Sel epitel telah terprogram sesuai
dengan derajat saturasi transferin (TSat) yang menggambarkan tersedianya besi dalam
tubuh. Transferin adalah protein pengangkut besi dan dapat digunakan untuk mengukur
ketersediaan besi untuk eritropoiesis secara tidak langsung. Saturasi transferin ≥ 20% dan
ferritin ≥ 100 ng/ml merupakan jaminan kecukupan besi untuk eritropoiesis pada pasien
yang mendapat terapi EPO.
Besi direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi EPO. Beberapa
sediaan besi yang tersedia adalah preparat untuk suntikan intravena (iv) seperti iron
sucrose, iron dextran, iron gluconate, iron dextrin, suntikan intramuskular (im) seperti
iron dextran dan preparat besi oral. Besi oral sangat mudah dan murah diberikan dan
terutama bermanfaat pada pasien yang tidak mendapat terapi EPO, dengan dosis minimal
200 mg besi elemental/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali perhari. Pada pasien yang
mendapat terapi EPO terjadi stimulasi eritropoeisis, sehingga kebutuhan besi yang
meningkat perlu diberikan terapi besi suntikan intravena atau intramuskular karena
dengan pemberian oral tidak tercukupi.
Pada PGK absorbsi besi melalui traktus gastrointestinal kurang baik sehingga
pemberian besi dianjurkan secara intravena untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Terapi besi intravena untuk mengatasi anemia defisiensi besi dibagi atas terapi besi fase
koreksi dan terapi pemeliharaan besi. Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk
mengoreksi anemia defisiensi besi sampai status besi tercukupi yaitu ferritin serum > 100
ug/l dan saturasi transferin > 20%. Preparat besi seperti iron sucrose 100 mg diencerkan
dengan 100 ml NaCl 0,9% drip iv paling cepat 15 menit, atau iron dextran 100 mg
8
diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% yang diberikan 1-2 jam pertama HD melalui venous
blood line atau iron gluconate 125 mg dengan cara pemberian yang sama dengan iron
dextran. Preparat besi ini diberikan dua kali seminggu sampai mencapai dosis 1000 mg.
Bila target terapi besi telah tercapai, dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan besi. Terapi
pemeliharaan besi bertujuan untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk
eritropoiesis selama pemberian EPO. Target terapi yaitu kadar ferritin serum 100-500
ug/l dan saturasi transferin 20-40%. Dosis terapi pemeliharaan besi yaitu iron sucrose iv
maksimal 100 mg/minggu, atau iron dextran iv 50 mg/minggu, atau iron gluconate iv
31,25-125 mg/minggu. Status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila status besi dalam batas
target yang dikehendaki maka dilanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan.
Terapi eritropoietin
Sejak diperkenalkan pada akhir tahun 1980, eritropoietin telah dipakai secara luas
dan dapat ditoleransi dengan baik untuk terapi anemia. Beberapa studi menyebutkan
koreksi anemia pada PGK sampai tercapai hemoglobin 11-12 g/dl dapat menurunkan
angka morbiditas, angka hospitalisasi, dan angka kematian pada penderita PGK. Hayashi
dkk menemukan bahwa pemberian eritropoietin selama 4 bulan dapat meningkatkan
hematokrit dan menurunkan LVMI (Left Ventrikular Mass Index) pada penderita PGK
yang belum menjadi gagal ginjal terminal, dan gambaran yang sama juga ditemukan
setelah 12 bulan terapi.
Eritropoietin merupakan suatu glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel
jukstaglomerulus pada tubulus proksimalis renalis sebagai respon terhadap hipoksemia,
anemia atau peningkatan kebutuhan oksigen. Ketika tubuh kekurangan oksigen maka
akan terjadi rangsangan terhadap ginjal untuk memproduksi eritropoietin. Eritropoiesis
kemudian akan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Nilai
normal eritropoietin yaitu 10-20 µ/L dan akan meningkat 10 sampai 1000 kali lipat
sebagai respon terhadap anemia.
Secara garis besar ada 2 jenis eritropoietin yaitu: Recombinant human
erythropoietin (rHuEPO) dan Darbopoietin. RHuEPO merupakan suatu protein
rekombinan yang mempunyai efek biologi yang sama dengan eritropoietin endogen,
pemberiannya 2-3 kali seminggu, rHuEPO terdiri dari : epoetin alfa, epoetin beta dan
9
epoetin omega. Darbopoietin merupakan eritropoietin generasi baru yang mempunyai
kerja panjang sehingga pemberiannya cukup sekali seminggu.
Syarat pemberian EPO bila status besi cukup, yaitu kadar FS = 100 µg/L dan ST
= 20 %. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb
= 10 g/dl atau Ht = 30 %.6 K/DOQI menganjurkan pemberian terapi EPO subkutan 80-
100 IU/kg BB/minggu atau intravena 120-180 IU/kg BB/minggu dalam dosis terbagi 2-3
kali seminggu. Konsensus manajemen anemia pada pasien PGK-PERNEFRI 2001
menganjurkan terapi EPO fase koreksi 2000-4000 IU subkutan 2-3 kali/minggu selama 4
minggu, dengan target respon peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl atau peningkatan Ht 2-4 %
dalam 2-4 minggu. Bila target respon tercapai terapi EPO dapat dipertahankan, bila
melebihi target respon, yaitu Hb naik > 2,5 g/dl atau Ht > 8% dalam 4 minggu maka
dosis EPO diturunkan 25%, sebaliknya bila target respon belum tercapai maka dosis EPO
dinaikkan sampai 50%.
10
Gambar 4. Algoritme terapi EPO pada PGK yang menjalani HD 6
11
Terapi EPO fase koreksi2000-4000 IU/x HD
Target responHt ↑ 2-4 % dlm 2-4 mggHb ↑ 1-2 g/dl dlm 4 mgg
Belum tercapai Melebihi target
Dosis ↓ 25 %Dosis ↑ 50
Tercapai
Pertahankan dosis EPO s/d target Ht/Hb tercapai
(Ht>30 % Hb>10 g/dl)
Tercapai Tidak tercapai
Dosis EPO fase pemeliharaan Cari penyebab EPO resisten
VI. RINGKASAN
Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang
bersifat kronik, progresif dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal kronik merupakan
keadaan yang memerlukan penanganan khusus untuk memperlambat laju progresi
gangguan fungsi ginjal menuju tahap terminal, yang memerlukan terapi pengganti.
Anemia adalah manifestasi klinik akibat penurunan sel darah merah dalam
sirkulasi yang ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb). Berdasarkan
pedoman praktis pengobatan anemia pada PGK penilaian anemia pasien wanita dengan
PGK dimulai bila Hb < 11,5 g/dl atau < 13,5 g/dl pada pria, sedangkan pada yang berusia
70 tahun atau lebih dikatakan anemia apabila Hb< 12,5 g/dl.
Anemia hampir selalu dijumpai pada PGK dan diduga mempunyai hubungan
dengan mekanisme terjadinya penyakit kardiovaskular. Gagal jantung, penyakit jantung
koroner dan hipertrofi ventrikel kiri merupakan keadaan yang banyak dijumpai pada
PGK.
Penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal kronik meliputi beberapa hal seperti
mencari penyebab atau faktor yang memperberat anemia, analisis status besi, terapi EPO,
serta pemberian transfusi darah.
12
Latihan
1. Yang dimaksud dengan anemia pada penyakit ginjal kronik adalah...
2. Faktor yang berperan dalam terjadinya anemia pada PGK antara lain, kecuali...
a) Eritropoietin
b) Toksik uremia
c) Hipotiroidisme
d) Kehilangan darah
e) Defisiensi besi
13