ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user...

117
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Asri Dwi Utami NIM. E 0008117 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)

Transcript of ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user...

Page 1: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Asri Dwi Utami

NIM. E 0008117

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

(STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)

Page 2: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 3: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

Page 5: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO “dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui

selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai

daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam

kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak

tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuz)”. (QS. Al An’am: 59)

Aku adalah apa yang hambaku sangkakan, dan Aku akan selalu bersamanya

selama ia mengingat-Ku (Muttafaq’alaih)

“The greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time we

fall”. (Nelson Mandela)

Kebahagian sejati adalah setiap hal yang ada di kehidupan kita.. be Happy ^^

(Lee Teuk-ssi)

Dream..Try..Believe..And Will be Happen (penulis)

Page 6: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada :

Orang Tua

Bangsa dan Tanah Air ku Indonesia. I LOVE INDONESIA !

Almamater, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Orang-orang yang mempunyai mimpi dan senantiasa berusaha meraihnya

Page 7: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRAK

Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan hukum internasional mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas dengan menganalisa kasus Kapal Sinar Kudus MV. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, bersifat preskriptif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode analisis bahan hukum menggunakan metode deduktif dalam penalaran hukum.

Hasil penelitian mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas adalah bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional yang dapat dijadikan sebagai landasan. Aturan-aturan tersebut yaitu Convention on the High seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988) dan ketentuan yang diatur oleh organisasi internasional serta hukum yang berlaku di kawasan tertentu. Berdasarkan aturan hukum internasional tersebut seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus MV dapat dilakukan dengan cara lain (tidak dengan pembayaran uang tebusan). Penyelesaian yang sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yurisdiksi Indonesia, yurisdiksi Somalia maupun yurisdiksi universal

Kata kunci : Perompakan, Sinar Kudus MV, Yurisdiksi

Page 8: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

ABSTRACT

Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALYSIS OF PIRACY JURISDICTION ON THE HIGH SEAS BY INTERNATIONAL LAW (CASE STUDY ON THE SINAR KUDUS MV SHIP PIRACY). Faculty of Law Sebelas Maret University Surakarta.

This research aims to determine the international law rules concerning piracy on the high seas by analyzing the application of jurisdiction case on Sinar Kudus MV ship case. This research is a normative legal research with prescriptive characteristic. The approach researches are statute approach and cases approach. The law materials used by this research are primary, secondary and tertiary materials. For the analysis, it uses a deductive method.

The results of the research show that there has been international law rules which can be used as the basis for all states to apply their jurisdiction to the piracy cases. These rules are the Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), and the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988). Instead of these international rules, some codes and guidances concerning combating piracy are also concluded by international organizations. Based on these international rules, the Indonesian government has some alternatives to prosecute pirates, instead of ransom money payment. These alternatives are either employing Indonesian or Somalia jurisdiction; regional jurisdiction; and universal jurisdiction. Keywords : Piracy, Sinar Kudus MV, Jurisdiction.

Page 9: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

serta diiringi rasa syukur penulis panjatkan, penulisan hukum (skripsi) dengan

judul “ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT

LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS

PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)” dapat penulis selesaikan.

Penulisan hukum ini membahas mengenai

Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini,

sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat

penulis harapkan untuk memperkaya penulisan hukum ini. Dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai

pihak, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan

kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Ibu Sri Lestari, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik

penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan dan perhatian

kepada penulis.

4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I Skripsi yang telah

sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, dan motivasi demi

kemajuan Penulis.

5. Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II

Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat,

obrolan-obrolan bermanfaat dan motivasi demi kemajuan Penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat

Page 10: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis

amalkan.

7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta terima kasih atas bantuannya.

8. Kementrian Luar Negeri khususnya Dinas 3 Polkamwil yang telah

memberikan Penulis banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak akan

pernah terlupakan.

9. Orang tua penulis, terimakasih atas cinta, doa dan pengorbanannya selama

ini hingga sampai detik ini penulis hanya dapat membalas dengan doa dan

hanya mampu berucap terimakasih lagi terimakasih.

10. Arum Setyowati dan Heri Kurnianto, terimakasih sudah memberikan

motivasi, doa dan bimbingan selama ini tanpa support dari kalian tidak

akan pernah penulis menjadi seperti ini.

11. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah

membantu dam mengisi hari-hari penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Surakarta,

Penulis

Page 11: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.................................................

HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..

MOTTO…………………………………………………………………

HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………...

ABSTRAK………………………………………………………………

KATA PENGANTAR………………………………………..................

DAFTAR ISI…………………………………………………………….

DAFTAR TABEL….……………………………………………………

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………

A. Latar Belakang………..……………………………………..

B. Rumusan masalah…………………………………………...

C. Tujuan Penelitian……………………………………………

D. Manfaat Penelitian…………………………………………..

E. Metode Penelitian…………………………………………...

F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………..

A. Kerangka Teori………..…………………………………….

1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan

United Nations Convention on Law of the Sea

1982………………………………..................................

2. Tinjauan tentang yurisdiksi …………………….............

3. Tinjauan tentang jenis kapal laut………………………

4. Tinjauan tentang status kapal di laut lepas……………

5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut………………

i

ii

iii

iv

v

vi

vii

ix

xi

xiii

xiv

1

1

4

4

5

6

10

12

12

12

20

23

25

26

Page 12: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

30

32

32

32

34

42

49

49

90

101

102

109

B. Kerangka Pemikiran………..………………………………

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….

A. Hasil Penelitian……………………......................................

1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara

Somalia…………………………………………………..

2. Gambaran tentang perompakan Somalia………………..

3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV……….....

B. Pembahasan……………………............................................

1. Pengaturan perompakan di laut lepas menurut hukum

internasional…………………….....................................

2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal

Sinar Kudus MV ditinjau dari aspek hukum

internasional……………………………………………..

BAB IV. PENUTUP…………………………………………………….

A. Simpulan…………………………………………………….

B. Saran…………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

39

83

Tabel 1: Kapal yang dirompak di afrika tahun 2010-

2011……………………………………....................................

Tabel 2: Resume aturan hukum internasional mengenai

perompakan……………………………………........................

Page 14: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

12

30

34

36

39

42

Gambar 1: Gambar pembagian wilayah laut…………………………….

Gambar2: Skema Kerangka Pemikiran ………………………………...

Gambar3: Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia…………….....

Gambar4: Gambar perluasan wilayah perompakan……………..............

Gambar5: Gambar total perompakan di beberapa negara……….............

Gambar6: Gambar jalur perompakan……………………………............

Page 15: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut sebagai cabang dari

hukum internasional telah mengalami banyak perubahan. Hukum laut mengalami

suatu revolusi yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Hukum

laut merupakan salah satu pembahasan yang pertama kali dilakukan dalam

konferensi internasional, hukum laut diberikan ruang yang luas dalam

pembahasan di perjanjian multilateral (D.J Harris, 1998: 368). Pada abad

ketujuhbelas Portugis menyatakan laut lepas sebagai bagian dari laut teritorial

Portugis, namun klaim ini ditanggapi oleh Grotius yang mengelaborasikan nilai

doktrin laut lepas sebagai res communis yang berarti laut lepas merupakan milik

masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil/dimiliki oleh masing-masing

negara (Malcolm N Shaw, 2008: 553).

Konferensi internasional yang mengatur mengenai hukum laut telah di mulai

sejak tahun 1930 dengan adanya kodifikasi hukum internasional yang salah

satunya mengatur mengenai laut teritorial. Pada tahun 1958 diadakan lagi

konferensi internasional dan mengatur khusus mengenai hukum laut yang

menghasilkan 4 konvensi tentang hukum laut, yakni Konvensi atas Laut Teritorial

dan Zona Tambahan (Teritorial Sea and Contiquous Zone), Konvensi atas Laut

Bebas (The Convention on The High Seas), Konvensi atas Landasan Kontinental

(The Convention on The Continental Shelf), dan Konvensi atas Penangkapan Ikan

dan Konservasi Sumber Daya Hidup Laut Bebas (The Convention on Fishing and

Conservation of Living Resources of The High Seas) (Rebecca

M.M.Wallace,1993: 141).

Sejalan dengan adanya perkembangan jaman dan banyaknya bahaya di laut

maka diadakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke III atas hukum

laut. Pada tanggal 30 April 1982 konferensi tersebut telah ditandatangani oleh 119

negara, dan menghasilkan Konvensi Hukum Laut yang baru yaitu United Nations

Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Pembahasan mengenai

1

Page 16: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

hukum laut dilakukan karena dilatarbelakangi oleh fungsi laut yang merupakan

jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain ke seluruh

pelosok dunia untuk segala macam kegiatan (Boer Mauna, 2005: 304). Karena

fungsi tersebut, kejahatan sering terjadi di laut, hal ini disebabkan karena laut

dijadikan sebagai jalur transportasi yang sering digunakan untuk menghubungkan

antar negara.

Kejahatan yang sering terjadi di laut salah satunya adalah perompakan.

Perompakan sudah ada sejak zaman Illyrians tahun 233 SM. Pada saat itu,

kekaisaran Romawi telah melakukan upaya untuk melindungi pedagang Italia dan

Yunani dari kejahatan perompakan ketika berlayar di laut. Namun perompakan

tetap tidak berkurang, para perompak terus bertahan dan menyebar ke berbagai

lokasi di seluruh dunia (Sergei Oudman, http://www.e-ir.info/2010/02/24/piracy-

jure-gentium-international-law/).

Tindakan perompakan mengancam keamanan pelayaran, membahayakan

awak buah kapal dan keamanan dalam perdagangan. Tindakan kejahatan

perompakan ini dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, kerusakan fisik kapal atau

penyanderaan awak buah kapal, gangguan untuk perdagangan dan navigasi,

kerugian keuangan untuk pemilik kapal, peningkatan premi asuransi dan biaya

keamanan, meningkatkan biaya bagi konsumen dan produsen, dan kerusakan pada

lingkungan laut. Serangan perompakan juga dapat memiliki konsekuensi yang

luas, termasuk mencegah bantuan kemanusiaan dan meningkatkan biaya

pengiriman masa depan ke daerah-daerah (division for ocean affairs and the law

of the sea, http://www.un.org/Depts/los/piracy/piracy.htm).

UNCLOS 1982 memberikan kerangka untuk menekan perompakan di

bawah hukum internasional, khususnya dalam Pasal 100-107. Dewan Keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menegaskan bahwa hukum

internasional, sebagaimana tercermin dalam UNCLOS 1982, menetapkan

kerangka hukum yang berlaku untuk memerangi perompakan dan perampokan

bersenjata di laut (Resolusi Dewan Keamanan 1897 (2009), diadopsi pada tanggal

30 November 2009) (division for ocean affairs and the law of the sea,

http://www.un.org/Depts/los/piracy/piracy.htm). Perompakan juga merupakan

Page 17: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

suatu tindak pidana yang berada diyurisdiksi semua negara di manapun tindakan

itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan kepentingan

masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai kejahatan

pelanggaran atas prinsip jus cogens (J.G. Starke, 2009: 304).

Secara umum istilah perompakan atau perampokan bersenjata di laut tidak

dibedakan secara pasti dan jelas. Namun dalam pengertian yang ada di dalam

Pasal 101 UNCLOS 1982 perompakan di laut diartikan secara sederhana yang

terdiri dari salah satu di antara tindakan yang merupakan tindakan kekerasan atau

penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan

untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau

pesawat udara swasta, dan ditujukan di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat

udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat

udara dan atau terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu

tempat di luar yurisdiksi negara manapun. Serta, setiap tindakan turut serta secara

sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui

fakta bahwa kapal atau pesawat udara tersebut digunakan untuk merompak.

Setiap tahun kasus perompakan mengalami peningkatan, menurut laporan

tahunan International Maritime Organitation (IMO), perompakan yang terjadi di

laut lepas di dunia pada tahun 2009 terdapat 406 kasus dan semakin meningkat

hingga 20,4%, terdapat 489 kasus pada tahun 2010 (IMO, MSC.4/Circ.169

http://www.imo.org/KnowledgeCentre/ShipsAndShippingFactsAndFigures/Statist

icalresources/Piracy/Pages/Piracy-reports-(annual)-1996-2010.aspx).

Kasus yang terjadi pada tahun 2011 yakni perompakan Kapal Sinar Kudus

MV yang dirompak oleh perompak dari Somalia di 320 mil laut sebelah timur laut

Pulau Socotra sebanyak 20 awak kapal yang berwarganegara Indonesia dijadikan

disandera oleh perompak Somalia. (Deni Doris,

http://www.dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id

=344%3Aperompakan-kapal-mv-sinar-kudus&Itemid=137). Upaya yang telah

dikerahkan dari pihak Indonesia untuk menyelesaikan kasus tersebut yakni

dengan melakukan negosiasi dengan pembayaran uang tebusan kepada para

perompak Somalia.

Page 18: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Pembayaran uang tebusan dan negosiasi yang diterapkan untuk

menyelesaikan kasus perompakan Sinar Kudus MV sesungguhnya bukan menjadi

solusi satu-satunya yang dapat diterapkan, melainkan ada alternatif solusi lain

yakni dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat dalam kasus tersebut.

Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

mengkaji lebih dalam mengenai yurisdiksi yang melekat pada perompakan kapal

laut di laut lepas menurut hukum internasional dengan studi kasus perompakan

kapal Sinar Kudus MV tersebut dengan judul “ANALISIS YURISDIKSI

PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS

MV)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aturan hukum internasional yang mengatur mengenai perompakan

di laut lepas?

2. Bagaimana penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus

MV ditinjau dari aspek hukum internasional?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan

subjektif dan tujuan objektif. Dalam penelitian hukum ini mempunyai tujuan

objektif dan tujuan subjektif adalah:

1. Tujuan objektif

Tujuan objektif merupakan tujuan umum yang mendasari penulis dalam

melakukan penelitian. Dalam penelitian hukum ini tujuan objektifnya sebagai

berikut:

a. Untuk mendeskripsikan aturan-aturan hukum internasional dalam mengatur

perompakan di laut lepas;

b. Untuk mengkaji penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan terhadap

kapal Sinar Kudus MV yang ditinjau dari aspek hukum internasional.

Page 19: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

2. Tujuan subjektif

Tujuan subjektif yaitu merupakan tujuan pribadi penulis yang mendasari

penulis dalam melakukan penelitian hukum. Dalam penelitian ini tujuan

subjektifnya sebagai berikut:

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu

hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum

Internasional, khususnya hukum laut di bidang perompakan;

b. Menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar kajian

tentang yurisdiksi perompakan di laut lepas ini memberikan manfaat bagi

penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang bernilai positif

karena berdasarkan alasan tersebutlah penulis melakukan penelitian ini. Adapun

manfaat yang diharapkan dari penulisan hukum ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian hukum ini, bertalian dengan

pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis penelitian hukum ini adalah

sebagai berikut :

a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya,

dan hukum Internasional pada khususnya;

b. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan

literatur dalam dunia kepustakaan tentang aturan hukum perompakan kapal

laut menurut hukum internasional;

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini berkaitan dengan pemecahan suatu

masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut :

Page 20: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan

membentuk pola pikir sekaligus mengetahui kemampuan peniliti dalam

penerapan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada semua

pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang

diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana efektif dan memadai dalam upaya

mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya hukum laut

internasional.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

Sesuai urgensi penelitian hukum untuk menghasilkan suatu argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah, maka

diperlukan metode penelitian sebagai rangkaian langkah untuk mencapai

preskripsi penelitian hukum. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah

sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan kajian

penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu

kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Penelitian yang dikaji penulis seiring dengan definisi dari penelitian

hukum normatif, diteliti dan disusun secara sistematis dengan menggunakan

bahan pustaka, baik bahan hukum primer seperti, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dengan

masalah yang diteliti. Telaah terhadap unsur hukum yang dimaksud dalam

Page 21: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui unsur yurisdiksi yang

terdapat dalam kasus perompakan kapal di perairan laut lepas secara

normatif.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian hukum adalah sejalan dengan sifat hukum itu sendiri.

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif

dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari

tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum konsep-konsep

hukum dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini

merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan

mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2005: 22).

Sifat preskriptif yang peneliti analisis adalah aturan hukum internasional

yang seharusnya diterapkan dalam kasus perompakan Sinar Kudus MV yakni

dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat terhadap kasus tersebut.

3. Pendekatan penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan penelitian hukum terdapat

beberapa macam pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan

mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba

untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam

penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).

Penelitian hukum ini akan menggunakan pendekatan undang-undang

(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan

undang-undang (statue approach) digunakan dengan menelaah isu hukum

yang diangkat dikaitkan dengan aturan-aturan yang terdapat pada UNCLOS

1982, Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), Convention for the

Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation

1988 (SUA 1988).

Page 22: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Selain hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan kasus (case

approach) melalui penelaahan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan

kapal Sinar Kudus MV yang terjadi pada tahun 2011.

4. Jenis bahan hukum

Penelitian hukum memerlukan sumber penelitian untuk memecahkan

isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai yang seyogyanya.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber penelitian hukum dapat dibedakan

menjadi sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-

bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier (Peter Mahmud

Marzuki, 2005: 141).

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud

Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum

yang mengikat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum

primer seperti :

1) Convention on the High Seas 1958

2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982;

3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of

Maritime Navigation 1988 (SUA 1988)

4) Resolusi Dewan Keamanan PBB

5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,

2005: 141).

Page 23: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai pendukung untuk

menelaah segala isu hukum dalam penelitian ini diantaranya adalah

dokumen publik dan catatan resmi (public documents and officials

records) yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan

perompakan di laut lepas dalam ranah hukum. Selain itu penulis

memperoleh bahan hukum dari buku-buku teks, jurnal-jurnal, artikel,

penelitian terdahulu, media elektronik serta media massa yang mengulas

mengenai perompakan di laut lepas yang dimaksud serta sumber lain

yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

Bahan hukum sekunder yang akan penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah buku-buku, jurnal, dan teks yang berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji. Bahan hukum sekunder yang dipakai penulis

dalam hal ini antara lain :

1) Jurnal-jurnal, antara lain:

a) Lucas Bento.2011. “Toward An International Law of Piracy Sui

Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy Law Enables

Piracy to Flourish”. Berkeley Journal of International Law. Vol.

29 No. 2

b) Tri Setyawan R. 2005. “Pengaturan Hukum Penanggulangan

Pembajakan dan Perompakan Laut di Wilayah Perairan

Indonesia”. Media Hukum/Vol.V/No1/Januari - Maret/ 2005 No

ISSN 1411-3759.

2) Buku teks mengenai hukum Internasional:

a) D.J Harris tahun 1998 dengan judul Cases and Materials on

International Law diterbitkan oleh Sweet and Maxwell Limited,

London

b) J.G Starke. Tahun 2009 dengan judul Pengantar Hukum

Internasional diterbitkan oleh Sinar Grafika, Jakarta.

c. Bahan Hukum Tersier yakni bahan hukum yang bersifat menunjang

bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian, peneiliti

menggunakan bahan hukum tersier berupa Blacks Law Dictionary.

Page 24: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

5. Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah

menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier diinventarisasi dan

diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas dipaparkan, di

sistemisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang

berlaku (Johny Ibrahim, 2006: 296).

6. Teknik analisis bahan hukum

Analisis bahan hukum ini menggunakan metode deduktif dalam

penalaran hukum. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis

mayor dan kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian

ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47).

Analisis yang digunakan penulis melalui metode deduksi ini berupa

penyajian premis mayor terkait konsep menurut peraturan dalam aturan

hukum internasional tentang perompakan di laut lepas kemudian premis

minor ditunjukkan dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan

terhadap kapal Sinar Kudus MV di laut lepas. Kesimpulan yang diperoleh

dari kedua premis yakni tidak digunakannya penerapan yurisdiksi yang diatur

dalam hukum internasional terhadap kasus perompakan kapal Sinar Kudus

MV.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yang tiap-tiap bab terbagi

dalam sub-sub bagian agar memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil

penelitian ini. Sistematika penulisan hukum yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Metode

penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan

penelitian, sumber penelitian hukum, teknik pengumpulan bahan

hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

Page 25: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori

terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini

yakni: Tinjauan terhadap pembagian wilayah laut berdasarkan

UNCLOS 1982, tinjauan tentang yurisdiksi, tinjauan tentang

jenis-jenis kapal laut, tinjauan tentang status kapal laut di laut

lepas, tinjauan tentang perompakan kapal laut.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab

pertanyaan-pertanyaan tentang aturan-aturan hukum dalam

penyelesaian terhadap perompakan di laut lepas yang dikaitkan

dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal

Sinar Kudus MV.

BAB IV : PENUTUP

Berisi simpulan yang merujuk dari hasil penelitian dan

pembahasan serta saran yang diajukan penulis terkait simpulan

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.

Page 26: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Sebuah tinjauan pustaka berguna sebagai dasar teori dalam penulisan

hukum, maka penulis dalam Bab ini akan menguraikan beberapa teori yang

menjadi dasar teori dalam penulisan hukum ini seperti pembagian laut menurut

UNCLOS 1982, yurisdiksi, jenis-jenis kapal, status kapal dan perompakan. Selain

hal tersebut, dalam Bab ini penulis mencantumkan sebuah kerangka pemikiran

untuk mengetahui alur berfikir dalam penulisan hukum ini.

1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan United Nations

Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982)

Gambar 1

Gambar pembagian wilayah laut

(Sumber : http://tugino230171.wordpress.com/2011/05/01/perkembangan-

wilayah-laut-indonesia/)

Berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut laut dibagi dalam beberapa kategori

sebagai berikut:

a. Perairan pedalaman

Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat

(dalam) garis pangkal. Di wilayah perairan dalam ini, negara memiliki

kedaulatan penuh atasnya. Tidak ada kapal asing yang diperbolehkan

masuk ke dalam wilayah ini kecuali dalam keadaan yang bersifat memaksa

(Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 186).

12

Page 27: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

b. Laut teritorial

Pasal 3 UNCLOS 1982 mengatur bahwa setiap negara mempunyai

hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang

tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan

sesuai dengan UNCLOS 1982 ini. UNCLOS 1982 memberikan

keleluasan bagi setiap negara untuk menetapkan lebar laut teritorialnya

hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis

pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 juga (Albert W

Koers, 1991: 7).

Negara mempunyai kewenangan dalam laut teritorial yakni negara

berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut

termasuk dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non-hayati dalam

air tersebut. Namun, negara berkewajiban menyediakan jalur khusus bagi

pelintasan kapal-kapal asing yang akan melewati laut wilayah tersebut.

Jalur tersebut sering disebut sebagai innocent passage atau jalur lintas

damai. Aturan mengenai jalur lintas damai ini diatur dalam pasal 19

UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa lintas damai adalah lintas yang

dilakukan kapal sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban

atau keamanan negara. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan

ketentuan UNCLOS 1982 dan peraturan hukum internasional lainnya.

Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh

kapal-kapal dagang/ pariwisata asing untuk secara bebas melintasi jalur

tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman,

melakukan komunikasi dengan orang/ lembaga dari negara pantai dengan

syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan

negara pantai. Kewajiban negara terhadap lintas damai diatur dalam Pasal

24 UNCLOS 1982, yakni negara tidak dipekenankan menghalangi lintas

damai kapal asing yang melalui laut teritorialnya.

Negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas baik secara perdata

maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang melintas di jalur

lintas damai. Pasal 27 UNCLOS 1982 mengatur hal tersebut, yakni

Page 28: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

yurisdiksi kriminal negara tidak dapat diterapkan di atas kapal asing yang

sedang melintasi laut teritorial, kecuali dalam hal kejahatan yang terjadi di

atas kapal asing tersebut dirasakan oleh negara teritorial dan mengganggu

kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah, telah diminta

bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal, wakil diplomatik atau

pejabat konsuler negara bendera, tindakan demikian diperlukan untuk

menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropica. Hak

negara dapat digunakkan untuk mengambil langkah apapun berdasarkan

undang-undangnya untuk tujuan penangkapan atau penyidikan di atas

kapal asing yang melintasi laut teritorialnya setelah meninggalkan perairan

pedalaman.

c. Zona tambahan (Contiguous Zone)

Zona tambahan merupakan suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi

24 mil dari garis pangkal. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 33 UNCLOS

1982, bahwa negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah

terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan pada wilayahnya

atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapkan

hukumnya (Albert W Koers, 1991: 7).

Zona tambahan negara pantai mempunyai kewenangan sebagai

berikut:

1) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai,

fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya;

2) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di

atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya

d. Zona ekonomi ekseklusif (ZEE)

Pengertian zona ekonomi eksklusif dirumuskan dalam Pasal 55

UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona ekonomi eksklusif adalah

suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk

pada rejim hukum khusus. Ditegaskan pula di dalam Pasal 57 bahwa lebar

zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis

pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.

Page 29: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai beberapa hak

yang dapat dinikmati :

1) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati

maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut

dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk

keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti

produksi energi dari air, arus dan angin;

2) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan

dengan UNCLOS 1982 ini berkenaan dengan:

(a) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;

(b) Riset ilmiah kelautan;

(c) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

3) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam UNCLOS

1982.

ZEE memiliki perbedaan dengan laut teritorial. ZEE tidak tunduk

pada kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hak-

hak berdaulat dan bukan kedaulatan. Hal ini dapat dilihat di Pasal 58

UNCLOS 1982 bahwa di zona ekonomi eksklusif di semua negara dengan

tunduk pada ketentuan yang relevan dengan UNCLOS 1982, mengamati

kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel

dan pipa bawah laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum

internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti

penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat

udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-

ketentuan lain dalam UNCLOS 1982 ( Albert W. Koers, 1991: 8).

e. Laut lepas

Sudah menjadi suatu ketentuan umum yang berasal dari hukum

kebiasaan bahwa permukaan laut dibagi atas beberapa zona dan yang

paling jauh dari pantai dinamakan laut lepas. Laut lepas merupakan semua

bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau dalam

Page 30: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

perairan internal suatu negara, definisi ini kemudian sudah mendapatkan

modifikasi dengan lahirnya UNCLOS 1982 (Rebecca M.Wallace, 1993:

155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi atas pengertian laut lepas

yakni semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi

eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau

perairan kepulauan suatu negara kepulauan, yang tidak mengakibatkan

pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua negara di

zona ekonomi eksklusif. Sedangkan, Pasal 86 UNCLOS 1982 menyatakan

bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk

dalam zona ekonomi ekseklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan

pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara

kepulauan. Dengan menilik hal tersebut maka yang disebut laut lepas

adalah perairan yang terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar zona

ekonomi ekseklusif.

Menurut Black’s Law Dictonary, Laut Lepas adalah the Seas or

oceans beyond the jurisdiction of any country. Under traditional

international law, the high sea began 3 miles from the coast, today the

distance is generally accepted to be 12 miles. Under the UNCLOS 1982

coastal shores now have 200 miles exclusive economic zone. Laut lepas

sebagai laut atau samudera di luar yurisdiksi setiap negara. Dahulu dalam

hukum internasional laut lepas di mulai 3 mil dari tepi pantai, akan tetapi

sejalan dengan perkembangan jarak yang disepakati secara umum menjadi

12 mil. Setelah adanya UNCLOS 1982 laut lepas dihitung setelah 200mil

dari garis pangkal. (Bryan A Ganner, 1999: 1466):

Laut lepas terbuka untuk semua negara baik itu negara pantai

maupun negara bukan pantai. Prinsip yang digunakan dalam konsep laut

lepas menggunakan prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak

berlakunya kedaulatan, hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara (Jawahir

Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 189).

Menurut Pasal 2 CHS tahun 1958 mengatakan bahwa laut lepas

harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh

Page 31: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

mengklaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Hal ini

diperjelas kembali dalam Pasal 82 UNCLOS 1982, laut lepas terbuka

untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan

laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam

UNCLOS 1982 dan ketentuan lain di hukum internasional. Kebebasan laut

lepas itu meliputi laut lepas baik untuk negara pantai atau negara tidak

berpantai:

1) Kebebasan berlayar;

2) Kebebasan penerbangan;

3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;

4) Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang

diperbolehkan berdasarkan hukum internasional;

5) Kebebasan menangkap ikan;

6) Kebebasan riset ilmiah.

Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan

memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam

melaksanakan kebebasan laut lepas dan juga dengan memperhatikan

sebagaimana mestinya hak-hak dalam UNCLOS 1982 yang berhubungan

dengan kegiatan di kawasan di laut lepas. Kebebasan yang dimaksud juga

untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun negara dapat menegakkan

yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya digunakan untuk

kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Hal ini diakomodir di dalam

Pasal 89 UNCLOS 1982, pasal ini menjelaskan bahwa tidak ada suatu

negara pun yang dapat secara sah menundukkan kegiatan manapun dari

laut lepas pada kedaulatannya

Pasal 90 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa setiap negara,

mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut

lepas. Dengan begitu, harus adanya suatu keterkaitan yang jelas antara

kapal dengan bendera negaranya, ditegaskan pula dalam Pasal 92 bahwa

status kapal di laut lepas sebagai berikut :

Page 32: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

1) Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu negara saja dan kecuali

dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam

perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk

pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas.

2) Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu

dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang

disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan

yang nyata atau perubahan pendaftaran.

3) Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih,

dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut

salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan

dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan.

Begitu juga ketika terjadi pelanggaran atau tindak kejahatan di laut

lepas di atas kapal, maka yurisdiksi negara bendera yang berkibar di kapal

tersebutlah yang berkewenangan untuk mengadilinya. Pengejaran seketika

suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari

negara pantai memiliki alasan yang cukup untuk mengira bahwa suatu

kapal telah melanggar peraturan perundang-undangan negaranya.

Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing berada pada

perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan

negara pantai dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona

tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika

ini diakomodir dalam Pasal 110 UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai

aturan-aturan dalam proses pengejaran seketika tersebut.

Hak pengejaran seketika berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran

terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan

dengan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona

keselamatan, di sekitar instalasi-instalasi di landas kontinen. Hak

pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki

laut teritorial negaranya sendiri atau negara ketiga. Hak pengejaran

seketika ini hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat

Page 33: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

udara militer atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan

dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara pemerintah dan berwenang

melakukan tugas itu. Apabila kapal asing yang telah dihentikan atau

ditahan di luar laut teritorial itu dalam keadaan tidak dibenarkannya

tindakan pengejaran seketika, dan kapal tersebut menderita kerugian, maka

kapal asing itu harus mendapat ganti kerugian sebesar kerugian yang

dideritanya.

f. Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional

Semua kapal dan pesawat terbang (termasuk kapal perang dan

pesawat terbang militer) dari semua negara untuk tujuan ‘continuous and

expeditious transit’ dari satu laut lepas (high sea) atau zona ekonomi

ekseklusif (exclusive economic zone) menuju laut bebas atau zona

ekonomi eksklusif lainnya yang lain, berhak atas lintas transit (transit

passage) di selat-selat yang digunakan untuk navigasi internasional

(Sahono Soebroto, 1983: 10). Pasal 44 UNCLOS 1982, mengatur tentang

kewajiban negara yang berbatasan dengan selat dirumuskan bahwa

negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menghambat lintas

transit dan harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi

pelayaran atau penerbangan lintas di dalam atau di atas selat yang

diketahuinya.

g. Landas kontinen

Batas landas kontinen adalah kelanjutan garis batas dari daratan

suatu benua yang terendam sampai kedalaman 200m di bawah

permukaan air laut. Menurut Pasal 77 UNCLOS 1982, hak negara di

landas kontinen ini mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan

mengeksploitasi kekayaan alamnya baik hayati termasuk jenis ikan

sedenter serta kekayaan alam non hayati termasuk minyak dan gas bumi.

Perlu dicatat bahwa pada bagian landas kontinen yang berada dalam batas

200 mil zona ekonomi ekslusif, hak-hak tersebut bersamaan dengan hak-

hak yang dinikmati berdasarkan Pasal 56 konvensi mengenai zona

ekonomi ekslusif (Heru Prijanto, 2007 : 15).

Page 34: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

2. Tinjauan tentang yurisdiksi

a. Pengertian yurisdiksi

Yurisdiksi diartikan oleh Malcolm N Shaw sebagai hal yang

menyangkut kekuasaan negara di bawah hukum internasional untuk

pengaturan atau mengatur dampak terhadap orang, barang, dan keadaan

serta mencerminkan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara, kesetaraan

negara, non-interfensi di dalam urusan dalam negerinya. Yurisdiksi

menjadi hal yang penting dan menjadi pusat kedaulatan negara, karena hal

itu merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah, membuat

atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban (Malcolm N Shaw,

2008: 645).

Menurut Encyclopedia Americana diuraikan tentang arti kata

jurisdiction (yurisdiksi), “jurisdiction , in law, a term for power or

authority. It is usually applied to courts and quacy judicial bodies,

describing the scope of their right to act. As applied to a state or nation,

the term means the authority to declare and enforce the law”. Dalam

hukum, yurisdiksi merupakan sebuah istilah kekuasaan atau wewenang.

Hal ini biasanya diterapkan ke pengadilan dan badan peradilan, yang

menggambarkan lingkup hak mereka untuk bertindak. Penerapan disebuah

negara atau bangsa, berarti wewenang untuk menyatakan dan menegakkan

hukum (I Wayan Parthiana, 1990: 292).

Menilik pada tiga pengertian tersebut, bahwa yurisdiksi berkaitan

dengan permasalahan hukum. Yurisdiksi suatu negara menunjuk kepada

kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan

dengan hukum nasionalnya (pidana dan perdata). Kompetensi ini

mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang) untuk mengadili

dan melaksanakan undang-undang (Rebbeca M.Wallace, 1993:191).

b. Prinsip-prinsip yurisdiksi negara :

1) Asas teritorial (territorial principle)

Hukum Internasional memberikan kesempatan kepada setiap

negara untuk mengatur permasalahan negaranya sendiri. Yurisdiksi

Page 35: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

teritorial yaitu kewenangan suatu negara untuk mengatur,

menerapkan, dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala

sesuatu yang ada atau terjadi (bisa berupa benda, orang, peristiwa) di

dalam batas-batas wilayahnya (I Wayan Parthiana, 1990:317).

Sebuah negara bebas untuk mengatur dan menegakkan undang-

undang yang ada dalam wilayahnya untuk setiap orang dalam

wilayahnya, termasuk warga negara asing, kecuali ketika kebebasan

itu dibatasi oleh perjanjian. Negara juga dapat menerapkan hukum-

hukumnya untuk kapal yang mengibarkan benderanya atau pesawat

udara yang terdaftar dan orang berada dalam kapal tersebut (Anthony

Aust, 2005:44).

Menurut Lord Mac Milan dalam buku J.G Starke, jurisdiksi

adalah :

suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang beradaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini (J.G Starke, 2009: 270-271)

Suatu kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara satu dapat

dimungkinkan diselesaikan di negara lain. Dalam hal ini, ada dua asas

teritorial yang saling berhubungan, yaitu asas teritorial subjektif dan

asas teritorial objektif. Asas teritorial subjektif mengijinkan

pelaksanaan yurisdiksi di negara di mana kejahatan itu di mulai

sedangkan asas teritorial objektif memberikan yurisdiksi kepada

negara di mana kejahatan diselesaikan, dan mempunyai efek dari

korban (Rebbeca M.Wallace, 1993: 120-121). Asas territorial dapat

diterapkan ketika misalnya seseorang melakukan kejahatan di suatu

negara dapat diadili di negara tersebut meskipun bukan warga negara

tersebut, penerapan ini didasarkan atas tempat terjadinya suatu

kejahatan sehingga yurisdiksi tempat kejadian kejahatan tersebut

dapat diterapkan.

Page 36: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

2) Asas personal

Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat

mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di

manapun juga. Menurut praktek internasional dewasa ini,

yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-

prinsip berikut:

a) Prinsip nasionalitas aktif

Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksinya

terhadap warga negaranya. Prinsip lain yang berkaitan dengan hal

ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang

telah melakukan suatu tindak pidana di luar negeri (Malcolm N

Shaw, 2008: 664).

Prinsip nasional aktif dapat diterapkan untuk warga negara

yang melakukan sebuah kejahatan di negara lain, misalnya seorang

warga negara Indonesia melakukan kejahatan di negara Australia,

hukum Indonesia tetap melekat pada warga negara Indonesia

tersebut sehingga warga negara Indonesia tersebut dapat diadili

dengan hukum Indonesia.

b) Prinsip nasionalitas pasif

Berdasarkan prinsip ini, negara dapat mengklaim yurisdiksi

untuk mencoba individu untuk pelanggaran dilakukan di luar

negeri yang telah mempengaruhi atau akan mempengaruhi warga

negara (Malcolm N Shaw, 2008: 664)

Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan

yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian.

Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap

negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan

apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak

menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka

negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu,

apabila orang itu berada di wilayahnya (J.G Starke, 2009: 303).

Page 37: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

3) Asas universal (universality principle)

Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi

untuk mengadili pelanggaran. Dua kategori yang jelas termasuk

dalam lingkup yurisdiksi universal, yang telah didefinisikan sebagai

kompetensi negara untuk menuntut yang diduga pelaku dan

menghukum mereka jika terbukti bersalah, terlepas dari tempat tindak

pidana itu terjadi dan meskipun ada yurisdiksi personal aktif atau

pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan lain dari yurisdiksi diakui

oleh hukum internasional (Malcolm N Shaw, 2008: 668).

Dasar pertimbangan untuk menempatkan suatu peristiwa

hukum tertentu di bawah yurisdiksi universal, yakni peristiwa hukum

tertentu yang tidak tercakup oleh jenis yurisdiksi lain, tetapi

membahayakan bagi umat manusia dan sangat bertentangan dengan

rasa keadilan umat manusia. Dalam hal ini, negara berkewajiban

untuk mencegah terjadinya peristiwa hukum di manapun dan kapan

pun terjadinya serta siapapun yang menjadi pelaku maupun

korbannya. (I Wayan Parthiana, 1990: 325)

Asas universal ini berlaku terhadap beberapa kejahatan seperti

kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan

kemanusiaan, perompakan laut, pembajakan udara, kejahatan

terorisme dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai

dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Asas

perlindungan (protective/security principle)

Atas dasar ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi

dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang walaupun terjadi di luar

negeri dan bukan oleh warga negaranya, akan tetapi dianggap sebagai

membahayakan keamanan negara (Rebbeca M.Wallace, 1993: 122).

3. Jenis kapal laut

Perbedaan antara kapal publik dan kapal swasta saat ini didasarkan atas

bentuk penggunaannya dan bukan atas kualitas pemilik kapal-kapal tersebut.

Page 38: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan

bukan tujuan swasta (Boer Mauna, 2005: 320).

a) Kapal perang

Pasal 29 UNCLOS 1982, memberikan definisi mengenai kapal

perang. Kapal perang diartikan sebagai kapal yang dimiliki oleh angkatan

bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan

ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira

yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya

terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki

oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular.

Sesuai dengan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapal-

kapal perang bukan saja kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga

kapal-kapal selam, kapal-kapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan

angkatan laut, seperti kapal-kapal ranjau laut, kapal-kapal penarik, kapal-

kapal transport militer, dan lain sebagainya (Boer Mauna, 2005: 321).

b) Kapal-kapal publik non-militer

Kapal-kapal publik yang dimaksud di sini yaitu, kapal-kapal

pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal

logistik pemerintah, kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal pengawasan

pantai, atau kapal swasta yang disewa merintah untuk tujuan non-komersil

maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal publik (Boer

Mauna, 2005: 321).

c) Kapal organisasi-organisasi internasional

Kapal organisasi internasional yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh

organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat

internasional. Misalnya PBB, badan-badan khusus PBB dapat memakai

kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masing-

masing benderanya sesuai dengan Pasal 93 UNCLOS 1982. Pasal 93 ini

tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan

dalam dinas resmi PBB, badan-badan khususnya atau badan tenaga atom

Page 39: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

internasional (International Atomic Energy Agency), yang mengibarkan

bendera organisasi tersebut (Boer Mauna, 2005: 321-322).

d) Kapal-kapal dagang

Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan

komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk

kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta.

4. Status kapal di laut lepas

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera

suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik

sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang

disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal

secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran.

Aturan mengenai kebangsaan kapal diatur dalam Pasal 91 UNCLOS.

Pasal 91 menyatakan bahwa suatu kapal dapat memperoleh kebangsaanya

dengan beberapa aturan sebagai berikut:

a. Setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian

kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayah, dan

untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan negara

yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu

kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu.

b. Setiap negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak

untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu.

Status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip

tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Di laut

lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan negara bendera.

Pasal 92 menjelaskan bahwa kapal harus berlayar di bawah satu bendera

negara saja kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan

dalam perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk pada

yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merubah

bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di

Page 40: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu

perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. Serta sebuah

kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan

menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu

dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi

suatu kapal tanpa kebangsaan.

Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat

di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap

orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua

perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Hal

ini menjadi sebuah konsekuensi dari tidak adanya yurisdiksi di laut lepas,

sehingga hukum negara bendera yang dipakai sebagai yurisdiksinya (Boer

Mauna, 2005: 322).

5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut

Perompakan telah ditetapkan sebagai hukum kebiasaan internasional.

Sudah sejak abad ke-18, masyarakat bangsa-bangsa mengenal dan mengakui

kejahatan perompak di laut sebagai kejahatan internasional yang dikenal

sebagai piracy de jure cogens. Kejahatan tersebut dianggap sangat merugikan

kesejahteraan bangsa-bangsa pada saat itu dan dianggap sebagai musuh

bangsa-bangsa. Piracy de jure cogens kemudian ditetapkan sebagai kejahatan

internasional karena merupakan satu-satunya tindak kriminal murni ( Eddy

O.S. Hiariej,2009: 49). Perompakan adalah setiap tindakan ilegal kekerasan

atau penahanan yang dilakukan di laut lepas untuk tujuan pribadi dengan

sebuah kapalnya terhadap kapal lain (Anthony Aust, 2002: 269).

Menurut Black’s Law Dictonary perompakan diartikan sebagai Piracy is

Robbery, kidnapping or other criminal violence commited at Sea (Bryan A

Garner, 1999: 1186).

Menurut pengertian yang dirumuskan oleh Pasal 101 UNCLOS 1982

memberi pengertian bahwa, Perompakan di laut terdiri dari salah satu di antara

tindakan berikut :

Page 41: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap

tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak

kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan

ditujukan :

i. Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap

orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara

demikian;

ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu

tempat di luar yurisdiksi negara manapun;

b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu

kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya

suatu kapal atau pesawat udara pembajak.

c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang

diatur di atas.

Brierly dalam Tri Setyawanta R memberikan definisi perompak kapal

laut sebagai berikut

“there is no authoritative definition of international piracy , but it is of

the essence of a piratical act to be an act violence , committed at sea or at

any rate closely connected with the sea , by person not acting under proper

authirity. Thus an act cannot be piratical if it is done the authority of a state,

or even of an insurgent community whose belligerency has been

recognized.”

Perompakan tidak didefinisikan secara otoratif tetapi esensi dari

tindakan perompakan adalah tindakan kekerasan, yang dilakukan di laut atau

di sekitar laut, oleh orang yang tidak bertindak di bawah ketetapan yang telah

ada, jadi, tindakan yang tidak dapat dikatakan perompakan jika dilakukan oleh

otoritas negara, atau bahkan dari komunitas yang melakukan pemberontak

yang telah diakui (Tri Setyawanta R, 2005:2).

Menurut, S.V Molodtsov, telah memberikan perumusan mengenai

batasan pengertian perompakan di laut sebagai berikut:

Page 42: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

“Both acts of violence by vessels and their crews at sea also attack from

the sea on littoral points carried out with the aim of securing plunder , the

seizure and sinking of vessels and persons or other criminal purposes are

considered as piracy (sea banditry). In the epoch of imperialism piracy has

aquired special characteristics. It is one of the provocative methods to

which imperialist States resort for agressive purposes”

Perompakan di laut yakni suatu tindakan kekerasan terhadap kapal dan

awak kapal di laut juga penyerangan di lepas pantai yang dilakukan dengan

tujuan penjarahan, perampasan barang-barang dan untuk menyandera awak

kapal serta tujuan kriminal lainnya dianggap sebagai perompakan (Tri

Setyawanta R, 2005: 2).

Organisasi Maritim Internasional (International Maritime

Organization) memberikan definisi perompakan sebagai “unlawful acts as

defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of

the Sea (Tindakan ilegal sebagaimana yang diatur dalam Pasal UNCLOS

1982). Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dari International Maritime Organization

Maritime Security Commite (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft

Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed

Robbery Against Ships (pedoman praktek investigasi terhadap kejahatan

perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery

against ship (Perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut

“Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or

detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of

piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a

ship, within a State’s jurisdiction over such offenses.”

Menurut IMO perampokan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu

ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari

tindak perompakan ataupun pembunuhan terhadap tawanan, individu,

kejahatan terhadap harta kekayaan maupun pengrusakan kapal, yang

dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of

Practice) http://www.un.org/depts/los/piracy/circular_letter_3180.pdf).

Page 43: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi perompakan

yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101, IMB

memberi perluasan definisi perompakan yakni IMB tidak membedakan

definisi perompakan berdasarkan tempat kejadiannya. Dalam laporan IMB

dikatakan act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any

other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance

thereof, perompakan diartikan sebagai tindakan dengan menaiki kapal apapun

dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan lain

(http://www.icc-ccs.org/piracy-reporting-centre).

Istilah perompakan dan perampokan bersenjata (piracy and armed

robbery) terkadang membuat kerancuan, akan tetapi sebenarnya ada hal yang

membedakan keduanya. Pasal 101 UNCLOS 1982 jelas memberikan batasan

bahwa dikategorikan piracy jika kejadian tersebut terjadi dilaut bebas, atau

diluar yurisdiksi suatu negara, artinya tentu di luar pelabuhan dan laut

territorial suatu negara. Sedangkan armed roberry lebih diartikan sebagai

kejahatan perompakan yang terjadi di laut teritorial sebuah negara seperti yang

diartikan oleh IMO.

Page 44: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2: Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Permasalahan perompakan kapal laut terjadi sejak jaman dahulu.

Perompakan kapal laut sering dilakukan di laut lepas. Beberapa aturan hukum

telah dibuat untuk mengatur mengenai perompakan di laut lepas seperti CHS

1958, UNCLOS 1982, SUA Convention, aturan hukum IMO, aturan hukum IMB,

serta sistem hukum di beberapa negara yang memiliki aturan-aturan dalam

penanggulangan maupun penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan

perompakan. Ketentuan ini diharapkan akan mampu untuk menanggulangi

pertambahan angka perompakan di laut lepas.

Salah satu kasus yang terjadi di tahun 2011 adalah kasus perompakan kapal

laut Sinar Kudus MV di laut lepas. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal

dengan bendera Indonesia yang artinya di dalam kapal tersebut terdapat yurisdiksi

dari negara Indonesia. Perompakan tersebut dilakukan oleh warga negara Somalia

sehinga yurisdiksi Somalia pun dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus ini.

Mengingat perompakan juga merupakan pelanggaran prinsip jus cogens yang

Hukum Internasional

Perompakan kapal laut Di Laut Lepas (High Seas)

Yurisdiksi Perompakan kapal

Sinar Kudus MV

Yurisdiksi Universal

Yurisdiksi Regional

Yurisdiksi Indonesia

Yurisdiksi Somalia

Page 45: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

berarti merupakan kejahatan internasional yang penanggulangannya harus

dilakukan secara bersama-sama di dunia maka yurisdiksi universal dapat

diterapkan dalam kasus tersebut. Hal tersebut telah diakomodir oleh aturan hukum

internasional sehingga beberapa yurisdiksi tersebut sudah dapat diterapkan dalam

penyelesaian kasus kapal Sinar Kudus MV.

Page 46: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara Somalia

a. Geografis

Somalia merupakan negara yang berada di titik paling timur Afrika,

dibatasi di sebelah timur dan tenggara dengan Samudra Hindia, di sebelah

utara dan timur laut oleh Teluk Aden dan Republik Djibouti, bagian

selatan dan barat daya dibatasi dengan Kenya, dan di sebelah barat oleh

Ethiopia. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 3.200 kilometer,

membentang dari Loyadde di Teluk Aden ke Ras Kiyambone

pada Samudera Hindia. Republik Somalia pertama memiliki luas sebesar

626.541 kilometer persegi. Negara ini merupakan dataran, kecuali

Magnyafulka "Scraping seas" tebing yang curam di selatan dengan

ketinggian mencapai 1,800-2,100 meter (Mohamed Haji Mukhtar,2003:

225 ).

b. Situasi politik dan keamanan

Situasi politik di Somalia sangat lemah sejak tahun 1990, pemerintah

resmi Somalia yang hanya menguasai beberapa bagian kecil Somalia,

termasuk sebagian ibu kota Mogadishu, dan Kedutaan Besar Somalia di

Indonesia mewakili pemerintah ini. Somaliland, wilayah yang secara de

facto sudah memisahkan diri dari Somalia, melingkupi wilayah Utara

Somalia yang merupakan bekas jajahan Inggris. Somaliland tidak

diakui secara resmi oleh dunia, namun beberapa negara tetangga seperti

Ethiopia memiliki konsulat di ibu kota Somaliland di Hergaisa. Sisanya

merupakan wilayah tanpa pemerintah, yang dikuasai berbagai

kelompok militan bersenjata, termasuk diantaranya AI-Shabaab,

kelompok Islam ekstrimis yang diduga bekerja sama dengan Al

Qaeda. Wilayah ini meliputi Somalia bekas jajahan Italia (Teguh

Widodo,2011).

32

Page 47: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Beberapa alternatif telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di

Somalia, salah satunya adalah pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan

di Djibouti disepakati untuk membentuk sebuah pemerintahan transisi

(Transitional National Government (TNG)) dibentuk dengan dipimpin

oleh Presiden Abdulkassim Salat Hassan. Namun hingga tahun 2003

mandat pemerintahan berakhir dengan menghasilkan sedikit kemajuan

untuk menghentikan perseturuan antarklan dan kepastian hukum. Setelah

itu dilakukan sejumlah perundingan dan upaya damai, melalui fasilitasi

oleh PBB, berhasil diadakan Pemilu Somalia pada tanggal 10 Oktober

2004, yang menghasilkan terpilihnya Presiden, pemerintah baru

(Transitional Federal Government (TFG) yang menggantikan TNG), dan

terbentuknya parlemen transitional baru (Transitional Ferderal Parliament

(TFP)). Selama kurang lebih satu tahun TFG dan TFP berkedudukan di

Nairobi, baru kemudian TFG dipindahkan ke Baidoa (250 km dari

Mogadishu) setelah dinilai situasi di Somalia memungkinkan. dibentuknya

Transitional Federal Government (Embassy of the Rep. of Indonesia,

Addis Ababa, http://www.indonesia-

addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_016.htm).

c. Situasi ekonomi

Pada awalnya, Somalia menganut sistem ekonomi sosialis. Namun

Somalia mulai memberikan kesempatan kepada pihak swasta dan investor

asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Hasil pertanian

seperti ternak, ikan, pisang merupakan tulang punggung perekonomian,

memgang sekitar 40% GDP dan 65% pendapatan ekspor. Namun larangan

ekspor ternak oleh Pemerintah Arab Saudi saat ini menyebabkan sektor

ternak mengalami penurunan. Perindustrian Somalia sebagian besar

berskala kecil dan bergerak di bidang pemprosesan hasil pertanian.

Kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang belum stabil

menyebabkan iklim investasi Somalia masih belum kondusif. Meskipun

demikian, sektor jasa, terutama di bidang telekomunikasi tanpa kabel

mengalami perkembangan cukup signifikan (Embassy of the Rep. of

Page 48: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Indonesia, Addis Ababa, 2011: http://www.indonesia-

addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_015.htm).

d. Lepas pantai Somalia

Lepas pantai Somalia merupakan jalur pelayaran yang dilewati

kapal-kapal saat berlayar. Mengingat, lepas pantai Somalia merupakan

jalur pelayaran utama yang menghubungkan antara Asia dengan Eropa.

Gambar 3

Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia

(http://bukaniput.wordpress.com/2008/11/28/somali-pirates/)

Dalam rute pelayaran tersebut terlihat Somalia berada di jalur lalu

lintas pelayaran antara Asia dengan Terusan Suez. Garis pantai Somalia

cukup dekat dengan jalur pelayaran tersebut sehingga secara tidak

langsung memberikan akses yang mudah bagi para perompak untuk

beraksi.

2. Gambaran tentang perompakan Somalia

a. Latar belakang perompak Somalia

Perompak laut pertama di Somalia adalah nelayan di sepanjang

pesisir. Alasan mereka merompak karena seringnya terjadi penangkapan

ikan secara ilegal oleh kapal-kapal asing yang memanfaatkan situasi

Somalia yang kacau dan tidak terpatroli dengan baik (Teguh

Widodo,2011).

Page 49: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Sebelum tahun 1990, perompakan bukan masalah besar di lepas

pantai Somalia, sasaran kelompok bersenjata tersebut adalah kapal yang

kandas di lepas pantai. Pada pertengahan tahun 1990 saat itulah beberapa

kelompok bersenjata, mengaku telah diberi izin oleh penjaga pantai

dengan klaim untuk melindungi sumber daya perikanan Somalia. Setelah

tahun 2000 bagi setiap kapal yang berlayar di dalam atau dekat dengan

wilayah perairan Somalia kapal dan awak akan dijadikan sandera dan

menuntut uang tebusan. Selama tahun 2005 tercatat peningkatan dalam

jumlah serangan yang dicoba terhadap kapal yang berlayar di Samudera

Hindia khususnya lepas pantai Somalia (Ahmedou Ould Abdallah, 2008:

14).

Pada tahun 2006 beberapa serangan perompak meluas sejauh 350 nm

di lepas pantai Somalia tidak hanya di Samudera Hindia tetapi juga di

Teluk Aden dan Laut Merah. Fenomena ini tumbuh di tahun 2007 dari

basis perompak utama dari Eyl, Hobyo dan Haradheere terkonsentrasi di

sepanjang pantai timur Somalia. Pada tahun 2008 perompakan mencapai

proporsi peningkatan yang mana kapal-kapal yang diserang dirusak oleh

perompakan untuk mendapatkan barang sitaan. Akibatnya perjalanan laut

di lepas pantai utara Somalia, yang dikenal sebagai Puntland, telah

menjadi wilayah yang paling berbahaya di dunia untuk serangan perompak

(Ahmedou Ould Abdallah, 2008: 14). Meluasnya perompakan ini dapat

dilihat dalam gambar di bawah ini yang menunjukkan hal tersebut:

Page 50: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Gambar 4

Gambar 4

Gambar perluasan wilayah perompakan

(Sumber: http://www.heritage.org/research/reports/2011/03/taking-the-fight-to-

the-pirates-applying-counterterrorist-methods-to-the-threat-of-piracy)

Meluasnya kejahatan para perompak ini terjadi karena adanya

kelompok-kelompok perompak yang terbentuk di Somalia semakin

terorganisir. Secara umum berdasarkan laporan Asosiasi East African

Seafarers memperkirakan, setidaknya ada 3 (tiga) geng perompak dan

total anggotanya seribu orang bersenjata yang mengorganisir perompak

Somalia yaitu:

1) Dari kalangan nelayan Somalia. 2) Dari kalangan mantan milisi rezim Siad Berre yang memerintah

Somalia tahun 1964- 1991. Terutama adalah anggota seniornya yang berusia di atas 35 tahun.

3) Dari kalangan para teknisi yang menguasai teknologi informasi dan kelautan.

Dari ke tiga unsur kelompok di atas terdapat kurang lebih 1100 orang perompak yang memiliki peralatan untuk menyerang, seperti RPG-7 peluncur granat terbaik saat ini, Pistol semi otomatis

Page 51: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

dan Senapan Mesin. Sedangkan, 4 (empat) geng utama yang menguasai dunia perompak Somalia, yaitu : a) Marka group, dipimpin Yusuf Mohammed Siad Inda’ade yang

sedikit berantakan, kurang terorganisir dan menguasai kota pesisir Marka (Maakhir Land).

b) National Volunteer Coast Guard yang dipimpin oleh Garaad Mohamed. Mereka spesialis mencegat kapal-kapal kecil dan perahu nelayan di Kismayo, pesisir selatan.

c) Kelompok nelayan tradisional. Mereka terorganisir dengan rapi. Lokasi operasi mereka di sekitar Puntland dan dikenal sebagai Puntland group milik Abdirahman Farole, President of Puntland.

d) Somali Marines paling kuat dan canggih. Kelompok ini paling disegani karena terorganisir berstruktur militer. Mereka memiliki armada dan komandan angkatan laut yang masih aktif saat ini. Sulit menemukan siapa pemimpinnya karena mereka bertindak secara ilegal dan berpura-pura patroli laut. Jika ada kesempatan mereka melakukan perompakan dengan mengatasnamakan ke tiga kelompok di atas (http://unik.kompasiana.com/2011/04/18/teluk-aden-dan-perompak-somalia-arena-adu-gengsi-pasukan-komando-dunia).

Menurut pengamat Somalia Mohamed Mohamed, mengatakan ada

tiga kelompok besar yang menjadi cikal bakal perompak:

1) Kelompok pertama adalah mantan nelayan. Mereka adalah tulang

punggung operasi perompak karena sangat mengenal Teluk Aden.

2) Kelompok kedua adalah mantan milisi dari perang saudara Somalia.

Mereka menjadi eksekutor perompak.

3) Kelompok terakhir adalah para ahli informasi dan tekhnologi. Mereka

yang mengoperasikan peralatan canggih untuk merompak kapal di

tengah laut termasuk berkomunikasi lewat telepon satelit dan ahli

senjata (http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2146572-

perompak-somalia/).

Menurut Iqbal Jhazbhay, pakar Somalia dari Universitas Afrika

Selatan, mengatakan motif para perompak Somalia sejauh ini cuma dua

yaitu uang dan bertahan hidup, yang direkrut pertama kali untuk jadi

perompak adalah para nelayan karena nelayan yang punya akses ke laut

Page 52: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

berupa perahu (http://id.shvoong.com/social-

sciences/anthropology/2146572-perompak-somalia/).

Taktik yang digunakan perompak Somalia adalah dengan

menggunakan kapal induk yang biasanya merupakan hasil serangan yang

dilancarkan perompak pada kejahatan sebelumnya. Kapal induk ini

memungkinkan para perompak laut untuk tinggal di laut lebih lama

daripada menggunakan perahu ringan mereka. Setelah sebuah kapal

kargo yang lewat telah diserang, kapal induk mempercepat kecepatannya

dan mengapit target tersebut. Untuk memperlambat atau menghentikan

kapal, perompak menggunakan berbagai cara untuk mengintimidasinya,

termasuk dengan menembakkan senjata atau dengan menggunakan roket

dan granat. Setelah target telah melambat, tim yang terdiri dari tujuh

sampai sepuluh orang menggunakan papan perompak kapal untuk naik

tangga dan menggunakan kait yang digulatkan untuk mengambil kapal dan

menyandera awaknya (James Jay Carafano and Jon Rodeback, 2011: 6).

Setelah dirompak, kapal kargo yang lebih besar dan awak mereka

berlayar ke pelabuhan di Somalia untuk bernegosiasi dan pembayaran

uang tebusan. Perompak-perompak Somalia juga memiliki jaringan di

sepanjang pantai, di mana mereka dapat menjual barang-barang hasil

rampokkan dan dengan adanya jaringan tersebut para perompak ini dapat

mendapatkan informasi tentang kapal-kapal yang melewati daerah tersebut

(James Jay Carafano and Jon Rodeback, 2011: 6).

b. Perompakan di Somalia

Negara sebagai otoritas tertinggi dalam sistem hukum internasional

secara langsung terkait dengan prinsip kedaulatan. Namun,

ketidakmampuan suatu negara, untuk mempertahankan kontrol yang

efektif dan memberikan keamanan bagi warganya menciptakan

permasalahan yang serius bagi sistem internasional dan keinginan untuk

menghormati kedaulatan negara. Di Somalia kegagalan negara untuk

menyediakan pemerintahan yang baik, keamanan, dan penghormatan

terhadap aturan hukum di menjadi konflik yang meluas di negara itu. Hal

Page 53: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

ini juga telah memicu perompakan yang semakin marak terjadi di Somalia

(Mario Silva, 2010: 553)

Data laporan International Maritime Bureau (IMB)

memperlihatkan bahwa kejahatan perompakan terbesar terdapat di daerah

Afrika di tahun 2009.

Gambar 5

Gambar total perompakan di beberapa negara

(sumber:http://www.africaeuropechallenge.com/aec/index.php?option=com_conte

nt&view=article&id=58:piracy-annual-report-2009&catid=15:hirek-

kalozkodas&Itemid=175&lang=hu).

Beberapa kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun 2010-

2011 adalah:

Tabel 1

No. Nama Bendera Dirompak Awak

1 1 MV Iceberg 1 Panama 29 Maret 2010 24

2 FV Jih Chun Tsai No 68 Taiwan 30 March 2010 14

3 MV RAK Afrikana St Vincent and

Grenadines

11 April 2010

26

4 FV Prantalay 11 Thailand 18 April 2010 26

5 FV Prantalay 12 Thailand 18 April 2010 24

6 FV Prantalay 14 Thailand 18 April 2010 26

7 MV Suez Panama 02 August 2010 24

Page 54: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

8 MV Olib G Malta 08 September

2010

18

9 MV Asphalt Venture Panama 28 September

2010

15

10 MV Izumi Panama 10 October 2010 20

11 FV Golden Wave Sth Korean 09 October 2010 43

12 MV York Singapore 23 October 2010 17

13 MV Polar Panama 30 October 2010 23

14 MV Aly Zoulfecar Comoros 03 November

2010

29

15 MV Hannibal II Panama 11 November

2010

30

16 MV Yuan Xiang Panama 12 November

2010

29

17 MV Albedo Malaysia 25 November

2010

23

18 BC Jahan Moni Bangladesh 05 December

2010

26

19 MV MSC Panama Liberia 10 December

2010

23

20 MV Renuar Panama 11 December

2010

24

21 MV Orna Panama 20 December

2010

19

22 MV Thor Nexus Thailand 25 December

2010

27

23 FV Shiuh Fu No 1 Taiwan 25 December

2010

26

24 MV EMS RIVER Antigua &

Barbuda

27 December

2010

8

Page 55: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

25 FV VEGA 5 Mozambique 31 December

2010

24

26 MV BLIDA Algerian 01 January 2011 27

27 MV EAGLE Cyprus 7 January 2011 24

28 HOANG SON SUN

Mongolia 19 January 2011

(reported)

24

29 MV KHALED

MUHIEDDINE K 20

Togo January 2011 25

30 MV BELUGA

NOMINATION

Germany 25 January 2011 12

Tabel kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun 2010-2011

(sumber: EU NAVFOR, pirated vessels)

Menurut laporan IMB melalui International Chamber of

Commerce (ICC) perompakan banyak terjadi di laut lepas terutamanya di

lepas pantai Somalia. Dari 439 serangan dilaporkan ke IMB pada tahun

2011, 275 serangan terjadi di lepas pantai Somalia di pantai timur dan di

Teluk Guinea di pantai barat Afrika (http://www.icc-ccs.org/piracy-

reporting-centre). Perompakan yang terjadi di lepas pantai Somalia

menyumbang 92% dari semua kejahatan kapal yang terjadi pada

tahun 2009 dengan 49 kapal dirompak dan 1.016 awak kapal diambil dan

dijadikan sebagai sandera (Lucas Bento, 2011 : 6).

Perompakan yang terjadi di Somalia semakin lama semakin

berkembang diantara tahun 2005-2010 perompakan telah meluas bukan

hanya disekitar lepas pantai Somalia, seperti yang terlihat di dalam gambar

di bawah ini yang menunjukkan semakin meluasnya tindakan perompakan

serta jalur yang dijadikan sebagai tempat perompakan tersebut merupakan

jalur pelayaran yang ramai dan strategis.

Page 56: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Gambar 6

Gambar jalur perompakan

(Sumber: http://www.maritimegeorgia.ge/?p=141&lang=en)

3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV

a. Kronologis

Berikut kronologi perompakan Sinar Kudus MV: (Adi Patrianto, 2011)

1) Awal Kejadian

Kapal Sinar Kudus MV milik PT Samudera Indonesia Tbk

dirompak di sekitar 320 mil timur laut Pulau Socotra. Para

perompak itu memakai senjata untuk mengancam ke arah kapal dan

kemudian menaiki kapal. Kemudian,

kendali kapal sudah berada di tangan para perompak, sebanyak

20 ABK Sinar Kudus dijadikan sandera. Mereka lalu membawa kapal

itu ke pantai yang mereka kuasai. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu

16 Maret 2011 pukul 14.27 WIB. Kapal Sinar Kudus MV merupakan

kapal berbendera Indonesia yang berangkat dari Kolombo pada

tanggal 11 Maret 2011.

Ketika dirompak, kapal tersebut sedang mengarungi rute

perjalanan dari Pomala, Sulawesi Selatan, Indonesia menuju

Rotterdam, Belanda dengan mengangkut 800 ton ferro nickel (biji

nikel) milik PT Aneka Tambang dengan harga Rp 1,5 triliun. Menurut

Gugus Tugas Antiperompak Uni Eropa, kapal Sinar Kudus MV

dirompak di posisi 320 mil laut di sebelah timur laut Pulau

Page 57: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Socotra. Pulau ini terletak di perairan Somalia. Perairan di bagian

timur Afrika dan Teluk Aden memang rawan dengan perompakan.

Jalur pelayaran itu merupakan salah satu urat nadi transportasi laut

internasional karena kapal yang berasal dari Asia maupun Eropa akan

melintas di sana setelah menuju Terusan Suez. Sebanyak empat

persen perdagangan minyak internasional melewati jalur ini.

Sementara itu Corporate Communication PT Samudera Indonesia

Tbk selaku pemilik kapal Sinar Kudus MV, menerima kabar bahwa

seluruh awak kapal dalam keadaan selamat. Prioritas utama PT

Samudera adalah untuk keselamatan jiwa para awak kapal. Selain itu,

PT Samudera juga bekerjasama dengan Otoritas Anti Pembajakan

Internasional dan Otoritas Indonesia berupaya untuk membebaskan

seluruh sandera. Saat ini pihaknya sudah membentuk Tim Manajemen

Krisis untuk mengatasi masalah perompakan.

2) Perompakan Kapal

Kapal Sinar Kudus MV berlayar di Semenanjung Somalia

dengan kecepatan maksimal 11-12 knot, diperkirakan dalam beberapa

jam lagi, Kapal Sinar Kudus MV akan segera memasuki Terusan

Suez. Namun, kapal berbendera Somalia tiba-tiba menyalip Sinar

Kudus, lalu berbalik haluan setelah empat mil di depan. Mereka

kemudian menurunkan dua buah speed boat dari lambung

kapal. Hanya dalam hitungan menit, speed boat yang lebih kurang

berisi empat dan enam orang mendekati posisi Sinar Kudus MV.

Semua penumpang dalam speed boat tersebut menggunakan

senjata api laras panjang dan berkalung peluru. Saat itulah para ABK

Sinar Kudus baru menyadari jika kapal mereka dirompak. Menyadari

bahaya yang mengancam, kapten kapal segera memerintahkan kapal

menambah kecepatan untuk menghindar. Lewat radio komunikasi

Kapten Jauhari meminta seluruh awak kapal untuk bersiaga, semua

akses masuk kapal ditutup, termasuk bagian

mesin hingga pintu anjungan. Namun, para perompak melakukan

Page 58: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

beberapa tembakan ke Kapal sinar Kudus MV. Di saat itu pula awak

buah kapal menelepon koordinator pengamanan di semenanjung itu

yakni gabungan tentara United Nation (PBB) dengan tentara NATO

namun tidak dapat tersambung.

Kemudian para perompak telah berhasil memasuki kapal dan

menggunakan senjatanya untuk mengancam ABK Kapal Sinar Kudus

MV. Para perompak kemudian mengambil semua benda yang berada

di saku sandera, termasuk ponsel dan kunci loker. Setelah merompak

Kapal Sinar Kudus MV, para perompak mengarahkan kapal kembali

ke Perairan Somalia. Dari posisi tersebut, kapal diminta mendekat ke

sebuah teluk dengan waktu tempuh sekitar delapan jam kemungkinan

tempat ini merupakan lokasi sarang para perompak. Sesaat setelah

Sinar Kudus MV berada di teluk, beberapa speed boat datang

mendekat dengan membawa perbekalan, di antaranya beras, tepung,

gula, hingga kambing. Kiriman bekal logistik dari darat itu disiapkan

dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan makan perompak.

Jumlah anggota perompak pun bertambah menjadi 60 orang. Mereka

tampaknya telah mengantisipasi proses negosiasi yang akan

berlangsung lama. Sejak saat itu penyanderaan para perompak

dimulai.

3) Tindakan Pemerintah

Begitu mendengar perompakan kapal berbendera Indonesia, pada

tanggal 17 Maret 2011 pemerintah mulai aktif bekerja dibawah

koordinasi Mentri koordinasi politik hukum dan keamanan.

Pemerintah melibatkan Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen

Negara (BIN) maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengingat

kasus ini tidak biasa dan menyangkut keselamatan 20 orang Warga

Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Presiden Indonesia kemudian

melaksanakan rangkaian rapat kabinet terbatas pada tanggal 18 Maret

2011 dan rapat kembali digelar tanggal 20-22 Maret. Dalam rapat

tersebut akhirnya memutuskan tiga opsi untuk membebaskan Sinar

Page 59: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Kudus MV. Opsi pertama adalah negosiasi, kedua operasi militer dan

terakhir negosiasi dan operasi militer dilaksanaan secara bersamaan.

Keputusan ini diambil setelah pemerintah terlebih dahulu menerima

masukan dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar,

diantaranya dari Ikatan Nahkoda Niaga Seluruh Indonesia yang

meminta opsi negosiasi dengan prioritas keselamatan dari penumpang

atau ABK, kemudian juga dari keluarga anak buah kapal tersebut

serta anak-anaknya. Menindaklanjuti keputusan tersebut akhirnya

dibentuklah Satuan Tugas (satgas) Duta Samudra I/2011 yang dibagi

dalam tiga kelompok.

Pertama, Satgas Merah Putih yang terdiri dari dua buah fregat

klas van speyk masing-masing KRI Yos Sudarso-353 dan KRI Abdul

Halim Perdanakusuma-355 beserta ABKnya, personel pasukan

khusus TNI seperti Kopaska Angkatan Laut, Pasukan Intai Amphibi

Marinir, Kopasus TNI Angkatan Darat, pasukan Ray Howitzer,

Satuan Tugas 81 Kopasus dan Unit Ton Tai Pur Kostrad Satgas ini

dipimpin oleh Komandan Gugus Tempur Laut Koarmabar. Kopasus

kemudian diangkut dengan pesawat TNI Angkatan Udara jenis

Boeing 737-400 yang berawak 16 orang dibawah pimpinan Letkol

Penerbang Ro-nald Siregar dari Jakarta menuju Colombo, Srilangka,

untuk selanjutnya on board di kedua kapal fregat tersebut. Pasukan

kedua adalah Satgas Pasukan Kekuatan Pendukung. Pasukan ini

menyusul ke daerah operasi dengan kapal jenis LPD, KRI

Banjarmasin. Mereka dilengkapi dengan heli NP412, 7 boat C- Rider,

5 tank BMP3F, 4 unit Howitzer dan 18 perahu karet. Sedangkan

pasukan pendukung terakhir adalah Satgas Intel Ga-bungan yang

terdiri dari 15 personel intelijen TNI dan personel Badan Intelijen

Negara (BIN). Total seluruh pasukan yang mengikuti Operasi Duta

Samudera I/2011 adalah 999 personel

Page 60: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

4) Menuju Daerah Operasi

Tanggal 23 Maret 2011 pukul 18.00 WIB KRI Yos Sudarso-

353 berangkat dari Dermaga Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta,

bersama dengan KRI Abdul Halim Perdana Kusuma-355. Setelah

berlayar selama lebih kurang satu setengah hari, kedua kapal perang

tersebut kemudian melaksanakan bekal ulang di pelabuhan Padang,

Sumatera Barat pada tanggal 25 Maret 2011. Siang harinya kedua

kapal tersebut bertolak membelah Samudera Hindia menuju

Colombo, Sri Lanka. Satgas Merah Putih akhirnya tiba di Colombo

pada tanggal 29 Maret pukul 07.20 waktu setempat. Kapal segera

bersandar di pelabuhan dan melakukan persiapan sambil menunggu

kedatangan pasukan khusus TNI Angkatan Darat.

Pada pukul 11.45 pesawat Boeing 737-400 TNI AU mendarat di

Colombo, dan pasukan TNI AD. Pagi tanggal 30 Maret tepat pukul

07.25 waktu setempat Satgas Merah Putih menuju daerah operasi di

El Danan, namun ketika tiba di wilayah perairan tersebut tanggal 5

April 2011 posisi Sinar Kudus sudah tidak berada di tempat. Kapal itu

menjauh menuju perairan Somalia saat Tim Satgas Merah Putih

masih berada di Kolombo. Mereka baru tiba di lokasi perompakan

setelah menempuh perjalanan selama 12 hari. Dengan kecepatan 16

knot kedua kapal perang itu tidak berhasil menemukan posisi

keberadaan MV Sinar Kudus seperti saat kapal tersebut dibajak

perompak. Lamanya jarak tempuh menyebabkan satgas tidak

mungkin melakukan operasi militer untuk membebaskan ke 20 ABK

tersebut dari tangan perompak.

Meskipun begitu mereka tetap mengumpulkan data-data

intelijen dan melaksanakan pengintaian (reconnaissance) di perairan

Somalia. Disamping itu Tim Satgas juga melakukan koordinasi

dengan Combined Task Force (CTF) - 151 di bawah pimpinan

Laksamana Pertama Harry Chan dari Singapura mengenai modus

yang sering digunakan para perompak. Satuan tugas ini merupakan

Page 61: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

satuan pengamanan gabungan dari beberapa negara untuk

mengamankan wilayah Perairan Somalia dari perompakan. CTF-151

beranggotakan pasukan dari Amerika Serikat dan negara-ne-gara

anggota NATO.

Tanggal 9 April 2011 para perompak meminta negosiasi ulang

dengan pemilik kapal PT Duta Samudera, mereka kemudian

menaikkan nilai uang tebusan kepada pemilik kapal. Jika awalnya

mereka hanya meminta US$ 1 juta atau sekitar Rp 9 miliar, sekarang

mereka meminta US$ 3,5 juta atau Rp 31,5 miliar. Pada tanggal 10

April 2011 perompak memberi tenggat waktu dua hari untuk

pembayaran tebusan tersebut. Jika tidak direspon, mereka me-

ngancam akan menaikkan nilai te-busan. Sementara itu Juru Bicara

Kepresidenan Bidang Luar Negeri, menyatakan pemerintah telah

melakukan upaya-upaya untuk pembebasan awak kapal Sinar Kudus

MV. Hal ini untuk menjawab berita-berita yang berkembang di

tengah masyarakat bahwa seolah-olah pemerintah tidak berbuat apa-

apa. Kemudian pada tanggal 11 April 2011 PT Samudera Indonesia

sebagai pemilik Sinar Kudus MV berinisiatif untuk mengumpulkan

para anggota keluarga ABK tersebut di Jakarta untuk memberikan

informasi yang berkaitan dengan kondisi keluarga mereka di Somalia.

Di saat yang bersamaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

menginstruksikan agar pembebasan 20 ABK Sinar Kudus MV itu

dilakukan dengan negosiasi yang cermat. Namun demikian Panglima

TNI mengatakan bahwa semua opsi, termasuk operasi militer terbuka

masih dimungkinkan untuk membebaskan 20 awak kapal Sinar

Kudus.

Proses negosiasi pembebasan sandera berjalan lama, tanggal 12

April 2011 para perompak Somalia menurunkan nilai tebusan menjadi

US$ 3 juta atau sekitar Rp 27 miliar. Sementara itu di dalam negeri

Dubes Somalia untuk Indonesia, Mohamud Olow Barow pada tanggal

13 April 2011 secara resmi menyampaikan permintaan maafnya

Page 62: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

kepada pemerintah Republik Indonesia. Pada saat itu dia juga

mempersilahkan pemerintah Indonesia untuk menggunakan

opsi militer andaikata proses negosiasi tersebut menemui jalan buntu.

Melihat perkembangan yang terjadi di Somalia, pemerintah

pada tanggal 21 April 2011 memutuskan untuk

memberangkatkan KRI Banjarmasin yang mengangkut tim Satgas

Pasukan Kekuatan Pendukung berlayar menuju daerah operasi dan

pada tanggal 25 April 2011 Pukul 10.30 mereka tiba di pelabuhan

Salalah Oman. Pada tanggal 26 April 2011 Satgas Duta Samudra

kembali ke daerah operasi di perairan Somalia. Saat itu posisi Sinar

Kudus MV sudah berada di Pesisir Eyl yang dikenal sebagai kampung

nelayan sekaligus merupakan sarang perompak Somalia. Daerah itu

terletak 500 mil sebelah utara Mogadishu, ibukota Somalia. Rupanya

untuk memecah konsentrasi tim Satgas Merah Putih yang berada di

lautan Somalia, para perompak mencampuradukan tawanan mereka.

Mereka bahkan memindah-mindahkan mereka ke kapal lainnya. Hal

ini mengandung konsekuensi jika dilakukan serangan militer belum

tentu semua sandera dapat dibebaskan dalam waktu yang bersamaan.

5) Hari Pembebasan

Namun sebelum operasi pembebasan sandera dimulai,

perompak dengan pemilik kapal berhasil mencapai kata sepakat

dengan konsekuensi pemilik kapal memenuhi tuntutan perompak.

Bajak laut Somalia itu telah membebaskan 20 awak kapal MV Sinar

Kudus yang disandera sejak 16 Maret lalu setelah mereka menerima

tebusan uang lebih dari US $ 4,5 juta atau Rp 38,7 miliar, uang

tebusan dijatuhkan melalui angkutan udara kepada mereka. Pada saat

itu, perompak yang lebih kurang berjumlah 80 orang berjanji akan

membebaskan para sandera pada tanggal 1 Mei 2011.

Namun demikian dua jam setelah menerima uang tebusan, para

perompak tidak segera membebaskan sandera. Kemudian keesokan

harinya tepat pukul 06.00 waktu setempat sandera akhirnya

Page 63: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

dilepaskan tetapi dengan cara membawa Sinar Kudus berlayar ke Eyl,

sekitar 80 nautical mile dari Pantai El Dhahanaan (El Dhanan),

wilayah basis para perompak. Para perompak ini turun di tiga titik

berbeda secara bertahap sampai akhirnya kapal Sinar Kudus MV tiba

di Eyl. Namun, setelah enam perompak terakhir turun dari Sinar

Kudus, perompak laut dari kelompok lain rupanya sudah bersiap

mengejar dan bermaksud menguasai kembali kapal tersebut.

Tampaknya selain menggunakan modus lepas, lalu dirompak lagi,

para perompak di Somalia diduga terkait dengan jaringan

internasional. Adanya agen khusus yang menjadi perantara negosiasi

perompak dengan perusahaan pemilik kapal yang dibajak,

memperkuat kecurigaan itu. Mengetahui gelagat yang tidak

diinginkan tersebut akhirnya kapal TNI AL yang hanya diperbolehkan

berada sekitar 10,2 mil dari Sinar Kudus langsung menurunkan dua

sea rider berhadapan dengan dua speed boat perompak yang juga

berkekuatan penuh. Speed boat akhirnya dapat dikuasai dan empat

orang perompak Somalia tewas di tempat. Pada pukul 13.10 Sinar

Kudus MV dapat dikuasai sepenuhnya oleh tim satgas dan dengan

dikawal KRI Banjarmasin menuju pelabuhan terdekat, Salalah, Oman.

Selama ini, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya

pembebasan adalah lebih dari 150 hari dan waktu tersingkat sekitar 60

hari. Tidak ada satu negara pun yang bisa membebaskan kurang dari

150 hari, namun Tim Satgas Merah Putih mampu membebaskan para

sandera hanya dalam waktu 46 hari saja (Adi Patrianto, 2011).

B. Pembahasan

1. Pengaturan perompakan di laut lepas menurut hukum internasional

Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk

dalam laut teritorial atau dalam perairan internal suatu negara, definisi ini

kemudian sudah mendapatkan modifikasi dengan lahirnya UNCLOS 1982

(Rebecca M.Wallace, 1993: 155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi

Page 64: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

atas pengertian laut lepas yakni semua bagian dari laut yang tidak termasuk

dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu

negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan, yang tidak

mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati

semua negara di zona ekonomi eksklusif. Laut lepas terbuka untuk semua

negara baik itu negara berpantai maupun negara tidak berpantai.

Prinsip yang digunakan dalam konsep laut lepas menggunakan prinsip

kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak berlakunya kedaulatan, hak

berdaulat atau yurisdiksi suatu negara (Jawahir Thontowi dan Pranoto

Iskandar, 2006: 189). Kebebasan yang dimaksud dalam UNCLOS 1982 juga

dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun negara yang dapat

menegakkan yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya digunakan

untuk kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Oleh sebab itu, yurisdiksi

sebuah kapal yang berlayar di laut lepas didasarkan pada peraturan-

peraturan yang berlaku dalam yurisdiksi benderanya. Hal ini dilakukan

supaya terciptanya kesatuan hukum yang dapat menjamin ketertiban di atas

kapal.

Peraturan ini berlaku bukan hanya pada kapal yang berlayar di laut

lepas tetapi juga pada semua orang di atas kapal jika terjadi tindak pidana di

atas kapal. Kapal dalam hal ini kapal berbendera dipersamakan dengan

wilayah negara, jadi dalam hal ini kapal dianggap sebagai floating portion of

the flag state yaitu bagian yang terapung wilayah negara bendera. Karena

suatu negara mempunyai wewenang absolut terhadap wilayahnya, maka

negara tersebut mempunyai wewenang pula terhadap kapal-kapal dengan

bendera negaranya yang berlayar di laut lepas, karena kapal tersebut

dianggap bagian dari wilayah negara (Boer Mauna, 2005: 323).

Setiap negara harus menetapkan persyaratan untuk memberikan ijin

kepada kapal dalam memberikan kebangsaan dan hak mengibarkan

benderanya. Kapal yang memiliki kebangsaan negara benderanya secara sah

dapat mengibarkan bendera negara tersebut. Sehingga, harus ada suatu

kaitan yang jelas antara negara dan kapal itu serta setiap negara harus

Page 65: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

memberikan dokumen-dokumen yang terkait dengan hal tersebut. Ketentuan

atas kapal tersebut menyebabkan undang-undang negara bendera berlaku

pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara

bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang

negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal

atau bagi semua perbuatan pidana. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi dari

tidak adanya yurisdiksi di laut lepas, sehingga hukum negara bendera yang

dipakai sebagai yurisdiksinya (Boer Mauna, 2005: 322).

Kejahatan pelayaran sering terjadi di laut lepas salah satunya adalah

perompakan kapal laut. Setiap tahun kasus perompakan mengalami

peningkatan. Kejahatan perompakan sering terjadi di laut lepas pantai

Somalia. Melihat banyaknya kejahatan perompakan tersebut, maka DK

PBB mengeluarkan resolusi nomor 1816 tahun 2008 yang di dalamnya

menghimbau negara-negara untuk bekerja sama satu sama lain, dengan IMO

dan dengan organisasi regional yang terkait lainnya untuk berbagi informasi

tentang, tindakan perompakandan perampokan bersenjata dan untuk

memberikan bantuan kepada kapal yang terancam atau diserang oleh

perompak laut atau perampok bersenjata. Perompakan saat ini menyebabkan

pelayaran menjadi berbahaya serta kekhawatiran terhadap lingkungan laut

dan keselamatan pelayaran semakin meningkat. Oleh sebab itu, negara-

negara berkeinginan untuk memberantas perompakan (H.E. Jose´ Luis

Jesu,2003: 367).

Oleh sebab itu, perompakan diatur dalam beberapa konvensi

internasional yang berkaitan dengan hukum laut, yakni Convention on the

High seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law Of the

Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan Convention for the Suppression of Unlawful

Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988).

Perompakan juga diatur dalam ketentuan-ketentuan yang diatur oleh

organisasi internasional dan hukum yang berlaku di kawasan tertentu.

Khusus untuk perompakan yang terjadi di wilayah Somalia, PBB dalam hal

ini Dewan Keamanan juga memutuskan beberapa Resolusi yang berkaitan

Page 66: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

dengan pemberlakuan jurisdiksi. Hukum Internasional yang mengatur

masalah perompakan adalah sebagai berikut:

a. Convention on the High seas 1958 (CHS 1958)

CHS lahir dari konferensi yang diadakan oleh PBB pada tahun 1958

yakni konferensi yang membahas mengenai hukum laut. CHS 1958

menjadi titik awal aturan yang mencakup segala hal terkait hukum di laut

lepas. Salah satu aturan yang di bahas dalam CHS 1958 ini mengenai

perompakan yang terjadi di laut lepas. Aturan atas perompakan dalam

CHS 1958, diatur dalam beberapa pasal, yakni:

1) Pasal 14 CHS 1958

Landasan legalitas dari kerjasama negara-negara untuk

memberantas perompakan di laut lepas atau di tempat lain di luar

yurisdiksi setiap negara diakomodir dalam pasal 14 CHS 1958 ini.

All States shall cooperate to the fullest possible extent in the

repression of piracy on the high seas or in any other place outside

the jurisdiction of any State. Pasal ini menyatakan bahwa semua

negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan

di laut lepas atau di tempat lain di luar yurisdiksi setiap negara.

Landasan legitimasi bagi setiap negara ini dapat digunakan

untuk landasan suatu negara untuk menerapkan hukumnya untuk

mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh negara pihak

ketiga. Pasal ini sejalan dengan yurisdiksi universal yang melekat

terhadap kejahatan perompakan tersebut, sehingga hal ini semakin

memperkuat landasan bagi negara pihak ketiga untuk melakukan

penuntutan dan menerapkan yurisdiksinya atas kasus-kasus

perompakan.

Asas yurisdiksi universal ini melekat terhadap semua negara

peratifikasi CHS 1958 ini dalam hal ini telah ada 63 negara yang

meratifikasi konvensi ini. Oleh sebab itu, negara-negara pihak dalam

konvensi ini dapat menggunakan aturan ini untuk menekan angka

Page 67: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

perompakan dengan cara mengadili para perompak dengan hukum

nasionalnya.

2) Pasal 15 CHS 1958

Pengertian mengenai perompakan diatur dalam Pasal 15 CHS

1958, dalam pasal ini CHS 1958 memberikan batasan mengenai

definisi dari perompakan. Peristiwa yang dikatakan sebagai

perompakan adalah kejahatan perompakan yang terjadi di laut lepas,

selain itu keikutsertaan secara sukarela dengan fakta bahwa

penumpang kapal tersebut telah mengetahui bahwa kapal digunakan

untuk merompak maka kejahatan perompakan dapat dikenakan

terhadapnya. CHS membatasi pengertian perompakan ini jika

kejahatan tersebut terjadi di laut lepas, bukan ketika kejahatan

perompakan terjadi di laut teritorial.

3) Pasal 16 CHS 1958

“The acts of piracy, as defined in article 15, committed by a warship, government ship or government aircraft whose crew has mutinied and taken control of the ship or aircraft are assimilated to acts committed by a private ship.”

Pasal 16 CHS 1958 menyatakan apabila unsur-unsur

perompakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 CHS 1958

telah terpenuhi, maka ketika hal tersebut dilakukan oleh suatu kapal

perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya

telah memberontak dan mengambil alih pengendalian kapal atau

pesawat udara tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan

orang-orang tersebut dapat disamakan dengan tindakan-tindakan

yang dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara perompak.

Kejahatan perompakan tetap dapat dikenakan terhadap setiap

kapal yang memenuhi unsur dalam Pasal 15 CHS 1958 tanpa

memandang kapal tersebut merupakan kapal perang atau kapal

pemerintah. Sehingga, kapal perang atau kapal pemerintahpun dapat

ditetapkan sebagai perompakan.

Page 68: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

4) Pasal 17 CHS 1958

Batasan terhadap kapal atau pesawat udara yang disebut

sebagai perompak diatur dalam pasal 17 CHS 1958. Batasan kapal

atau pesawat udara dianggap sebagai suatu kapal atau pesawat udara

perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang

mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu

tindakan yang dimaksud dalam Pasal 15 CHS 1958. Hal yang sama

berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan untuk

melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau pesawat

udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang bersalah

melakukan tindakan itu.

5) Pasal 18 CHS 1958

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kapal atau pesawat

udara yang memenuhi unsur Pasal 15 CHS 1958 dinyatakan sebagai

perompak, maka kebangsaan kapal atau pesawat udara tetap dapat

memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi kapal atau pesawat

udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ini

ditentukan oleh hukum negara yang telah memberikan kebangsaan

itu. Negara pemberi kebangsaan terhadap kapal memiliki

kewenangan untuk mencabut atau tetap mempertahankan

kebangsaan kapal perompak tersebut.

6) Pasal 19 CHS 1958

Pasal 19 CHS 1958 mengatur tentang kewenangan atas

penyitaan kapal. Kewenangan atas penyitaan terhadap kapal laut di

laut lepas, atau di setiap tempat lain di luar yurisdiksi negara

manapun, yang diduga kapal atau pesawat udara tersebut merupakan

perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil

oleh perompak dan berada di bawah pengendalian perompak dan

menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal.

Penyitaan atas kapal ini dapat dilakukan oleh setiap negara

yang meratifikasi konvensi ini serta setelah dilakukannya penyitaan

Page 69: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

terhadap kapal pengadilan dari negara yang melakukan penyitaan

tersebut dapat memutuskan hukuman yang akan dikenakannya dan

menentukan tindakan yang diambil yang berkaitan dengan kapal

tersebut. Penyitaan ini tetap harus dengan itikad yang baik sehingga

tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dalam melakukan

penyitaan.

7) Pasal 20 CHS 1958

Penyitaan terhadap kapal yang diduga sebagai perompak harus

dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum

internasional dan dengan prinsip good faith, yakni penyitaan tersebut

harus didasarkan dengan itikad yang baik agar tidak terjadi

kesewenang-wenangan dalam penyitaan. Ketika suatu negara

menyita kapal tanpa alasan yang benar maka Pasal 20 CHS 1958

memberikan peringatan bahwa perlu adanya sebuah tanggung jawab

yang harus dibebankan kepada negara terhadap penyitaan tanpa

alasan yang cukup.

Where the seizure of a ship or aircraft on suspicion of piracy has been effected without adequate grounds, the State making the seizure shall be liable to the St ate the nationality of which is possessed by the ship or aircraft, for any loss or damage caused by the seizure.

Pasal ini menjelaskan bahwa apabila penyitaan suatu kapal

pesawat udara yang dicurigai melakukan perompakan dilakukan

tanpa alasan yang cukup, maka negara yang telah melakukan

penyitaan tersebut harus bertanggung jawab terhadap negara yang

kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk

setiap kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan

tersebut.

8) Pasal 21 CHS 1958

Penyitaan terhadap kapal yang diduga perompak ini hanya

dapat dilakukan oleh kapal-kapal tertentu, seperti yang disebutkan

Page 70: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

dalam Pasal 21 CHS 1958 bahwa hanya kapal-kapal tertentu saja

yang dapat melakukan penyitaan.

“A seizure on account of piracy may be carried out only by warships or military aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as being on government service and authorized to that effect.”

Pasal ini berkaitan dengan kriteria kapal yang dapat melakukan

penyitaan. perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang

atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang

secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas

pemerintahan serta yang diberi wewenang untuk melakukan hal

demikian. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya kesewenangan

dalam penyitaan serta pertanggung jawabannya akan jelas

dibebankan terhadap siapa.

Setelah penulis memaparkan aturan dalam CHS 1958, bahwa aturan

yang terdapat di dalam CHS 1958 telah mengakomodir hal-hal yang

diperlukan untuk menekan angka perompakan dengan adanya aturan-

aturan yang mengatur tentang penindakkan atas kejahatan perompakan.

Aturan hukum dalam CHS 1958 ini dapat dilaksanakan oleh negara-negara

jika terjadi kasus perompakan sebagai landasan legal terhadap setiap

tindakan untuk menekan angka perompakan di dunia. Sebagai sebuah

sumber hukum, CHS 1958 adalah bagian dari perjanjian internasional

yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk

terhadapnya.

Seperti halnya yang diatur dalam pasal 14 CHS bahwa setiap negara

harus bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan. Negara yang

dilekati atas aturan ini adalah negara yang telah meratifikasi CHS 1958

dalam hal ini telah ada 63 negara yang meratifikasi konvensi ini (United

Nations, Treaty Series , vol. 450, p. 11.,

http://treaties.un.org/pages/ShowMTDSGDetails.aspx?src=UNTSONLIN

E&tabid=2&mtdsg_no=XXI-2&chapter=21&lang=en#Participants). Oleh

Page 71: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

sebab itu, negara-negara pihak dalam konvensi ini dapat menggunakan

aturan ini untuk menekan angka perompakan dengan cara mengadili para

perompak dengan hukum nasionalnya.

b. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982)

Konvensi ini terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas

dari yurisdiksi nasional di ruang udara dan di atas laut, navigasi,

perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah,

pertambangan dasar laut dan eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non

hayati dan ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian perselisihan.

Disamping itu, konvensi ini juga mengatur tentang pendirian dari badan-

badan internasional untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi

tujuan-tujuan tertentu dari konvensi (Direktorat Diplomasi Publik

Kementerian Luar Negeri R.I, 2010: 15).

Ketentuan UNCLOS 1982 yang mengatur tentang perompakan,

beberapa hal yang diatur adalah:

1) Pasal 100 UNCLOS 1982

Pasal 100 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “all states

shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of

piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction

of any State.” Pasal ini menyatakan bahwa semua negara harus

bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan di laut lepas

atau di tempat lain di luar yurisdiksi setiap negara.

Adanya Pasal 100 UNCLOS 1982 ini memberikan landasan

legitimasi bagi setiap negara untuk menerapkan hukumnya untuk

mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh negara pihak

ketiga. Kejahatan perompakan juga tetap dilekati oleh asas universal,

di mana asas tersebut memiliki arti bahwa melekat terhadap

pelakunya sehingga setiap negara dapat mengadilinya meskipun tidak

terkait sama sekali dengan kejahatan tersebut (Yudha Bhakti, 2012:

217).

Page 72: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

2) Pasal 101 UNCLOS 1982

Pengertian perompakan dijelaskan dalam Pasal 101 UNCLOS

1982, di mana pasal ini memberikan definisi dan ruang lingkup

mengenai perompakan. Peristiwa yang dikatakan sebagai perompakan

jika memenuhi unsur sebagai berikut:

(1) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau

setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan

pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau

pesawat udara swasta, dan dilakukan:

(a) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau

terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau

pesawat udara demikian;

(b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di

suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun;

(2) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian

suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang

membuatnya suatu kapal atau pesawat udara perompak.

(3) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan

yang disebutkan di atas.

Dalam pasal ini terdapat pembatasan akan arti perompakan, pasal

ini membatasi definisi perompakan hanya sebatas kejahatan tersebut

yang terjadi laut lepas, dan tidak menjelaskan definisi kejahatan yang

sama apabila terjadi di luar laut lepas. Namun, dalam Pasal 58 yang

menyatakan adanya kebebasan berlayar di ZEE menjadikan ketetuan

atas kebebasan pelayaran di laut lepas dapat diterapkan jika terjadi

perompakan, sehingga pasal ini juga dapat diterapkan dalam kasus

perompakan jika terjadi di ZEE.

Page 73: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

3) Pasal 102 UNCLOS 1982

Pasal 102 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa

“The acts of piracy, as defined in article 101, committed by a warship, government ship or government aircraft whose crew has mutinied and taken control of the ship or aircraft are assimilated to acts committed by a private ship or aircraft.”

Pasal 102 UNCLOS 1982 menyatakan apabila unsur-unsur

perompakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 101 UNCLOS

1982 telah terpenuhi, maka ketika hal tersebut dilakukan oleh suatu

kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak

kapalnya telah memberontak dan mengambil alih pengendalian kapal

atau pesawat udara tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan

orang-orang tersebut dapat disamakan dengan tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara perompak.

Meskipun, suatu perompakan dilakukan oleh kapal yang

merupakan suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah,

akan tetapi unsur dalam pasal 101 UNCLOS 1982 telah terpenuhi

kapal perang, kapal atau pesawat udara milik pemerintah tersebut

tetap dapat dikenakan sanksi dan aturan-aturan yang sama dengan

kapal perompak lainnya.

4) Pasal 103 UNCLOS 1982

Pasal 103 UNCLOS 1982 memberikan batasan terhadap kapal

atau pesawat udara yang disebut sebagai perompak. Batasan kapal

atau pesawat udara dianggap sebagai suatu kapal atau pesawat udara

perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang

mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu

tindakan yang dimaksud dalam Pasal 101 UNCLOS 1982. Hal yang

sama berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan

untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau

pesawat udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang

bersalah melakukan tindakan itu.

Page 74: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

Unsur-unsur dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 menjadi titik tolak

disebutnya suatu kapal atau pesawat udara dinyatakan sebagai

perompak, oleh sebab itu, ketika unsur Pasal 101 telah terpenuhi

maka kapal atau pesawat udara dapat dikenai sanksi dan dapat

dilakukan penyelidikan atas tindakannya tersebut.

5) Pasal 104 UNCLOS 1982

Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 103 UNCLOS 1982

sebelumnya bahwa kapal atau pesawat udara yang memenuhi unsur

dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 dinyatakan sebagai perompak, maka

kebangsaan kapal atau pesawat udara dalam hal ini diatur dalam Pasal

104 UNCLOS 1982. Pasal 104 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa,

suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya

walaupun telah menjadi kapal atau pesawat udara perompak. Tetap

dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ini ditentukan oleh hukum

negara yang telah memberikan kebangsaan itu.

Dalam hal ini suatu negara pemiliki kapal atau pesawat udara

tersebut memiliki kewenangan atas dicabutnya atau tetap

dipertahakannya kebangsaan suatu kapal atau pesawat udara tersebut

yang telah melakukan tindakan perompakan.

6) Pasal 105 UNCLOS 1982

UNCLOS 1982 menyatakan bahwa negara-negara harus

bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan perompakan di laut lepas

di tempat lain manapun di luar yurisdiksi sesuatu negara. Oleh karena

itu, diperbolehkannya dilakukan atas penyitaan terhadap kapal yang

dianggap sebagai kapal perompak.

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 105, kewenangan atas penyitaan

terhadap kapal laut di laut lepas, atau di setiap tempat lain di luar

yurisdiksi negara manapun, yang diduga kapal atau pesawat udara

tersebut merupakan perompak atau suatu kapal atau pesawat udara

yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendalian

Page 75: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada

di kapal.

Pengadilan suatu negara yang telah melakukan tindakan

penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan

juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan

kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada

hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.

7) Pasal 106 UNCLOS 1982

Penyitaan terhadap kapal yang diduga sebagai perompak juga

harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum

internasional dan dengan prinsip good faith. Ketika suatu negara

menyita kapal tanpa alasan yang benar maka Pasal 106 UNCLOS

1982 memberikan peringatan bahwa perlu adanya sebuah tanggung

jawab yang harus dibebankan kepada negara terhadap penyitaan tanpa

alasan yang cukup.

Pasal ini menjelaskan bahwa apabila penyitaan suatu kapal

pesawat udara yang dicurigai melakukan perompakan dilakukan tanpa

alasan yang cukup, maka negara yang telah melakukan penyitaan

tersebut harus bertanggung jawab terhadap negara yang

kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk

setiap kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan

tersebut.

Kerugian dan kerusakan yang dibebankan kepada negara hanya

sebatas kerugian dan kerusakan yang disebabkan semata-mata karena

tindakan penyitaan tersebut.

8) Pasal 107 UNCLOS 1982

Penyitaan terhadap kapal yang diduga perompak ini hanya dapat

dilakukan oleh kapal-kapal tertentu, seperti yang telah disebutkan

dalam Pasal 107 UNCLOS bahwa hanya kapal-kapal tertentu saja

yang dapat melakukan penyitaan. Penyitaan karena perompakan

hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer,

Page 76: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan

dapat dikenal sebagai dinas pemerintahan serta yang diberi wewenang

untuk melakukan hal demikian.

Sehingga penyitaan tidak dapat dilakukan oleh setiap kapal

hanya kapal-kapal tertentu yang dapat melakukannya, hal ini

dimaksudkan agar tidak adanya kesewenangan dalam penyitaan serta

pertanggung jawabannya akan jelas dibebankan terhadap siapa.

9) Pasal 111 UNCLOS 1982

Pasal ini mengatur mengenai hak pengejaran seketika (hot

persuit), di mana hak pengejaran seketika ini dapat dilakukan hanya

oleh kapal-kapal tertentu yaitu kapal-kapal perang atau pesawat udara

militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda

yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam

dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu (Pasal

111 ayat (5)). Pengejaran seketika ini juga baru dapat di mulai ketika

pihak dari negara mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa

kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan negara

itu.

Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau

salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan

kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan

hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan

apabila pengejaran itu tidak terputus. Tidak perlu bahwa pada saat

kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona tambahan itu

menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu

juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal

asing tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan

dalam Pasal 33, pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah

terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan mana zona

itu telah diadakan (Pasal 111 ayat (1)).

Page 77: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Hak pengejaran seketika ini harus berlaku, bagi pelanggaran-

pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen,

termasuk zona-zona keselamatan disekitar instalasi-instalasi di landas

kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan negara yang

berlaku sesuai dengan UNCLOS 1982 bagi zona ekonomi eksklusif

atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian (pasal 111

ayat (2)).

Setelah penulis memaparkan aturan dalam UNCLOS 1982, bahwa

aturan mengenai perompakan yang diatur dalam UNCLOS 1982 tentang

perompakan telah diatur secara jelas. Sebagai sumber hukum internasional

aturan dalam UNCLOS 1982 hanya mengikat terhadap negara-negara

yang meratifikasi konvensi ini. Negara yang terikat atas konvensi ini

terdiri dari 162 negara (United Nations, Treaty Series , vol. 1833, p. 3,

http://treaties.un.org/pages/ViewDetailsIII.aspx?&src=UNTSONLINE&m

tdsg_no=XXI~6&chapter=21&Temp=mtdsg3&lang=en#Participants),

sehingga dengan banyaknya negara yang sudah meratifikasi UNCLOS

1982 ini maka semakin banyak negara yang dapat menerapkan konvensi

ini untuk menekan angka perompakan.

Oleh karena itu, diperlukan adanya kesadaran bagi negara-negara

pihak untuk mengkriminalisasi perompakan dalam hukum nasionalnya.

Hal ini berguna untuk negara-negara sebagai cara untuk mengadili para

perompak. Aturan dalam UNCLOS 1982 juga dapat diberlakukan saat

kejahatan perompakan tersebut terjadi di ZEE. Pada Pasal 58 ayat (2)

mengatur bahwa ketetapan hukum terhadap perompak dapat diberlakukan

di wilayah ZEE. Negara lain dapat secara bebas bernavigasi di dalam area

perairan tersebut.

c. Pengaturan tentang perompakan di laut lepas menurut Convention for the

Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation

1988 (SUA 1988).

Lahirnya SUA 1988 disebabkan karena adanya kebutuhan yang

mendesak untuk mengembangkan kerjasama internasional dalam

Page 78: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

merencanakan dan menerima upaya-upaya efektif dan praktis untuk

mencegah semua tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan

keselamatan navigasi maritim, dan penuntutan dan penghukuman para

pelakunya bahwa tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan

keselamatan navigasi maritim membahayakan keselamatan orang dan

harta benda, mempengaruhi penyelenggaraan jasa maritim, dan merusak

kepercayaan dari masyarakat dunia dalam keselamatan pelayaran maritim.

Terjadinya tindakan seperti itu adalah masalah keprihatinan yang

mendalam bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.

Aturan dalam SUA Convention 1988 yang mengatur mengenai

perompakan ini diatur dalam beberapa pasal, yakni:

1) Pasal 3 SUA Convention 1988

Pasal 3 konvensi SUA 1988 ini mengatur kejahatan-kejahatan di

laut, termasuk kejahatan perompakan yang termasuk di dalamnya.

Pengertian dalam Pasal 3 SUA 1988 menyebutkan bahwa:

a) Setiap orang dapat dikatakan telah melakukan suatu kejahatan,

jika orang tersebut melawan hukum dan dengan sengaja:

(1) mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara

kekerasan atau mengancam

(2) melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal

yang dapat membahayakan keamanan pelayaran

(3) menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan

pada kapal/muatannya yang dapat membahayakan keamanan

pelayaran

(4) meletakkan sebuah perangkat atau substansi yang

kemungkinan dapat menghancurkan kapal/muatannya dan

dapat membahayakan keamanan pelayaran

(5) menghancurkan sarana dan prasarana pelayaran atau

mempengaruhi operasi kapal, dimana tindakan tersebut

dapat membahayakan keamanan navigasi

Page 79: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

(6) menyampaikan informasi yang tidak benar, sehingga dapat

membahayakan keamanan pelayaran

(7) membunuh atau melukai orang lain di atas kapal.

b) Setiap orang juga dapat dikatakan telah melakukan kejahatan jika

orang tersebut:

(1) mencoba melakukan salah satu tindak pidana yang

ditetapkan di atas

(2) setiap tindak pidana dilakukan oleh setiap orang atau kaki

(3) tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut

(4) mengancam, seperti yang terdapat dalam hukum nasional,

dengan tujuan untuk mempengaruhi seseorang agar

melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, atau untuk

melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan

sebelumnya dan ancaman tersebut dapat membahayakan

keamanan pelayaran

Ketika melihat unsur-unsur kejahatan yang diakomodir

dalam Pasal 3 SUA 1988 ini maka kejahatan perompakan juga

termasuk di dalamnya. Oleh sebab itu, dengan mendasarkan

terhadap pasal ini setiap orang yang melakukan perompakan dapat

dinyatakan sebagai orang yang melanggar isi Pasal 3 SUA 1988

ini.

2) Pasal 6 SUA Convention 1988

Pengambilan tindakan oleh setiap negara atas kejahatan

yang dicantumkan dalam Pasal 3 SUA 1988 ini diatur dalam Pasal

6. Pasal 6 memberikan aturan mengenai pelaksanaan untuk

mengambil tindakan-tindakan untuk mengadili hal tersebut, bahwa:

a) Setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan

untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang

ditetapkan dalam Pasal 3 ketika kejahatan dilakukan terhadap

atau di atas kapal yang mengibarkan bendera negara atau dalam

Page 80: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial

ataupun dilakukan oleh seorang warga negara dari negara

tersebut.

b) Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas

suatu pelanggaran jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang

yang berkewarganegaraan dari negara yang bersangkutan,

selama pelaku dari negara tersebut mengancam untuk

membunuh atau melukai orang lain, dan atau tindakan tersebut

dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang

bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

tindakan.

Setelah suatu negara menetapkan yurisdiksinya tersebut

negara harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal IMO

akan tetapi konvensi ini tetap tidak mengesampingkan hukum

nasional negara pihak-pihak.

SUA 1988 memberikan aturan yang semakin jelas atas

penanggulangan perompakan yakni dalam Pasal 6 SUA 1988 ini

dinyatakan bahwa negara pihak harus mengambil tindakan yang

diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang

ditetapkan dalam Pasal 3. Oleh karena itu, dengan berdasarkan

aturan ini negara pihak dari konvensi ini berkewajiban untuk

mengambil tindakan ketika terjadi kejahatan perompakan dalam

batasan yurisdiksinya.

3) Pasal 8 SUA Convention 1988

Pasal 8 SUA ini menjelaskan bahwa pemilik kapal suatu

negara bendera dapat menyerahkan setiap orang yang dicurigai

telah melakukan salah satu tindak pidana yang telah memenuhi

unsur pasal 3 SUA 1988 kepada pihak yang berwenang dari

negara pihak lainnya (negara penerima). Dalam hal ini, negara

bendera harus memberitahukan kepada pihak yang berwenang

dari negara penerima atas niatnya untuk menyerahkan pelaku

Page 81: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

tersebut dengan disertai alasan-alasannya. Negara penerima harus

menerima penyerahan tersebut, kecuali memiliki alasan untuk

mempertimbangkannya serta penolakan tersebut harus disertai

dengan pernyataan dan alasan yang tepat untuk penolakan.

Negara bendera harus menjamin bahwa pemilik kapal wajib

memberikan bukti-bukti kepada pihak berwenang dari negara

penerima atas pelanggaran yang dituduhkan kepadanya untuk

proses penuntutan dan peradilan terhadapnya.

SUA 1988 merupakan aturan hukum yang mengatur mengenai

masalah-masalah kejahatan pelayaran, termasuk perompakan. Aturan

mengenai tindakan-tindakan dapat diambil untuk menyelesaikan

kejahatan pelayaran yang terjadi. Oleh sebab itu, , SUA 1988 dapat

dijadikan sebagai landasan hukum bagi negara pihak SUA 1988 untuk

menindak perompakan. Namun ketentuan SUA 1988 ini hanya mengikat

terhadap negara pihak yang meratifikasi SUA 1988, bagi negara non-

pihak tidak dapat menerapkan aturan yang diatur dalam SUA 1988.

Somalia sebagai negara yang perairannya sering terjadi perompakan

belum meratifikasi konvensi ini, sehingga Somalia tidak dapat

menerapkan jurisdiksinya berdasarkan konvensi tersebut. Selain Somalia,

negara-negara belum banyak yang meratifikasi konvensi ini hanya 67

negara yang meratifikasi konvensi ini sehingga pelaksanaan konvensi ini

belum dapat berjalan secara efektif.

d. Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB

Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB memiliki tujuan yakni menjaga

perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mengambil

tindakan secara bersama-sama dengan tujuan mencegah dan

menghindari ancaman keamanan serta menekan seluruh aksi

penyerangan atau pemutusan terhadap keamanan, dan mengadakan,

secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum

internasional, penyesuaian atau menyelesaikan perbedaan atau situasi,

Page 82: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

yang bersifat internasional, yang dapat diubah ke arah terciptanya

perdamaian.

Salah satu organ utama PBB, yakni Dewan Keamanan (DK)

memiliki wewenang dan fungsi yang sangat penting dikarenakan

tugasnya untuk memelihara perdamaian dunia. Dalam Pasal 48 ayat (1)

bab VII Piagam PBB dinyatakan bahwa tindakan yang diperlukan untuk

melaksanakan keputusan-keputusan DK guna pemeliharaan perdamaian

serta keamanan internasional dilakukan oleh semua anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB,

http://www.un.org/en/documents/charter/chapter7.shtml).

Berkaitan dengan perompakan di Somalia, DK telah mengeluarkan

beberapa resolusi yang didasarkan pada wewenang DK sebagai langkah-

langkah enforcement measures yang didasarkan pada Bab VII Piagam

PBB. Oleh sebab itu, resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB adalah

mengikat dan harus ditaati oleh negara anggota.

Resolusi DK PBB yang mengatur mengenai permasalahan

perompakan telah ada sejak lama, beberapa resolusi yang sudah

dikeluarkan oleh DK PBB mengenai permasalahan ini antara lain 1816

(tahun 2008), 1838 (tahun 2008), 1846 (tahun 2008), 1815 (tahun 2008),

1897 (tahun 2009), 1918 (tahun 2010), 1950 (tahun 2010), 1976 (tahun

2011), 2015 (tahun 2011), 2020 (tahun 2011), 2039 (tahun 2012).

Resolusi atas perompakan yang dikeluarkan oleh DK PBB yang

mengatur mengenai yurisdiksi hanya beberapa resolusi saja yakni

resolusi nomor 1816 tahun 2008, resolusi nomor 1838 tahun 2008,

resolusi nomor 1846 tahun 2008, resolusi tahun 1851 tahun 2008 dan

resolusi 1976 tahun 2011. Sehingga, pembahasan dalam penelitian ini

hanya dibatasi terhadap resolusi-resolusi tersebut.

Dalam resolusi 1816 tahun 2008 DK PBB isinya membahas

tentang situasi di Somalia dengan fokus pada keamanan maritim di

negeri itu. Dalam resolusi itu, Dewan Keamanan menekankan

pentingnya kerjasama semua negara, termasuk dengan IMO, dengan

Page 83: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

TFG Somalia untuk menghadapi masalah perompakan dan perampokan

bersenjata di Somalia. Dalam resolusi ini juga diperkenankannya negara

lain untuk memasuki perairan teritorial Somalia dengan tujuan menindas

perompakan dan perompakan bersenjata di laut dengan menggunakan

segala sumber daya yang tersedia untuk memberantas perompakan dan

perampokan bersenjata (Resolusi nomor 1816 tahun 2008 paragraf 3-8,

S /RES/1851 2008,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1816%20(2008)

%20).

Resolusi DK PBB nomor 1816 tahun 2008 ini dipertegas kembali

dengan adanya Resolusi DK PBB nomor 1838 tahun 2008 yang mana

dalam resolusi ini negara-negara diharapkan menggunakan kekuatan

militer (naval task force) dalam bentuk Operasi militer yang dilakukan

bersama-sama. Hal ini diharapkan akan adanya operasi siaga di daerah

perairan Somalia dan melakukan tindakan dalam menekan angka

perompakan yang terjadi di sana (Resolusi DK PBB nomor 1838 tahun

2008, paragraf 1-10, S /RES/1838,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1838%20(2008)

%20).

Meskipun kapal perang angkatan laut yang dioperasikan tersebut

dikerahkan untuk fokus atas pencegahan terjadinya perompakan untuk

melindungi negaranya maupun lebih fokus menjaga transportasi

pengiriman bantuan kemanusiaan dan patroli laut mencegah adanya

anvaman ekonomi. Namun, seperti gabungan multinasional maritime

seperti Combined Taskforce (CTF) 151. Akan tetapi, dengan adanya hal

ini akan tercipta keamanan yang lebih efektif untuk mencegah

perompakan karena perompakan telah dianggap sebagai musuh umat

manusia.

Resolusi DK PBB nomor 1846 tahun 2008 Somalia memberikan

peluang bagi aksi militer yang dilakukan oleh negara lain. Di dalamnya

berisi izin bagi negara dan organisasi regional untuk menggunakan

Page 84: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

semua tindakan yang diperlukan untuk mengatasi perompak Somalia

yang ditetapkan 2 Desember 2008. Hingga saat ini ada sembilan negara

utama yang terlibat dalam pengamanan laut di wilayah Somalia. Antara

lain, Kanada, Denmark, Amerika Serikat, India, Prancis, Rusia, Spanyol,

Belanda, Inggris. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga telah

mengirimkan kapal dan pesawat perang ke perairan Somalia dan

mengamankan jalur transportasi (Resolusi DK nomor 1846 tahun 2008,

S /RES/1846, paragraf 1-20,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1846%20(2008)

%20).

Demikian pula, Resolusi 1851, diadopsi pada tanggal 16 Desember

2008, mengundang negara untuk membuat perjanjian khusus dengan

negara lain di kawasan semenanjung Somalia untuk memfasilitasi

penuntutan perompakan. Hal ini juga mendorong terciptanya sistem

kerja sama internasional dan pusat untuk berbagi informasi (Resolusi

DK PBB nomor 1851 tahun 2008, S /RES/1851 paragraf 1- 13,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1851%20(2008)

%20).

Resolusi lain yang dikeluarkan oleh DK PBB yakni Resolusi

nomor 1976 tahun 2011. Dalam resolusi tersebut, DK PBB mendesak

semua negara, termasuk negara-negara disekitar perairan Somalia untuk

mengkriminalisasi perompakan di bawah hukum nasionalnya. Dalam

resolusi ini juga bahwa DK PBB mengakui bahwa perompakan adalah

subjek kejahatan untuk yurisdiksi universal dan menegaskan kembali

seruannya pada negara untuk mempertimbangkan baik penuntutan

terhadap yang dicurigai dan melakukan hukuman pemenjaraan atas

perompak yang ditangkap di lepas pantai (Resolusi DK PBB nomor

1976 tahun 2011, S /RES/1976, Paragraf

14,http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1976%20(201

1)%20).

Page 85: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Menurut isi resolusi ini, DK PBB melihat ketidakstabilan yang

terus berlangsung di Somalia merupakan salah satu penyebab utama

terjadinya perompakan dan perampokan bersenjata yang di perairan

Somalia. Dalam resolusi-resolusi DK PBB yang telah dikeluarkan

sebelumnya, DK PBB memberikan wewenang kepada negara-negara

dan organisasi-organisasi kawasan untuk memasuki perairan wilayah

Somalia serta menggunakan langkah-langkah yang diperlukan untuk

memerangi perompakan. Langkah-langkah yang dimaksud antara lain

dengan mengerahkan kapal dan pesawat militer, juga merampas serta

membuang perahu, kapal, persenjataan dan peralatan-peralatan apapun

yang digunakan para perompak untuk menjalankan aksi serangannya

(resolusi DK PBB nomor 1976 tahun 2011, Paragraf 1-28, S /RES/1976

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1976%20(2011)

%20).

Resolusi yang telah banyak dikeluarkan oleh PBB ini dalam

kenyataannya belum dilakukan secara efektif, kendala atas ketidak

efektifan dari pelaksanaan resolusi ini adalah rawannya intervensi atas

pemerintahan Somalia. Hal ini disebabkan karena perompak yang

notabanenya merupakan warga sipil namun dilakukan pengejaran oleh

pihak militer negara lain yang memasuki di teritorial Somalia. Sehingga,

dalam pelaksanaan resolusi ini perlu adanya kesepakatan antara pihak

yang melakukan pengejaran atas para perompak dengan pemerintahan

Somalia. Namun demikian beberapa negara telah menggunakan

Resolusi-Resolusi DK untuk mengadili para perompak dengan

menerapkan yurisdiksi baik yurisdiksi nasionalnya ataupun membentuk

yurisdiksi baru dengan melakukan perjanjian dengan negara tetangga

Somalia.

e. Pedoman International Maritime Organization (IMO)

PBB dalam konferensinya pada tahun 1948 telah menyetujui untuk

membentuk suatu badan Internasional yang khusus menangani masalah-

masalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk pertama kali dengan

Page 86: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

nama Inter Govermental Maritime Consuktative Organization ( IMCO ).

Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasi tersebut baru

diakui secara internasional. Kemudian berubah nama menjadi

International Maritime Organization ( IMO ) sejak tanggal, 22 Mei

1982 (IMO, http://www.imo.org/About/Pages/Default.aspx). Salah satu

tugas IMO yakni menangani masalah-masalah kemaritiman juga terkait

dengan perompakan. Sehingga dalam hal ini IMO mengeluarkan

beberapa aturan-aturan yang terkait dengan perompakan.

Pedoman IMO yang termaktub dalam the Draft Code of Practice

for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery

Against Ships. IMO telah melaksanakan sebuah proyek anti-

perompakan, sebuah proyek jangka panjang yang dimulai pada tahun

1998 (IMO, http://www.imo.org/blast/mainframe.asp?topic_id=362).

IMO melaksanakan sebuah proyek anti perompakan ini dengan

tahap pertama terdiri dari sejumlah seminar regional dan lokakarya yang

dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari negara-neara dalam

pembahasan mengenai anti-perompakan dunia, sedangkan tahap kedua

terdiri dari sejumlah misi evaluasi dan penilaian ke berbagai

daerah. IMO berusaha untuk mendorong perkembangan perjanjian

regional atas pelaksanaan tindakan anti-perompakan. IMO juga telah

mengadopsi serangkaian dokumen yang memberikan panduan tentang

bagaimana mencegah, mempersiapkan, dan bereaksi terhadap, insiden

perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal (Report of

the Secretary-General A/65/69 Paragraph: 243-252 tahun 2009,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/65/69).

Pada tahun 2009 IMO juga mengeluarkan resolusi nomor 1025

(A.26) tentang Code of Practice For the Investigation of Crimes of

Piracy and Armed Robbery Against Ships yaitu pedoman tentang

pelaksanaan untuk investigasi terhadap kejahatan dari perompakan dan

perampokan bersenjata terhadap kapal yang berisikan mengenai catatan

untuk membantu negara-negara anggota IMO untuk melakukan

Page 87: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

investigasi terhadap kapal yang dicurigai sebagai perompak. Dalam hal

penuntutan dan penangkapan:

Negara-negara dianjurkan untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksi mereka atas tindak pidana perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal kapal, termasuk penyesuaian undang-undang mereka, jika perlu untuk memungkinkan negara-negara saat menangkap dan mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Negara-negara selanjutnya didorong untuk mengambil langkah secara nasional yang diperlukan baik peraturan hukum, peradilan dan tindakan penegakkan hukum lainnya yang dapat diterima untuk mengadili atau mengekstradisi setiap bajak laut atau perompak yang dicurigai kemudian ditangkap oleh kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal lain atau pesawat ditandai dengan jelas dan dapat diidentifikasi sebagai kapal pemerintah. Negara- negara juga harus mempertimbangkan hukuman yang tepat ketika membuat undang-undang tentang perompakan (Resolusi IMO, 2010, A 26/Res.1025, http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Documents/Piracy/A.1025.pdf).

Seperti juga yang dijelaskan dalam Pasal 100 UNCLOS, oleh

sebab itu IMO dalam kode tersebut juga mengamanatkan bahwa:

Negara-negara pantai didorong untuk bekerja sama sepenuhnya dalam investigasi insiden perampokan bersenjata dan upaya yang dilakukan bersama dengan negara lain yang berkepentingan seperti sebagai negara bendera, dan bila perlu, untuk masuk ke dalam perjanjian bilateral atau multilateral yang sesuai untuk memfasilitasi penyelidikan tersebut dan penuntutan para pelaku. Selain itu, Negara-negara didorong untuk bekerja sama sepenuhnya yang memungkinkan dalam penyelidikan tindakan atau tindakan percobaan perompakan dan untuk masuk ke dalam perjanjian bilateral atau multilateral dengan negara lain yang berkepentingan seperti negara bendera atau negara pantai sehingga memfasilitasi penyelidikan tersebut dan penuntutan para pelaku (Resolusi IMO, 2010, A 26/Res.1025, paragraph 3.4, http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Documents/Piracy/A.1025.pdf).

Sejalan dengan resolusi tersebut, IMO juga membuat sebuah

pedoman untuk membantu dalam investigasi guna melawan perompakan

kapal dan perampokan bersenjata (Guidelines to Assist in the

Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against

Page 88: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

Ships)Pedoman ini berisi mengenai negara dan masyarakat internasional

harus mengambil langkah positif dalam upaya memberantas perompakan

dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal. Pemerintah juga

didesak untuk mengambil sikap yang lebih efektif jika berurusan dengan

perompakan dan untuk memberikan bantuan secara lebih kepada kapal

yang dirompak di perairan serta setelah kapal dibebaskan dan setelah

terbebas dari penawanan.

Penangkapan, penuntutan dan penghukuman perompak laut dan

perampok bersenjata yang paling memungkinkan adalah dengan

pencegahan yang dilakukan pemerintah. Sebuah kapal yang telah

disandera dengan rentang waktu yang cukup lama cenderung memiliki

banyak bukti jika dikumpulkan, dicatat dan dipelihara dengan cara yang

tepat, hal ini bisa menambah kasus penuntutan di kemudian hari. Untuk

melakukan hal ini, pemerintah didorong untuk memiliki penyidik yang

terlatih yang dapat mengumpulkan bukti yang tersedia dari sebuah kapal

segera setelah dilaporkan (IMO, 2011 Ref. T2-MSS/2.11.4.1,

MSC.1/Circ.1404,http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Docu

ments/Piracy/MSC.1Circ.1404.pdf).

Penyidik harus selalu peka terhadap fakta yang menunjukkan

bahwa awak mengalami tekanan dari penangkapan hingga negosiasi di

lain sisi para awak ingin mendapatkan kapalnya kembali ke kondisi

operasional yang normal secepat mungkin. Jika penyidik harus naik

kapal di pelabuhan saat pertama kali dilakukan panggilan, setelah

melepaskan penyidik harus:

a) Hubungi Company Security Officer (CSO) kapal dan mengkonfirmasi jika penyidik telah mampu mengamankan wilayah di kapal untuk menyelamatkan barang bukti

b) Mengakui dan menghargai bahwa awak akan berada di bawah tekanan yang ekstrim selama beberapa hari dan mungkin tunduk secara fisik, mental dan bahkan pelecehan seksual. Penyidik harus peka terhadap fakta ini saat mengambil pernyataan terhadap awak.

c) Kesadaran kewajiban negara bendera untuk melakukan investigasi sendiri untuk kebutuhannya dalam akses langsung ke

Page 89: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

kapal dan awak kapal pada kedatangannya (IMO, 2011,annex page 1, http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Documents/Piracy/MSC.1Circ.1404.pdf).

Pedoman yang dikeluarkan IMO ini memberikan langkah-langkah

yang harus dilakukan saat melakukan penangkapan perompak secara

jelas dan terperinci agar menjadi pedoman yang dapat dilakukan para

awak kapal atau yang lainnya dalam menanggulangi perompakan di laut.

Sekretariat IMO pada tahun 2009, melakukan peninjauan legislasi

nasional di negara-negara tentang perompakan, berdasarkan informasi

yang diterima dari negara-negara anggota tersebut, negara anggota

berencana untuk mengajukan permohonan kepada Komite Hukum IMO

untuk memfasilitasi hal-hal yang diperlukan untuk penangkapan,

penuntutan dan ekstradisi pelaku yang diduga sebagai perompak. Dalam

hubungan ini, sekretariat menempatkan permohonan tersebut pada

program kerjanya untuk di tahun 2010-2011 yaitu:

a) tinjauan instrumen IMO dalam memerangi perompakan dan perampokan bersenjata,

b) upaya-upaya internasional untuk memastikan efektifnya penuntutan terhadap pelaku,

c) ketersediaan informasi pada undang-undang nasional yang komprehensif dan dalam kapasitas yudikatifnya. Selama tahun 2008-2009, sejumlah negara telah ditinjau dan diperbarui undang-undang tentang perompakan termasuk Belgia, Perancis, Italia, Jepang, Kenya, dan Spanyol (Report of the Secretary-General, 2009, Nomor A /64/66/Add.1 paragraf 123 http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/64/66/Add.1).

Kerja khusus IMO melakukan cara untuk menanggulangi masalah

perompakan di lepas pantai Somalia, yang dilakukan dengan cara IMO

bekerjasama dengan United Nations Political Office for Somalia

(UNPOS) sebuah kantor perwakilan PBB untuk mengurusi politik

Somalia yang juga dilakukan bersama-sama dengan United Nations

Office on Drugs and Crime (UNODC), negara-negara anggota PBB dan

interpol, menyelenggarakan pertemuan yang dilakukan selama tiga kali

yang dilakukan di Kampala dan di Djibouti. Tujuannya adalah untuk

Page 90: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

memfasilitasi pertukaran informasi dan koordinasi. Pertemuan ini

menghasikan sebuah pedoman yang dinamakan sebagai Kode Etik

Djibouti tentang Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap

kapal-kapal di Samudera Hindia barat dan Teluk Aden (Report of the

Secretary-General 2010, nomor A /65/69/Add.2 paragraf 116-117

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/65/69/Add.2).

Rapat Djibouti mengadopsi Kode Etik mengenai Penindakan atas

Perompakan dan Perampokan Bersenjata terhadap Kapal di Samudra

Hindia Barat dan Teluk Aden, yang ditandatangani pada 29 Januari 2009

oleh wakil-wakil dari Djibouti, Ethiopia, Kenya, Madagaskar,

Maladewa, Seychelles, Somalia, Republik Tanzania dan Yaman.

Secara khusus, para penandatangan kode etik telah sepakat untuk

bekerja sama, dengan cara yang konsisten dengan hukum internasional,

dalam:

a. Penyelidikan, penangkapan dan penuntutan orang, yang patut diduga memiliki dan atau melakukan tindakan-tindakan perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal, termasuk yang tidak direncanakan atau sengaja memfasilitasi tindakan tersebut;

b. Larangan penyitaan kapal tersangka dan properti di kapal tersebut; c. Penyelamatan kapal, orang dan properti yang dilakukan

perompakan dan perampokan bersenjata dan memberikan fasilitasi yang tepat, pengobatan serta perawatan dan pemulangan pelaut, nelayan, personil kapal dan penumpang lainnya khususnya mereka yang mengalami kekerasan, dan

d. Pelaksanaan operasi bersama - baik antar negara penandatangan dan dengan angkatan laut dari negara-negara luar daerah - seperti penegakan hukum yang berwenang untuk memulai patroli kapal atau pesawat udara lain negara penandatangan. Para penandatangan juga menghimbau untuk meninjau undang-undang nasional mereka dengan maksud untuk memastikan bahwa terdapat hukum-hukum di negara tersebut untuk mengkriminalisasi perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal dan untuk membuat ketentuan yang memadai untuk menerapkan yurisdiksi, melakukan investigasi dan penuntutan pelanggar dugaan (http://www.imo.org/OurWork/Security/PIU/Pages/DCoC.aspx).

Page 91: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Pelaksanaan Kode Etik Djibouti akan membantu untuk

meningkatkan komunikasi antara negara; meningkatkan kemampuan

negara di kawasan itu untuk mencegah, menangkap dan mengadili

perompak; meningkatkan kesadaran situasi maritim di negara

penandatanganan yang rawan perompakan; dan meningkatkan

kemampuan penjagaan pantai setempat.

IMO sebagai organisasi internasional yang telah memiliki

beberapa pedoman untuk menanggulangi perompakan seyogyanya telah

dapat dijadikan sebuah pedoman teknis untuk menekan angka

perompakan. Oleh sebab itu, perlu adanya keseriusan untuk menjalankan

pedoman-pedoman yang telah dihasilkan IMO tersebut. Aturan-aturan

yang terdapat di dalam IMO dapat diterapkan oleh anggota IMO untuk

menekan angka perompakan dan membuat efek jera terhadap para pelaku

perompakan.

Namun, pedoman dalam IMO ini hanya sebatas pedoman teknis

yang dapat digunakan oleh anggota IMO untuk memberantas

perompakan. Pedoman ini hanya untuk membantu pelaksanaan, sehingga,

daya ikat dari pedoman yang dikeluarkan IMO ini tidak dapat mengikat

secara mutlak, aturan mutlak yang harus digunakkan untuk menangani

masalah perompakan adalah konvensi-konvensi internasional.

f. International Maritime Bureau (IMB)

Organisasi internasional lainnya yang bergerak juga dalam

menanggulangi perompakan kapal laut adalah IMB yakni divisi khusus

dari International Chamber Of Commerce (ICC). IMB didirikan pada

tahun 1981 dengan tujuan untuk bertindak sebagai titik fokus dalam

memerangi semua jenis kejahatan pelayaran dan percobaan kejahatan

pelayaran. IMB dijadikan pusat pelaporan perompakan pada tahun 1992

pusat ini berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Melaporkan serangan

perompakan untuk penegakan hukum lokal dan mengeluarkan peringatan

tentang sinyal adanya perompakan (http://www.icc-ccs.org/home/imb).

Page 92: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

“an act of boarding or attempting to board any ship with the intent

to commit theft or any other crime and with the attempt or capability to

use force in furtherance of that act” IMB mendefinisikan perompakan

sebagai sebuah tindakan menaiki atau berusaha menaiki kapal apapun

dengan maksud melakukan pencurian atau bentuk kejahatan lain dan

dengan usaha atau kemampuan menggunakan kekerasan dalam

aksinya. Definisi tersebut tidak membedakan antara penyerangan di laut

bebas dan di dalam perairan teritorial sehingga mencakup penyerangan

terhadap kapal di wilayah perairan teritorial.

IMB bukan hanya memberikan definisi atas perompakan

melainkan IMB juga memberikan panduan dan formulir yang dapat diisi

oleh pihak kapal ketika melakukan pelaporan atas serangan perompakan.

Laporan itu berisi mengenai kejadian lengkap yang terjadi saat itu.

Dengan adanya laporan tersebut akan mempermudah pihak kapal jika

terjadi perompakan atas kapalnya sehingga akan ada penanganan yang

cepat dan tepat. Pasalnya IMB juga memiliki hubungan pengamat

dengan International Criminal Police Organization (ICPO - Interpol),

dengan hal ini maka akan mempermudah untuk menanggulangi

perompakan.

Perompakan di laut merupakan masalah kejahatan terorganisir

internasional yang memerlukan kerjasama antar intelejen kepolisian

melalui pendekatan kerjasama dengan latar belakang tersebut

International Police (INTERPOL) melakukan kerjasama untuk

menanggulangi kejahatan perompakan tersebut. IMB dengan bantuan

INTERPOL dapat juga menekan angka perompakan secara signifikan

sebab dengan kerjasama tersebut dapat akan mempermudah dalam

pencegahan, pemberian informasi, pengamanan serta penghukuman bagi

para perompak. (Lyon, http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-

transnasional/kejahatan-di-laut)

Berdasarkan tugas dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh IMB

dapat disimpulkan bahwa IMB membuat beberapa aturan hukum yang

Page 93: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

terkait dengan perompakan , yang dapat dijadikan oleh setiap negara

dalam menekan angka perompakan dengan cara mengimplementasikan

aturan-aturan yang ada dalam IMB. Aturan dalam IMB juga telah

memberikan informasi terkait perompakan serta hubungan antara

Interpol dengan IMB menjadi positif jika hal tersebut digunakan untuk

membuat jera para perompak dan dapat menekan angka perompakan di

dunia.

Pedoman dalam IMB sama halnya dengan pedoman IMO yakni

hanya sebatas pedoman teknis yang dapat digunakan oleh anggota IMB

untuk memberantas perompakan. Pedoman ini hanya untuk membantu

pelaksanaan, sehingga, daya ikat dari pedoman yang dikeluarkan IMB ini

tidak dapat mengikat secara mutlak.

g. Pengaturan Perompakan dalam Hukum Regional

Menanggulangi bahaya perompakan di laut lepas juga dapat

dilakukan oleh negara pihak ketiga dan/atau kelompok-kelompok negara

wilayah, hal ini sejalan dengan asas yurisdiksi universal yang melekat

pada laut lepas, selain hal tersebut perompakan merupakan pelanggaran

prinsip jus cogens yang termasuk kejahatan internasional uang telah

mengganggu keamanan dan perdamaian dunia sehingga setiap negara

dapat bekerja sama untuk memberantas perompakan ini dengan prinsip

yurisdiksi universal. Perompakan merupakan suatu tindak pidana yang

berada di yurisdiksi semua negara di manapun tindakan itu dilakukan,

tindakan pidana itu bertentangan dengan kepentingan masyarakat

internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai pelanggaran

prinsip jus cogens dan setiap negara berhak menangkap dan

menghukum semua pelakunya (J.G. Starke, 2009:304).

1) Uni Eropa

Uni Eropa telah melancarkan operasi militer berupa

operasi Atlanta. Operasi Atlanta ini diatur dalam kerangka European

Security and Defence Policy (keamanan eropa dan kebijakan

Page 94: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

pertahanan Eropa) dan mendukung resolusi Dewan Keamanan

PBB tentang perompakan.

Kebijakan maritim untuk Uni Eropa berisi komitmen yang

kuat terhadap persekutuan dan negara-negara anggota untuk

mendukung kebijakan guna meningkatkan kinerja negara bendera

kapal dan mempertimbangkan pengembangan instrumen negara-

negara untuk memperkuat pengawasan terhadap aturan internasional

di laut lepas, yang di dalamnya dengan menggunakan teknologi,

seperti satelit global navigasi di bawah program Galileo (Maria

Gavouneli, 2007:36). Kebijakan ini juga berlaku bagi perompakan

sebab perompakan melibatkan negara bendera serta kejahatan yang

dapat mengancam keamanan.

Resolusi DK PBB nomor 1838 Tahun 2008, negara-negara

diharapkan menggunakan kekuatan militer (naval task force) dalam

bentuk "counter piracy operations" yang digunakan untuk

memberantas perompakan dan perampokan di laut yang diakomodir

oleh suatu koalisi internasional untuk mengurangi perompakan

disekitar perairan Somalia dengan membentuk "Maritime Security

Patrol Area" di teluk Aden, seperti yang telah dilakukan oleh Ocean

Shields (NATO and partners). "Combined Task Force 150",

demikian juga perusahaan keamanan Inggris "Saracen

International"; "Combined Task Force 151", serta operation Atlanta

yang dibentuk oleh Europen Union (Rachmad Yuliadi Nasir,

http://m.politikana.com/baca/2011/04/25/opsi-khusus-untuk-

mengatasi-pembajakan-kapal-sinar-kudus).

2) The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and

Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)

Pada tingkat regional di Asia, 14 negara di Asia telah bekerja

sama pada tahun 2004 melalui Regional Cooperation Agreement on

Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia

(Perjanjian Kerjasama Regional tentang Pemberantasan perompakan

Page 95: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

dan perampokan bersenjata terhadap kapal di Asia). Indonesia,

Malaysia, Singapura dan Thailand juga telah bekerja sama dalam

upaya melindungi Selat Malaka dan di daerah Singapura melalui

Malacca Straits Patrols (Report of the Secretary-General nomor A

/64/66 paragraf 130-131 tahun 2009,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/64/66 ).

ReCAAP adalah perjanjian regional pertama untuk promosi

dan penegakan kerjasama internasional melawan perompakan dan

perampokan bersenjata di laut di Asia. ReCAAP juga terbuka untuk

aksesi oleh negara lain. Negara di luar regional Afrika yang sudah

mengaksesi perjanjian ini adalah Inggris, Norwegia dan Belanda.

ReCAAP mengadopsi definisi yang sama dengan perompakan yang

ditetapkan dalam UNCLOS serta definisi IMO perampokan

bersenjata di laut (Matteo Crippa, http://piracy-

law.com/2012/05/10/recaap-and-the-anti-piracy-information-sharing-

system-in-asia/).

Perjanjian ReCAAP menetapkan kewajiban yang dilakukan

oleh anggota negara-negara untuk mempengaruhi tindakan guna

mencegah dan menekan perompakan dan perampokan bersenjata

terhadap kapal-kapal. Hal ini juga menjabarkan kerangka kerjasama

antar anggota negara, yakni kerjasama untuk berbagi informasi,

membangun kapasitas dan operasional. Berbagi informasi

perompakan dan perampokan bersenjata dapat membantu

meningkatkan operasional kerjasama dalam menangani perompakan

serta memungkinkan pengembangan atas tindakan pencegahan yang

efektif.

Sebagai landasan untuk kerjasama, negara-negara ReCAAP

membentuk Information Sharing Centre (ISC). ReCAAP-ISC

sebagai badan independen internasional, yang merupakan organisasi

internasional dan mencakup perwakilan dari negara anggota

ReCAAP. ISC ReCAAP akan membantu untuk meningkatkan

Page 96: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

respon cepat dari nasional dan kemampuan negara-negara anggota

untuk mencegah dan menumpas perompakan dan perampokan laut di

wilayah Asia. ISC akan memberikan kontribusi dengan memberikan

akses informasi tertentu kepada pemilik kapal dan nakhoda untuk

membantu mereka mengambil tindakan pencegahan terhadap

perompakan dan ReCAAP menjadi landasan hukumnya (Yonah

Alexander and Tyler B. Richardson,2009: 425).

3) United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) untuk

kawasan Samudra Hindia

UNODC melalui Program UNODC Counter Piracy yang telah

dibentuk sejak Mei 2011, untuk mendukung negara-negara di

Samudera Hindia yang mengadili kasus perompakan. Program ini

memiliki dua tujuan terkait dengan dukungan dari penuntutan atas

perompakan di territorial dan dukungan terhadap penambahan

kapasitas ruang penjara di Somalia melalui Program Piracy Prisoner

Transfer. Untuk memberikan tujuan pertama, UNODC memberikan

dukungan bagi polisi, jaksa, pengadilan dan penjara di negara-negara

di sekitar Samudra Hindia yang menangani kasus perompakan.

Sebagian besar pekerjaan UNODC berada di Kenya, Seychelles dan

Mauritius mereka adalah tiga negara yang telah setuju untuk

mnerima tersangka dalam kasus perompakan untuk melakukan

proses penuntutan dari angkatan laut internasional yang beroperasi di

Samudra Hindia (UNODC Counter-Piracy Programme Brochure

(Issue 7). http://www.thecgpcs.org/).

Rencana strategis untuk Counter Piracy ini baru dilakukan

untuk 3 negara seperti Kenya, Seychelles, dan Mauritius serta

pembuatan strategis secara berkelanjutan agar semakin menambah

kesadaran negara-negara untuk membuat hukum nasionalnya yang

mengatur mengenai perompakkan dan keinginan negara-negara lain

untuk mau mengadili kasus perompakan dalam sistem

pengadilannya.

Page 97: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

Dari pemaparan aturan hukum internasional yang mengatur

mengenai perompakan di laut lepas tersebut, penulis dapat meresume

aturan hukum internasional mengenai perompakan seperti di bawah ini:

Tabel 2

Resume aturan hukum internasional

No Nama Resolusi

Pasal Subtansi

1 CHS 1958 dan UNCLOS 1982

Pasal 101 UNCLOS

1982 dan Pasal 15

CHS 1958

Pasal ini membahas terkait definisi

perompakan, yakni Pasal 101

UNCLOS 1982 dan Pasal 15 CHS

1958 ini memberikan limitasi

definisi perompakan, yaaitu

kejahatan yang terjadi di laut lepas

saja.

Pasal 100 UNCLOS

1982 dan pasal 14

CHS 1958

Pasal ini memberikan tanggung

jawab kepada semua negara untuk

bekerjasama sepenuhnya dalam

menekan perompakan di laut lepas

atau di tempat lain di luar yurisdiksi

setiap negara.

Sehingga, dengan hal ini negara

pihak ketiga dalam kasus

perompakan dapat mengadili suatu

kasus perompakan.

Pasal 102 UNCLOS

1982 dan Pasal 16

CHS 1958

Pasal ini mengatur apabila unsur-

unsur perompakan tersebut dipenuhi

yang dilakukan oleh suatu kapal

perang, kapal atau pesawat udara

pemerintah, maka tindakan-tindakan

yang dilakukan orang tersebut dapat

disamakan dengan tindakan tindakan

Page 98: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

yang dilakukan oleh suatu kapal atau

pesawat udara perompak, meskipun

itu suatu kapal perang, kapal atau

pesawat udara pemerintah

Pasal 103 UNCLOS

1982 dan Pasal 17

CHS 1958

Pasal ini memberikan batasan

terhadap kapal atau pesawat udara

yang disebut sebagai perompak.

Batasan kapal atau pesawat udara

dianggap sebagai suatu kapal atau

pesawat udara perompak apabila ia

dimaksudkan oleh orang yang

mengendalikannya digunakan untuk

tujuan melakukan salah satu

tindakan yang dimaksud dalam Pasal

101 UNCLOS 1982.

Pasal 104 UNCLOS

1982 dan Pasal 18

CHS 1958

Pasal ini memberikan penjelasan

bahwa suatu kapal atau pesawat

udara dapat tetap memiliki

kebangsaannya walaupun telah

menjadi kapal atau pesawat udara

perompak. Kewenangan pencabutan

kebangsaan kapal hanya dimiliki

oleh hukum negara yang

memberikan kebangsaan tersebut.

Pasal 105 UNCLOS

1982 dan Pasal 19

CHS 1958

Kedua aturan ini memberikan

kewenangan atas penyitaan terhadap

kapal laut di laut lepas, atau di setiap

tempat lain di luar yurisdiksi negara

manapun, yang diduga kapal atau

pesawat udara tersebut merupakan

Page 99: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

perompak dan menangkap orang-

orang yang menyita barang yang ada

di kapal. Pengadilan suatu negara

yang telah melakukan tindakan

penyitaan itu dapat menetapkan

hukuman yang akan dikenakan,

Pasal 106 UNCLOS

1982 dan Pasal 20

CHS 1958

Pasal ini memeberikan peringatan

bahwa ketika suatu negara menyita

kapal tanpa alasan yang benar maka

perlu adanya sebuah tanggung jawab

yang harus dibebankan kepada

negara terhadap penyitaan tanpa

alasan yang cukup tersebut.

Pasal 107 UNCLOS

1982 dan Pasal 21

CHS 1958

Pembatasan kapal yang dapat

melakukan penyitaan yaitu hanya

dapat dilakukan oleh kapal perang

atau pesawat udara militer, atau

kapal atau pesawat udara lain yang

secara jelas diberi tanda dan dapat

dikenal sebagai dinas pemerintahan

serta yang diberi wewenang untuk

melakukan hal demikian.

Pasal 111 UNCLOS

1982

Pasal ini mengatur mengenai aturan-

aturan yang terkait dengan hak

pengejaran seketika (hot persuit) atas

kapal yang diduga sebagai

perompak.

2 SUA

Convention

1988

Pasal 3

SUA Convention

1988

Pengertian dalam Pasal 3 SUA

Convention 1988, juga menjadikan

perompakan sebagai kejahatan yang

Page 100: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

diatur dalam pasal ini. Oleh sebab

itu, pasal ini juga dapat digunakan

sebagai landasan hukum atas

kejahatan perompakan.

Pasal 6 SUA

Convention 1988

Pengambilan tindakan oleh setiap

negara atas kejahatan yang

dicantumkan dalam Pasal 3 SUA

1988 ini diatur dalam Pasal 6, bahwa

secara sederhananya, pasal ini

memberikan aturan mengenai

pelaksanaan untuk mengambil

tindakan-tindakan untuk mengadili

hal kejahata-kejahatan tersebut,

meliputi pula kejahatan perompakan.

Pasal 8 SUA

Convention 1988

Pasal 8 SUA ini menjelaskan bahwa

pemilik kapal suatu negara bendera

dapat menyerahkan setiap orang

yang dicurigai telah melakukan salah

satu tindak pidana yang telah

memenuhi unsur pasal 3 SUA 1988

kepada pihak yang berwenang dari

negara pihak lainnya (negara

penerima).

3 Resolusi DK

PBB

Nomor 1816 tahun

2008

Membahas Situasi di Somalia

dengan fokus pada keamanan

maritim di negeri Somalia dan

Dewan Keamanan menekankan

kerjasama semua negara, termasuk

dengan IMO, dengan TFG Somalia,

diperkenankannya pula negara lain

Page 101: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

untuk memasuki perairan teritorial

Somalia untuk menangkap

perompak.

Nomor 1838 tahun

2008

Menggunakan kekuatan militer

(naval task force) dalam bentuk

Operasi militer yang dilakukan

bersama-sama.

Nomor 1846 tahun

2008

Berisi izin bagi negara dan

organisasi regional untuk

menggunakan semua tindakan yang

diperlukan untuk mengatasi

perompak Somalia.

Nomor 1851 tahun

2008

Mengundang negara untuk membuat

perjanjian khusus dengan negara lain

di kawasan semenanjung Somalia

untuk memfasilitasi penuntutan

perompakan. Hal ini juga mendorong

terciptanya sistem kerja sama

internasional dan pusat untuk

berbagi informasi

Nomor 1976 tahun

2009

DK PBB mendesak semua negara,

termasuk negara-negara disekitar

perairan Somalia untuk

mengkriminalisasi perompakan di

bawah hukum nasionalnya

4. Pedoman

IMO

the Draft Code of

Practice for the

Investigation of the

Crimes of Piracy and

Armed Robbery

Pedoman ini berisikan tentang

proyek anti-perompakan IMO yang

merupakan sebuah proyek jangka

panjang yang dimulai pada tahun

1998.

Page 102: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

Against Ships.

Resolusi nomor

1025 (A.26) tentang

Code Of Practice

For The

Investigation Of

Crimes Of Piracy

And Armed Robbery

Against Ships

Pedoman ini berisikan tentang

pelaksanaan untuk investigasi

terhadap kejahatan dari perompakan

dan perampokan bersenjata terhadap

kapal yang berisikan mengenai

catatan untuk membantu negara-

negara anggota IMO untuk

melakukan investigasi terhadap

kapal yang dicurigai sebagai

perompak

Guidelines To Assist

In The Investigation

Of The Crimes Of

Piracy And Armed

Robbery Against

Ships

sebuah pedoman untuk membantu

dalam investigasi guna melawan

perompakan kapal dan perampokan

bersenjata yang isnya mengenai

negara dan masyarakat internasional

harus mengambil langkah positif

dalam upaya memberantas

perompakan dan perampokan

bersenjata terhadap kapal-kapal.

Kode Etik Djibouti Kode etik ini berisikan tentang

Perompakan dan Perampokan

bersenjata terhadap kapal-kapal di

Samudera Hindia barat dan Teluk

Aden

5. Pedoman IMB

IMB bukan memberikan definisi atas

perompakan serta IMB memberikan

panduan dan formulir yang dapat

diisi oleh pihak kapal ketika

melakukan pelaporan atas serangan

Page 103: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

perompakan.

IMB juga memiliki hubungan

pengamat dengan International

Criminal Police Organization (ICPO

- Interpol), dengan hal ini maka akan

mempermudah untuk menanggulangi

perompakan.

Melihat adanya aturan dari beberapa organisasi internasional, maupun

melalui perjanjian regional di kawasan tertentu mengenai perompakan, maka

penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengaturan-pengaturan tersebut

menunjukkan bahwa penekanan dan penegakan hukum atas perompakan di

laut lepas telah diatur secara jelas. Penerapan hukuman bagi perompakan

akan menjadi solusi yang efektif untuk menekan angka perompakan.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara bekerjasama dengan koalisi

internasional untuk mengurangi perompakan di laut dengan membentuk

operasi gabungan untuk penjagaan laut di daerah rawan perompakan seperti

di perairan sekitar Somalia yang telah dibentuk "Maritime Security Patrol

Area". Cara ini akan dapat membantu kapal yang dirompak untuk segera

dibebaskan dari para perompak serta para perompak dapat ditangkap

kemudian di adili dengan pengadilan suatu negara yang telah melakukan

tindakan penyitaan tersebut. Selain hal itu, negara tersebut dapat

menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal,

pesawat udara atau barang-barang yang diduga sebagai perompak aturan ini.

Negara yang tidak terkait dalam kasus perompakan yang terjadi juga

dapat melaksanakan hukumnya untuk mengadili para perompak, aturan ini

telah diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 100 UNCLOS 1982 yang

menghimbau kepada semua negara pihak untuk bekerjasama sepenuhnya

dalam penindasan perompakan di laut lepas atau di luar yurisdiksi suatu

negara. Sehingga setiap negara dapat menahan pelaku perbuatan yang

dinyatakan sebagai perompakan yang terjadi di luar wilayahnya atau

wilayah negara lain juga di laut lepas, dan berhak melaksanakan penegakan

Page 104: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

yurisdiksi dan ketentuan-ketentuan hukumnya. Aturan seperti ini juga

dipertegas dalam Pasal 6 SUA 1988 yang menyatakan bahwa negara

peratifikasi SUA 1988 pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan

untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan pelayaran.

2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV

ditinjau dari aspek hukum internasional

Dalam hukum, yurisdiksi merupakan sebuah istilah untuk kekuasaan

atau wewenang. Hal ini biasanya diterapkan ke pengadilan dan badan

peradilan, yang menggambarkan lingkup hak mereka untuk bertindak.

Penerapan di sebuah negara atau bangsa, berarti wewenang untuk

menyatakan dan menegakkan hukum (I Wayan Parthiana, 1990: 292).

Sehingga, yurisdiksi ini erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yakni

kewenangan atas penerapan hukuman bagi suatu tindak pidana termasuk

perompakan dalam hal ini.

UNCLOS 1982 memberikan pengertian perompakan kapal di laut

lepas yang diakomodir melalui Pasal 101 UNCLOS 1982 yang telah

menetapkan beberapa unsur tindakan yang dikategorikan sebagai

perompakan. Perompakan di lepas pantai Somalia yang melibatkan negara

Indonesia adalah perompakan yang terjadi pada awal tahun 2011, Kapal

Sinar Kudus MV dirompak oleh perompak Somalia di lepas pantai

Somalia. Kapal Sinar Kudus MV, kapal yang berbendera Indonesia saat itu

sedang dalam perjalanan ke Suez (Mesir) dari Singapura ketika diserang

para perompak. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal kargo Indonesia

yang dioperasikan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk. Kapal ini terdaftar di

pelabuhan Jakarta ini dibuat pada tanggal 24 Juni 1998 kapal ini dibuat

oleh Shin Kochijyuko Co. Ltd. Kochi, Jepang. Kapal ini mulai dibuat

tanggal 24 Juni 1998 dan mulai dijalankan pada tanggal 17 Februari 1999

Nilai materiil kapal ini sekitar 10 juta Dollar Amerika Serikat

(http://id.wikipedia.org/wiki/MV_Sinar_Kudus). Indonesia sebagai

negara bendera atas kapal tersebut melakukan berbagai upaya untuk

melakukan pembebasan 20 awak kapal yang sedang dirompak tersebut

Page 105: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

secepatnya dan dengan cara yang aman demi menjaga keamanan dan

keselamatan jiwa awak kapal yang berada di dalamnya.

Indonesia mengambil langkah untuk melakukan pembebasan terhadap

Kapal Sinar Kudus MV dengan cara negosiasi kesepakatan pembayaran

terhadap perompak Somalia sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 38,7

miliar. Aksi ini juga diwarnai dengan aksi militer yang dilakukan oleh KRI

Abdul Halim Perdanakusuma dan KRI Yos Sudarso. Setelah pembayaran

pembebasan tersebut diberikan kepada perompak, perompak Somalia

mencoba untuk merompak kembali akan tetapi digagalkan oleh pihak TNI.

TNI yang memantau pembebasan itu menewaskan 4 perompak Somalia

saat kapal kargo itu telah memasuki perairan internasional, hal ini

dilakukan untuk tindakan militer pengamanan untuk melakukan

pengejaran terhadap perompak-perompak tersebut

(http://news.detik.com/read/2011/05/02/163840/1630634/10/kronologi-

pembebasan-sinar-kudus-uang-tebusan-dihitung-hingga-malam).

Upaya pembebasan perompakan yang dilakukan Indonesia dengan

negosiasi maupun dengan kontak senjata tersebut, sesungguhnya dapat

dilakukan dengan cara lain yakni dengan mengadili para perompak dengan

menggunakan yurisdiksi yang melekat pada kasus tersebut. Yurisdiksi

menjadi hal yang penting dan menjadi pusat kedaulatan negara, karena hal

itu merupakan pelaksana kewenangan yang dapat mengubah, membuat

atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban (Malcolm N Shaw, 2008

: 645).

Perompakan dianggap sebagai pelanggaran prinsip jus cogens yang

menjadi masalah bersama yang harus diberantas oleh setiap negara

manapun. Berdasarkan pada analisa dari aturan-aturan internasional yang

telah dibahas pada sub bab sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa

ada beberapa yurisdiksi melekat pada kasus perompakan terhadap kapal

Sinar Kudus MV yang berbendera Indonesia dan terjadi di lepas pantai

Somalia.

Page 106: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

a. Yurisdiksi Indonesia

Status kapal yang dirompak di lepas pantai Somalia adalah kapal

dengan berbendera Indonesia. Hukum Indonesia dapat diterapkan dalam

kasus tersebut mengingat undang-undang negara bendera berlaku pada

semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara

bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang

negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal

atau bagi semua perbuatan pidana. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi

dari tidak adanya yurisdiksi di laut lepas, sehingga hukum negara bendera

yang dipakai sebagai yurisdiksinya. (Boer Mauna, 2005: 322).

Hal ini didasarkan atas aturan yang terdapat dalam UNCLOS 1982

dalam Pasal 90 yaang menyebutkan bahwa “Every State, whether coastal

or land-locked, has the right to sail ships flying its flag on the high seas”.

Dalam pasal ini UNCLOS 1982 memberikan kebebasan bagi setiap negara

berpantai maupun tidak berpantai untuk mengibarkan bendera negara di

kapalnya untuk berlayar di laut lepas. Oleh sebab itu, negara bendera

memiliki kewajiban untuk menetapkan persyaratan dalam pemberian

kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal dan untuk hak

mengibarkan benderanya.

Kapal yang memiliki kebangsaan negara benderanya harus secara sah

dapat dikibarkan olehnya. Negara juga harus memberikan dokumen yang

sah yang diperlukan kapal ketika mengibarkan benderanya. Kapal dalam

hal ini diasimilasikan dengan wilayah negara, jadi dalam hal ini kapal

dianggap sebagai floating portion of the flag state yaitu bagian yang

terapung wilayah negara bendera. Karena suatu negara mempunyai

wewenang absolut terhadap wilayah, maka negara tersebut mempunyai

wewenang pula terhadap kapal-kapal yang berlayar di laut lepas, karena

kapal tersebut dianggap bagian dari wilayah negara. (Boer Mauna, 2005:

323).

Yurisdiksi Indonesia dapat diterapkan dalam penegakkan kasus ini,

sebab Indonesia merupakan negara bendera kapal tersebut sehingga

Page 107: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

yurisdiksi teritorial negara Indonesia juga melekat dalam kasus

perompakan Kapal Sinar Kudus MV ini. Hukum nasional Indonesia dapat

diterapkan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Demikian pula yurisdiksi

Indonesia melekat terhadap awak kapal Sinar Kudus MV yang merupakan

Warga Negara Indonesia dengan begitu asas nasionalitas pasif dalam hal

ini dapat diterapkan. Dalam asas ini membenarkan negara untuk

menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita

kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa

setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan

apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak

menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara

asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu

berada di wilayahnya (J.G Starke, 2009: 303).

Oleh sebab itu, Indonesia dapat melindungi warga negaranya dengan

menegakkan yurisdiksinya untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Indonesia sebenarnya memiliki aturan mengenai kejahatan pelayaran yang

terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dalam bab

XXIX - Kejahatan Pelayaran dari Pasal 438-479 KUHP, dengan adanya

pasal ini seharusnya dapat ditetapkan sistem peradilan untuk kasus

perompakan kapal Sinar Kudus MV. Pasal 438 menyebutkan bahwa:

(1) Diancam karena melakukan perompakan di laut: 1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang

siapa masuk bekerja menjadi nahkoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan di lautan bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui;

2. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk bekerja menjadi kelasi kapal tersebut atau dengan suka rela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelab hal itu diketahui olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut.

Page 108: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

(2) Disamakan dengan tidak punya surat kuasa, jika melampaui apa yang dikuasakan, demikian juga jika memegang surat kuasa dari negara-negara yang berperang satu dengan yang lainnya.

Pasal ini seharusnya dapat digunakan Indonesia untuk menuntut

dan menghukum perompak Somalia tersebut, mengingat telah dijelaskan

di atas bahwasannya Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal berbendera

Indonesia yang akibatnya yurisdiksi Indonesia melekat di dalamnya, serta

kejahatan perompakan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang

ditetapkan dalam pasal tersebut. Akan tetapi, Indonesia tidak melakukan

peradilan terhadap Sinar Kudus MV dan justru memilih untuk melakukan

pembayaran tebusan yang sangat merugikan pihak Indonesia. Alasan

Indonesia memilih untuk melakukan pembayaran tebusan ini dikarenakan

alasan keselamatan ABK yang didahulukan, selain hal tersebut di dalam

kapal ada nikel senilai 1,5 Trilyun sehingga langkah negosiasi dan

pembayaran tebusan menjadi langkah yang diambil oleh pemerintah

Indonesia.

Namun, negosiasi dan pembayaran uang tebusan bukan menjadi

sastu-satunya solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus ini.

Penuntutan dan penghukuman dapat dilakukan oleh Indonesia dengan

menggunakan KUHP yang telah mengakomodir aturan mengenai

perompakan dengan membawa para perompak ke Indonesia untuk diadili.

Mengadili perompak di negara yang berkepentingan langsung juga

telah dilakukan oleh beberapa negara, misalnya:

1) Pengadilan Belanda telah menarapidanakan lima perompak Somalia

dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara pada mereka karena

berupaya untuk membajak sebuah kapal dari Antilles Belanda pada

tahun 2009, kasus perompakan Somalia ini pertama kali yang diadili

di Eropa.

(http://vibizdaily.com/detail/internasional/2010/06/18/pengadilan_bela

nda_penjarakan_lima_perompak_somalia).

Page 109: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

2) Menteri Pertahanan Yaman juga menyatakan bahwa pengadilan di kota

pelabuhan Aden, Yaman bagian selatan, telah menjatuhkan hukuman

penjara 10 tahun pada 10 perompak Somalia yang berusaha membajak

sebuah kapal barang di wilayah perairan Yaman

(http://vibizdaily.com/detail/internasional/2010/05/20/yaman_hukum_

10_perompak_somalia_10_tahun).

Jika melihat negara-negara telah melakukan sistem peradilannya

terhadap para perompak seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

seharusnya Indonesia juga melakukan peradilan terhadap perompak

Somalia yang melakukan kejahatan perompakan terhadap kapal Sinar

Kudus MV dengan menggunakan aturan-aturan dalam KUHP Indonesia

sebagai hukum yang dapat digunakan untuk mengadili para perompak.

Penggunaan sistem peradilan untuk kasus perompakan akan menjadi solusi

untuk menekan angka perompakan dan menyebabkan efek jera terhadap

para perompak, sehingga kapal dan awak kapal yang melakukan pelayaran

akan merasa aman.

Pernyataan dari duta besar Somalia untuk Indonesia juga semakin

memperkuat tindakan Indonesia agar mengadili para perompak. Duta

Besar Somalia untuk Indonesia Mohamud Olow Barow,

mempersilahkan pemerintah Indonesia untuk menggunakan kekuatan

militer dalam membebaskan 20 anak buah kapal (ABK) Sinar Kudus

MV. Pemerintah Somalia tidak merasa diintervensi jika Indonesia

mengerahkan kekuatan militer dalam membebaskan warganya yang

dirompak oleh perompak Somalia. Pemerintah Somalia juga berharap dari

Indonesia untuk dapat membantu Somalia menyelesaikan masalah terkait

aksi perompak yang menguasai sejumlah wilayah perairan Somalia, hal ini

dikarenakan angkatan laut Somalia saat ini sangat lemah karena perang

saudara yang berlangsung dalam jangka waktu cukup lama

(http://www.indonesiawaters.com/2011/04/militer-harus-segera-bertindak-

bebaskan.html).

Page 110: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Kelemahan dari penerapan yurisdiksi Indonesia ini yakni untuk

membawa dan mengadili para perompak Somalia ke Indonesia

memerlukan waktu yang panjang, Hal ini disebabkan karena jauhnya letak

perairan Somalia dengan Indonesia. Pihak Indonesia untuk mengumpulkan

bukti-bukti kejadian tidak dapat dilakukan dengan segera sehingga akan

sulit untuk mendapatkan barang bukti yang ada.

b. Yurisdiksi Somalia

Selain yurisdiksi Indonesia tersebut, yurisdiksi Somalia sebagai

negara dari warga negara perompak berwenang dan sah untuk

menegakkan yurisdiksinya terhadap kasus tersebut. Mengingat pula

kejahatan perompakan sering terjadi di laut lepas pantai Somalia.

Sehingga, dengan hal ini Somalia dapat menerapkan asas nasional aktif

Somalia untuk menangani kasus ini, yakni Somalia dapat melaksanakan

yurisdiksinya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh warganegaranya

sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu negara akan

selalu mengikuti warganegaranya di manapun dia berada. Asas nasional

aktif dapat diterapkan dalam kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV ini

disebabkan kenegaraan para perompak merupakan warga negara Somalia.

Oleh sebab itu, hukum nasional Somalia melekat didalamnya.

Namun, Somalia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan

negara yang tidak stabil dengan pemerintahan sementara yang tidak dapat

menegakkan hukumnya terhadap warga negaranya. Pernyataan presiden

TFG Somalia yang tercantum dalam resolusi PBB nomor 1918 tahun 2010

(Resolusi DK PBB nomor 1918,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1918%20(2010)%2

0) bahwa meminta semua negara, termasuk negara-negara di kawasan

dekat lepas pantai Somalia, untuk mengkriminalisasi perompakan

berdasarkan hukum nasionalnya dan mempertimbangkan penuntutan

terhadap yang dicurigai sebagai perompak, dan menjatuhkan pidana

penjara terhadap bajak laut yang ditangkap di lepas pantai Somalia, akan

tetapi harus konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional yang

Page 111: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

berlaku (resolusi PBB nomor 1918, Resolusi DK PBB nomor 1918,

http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1918%20(2010)%2

0).

c. Yurisdiksi regional

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa negara yang melakukan

patroli di Perairan Somalia tidak semuanya sepakat untuk membawa

perompak ke pengadilan dalam negeri mereka. Negara negara tersebut

kemudian mencari negara lain untuk mengirim perompak untuk diadili.

Negara-negara yang dituju biasanya terletak di sekitar Somalia, Untuk itu

negara patroli harus meminta persetujuan (consent) negara tetangga untuk

mengadili perompak, Selain itu syarat utama agar neagra tetangga dapat

mengadili perompak adalah bahwa negara yang ebrsangkutan harus

mempunyai aturan hukum yang berkaitan dengan perompak.

Contoh perjanjian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut pada

bulan Desember tahun 2008, Inggris menandatangani nota kesepahaman

dengan Kenya, meresmikan sebuah pengaturan di mana perompak yang

ditangkap akan diserahkan kepada Kenya untuk diadili. Kemudian hal ini

dilakukan juga oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Denmark yang

mengadakan perjanjian serupa dengan Kenya. Pada akhirnya pada

pertengahan 2009, kira-kira 100 perompak telah dialihkan ke Kenya

(Steven Art, 2012: 248).

Namun mengadili perompak tidak selamanya merupakan pilihan bagi

Kenya. Hal ini akan mengakibatkan membanjirnya perompak yang diadili

di Kenya. Serta adanya kemungkinan retaknya hubungan antara Kenya

dan Somalia. Alasan utama adalah bahwa rakyat somalia dan Kenya

sebagian besar beragama Islam, sehingga mengadili rakyat negara

tetangga secara terus menerus akan membuat retaknya hubungan antar

negara.

Dengan demikian, pengadilan regional yang dibentuk oleh negara-

negara regional di semenanjung Somalia. Pengadilan ini akan lebih netral

karena dibentuk berdasarkan kesepakatan negara-negara di region tersebut.

Page 112: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

Sehingga kedepan penagdilan ini dapat digunakan untuk menanggulangi

perompak di perairan sekitar Somalia

d. Yurisdiksi Universal

Selain adanya beberapa kewenangan yang diberikan oleh PBB

melalui resolusinya maupun oleh IMO, perompakan juga merupakan

pelanggaran prinsip jus cogens yang merupakan kejahatan internasional

yang telah dinyatakan sebagai kejahatan yang harus diberantas secara

bersama-sama sehingga dengan hal tersebut yurisdiksi universal dapat pula

diterapkan dalam penyelesaian kasus ini. Berdasarkan prinsip ini, setiap

negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelanggaran. Dasar untuk ini

adalah kejahatan yang terlibat dianggap menyerang seluruh kepentingan

internasional. Ada dua kategori yang jelas termasuk dalam lingkup

yurisdiksi universal, yang telah didefinisikan sebagai kompetensi negara

untuk menuntut yang diduga pelaku dan menghukum mereka jika terbukti

bersalah, terlepas dari tempat tindak pidana itu terjadi dan meskipun ada

yurisdiksi personal aktif atau pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan

lain dari yurisdiksi diakui oleh hukum internasional (Malcolm N

Shaw,2008:668).

Ketentuan tersebut menyatakan perompakan termasuk dalam

kejahatan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut sehingga yurisdiksi

universal yang mana setiap negara dapat menerapkan hukumnya atas hal

tersebut. Perompakan merupakan sebuah yurisdiksi universal terhadap

pelakunya, bahwa di setiap negara manapun dapat mengadilinya meskipun

tidak terkait sama sekali dengan kasusnya tersebut, sebab yurisdiksi

universal berlaku atas dasar kejahatan paling keji tanpa memperhatikan

pelaku dan korbannya (Yudha Bhakti, 2012: 350).

Penerapan yurisdiksi universal ini dapat dilakukan negara-negara

pihak (korban maupun pelaku) dengan melakukan kerjasama dengan

operasi militer yang disiagakan di sekitar perairan Somalia. IMO telah

membuat koridor yang dianjurkan untuk setiap kapal yang melewati

daerah perairan Somalia beserta langkah-langkah yang harus ditempuh

Page 113: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

sebagai tindakan pencegahan terhadap aksi perompakan. Koridor itu

dikenal dengan Internationally Recommended Transit Corridor yang

membentang menjadi 2 titik A-B di sepanjang Teluk Aden. Di sekitar

wilayah itu telah disiagakan pasukan koalisi yang berasal dari negara

negara sukarela yang mengirimkan pasukan tempurnya untuk

mengamankan wilayah itu (Steven Nainggolan,

http://politik.kompasiana.com/2011/04/12/perompak-somalia-dari-sudut-

pandang-pelaut-dan-upaya-bijak-pembebasan-mv-sinar-kudus/).

Adanya operasi yang disiagakan tersebut menjadi solusi efektif untuk

menyelesaikan permasalahan dalam perompakan Sinar Kudus MV ini,

adanya hak pengejaran seketika yang diakomodir dalam Pasal 110

UNCLOS 1982 kapal yang disiagakan tersebut dapat mengejar para

perompak sebelum masuk ke perairan teritorial Somalia dan melakukan

penyitaan untuk dijadikan barang bukti atas kejahatan perompakan

tersebut. Oleh sebab itu, proses peradilan atas para perompak dapat

diterapkan dalam kasus ini dan dapat menekan angka perompakan.

Selain negara-negara untuk menerapkan hukumnya, asas universal ini

dapat diterapkan dengan membentuk peradilan atau tribunal baik yang

bersifat sementara atau ad hoc yang berfungsi untuk memeriksa perkara

atau kasus perompakan, sehingga pengadilan ini akan menjadi rujukan

bagi setiap negara yang melakukan penangkapan terhadap para perompak

untuk diadili dengan menggunakan pengadilan tersebut. Adanya

pengadilan ini akan menjadi solusi yang paling efektif untuk menekan

angka perompakan di laut. Sehingga, negara-negara non-pihak (bukan

korban atau pelaku) ketika akan melakukan penangkapan atas para

perompak tidak akan berfikir berulang kali karena mereka tidak akan

terbebani atas pengadilan terhadap para perompak tersebut. Akan tetapi,

pengadilan ini belum terbentuk sehingga memerlukan adanya kesadaran

dari negara-negara untuk membentuk pengadilan tribunal yang

berkewenangan untuk mengadili perompakan.

Page 114: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

Dari pemaparan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa

meskipun aturan-aturan hukum internasional telah mengatur mengenai

perompakan secara jelas, akan tetapi kenyataaan yang terjadi terhadap kasus

perompakan Sinar Kudus MV aturan-aturan dalam hukum internasional seperti

aturan yang dijelaskan dalam CHS 1958, UNCLOS 1982, SUA 1988, Aturan

IMO, Aturan IMB, maupun aturan-aturan di dalam regional kawasan tertentu

tidak diterapkan. Negara Indonesia lalu mengambil langkah lain dengan

menggunakan negosiasi yang mana hal tersebut merugikan negara korban yang

harus mengeluarkan dana yang cukup besar serta hal tersebut tidak dapat

membuat jera para perompak. Sedangkan, aturan hukum internasional

sebenarnya telah membuat aturan-aturan terkait perompakan yang dapat

digunakan untuk mengadili para perompak.

Terhadap kasus Sinar Kudus MV ini sesungguhnya dapat dilakukan

beberapa opsi penyelesaian dan penuntutan terhadap perompak-perompak

tersebut dengan menggunakan yursidiksi Indonesia sebagai negara bendera dari

kapal, menggunakan sistem peradilan yang dimiliki oleh Somalia atau

menggunakan yurisdiksi universal yang negara non-pihak juga dapat

melakukan penuntutan dan menerapkan hukumnya untuk mengadili para

perompak tersebut.

Page 115: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

BAB IV

PENUTUP

Setelah melakukan analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh guna menjawab

permasalahan yang diteliti, maka pada Bab ini penulis mencoba menyimpulkan

hasil penelitian sesuai dengan masalah yang diteliti. Bertolak dari kesimpulan ini,

maka penulis juga memberikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait

secara tidak langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang diteliti.

A. Simpulan

1. Aturan hukum internasional mengatur mengenai perompakan di laut lepas

Aturan hukum internasional yang mengatur mengenai perompakan di

laut lepas. Beberapa aturan hukum internasional yang mengatur

perompakan yakni:

a. Convention on the High Seas 1958 yakni Pasal 14- 21 CHS

b. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 yakni Pasal

100-107 dan pasal 111

c. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of

Maritime Navigation 1988 yakni Pasal 3,6 dan 8

d. Resolusi DK PBB yakni nomor 1816 tahun 2008, nomor 1838 tahun

2008, nomor 1846 tahun 2008, nomor 1851 tahun 2008, nomor 1976

tahun 2009.

e. International Maritime Organization yakni resolusi nomor 1025

(A.26) tentang Code Of Practice For The Investigation Of Crimes Of

Piracy And Armed Robbery Against Ships, Guidelines To Assist In The

Investigation Of The Crimes Of Piracy And Armed Robbery Against

Ships, Kode Etik Djibouti

f. International Maritime Bureau

g. Perjanjian regional terkait dengan perompakan yakni European

Security and Defence Policy, Regional Cooperation Agreement on

101

Page 116: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia, UNODC

Counter Piracy.

Aturan-aturan hukum ini dapat dijadikan landasan bagi setiap

negara yang akan menerapkan yurisdiksinya terhadap kasus perompakan.

Hal ini disebabkan karena perompakan merupakan jus cogens, sehingga

aturan-aturan hukum nasional suatu negara dapat diberlakukan untuk

mengadili para perompak.

2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV

ditinjau dari aspek hukum internasional

Penerapan yurisdiksi atas kasus perompakan kapal Sinar Kudus

MV dapat dilakukan dengan mengimplementasikan beberapa yurisdiksi,

seperti:

a. Yurisdiksi Indonesia

Yurisdiksi Indonesia dapat diterapkan dengan menerapkan asas

nasionalitas pasif dan yurisdiksi teritorial sebagai negara bendera kapal

Sinar Kudus MV.

b. Yurisdiksi Somalia

Yurisdiksi Somalia dapat diterapkan dengan menerapkan asas

nasionalitas aktif sebagai negara yang menjadi negara dari

kewarganegaraan para perompak.

c. Yurisdikasi Regional

Yurisdiksi Regional dapat dilakukan oleh negara-negara yang

menyatakan dirinya berkomitmen untuk memberantas perompakan

dengan cara membuat pengadilan tribunal yang dapat mengadili

perompak.

d. Yurisdiksi Universal

Perompakan merupakan jus cogens sehingga merupakan

kejahatan internasional yang telah dinyatakan sebagai kejahatan yang

Page 117: ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vii ABSTRAK Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

harus diberantas secara bersama-sama. Oleh karena itu, setiap negara

yang berkeinginan untuk melakukan pengadilan terhadap para

perompak dapat menerapkan yurisdiksinya. Serta negara dapat

membuat suatu pengadilan tribunal yang berkewenangan untuk

mengadili para perompak.

3. Saran

Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh penulis di

atas, maka penulis memberikan saran-saran yang bersifat konstruktif

sebagai berikut:

1. Dibentuknya pengadilan tribunal yang dibentuk oleh negara-negara

di semenanjung Somalia untuk mengadili para perompak

2. Dibentuknya pengadilan tribunal yang dibentuk oleh negara-negara

di dunia untuk mengadili para perompak