PATHOGENESIS ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK I …
Transcript of PATHOGENESIS ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK I …
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
193 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
PATHOGENESIS ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK
I Wayan Sudhana
Divisi Ginjal dan Hipertensi
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Anemia merupakan salah satu komplikasi yang hampir selalu terjadi pada
penyakit ginjal kronis(PGK). Sebelum adanya recombinant human erythropoietin
(rHuEPO) atau erythropoietin (EPO) -stimulatign agents (ESA), pasien dengan
dialisis seringkali membutuhkan transfusi darah.
Kemampuan untuk mengkoreksi anemia menunjukkan bahwa konsekuensi
yang ditimbulkan dapat ditangani, yaitu kelemahan kondisi umum dan penurunan
kapasitas fisik yang diakibatkan gangguan fungsi fisiologi secara umum. Oleh
karena itu, terdapat pertimbangan rasional yang kuat dalam tatalaksana anemia
pada pasien dengan PGK, meskipun strategi terapi yang optimal masih belum
sepenuhnya dipahami.
Di samping terapi dengan ESA, pengembalian zat besi yang terpakai penting
dalam manajemen anemia. Biaya manajemen anemia, dampak negatif koreksi
total anemia bagi pasien, memerlukan pertimbangan yang rasionalterhadap
keuntungan dan kerugian terapi ini.
Diperlukan pengetahuan tentang pathogenesis anemia pada pasien PGK dan
peranan zat besi dalam pengelolaan anemia pada pasien PGK.
Epidemiologi dan Perjalanan Alamiah
Terjadi peningkatan secara progresif angka kejadian dan derajat keparahan
anemia yng dihubungkan dengan penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan data dari
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa
distribusi kadar Hb mulai mengalami penurunan pada estimated glomerular
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
194 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
filtration rate (eGFR) kurang dari 75 ml/menit/1,73 m2 pada pria dan kurang dari 45
ml/menit/1,73 m2 pada wanita Dengan terapi ESA dan derivatnya, nilai Hb pada
pasien PGK telah berubah. Biasanya pada pasiendialisis, rata-rata kadar Hb
meningkat secara stabil selama bertahun-tahun, dan kemudian mengalami
penurunan kembali sesuai dengan bukti baru yang menyarankan kadar target yang
lebih rendah. Kadar Hb bervariasi pada kondisi terapi yang sama, menunjukkan
bahwa perubahan yang terjadi persisten dan bergantung pada waktu dalam hal
respon terapi.1
Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi Hb dan eGFR
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
195 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
Pathogenesis Anemia pada penyakit ginjal kronik
Anemia pada pasien PGK merupakananemia normokromik normositik
terisolasi. Sumsum tulang yang normal memiliki kapasitas untuk mengkompensasi
pemendekan umur eritrosit akibat PGK. Namun, kompensasi peningkatan produksi
eritrosit yang diinduksi ESA terganggu pada pasien PGK. ESA secara normal
diproduksi oleh fibroblas interstisial pada korteks renalis, sel epitel tubulus dan
kapiler peritubuler. Hepatosit dan sel epitel perisinusoidal pada hati juga dapat
memproduksi ESA. Peranan produksi ESA renal pada patogenesis anemia renal
didukung oleh pengamatan bahwa anemia biasanya berat pada pasien anefrik.
Erythropoietin adalah suatu hormon glikoprotein yang terdiri dari 165 asam amino
protein penyangga dan 4 kompleks, rantai karbohidrat yang tersialylasi.
Erythropoietin menstimulasi produksi sel darah merah dengan mengikat reseptor
ESA homodimer, dimana umumnya terletak pada sel progenitor erythroid awal,
burst-forming units erythroid (BFU-e), dan colony-forming units erythroid (CFU-e).
Penghambatan produksi sel darah merah dengan inhibitor uremik eritropoiesis
mungkin berkontribusi dalam pathogenesis anemia renal, meskipun belum
teridentifikasi dengan baik. Dialisis dapat memperbaiki anemia renal dan efektivitas
ESA.1
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
196 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
Gambar 2. Kontrol eritropoieses
Penyebab anemia pada PGK multifaktorial. Gangguan produksi EPO
diperkirakan sebagai penyebab utama pathogenesis anemia pada PGK sehingga
pemberian terapi ESA diharapkan mampu mengatasi anemia. Namun 10-20%
pasien berespon buruk terhadap ESA sehingga diperkirakan selain defisiensi
eritropoietin juga terjadi gangguan hemostasis besi pada penderita PGK.
Pemendekan lama hidup eritrosit dan gangguan eritropoiesis oleh toksin uremik
juga berkontribusi terhadap anemia pada PGK.2
Hemostasis Besi
Besi merupakan unsur terbanyak ke empat pada kerak bumi. Besi
digunakan untuk sintesis DNA, sintesis hemoglobin untuk memproduksi eritrosit
dan proses biokimia lainnya. Besi yang terdapat ditubuh dapat berupa senyawa
besi fungsional (besi yang membentuk senyawa, misalnya hemoglobin, myoglobin,
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
197 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
enzim-enzim), besi cadangan (besi yang disimpan dan dipersiapkan bila masukan
besi berkurang, misalnya feritin serum dan hemosiderin), dan besi transpor (besi
yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi
dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya). Besi dalam tubuh akan selalu
berikatan dan tidak pernah dalam bentuk bebas karena besi bebas akan merusak
jaringan dan mempunyai sifat seperti radikal bebas yang dapat merusak membran
lipid, protein, dan asam nukleat yang mengakibatkan kematian sel.
Besi diabsorpsi di duodenum dan jejunum proksimal, dan proses
absorbsinya dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase luminal, mukosal, dan
korporeal. Proses besi dalam makanan kemudian diolah dan siap untuk diserap
disebut dengan fase luminal. Besi pada makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu
besi heme yang memiliki bioavailabilitas tinggi, absorbsinya tidak dipengaruhi oleh
bahan penghambat seperti misalnya serat, dan terdapat pada daging dan ikan dan
besi non heme yang memiliki bioavailabilitas rendah, absorbsinya dipengaruhi oleh
bahan penghambat, dan terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Asam lambung
melepaskan besi dari ikatannya dengan senyawa lain. Besi mengalami proses
reduksi oleh bantuan enzim ferricreductase yang mengubah Fe3+
menjadi Fe2+
yang siap untuk diserap.
Pada fase mukosal terjadi penyerapan besi dalam mukosa usus. Fe2+
masuk ke enterosit melewati membran apikal melalui divalent metal transporter 1
(DMT1). Dalam sel enterosit, besi dapat disimpan sebagai feritin serum atau
ditranspor ke plasma melalui membran basolateral. Besi yang akan dikeluarkan ke
sirkulasi dari membran basolateral akan melewati protein transmembran
feroportin.3
Fase terakhir adalah fase korporeal yang meliputi proses transportasi,
pengambilan besi untuk digunakan, dan penyimpanan besi. Setelah diabsorbsi,
besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk terikat transferrin dan menuju sistem
porta hepatik, yang merupakan tempat penyimpanan besi yang utama. Sel
hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 dan 2 (TfR1 dan
TfR2) dan disimpan dalam bentuk ferritin. Selain itu besi yang berikatan dengan
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
198 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
transferin akan dibawa ke sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah.
Sel darah merah yang sudah tua akan difagositosis makrofag pada sistem
retikuloendotelial.4
Gambar 3. Proses absorbsi besi di enterosit (Larson & Coyne, 2013)
Keterangan: DMT1; Divalent Metal Transporter 1.
Jumlah besi normal di dalam tubuh manusia 3-4 gram, paling banyak
dalam bentuk hemoglobin (2,5 gram), protein yang mengandung besi lainnya
seperti mioglobin, sitokrom, katalase (400 mg), terikat pada transferin (3-7 mg),
dan sisanya dalam bentuk cadangan besi feritin serum atau hemosiderin. 1-2
miligram besi diserap usus setiap harinya. Sedangkan 20-25 miligram besi
diperlukan setiap harinya untuk eritropoesis didapatkan dari besi di sistem
retikuloendotelial.5,6
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
199 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
Gambar 4. Penyerapan dan daur ulang besi di dalam tubuh (Janssen &
Swinkles , 2009)
Hepsidin saat ini merupakan kunci hemostasis besi.6 Hepsidin berinteraksi
dengan eksporter besi intraseluler yang disebut ferroportin. Melalui mekanisme
inilah hepsidin dapat mempengaruhi pengaturan besi sistemik. Hepsidin berperan
dalam keseimbangan besi dengan menginduksi internalisasi dan degradasi
feroportin, sebuah kanal ion di enterosit, makrofag, dan hepatosit. Degradasi
feroportin akan mengurangi absorpsi besi di enterosit dan mencegah pelepasan
besi dari sistem retikuloendotelial dan liver.
Pasien PGK yang menjalani HD akan mengalami keseimbangan besi
negatif, akibat hilangnya 1-3 gram besi per tahun akibat tertahannya darah pada
dialiser dan pengambilan darah berulang. Pemberian ESA juga akan mengurangi
kadar besi akibat stimulasi produksi sel darah merah.7 Selain itu, pada pasien PGK
terjadi gangguan penyerapan besi. Uji coba terkontrol acak menunjukkan besi oral
tidak lebih baik dibandingkan placebo dalam mengatasi defisiensi besi pada
penderita yang menjalani HD.8
Gangguan besi pada penderita PGK dapat disebabkan oleh defisiensi besi
absolut yang ditandai oleh rendahnya saturasi transferin dan feritin serum, yang
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
200 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
dapat diterapi menggunakan besi. Namun pada penderita PGK juga dapat terjadi
defisiensi besi fungsional yang ditandai dengan rendahnya kadar besi di sirkulasi
walaupun cadangan besi adekuat bahkan meningkat, sehingga terjadi hambatan
proses eritropoiesis. Tertahannya besi di sistem retikuloendotelial adalah
karakteristik dari anemia pada inflamasi atau yang lebih dikenal dengan nama
anemia penyakit kronis yang juga terjadi pada penderita penyakit autoimun, infeksi
kronis, dan keganasan.9 Penelitian terbaru menunjukkan gangguan penyerapan
besi di usus dan gangguan pelepasan cadangan besi pada paien PGK terjadi
karena berlebihnya hormon hepsidin yang mengatur regulasi besi.10,11
Petanda zat besi pada penderita PGK
Anemia merupakan salah satu gejala utama pada pasien PGK. Anemia
pada pasien PGK umumnya disebabkan oleh defisiensi ESA, namun dapat juga
terjadi defisiensi besi pada pasien PGK. Defisiensi besi absolut pada penderita
PGK dapat disebabkan oleh kurangnya diet, berkurangnya penyerapan besi di
usus, dan pendarahan. Pada National Health and Nutrition Examination Survey IV
didapatkan 50% pasien PGK stadium II-V menderita anemia defisiensi besi absolut
atau fungsional. Anemia defisiensi besi absolut pada penderita PGK pradialisis
didefinisikan sebagai saturasi transferin <20% atau serum feritin <100 ng/ml,
sedangkan anemia defisiensi besi fungsional didefinisikan sebagai saturasi
transferin <20% atau serum feritin ≥100 ng/ml. Menentukan defisiensi besi pada
penderita PGK dialisis lebih sulit dibandingkan dengan populasi orang sehat.
Pemeriksaan feritin serum penting dilakukan untuk memonitor defisiensi besi.
Berkurangnya besi serum akan mengakibatkan kelelahan, penurunan kualitas
hidup, dan gangguan kardiovaskular seperti hipertropi ventrikel kiri, penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan gagal jantung kongestif.
Hepsidin
Hepsidin merupakan peptida kation berukuran kecil yang mengandung
banyak cystein. Park dkk tahun 2001 menemukan peptida ini di dalam urine dan
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
201 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
diberi nama hepsidin (hepatic bactericidal protein).12
Hepsidin diproduksi di liver
dan dalam jumlah kecil di berbagai organ seperti ginjal, jantung, otot lurik, otak,
paru, lambung, dan pancreas.13. Produksi hepsidin dipengaruhi oleh kadar besi,
kebutuhan eritropoiesis, hipoksia, dan inflamasi. Pemberian besi meningkatkan
produksi hepsidin dan memberikan efek berupa penurunan absorpsi besi pada
usus. Sedangkan kondisi anemia dan hipoksia menurunkan ekspresi hepsidin
sehingga meningkatkan penyerapan besi pada enterosit.12,13
Hepsidin disintesis di liver dalam bentuk 84-asam amino preprohepsidin,
yang kemudian dipotong oleh peptidase menjadi 60-asam amino prohepsidin yang
kemudian dipecah menjadi 25-asam amino hepsidin. Hepsidin 25 merupakan
bentuk bioaktif hepsidin. Fraksi ekskresi dari hepsidin adalah 3-5%. Hepsidin
difiltrasi oleh ginjal dan kemudian direabsorpsi kembali. Di sirkulasi hepsidin
berikatan dengan α-2 makroglobulin. Diperkirakan 89% dari hepsidin berikatan
dengan protein.13,14
Regulasi hepsidin dalam tubuh manusia ternyata mengalami berbagai
proses fisiologis dan patologis mempengaruhi sintesis hepsidin. Penurunan kadar
hepsidin akan menyebakan peningkatan pelepasan besi ke sirkulasi dan
peningkatan absorpsi besi di usus.15
Infeksi dan inflamasi akan menyababkan
peningkatan sintesis hepsidin yang akan menyebabkan penurunan penyerapan
besi di usus dan penurunan pelepasan besi ke sirkulasi yang merupakan
karakteristik dari anemia penyakit kronis. Kadar hepsidin dipegaruhi oleh status
besi, aktivitas eritropoiesis, hipoksia, dan inflamasi.9
Regulasi hepsidin oleh hipoksia pada penelitian in vivo menunjukkan
penurunan kadar hepsidin akibat hipoksia.16
Penurunan kadar hepsidin ini
merupakan efek dari hipoksia terhadap ekspresi eritropoietin melalui reseptor
hepsidin di hepatosit.17
Selain itu penurunan konsentrasi hepsidin sebagai respon
terhadap hipoksia juga dikaitkan dengan hipoxia inducible factor-1 (HIF-1) yang
merupakan efek dari sinyal BMP/SMAD.18
Regulasi hepsidin oleh inflamasi terjadi peningkatan kadar hepsidin
sehingga besi terperangkap di sistem retikuloendotelial, khas pada anemia akibat
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
202 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
penyakit kronis.19. Regulasi hepsidin oleh sinyal eritropoiesis dapat dilihat
padapemberian ESA akan menurunkan produksi hepsidin di liver pada murine,
manusia, dan secara in vitro. Proses eritropoiesis akan memerlukan besi sehingga
akan terjadi penekanan produksi hepsidin oleh liver. 10,11
Gambar 5. Jalur molekular sintesis hepsidin oleh hepatosit (Swinkles &
Fleming, 2011)
Keterangan: BMP/SMAD, bone morphogenic protein/SMAD; BMP6, bone
morphogenic protein 6; MAPK, mitogen-activated protein kinase; Fe, ferrous;
HAMP, Hepcidin Antimicrobial Peptide; HFE, hemochromatosis iron protein; HJV,
hemojuvelin; TfR, Transferrin receptor
Dua sinyal besi yang berpengaruh terhadap produksi hepsidin adalah besi
intraseluler (Fe) dan besi di sirkulasi (Tf-Fe2). Cadangan besi intraseluler akan
meningkatkan ekspresi BMP6 yang akan berperan secara autokrin dengan cara
berinteraksi dengan bone morphogenic protein 6 receptor (BMPR) di permukaan
sel.
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
203 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
3. Kadar hepsidin dan anemia pada PGK
Ginjal terlibat dalam metabolisme besi. Hepsidin dapat ditemukan dalam
urine dan darah. Penelitian Kulaksiz dkk tahun 2004 menunjukkan selain liver,
ginjal juga berperan dalam produksi hepsidin dan merupakan tempat eksresi
hepsidin. Ginjal merupakan rute utama dalam klirens hepsidin. Hepsidin serum
ditemukan meningkat pada penderita gagal ginjal dibandingkan dengan orang
sehat.9,10
Berdasarkan pemeriksaan imunnoassay, diketahui bahwa kadar hepsidin
meningkat pada penderita PGK dan berkorelasi terbalik dengan LFG sehingga
menunjukkan bahwa bersihan ginjal berperan dalam peningkatan hepsidin.10,11
Jumlah cadangan besi yang adekuat merupakan hal yang mendasar untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dari terapi ESA. Kebutuhan akan besi akan
semakin meningkat seiring dengan diberikannya terapi ESA. Sebelum
ditemukannya ESA, terapi anemia pada penderita PGK diberikan melalui transfusi
darah yang menyebabkan kelebihan besi akibat transfusi berulang. Namun seiring
dengan terapi ESA, kelebihan besi menjadi hal yang jarang terjadi dibandingkan
dengan kekurangan besi. Kekurangan besi menyebabkan gangguan terhadap
respon ESA.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penderita PGK juga mengalami
defisiensi besi fungsional dimana saturasi transferin < 20 %, namun feritin serum
dalam batas normal atau meningkat (antara 100-800 ng/ml). Hal ini menunjukkan
terdapat hambatan dalam penggunaan besi akibat inflamasi. Menegakkan
diagnosis defisiensi besi absolut dan fungsional pada penderita dengan inflamasi
akut dan kronik merupakan hal yang menarik karena marker biokimia metabolisme
besi dipengaruhi oleh acute phase reaction.
Anemia pada pasien PGK mengalami perburukan seiring dengan
penurunan progresif fungsi ginjal dan berkurangnya ESA. Penyebab anemia
lainnya adalah menurunnya lama hidup eritrosit, pendarahan, defisiensi besi dan
nutrisi lainnya, hemolisis, dan peningkatan stres oksidatif. Pasien PGK mengalami
inflamasi kronik akibat peningkatan insiden infeksi, uremia, peningkatan sitokin pro
inflamasi, dan aterosklerosis luas. Dialisat yang tidak murni, bioinkompabilitas
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
204 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
membran dialisis, dan infeksi adalah faktor lain yang berperan dalam inflamasi
kronis pada pasiena PGK. Penurunan fungsi ginjal memperburuk respon inflamasi
akibat berkurangnya ekskresi faktor-faktor yang berhubungan dengan inflamasi.
Serum C-reactive protein (CRP) dan IL-6 berkorelasi negatif terhadap LFG.
Interaksi antara sitokin pro inflamasi dan hepsidin yang menyebabkan defisiensi
besi fungsional menjelaskan tingginya feritin serum, ganguan absorpsi besi, dan
gangguan pelepasan besi oleh makrofag pada pasien PGK.7
Gambar 6. Peranan hepsidin pada anemia PGK (Malyszko & Mysliwiec, 2007)
Keterangan: PGK,penyakit ginjal kronis; IL-6, interleukin-6; IFN-γ, interferon-
γ; TNF-α, interferon-α; EPO, eritropoietin
Penelitian oleh Ali dkk tahun 2014 menunjukkan hepsidin serum dan feritin
serum secara signifikan lebih tinggi pada penderita PGK dibandingkan kontrol, dan
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
205 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
pasien PGK yang telah menjalani dialisis memiliki kadar hepsidin yang juga lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien PGK tanpa hemodialisis.20
Hepsidin merupakan acute phase reactan yang kadarnya meningkat pada
kondisi inflamasi. Beberapa petanda inflamasi lain yang juga meningkat pada
pasien PGK adalah high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) dan laju endap
darah (LED). Terdapat peningkatan hs-CRP dan LED seiring dengan peningkatan
stadium PGK. hs-CRP meningkat dari 0,46 pada PGK stadium I menjadi 2,46 pada
stadium IV dan LED meningkat dari 16 pada PGK stadium I menjadi 49,5 pada
PGK stadium IV.21
Ringkasan
Etiopatogenesis anemia pada PGK adalah multifaktorial. Penyebab utama
patogenesis anemia pada PGK adalah defisiensi ESA akibat dari berkurangnya
massa ginjal. Faktor penyebab lain yang juga berperanan adalah defisiensi zat
besi, pemendekan lama hidup eritrosit, hemolysis, intake yang menurun, gangguan
eritropoiesis oleh toksin uremik, perdarahan kronis termasuk akibat proses
hemodialysis dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Defisiensi zat besi dapat berupa defisiensi besi absolut dan defisiensi besi
fungsional, yang dalam hal ini sangat berperan hormon hepcidin terutama akibat
inflamasi.
Daftar Pustaka 1. Macdougal, IC dan Eckardt, KI. 2015. Anemia in Chronic Kidney Disease. In:
Jhonson RJ, Feehellly J, Floege J. editors. Comprehensive Clinical Nephrology, 5h ed. Elseiver Saunders; China: p. 967-974.
2. Szczech, L., Barnhart, HX., Inrig, JK., Reddan, DN., Sapp, S., Califf, RM., Patel, UD., Singh, AK. 2008. Secondary analysis of the CHOIR trial epoetin-a dose and achieved hemoglobin outcomes. Kidney International, 74, 791–798.
3. Larson, DS., Coyne, DW. 2013. Understanding and exploiting hepcidin as an indicator of anemia due to chronic kidney disease. Kidney Res Clin Pract, 32(1),11–5.
PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV
206 Denpasar, 13-14 Oktober 2017
4. Peslova, G., Petrak, J., Kuzelova, K., Hrdy, I.,Halada, P., Kuchel PW., Shan, SL., Ponka, P., Sutak, R., Becker, E., Huang, ML., Rahmanto, YS., Richardson, DR., Vyoral, D. 2009. Hepcidin, the hormone of iron metabolism, is bound specifically to alpha-2-macroglobulin in blood. Blood, 113(24),6225–6236.
5. Roy CN. 2010. Anemia of Inflammation. Am Soc Hematol, 1, 276–80. 6. Hentze, MW., Muckenthaler, MU., Andrews, NC. 2004. Balancing acts,
molecular control of mammalian iron metabolism. Cell, 117(3),285–97. 7. Andrews NC. 2008. Forging a field, the golden age of iron biology. Blood,
112(2), 219–30. 8. Malyszko, J., Mysliwiec, M. 2007. Hepcidin in Anemia and Inflammation in
Chronic Kidney Disease. Kidney Blood Pres Res, 30, 15-30. 9. Macdougall, IC., Tucker, B., Thompson, J., Tomson, CRV., Baker, LRI., Raine,
AEG. 1996. A randomized controlled study of iron supplementation in patients treated with erythropoietin. Kidney International, 50, 1694—1699.
10. Weiss, G., Goodnough, LT. 2005. Anemia of Chronic Disease. The New England Journal of Medicine, 352(10), 1011-23.
11. Ashby, DR., Gale, DP., Busbridge, M., Murphy, KG., Duncan, ND., Cairns, TD., Taube, DH., Bloom, SR., Tam, FWK., Chapman, RS., Maxwell, PH., Choi, P. 2009. Plasma hepcidin levels are elevated but responsive to erythropoietin therapy in renal disease. Kidney Int, 75, 976–81.
12. Zaritsky, J., Young, B., Wang, HJ., Westerman, M., Olbina, G., Nemeth, E, Ganz, T., Rivera, S., Nissenson, AR., Salusky, IB. 2009. Hepcidin--a potential novel biomarker for iron status in chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol, 4, 1051–1056.
13. Pietrangelo, A., Dierssen, U., Valli, L., Garuti, C., Rump. A., Corradini, E., Ernst, M., Klein, C., Trautwein, C. 2007. STAT3 is required for IL-6-gp130-dependent activation of hepcidin in vivo. Gastroenterology, 132(1),294–300.
14. Kulaksiz, H., Gehrke SG., Janetzko, A., Rost, D., Bruckner, T., Kallinowski, B., Stremmel, W. 2004. Pro-hepcidin, expression and cell specific localisation in the liver and its regulation in hereditary haemochromatosis, chronic renal insufficiency, and renal anaemia.Gut, 53, 735-743.
15. Peslova, G., Petrak, J., Kuzelova, K., Hrdy, I.,Halada, P., Kuchel PW., Shan, SL., Ponka, P., Sutak, R., Becker, E., Huang, ML., Rahmanto, YS., Richardson, DR., Vyoral, D. 2009. Hepcidin, the hormone of iron metabolism, is bound specifically to alpha-2-macroglobulin in blood. Blood, 113(24),6225–6236
16. Young B, Zaritsky J. 2009. Hepcidin for clinicians. Clin J Am SocNephrol, 4,1384–7.
17. Nicolas, G., Chauvet, C., Viatte, L., Danan, JL., Bigard, X., Devaux I., Beaumont, C., Kahn, A., Vaulont, S. 2002. The gene encoding the iron regulatory peptide hepcidin is regulated by anemia, hypoxia, and inflammation. J Clin Invest, 110,1037–44.