Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

41
1 KAJIAN KRITIS PASAL DEMI PASAL RUU KAMNAS VERSI RUU KEAMANAN NASIONAL YANG DIAJUKAN PRESIDEN KE DPR, 2012 (DRAFT KEMENHAN EDISI MARET 2011, tidak ada perubahan yang diajukan kedua kalinya ke DPR) DRAFT RUU KAMNAS 23 MEI 2012 IMPLIKASI CATATAN 1 2 3 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …… TAHUN ……… TENTANG KEAMANAN NASIONAL Melanggar Konstitusi UUD 1945, berpotensi dituntut uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Visi tentang suatu RUU harus merujuk pada Konstitusi, UUD 1945. Untuk mengatur masalah keamanan harus mengacu kepada UUD 1945 Bab XII Pasal 30 ayat (2), yang hanya mengenal Pertahanan Negara dan Keamanan Negara. Menimbang : a. Bahwa tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; Ditto dalam hal rujukan, yang seharusnya pada UUD 1945 Ps. 30. Acuan Konsideran Re: UU No 12 Tahun 2011 (Lampiran I bab 4 landasan filosofis, sosiologis, yuridis) Sistematika Ampres, Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional ini tidak sesuai aturan (Re: UU No.12/2011).

description

critikal review pasal demi pasal atas RUU kamnas. inilah yg menjadi alasan kenapa RUU Kamnas ditolak oleh semua elemen masyarakat sipil pro demokrasi.

Transcript of Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

Page 1: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

1

KAJIAN KRITIS PASAL DEMI PASAL RUU KAMNAS

VERSI RUU KEAMANAN NASIONAL YANG DIAJUKAN PRESIDEN KE DPR, 2012 (DRAFT KEMENHAN EDISI MARET 2011, tidak ada perubahan yang diajukan kedua kalinya ke DPR)

DRAFT RUU KAMNAS 23 MEI 2012

IMPLIKASI CATATAN

1 2 3 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …… TAHUN ……… TENTANG KEAMANAN NASIONAL

Melanggar Konstitusi UUD 1945, berpotensi dituntut uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Visi tentang suatu RUU harus merujuk pada Konstitusi, UUD 1945. Untuk mengatur masalah keamanan harus mengacu kepada UUD 1945 Bab XII Pasal 30 ayat (2), yang hanya mengenal Pertahanan Negara dan Keamanan Negara.

Menimbang : a. Bahwa tujuan nasional bangsa Indonesia

sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;

Ditto dalam hal rujukan, yang seharusnya pada UUD 1945 Ps. 30.

Acuan Konsideran Re: UU No 12 Tahun 2011 (Lampiran I bab 4 landasan filosofis, sosiologis, yuridis) Sistematika Ampres, Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional ini tidak sesuai aturan (Re: UU No.12/2011).

Page 2: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

2

b. Bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan nasional, pemerintah Indonesia pada dasarnya mengelola keamanan dan kesejahteraan nasional yang dilaksanakan melalui pembangunan nasional secara bertahap dan berlanjut;

Ditto Butir b tidak perlu dirumuskan, karena sudah dijabarkan dalam UUD 1945 Ps. 30. Untuk mewujudkan tujuan nasional dilaksanakan melalui pembangunan nasional secara bertahap dan berlanjut

c. Bahwa keamanan nasional merupakan syarat mutlak untuk keberlangsungan eksistensi bangsa dan negara Indonesia;

Ditto Butir c dihapus Tidak perlu dijadikan sebagai butir konsideran

d. Bahwa sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, negara dan bangsa Indonesia menghadapi berbagai ancaman yang dapat membahayakan kepentingan nasional;

Konsep tentang spektrum ancaman menjadi sangat luas, mudah disalahgunakan oleh kekuasaan.

Perjalanan bangsa Indonesia memang tidak lepas menghadapi berbagai bentuk ancaman, namun hingga saat ini dan ke depan, NKRI masih utuh Butir d sebaiknya dihapus

e. Bahwa letak dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan serta kemajemukan bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia dihadapkan kepada lingkungan strategis dan arus globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, informasi, dan transportasi yang dapat berdampak positif dan negatif terhadap kepentingan nasional;

Keduanya harus dipandang sebagai asset, bukan liability. Perspektif negatif akan menganggap perkembangan dunia dengan isu-isu demokrasi, keterbukaan, lingkungan hidup, gender, dan seterusnya sebagai “ancaman,” dan bukan berkah, sebagaimana arus utama (mainstream) peradaban dunia.

Konsekuensi logis dari geopolitik dan geostrategik Indonesia dan perkembangan ilpengtek yang mempunyai dampak positif maupun negatif. Penguatan instrumen perundang-undangan yang telah ada dihadapkan pada dampak negatif, bila perlu melalui revisi undang-undang yang ada dan bukan membuat undang-undang yang baru.

f. Bahwa dalam menyelenggarakan keamanan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada dirasakan perlu adanya harmonisasi dan sinkronisasi;

Berpotensi chaos peraturan, karena nomenklatur perundang-undangan tidak mengenal UU yang lebih tinggi untuk mengatur UU lainnya.

Harmonisasi dan sinkronisasi harus diwujudkan melalui penguatan/revisi UU yang telah ada Peraturan perundang-undangan yang sudah ada telah didasarkan pada UUD 1945.

g. Bahwa dalam mewujudkan stabilitas keamanan nasional, pengelolaan keamanan nasional harus dilaksanakan oleh seluruh perangkat negara dan komponen masyarakat melalui suatu pola penanggulangan ancaman secara terpadu, cepat, tepat, tuntas, dan terkoordinasi;

Cenderung kembali ke pola otoritarian, padahal manajemen negara modern justru ke arah diferensiasi dan spesialisasi.

Untuk menjamin keamanan negara (bukan keamanan nasional) dibutuhkan organisme negara yang sehat, yang memberdayakan segenap warga negaranya; bukan sebaliknya memandang warga negara sebagai ancaman. Harus dibuat UU Sistem Pertahanan dan Keamanan

Page 3: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

3

Rakyat Semesta sebagai unsur pendukung bagi pertahanan dan Keamanan Negara.

h. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu membentuk Undang-Undang tentang Keamanan Nasional;

Nihil Yang menjadi pertimbangan dimaksud tidak dapat dijadikan dasar pembentukan UU Kamnas Lebih relevan dilakukan perubahan untuk penguatan UU organik yang dalam implementasinya masih ditemukan kelemahan.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 20, Pasal

25 A, Pasal 27, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

UUD 1945 Pasal 25A : “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.

Yang menjadi rujukan dalam RUU ini, UUnya belum ada. Misalnya, amanah Pasal 25 A belum diwujudkan dalam sebuah UU. Seharusnya RUU yang menjabarkan Pasal 25 A UUD 1945 menjadi prioritas di dalam Prolegnas, bukan RUU Kamnas.

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

Potensi subordinasi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap UU Kamnas (jika diundangkan); menyalahi nomenklatur.

Sebaiknya UU No 2 Tahun 2002 yang direvisi dan disempurnakan.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);

Nihil Sebaiknya UU No 3 Tahun 2002 yang direvisi dan disempurnakan.

4. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439);

Nihil Sebaiknya UU No 34 Tahun 2002 yang direvisi dan disempurnakan.

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK

Nihil Nihil

Page 4: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

4

INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEAMANAN NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Melanggar aturan penyusunan UU. Re: UU 12 tahun 2011 (Lampiran II C.1. Ketentuan

Umum) Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Keamanan Nasional adalah komitmen bangsa atas

segala macam upaya simultan, konsisten, dan komprehensif, segenap warga negara yang mengabdi pada kekuatan komponen bangsa untuk melindungi dan menjaga keberadaan, keutuhan, dan kedaulatan bangsa dan negara, secara efektif dan efisien dari segenap ancaman mencakup sifat, sumber, dimensi, dan spektrumnya.

Komponen civil society boleh jadi dilibatkan dalam sektor keamanan; misalnya, pembentukan pam swakarsa; padahal, belum hilang trauma pengalaman buruk dengan kehadiran pam swakarsa.

Tidak jelas antara makna suatu “keadaan” dengan “komitmen.” Kondisi yang harus diwujudkan dan dijaga keberlangsungannya oleh pemerintahan, harus dirasakan dan dinikmati oleh segenap warga masyarakat. Re: UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.

Karena per definisi “keberlangsungan pembangunan nasional” tidak jelas, dan spektrum ancaman begitu luas, maka potensi penyalahgunaan kewenangan menjadi sangat besar.

“Ancaman” adalah “sesuatu yang mengancam keamanan”: definisi ini bersifat tautologis: pengulangan makna; penjelasan menjadi tidak menjelaskan. Rumusan tentang individu warga negara berbeda atau tidak sama dengan konsep tentang “human security.” Tidak dibedakan makna “ancaman” dan “gangguan.” Keberlangsungan pembangunan nasional belum ada penjelasan. Re: UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM; UU No.11 tahun 2005 tentang Ekosob; UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik (Sipol); UU 12 tahun

Page 5: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

5

2006 tentang Kewarganegaraan; UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

3. Sistem Keamanan Nasional adalah tatanan segenap komponen bangsa dalam menyelenggarakan dan mendayagunakan seluruh sumber daya nasional secara terpadu dan terarah bagi terciptanya keamanan nasional.

Pasal “karet” dan multi tafsir. Rumusan tidak jelas, terlalu umum. Re: UU No 12 Tahun 2011 (Lampiran II C.1. Ketentuan Umum).

4. Keamanan Insani adalah kondisi dinamis yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar setiap individu warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai ancaman dalam rangka terciptanya keamanan nasional.

Dapat disalahgunakan: siapa melindungi siapa? Aktor keamanan tidak jelas, justru akan menimbulkan situasi chaotic.

“Keamanan Insani” sebagai “kondisi,” inkonsisten dengan butir 1 mengenai pengertian Keamanan Nasional yang menyebut sebagai “komitmen.” Lompat dari tataran individu langsung ke nasional. Tataran tidak jelas: Individu? Kelompok? Nasional? Re: UU Kesehatan, Perkawinan, Perlindungan Anak, Perburuhan, Ormas/yayasan, Parpol, Pendidikan.

5. Keamanan Publik adalah kondisi dinamis yang menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, terselenggaranya pelayanan, pengayoman masyarakat, dan penegakan hukum dalam rangka terciptanya keamanan nasional.

Perluasan kewenangan polisional kepada aktor-aktor lain, justru lebih berpotensi memicu kekacauan.

Terlalu memaksakan point-point yang dimuat dalam Penjelasan RUU ini. Istilah “publik” cenderung dimaknai sebagai ruang atau wilayah. Kalau menyangkut isi ruang, maka sebaiknya istilah “publik” diganti menjadi “keamanan masyarakat.” Re: UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 6 ayat 1, konsep pengayoman). UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal ini merupakan subordinasi domain “perlindungan, pengayoman, dan pelayanan” terhadap Sistem Keamanan Nasional. Jika revisi atas UU No 2 Tahun 2002 dilakukan, maka harus dimaknakan ulang istilah pelayanan dan pengayoman yang bersifat

Page 6: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

6

diametral. UU yang terkait penegakan Hukum akan sangat banyak yang perlu disesuaikan dengan Pasal ini. Antara lain: KUHP, KUHAP, Kejaksaan, KPK, Kepolisian, MA, Kehakiman, MK, dan lain-lain.

6. Keamanan ke dalam adalah kondisi dinamis yang menjamin tetap tegaknya kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dan penegakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman dalam negeri dalam rangka terciptanya keamanan nasional.

Istilah “kondisi diinamis” bersifat “karet” dan cenderung dapat disalahgunakan (abuse of power) oleh penguasa rezim suatu pemerintahan. Pencampur-adukan pengertian dimensi eksternal dengan dimensi internal mengasumsikan ancaman dalam negeri dapat ditangani sebagaimana ancaman luar negeri.

Dari awal banyak istilah yang digunakan rancu dan tidak konsisten. Konsep tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah berkaitan dengan faktor eksternal negara (luar negeri).

7. Keamanan ke luar adalah kondisi dinamis yang menjamin tetap tegaknya kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman luar negeri dalam rangka terciptanya keamanan nasional.

Ditto Ditto

8. Intelijen adalah: a. Organisasi yang digunakan sebagai wadah untuk

menyelenggarakan fungsi dan aktivitas intelijen;

Overlapping dengan UU Intelijen; RUU Kamnas menjadi tidak memiliki fokus materi.

Perumusan pengertian tidak memakai a,b,c,d. Re: UU No 12 Tahun 2011. Jadi, apakah intelijen adalah organisasi, aktivitas, dan pengetahuan? Butir ini sudah diatur di dalam UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen. Tautologis pada semua point (a, b, c).

b. Aktivitas mengenai semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan penyelenggara fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan; dan

Ditto Ditto

c. Pengetahuan mengenai informasi yang sudah Ditto Rumusan yang sangat umum, duplikasi dengan UU

Page 7: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

7

diolah sebagai bahan rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Intelijen. Re: UU No 12 Tahun 2011 ttg Pembentukan peraturan perundang-undangan (Lampiran II C.1. Ketentuan Umum) UU No 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara

9. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Nihil “hak yang melekat pada hakikat,” seharusnya melekat pada harkat dan martabat sebagai manusia. Re: UU HAM; UU Ekosub; UU Sipol.

10. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia yang mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Nihil Nihil

11. Ancaman Militer adalah ancaman dari kekuatan militer negara asing yang mengganggu keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan keselamatan bangsa.

Nihil Tautologis (“ancaman adalah ancaman..”)

12. Ancaman Bersenjata adalah ancaman yang menggunakan senjata secara individu dan/atau kelompok serta ancaman kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.

Kejahatan kriminalitas dapat dianggap sebagai ancaman nasional padahal hanya merupakan tindak kejahatan biasa. Tindakan kriminal biasa dapat dianggap sebagai ancaman nasional. Implikasi luas terhadap tradisi lokal yang berhubungan dengan adat dan

Nihil

Page 8: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

8

kebiasaan, contoh: kebiasaan membawa senjata tajam sebagai alat kerja dapat dikategorikan sebagai ancaman bersenjata.

13. Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.

Spektrum makna definisi terlalu luas, menjadikan multi tafsir.

Perspektif nihilis, “ancaman” yang bukan ini dan bukan itu.” Lihat Pasal 17 RUU ini, penjelasan butir 17, 18 dan 19

14. Kementerian adalah Kementerian Negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kementerian Negara.

Nihil Re: UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

15. Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Nihil Nihil

16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Nihil UUD 45 tidak mengatur tentang DPRD kecuali menjadi bagian dari pemerintahan daerah.

BAB II HAKIKAT, TUJUAN, DAN FUNGSI KEAMANAN NASIONAL

Nihil Nihil

Bagian Kesatu Hakikat

Pasal 2 Hakikat keamanan nasional merupakan segala upaya secara cepat, bertahap, dan terpadu dengan memberdayakan seluruh kekuatan nasional untuk menciptakan stabilitas keamanan melalui suatu sistem

Nihil Definisi hakikat bukan “segala upaya” karena segala upaya merujuk pada proses. Gagasan tentang Keamanan Nasional di dalam RUU ini mencerminkan keinginan untuk menghidupkan kembali konsep Bakorstanas/da, setelah

Page 9: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

9

keamanan nasional. sebelumnya gagasan serupa telah dihidupkan pada sektor intelijen melalui Kominda-kominda. Mekanisme ini mencampuradukkan wilayah operasional intelijen penegak hukum, intelijen negara dan intelijen militer. Lebih jauh lagi, butir ini mensubordinasikan fungsi intelijen penegak hukum di bawah intelijen non penegak hukum seperti intelijen negara BIN maupun intelijen militer (BAIS).

Bagian Kedua Tujuan

Pasal 3 Penyelenggaraan keamanan nasional bertujuan untuk mewujudkan kondisi aman bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia secara fisik dan psikis setiap individu warga negara, masyarakat, pemerintah dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional yang bebas dari segala ancaman.

Nihil Bukan tujuan UU melainkan perangkat untuk merealisasi tujuan.

Bagian Ketiga Fungsi

Pasal 4 Fungsi penyelenggaraan keamanan nasional adalah untuk: a. membangun, memelihara, dan mengembangkan

Sistem Keamanan Nasional secara menyeluruh, terpadu, dan terarah;

Spektrum sangat luas, berimplikasi antara lain pada beban anggaran negara.

Ini bukan fungsi tetapi lebih tepat pada bagian tujuan.

b. Mewujudkan seluruh wilayah yurisdiksi nasional sebagai satu kesatuan keamanan nasional;

Nihil Ditto

c. Memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan

Pasal ini berpotensi represif, khususnya sebagaimana termuat dalam alinea ke-4 pada Penjelasan RUU ini: “tindakan penanganan yg tepat, cepat, dan

Dalam penjelasan sudah dirumuskan langkah dan tindakan ancaman yang masih berupa potensi.

Page 10: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

10

terukur...” d. Menunjang dan mendukung terwujudnya

perdamaian dan keamanan regional serta internasional.

Nihil Ditto

BAB III RUANG LINGKUP KEAMANAN NASIONAL

Bagian Kesatu Lingkup

Pasal 5 Keamanan Nasional meliputi: a. Keamanan Insani;

Salah tafsir (atau perluasan tafsir?) tentang konsep “human security” dari makna pertamanya sewaktu diintroduksi oleh UN.

Keamanan Insani kurang relevan bila dihubungkan dengan Keamanan Nasional. Tafsir “keamanan insani” di dalam konsep ini (lihat di atas, dan di bawah, dst) lebih dekat dengan pengertian tentang “safety” (keselamatan) dan bukan “human security” sebagaimana dimaksudkan dalam definisi pertama.

b. Keamanan Publik; Berpotensi overlapping tugas-tugas aktor keamanan yang justru sudah jelas.

Memasukkan unsur makna keamanan eksternal (luar negeri) ke dalam ruang domestik. Suatu konsep yang berlaku di Amerika Serikat (khususnya pasca 9/11 WTC); tidak applicable untuk negara-negara lain.

c. Keamanan ke dalam; dan Pasal karet, karena memperluas keterlibatan aktor-aktor kewenangan ke dalam tindakan polisional (yang menjadi ranah polisi).

Ditto, dalam makna terbalik.

d. Keamanan ke luar. Ini fungsi utama TNI; penambahan peran dan fungsi lain akan mengurangi kapasitas deterrent TNI.

Seharusnya ranah eksternal ini justru yang diperkuat sebagai Pertahanan, domain TNI sepenuhnya.

Pasal 6 Keamanan Insani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a diwujudkan melalui berbagai upaya terpadu dengan melibatkan masyarakat dalam meningkatkan

Ditto seperti pada Pasal 5. Ini lebih cocok sebagai prasyarat terciptanya “Keamanan Insani” (jika konsep ini dipaksakan) Masalah objek dan subjek disini tidak jelas. Pertanyaannya, siapa yang “meningkatkan”?

Page 11: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

11

kesadaran hukum warga negara, dan penegakan hukum untuk melindungi dan menghormati hak-hak dasar kehidupan manusia serta pemenuhan kebutuhan insani demi terpeliharanya keselamatan segenap bangsa.

“Pemenuhan kebutuhan insani” ini siapa yang melakukan? Apakah Dewan Keamanan Nasional? (lihat di bawah). “menghormati hak-hak dasar kehidupan manusia” diganti dengan “menghormati Hak Asasi Manusia.” Re: UU No 39 Tahun 2009 tentang Hak-hak Asasi Manusia

Pasal 7 Keamanan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b diwujudkan melalui berbagai upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pelindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat, dan penegakan hukum demi terpeliharanya keselamatan segenap bangsa.

Kekaburan konsep, khususnya pada derajat abstraksi “masyarakat” dan “bangsa.”

Subjek dan objek tidak jelas dalam Pasal ini. Kerancuan definisi dan konsep antara “keamanan, keamanan publik, keamanan insani, keselamatan.”

Pasal 8 Keamanan ke dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c diwujudkan melalui berbagai upaya pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum terhadap ancaman yang timbul di dalam negeri untuk menjaga tetap tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berpotensi menjadi Pasal “karet” untuk bisa disalahgunakan dan diterapkan dimana saja terhadap komponen civil society yang dianggap berseberangan dengan rezim kekuasaan pemerintahan; mengancam prinsip demokrasi.

Re: Konvensi Jenewa, Aturan Tambahan.

Pasal 9 Keamanan ke luar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d diwujudkan melalui:

Nihil Nihil

a. Penangkalan ancaman militer dengan: Nihil Pembagian huruf a dan b tidak paralel 1. Membangun kekuatan Pertahanan Negara yang

melibatkan seluruh potensi Pertahanan Negara; Penjelasan Pasal ini memperluas tanggung jawab Pertahanan Negara dari TNI dengan pelibatan “komponen bangsa lainnya sesuai kompetensi,” yang dalam kondisi perang berpotensi melanggar HAM karena kaburnya

Inkonsistensi konsep dari Keamanan Nasional menjadi Pertahanan Negara. Masih diperlukan pemilahan yang jelas, tegas, dan bersifat hitam putih antara militer sebagai petempur (combatant) dengan “komponen bangsa lainnya” yang dapat dikategorikan petempur

Page 12: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

12

pemilahan definisi antara petempur (combatant) dengan bukan-petempur (non-combatant).

(rakyat terlatih, wajib militer) dan bukan petempur (non-combatant), yaitu rakyat sipil, termasuk polisi yang tetap harus menjalankan tugas-tugas polisional semasa ada perang).

2. Menumbuhkan rasa saling percaya antarbangsa; Justru dapat meningkatkan kekhawatiran negara-negara sahabat, dan menurunkan derajat kepercayaan mereka.

Contradictio in terminis (istilah yang maknanya bertentangan): penangkalan ancaman militer adalah konsep softpower (menggunakan kekuatan militer sebagai deterrent terhadap potensi militer asing) sehingga berlawanan dengan “menumbuhkan rasa saling percaya.”

3. Menjalin kerja sama bilateral dan multilateral di bidang pertahanan; dan.

Normatif Perlu diperjelas dalam konteks apa kerjasama ini, apakah pembentukan blok-blok militer yang bertentangan dengan Politik Bebas Aktif. Tidak dielaborasi lebih lanjut di dalam Penjelasan Pasal ini.

4. Diplomasi serta mediasi. Nihil Peningkatan kekuatan militer adalah deterrence; militer tidak mengenal diplomasi dan mediasi. Butir 4 di dalam Pasal ini adalah tentang fungsi deterrent TNI sebagai kekuatan Pertahanan Negara, dan bukan diplomasi serta mediasi yang merupakan ranah politik luar negeri.

b. Penindakan terhadap semua bentuk ancaman militer negara lain yang mengganggu kedaulatan negara dan keutuhan wilayah.

Nihil Penindakan bukan pada ancaman tapi sudah pada tingkat penyerangan (engagement). Bisa digunakan kata ancaman, tapi ancaman nyata (imminent threat).

Bagian Kedua Status Keadaan Keamanan Nasional

Pasal 10 Status keadaan keamanan nasional berkaitan dengan status hukum tata laksana pemerintahan yang berlaku meliputi:

Nihil Empat (4) status keadaan ini pernah ditolak oleh parlemen tahun 1950an menjelang pengesahan UU No 74 Tahun 1957.

Page 13: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

13

a. tertib sipil; Nihil Nihil b. darurat sipil; Dulu Di Aceh dan Ambon, baik darurat

militer ataupun darurat sipil, suasananya sama saja, tidak ada bedanya.

Dari perspektif aktor keamanan yang mengemban fungsi polisional, kekuasaan keadaan darurat memang di tangan pemerintahan sipil (kepala daerah), namun dalam sejarah keadaan darurat, pengendalian faktual di tangan militer.

c. darurat militer; dan Ditto Ditto d. perang. Nihil Nihil Pasal 11 Selain status keadaan keamanan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 terdapat keadaan bencana yang dapat terjadi pada setiap status keadaan keamanan nasional.

Bencana alam pun dapat dianggap sebagai ancaman, padahal situasi adalah force majeur.

“Keadaan bencana” itu prasyarat. Jadi status keadaannya darurat dalam rangka penanggulangan bencana.

Pasal 12 Status hukum keadaan tertib sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a diberlakukan apabila dinamika ancaman keamanan tidak berdampak luas terhadap keselamatan tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan dapat ditanggulangi secara terpadu oleh segenap penyelenggara keamanan/instansi pemerintah terkait dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini berpotensi memasukkan aktor-aktor keamanan selain pengemban fungsi kepolisian (untuk tindakan polisional), sehingga menambah kerancuan fungsional.

Nihil

Pasal 13 Status hukum keadaan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b diberlakukan di sebagian atau seluruh wilayah nasional, apabila dinamika ancaman keamanan berakibat pada terganggunya penegakan hukum dan ketertiban masyarakat serta roda pemerintahan, yang tidak dapat ditanggulangi dengan cara yang dilaksanakan pada keadaan tertib sipil.

Pasal karet yang dengan mudah disalahgunakan. Jika RUU ini bertujuan untuk mengatur keadaan darurat, maka sebaiknya disusun saja RUU Keadaan Darurat, dengan merujuk materi pada UU No 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Darurat, yang substansinya jauh lebih demokratis ketimbang UU No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Darurat.

Status siapa yang paling berwenang harus ditunjukkan. Rumusan kalimatnya kacau

Page 14: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

14

Pasal 14 (1) Status hukum keadaan darurat militer sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 huruf c diberlakukan apabila terjadi kerusuhan sosial yang disertai tindakan anarkistis masif atau pemberontakan dan/atau separatis bersenjata, yang mengakibatkan Pemerintah sipil tidak berfungsi dan membahayakan kedaulatan negara, disintegrasi bangsa dan keselamatan bangsa di sebagian wilayah atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pernyataan (deklaratif) darurat militer tidak serta merta secara otomatis mengalihkan kekuasaan pemerintahan ke tangan penguasa militer tanpa persetujuan legislatif dan dalam rentang waktu yang jelas (prinsip limitatif). Tetapi penguasa darurat militer mendapatkan otorisasi untuk mengesampingkan atau mengecualikan hukum yang berlaku.

Parameter penetapan keadaan darurat militer tidak jelas. (Contoh: “tindakan anarkistis masif,” tidak ada limitasi waktu) Penggunaan kata “anarkistis” rancu. Apa yg dimaksud separatis bersenjata? Apakah sama dengan Pasal sebelumnya : “kelompok bersenjata” Ada “pemerintah sipil”; ada pemerintah militer. Re: UU No 23 Tahun 1959

(2) Pemberlakuan status hukum darurat militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila keadaan tidak dapat ditanggulangi dengan cara yang dilaksanakan pada keadaan darurat sipil.

Nihil Nihil

Pasal 15 (1) Status hukum keadaan perang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 huruf d merupakan kedaruratan yang diberlakukan secara nasional, apabila negara terancam menghadapi kemungkinan perang dengan negara asing

Catatan: Implikasi pada tahun 1957/59, menyedot APBN mencapai 80 persen. Tidak ada pertanggungjawaban.

Nihil

(2) Status hukum keadaan perang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan di sebagian atau seluruh wilayah nasional.

Nihil Ayat (1) diberlakukan secara nasional, sementara pada ayat (2) diberlakukan di sebagian atau seluruh wilayah nasional.

BAB IV ANCAMAN KEAMANAN NASIONAL

Bagian Kesatu Spektrum dan Sasaran Ancaman

Spektrum ancaman sangat luas, menjadi pasal sapu jagat.

Penjelasan RUU atas bagian ini betul-betul membuka ruang tafsir yang sangat luas atas spektrum ancaman sapu jagat.

Pasal 16 (1) Spektrum ancaman dimulai dari ancaman paling

Ditto. Berpotensi melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

Inkonsisten dan tidakjelas “ancaman paling lunak”, “ancaman paling keras”

Page 15: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

15

lunak sampai dengan ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya.

Dalam penjelasan RUU: dampak saja menjadi ancaman. Bahkan aman merupakan ancaman paling lunak.

(2) Sasaran ancaman terdiri atas: a. bangsa dan negara. Pasal karet, tidak limitatif.

Berpotensi pelanggaran HAM dan prinsip demokrasi.

Rumusan yang sangat abstrak.

b. keberlangsungan pembangunan nasional; Pasal multi tafsir. Aktivis buruh, lingkungan, adat dapat dituding “anti pembangunan-nasional.” Sejarah bangsa Indonesia mengalami trauma dengan tafsir ancaman terhadap pembangunan nasional.

Nihil

c. masyarakat; dan Nihil Nihild. insani. Perluasan kewenangan aktor-aktor

keamanan di luar polisi; berpotensi intervensi wewenang polisional oleh bukan polisi.

Konsep tidak jelas, tumpang tindih dengan konsep tentang “keselamatan” (safety).

Bagian Kedua Jenis dan Bentuk Ancaman

Lihat catatan pada akhir review ini tentang butir 176 s/d 178, UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 17 (1) Ancaman keamanan nasional di segala aspek

kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas:

Pasal karet yang dengan sangat mudah disalahgunakan. Contoh: jika diterapkan jenis dan bentuk ancaman sebagaimana tercantum dalam Penjelasan RUU ini, dengan kewenangan yang terkandung dalam hak kuasa khusus pada Pasal 54 huruf e, maka ruang kemungkinan penyalahgunaan sangat besar.

Spektrum ancaman menjadi tidak terbatas, menjangkau semua hal yang sesungguhnya termasuk di dalam elemen-elemen Ketahanan Nasional; tidak dibedakan antara Keamanan Nasional dan Ketahanan Nasional; “potensi ancaman” tidak dibedakan dari “gangguan” dan “ancaman faktual.” Penarikan drafting dari kerangka konseptual yang salah dalam Naskah Akademik (tidak membedakan Ketahanan Nasional dengan Keamanan Nasional).

a. Ancaman militer; Nihil Ditto

Page 16: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

16

b. Ancaman bersenjata; dan Ditto tentang kejahatan (kriminal). Tindak kriminal umum yang menggunakan senjata dapat dikategorikan sebagai ancaman nasional, yang dapat ditangani seperti menangani pemberontakan bersenjata (insurgency).

Ditto

c. Ancaman tidak bersenjata. Pasal sapu jagat; pelaksana dan penyelenggara keamanan nasional dapat menggunakannya kepada pihak-pihak yang berseberangan.

Ditto

(2) Jenis ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari berbagai bentuk ancaman.

Pasal sapu jagat; Re: Penjelasan Ayat dalam RUU ini. Penjelasan Ayat (2) huruf c angka 19, misalnya, bahkan menganggap “diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi” sebagai ancaman nasional.

Penjelasan merinci jenis-jenis ancaman dengan spektrum yang sangat luas.

(3) Perkembangan bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa ancaman potensial dan ancaman aktual.

Penjelasan yang menerangkan “ancaman yang mungkin terjadi namun belum pernah terjadi ... “ berpotensi untuk menjadi landasan tindakan represif, akibat dari tafsir sepihak yang diskriminatif, dapat disalahgunakan.

Apakah ini merupakan ancaman potensial?

(4) Ancaman potensial dan ancaman aktual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Keputusan Presiden.

Memberikan cek kosong (carte blanche) kepada rezim kekuasaan pemerintahan.

Rujukan dalam Penjelasan; tafsir yang sangat luas tentang “potensi ancaman.” Semestinya tidak diatur dalam Keppres karena Keppres adalah bentuk penetapan, tetapi seharusnya PP atau Perpres karena ini adalah regulasi.

BAB V PENYELENGGARAAN KEAMANAN NASIONAL

Page 17: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

17

Bagian Kesatu Asas dan Prinsip

Nihil Asas dan prinsip pengertiannya sama, namun yang digunakan dalam penyusunan perundang-undangan adalah asas. Re: UU No 12 Tahun 2011 (Pasal 5 dan 6).

Pasal 18 Penyelenggaraan keamanan nasional berdasarkan pada asas: a. Tujuan;

Nihil Tidak memadai sebagaimana diatur dalam UU 12 tahun 2011 (Pasal 5 dan 6)

b. manfaat; Normatif Ditto c. terpadu dan sinergis; Normatif Ditto Pasal 19 Keamanan Nasional dilaksanakan selaras dengan prinsip:

Normatif Prinsip, atau asas? Penggunaan istilah tidak sesuai aturan.

a. kepentingan nasional; Berpotensi untuk disalahgunakan rezim kekuasaan manapun, untuk merepresi oposisi yang dipandang tidak selaras dengan tafsir tentang “kepentingan nasional” penguasa.

Siapa yang berhak merumuskan “kepentingan nasional”? Apakah tafsir tentang “kepentingan nasional” dapat diterapkan untuk menilai pihak lain yang memiliki tafsir berbeda?

b. demokrasi; Normatif Nihil c. diplomasi; Normatif Nihil d. hak azasi manusia; Normatif Nihil e. ekonomi; Normatif Nihil f. moral dan etika; Per definisi sangat luas, mudah

digunakan untuk menilai orang atau kelompok lain dengan standar moral dan etika, yang sesungguhnya masuk ranah agama atau kebudayaan.

Moral dan etika adalah ranah agama dan kebudayaan, padahal keragaman agama dan kebudayaan adalah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa.

g. lingkungan hidup; Normatif Nihil h. hukum nasional; dan Normatif Ranah penegakan hukum

Page 18: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

18

i. hukum internasional. Normatif Nihil Bagian Kedua Unsur dan Peran

Pasal 20 Unsur keamanan nasional terdiri atas: 1. Tingkat Pusat yang meliputi:

Pasal sapu jagat; akan mengacaukan pemilahan fungsi-fungsi CJS.

Re: Pasal 54 butir e Penjelasan RUU ini: “Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur Keamanan Nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa sah lainnya pengawasannya sebagaimana diatur dalam perUU-an.” Merupakan ranah Criminal Justice System (CJS)

a. Kementerian sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Kementerian Negara Akan tumpang tindih dengan kewenangan dan tupoksi Kabinet.

Tidak jelas batasan dengan tupoksi kabinet

b. Tentara Nasional Indonesia (TNI); Nihil; normatif Sudah diatur dalam UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI

c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); Nihil Sudah diatur dalam UU No 2 tahun 2002 d. Kejaksaan Agung; Nihil Sudah diatur dalam UU No 16 tahun 2004 e. Badan Intelijen Negara (BIN); Nihil Sudah diatur dalam UU No 17 tahun 2011 f. Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB); Nihil Sudah diatur dalam UU No 24 tahun 2007

Perpres BNPB No 8 tahun 2008 g. Badan Nasional Narkotika (BNN); Nihil Inpres No 12 tahun 2011 h. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

(BNPT); dan Nihil Perpres No 46 tahun 2010

i. Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait. Dapat mengurangi kapasitas fungsi Jika Lembaga yang dilibatkan memiliki tupoksi yang tidak begitu berkaitan dengan fungsi Keamanan (Nasional) akan dapat menurunkan kapasitas dari fungsi utama tupoksinya.

Ini yang mana? Over-arching/over-reaching, terhadap institusi pemerintahan yang tidak berkaitan.

2. Tingkat Provinsi yang meliputi: Implikasi pada perluasan kewenangan Duplikasi dan overlap dengan pemerintahan

Page 19: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

19

a. Unsur pemerintah provinsi; tanpa limitasi, seperti: menyadap, Menangkap, dst. (Re: Pasal 54 RUU ini); menjadi kekuasaan ekstra yudisial sebagaimana pada masa Kopkamtib dan Bakorstanas/da.

normal. b. Unsur TNI di daerah provinsi; c. Unsur Polri di daerah provinsi; d. Unsur kejaksaan di daerah provinsi; e. Unsur BIN di daerah provinsi; f. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Provinsi; g. Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP); dan h. Unsur kedinasan kementerian dan lembaga

pemerintah non kementerian yang ada di daerah provinsi.

3. Tingkat Kabupaten/Kota yang meliputi: Penyatuan ini membuat Kepala Daerah dan aktor lain masuk ke dalam ranah hukum. Pada kasus-kasus dimana Kepala Daerah terlibat tindak pidana (seperti korupsi) akan sangat sulit memprosesnya secara hukum, karena tindakan polisi dan jaksa dapat dianggap sebagai “ancaman nasional/daerah.”

Ditto a. Unsur pemerintah kabupaten/kota; b. Unsur TNI di daerah kabupaten/kota;c. Unsur Polri di daerah kabupaten/kota; d. Unsur kejaksaan di daerah kabupaten/kota;e. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Kabupaten/Kota; f. Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota

(BNNK); dan g. Unsur kedinasan kementerian dan lembaga

pemerintah non kementerian yang ada di kabupaten/kota.

4. Berbagai elemen masyarakat sesuai dengan kompetensinya

Membuka ruang bagi maraknya ormas-ormas sebagai kelompok penekan (pressure groups).

Aturan pelibatan masyarakat tidak jelas. Seharusnya disusun dan ditetapkan dulu syarat-syarat limitatif pelibatan ini, seperti (seharusnya) diatur dalam UU Rakyat Terlatih, UU Komponen Cadangan, dan lain-lain.

Pasal 21 Unsur penyelenggara keamanan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 berperan sebagai pelaksana penyelenggaraan keamanan nasional sesuai dengan

Dari ruang lingkup definisi tentang “ancaman nasional” yang sangat luas, serta cakupan aktor-aktor pelaksana penyelenggaraan keamanan nasional

Jika diatur “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” lalu apa gunanya materi Pasal 21 ini?

Page 20: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

20

ketentuan peraturan perundang-undangan.

yang juga sangat luas, terjadi tumpang tindih dengan penyelenggaraan pemerintahan (kabinet dan institusi negara lainnya).

Pasal 22 (1) Penyelenggaraan keamanan nasional melibatkan

peran aktif penyelenggara intelijen nasional.

Ditto Sudah diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

(2) Penyelenggara intelijen nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas mengembangkan sistem peringatan dini, sistem informasi, dan sistem analisis.

Ditto Ditto

(3) Pengembangan sistem peringatan dini, sistem informasi, dan sistem analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk menentukan kemungkinan ancaman.

Ditto Ditto

(4) Kemungkinan ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditindaklanjuti Dewan Keamanan Nasional guna perumusan kebijakan dan strategi.

Ditto Ditto

Pasal 23 (1) Penyelenggara intelijen nasional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22 terdiri atas BIN, Badan Intelijen Strategis Pertahanan, Badan Intelijen TNI, Badan Intelijen Kepolisian, dan institusi intelijen pemerintah lainnya.

Ditto Sudah diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

(2) Kepala BIN sebagai unsur utama penyelenggara sistem intelijen nasional

Ditto Sudah diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

(3) Penyelenggara intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan negara lain melalui wadah formal atau informal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ditto Sudah diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

Bagian Ketiga

Page 21: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

21

Pengelolaan Pasal 24 (1) Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam

pengelolaan sistem keamanan nasional. Bisa menimbulkan kekuasaan yang absolut.

Adalah hak dan kewenangan presiden dalam penetapan kebijakan.

(2) Presiden menetapkan kebijakan dan strategi keamanan nasional, baik di dalam maupun di luar negeri.

Nihil Ditto

(3) Dalam menetapkan kebijakan dan strategi keamanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Presiden dibantu oleh anggota Dewan Keamanan Nasional.

Overlapping dengan Wantannas, Lemhannas RI, menafikan kedudukan Menko Polhukham.

Berlebihan, karena secara ex officio presiden adalah ketua DKN.

(4) Dewan Keamanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diketuai oleh Presiden, Wakil Ketua Dewan Keamanan Nasional dijabat oleh Wakil Presiden, dan Ketua Harian Dewan Keamanan Nasional dijabat oleh Pejabat Negara setingkat Menteri yang ditunjuk oleh Presiden dengan keanggotaan terdiri atas anggota tetap dan anggota tidak tetap.

Implikasi pada kemungkinan pembentukan kementerian baru sesuai penjelasan ayat 4. - Pasal multitafsir, membuka 4 ruang

kemungkinan, 1) membentuk kementerian baru; 2) melikuidasi satu kementerian lalu diganti dengan kementerian baru dengan unsur DKN didalamnya; 3) menunjuk menteri tertentu yang sudah ada dan merangkap sebagai ketua harian DKN;

Re: Angka 176, 177, 178 Lampiran II UU No 12 Tahun 2011

Re UU 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Apakah penunjukan setingkat menteri?

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan dan tata kerja anggota Dewan Keamanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.

Memberikan cek kosong (carte blanche) kepada Presiden.

Mirip DPN di dalam UU No 3 Tahun 2002, yang belum dibentuk: diketuai oleh Presiden, beranggotakan Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Panglima TNI (limitatif, fakultatif; sedangkan RUU Keamanan Negara ini harus menerbitkan Perpres)

Page 22: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

22

Pasal 25 Dewan Keamanan Nasional mempunyai tugas:

Nihil Oke dalam hal mekanisme pengambilan struktural di dalam DKN, tetapi tidak untuk status dan kedudukan DKN-nya itu sendiri.

a. Merumuskan ketetapan kebijakan dan strategi keamanan nasional;

Overlapping dan duplikasi dengan Wantannas, Lemhannas RI, Menko Polhukham, Kemenhan, dan Kemendagri.

Ditto

b. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman;

Ditto Ditto

c. Menetapkan unsur utama dan unsur pendukung penyelenggaran keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman.

Ditto Ditto

d. Mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional;

Ditto Ditto

e. Menelaah dan menilai risiko dari kebijakan dan strategi yang ditetapkan; dan

Ditto Ditto

f. Menelaah dan menilai kemampuan dukungan sumber daya bagi penyelenggaraan keamanan nasional.

Ditto Ditto

Pasal 26 (1) Dewan Keamanan Nasional dalam melaksanakan

tugas dan kewajibannya dibantu oleh Sekretariat Jenderal.

Nihil “Kewajibannya”? Seharusnya tugas dan tanggungjawab.

(2) Sekretariat Jenderal Dewan Keamanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.

Nihil Ditto

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat Jenderal Dewan Keamanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

Ditto implikasi seperti pada Pasal 17 di atas.

Ditto

Pasal 27 Nihil Ditto, ketentuan normatif. Kembali menempatkan konsep Pertahanan Negara sebagai subordinasi

Page 23: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

23

(1) Menteri Pertahanan menetapkan kebijakan dan strategi penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional.

Keamanan Nasional, yang tidak sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945, yang hanya mengenal konsep Pertahanan Negara dan Keamanan Negara.

(2) Kebijakan penyelenggaraan pertahanan memuat arah, tujuan, sarana dan cara penyelenggaraan pertahanan negara untuk dipedomani oleh setiap unsur yang terlibat.

Berpotensi multi tafsir oleh setiap unsur yang terlibat.

Ditto, ditambah catatan untuk Pasal-pasal 20-24 di atas.

Pasal 28 (1) Menteri-menteri selain Menteri Pertahanan

menetapkan kebijakan dan strategi sesuai fungsi kementerian masing-masing untuk mendukung penyelenggaraan keamanan nasional berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional.

Beban tambahan bagi seluruh kementerian negara lainnya, sementara tugas ini seharusnya menjadi tanggung jawab aktor pertahanan (Kementerian Pertahanan). Tumpang tindih dengan Kabinet.

Sudah banyak peraturan perundang-undangan tentang tupoksi kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan.

(2) Kebijakan Menteri-menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat arah, tujuan, sarana dan cara penyelenggaraan untuk dipedomani oleh semua unsur yang terkait.

Kewenangan masing-masing kementerian akan mencampuri tupoksi kementerian lain. Kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Bertentangan dengan tujuan penyusunan RUU Keamanan Nasional ini, yaitu koordinasi dan sinkronisasi.

Ditto

Pasal 29 Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian menetapkan kebijakan penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab sesuai fungsi masing-masing untuk mendukung penyelenggaraan keamanan nasional berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional.

Ditto Ditto

Pasal 30 (1) Panglima TNI menetapkan dan melaksanakan

kebijakan operasional dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi

Penumpukan kewenangan secara berlebihan: Panglima TNI sebagai aktor perencana dan pelaksana kebijakan militer akan melaksanakan kebijakan

Sudah diatur dalam UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI

Page 24: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

24

penyelenggaraan pertahanan negara dalam rangka pelaksanaan keamanan nasional.

yang dibuatnya sendiri dalam kedudukan sebagai leading sector keamanan nasional.

(2) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan strategi penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan, pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam rangka pelaksanaan keamanan nasional.

Penyempitan status dan fungsi Polri, karena “penegakan hukum” adalah fungsi di dalam Criminal Justice System (CJS), yang bukan ranah eksekutif di dalam cabang-cabang kekuasaan negara di negara demokrasi.

Sudah diatur dalam UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika terdapat kekurangan dan kelemahan dalam UU ini, dapat dilakukan revisi dan amandemen, tanpa perlu membuat “rumah baru UU” seperti ini.

(3) Kepala BIN menetapkan kebijakan dan strategi intelijen negara dalam pendeteksian, pengelolaan sumber ancaman dan kesimpulan ancaman terhadap keamanan nasional yang perlu ditanggulangi secara lintas sektoral dan terpadu berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional.

Memperluas tafsir, sebagaimana sebetulnya telah dirumuskan dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

Sudah diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara. Jika terdapat kekurangan dan kelemahan dalam UU ini, dapat dilakukan revisi dan amandemen, tanpa perlu membuat “rumah baru UU” seperti ini. Apalagi UU No 17/2011 ini belum lama diundangkan, setelah mengalami proses penyusunan, penetapan, dan penerbitan yang panjang.

Pasal 31 Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan dan strategi pelaksanaan tata pemerintahan di daerah yang mendukung penyelenggaraan keamanan nasional berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional.

Ditto, catatan atas implikasi Pasal 20 di atas.

Ditto

Pasal 32 (1) Dalam memelihara dan menjaga keamanan umum

dan ketertiban umum pada status hukum keadaan tertib sipil, dan status hukum keadaan darurat sipil sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Gubernur membentuk Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Provinsi yang terdiri dari Pimpinan TNI

Ditto. Tambahan: kekaburan fungsi antara institusi negara dan penyelenggara negara, tingkat pusat dan daerah.

Ditto

Page 25: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

25

tertinggi di daerah provinsi, Kepala Kepolisian di daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kaposwil BIN di daerah provinsi, Kepala BPBD, dan Kepala BNNP.

(2) Gubernur sebagai Ketua Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Provinsi.

Dalam hal pelanggaran hukum oleh gubernur (seperti korupsi) akan sulit diproses hukum.

Ditto

(3) Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Provinsi terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap.

Duplikasi dengan aktor penyelenggara pemerintahan sehari-hari.

Ditto

(4) Anggota tetap terdiri dari Wakil Gubernur, Pimpinan TNI tertinggi di daerah, Kepala Kepolisian di daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi di daerah, Kaposwil BIN di daerah Provinsi, Kepala BPBD Provinsi, dan Kepala BNNP.

Ditto Ditto

(5) Anggota tidak tetap terdiri dari kepala dinas provinsi, kepala instansi vertikal dan berbagai elemen masyarakat sesuai kebutuhan dan eskalasi ancaman yang dihadapi.

Ditto Ditto

Pasal 33 (1) Dalam hal memelihara dan menjaga keamanan

umum dan ketertiban umum dalam status hukum keadaan tertib sipil, dan status hukum keadaan darurat sipil sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Bupati/Walikota membentuk Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri dari Pimpinan TNI di Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Polri di daerah Kabupaten/Kota, Kepala Kejaksaan Negeri di daerah Kabupaten/Kota, Kepala BPBD Kabupaten/Kota, dan Kepala BNNK.

Pekerjaan pemerintahan daerah dan aktor-aktor keamanan akan disibukkan oleh urusan bentuk-membentuk Forum ini. Membuka ruang pertarungan politik baru, karena kepala daerah adalah hasil konsensus politik melalui pemilu kepala daerah (pemilu kada).

Ditto

(2) Bupati/Walikota sebagai Ketua Forum Koordinasi Ditto Ditto

Page 26: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

26

Keamanan Nasional Daerah Kabupaten/Kota. (3) Forum Koordinasi Keamanan Nasional

Kabupaten/Kota terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap.

Ditto, ditambah catatan pada Pasal 32 di atas.

Ditto

(4) Anggota tetap terdiri dari Wakil Bupati/Walikota, Pimpinan TNI tertinggi di daerah, Kepala Kepolisian di daerah, Kepala Kejaksaan Negeri di daerah, Kepala BPBD Kabupaten/Kota, dan Kepala BNNK.

Ditto Ditto

(5) Anggota tidak tetap terdiri atas unsur-unsur TNI di daerah, unsur-unsur Polri di daerah, unsur-unsur Kejaksaan, unsur-unsur Pemerintah Kabupaten/Kota dan berbagai elemen masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan eskalasi ancaman;

Ditto Ditto

Bagian Keempat Pelaksanaan

Pelaksanaan dalam konteks apa? Pembahasan RUU ini melompat-lompat, tidak memenuhi asas konsistensi dan comprehensiveness.

Pasal 34 (1) Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas

pengerahan unsur penyelenggara keamanan nasional.

Tetap dengan catatan: harus ada persetujuan DPR, sekalipun post-factum (prinsip limitatif dan akuntabel).

Meninggalkan asas akuntabilitas politik, khususnya DPR RI. Seharusnya dengan persetujuan DPR, minimal 2 x 24 jam Re: UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; UU No 34 tahun 2004 tentang TNI.

(2) Presiden dalam penyelenggaraan Keamanan Nasional dapat mengerahkan unsur TNI untuk menangulangi ancaman bersenjata pada keadaan tertib sipil sesuai eskalasi dan keadaan bencana.

Tentara bisa dikerahkan tanpa persetujuan DPR.

Ditto

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengerahan unsur TNI untuk menanggulangi ancaman bersenjata pada keadaan tertib sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Potensi penyalahgunaan kekuatan militer tanpa persetujuan otoritas politik sipil (DPR). Pemberian cek kosong (carte blanche) kepada pemerintah karena pengaturan lebih lanjut melalui PP.

Ditto

Page 27: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

27

Pasal 35 (1) Pelibatan unsur keamanan nasional dalam sistem

keamanan nasional meliputi unsur utama dan unsur pendukung.

Nihil Adopsi konsep Mandala Perang memerlukan uji wacana dan penyempurnaan sesuai konteks perkembangan zaman.

(2) Unsur utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur keamanan nasional yang terkait dan bertanggung jawab langsung di dalam menanggulangi jenis dan bentuk ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).

Pasal “karet,” sangat berpotensi untuk disalahgunakan oleh penyelenggara/ pelaksana. Potensi pencampur-adukan antara gangguan nyata bersenjata bahkan pada tahap pemberontakan (insurgency) dengan kejahatan kriminal/pidana umum yang menggunakan senjata.

Ditto

(3) Unsur pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemberi bantuan guna mendukung kebutuhan unsur utama di dalam menanggulangi jenis dan bentuk ancaman yang sedang dihadapi.

Ditto Ditto

(4) Setiap Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian memberikan bantuan sesuai fungsinya kepada unsur utama dalam penyelenggaraan keamanan nasional.

Jika leading sector-nya adalah militer, merupakan perluasan kewenangan yang luar biasa. Pidana umum akan disubordinasikan; kewenangan polisional diambil-alih oleh leading sector.

Ditto

(5) Penentuan unsur utama dan unsur pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan spektrum, jenis, dan bentuk ancaman.

Ditto Ditto

(6) Penentuan unsur utama dan unsur pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Presiden.

Berlebihan, karena semua tugas dan kewenangan diberikan kepada Presiden; mengganggu delegasi kewenangan kepada institusi dan aktor yang di bawah kendali dan koordinasi Presiden.

Ditto

Pasal 36 (1) Masyarakat dapat dilibatkan dalam

penyelenggaraan keamanan nasional.

Berpotensi pelanggaran HAM, terutama dalam kondisi perang; masyarakat sipil yang belum menjadi rakyat terlatih

Harus ditentukan dulu syarat-syarat limitatifnya (parameter pelibatan, dan lain sebagainya).

Page 28: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

28

(ratih) atau wajib militer masuk ke dalam kategori bukan petempur (non-combatant), sehingga tidak boleh dilibatkan dalam penyelenggaran keamanan nasional di dalam situasi perang.

(2) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menghadapi ancaman militer diselenggarakan melalui Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.

UU Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung-nya sendiri belum diterbitkan.

Sudah diatur jauh lebih terinci dalam Pasal 9 UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

(3) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menghadapi ancaman bersenjata membantu unsur utama dalam memberikan informasi yang dibutuhkan.

“Cuak” berimplikasi berulangnya kembali praktek penggunaan warga sipil dalam operasi militer; ini menempatkan risiko pada keterlibatan sipil dalam operasi militer; merupakan pelanggaran HAM. Seperti dalam kasus Tengku Bantaqiah, penggunaan Cuak berujung pada peradilan koneksitas.

Diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

(4) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menghadapi ancaman tidak bersenjata membantu unsur utama sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Ditto Ditto Batas antara “kebutuhan dan kemampuan” tidak jelas.

Pasal 37 Pencegahan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilaksanakan oleh seluruh unsur keamanan nasional sesuai fungsi masing-masing melalui: a. penyusunan daftar permasalahan yang dihadapi, dilengkapi dengan langkah-langkah penyelesaian yang pernah dilakukan oleh setiap unsur keamanan nasional; b. Daftar permasalahan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilaporkan kepada Dewan Keamanan Nasional; dan

Menjadikan penyelenggaraan negara dapat memasuki ranah sipil, dengan tafsir definisi semena-mena oleh pemegang kekuasaan. Membuka ruang komponen masyarakat untuk menghakimi sendiri orang atau pihak-pihak yang ditafsirkan sebagai ancaman.

Wewenang polisional, sehingga Pasal ini tidak perlu. Pada status tertib sipil, dan bahkan darurat sipil, instrumen preemtif polisional dilakukan melalui Polmas (community policing), tetapi instrumen ini belum dilembagakan secara mapan.

Page 29: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

29

c. Pembuatan rencana kontinjensi sesuai tataran kewenangan sebagai pedoman dalam melaksanakan tindakan pencegahan dini terhadap berbagai jenis dan bentuk ancaman yang dihadapi oleh setiap unsur keamanan nasional.

Pasal 38 Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c disampaikan kepada Presiden oleh Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional berdasarkan masukkan dari Badan Intelijen Negara sebagai unsur utama dibantu oleh seluruh Penyelenggara Intelijen Nasional.

Ditto Sudah diatur dalam UU No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara

Pasal 39 (1) Penindakan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c terhadap berbagai jenis ancaman keamanan nasional dilaksanakan oleh unsur keamanan nasional yang terkait langsung sebagai unsur utama didukung dan diperkuat oleh unsur keamanan nasional yang tidak terkait langsung sebagai unsur pendukung.

Pasal sapu jagat, yang dengan mudah dapat disalahgunakan oleh aktor-aktor penyelenggara keamanan (yang juga sudah diperluas).

Sudah diatur dalam berbagai UU terkait, sesuai tupoksi aktor-aktor keamanan terkait.

(2) Penindakan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:

Ditto Ditto

a. Mencegah meningkat dan meluasnya intensitas ancaman yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya korban dan kerugian yang lebih besar;

Ditto Ditto

b. Mencegah campur tangan pihak asing yang dapat merugikan keamanan nasional; dan

Ditto Ditto

c. Mengembalikan kondisi keadaan menjadi tertib sipil dan stabil dengan melaksanakan tindakan represif dan kuratif secara terukur.

Ditto Ditto

Pasal 40 Penanggulangan ancaman sebagaimana dimaksud

Mengambil alih tanggung jawab di dalam tupoksi masing-masing institusi. Presiden

Nomenklatur perundang-undangan RI tidak mengenal “UU Payung” yang lebih tinggi dari UU

Page 30: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

30

dalam Pasal 4 huruf c, dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden atas saran Dewan Keamanan Nasional sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian, TNI, Polri, Kejaksaan Agung, dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian.

akan disibukkan dengan penerbitan berbagai Keppres, yang materinya merupakan tanggung jawab instansi yang sudah ada.

lain.

Pasal 41 Pemulihan terhadap kerusakan akibat penanggulangan ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilaksanakan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Ditto Ditto

Bagian Kelima Penanggulangan Ancaman Keamanan di Laut

Sudah diatur dalam berbagai UU yang ada. Nomenklatur perundang-undangan RI tidak mengenal “UU Payung” yang lebih tinggi dari UU lain.

Pasal 42 (1) Penanggulangan ancaman keamanan di laut

dilaksanakan oleh TNI dalam hal ini TNI AL dan Instansi yang memiliki otoritas penyelenggaraan keamanan di laut.

Nihil Ditto

(2) Penentuan instansi yang memiliki penyelenggaraan keamanan di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Cek kosong untuk pemerintah. Ditto

Bagian Keenam Tugas Perbantuan Internasional

Bagian ini tidak relevan di dalam domain Keamanan Nasional.

Pasal 43 (1) Pelaksanaan tugas unsur keamanan nasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam kegiatan internasional ditetapkan oleh Presiden atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ditto Ditto

(2) Kegiatan Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

Ditto Ditto

a. Peran serta dalam misi perdamaian dibawah mandat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan

Ditto Ditto

Page 31: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

31

Association of South East Asian Nation (ASEAN); dan

b. Peran serta misi kemanusiaan kepada negara lain.

Ditto Ditto

(3) Penetapan kegiatan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jangka waktu, kekuatan dan kemampuan, serta tugas yang akan dilakukan.

Ditto Ditto

Bagian Ketujuh Penanggulangan Ancaman Pada Status Hukum Keadaan Tertib Sipil

Bagian ini seharusnya ditiadakan saja. Karena “status tertib sipil” berarti terdapat keteraturan dan jaminan keselamatan penduduk, dan kewajiban perlindungan oleh negara dilaksanakan oleh Polri, sehingga tdk perlu diatur dalam UU ini. Re: Pasal 14 ayat 1 s/d 5 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sudah mengatur isu ini; Pasal 17 ayat 1 s/d 3 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pasal 44 (1) Penanggulangan ancaman sesuai bentuknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) oleh unsur utama dan pendukung dilaksanakan secara terpadu.

Keadaan Tertib sipil dapat mengerahkan aparat TNI ini bisa keliru.

Ditto

(2) Penanggulangan ancaman potensial dan aktual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) oleh unsur penyelenggara keamanan nasional dilaksanakan secara terpadu.

Definisi potensi ancaman nasional dapat ditafsirkan sesuai selera.

Ditto

(3) Dalam pelaksanaan penanggulangan ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), unsur utama penyelenggara keamanan nasional membuat prosedur operasi tetap untuk kecepatan bertindak dan mencegah berkembangnya eskalasi ancaman.

Ditto Ditto

Page 32: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

32

(4) Dalam pelaksanaan penanggulangan ancaman potensial dan aktual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk satuan tugas gabungan.

Berpotensi merampas kewenangan polisional pada tingkat ancaman potensial.

Potensi ancaman bukan domain Keamanan Nasional, tetapi merupakan domain Ketahanan Nasional; dan tahap preemtif dalam penguatan Ketahanan Nasional merupakan wewenang polisional. Lihat Pasal Penjelasan: ancaman aktual, Re: Pasal 17 Ayat 4 Penjelasan RUU ini.

(5) Pembentukan satuan tugas gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Presiden.

Satgas gabungan bisa banyak sekali. Nihil

Bagian Kedelapan Penanggulangan Ancaman Pada Status Hukum Keadaan Darurat Sipil

Prinsipnya semua keadaan darurat harus persetujuan DPR. Jika tidak ada persetujuan DPR maka batal demi hukum karena keadaan darurat itu berdampak masif, itu terdapat pada UU yang ada, dengan waktu 2x24 jam.

Pasal 45 (1) Presiden menyatakan sebagian atau seluruh wilayah negara dalam Status Darurat Sipil dalam menghadapi bahaya yang mengakibatkan terganggunya sebagian atau seluruh fungsi pemerintahan, ketentraman masyarakat dan ketertiban umum, yang tidak dapat ditanggulangi oleh fungsi pemerintahan tertib sipil.

Berimplikasi pada kebebasan masyarakat (UU No 23 Tahun 1959) sehingga wajib mendapat persetujuan DPR mengenai pemenuhan syarat-syarat dan parameter lainnya, serta dalam limitasi waktu yang ditetapkan.

Berimplikasi pada akuntabilitas anggaran yang diperlukan bagi pengelolaan darurat sipil.

Perlu adanya persetujuan Legislatif Re: UU No 23 Tahun 1959 menyebut isu kebebasan masyarakat sebagai kebebasan individu. Jika diterapkan status darurat sipil seperti ini, dengan rumusan “kebebasan individu,” maka sesungguhnya justru bertentangan dengan konsep mengenai “human security.” Dengan demikian penetapan status darurat sipil itu sendiri menjadi ancaman dalam konteks Keamanan Insani, yang justru dijadikan landasan konseptual RUU Keamanan Nasional ini.

(2) Pemerintah daerah bersama-sama dengan forum koordinasi keamanan nasional di daerah dapat mengajukan saran kepada Presiden tentang penetapan daerahnya dalam keadaan status keadaan darurat sipil

Pelanggaran prinsip akuntabilitas dalam demokrasi, karena menafikan otoritas politik parlemen (DPR).

Ditto

Page 33: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

33

yang dilengkapi dengan alasan-alasannya. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ditto Ditto

Pasal 46 Penguasa darurat sipil daerah bersama komando satuan tugas gabungan terpadu berdasarkan saran Ketua Koordinator Intelijen Nasional dan Forum Koordinasi Keamanan Nasional di daerah menetapkan pembagian tugas, tanggung jawab, wewenang, komando, dan kendali penanggulangan terhadap ancaman di daerah sesuai dengan perkembangan tingkat kerawanan.

Memberikan keluasan wewenang yang luar biasa, tidak bersifat limitatif.

Sebaiknya disusun saja RUU Kedaruratan untuk menggantikan UU No 23 Tahun 1959.

Bagian Kesembilan Penanggulangan Ancaman Pada Status Hukum Keadaan Darurat Militer

Jika RUU ini memfokuskan pada Kedaruratan, sebaiknya disusun RUU tersendiri tentang kedaruratan, untuk menggantikan UU No 23 Tahun 1959.

Pasal 47 (1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan

sebagian atau seluruh wilayah Negara dalam Status Hukum Keadaan Darurat Militer dalam menghadapi ancaman yang berdampak terhadap keselamatan bangsa dan mengakibatkan fungsi-fungsi pemerintahan tidak berjalan serta tidak dapat ditangani oleh fungsi pemerintahan tertib sipil.

Tanpa limitasi waktu akan menjadi kekuasaan diktatorial dengan mengabaikan jaminan akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan negara oleh Presiden. Dalam militer ada aturan “melanggar hukum” yang memungkinkan untuk mengambil alih sistem pemerintahan yang tidak berjalan pada saat keadaan darurat militer.

Re : Pasal 44 RUU ini. Tidak dicantumkan limitasi waktu setelah Presiden menetapkan suatu status keadaan darurat.

(2) Penguasa darurat sipil daerah bersama-sama dengan forum koordinasi keamanan nasional daerah dan DPRD dapat mengajukan saran kepada Presiden tentang penetapan daerah menjadi status hukum keadaan darurat militer.

Ditto Ditto

Page 34: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

34

(3) Dalam menghadapi ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komandan satuan gabungan terpadu yang ditunjuk merupakan penguasa darurat militer daerah.

Ditto Ditto

(4) Dalam penyelenggaraan darurat militer seluruh elemen masyarakat harus mendukung sesuai kompetensinya.

Berpotensi melanggar HAM, karena melibatkan “seluruh elemen masyarakat” (yang secara hipotetis termasuk komponen sipil yang tidak boleh dilibatkan dalam peperangan).

Seharusnya disusun dulu UU tentang Rakyat Terlatih (Ratih), Komponen Cadangan, dan Wajib Militer.

Pasal 48 Penguasa darurat militer berdasarkan saran Ketua Koordinator Intelijen Nasional dan Forum Koordinasi Keamanan Nasional di daerah menetapkan pembagian tugas, tanggung jawab, wewenang, komando, dan kendali penanggulangan terhadap ancaman di daerah sesuai dengan perkembangan tingkat kerawanan.

Tanpa syarat-syarat limitatif, dapat menjadi Pasal karet.

Rujukan sebaiknya menggunakan norma internasional, seperti Konvensi Jenewa, khususnya Aturan Tambahan; untuk konteks dalam negeri, rujukan pada UU No 74 Tahun 1957, yang jauh lebih demokratis dibanding UU No 23 Tahun 1959.

Bagian Kesepuluh Penanggulangan Ancaman Pada Status Hukum Keadaan Perang

Pasal 49 (1) Presiden menyatakan perang kepada negara lain

dengan persetujuan DPR apabila nyata-nyata telah mendapatkan ancaman militer dari Negara lain tersebut setelah upaya penyelesaian dengan cara-cara damai dan diplomasi mengalami jalan buntu dan atau kegagalan.

Normatif Normatif; ditto catatan materi terkait di atas.

(2) Setelah pernyataan perang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Presiden menyatakan seluruh atau sebagian negara dalam keadaan perang.

Normatif Ditto; belum tegas syarat-syarat limitatifnya.

(3) Dalam hal keadaan perang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Presiden memegang kekuasaan tertinggi selaku penguasa perang pusat yang dalam

Tumpang tindih dengan Kemenko Polhukham, Kementerian Pertahanan. Belum jelas fungsi DKN; perluasan

Ditto

Page 35: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

35

pelaksanaannya dibantu oleh Dewan Keamanan Nasional.

kewenangan berpotensi pelanggaran prinsip-prinsip HAM dan akuntabilitas politik di dalam sistem demokrasi.

(4) Penguasa perang pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjuk Panglima Komando Gabungan sebagai Panglima Mandala Operasi dan penguasa perang daerah.

Normatif. Normatif

(5) Seluruh kekuatan TNI dan kekuatan nasional lainnya digunakan untuk perang melalui mobilisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal karet, berpotensi pelanggaran HAM karena peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum memadai.

Seharusnya disusun dulu peraturan perundang-undangan dimaksud.

Bagian Kesebelas Penanggulangan Keadaan Bencana

Pasal 50 (1) Penetapan status keadaan darurat bencana

dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.

Tidak konsisten dengan Pasal 10 RUU ini. Bencana adalah prasayarat untuk menetapkan status keadaan.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh Gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/Walikota

Berpotensi untuk penafsiran semena-mena. Status keadaan darurat membawa implikasi anggaran non budjeter.

Tidak, atau belum, ada parameter untuk penetapan.

(3) Tugas, tanggungjawab, dan wewenang manajemen penanggulangan bencana pada kondisi status bencana nasional berada pada BNPB

Normatif Re: UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Perpres BNPB No 8 Tahun 2008

(4) Tugas, tanggungjawab, dan wewenang manajemen penanggulangan bencana pada kondisi status bencana daerah berada pada BPBD.

Normatif Ditto

Pasal 51 BNPB dibantu BPBD membentuk Komando satuan tugas gabungan terpadu penanggulangan bencana dan membuat rencana kontinjensi, rencana operasi, Prosedur Operasi Tetap, dan rencana latihan.

Normatif Ditto

Pasal 52 Nihil Ditto

Page 36: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

36

(1) Bantuan kemanusiaan dalam penanggulangan bencana yang diberikan oleh negara asing, baik bantuan militer maupun non militer, organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, donatur dan relawan diproses setelah mendapat ijin dari Pemerintah Republik Indonesia.

(2) Bantuan kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

Nihil Re: UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Perpres BNPB No 8 Tahun 2008

a. Bantuan dari militer asing di bawah kendali operasional dan koordinasi TNI;

Nihil Harus ada aturan BKO-nya dulu; harus limitatif.

b. Bantuan non militer di bawah kendali operasional dan koordinasi Kementerian terkait, dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian;

Nihil Ditto

c. Bantuan dari organisasi internasional, donatur, relawan, dan lembaga swadaya masyarakat di bawah kendali operasional dan koordinasi BNPB; dan

Normatif Ditto

d. Bantuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c di bawah kendali operasional dan koordinasi Dan Satgas Penanggulangan Bencana.

Normatif Ditto

Bagian Keduabelas Tataran Kewenangan Komando dan Kendali

Istilah komando dan kendali bermakna diametral dengan prinsip demokrasi.

Pasal 53 (1) Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan

nasional:

Ditto Ditto

a. Komando dan kendali tingkat nasional di tangan Presiden

Normatif Penumpukan kewenangan tambahan ditingkat Presiden yang mereduksi fungsi-fungsi pemerintahan normal lainnya yang juga dipegang oleh Presiden.

b. Komando dan kendali tingkat strategi di tangan Kerancuan wewenang dan tupoksi Lalu apa bedanya dengan kabinet?

Page 37: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

37

pemimpin Kementerian, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Kepala BNPB dan pemimpin Lembaga Pemerintah Non Kementerian;

Kabinet pemerintahan.

c. Komando dan kendali tingkat operasional di tangan Panglima/Komandan Satuan Gabungan Terpadu; dan

Karena rumusan tentang ancaman nasional berspektrum sangat luas, maka materi ini berpotensi pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi. Pemberian kewenangan pada Panglima/Satgasgab berpotensi untuk penumpukan kekuasaan lebih besar ditangan leading sector (TNI) secara otomatis akan memperbesar peluang penyalahgunaan kekuasaan. Prinsip penguatan komando dan kendali berhadapan dengan prinsip partisipasi dan kesetaraan dari nilai-nilai demokratis.

Nihil

d. Komando dan kendali tingkat taktis di tangan Komandan Satuan Taktis.

Ditto

(2) Tataran kewenangan Komando kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara hirarkis dan terkait.

Normatif

Bagian Ketigabelas Pengawasan

Pasal 54 Pengawasan terhadap penyelenggaraan Sistem Keamanan Nasional dilakukan secara berlapis melalui suatu mekanisme pengawasan konsentrik sesuai dengan kaidah pengamanan demokratis yang meliputi:

Seluruh materi Pasal ini memberi “senjata dan amunisi” bagi represi demokrasi.

Istilah dengan makna bertentangan (contradictio in terminis): “pengamanan demokratis” yang dilakukan dengan seluruh jenis upaya paksa. Re: Penjelasan RUU Keamanan Nasional ini, Pasal 54 huruf e.

a. Pengawasan melekat; Akan duplikasi dan overlapping dengan Aparatur Pengawasan Instansi

Sudah terstruktur secara ketat dalam norma-norma pelaksanaan birokrasi pemerintahan.

Page 38: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

38

Pemerintahan (APIP). b. Pengawasan eksekutif Membuka ruang pertarungan politik

baru. Ini merupakan ranah Hukum Tata Negara, yang derajatnya lebih tinggi daripada yang dapat diatur oleh sebuah UU seperti direncanakan dalam RUU Keamanan Nasional ini.

c. Pengawasan legislatif; Ditto Ditto d. Pengawasan publik; dan Ditto Tidak jelas aktor mana yang mendapatkan

kewenangan pengawasan publik, dan kekaburan definisi konsep “publik” (apakah masyarakat secara umum, atau semua hal yang berkaitan dengan kepemilikan negara sebagaimana maknanya di dalam bahasa Inggeris: public).

e. Pengawasan penggunaan kuasa khusus. Berpotensi bagi terjadinya pelanggaran HAM. Perampasan wewenang polisional atau fungsi polisional oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Pelanggaran kepastian hukum. Pada Penjelasan RUU Keamanan Nasional ini, Pasal 54 huruf e, maka orang bodoh bisa ditangkap, karena dia adalah ancaman; perdebatan dan diskusi demokratis di parlemen yang dapat dianggap sebagai ancaman nasional, juga boleh disadap, ditahan, diperiksa, dan diperlakukan dengan upaya paksa lainnya.

Rincian di dalam Penjelasan RUU ini harus dimasukkan di dalam batang tubuh, bukan di Penjelasan (karena norma). Re: Pasal 176 s/d 178 UU 12 tahun 2011.

Bagian Keempatbelas Pembiayaan

Pasal 55 (1) Pelaksanaan tugas pelibatan sebagai unsur

pendukung dalam penyelenggaraan keamanan

Menyebabkan perluasan kewenangan aktor utama dalam hal anggaran dan pengelolaan keuangan.

Semua anggaran pendapatan dan belanja negara sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dengan syarat-syarat transparansi,

Page 39: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

39

nasional, administrasi dan logistik menjadi tanggung jawab unsur utama.

akuntabilitas, dan lain-lain sesuai norma penyelenggaraan kekuasaan negara dalam hal keuangan negara.

(2) Pelaksanaan dukungan administrasi dan logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan kementrian dan/atau lembaga pemerintah non kementrian sebagai penanggung jawab fungsi.

Ditto Ditto

Pasal 56 (1) Biaya penyelenggaraan keamanan nasional

dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pernah disalahgunakan oleh tentara pada tahun 1957 dengan membentuk Front Nasional untuk membiayai perang dengan anggaran dari masyarakat. Pemanfaatan anggaran lebih dari 70% untuk operasi keamanan. Mengacaukan struktur dan arsitektur RAPBN dan APBN.

Ditto

(2) Sumber-sumber lain untuk membiayai penyelenggaraan keamanan nasional hanya dimungkinkan untuk penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Ketentuan ini tetap saja membuka ruang penyalahgunaan wewenang akumulasi dana, yang melanggar prinsip akuntabilitas anggaran negara.

Ditto

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57 (1) Dewan Keamanan Nasional bersifat kelembagaan

dibentuk paling lambat 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Validasi Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) sebagai kerangka organisasi baru Dewan Keamanan Nasional (DKN) sekaligus akan menjadi negasi bagi pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 15 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Padahal Pasal ini membuka ruang demokratis bagi pembentukan DPN

Pembentukan organisasi baru secara struktural bisa dipenuhi selama 6 bulan terutama jika organisasi ini merupakan validasi dari wantannas. Tetapi tidak mungkin terbangun nilai-nilai yang dirancang secara ideal dalam waktu 6 bulan pembentukan Organisasi baru DKN ini, khususnya sebagai instrumen antisipasi bagi ancaman non konvensional.

Page 40: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

40

karena mencakup unsur-unsur pemangku kepentingan (stakeholders) Keamanan Nasional di luar aktor keamanannya itu sendiri, seperti pakar pertahanan, organisasi masyarakat, dan LSM. Struktur dan domain kewenangan DKN merupakan metamorfosis dari lembaga –lembaga represif pada masa Orde Baru seperti Kopkamtib dan Bakorstanas/da.

(2) Sebelum terbentuknya Dewan Keamanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam kurun waktu yang ditentukan, untuk sementara tugas-tugas Dewan Keamanan Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.

Nasib selanjutnya dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan menjadi tidak jelas, padahal sudah diatur dalam UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Nihil

(3) Sekretariat Jenderal Dewan Keamanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) merupakan validasi Dewan Ketahanan Nasional.

Masih tidak jelas dengan nasib Lemhannas RI dan Menko Polhukham.

Nihil

Pasal 58 (1) Forum Koordinasi Keamanan Provinsi dan Sekretaris

Forum Koordinasi Keamanan Nasional Provinsi sudah dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah terbentuknya Dewan Keamanan Nasional.

Proses likuidasi, reorganisasi, dan validasi hanya dalam jangka waktu enam bulan akan menimbulkan kekacauan: pengaturan personel, penyusunan tupoksi Forum, dan beban anggaran yang besar. Karena kepala daerah adalah pemimpin politik hasil konsensus politik (pemilu kada), maka proses ini akan menjadi pertarungan kekuasaan antar parpol. Pemenangnya akan memperoleh proteksi hukum jika menyalahgunakan kekuasaan

Nihil

Page 41: Ancaman Militer-Pasal Demi Pasal

41

politik yang diperoleh lewat pemilu kada. (2) Forum Koordinasi Keamanan Kabupaten/Kota dan

Sekretaris Forum Koordinasi Keamanan Kabupaten/Kota sudah dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah terbentuknya Forum Koordinasi Keamanan Nasional Provinsi.

Ditto Nihil

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 59 (1) Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Keamanan Nasional yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Menimbulkan kerancuan hukum lebih jauh lagi.

Re: UU No 23 Tahun 1959 masih berlaku. Seharusnya UU No 23 Tahun 1959 itu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Re: Pasal 102 UU No 12 Tahun 2011.

(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Konsekuensinya, keanggotaan tidak mencakup “Anggota tidak tetap dari unsur nonpemerintah berjumlah 5 orang, terdiri atas pakar bidang pertahanan, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.” Penggunaan kuasa khusus bisa digunakan tanpa pengawasan.

Lampiran II UU 12 Tahun 2011 Angka 9: Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang dicabut. Mencabut Pasal 15 UU No.3 Tahun 2002 terkait Dewan Pertahanan Negara yang bertugas menelaah kondisi Keamanan Nasional atau Pertahanan Negara, menilai risiko kebijakan dan memberikan opsi kebijakan pada Presiden.

Pasal 60 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Nihil Nihil