Ancaman Obat Palsu

download Ancaman Obat Palsu

of 11

Transcript of Ancaman Obat Palsu

Ancaman Obat PalsuAncaman obat palsu sudah menjadi isu umum di kalangan farmasis, namun ironinya tidak ada respon signifikan dalam menangani. Menurut Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan data pemerintah menyebutkan bahwa 1 sampai 1,5% dari obatobat yang beredar merupakan obat palsu, bahkan WHO memperkirakan 10% dari total obat di Indonesia adalah obat palsu. ini adalah indikasi bahwa persaingan tidak sehat mewarnai dunia kefarmasian/perapotekan di negeri kita. Beberapa pihak terutama pemerintah dan komunitas farmasis memiliki tanggung-jawab untuk merespon masalah ini dengan serius. Ancaman yang disebarkan obat palsu merambah ke banyak aspek mulai dari kerugian pasien, image produk, ekonomi, dan yang paling parah adalah kredibilitas perapotekan di Indonesia. Belum seriusnya pemerintah dalam mensosialisasikan obat-obat generik terutama generik berlogo adalah penyebab masalah obat palsu yang paling mempengaruhi. Suatu merek obat boleh jadi memiliki tingkat popularitas yang tinggi di mata masyarakat di antara merek-merek obat lain meskipun mempunyai kandungan dan kadar yang sama. Popularitas suatu merek obat merupakan faktor pemicu pemalsuan produk obat sebab pada umumnya merek-merek tersebut memiliki harga tinggi dimana pemalsuan merek menjanjikan profit yang cukup signifikan. Selain itu, fakta tentang kerjasama kalangan industri farmasi dengan sebagian kalangan dokter dalam hal penulisan resep dengan obat bermerek tertentu juga ikut berkontribusi memicu kehadiran obat-obat palsu. Kalangan apoteker paling bertanggung-jawab karena mengkondisikan maraknya penyebaran obat palsu. Fakta tentang minimnya persentase kehadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak adanya kontrol terhadap pihak pemegang modal apotek yang tergiur dengan keuntungan besar yang instan. Tidak perlu analisis yang sangat tajam dalam meredam penyebaran obat palsu. Sosialisasi penggunaan obat generik berlogo, pengendalian usaha-usaha pemasaran obat yang melibatkan dokter, serta komitmen para farmasis dalam andil memantau kegiatan para pebisnis apotek, hal-hal tersebut sudah mampu melumpuhkan penyebaran obat palsu di nusantara.

Memerangi Obat Palsu secara Tepat

Isu pemalsuan obat kembali mengemuka setelah Kepala Badan POM Husniah Rubiana Thamrin Akib mengutarakannya, seusai membuka the 1st ASEAN-China Conference and Combating Counterfei Medical Products di Jakarta, Selasa (13/11). Pengungkapan ini menunjukkan pemalsuan obat telah menjadi masalah serius hingga penanganannya mesti melibatkan aparat hukum, kerja sama antarnegara, serta mengingatkan konsumen tentang bahaya obat palsu. Lebih dari itu, pemberantasan obat palsu juga harus dikaitkan dengan harga obat asli yang semakin mahal. Kepala Badan POM menyebut salah satu penyebab maraknya peredaran obat palsu adalah karena pemalsuan obat dikategorikan sebagai tindak pidana tidak penting. Pengkategorian ini

berdampak terhadap peringkat perhatian aparat penegak hukum dan bobot pengenaan hukuman terhadap mereka yang terlibat. Pada akhirnya, para pengedar, dalam hal ini penjual, tidak takut terhadap penjeraan yang diberlakukan aparat penegak hukum. Kita menilai aparat penegak hukum memang sudah harus mengubah persepsi terhadap pemalsuan obat ini. Hukuman yang dijatuhkan mesti lebih berat hingga para penjual atau pihak lain yang terlibat menjadi jera. Perubahan mesti dilakukan sebab dampak penggunaan obat palsu sangat membahayakan kesehatan konsumen. Perubahan juga perlu dilakukan sebab jumlah obat palsu yang diselundupkan diperkirakan meningkat. Hal ini didasarkan kepada jumlah obat-obat palsu yang disita. Selain itu, penyebaran obat palsu itu tidak hanya pada satu kota atau satu pulau saja, tetapi juga dalam cakupan yang lebih luas. Sebagian besar obat palsu itu diduga berasal dari China, atas dasar itu Indonesia bersama anggota ASEAN lainnya membangun kerja sama dengan China buat saling berbagi informasi, pengalaman, serta mengintensifkan pemberantasan obat-obat palsu. Peredaran obat palsu di Indonesia selain disebabkan kelemahan pada pemahaman konsumen dan sektor hukum, juga berkait erat dengan mahalnya harga obat asli. Obat-obat palsu itu, sebagian besar, dijual dengan harga lebih murah hingga konsumen terkecoh. Dengan demikian, memerangi peredaran obat palsu juga harus memperhitungkan aspek bisnis. Harga obat di Indonesia tergolong mahal karena bahan baku baku umumnya diimpor, biaya distribusi terus membengkak dan melambung, persaingan perusahaan farmasi, serta kolusi antara perusahaan farmasi dengan apotek dan dokter. Pola ini telah berlangsung belasan tahun hingga problemnya sudah berurat berakar. Harga obat yang mahal di pasaran juga diakibatkan persaingan antarperusahaan farmasi supaya produknya digunakan konsumen. Persaingan ini menyebabkan biaya distribusi plus diskon, gratifikasi kepada dokter atau apotik menjadi meningkat, hingga lebih dari 30%. Segala biaya itu kemudian dibebankan kepada konsumen. Konsumen yang tidak memahami atau berada dalam kedudukan yang lemah umumnya bersedia menerima begitu saja harga obat yang terlalu mahal atau jenis obat yang terlalu banyak. Kondisi ini sama saja dengan keharusan me-rontgen dengkulnya walaupun pihak yang memutuskan mengetahui bahwa pasien cuma mengalami sakit bisul. Dalam situasi ini, selayaknya jika konsumen telah memahami hak dan kewajibannya, sedangkan asisten apoteker atau dokter berpegang kepada etika dan hati nuraninya..Namun tampaknya, susah untuk mendapatkan kondisi yang serbaharmonis tersebut karena dorongan komersial begitu kuat. Oleh sebab itu, untuk mengatasi peredaran obat palsu, tidak ada jalan selain meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya obat palsu. Pada pihak lain, kampanye penggunaan penggunaan obat generik mesti ditingkatkan dengan menerapkan antara lain harga yang rasional.KabarIndonesia - Maraknya Peredaran obat palsu di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Perdagangan obat palsu di Indonesia sekitar 10% dari perdagangan obat di tanah air yaitu sebesar 3 triliun rupiah pertahunnya dan menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa tahun lalu cukup memprihatinkan. Dari segi kuantitas obat palsu yg beredar di Eropa, Indonesia merupakan sumber obat palsu terbesar dan bukan dari Cina. Jakarta yang disebut-sebut sebagai basis terbesar dalam peredaran obat palsu disebabkan oleh banyaknya toko obat yg tidak mempunyai izin. Tercatat 396 toko obat di DKI Jakarta yg tidak mempunyai izin. Dampak negatif dari peredaran tersebut, seseorang bisa kebal terhadap obat dikarenakan kadar antibiotiknya substandar dan bisa menyebabkan kematian. Menurut data World Health Organization (WHO) angka kematian yg disebabkan oleh obat palsu sudah puluhan ribu orang dan bisa meningkat menjadi 200.000 orang/tahun jika produsen obat palsu tidak segera diberantas. Berdasarkan dari data-data yg terkumpul membuat kekhawatiran PT K-24 Indonesia akan maraknya peredaran tersebut. PT K24 merupakan apotek-jaringan (Networking Pharmacy) di seluruh Indonesia. Bertempat di Jl. Balai Pustaka Timur No.16 Rawamangun, Jakarta Timur pada tgl. 8 November 2007, Apotek K-24 mendeklarasikan Apotek K-24 Perangi Obat Palsu. Menurut dr. Gideon Hartono selaku Direktur Utama K-24 Indonesia mengatakan bahwa ini adalah satu bentuk perhatian Apotek K-24 dalam memerangi obat palsu. Pada deklarasi ini juga ditanda tangani oleh segenap Pemilik Sarana Apotek (PSA) K-24, Apoteker Pemilik Apotek (APA) K-24, dan didukung oleh Supllier/Pabrik Besar Farmasi (PBF) yang menyuplai obatobatan untuk Apotek K-24.

Rangkaian kegiatan dalam aksi ini di antaranya, pemusnahan obat kadaluwarsa, pemasangan stiker Apotik K-24 Hanya Jual Obat Asli , penyebaran brosur tentang tips menghindari obat palsu dan konsultasi gratis dengan apoteker mengenai obat palsu di setiap gerai Apotek K-24.

Fenomena peredaran obat palsu di Indonesia bukan barang aneh lagi. Selain merugikan industri farmasi produsen obat yang dipalsukan, komposisi obat palsu yang beredar di masyarakat juga sangat membahayakan. Bayangkan jika yang dipalsukan itu obat untuk menyembuhkan penyakit degeneratif, tentunya hal itu akan sangat berbahaya. Bukan hanya penyakit degeneratif, beberapa produk obat yang digunakan untuk tujuan tertentu juga banyak disalahgunakan dan dipalsukan karena tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Contohnya adalah obat peningkat gairah seksual pria. Berdasarkan jenis obat dan jumlahnya, obat palsu dapat dikelompokkan menjadi enam kategori. Mulai dari kategori produk tanpa bahan aktif, produk dengan jumlah bahan aktif yang tidak tepat, produk dengan bahan aktif tidak benar. Selain itu, produk dengan jumlah bahan aktif yang benar tetapi dengan kemasan palsu, meniru produk asli, dan produk dengan bahan tidak layak dan kontaminan. Beberapa alasan mengapa obat palsu marak, salah satunya karena tidak ada kebijakan yang jelas tentang pemberantasan peredarannya. Lihat saja beberapa lokasi di kawasan Ibu Kota yang secara gamblang memperdagangkan obat palsu berbagai merek. "Dengan dipalsukan, biaya pengobatan dapat ditekan karena bahan aktif bisa diganti atau dikurangi. Jelas ini sangat berbahaya bagi pasien atau pengguna obat merek tertentu," ujar Wimpie Pangkahila, androlog dan seksolog FK Universitas Udayana-RS Sanglah Denpasar. Akibatnya, pasien atau pengguna obat palsu ini akan mengalami gejala yang bisa berupa keluhan penyakit tidak sembuh dan terjadi resistensi kuman karena penggunaan antibiotika dengan dosis yang tidak tepat. Selain itu, bisa juga terjadi efek samping yang membahayakan kalau obat palsu dicampur atau tercemar bahan toksik karena lokasi yang digunakan untuk meramu dan mengemas obat palsu tidak bisa dijamin kebersihannya. Dampak yang terburuk adalah kematian karena penyakit tidak mendapat pengobatan yang tepat. Menurut Wimpie, beberapa produk palsu ternyata mengandung bahan berbahaya. Misalnya, kandungan merkuri pada krim kecantikan yang bisa berpengaruh pada sistem syaraf. Selain merkuri, kandungan deksametason di dalam jamu penggemuk bisa berpengaruh pada penimbunan cairan dalam tubuh yang dapat menimbulkan risiko hipertensi dan

diabetes. Untuk peredaran obat palsu dengan tujuan untuk meningkatkan gairah seks pria, muncul juga beberapa efek samping lain, baik medis maupun nonmedis. Misalnya pemalsuan obat pil biru atau obat kuat dengan merek dagang Viagra yang marak terjadi di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Peredaran dan perdagangan obat antidisfungsi ereksi ini dianggap meresahkan. Selain tidak memberikan efektivitas yang berarti bagi penggunanya, obat palsu jenis ini juga akan memberikan efek medis yang mengancam jiwa penggunanya. Menurut 30% responden yang dimintai keterangan dalam survei PT Pfizer Indonesia, efek samping yang mungkin timbul karena mengonsumsi obat antidisfungsi ereksi palsu adalah jantung berdebar (41%), kerusakan organ tubuh (33%), memicu timbulnya penyakit (21%), kematian (8%), ketergantungan (1%), dan keracunan (1%). Menurut survei itu, beberapa alasan pasien lebih memilih pil biru palsu karena mudah ditemukan di pasaran dan lebih murah. Selain itu, membeli obat asli harus dengan resep dokter, sementara mereka merasa malu dengan keluhan mereka seputar masalah disfungsi ereksi. Padahal, ada beberapa di antara obat palsu tersebut tidak selalu berharga lebih murah karena adanya anggapan orang tertentu yang menyebutkan bahwa obat yang melulu berharga mahal selalu paling manjur. Menurut Wimpie, membiarkan beredarnya obat palsu sama saja dengan membiarkan masyarakat menghadapi berbagai risiko akibat buruk, membiarkan kejahatan berkembang di masyarakat, dan merendahkan kepercayaan, martabat, serta harga diri bangsa di mata dunia internasional. Oleh karena itu, menurut Wimpie, beberapa tindakan perlu dilakukan, di antaranya memperketat regulasi yang berkaitan dengan obat. Selain itu menerapkan hukum yang berlaku secara konsisten terhadap siapa pun yang terlibat dalam produksi, impor, dan peredaran obat palsu. TEMPO Interaktif, Jakarta:Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) selama kurun Januari-Juni 2005 berhasil menemukan 14 jenis obat palsu yang beredar di pasar domestik. Jumlah ini meningkat pesat dibanding tahun lalu yang hanya 6 item obat palsu. Obat-obatan tersebut adalah Amoksan kapsul, Broadced, Cefat 500 kapsul, Clacef injeksi, Daonil tablet, Dextamin tablet, Engerix B Vaksin, Fansidar tablet, Infanrix vaksin, Kalfoxin injeksi, Obat tetes mata cap Mata Alami, Ponstan kaplet, Taxegram injeksi, dan Triacef injeksi.

Menurut Kepala BPOM Sampurno, obat-obatan palsu tersebut umumnya berasal dari pasar gelap yang beredar di toko-toko atau warung. Kami menyarankan masyarakat membeli obat di apotik, karena sudah jelas jalurnya dan tercatat dengan cermat,ujarnya. Obat-obatan palsu itu dijual dengan harga yang lebih murah dibanding obat yang dijual lewat jalur resmi. Obat-obatan palsu itu umumnya berupa obat-obatan yang laris, untuk penyakit kronis, dan gaya hidup. Tapi belum dapat diidentifikasi secara jelas siapa yang memasok obat palsu di pasar gelap,kata Sampurno. Untuk membasmi jaringan penjualan obat palsu itu, BPOM, terus melakukan investigasi insentif. Selain itu BPOM juga telah menerbitkan kebijakan yang mewajibkan setiap importir bahan baku obat untuk memperoleh persetujuan dari BPOM. Sampurno memastikan kebijakan ini bukan bertujuan mempersulit proses perizinan tapi untuk mencegah penyalahgunaan bahan baku obat yang diimpor. Salah satu modus yang digunakan pemalsu adalah memanfaatkan kelebihan impor bahan baku untuk membuat obat. Sampurno minta agar hukuman untuk pemalsu obat diperberat, karena tidak hanya menimbulkan kerugian finansial tapi juga membahayakan kesehatan masyarakat. Sanksi yang diberikan paling lama enam bulan penjara, harusnya pelanggar dihukum lebih berat, ujarnya. Kepala Bidang Industri Gabungan Perusahaan Farmasi, Ferry A. Soetikno mendesak pemerintah bersama-sama menegakkan peraturan di bidang obat-obatan. Sebab menurutnya pemalsuan obat ini disamping merugikan perekonomian juga merugikan masyarakat. Apoteker, Tanpa Akhlakul Karimah Bahaya 16/09/2008 08:55:03 YOGYA (KR) Apoteker selain cerdas dalam menjalankan profesinya juga harus memiliki akhlakul karimah, karena mempunyai otoritas untuk mengedarkan narkotika dan psikotropika. Kalau tidak mempunyai akhlak yang mulia, sangat berbahaya, karena itu moralitas dan integritas sebagai apoteker betul-betul harus dijaga, sehingga pekerjaan kefarmasian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Demikian dikemukaan Ketua Pengurus Daerah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) DIY Nunut Rubiyanto seusai menyaksikan pengambilan sumpah apoteker baru lulusan Program Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA) UII, Sabtu (13/9) di Auditorium Kahar Muzakir UII di Kampus Terpadu Jalan Kaliurang Km 14,5 Sleman. Acara dihadiri Dekan dan Wakil Dekan FMIPA UII, Ketua Program Profesi Apoteker UII dan staf, Direktur Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Dr HM Muslich Ks MAg. Dilaporkan oleh Wakil Dekan FMIPA UII Syaifuddin Apt, apoteker yang dilantik 116 orang, 54 dengan predikat cum laude, 52 sangat memuaskan, 8 memuaskan dan 2 cukup memuaskan. Dalam kesempatan tersebut Rektor UII Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc mengatakan, dengan pengambilan sumpah tersebut maka apoteker yang berhasil menyelesaikan

program pendidikan profesi apoteker menjadi 818 orang. Lulusan terbaik angkatan XII ini Afrina Ikasari (Klaten) dengan IPK 3,94. Profesi apoteker merupakan profesi yang demikian penting dalam upaya menjaga dan menjamin kualitas hidup masyarakat. Melalui para apoteker distribusi obat secara tepat dilakukan. Melalui tangan apoteker pula jaminan keamanan masyarakat dapat dipenuhi. Untuk itu, mencetak apoteker yang andal, paham dengan tugasnya dan kewajibannya, serta memiliki integritas merupakan sebuah keniscayaan. UII tentu saja akan senantiasa mengupayakan pola pendidikan profesi yang berkualitas, mampu melahirkan apoteker mumpuni, profesional dan bertanggung jawab, ujar Prof Edy. Menurut Rektor UII, harus diakui berbagai pemberitaan terkait profesi apoteker dan profesi di sekitarnya banyak menghiasi media massa beberapa waktu terakhir ini. Mulai dari kompetensi apoteker, peredaran obat palsu yang meresahkan. Menurut WHO obat palsu itu, obat yang sengaja dipalsukan, baik identitas maupun sumbernya. Caranya mulai dari membuat obat tanpa zat aktif, mengurangi kadar zat aktif atau menambah zat aktif. (Asp)-k

Hati-hati Obat PaLSuMarch 27th, 2007 by muphied

Setiap tahun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan banyak obat palsu yang beredar di pasaran Indonesia. Ada 5-10 persen obat yang ternyata palsu. Ini jelas membahayakan masyarakat sebagai konsumen kesehatan, terutama dalam produk obat-obatan. Karena itu, penyadaran masyarakatuntuk meningkatkan kewaspadaan terhadap obat palsu terus digaungkan. Selain membahayakan kesehatan, obat palsu juga merugikan konsumen secara ekonomis. Upaya penyadaran ini terus dilakukan Apotek Guardian lewat tema Serupa Belum Tentu Sama - Hanya Obat yang Asli yang Manjur. Kegiatan ini mengacu pada imbauan organisasi kesehatan dunia (WHO) dan BPOM. Kita sangat sulit membedakan mana obat yang asli, mana yang palsu. Tapi, ketika kita menelitinya di laboratorium barulah kita tahu. Karena itu, masyarakat perlu mendapatkan dukungan informasi dari para pelaku industri farmasi sehingga terhindar dari bahaya mengonsumsi obat palsu, ujar Manajer Umum Guardian, Kaniya Undriyani, ketika melangsungkan kampanyenya di salah satu gerai Guardian di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berdasarkan peraturan, semua produk obat yang beredar di pasaran wajib diregistrasi BPOM. Produk tersebut harus melalui tahapan evaluasi BPOM seperti aspek keamanan,

kualitas, dan kemanfaatan produk, serta mendapatkan izin edar melalui perolehan nomor registrasi. BPOM juga mewajibkan produk obat untuk memenuhi ketentuan label yang berlaku. Label harus memberikan informasi yang benar, obyektif, lengkap, dan tak menyesatkan kepada konsumen sesuai dengan aspek perlindungan konsumen. Saat ini di pasaran dikenal dua golongan obat. Jenis obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan obat yang diperoleh khusus dengan resep dokter (ethical). Baik obat ethical maupun obat tanpa resep dokter dapat diperoleh dengan nama dagang (merek) dan nama generiknya. Kecenderungan saat ini, masyarakat mulai sadar dengan kesehatannya. Karena itu, kami perlu memenuhi tuntutannya dengan melengkapi semua produk kesehatan yang terjamin keasliannya. Di sinilah kami menempatkan posisi kami, sambung Kaniya. Dengan kampanye tersebut, dia menambahkan, masyarakat mampu mengetahui dan menyadari untuk mendapatkan obat yang asli. Ia mengimbau agar masyarakat membeli obat hanya dari apotek terkemuka serta gerai obat berlisensi yang memberikan jaminan keaslian obatnya. Untuk itu kami bekerjasama dengan berbagai pihak. Untuk menjamin keaslian obat yang dijual di gerai kami, kami juga memberlakukan perjanjian kerja sama yang mengharuskan pemasok menjamin keaslian produknya. Hanya pedagang besar farmasi (PBF) yang mendapatkan izin BPOM yang memasok produknya ke gerai kami,sambung Kaniya. NB:Matur Nuwun, syukron, terima kasih, thanks buat Tora UNTAg buletinnya, niy buletin tak up load di blog ku ya, ra?? Kemaren Rakernas ga dateng ya? sama sih udah semester lanjut, jadi ya.. Sukses terus ya. Category Pharmacy | No Comments

Pharmaceutical Care No Pharmacist No ServiceMarch 2nd, 2007 by muphied

Kalau membicarakan tentang Farmasis Indonesia, saat ini saya rasa kita masih belum benar-benar terjaga dari tidur kita karena banyak farmasis Indonesia(saya katakan banyak karena ada sebagian yang tidak) yang belum menyadari betul tugas dan kewajiban profesinya. Banyak sekali keluhan dari para farmasis mengenai posisinya yang sedikit tersisih di bidang kesehatan namun keluhan itu sayangnya tidak diimbangi dengan tindakan yang nyata.

Menurut Undang-Undang No 23/1992 tentang kesehatan, pekerjaan kefarmasian meliputi : Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, Pengamanan pengadaan, Penyimpanan dan distribusi obat, Pengelolaan obat, Pelayanan obat atas resep dokter, Pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dalam UU tsb jelas sekali disebutkan bahwa pelayanan obat atas resep dokter dan Pelayanan Informasi Obat merupakan pekerjaan kefarmasian. Namun fakta di lapangan dalam hal ini apotik dan rumah sakit, seringkali peran farmasis dipertanyakan fungsinya dalam upaya kesehatan pasien. Farmasis dalam hal ini apoteker, seringkali tidak melakukan pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat. Banyak sekali apoteker yang belum secara utuh menjalankan fungsinya tersebut bahkan hal ini mengakibatkan masyarakat awam/pasien kurang mengenal profesi farmasis, bahkan oleh para tenaga kesehatan sendiri farmasis masih dipandang sebelah mata Bila para farmasis di Indonesia masih tetap mempertahankan sikap dan tingkah lakunya yang sekarang dalam menjalankan keprofesiannya saya yakin, sampai kapanpun keprofesian kita(Farmasis) akan makin tersisih dalam dunia kesehatan, mungkin tidak benar-benar akan menghilang hanya saja benar-benar akan termarginalkan. Apalagi dengan posisi kepala BPOM yang saat ini diduduki oleh dokter, bila para farmasis apteker masih merasa nyaman dengan keadaan yang sekarang maka apoteker tidak akan memperoleh eksistensinya di dunia kesehatan. -Meskipun dalam hal ini peran para birokrat yang duduk di pemerintahan juga merupakan pengaruh utama mengapa sampai kursi kepala BPOM tersebut bisa sampai diduduki oleh dokter (hal tsb merupakan pertanyaan besar para farmasis Indonesia kepada Presiden SBY dan Menkes RI kita dr. Fadhilah Supari, M. Kes, mudah-mudahan Anda berdua tidak melakukan kesalahan dalam memetakan kekuasaan di bidang kesehatan)-. Pada awalnya memang Farmasis berperan untuk menyediakan, membuat dan mendistribusikan obat, kemudian berkembang fungsinya dalam hal farmasi klinis dan sekarang fungsi yang harus diberikan farmasis untuk pasien bertambah lagi yaitu PHARMACEUTICAL CARE-pelayanan kefarmasian. PC adalah bentuk layanan dan tanggung jawab profesi apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan pasien. Hal ini harus segera diproses oleh masing-masing farmasis dalam dirinya. Tentu saja tidak lantas instant tercapai. Semua butuh waktu, pengorbanan, persiapan, dan strategi. Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian yang kita berikan, kita pun harus benarbenar siap dalam kemapuan yang berarti kita harus menjadi Long Life Learner dalam ilmu-ilmu kefarmasian seperti farmakoterapi, farmakologi, mikrobiologi, farmasetika, toksikologi, dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu juga harus meningkatkan etika, ketrampilan, dan teknologi sebagai farmasis. Farmasis Indonesia tentu saja tidak bodoh, banyak sekali farmasis Indonesia yang memiliki kompetensi tinggi sebanding farmasis luar negeri. Hanya saja para Farmasis saat ini belum mau mempopulerkan dirinya dan masih lebih suka bersembunyai di balik meja daripada duduk manis berhadapan dengan pasien memberikan pelayanannya. Menjalankan Pharmacheutical Care semaksimal mungkin sehinggan benar-benar tercipta No Pharmacist No Service.

Kalaupun ada faktor lain dari rasa malu-malunya tadi sekali lagi masih kemajuan peran farmasis terbentur dengan pemerintah. Tidak ada ketegasan dari pemerintah mengenai peran farmasis terutama farmasis komunitas (baik RS maupun Apotek). Birokrat kita sayangnya tidak terlalu memperhatikan fungsi atau peran penting farmasis di dunia kesehatan. Perannya dalam pengkoreksian tindakan dokter dalam peresepan, misalnya kekurangtepatan dokter dalam dosis ataupun indikasi atau bisa juga tindak lanjut pemakaian obat yang telah diresepkan baik efek, gejala atau keluhan yang timbul akibat obat tersebut. Bahkan dalam satu RS terkadang masih banyak ditemui hanya memiliki satu apoteker yang fungsinya sama sekali belum diarahkan pada Pharmacheutical Care, Rumah sakit pun ternyata juga tidak terlalu menganggap penting peran tersebut karena memang dengan semakin sedikit tenaga farmasis maka pengeluaran pun lebih hemat selain itu juga tidak ada aturan pasti bahwa pasien berhak mendapatkan service dari apoteker/farmasis berupa Pharmaceutical Care. Sepertinya sekarang memang bukan saatnya lagi para Farmasis terbuai dalam mimpi indahnya, masuk kerja satu hari seminggu terima gaji dan merasa cukup. Mari bangun dari mimpi indah dan mulai menunjukkan kiprah kita agar benar-benar dapat mendukung langkah bangsa Menuju Indonesia Sehat 2010. Satu lagi ancaman Farmasis adalah AFTA, sangat dimungkinkan kelak pesaing-pesaing Farmasis Indonesia di dalam negeri kita sendiri adalah Farmasis-Farmasis Impor. Dan sayangnya Farmasis Indnesia memang harus berjuang dengan manuver-manuveryang berasal dari diri sendiri(namun tetap kompak dan serempak bersama Farmasis lainnya) karena untuk mengharapkan bantuan pemerintah sepertinya memang harus menunggu dulu sampai entah kapan, itu juga kalau pemerintah masih ingat sama Farmasis kalau sudah lupa maka kita harus mengingatkannya dan kalau pun sampai tidak tahu, berteriaklah beritahu merek bahwa kita ada dan Indonesia membutuhkan kita. Ingat bahwa kereta kesuksesan bukan untuk kita tunggu akan tetapi harus kita jemput, kalaupun sudah tertinggal tanpa kita tahu, maka kita harus mengejarnya.

Awas, Bahaya Obat Palsu!Seorang dokter senior di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta, berkisah. Salah seorang pasiennya yang mengidap hipertensi (tekanan darah tinggi) menebus resep di toko obat, bukan apotek. Namun, setelah minum obat yang diresepkan itu, tekanan darah si pasien belum juga turun. Kembalilah si pasien ke dokter senior itu. Sang dokter lalu menyarankan si pasien untuk membeli obat lagi di apotek. ''Setelah membeli obat di apotek, tekanan darahnya turun. Dan sejak itu, ia tak mau lagi membeli obat di toko obat. Untung ia belum terlambat periksa ke saya. Kalau terlambat, mungkin akan muncul komplikasi lain,'' kata dokter yang kini mendekati masa pensiun itu. Begitulah, obat palsu memang sangat merugikan dan bisa berakibat buruk bagi pasien. Bagi pasien yang memerlukan pengobatan jangka panjang, obat palsu bisa berakibat

sasaran pengobatan tidak tercapai. Misalnya saja, suatu obat dalam data statistik disebutkan bisa mengurangi serangan jantung sampai 25 persen atau mengurangi kemungkinan stroke hingga 30 persen. Namun karena obatnya palsu, target yang diharapkan itu tidak tercapai. Tak hanya itu, obat palsu juga bisa menimbulkan penyakit lain pada si pasien, misalnya alergi. Dan ini pernah terjadi beberapa tahun lalu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan membanjirnya pasien yang mengalami reaksi alergi pada selaput lendir. Kala itu, ada satu jenis obat yang sangat populer dan dipakai banyak orang. Tapi rupanya obat itu berisi bahan yang tidak semestinya sehingga timbullah wabah itu. Dan yang paling fatal, obat palsu juga bisa merenggut nyawa. Ini pula yang pernah terjadi di Amerika Serikat ketika satu merek obat kepala palsu menelan beberapa korban jiwa. Selain mengancam nyawa pemakainya, masih ada fakta lain mengenai obat palsu. Ia ternyata sangat sulit dibedakan dengan obat yang asli. ''Jangankan masyarakat awam, para dokter pun sulit membedakannya,'' ujar dr Kartono Muhammad, mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam lokakarya bertema Semaraknya Obat Palsu di Indonesia yang diadakan oleh Dewan Bisnis Amerika Serikat-ASEAN (DBAA) di Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurut Kartono, dokter biasanya hanya memberikan resep kepada pasien. Dalam hal ini, dokter tidak tahu apakah obat yang diberikan kepada pasiennya asli atau palsu. Apalagi dengan kemajuan teknologi percetakan dewasa ini, makin mudah bagi sindikat pemalsu obat untuk membuat kemasan yang sangat mirip dengan aslinya. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari tidak menyangkal banyaknya obat palsu yang beredar di Indonesia. Berbicara dalam pembukaan lokakarya itu, Menkes mengatakan, jumlah obat palsu yang beredar di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, peredaran obat palsu saat ini mencapai 10 persen dari total perdagangan obat di dunia. Tak hanya di negara berkembang Tak hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, obat palsu juga beredar di negara-negara maju. Di Amerika Serikat (AS), menurut Jeffrey Gren dari Departemen Perdagangan AS, perdagangan obat palsu telah menjadi masalah bersama dan terus meningkat. Badan Perdagangan Dunia menyebutkan, jenis-jenis obat yang dipalsukan di negara-negara maju antara lain jenis hormon, obat kanker, dan obat HIV/AIDS. Sementara di negara-negara berkembang umumnya obat malaria, TBC, juga HIV/AIDS. Di Indonesia sendiri, menurut Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Husniah Rubianah Thamrin Akib, dalam kurun waktu 1999-2006 BPOM menemukan 89 merek obat yang dipalsukan di pasar domestik. Obat-obat tersebut tergolong laku di pasaran. Sekadar ilustrasi, beberapa tahun lalu, petugas kepolisian meringkus dua anggota sindikat obat palsu di dua tempat berbeda di Jakarta. Salah seorang anggota sindikat yang

ditangkap itu mengaku menyimpan ribuan obat palsu di rumahnya. Sementara seorang tersangka lainnya diketahui memasok sejumlah obat palsu antara lain bermerek Dextamine (obat antialergi), Ponstan (penghilang rasa sakit), dan Skelan (obat antirematik). Dalam penggerebekan, polisi juga menemukan puluhan merek obat dalam kategori obat yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter. Dalam pandangan Kartono, masih tingginya peredaran obat palsu di Indonesia karena lemahnya kontrol dari pemerintah. Selain kontrol lemah, pemerintah juga tidak memperbaiki regulasi. Menurutnya, pola industri farmasi tidak dikelola dengan benar sehingga perkembangannya melebihi kebutuhan obat di Indonesia. Penegakan hukum dalam soal obat palsu ini, kata Kartono, juga sangat lemah. Ia mengaku tak pernah mendengar pemalsu obat dijatuhi hukuman penjara, meski sudah kena razia berkali-kali. ''Paling banter didenda beberapa ratus ribu,'' ucapnya. Padahal di India, katanya, pemerintah tengah mempersiapkan aturan hukuman mati bagi pemalsu obat. Pernyataan Kartono dibenarkan oleh Husniah. Husniah berpendapat, sanksi yang dijatuhkan pengadilan untuk pelaku pemalsuan obat, sangat ringan. Misalnya, hukuman percobaan selama dua bulan atau denda beberapa ratus ribu rupiah. Padahal, omzet penjualan obat palsu itu sangat besar. ''Sanksi yang ringan tidak menimbulkan efek jera.'' bur Sumber: admin