Kemiskinan di Aceh : Dampak dari Konflik dan Tsunami serta Strategi

Pengentasannya *)

Oleh

Zulkifli Husin **)

Pendahuluan

Kemiskinan merupakan teman dekat dari masyarakat di negara miskin. Mereka miskin karena

mereka miskin,sehingga kemiskinan didalam suatu masyarakat digambarkan sebagai suatu

lingkaran setan (vicious circle ) yang sangat susah untuk mengatasinya. Namun ini menjadi

suatu tantangan bagi pemerintah ataupun negara maupun masyarakat dari suatu negara untuk

mengangkat tingkat kehidupan mereka,ataupun mengurangi beban berat yang harus dipikul

oleh masyarakat miskin. Miskin pasti bukan pilihan mereka, dan hampir tak ada orang yang

ingin hidupmiskin, namun mereka tetap menjadi miskin.

Mereka miskin bisa disebabkan oleh karena mereka tidak memiliki modal ataupun asset

untuk usaha ataupun kegiatan ekonomi yang ingin mereka lakukan , atau mereka

tidakmemiliki pndidikan maupun ketrampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,

ataupun karena produktifitas nereka yang rendah, disamping itu negarapun tidak mampu

melalui kebijakan ekonominya untuk membuka dan menyediakan lapangan kerja yang cukup

untuk rakyatnya. Kesemuanya ini mengakibatkan timbulnya kemiskinan structural.

Sebaliknya kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adat, budaya,

ataupun sifat dari pada anggota masyarakat yang membuat mereka menjadi miskin.

_______________________________________________

*) Makalah yang disampaikan pada seminar tentang “ Problematika Kemiskinan Akibat Konflik dan Tsunami di Aceh dan Pola Penanggulangannya “ yang diadakan oleh TARI dan World Bank, pada tanggal 26 April 2006 di B.Aceh.**) Guru Besar Ekonomi Univ.Syiah Kuala dan Mantan Rektor Univ.Bengkulu

Transformasi Sektor Pertanian

Perubahan Tehnologi di sector pertanian dari tehnologi tradisional ke tehnologi mekanisasi di

Aceh telah meyebabkan banyak masyarakat desa yang tidak mempunyai pekerjaan lagi,

padahal sebagian besar penduduk Aceh berada di pedesaaan. Sebagian dari mereka menjadi

buruh tani tanpa memiliki tanah sama sekali (laudless labor), sekaligus harus pindah ke kota

tanpa ketrampilan.perkotaan juga tidak mampu meyediakan kesempatan kerja yang cukup.

Hampir tidak ada sektor agroindustri dan agrobusines. yang berkembang yang dapat

menampung mereka sebagai transit point dari sektor pertanian ke industri, terjadilah yang

disebut kelebihan tenaga kerja (Labor samplus) disekitar pertanian, seharusnya menjadi

sumber tenaga kerja bagi sektor industri pertanian.seperti yang pernah juga terjadi de Negara-

negara maju pada awal mereka tumbuh dan berkembang menjadi Negara industri dari Negara

Agraris. Hal ini mengakibatkan berkembangnya tingkat pengangguran di kota-kota terutama

di kota besar.

Upah yang selama ini diterima oleh buruh tani di desa, kini diterima oleh para pemilik modal

yang memiliki alat-alat mekanisasi pertanian seperti traktor, thersher sampai ke huller maka

terjadilah arus balik pendapatan, dari petani kecil ke pemilik modal, bukan lagi kepada buruh

tani yang miskin “Ureung kaya tung upah bak ureung gasin”.

Land man ratio di pedesaaan pun pada umumnya kecil, sehingga tidak akan memperoleh

“Scale of economies”, dan tidak banyak diversifikasi produk pertanian yang bisa dilakukan.,

apalagi dengan semakin banyaknya tanah pertanian yang dikonversi kepenggunaan

lain.Tsunami telah menambah buruk kondisi tanah-tanah pertanian terutama di sekitar pantai

Aceh. Untuk ini Aceh memerlukan lahan pertanian yang baru, dan sebagian petani di

transmigrasikan ke daerah yang masih potensil untuk lahan-lahan pertanian.

Usaha pertanian baru ini harus dilakukan secara modern, dan dengan menggunakan sistem

agro business, sehingga sektor pertanian dapat menjadikan mereka bisa hidup dengan cukup

dan layak. Produk-produk pertanian dengan produktivitas dan nilai yang tinggi harus dapat

dikembangkan. Diversifikasi dengan holtikura danbuah-buahan mungkin dapat menjadi

alternatif kualitas produk yang dihasilkan dapat membuka peluang untuk ekspor disamping

pesan dalam negeri penelitian untuk menghasilkan produk-produk unggul pertanian harus

dapat distimulasi dengan baik

Nelayan

Nelayan adalah termasuk kelompok masyarakat yang paling menderita. Kita harus

membangun kembali mereka menjadi nelayan modern, bukan sebagai nelayan tradisional lagi.

Siapkan mereka menjadi pengusaha perikanan dengan investasi dan tehnologi modern dengan

membentuk armada nelayan ( fishermen fleet) yang bisa melaut berminggu minggu dan ber

bulan bulan tanpa perlu kepantai, kecuali yang mau istirahat. Mereka harus dapat bersaing

dengan nelayan Thailand, Taiwan, Korea dan Jepang; atau kita akan tetap tertinggal dan

hanya menangkap ikan dilaut dangkal; yang pada umum nya sudah overfishing, dan

meninggalkan ikan dilaut dalam untuk dicuri oleh nelayan asing, padahal menjanjikan

income yang cukup besar.

Kembangkan kembali budidaya ikan dipantai (aquaculture) dengan tehnologi yang lebih baik

dan usaha yang lebih produktif. Tanam kembali kayu bakau (mangrove) disepanjang pantai

Aceh, disamping untuk memelihara pantai, mencegah erosi dan abrasi pasca tsunami, untuk

menjadi tempat pengembang biakan ikan dan udang serta bermacam macam flora dan fauna

yang pada akhirnya akan menghasilkan pendapatan untuk nelayan. Dengan tetap menjaga

dan memelihara lingkungannya, akan menjadikan pantai sebagai objek wisata yang asri dan

menawan. Ini juga akan memberikan dan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat pantai

dan keluarganya yang bukan nelayan. Kembangkan industri perikanan yang menjamin harga

hasil produksi perikanan tidak akan jatuh meskipun pada saat produksinya melimpah., seperti

yang sering terjadi selama ini.

Penganguran. Dan Penanggulangannya

Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia yang mencapai +/- 38 jt orang

(penganguran terbuka + tertutup) masih terus meningkat dengan bertambah banyaknya PHK

yang dilakukan oleh perusahaan dan industri yang harus .gulung tikar , diikuti oleh

pertumbuhan ekonomi yang lamban dan kurang tersentuhnya sektor riil dalam kebijakan

pemerintah.

Di Aceh , angka pengangguran juga cukup besar, apalagi setelah terjadinya konflik dan pasca

tsunami. Masalah pengangguran secara makro berarti tidak terlibatnya para pengangur di

dalam menghasilkan pendapatan Nasional maupun pendapatan regional. Mereka tidak

memberikan kontribusi terhadap PDRB dan sebaliknya juga tidak menerima penghasilan yang

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga. Setiap pengangguran

berarti pemiskinan daripada anggota masyarakat yang terpaksa mengangur tersebut. .

Pemerintah pusat maupun daerah harus dapat mengarahkan dan merencanakan secara

khusus program-program yang menciptakan tenaga kerja baru ataupun mempertahankan

lapangan kerja yang sudah ada. Khususnya bagi daerah NAD yang baru saja dilanda Tsunami

dan konflik sosial harus membuat program-program pembangunan daerah yang

dikaitkan.dengan pemberian dan pembukaan lapangan kerja kepada masyarakat. Pemerintah

harus dapat menggerakkan ekonomi daerah yang melibatkan masyarakat sehingga benar-

benar terjadi pembangunan Aceh, bukan pembangunan di Aceh. Masyarakat agar dapat

dilibatkan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sehingga disamping phisik, kesempatan

kerja dan ekonomi rakyat juga ikut terehabilitasi.Membuka kesempatan kerja baru ataupun

memberikan kemampuan untuk bekerja sendiri dan mempekerjakan orang lain di Aceh, tidak

kalah pentingnya dari bantuan phisik yang sedang dilakukan (meyediakan atau membuka

usaha baru).

Penganguran bisa di sebabkan karena mereka tidak memiliki aset, modal ataupun

keterampilan yang di butuhkan untuk bekerja ataupun mendapatkan pekerjaan. Maka

Pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka yang diiringi dengan

peyediaan sarana dan fasilitas sebagai Follow up dari meningkatnya kemampuan dan

keterampilan mereka.

Peningkatan Kualitas dan Kuantitas pendidikan formal dan non formal di NAD merupakan

solusi jangka panjang menangani pengangguran, namun yang terpenting sekarang adalah

bagaimana dalam jangka pendek? Kredit kredit usaha kecil ataupun informal untuk memulai

usaha kecil harus dapat digulirkan untuk menggerakkan aktifitas ekonomi rakyat. Tanpa

usaha yang memobilisasi ekonomi rakyat, maka bantuan phisik yang telah mengalir ke Aceh

akan menjadi timpang tanpa dukungan terhadap ekonomi mereka. Bisa terjadi mereka punya

rumah, tetapi tidak sanggup membayar listrik, ataupun kurang biaya untuk makan, sehingga

gizi anak-anaknya tidak memenuhi syarat kesehatan, dan sebagainya..

Kita tidak bisa mengharapkan banyak dari pemerintah pusat untuk melakukan investasi untuk

mendorong pembukaan/ peyediaan tenaga kerja baru .Seperti kita ketahui, Pemerintah pusat

hampir tidak memiliki alokasi dana untuk investasi dan kebutuhan publik dengan besarnya

beban hutang yang harus di tanggung oleh pemerintah pada tahun 2006, Pemerintah

memerlukan Rp 91,6 triliun untuk cicilan utang luar negeri ; bandingkan dengan dana BLT ,

(bantuan langsung tunai) hanya teralokasi Rp. 17 triliun, ditambah lagi dengan cicilan utang

untuk rekap bank yang berkisar sekitar 70-80 triliun per tahun. Indonesia memiliki ratio utang

terhadap PDB sebesar 35 - 45% , maka utang tersebut memiliki kontribusi negatif terhadap

income/capitas (debt trap). Besarnya bahagian dari APBN untuk cicilan utang berarti terjadi

nya kebocoran dalam aliran investasi didalam negeri disamping cicilan utang L.N. akan

merupakan resouce drain. Oleh sebab itu NAD harus benar-benar dapat memanfaatkan

dengan seoptimal mungkin alokasi dana baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang

telah dialokasikan melalui BRR sebagai “Special Funds” for “special purpose” at Special

opportunity” ; karena dari sumber dana inilah harapan Aceh untuk keluar dari lingkaran

kemiskinan pasca tsunami dan konflik sosial. Gagal memanfaatkan kesempatan ini, maka

akan sukar bagi Aceh untuk keluar dari vicious circle ini , dan mungkin akan masuk kedalam

suatu konflik sosial baru yang berkepanjangan. Oleh sebab itu harapan dan pesan pada

pimpinan BRR, bangunlah Aceh dengan nurani, sebagai suatu tugas kemanusiaan, bukan

proyek. Karena kegagalana kan menimbulkan persepsi secara luas dari masyarakat seolah-

olah pemerintah tidak sungguh-sungguh dan tulus untuk membangun Aceh kembali.

Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi dan peranan Pendidikan

Pertumbuhan ekonomi dari setiap Negara atau pun Daerah sangat tergantung pada besar

kecilnya investasi yang dilakukan di sektor ekonomi.

1 ICOR = Incremental Capital Output Ratio

Growth = ------------- d I d I = pertambahan Investasi

I C O R

Investasi yang akan masuk sangat di tentukan oleh faktor tersedianya infrastruktur yang baik

seperti listrik, air, jalan dll. Disamping net return yang diharapkan akan diperoleh dari

investasi tersebut. Namun faktor-faktor non ekonomi, seperti sosial, budaya, politik, hukum,

dan keamanan juga merupakan faktor yang sangat menentukan bagi setiap investasi. Selama

konflik Aceh hampir tak ada investor yang mau mananan modalnya di Aceh, malah yang

terjadi adalah divestasi ataupun terbengkalainya investasi-investasi yang ada karena iklim

usaha yang sangat tidak kondusif akibatnya membuat ekonomi rakyat menjadi tambah

terpuruk disamping sulitnya mendapatkan pekerjaan. Kualitas hidup masyarakat Aceh

menjadi terdegradasi. Pendidikan dan kesehatan mengalami penurunan baik dalam kuantitas

maupun kualitas yang mengakibatkan daya saing NAD dengan daerah-daerah lain juga

menurun. Penduduk miskin jumlahnya menjadi bertambah, ( industri-industri yang ada

bekerja di bawah kapasitas dan sebagian ada yang harus di tutup) kesemuanya mengakibatkan

perekonomian Aceh mengalami kontraksi.

Kedatangan tsunami, memperburuk semua keadaan diatas, merusak tanah, pertanian,

perkotaan, nelayan dan menghancurkan semua asset dari korban tsunami ataupun daerah-

daerah yang di serang tsunami.

Untuk menarik investasi baru ke NAD maka diperlukan. usaha untuk memperbaiki kembali

seluruh infrastuktur yang rusak, memberikan pelayanan dan fasilitas yang cukup menarik bagi

investor untuk berusaha serta menciptakan clean and good governance serta lingkungan yang

kondusif yang akan dapat memberikan daya saing yang kuat bagi produk yang dihasilkan

investor.

Investasi yang masuk ke NAD akan memperluas lapangan kerja baru serta meningkatkan

pendapatan masyarakat. Kesempatan kerja juga dapat diciptakan melalui pemberian

kesempatan usaha dan memulai usaha baru bagi masyarakat yang telah kehilangan seluruh

asetnya sehingga mereka dapat memulai usaha dan menata hidup yang lebih baik bagi diri dan

keluarganya.

Seluruh investasi yang diberikan dalam bentuk bantuan phisik dan non phisik bagi NAD

harus dapat di dorong agar dapat memberikan dampak multiplier effect ( ganda ) di Aceh, dan

tidak terlalu banyak yang bocor ke luar Aceh dengan cara diusahakan untuk menggunakan

produk-produk lokal sebanyak mungkin dan melibatkan masyarakat di dalam proses

pembangunan. Keterlibatan ini akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk

mendapatkan pekerjaan dan pendapatan bagi mereka sehingga mereka mampu menata dan

merehabilitasi ekonomi keluarga mereka. Human capital investment. Harus diberikan

prioritas yang lebih besar dalam proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh meskipun

pembangunan phisik juga cukup penting pada saat ini sampai dengan beberapa tahun yang

akan datang.

Dampak terhadap pendidikan di Aceh tidak kalah parahnya, terutama untuk perguruan tinggi.

Sebelumnya cukup banyak mahasiswa dari luar Aceh yang belajar di Aceh (.di Univ.Syiah

Kuala dan IAIN Ar Raniry ) baik untuk program S1, S2 maupun S3, yang telah dibuka

Demikian juga dengan pelatihan / training tingkat Nasional yang dilaksanakan di Aceh.

Kini sudah susah mengundang mahasiswa mahasiswa luar daerah ke Aceh, karena secara

psikologis mungkin akan memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan dampak

psikologis ini. Padahal untuk menjadi perguruan tinggi nasional UNSYIAH dan IAIN harus

mampu merekrut mahasiswa pada tingkat nasional bukan hanya berasal dari Aceh saja,

apalagi kalau kita ingin menjadi perguruan tinggi Internasional, tentu harus pula mampu

mengundang mahasiswa asing belajar di Aceh seperti yang telah dilakukan oleh beberapa

perguruan tinggi di Indonesia untuk beberapa bidang ilmu seperti Kedokteran.dll Ini belum

lagi kita kehilangan dampak ekonomi terhadap masyarakat dengan berkurangnya populasi

mahasiswa di Aceh.

Secara sederhana saja kita bisa melihat suatu contoh apabila :

- Anggaran Univeritas Syiah Kuala tahun 2006 mencapai Rp. 117 miliyar untuk gaji

pegawai, belanja barang dll. Yang dibiayai dari pusat.

- Biaya yang dikeluarkan oleh +/- 15.000 mahasiswa kalau rata-rata per orang/ per bulan

sebesar Rp. 150.000, maka per tahun menjadi 27 miliyar.

- Bantuan pemda Rp. 25 milyar

- Kalau SPP per tahun Rp. 1.000.000 = Rp 15 miliyar,

kalau semua uang ini di belanjakan di Banda Aceh, dan dengan memperkirakan Marginal

Propensity to Consume sebesar 0,9 ; maka dampak ganda (multiplier effect ) yang akan

terjadi terhadap masyarakat di Banda Aceh = 10 x Rp. 184 miliyar = Rp 1, 84 triliun per

tahun. Artinya masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya akan mengalami mengalirnya

tambahan pendapatan disebabkan adanya Universitas Syiah Kuala sebesar Rp. 1,84 triliun

per tahun. Ini belum lagi dari IAIN dan PTS lainya yang ada di Banda Aceh. Suatu

dampak ekonomi yang cukup besar dari kehadiran perguruan tinggi. Kita bisa melihat

bagaimana Yogya dengan adanya UGM, IKIP dan PTS yang jumlahnya cukup banyak

sampai kotanya di gelar sebagai kota pelajar. Begitu juga dengan kota Depok, setelah UI

pindah kampus ,kota Depok tumbuh secara luas biasa cepatnya dalam hanya beberapa tahun.

Ini hanya baru kita lihat dari dampak ekonomi nya saja, belum lagi dari sektor sektor yang

lain yang terkait dengan kualitas SDM . oleh sebab itu kita juga perlu membangun kembali

dengan lebih baik pendidikan tinggi yang ada di Aceh, disamping pendidikan dasar dan

menengah serta balai latihan ketrampilan sebagai human capital investment. Balai latihan

dapat digunakan untuk melatih ketrampilan khusus kepada para pencari kerja baik yang

didalam negeri maupun yang akan keluar negeri.. Pada saat kesempatan kerja di Indonesia

tidak cukup tersedia, maka mengirim tenaga kerja keluar negeri adalah pilihan yang harus

kita berikan perhatian yang besar.

Pengembangan pariwisata yang sesuai dengan kondisi dan situasi NAD mungkin dapat

menjadi suatu objek ekonomi yang perlu dipertimbangkan . NAD yang kaya dengan objek

wisata alam , pantai yang indah, daerah pegunungan yang sejuk, daerah kepulauan yang

mempesona, taman nasional, objek sejarah kerajaan Islam dan perjuangan melawan

penjajahan termasuk , merupakan suatu potensi yang cukup layak untuk dijual. . Musibah

tsunami pun dapat kita rubah menjadi wisata yang sangat menarik, kalau bisa kita kemas

dengan baik. Dalam merehabilitasi Aceh kembali , jangan sampai menghilangkan sejarah

yang sangat penting bagi umat manusia untuk belajar. Suasana Aceh yang semakin aman

dan kondusif, pelaksanaan syariat Islam, kesemuanya ini akan dapat menjadi 0objek yang

menarik bagi para wisatawan dalam dan luar negeri, dan ini akan membuka Aceh untuk

investasi , yang berarti juga membuka kesempatan kerja . Berikan jaminan keamanan,

pelayanan dan fasilitas yang baik, kepastian hukum, clean and good governance dari

pemerintah daerah, kerja sama yang baik dan keramahan dari masyarakat Aceh, adalah suatu

prekondisi yang akan mampu menarik baik para investor maupun wisatawan ke Aceh yang

akan ikut menggerakkan ekonomi daerah Aceh. Aceh memerlukan investasi yang besar

disektor pertanian, kehutanan, perikanan, agro industry/processing, perkebunan ,

pertambangan dan industri. Kita harus belajar kembali dari banyaknya industri dan usaha

yang ditutup (divestasi) di Aceh pada masa lalu agar kita tidak mengulangi kesalahan yang

sama, disamping juga perlu “political will “ dari pemerintah pusat, dan tentunya juga

memerlukan lobi dari Pemda dan masyarakat Aceh untuk meyakinkan pusat disamping

memperlihatkan kinerja daerah yang baik dan bersih dalam pengelolaan keuangan di daerah.

Ketimpangan Distribusi Pendapatan pasca Konfliik dan Tsunami di Aceh

Situasi pasca konflik dan pasca tsunami bagi Aceh kelihatannya akan menciptakan suatu

ketimpangan baru dalam distribusi pendapatan yang semakin lebar ( inequality in income

distribution ) antara kelompok masyarakat yang kaya dan kelompok miskin. Tsunami telah

ikut memperparah keadaan ini. Kita bisa melihat ratusan ribu korban tsunami yang telah

kehilangan asset dan milik mereka segala galanya. Memerlukan waktu yang cukup panjang

dan usaha yang ekstra keras untuk bisa bangkit kembali kekeadaan sebelum tsunami,

sebahagian mungkin tidak pernah akan bisa bangkit kembali. Mereka tidak punya rumah ,

tidak punya pekerjaan, dan mungkin tidak punya modal dan asset untuk memulai usaha

apapun yang mungkin mereka lakukan. Pendidikan dan ketrampilan yang kurang mereka

miliki akan mebuat lebih susah bangkit lagi, dan mereka akan tetap berada pada kelompok

pendapatan terendah ( the lowest income bracket ). Sebaliknya kelompok masyarakat yang

tidak terkena tsunami , mereka memperoleh “ windfall profit “, dimana mereka masih

memiliki asset, dan kini nilai asset mereka naik dengan sangat drastis. Ini tercermin dari nilai

sewa asset mereka ( economic rent ) yang sangat tinggi yang disebabkan berlakunya hukum

permintaan dan penawaran serta keberadaan orang asing dan badan badan internasional.

Tidak terbayangkan oleh kita sebelumnya bahwa sewa rumah untuk 2 atau 3 tahun telah

cukup untuk membangun rumah baru yang sama nilainya dengan rumah yang disewakan

tersebut. Polarisasi pendapatan telah terjadi antara yang menjadi korban tsunami dengan

yang tidak. Demikian pula halnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Bagi tenaga dengan

pendidikan dan ketrampilan yang baik, mudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan

yang cukup besar, mendekati standar internasional; namun sebaliknya bagi yang tidak ada

ketrampilan dan pendidikan nya rendah, tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia,

kalaupun ada, upahnya tetap rendah. Akumulasi pendapatan akan terus terjadi pada

kelompok masyarakat yang berpendidikan dan tidak terkena tsunami, paling tidak untuk

beberapa tahun kedepan, dan celah ketidak adilan dalam distribusi pendapatan antara

kelompok atas dengan miskin juga akan terus terjadi. Koefisien Gini ratio akan menjadi

semakin besar, mendekati satu, apabila usaha khusus untuk mengurangi kemiskinan dan

ketimpangan distribusi pendapatan tidak dilakukan sejak sekarang pada masa rekonstruksi

dan rehabilitasi Aceh. Sering terjadi dalam pembangunan ekonomi, posisi sosial dan

ekonomi awal , akan menjadikan pola distribusi pendapatan tidak berobah (fixed the

distribution pattern), apabila kita tidak memberikan perhatian dan tidak berusaha melakukan

pemerataan, tetapi hanya menyerahkan pada pasar dengan “trickle down effect “ yang tidak

pernah bekerja dengan baik. Maka terjadilah pameo dalam pembangunan ekonomi yaitu :

“ yang kaya menjadi bertambah kaya, yang miskin bertambah anak “

Beberapa Alternatif Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan dan Ketimpangan

Distribusi Pendapatan

Menanggulangi dan menentaskan kemiskinan bukanlah usaha yang mudah dan

sederhana, tetapi harus dilakukan dengan perencanaan yang terintegrasi dan terkoordinir

dengan baik dengan bermacam macam kebijakan ( kebijakan bersegi banyak ) yang harus

tercermin dalam setiap kebijakan pemerintah dan dilakukan secara bersama sama oleh

pemerintah dan masyarakat dalam waktu yang relatif panjang dan berkelanjutan.

(1). Salah satu program bantuan yang pernah dilakukan pemerintah kepada orang

miskin adalah program IDT ( Inpres Desa Tertinggal ) pada tahun 1994 s/d 1996., yaitu

bantuan yang diberikan dalam bentuk modal kerja kepada kelompok masyarakat miskin yang

berada didesa desa tertinggal. Bantuan ini merupakan revolving funds sebesar Rp 20 juta

pertahun per desa selama 3 tahun, berhasil menurunkan jumlah masyarakat miskin dari 17 %

menjadi 12 % pada waktu itu. Tetapi sayang program ini hanya diberikan terlalu pendek,

selama 3 tahun. Studi evaluasi yang dilakukan pada 10 desa di Aceh dan Sumatera Utara

memperlihatkan bahwa 70 % dari program IDT berhasil meningkatkan pendapatan

kelompok masyarakat yang menjadi target. Mungkin program mirip seperti ini dengan

modifikasi perlu dilakukan untuk memberdayakan kelompok miskin di Aceh guna menolong

dirinya sendiri secara berkelompok.

(2). Perlu dilakukan distribusi asset seperti pemberian tanah pertanian atau perkebunan

untuk masyarakat miskin melalui transmigrasi lokal ataupun pengalihan bekas HPH kepada

mereka untuk melakukan usaha produktif yang diikuti dengan pemberian kredit untuk

modal kerja., baik untuk perkebunan maupun untuk hutan tanaman industri serta reboisasi.

(3). Membuka lapangan kerja baru , atau memberi insentif bagi labor intensive

industry, dan melibatkan masyarakat miskin dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh

serta mengusahakan penggunaan produk produk lokal yang akan membuka lapangan kerja

lebih luas di Aceh.

(4). Meningkatkan produktifitas pertanian yang akan dapat meningkatkan pendapatan

petani , serta memperkenalkan sistim agrobusiness dengan multiple cropping ,dan melakukan

diversifikasi produk yang mempunyai harga lebih baik, ataupun menggunakan sistim

kombinasi antara perkebunan dengan peternakan, disamping mengembangkan industri

industri prosessing (agriculture processing industry).

(5). Mengembangkan armada nelayan yang modern yang dapat menangkap ikan dilaut

dalam, disamping membangun kembali tambak tambak ikan serta pengembangan ikan air

tawar dengan merehabilitasi hutan hutan mangrove yang telah rusak

(6). Memberikan kesempatan kepada anak anak dari keluarga miskin mengikuti

pendidikan secara gratis serta diiringi dengan pemberian beasiswa untuk menjamin mereka

dapat menyelesaikan pendidikan nya dengan baik.

(7). Program pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin dan pemenuhan gizi anak

harus tetap dapat disediakan oleh pemerintah secara baik dan berlanjut disamping mengobati

penyakit penyakit menular dan penyakit kronis yang akan menurunkan produktifitas mereka.

dan menghindari terjadinya “ lost generation “

(8). Melanjutkan dan mengembangkan program keluarga berencana.

(9). Subsidi (transfer payment) harus dapat dilakukan secara selektif bagi yang

membutuhkannya sebagi suatu safety net.

Jakarta , 20 April 2006.