ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA...
Transcript of ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA...
i
ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
(STUDI DI DESA BANGKALI BARAT, KEC. WATOPUTE, KAB. MUNA)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
OLEH:
LD. MIRFAN ZAELAND
H1A1 11 183
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
iii
iv
iii
ABSTRACT
La Ode Mirfan Zaeland stambuk H1 A1 11 183 with title of the thesis
“Analisis Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di Desa Bangkali Barat, Kec.
Watopute, Kab. Muna)” under the guidance Father Drs. Adwi Chazin, M.Hum
as counselors I and Father Dr. Adnan Jamal, S. Ag, SH., MH as counselors II.
This study aims to give the breakdown of the issue of law in conscientious
that is about the management of financial village based on the number of 6 2014
about villages in the village Bangkali West, District Watopute, the county Muna.
To achieve that goal, researchers using the research laws are normative empirical
with collecting data in use in this study is literature studies and research field
consisting of observations, the interview and documentation.
Based on the results of research shows that the management of financial
villages in the village bangkali west, district watopute, the county muna not to
meet the implementation of the management of financial villages and has not
reached the purpose of the management of financial itself in the process of the
implementation of the village. The factors that affect in the financial management
of the village caused because in the planning APBDesa composed does not
describe the needs of the village, at the stage in the implementation of the
development of the village subject to manipulation, at the stage penatausahaan
preparation reports responsibility treasurer village less transparent, at the stage
reporting it’s financial report funds villages not follow the standard administration
accounting financial, and at the stage for APBDesa by the village head to the
public is not done. In fact based on Article 28 paragraph (1) and (2) law number
of 6 2014 about the village started that (1) of the head of the village is not carry
out a duty as referred to in article 26 paragraph (4) and article 27 sanctioned
probability administrative in the form of the rebuke verbal and / or reprimand
written (2) in terms of the administrative sanctions as intended in paragraph (1),
do not be executed action dismissal while and can be followed by dismissal.
iv
ABSTRAK
La Ode Mirfan Zaeland stambuk H1 A1 11 183 dengan judul skripsi
“Analisis Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di Desa Bangkali Barat, Kec.
Watopute, Kab. Muna)” dibawah bimbingan Bapak Drs. Adwi Chazin,
M.Hum selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Adnan Jamal, S. Ag, SH., MH
selaku pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemecahan atas isu hukum
yang diteliti yaitu mengenai pengelolaan keuangan desa berdasarkan undang-
undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa di Desa Bangkali Barat, Kec. Watopute,
Kab. Muna. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan metode
penelitian hukum yang bersifat Normatif Empiris dengan teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan dan
Penelitian Lapangan yang terdiri dari Pengamatan, Wawancara dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengelolaan
Keuangan Desa Di Desa Bangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna belum
memenuhi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan belum mencapai tujuan
dari pada pengelolaan keuangan itu sendiri dalam proses pelaksanaan
pemerintahan desa. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan
keuangan desa tersebut disebabkan karena pada tahap perencanaan APBDesa
yang disusun tidak menggambarkan kebutuhan desa, pada tahap pelaksanaan
proses pelaksanaan kegiatan pembangunan desa rawan manipulasi, pada tahap
penatausahaan penyusunan laporan pertanggungjawaban bendahara desa kurang
transparan, pada tahap pelaporan laporan keuangan dana desa belum mengikuti
standar administrasi akutansi keuangan, dan pada tahap pertanggungjawaban
pertanggungjawaban APBDesa oleh kepala desa kepada masyarakat tidak
dilakukan. Padahal berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa menyatakan bahwa (1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai
sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2) Dalam hal
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
limpahan rahmat-Nya Berupa kesehatan lahir batin sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Pengelolaan Keuangan
Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Studi di
Desa Bangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna)“.
Dengan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Adwi Chazin, M.Hum selaku pembimbing I
dan Bapak Dr. Adnan Jamal, S. Ag, SH., MH selaku Pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis serta
bantuan pemikiran, masukan, kritikan maupun saran kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda La Ode Ata dan
Ibunda Suryani B, yang telah merawat penulis dengan penuh kasih sayang serta
doa tulus dan ikhlas, dengan perhatian yang tak terhingga diberikan kepada
penulis. Untuk saudara-saudaraku tercinta Fitri Yanita dan Tri Aktavian Nugraha,
saya ucapkan terima kasih atas dukungannya yang telah memberikan motivasi dan
semangat kepada penulis. Demikian pula untuk seluruh keluarga besar kakek
tercinta Almarhum La Ode Gundi dan La Bhatu Lapa serta sepupu tercinta Mirat
Wahyu, Acha, Desi, Nengsi dan Sarmin penulis ucapkan Banyak terima kasih.
vi
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penelitian
dan penulisan Skiripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S selaku Rektor Universitas Halu
Oleo Kendari.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri Dewa, SH. M.S selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo.
3. Ibu Heryanti, SH. MH selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Universitas Halu
Oleo.
4. Bapak Guasman Tatawu, SH. MH selaku Ketua Bagian Konsentrasi Hukum
Tata Negara.
5. Bapak Drs. Adwi Chazin, M.Hum, Dr. Adnan Jamal, S. Ag, SH. MH, Rizal
Muchtasar, SH. LL.M, serta ibu Heryanti, SH. MH dan Guasman Tatawu,
SH. MH selaku dewan penguji, yang telah banyak memberikan masukan
kritikan dan saran-saran kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Hukum serta seluruh staf Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo, terima kasih atas segala fasilitas dan
pelayanan yang diberikan selama penulis menuntut Ilmu.
7. Camat Watopute, Kepala Desa Bangkali Barat, Sekretaris Desa, Bendahara
Desa, Ketua BPD, Unsur Pelaksana Kewilayahan, Pendamping Lokal Desa
Bhangkali Barat dan Warga Desa Bangkali Barat yang telah meluangkan
waktu untuk penulis wawancarai.
vii
8. Teman-teman penghuni Pondok Magawa, Aslan, Bang Hasmid, Bang Coler,
Bang Alimuddin, Bang Arman, Bang Fais, Barti, Ardin dan Syahmel terima
kasih atas segala bantuan, semangat dan kebersamaannya.
9. Ade Purnama Sari, S.Pd yang selalu meluangkan waktu, tenaga, materi dan
pikiran dalam membantu penulis.
10. Rekan-rekan Kosentrasi Hukum Tata Negara: Kinarti, Heryani Jus’Ani, Dedy
Sopyan, Hasmin, Rahman, Ari, Hendrik.
11. Sahabat Karibku Erwinsyah, SH, dan Marsaban, SH.
12. Seluruh rekan-rekan angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.
13. Keluarga Besar Forum Komunikasi Mahasiswa Watopute (FKMW) Muna-
Kendari, Sulawesi Tenggara.
14. Keluarga Besar Kerukunan Keluarga Mata Air, khususnya lorong Mata Air
III tercinta.
Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Sehingga dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala
saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun. Akhirnya penulis
berdoa semoga pihak yang telah membantu penulisan Skripsi ini mendapatkan
petunjuk, lindungan dan keberkahan hidup di dunia dan di akhirat kelak dan
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak yang
membutuhkan. Aamiin!
Kendari, Juni 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
ABSTRAK ......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang…………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………... 5
C. Tujuan Penelitian………………………………………………. 5
D. Manfaat Penelitian…………………………………………….. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritik Mengenai Hubungan Pusat dan Daerah……… 7
1. Beberapa Aspek Hubungan Pusat, Daerah dan Desa…….. 7
1.1. Hubungan Kewenangan………………………………. 10
1.2. Hubungan Pengawasan……………………………….. 12
1.3. Hubungan Keuangan………………………………….. 13
1.4. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan… 14
2. Pengelolaan Keuangan Negara…………………………… 15
3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah……………… 18
B. Pengertian Desa………………………………………….. 20
1. Pengertian Desa Menurut Hukum Adat……………………… 20
2. Pengertian Desa Menurut Para Ahli………………………….. 22
viii
3. Pengertian Desa Menurut Undang-Undang…………………. 23
C. Kajian Mengenai Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014
Tentang Desa…………………………………………………….. 24
1. Unsur Desa…………………………………………………… 24
2. Otonomi Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indosesia… 25
3. Pengelolaan Keuangan Desa…………………………………. 27
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian…………………………………………………… 30
B. Lokasi Penelitian………………………………………………… 31
C. Populasi dan Sampel…………………………………………….. 31
D. Jenis dan Sumber Data…………………………………………... 32
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………. 33
F. Teknik Analisis Data…………………………………………….. 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian……………………………… 34
1. Sejarah Pemerintahan Desa………………………………….... 34
2. Sejarah Pembangunan Desa…………………………………... 34
3. Kondisi Geografis…………………………………………….. 35
4. Kondisi Demografis…………………………………………... 35
5. Kondisi Sosial Budaya………………………………………… 36
B. Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa……………………………... 37
ix
1. Gambaran Umum Tentang Pengelolaan Keuangan Desa……. 37
2. Tahapan-Tahapan Pengelolaan Keuangan Desa……………... 43
a. Tahap Perencanaan……………………………………... 44
b. Tahap Pelaksanaan……………………………………… 47
c. Tahap Penatausahaan…………………………………… 49
d. Tahap Pelaporan………………………………………… 50
e. Tahap Pertanggungjawaban…………………………….. 52
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Pengelolaan
Keuangan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa……………………………………….. 57
1. Pada Tahap Perencanaan……………………………………... 57
2. Pada Tahap Pelaksanaan…………………………………….... 58
3. Pada Tahap Penatausahaan………………………………….... 58
4. Pada Tahap Pelaporan………………………………………… 59
5. Pada Tahap Pertanggungjawaban…………………………….. 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………….. 63
B. Saran……………………………………………………………… 64
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian sesuai bunyi Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.1 Secara historis Indonesia memiliki
desa yang merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan di
Indonesia. Jauh sebelum bangsa-bangsa modern terbentuk, kelompok sosial
sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi bagian yang
penting dalam suatu tatanan negara.2
Keberadaan desa di Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian secara
yuridis normatif juga telah diatur, di mana desa telah diberikan atau diakui
kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut Pasal 18B ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 yang menegaskan bahwa:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-undang”.
1Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2Taliziduhu Ndraha. 1991. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.
188.
2
Jadi, menurut UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat termasuk di dalamnya adalah desa berserta hak-hak tradisionalnya harus
didasarkan pada prinsip tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.3 Dengan adanya pengakuan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat maka sudah semestinya perlu adanya pembangunan secara merata
diberbagai daerah dalam pemerintahan desa yang dimana masyarakatnya
merupakan kesatuan hukum adat.
Agar dapat mempercepat pembangunan di segala bidang, maka upaya
peningkatan dan pemerataan kemampuan Pemerintah Desa di seluruh Indonesia
mutlak diperlukan. Salah satu strateginya adalah pembangunan bisa sampai ke
desa. Tuntutan dibentuknya Undang-Undang Desa tersendiri yang terpisah dengan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah menunjukkan sering berubahnya peraturan
perundang-undangan berdasarkan kepentingan pemerintah pusat maupun daerah
yang membingungkan perangkat desa. Padahal kejelasan peraturan akan
membawa dampak positif pada pembangunan desa yang masih terkesan sangat
banyak ketertinggalan di beberapa daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi
bahan kajian menarik yang diharapkan memperkuat otonomi desa serta percepatan
pembangunan. Kesatuan kewenangan skala lokal desa juga diperlukan untuk
melakukan perencanaan Keuangan guna melangsungkan Pelaksanaan
Pembangunan Desa. Untuk mendukung hal tersebut, di bidang anggaran setiap
desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan dana yang penghitungan
3Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a. 2010. Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan
Hukum Modern dalam Desa Otonomi Desa. Bandung: Penerbit PT. Alumni. hlm. 43.
3
anggarannya didasarkan pada jumlah desa dengan pertimbangan diantaranya
adalah jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan
geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan
pembangunan desa.4
Di sisi lain, UU Desa ini mengandung kekurangan salah satunya yaitu,
dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap tahunnya.
Maka, dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1,2 hingga
1,4 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa
yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa
sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen
sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan
dibagi ke 72.944 desa se-Indonesia.
Mengenai pengelolaan keuangan desa, lebih lanjut lagi dijelasakan di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan
Desa, di mana disebutkan bahwa pengelolaan keuangan desa adalah serangkaian
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban. Lebih lanjut, adanya suatu penguatan pengelolaan dan
pengawasan keuangan desa yang baik mutlak diperlukan untuk mencegah atau
4Budiman Sudjamiko. tanpa tahun. Isu-isu Strategis UU Desa.
kkn.bunghatta.ac.id/downloadIsu%20Strategis%20UU%20Desa.pdf.html (online). (15 April
2015).
4
setidaknya mengurangi kemungkinan penyimpangan serta terwujudnya tujuan
pembangunan desa. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui terjadi atau
tidaknya suatu penyimpangan dan bila terjadi, perlu diketahui sebab-sebab
penyimpangan tersebut agar tidak ada kecenderungan penyelewengan oleh
perangkat desa yang tidak bertanggung jawab.5
Kekhawatiran lainnya juga terdapat pada para aparat desa yang bisa
memanfaatkan dana desa dengan tidak benar dan melanggar hukum serta
melakukan korupsi mengingat dari 72.944 desa yang ada di Indonesia belum ada
basis data yang dimiliki Pemerintah Pusat terkait kualitas sumber daya manusia
perangkat desa. Jumlah aparatur desa yang masih kurang dalam pengelolaan
keuangan desa juga manjadi kekhawatiran yang patut diperhatikan.6 Jika
kekhawatiran-kekhawatiran diatas tidak cepat dibenahi sebelun dikeluarkannya
anggaran untuk desa maka dapat diperkirakan kekhawatiran tersebut mungkin saja
terjadi.
Dari latar belakang di atas, penulis merasa perlu mengkaji dan
menganalisis lebih jauh terkait pengelolaan keuangan desa mengingat potensi dan
kesiapan desa di seluruh Indonesia tidak dapat dipandang sama rata. Pembahasan
mengenai pengelolaan keuangan desa dirasa sangat penting bagi penulis dalam
menilai pengelolaan keuangan desa yang dijalankan mampu mewujudkan
pembangunan desa serta mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya penyimpangan.
5Sujamto. 1987. Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 66. 6Hukumonline.com. KPK Siap Antisipasi Potensi Korupsi Dana Bantuan Desa. Edisi tanggal 11
Desember 2014 (online). (03 Mei 2015).
5
Studi penelitian pada penulisan ini yaitu di Desa Bhangkali Barat, Kec.
Watopute Kab. Muna. Alasan penempatan studi penelitian pada penulisan ini
adalah di daerah tersebut memiliki masalah-masalah terkait pengelolaan keuangan
desa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti merumuskan masalah
yaitu:
1. Bagaimana Pengeloaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di Desa Bhangkali Barat, Kec.
Watopute, Kab Muna?
2. Faktor-Faktor Apa Yang Mempengaruhi Dalam Pengelolaan Keuangan
Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di
Desa Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di Desa Bangkali Barat, Kec.
Watopute, Kab Muna.,
2. Untuk Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam
Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa Di Desa Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab.
Muna.
6
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur kepustakaan Hukum Tata Negara berkaitan dengan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
terhadap penelitian sejenis untuk digunakan sebagai acuan terhadap
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan
peneliti serta untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam
menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama dalam bangku
perkuliahan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan serta
tambahan pengetahuan bagi semua pihak yang bersedia menerima dan
bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti serta
bermanfaat bagi para pihak yang berminat pada permasalahan yang
sama.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritik Mengenai Hubungan Pusat dan Daerah
1. Beberapa Aspek Hubungan Pusat, Daerah dan Desa
Pemerintah daerah baik kabupaten/kota dan juga provinsi terdiri dari
kumpulan desa-desa hingga membentuk pemerintahan yang lebih tinggi di
atasnya. Pemerintah Desa merupakan kesatuan masyarakat desa. Pemerintah Desa
sebagai badan kekuasaan terendah memiliki wewenang asli untuk mengatur
rumah tangga sendiri juga memiliki wewenang dan kekuasaan sebagai pelimpahan
secara bertahap dari pemerintahan di atasnya yakni pemerintah daerah dan
pemerintah pusat.7 Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dijalankan dengan beberapa asas yang dijalankan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni:
1) Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi;
2) Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada
gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahan
umum;
7Sumber Saparin. 1979. Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa. Jakarta: Ghalia
Indonesia. hlm. 30.
8
3) Asas tugas pembantuan, yaitu penugasan daripemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada
daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah yang
lebih rendah tingkatannya yang kegiatannya ditugaskan atau dilimpahkan kepada
permerintah di bawahnya itu harus disertai dengan pembiayaan-pembiyaan untuk
menjalankan wewenang tersebut.
Indonesia yang merupakan negara kesatuan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan pada badan legislatif. Kekuasaan legislatif tidak terletak pada
pemerintahan daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagaian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi,
tetapi pada tahap terakhir tetap pada pemerintah pusat. Jadi, kedaulatannya baik
ke luar maupun kedalam sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dalam suatu
negara kesatuan, pemerintah nasional biasanya memang melimpahkan banyak
tugas kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan pemerintahan lokal
atau regional. Namun, otoritas tersebut dilimpahkan oleh undang-undang yang
disusun oleh DPR. Pada hakikatnya semua urusan pemerintahan berada pada
pemerintah pusat tetapi urusan pemerintahan tersebut dapat diserahkan atau
9
didelegasikan kepada satuan pemerintah yang lebih rendah melalui kuasa
undang-undang.8
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah berpedoman pada
beberapa asas, yaitu:9
a) Asas keahlian, asas keahlian dilihat pada susunan Pemerintahan Pusat yang
artinya bahwa semua soal diolah oleh ahli-ahli antara lain dalam susunan
kementerian-kementerian yang memegang pimpinan pada kementerian-
kementerian itu seharusnya ahli-ahli urusan yang menjadi kompetensinya.
b) Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepentingan-kepentingan
yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat karena bertambah majunya
masyarakat, pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-
kepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam
melakukan pemerintahan.
Berdasarkan asas keahlian maka setiap urusan pemerintahan harus secara
benar diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau profesionalisme
di bidangnya. Adapun asas kedaerahan memberikan peluang kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tertentu.
Hubungan antara pusat dan daerah sering menimbulkan upaya tarik
menarik kepentingan antara kedua satuan pemerintahan. Dalam negara kesatuan,
upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas sekali. Hubungan antara pusat dan daerah terjadi
sebagai akibat adanya pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan
8CF Strong. Modern Political Constitution dalam M. Fauzan. Op.cit. hlm. 37. 9Amrah Muslimin. Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah dalam M. Fauzan, Op.cit. hlm. 38.
10
atau pemencaran kekuasaan ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih
kecil.10
1.1. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata wewenang yang memiliki pengertian hak
dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan
kewajiban mempunyai dua pengertian yakni horoizontal yang berarti kekuasaan
untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya dan secara vertikal
yang berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan
pemerintah Negara secara keseluruhan.11 Dalam negara kesatuan, pemilik
kewenangan adalah pemerintah pusat yang kemudian didistribusikan kepada
satuan-satuan pemerintahan di bawahnya. Oleh karena itu, posisi pemerintah
daerah tidak kuat jika dihadapkan kepada pemerintah pusat, daerah lebih mudah
untuk diarahkan sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Karena seluruh
kekuasaan berada di pusat maka peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang
menentukan bentuk dan susunan pemerintahan daerah otonom, termasuk macam
dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Pemerintah pusat tetap
mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.
Masalah hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah
seperti daerah provinsi, kabupaten/kota dalam rangka otonomi adalah
membicarakan mengenai isi rumah tangga daerah yang dalam perspektif hukum
10
Muhammad Fauzan. 2006. Hubungan keuangan Antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta: UII
Press. hlm. 76. 11Abu Daud Busroh. 1985. Asas-Asas Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. hlm.125.
11
pemerintahan daerah disebut dengan urusan rumah tangga daerah. Cara
menentukan urusan rumah tangga daerah karena dengan hal tersebut mampu
menunjukkan adanya kemandirian dan keleluasaan daerah mengatur dan
mengurus kepentingan daerahnya.
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dibagi menjadi:
1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.,
2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat.,
3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.,
4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah., dan
5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan.
Sedangkan berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
kewenangan desa meliputi beberapa hal, diantaranya adalah:12
a. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
b. Kewenangan lokal berskala desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Perbedaan dari kewenangan-kewenangan di atas adalah, apabila
kewenangan yang berkaitan dengan hak asal-usul dan kewenangan yang berskala
desa diatur serta diurus sendiri oleh desa. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa
12Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
12
Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan pengaturan sendiri terkait
dengan urusan atas kewenangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan
untuk kewenangan lain yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain
dari Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Desa
sebatas mengurus pelaksanaan tugas, tidak ikut serta mengatur. Desa memiliki
tugas dari pemerintahan meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembiayaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Setiap tugas yang yang di amanatkan tersebut
disertai dengan pembiayanaan guna terlaksananya tujuan-tujuannya.
1.2. Hubungan Pengawasan
Pengawasan adalah usaha yang dilakukan untuk menjamin
terselenggaranya program-program yang telah ditentukan, dengan pengawasan
pula usaha perbaikan atas kekurang sempurnaan program dapat dilakukan.
Ditinjau dari hubungan antara pusat dan daerah, pengawasan merupakan pengikat
kesatuan agar kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh yang mampu
mengancam kesatuan bangsa. Sebailknya, apabila pengikat tersebut ditarik begitu
kuat maka desentralisasi akan terkurangi atau bahkan terputus. Oleh karena itu,
pengawasan mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai usaha untuk
menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah
otonom dan pemerintahan pusat dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.13
13Soehino. 1983. Perkembangan Pemerintahan di Daerah. Yogyakarta: Liberty. hlm. 147.
13
Kemandirian suatu daerah sangat dipengaruhi oleh sistem pengawasan
yang dianut sehingga sistem pengawasan akan menentukan kemandirian satuan
otonomi daerah. Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam suatu sistem otonomi,
pengawasan sangat penting dan harus ada serta tidak diperbolehkan adanya sistem
otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan.14 Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menyebutkan
bahwa Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah.
Tidak terlepas juga dengan apa yang ada di Desa, Pemerintah, Pemerintah
Daerah provinsi, dan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan
dan penagwasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pengawasan yang
dilakukan terhadap pemerintah Desa dapat diberikan kepada perangkat daerah.
Hal ini disebabkan oleh jumlah desa di Indonesia yang tidak sedikit dan tidak
memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan tanpa
dibantu atau tanpa memerlukan bantuan dari pemerintah daerah.
1.3. Hubungan Keuangan
Persoalan yang sering muncul terkait dengan hubungan keuangan antara
pusat dan daerah adalah terbatasnya jumlah dana yang dimiliki oleh daerah dan di
sisi lain pemerintah pusat memiliki dana yang berlimpah. Dengan demikian,
substansi-substansi dari hubungan keuangan tersebut tidak lain adalah
perimbangan keuangan yakni memperbesar atau memperbanyak pendapatan asli
daerah sehingga mempunyai kemampuan untuk membiayai penyelenggaraan
14Bagir Manan. Op.cit. hlm. 39.
14
pemerintahan. Terdapat tiga bagian dalam rangka hubungan keuangan antara
pusat dan daerah. Pertama, Dana Perimbangan, yakni penerimanaan negara yang
dibagi antara pusat dan daerah. Sesuai dengan pengelompokannya, dana
perimbangan bukan Pendapatan Asli Daerah, melainkan penerimaan negara. Jadi
merupakan sumber pendapatan asli pusat yang dibagi dengan daerah. Kedua,
Dana Alokasi Umum yang sekurang-kurangnya daerah menerima 25% dari
seluruh penerimaan APBN dan setiap provinsi dan kabupaten/kota menerima
masing-masing 10% dan 90% berasal dari dana alokasi umum, daerah bebas
menentukan peruntukan sesuai dengan rencana program daerah. Ketiga, Dana
Alokasi Khusus yaitu dana yang ditetapkan dalam APBN untuk daerah tertentu
dan untuk kebutuhan khusus atu dapat dikatakan sebagai subsidi khusus.15
Terkait dengan keuangan desa, Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Keuangan Desa adalah semua hak dan
kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang
dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Hak
dan kewajiban diatas akan menimbulkan adanya pendapatan, belanja, pembiayaan
dan pengelolaan Keuangan Desa.
1.4. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan
Susunan organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi yaitu
susunan luar dan susunan dalam. Susunan luar menyangkut badan-badan
pemerintahan tingkat daerah seperti provinsi dan kabupaten/kota sedangkan
susunan dalam mengenai alat-alat kelengkapan pemerintahan daerah seperti
15Ibid.
15
DPRD dan kepala daerah.16 UUD 1945 sebelum diamandemen paling tidak
memberikan tiga petunjuk berkaitan dengan pembentukan susunan organisasi
pemerintahan luar yaitu: Pertama, Indonesia terbagi atas daerah besar dan daerah
kecil. Hal ini berati bahwa tidak akan terdapat hanya satu susunan pemerintahan
tingkat daerah. Kedua, mengenai hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa. Berdasarkan ketentuan ini pembentuk undang-undang tidak boleh
mengabaikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam susunan pemerintahan asli,
seperti desa. Ketiga, yakni petunjuk lain di luar UUD 1945 yang dapat
dipergunakan adalah susunan pemerintahan tingkat daerah yang ada atau pernah
ada sebelum proklamasi, yakni pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.17
2. Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam hal mengenai pengelolaan keuangan desa, terlebih dahulu perlu
dipahami tentang keuangan negara dengan segala bentuknya. Secara normatif,
menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Keuangan Negara sebagaimana dimaksud, meliputi :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
16
Bagir Manan. 1994. Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. hlm. 191. 17
The Liang Gie. 1994. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia.
Yogyakarta: Liberty. hlm. 119.
16
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dapat ditinjau dari
pendekatan lain, di mana pendekatan yang digunakan dalam merumuskan
Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan, sebagai
berikut:18
a) Dari sisi obyek: Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban Negara
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan,
serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat
18W. Riawan Tjandra. 2006. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo. Hlm. 3-4.
17
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
b) Dari sisi subyek: Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana
tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang
ada kaitannya dengan keuangan negara.
c) Dari sisi proses: Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
d) Dari sisi tujuan: Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara .
Definisi keuangan negara yang dianut dalam UU Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas, dengan tujuan:19
a) Terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk
mencegah terjadinya multi interpretasi dalam segi pelaksanaan anggaran.,
b) Agar tidak terjadi kerugian negara akibat kelemahan dalam perumusan
Undang-Undang.,
c) Memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi kesalahan administrasi
dalam pengelolaan keuangan negara.,
19Ibid.
18
Landasan hukum pengelolaan keuangan Negara dipusat antara lain adalah
(1) UUD Negara RI 1945 (2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(3) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (4) UU No. 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
dan (5) UU APBN.20
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan keuangan Negara di
atas, APBN sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara
dibuat berdasarkan pokok-pokok kebijakan yang terlihat secara nyata yang
dibahas antara pemerintah dan DPR. Penyusunan APBN dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan negara dan kemampuan negara dalam
mengumpulkan pendapatan negara yang disesuaikan dengan kemampuan negara
dalam melakukan pendanaan.
3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah
Sehubungan dengan pengelolaan keuangan di daerah, Presiden
menyerahkan kekuasaan pengelolaan daerah kepada gubernur/bupati/walikota
selaku kepala pemerintahan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah.
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah diantaranya adalah21 (1) dilaksanakan
oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola
APBD dan (2) dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku
pejabat pengguna anggaran barang/daerah.
20W. Riawan Tjandra. Op. Cit. hlm. 35. 21Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
19
Sedangkan unsur-unsur utama dalam pengelolaan keuangan daerah dapat
digolongkan ke dalam 2 kelompok yakni:22
a) Unsur Berkala dan Unsur Hukum
Unsur berkala mencakup unsur-unsur yang menjadi bagian dari kegiatan-
kegiatan berkala dalam setahun yakni menyusun program anggaran, pengeluaran
dan penerimaan anggaran, urusan uang keluar dan uang masuk, menctata dan
melaporkan transaksi keuangan. Unsur hukum mencakup unsur-unsur pengaturan
dan pemantuan kegiatan berkala yakni undang-undang dan pertauran keuangan,
transaksi dan pemeriksaan keuangan dari dalam.
b) Unsur-unsur Luar dan Dalam
Unsur luar meliputi pengawasan yang dikenakan terhadap pemerintah
daerah oleh pejabat-pejabat pengawas yang lebih tinggi berdasarkan hukum,
peraturan dan pedoman, ratifikasi mengenai anggaran dan peraturan keuangan,
laporan kebutuhan dan pemeriksaan keuangan dari luar. Adapaun unsur dalam
adalah unsur pengawasan dan pelaporan yang diadakan dan dilakukan oleh
pemerintah daerah bagi pedoman para pejabat keuangan pemerintah di daerah.
Unsur-unsur tersebut yang terpenting adalah prosedur berkala beserta
peraturanperaturan keuangan yang dirumuskan sendiri oleh pemeriksa keuangan
dari dalam.
Pasal 283 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan urusan
22Ibid.
20
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagai akibat dari penyerahan
urusan pemerintahan. Selanjutnya, melalui Pasal 280 ayat (2) UU Pemerintahan
Daerah menegaskan bahwa kewajiban penyelenggara pemerintahan daerah dalam
pengelolaan keuangan daerah dalam hal pusat melakukan pendanaan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada
pemerintahan daerah meliputi:
a) Mengelola dana secara efektif,efisien, transparan dan akuntabel.,
b) Menyinkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan
program pemerintah pusat., dan
c) Melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan
sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan.
Oleh karena itu, pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan
daerah yaitu dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah. Dengan
demikian dasar hukum pengelolaan keuangan daerah antara lain adalah (1) UU
Pemerintahan Daerah (2) UU Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah dan (3) Perda APBD.23
B. Pengertian Desa
1. Pengertian Desa Menurut Hukum Adat
Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil.
Di atas beribu-ribu pulau tersebut sejak berabad-abad lamanya hidup dan
berkehidupan sejumlah besar kelompok-kelompok masyarakat dengan beragam
23M. Riawan Tjandra. Op.Cit. hlm. 36.
21
bahasa daerah adat dan kebiasaan, seni budaya, kesatuan masyarakat hukum
berdasarkan keturunan dan persamaan tempat tinggal, agama yang dianut,
domisili, dan lain sebagainya. Kesatuan masyarakat hukum adat yang sedemikan
banyaknya tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:24
1) Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial atau wilayah;
2) Tipe kesatuan masayarakat hukum berdasarkan kesamaan keturunan sebagai
dasar utama untuk dapat bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah
tertentu;
3) Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan azas campuran, yakni teritorial
dan keturuan.
Dalam perundang-undangan hindia belanda terdahulu tidak hanya meliputi
desa-desa di Jawa melainkan juga mencakup satuan-satuan seperti itu di luar jawa
yang nama aslinya disebut kampung, negeri, marga, dll. Meskipun bermacam-
macam nama dan sebutan desa serta asal mula terbentuknya satuan-satuan
organisasi kewilayahan kesatuan masyarakat hukum tersebut, namun asasnya atau
landasan hukumnya hampir sama untuk seluruh Indonesia yaitu berlandasakan
kepada adat, kebiasaan dan hukum adat.25 Berdasarkan hal tersebut, secara umum
pengertian dan batasan tentang konsepsi desa berdasarkan hukum adat adalah:
Desa adalah suatu kesatuan hukum masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat
yang menetap dalam sutau wilayah tertentu dengan batasbatas: memiliki ikatan
batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun sama-sama memiliki
kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, memiliki susunan pengurus
yang dipilih bersama, memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berjak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.26
24Unang Sunardjo. 1984. Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Bandung: Penerbit Tarsito. hlm. 9-
10. 25Talaziduhu Ndraha. Op.Cit. hlm. 6. 26Unang Sunardjo. Op.Cit. hlm. 11.
22
Pengertian di atas, mengenai perumusan dan batasan tentang pengertian
desa juga tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Namun desa-desa asli yang
telah ada sejak dahulu, memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus atau menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Hak untuk
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri tersebut disebut dengan hak
otonomi. Dalam hal desa, desa yang memiliki hak tersebut disebut dengan desa
otonom.
2. Pengertian Desa Menurut Para Ahli
Adapun Pengertian Desa Menurut Para Ahli adalah sebagai berikut:27
a. Menurut R. Bintaro
Desa adalah suatu perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur unsur
sosial ekonomi, politis dan kultural yang terdapat di situ dalam hubungan dan
pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain.
b. Menurut P.J Bournen
Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak
beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang
termasuk didalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya usaha-
usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam
tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat,
ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial.
c. Menurut I. Nyoman Beratha
Desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu “badan hukum” dan
adalah pula “Badan Pemerintahan”, yang merupakan bagian wilayah
kecamatan atau wilayah yang melingkunginya.
d. Menurut R.H. Unang Soenardjo
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat
yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasanya: memiliki
ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun
karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan
keamanan, memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki
kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangga sendiri.
27Agus, Sudrajat. Defenisi Desa Menurut Para Ahli. Harian Kompas Edisis Juma’at 24 Oktober
2013. Html.
23
Berdasarkan penjelasan keempat pengertian desa tersebut, dapat ditarik
pemahaman bahwa desa adalah suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah
penduduk yang saling mengenal atas dasar hubungan kekerabatan dan atau atas
kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang dalam pertumbuhannya
menjadi kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan
lahir batin antara masing-masing warganya, dan secara administratif berada
dibawah pemerintahan kabupaten/kota.
3. Pengertian Desa Menurut Undang-Undang
Adapun Pengertian Desa Menurut Undang-Undang adalah sebagai
berikut:
a. Pengertian Desa Menurut Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 adalah:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.28
b. Pengertian Desa Menurut PP No. 43 Tahun 2014 adalah:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.29
c. Pengertian Desa Menurut PP No. 60 Tahun 2014 adalah:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
28Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 29Pasal 1 angka 1 PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
24
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak usal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.30
d. Pengertian Desa Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun
2014 adalah:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.31
e. Pengertian Desa Menurut Peraturan Menteri Desa No. 5 Tahun 2015 adalah:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.32
C. Kajian Mengenai Desa Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa
1. Unsur Desa
Desa dan desa adat sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa memiliki unsur-unsur sebagai berikut:33
a) Wilayah desa
Yaitu satu satuan wilayah yang tertentu batas-batasnya secara fisik terdiri
atas unsur daratan, angkasa, dan bagi desa pantai, desa pulau atau desa kepualuan
30
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN. 31Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa. 32Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Desa Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa. 33Taliziduhu Ndraha. Op.Cit. hlm. 20-25.
25
suatu perairan sebagai lokasi pemukiman dan sumber nafkah yang memenuhi
persyaratan tertentu.
b) Penduduk atau masyarakat desa
Yaitu setiap orang yang terdaftar sebagai penduduk atau bertempat
kedudukan di dalam wilayah desa yang bersangkutan, tidak mempersoalkan
dimana ia mencari nafkahnya.
c) Pemerintah desa
Yakni satuan organisasi terendah pemerintahan republik Indonesia yang
berdasarkan asas dekonsentrasi ditempatkan di bawah dan bertanggungjawab
langsung kepada pemerintah wilayah kecamatan yang bersangkutan.
2. Otonomi Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Secara konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan.
Bunyi Pasal 1 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang menayatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara kesataun yang berbentuk republik menegaskan bahwa
para pendiri negara telah dengan sengaja memilih bentuk negara kesatuan bagi
Indonesia. Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum NKRI bukan saja hanya
desentralisasi kewenangan kepada daerah melainkan lebih dari itu yaitu
pengakuan ataupun perlidungan terhadap adanya otonomi desa sebagai otonomi
asli bangsa Indonesia. Dalam memahami konteks tersebut, pengakuan atas
keanekaragaman desa merupakan dasar utama dalam kerangka pemikiran otonomi
daerah.
Otonomi desa harus menjadi inti utama dari konsep NKRI dengan catatan
bahwa otonomi desa bukan merupakan cabang dari otonomi daerah karena yang
26
menginspirasi adanya otonomi daerah yang khas di NKRI adalah otonomi desa.
Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur ketatanegaraan
Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian berawal pada tatanan
otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum.34
Adapun unsur-unsur otonomi desa yang terpenting antara lain adalah:35
1. Adat tertentu yang mengikat dan ditaati oleh masyarakat di desa yang
bersangkutan;
2. Tanah, pusaka dan kekayaan desa;
3. Sumber-sumber pendapatan desa;
4. Urusan rumah tangga desa;
5. Pemerintah desa yang dipilih oleh dan dari kalangan masyaraat desa yang
bersangkutan yang sebagai alat desa memegang fungsi “mengurus”; dan
6. Lembaga atau badan “perwakilan” atau badan permusyawaratan sepanjang
penyelenggaraan urusan tumah tangga desa memegang fungsi mengatur.
Sebelum adanya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pada dasarnya
eksistensi Desa sudah diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah juga
mengakui eksistensi desa dengan memberikan desa kewenangan dalam urusan
pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
desa.36 Selanjutnya dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, desa memiliki
34Ateng Syafrudin. Op.Cit. hlm. 11. 35Talaziduhu Ndraha. Op.Cit. hlm. 9. 36Pasal 371 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
27
pengertian yakni Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan
Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pengelolaan Keuangan Desa
Menurut pasal 71 UU Nomor 6 Tahun 2014 Keuangan Desa adalah semua
hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban desa. Hak dan kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan
pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan Desa. Berdasarkan
UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, pendapatan desa bersumber dari:37
a) Pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha,hasil aset, swadaya dan
partisipasi,gotong royong dan lain-lain pendapatas asli desa;
b) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c) Bagian dari hasil pajak daerah retribusi daerah kabupaten/kota;
d) Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota;
e) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah Provinsi
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;
g) Lain-lain pendapatan desa yang sah.
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa
diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa.
37Pasal 72 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
28
Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan
Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala
Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan
tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijual
belikan.38
Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan
umum, fungsionalitas, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas,
akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.39 Mengenai pengelolaan keuangan
desa, lebih lanjut lagi dijelasakan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa
pengelolaan keuangan desa meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa menyebutkan bahwa
Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
keuangan desa. Implementasi dari keuangan desa tercermin dari APBDesa yang
diterbitkan berdasarkan Peraturan Desa.
Dasar penyusunan APBDesa adalah Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Desa yang disusun berdasarkan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Desa untuk jangka waktu 1 tahun. Sementara RPJM Desa
disusun dalam jangka waktu 6 (enam) tahun melalui musyawarah. Rancangan
APBDesa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan dengan Badan
38I. Umum angka 9 Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 39Pasal 77 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
29
Permusyawarahan Desa (BPD) sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Desa.
Bupati/Walikota memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap
RAPB Desa yang diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi
Peraturan Desa sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (4) UU Desa.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang di dasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan menganalisanya serta melakukan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala
yang bersangkutan.40
Penelitian hukum berdasarkan tujuannnya terdiri atas pertama., Penelitian
hukum Normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
di hadapi. Kedua., Penelitian hukum Empiris adalah penelitian yang
mengungkapkan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui perbuatan yang
dilakukan oleh masyarakat.41
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan penelitian “Normatif
Empiris”, yakni suatu penelitian yang digunakan untuk menganalisa data
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dengan melihat kenyataan yang
ada dalam masyarakat.
40Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Hlm. 43. 41Ibid.
31
Jadi dapat dinyatakan bahwa penelitian Normatif adalah penelitian yang
mengkaji dan berpedoman pada berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan relevan, dengan obyek kajian dalam penelitian ini terkait dengan
pengelolaan keuangan desa berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014
tentang Desa di Desa Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna.
Sedangkan penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan terhadap
kenyataan hukum ditengah masyarakat. Hubungannya dengan penelitian ini, yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan keuangan desa berdasarkan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di Desa Bhangkali Barat, Kec.
Watopute, Kab. Muna.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Desa Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab.
Muna Sulawesi Tenggara, dengan pertimbangan bahwa dilokasi penelitian
tersebut terdapat permasalahan terkait pengelolaan keuangan desa.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit atau manusia (dapat juga berbentuk
gejala atau peristiwa) yang mempunyai ciri-ciri yang sama.42 Penentuan Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh perangkat desa serta pihak-pihak yang terkait
dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa berdasarkan Undang-Undang No.
6 Tahun 2014 tentang Desa di Desa Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna.
42Askin Amiruddin dan Zainal. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. Hlm. 95.
32
2. Sampel
Sampel adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menunjukkan sifat suatu
kelompok yang lebih besar., bagian dari populasi statistik yang cirinya dipelajari
untuk memperoleh informasi tentang seluruhnya.43 Sampel pada penelitian ini
yaitu Kepala Desa Bhangkali Barat, Sekretaris Desa, Bendahara Desa, Ketua
BPD, Unsur Pelaksana Kewilayahan, Pendamping Lokal Desa Bangkali Barat dan
warga Desa Bhangkali Barat.
D. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah:
1. Data Primer yaitu data yang digunakan secara langsung di lokasi
penelitian, yakni data dan informasi tentang Analisis Yuridis Pengelolaan
Keuangan Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di Desa
Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna.
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dengan kajian kepustakaan yakni
terdiri dari publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, dan
artikel-artikel hukum, serta dokumen resmi yakni Undang-Undang Dasar,
Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, serta Peraturan Menteri
Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Desa.
3. Data Tersier yaitu data yang diberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap data primer dan data sekunder yang terdiri atas kamus hukum,
kamus Bahasa Indonesia, data yang bersumber dari internet.
43Budiono. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung. Hlm. 435.
33
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu:
1. Penelitian Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan cara menelaah
beberapa literatur serta bacaan-bacaan lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
2. Penelitian Lapangan, yaitu pengumpulan data dengan mengadakan
penelitian secara langsung di lapangan. Adapun metode yang digunakan
yaitu:
a. Pengamatan, yaitu melakukan pengamatan yang digunakan dari
parsitipasi dan non partisipasi yang disesuaikan dengan obyek atau
sasaran yang diamati.
b. Wawancara, yaitu interaksi secara langsung dengan pihak-pihak yang
terkait untuk mengumpulkan data primer yang dilakukan secara
mendalam dimana peneliti melakukan komunikasi timbal balik untuk
memperoleh data atau informasi dari beberapa informan.
c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari dokumen yang ada pada
kantor Desa Bhangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna guna
mendukung dan menunjang data-data primer.
F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu
meneliti dan menelaah data dan segala informasi dengan uraian kalimat atau
kata-kata secara jelas dan sistematis untuk menjelaskan terkait dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Pemerintahan Desa
Desa Bangkali Barat adalah salah satu wilayah yang terletak di Kecamatan
Watopute Kabupaten Muna. Desa Bangkali Barat adalah pecahan dari mekaran
Desa Bangkali pada tahun 1987.
Adapun Nama-Nama Demang/Kepala Desa setelah berdirinya Desa
Bangkali Barat yaitu:
1. La Ode Iga periode 1987-1997,
2. La Ode Kamara, SE periode 1997-2007,
3. La Ode Mansur periode 2007-2013, dan
4. La Ode Harufi. S periode 2013-Sekarang.
2. Sejarah Pembangunan Desa
Adapun sejarah pembangunan Desa setelah berdirinya Desa Bangkali
Barat yaitu:
1. Pembangunan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1990 dengan sumber anggaran
dari APBD Tingkat II,
2. Pembangunan Masjid pada tahun 1995 dengan sumber anggaran dari
Swadaya,
3. Pembangunan Kantor Desa pada tahun 2008 dengan sumber anggaran dari
ADD, dan
35
4. Pembangunan Adreinase pada tahun 2009 dengan sumber anggaran dari
PNPM-MP.
3. Kondisi Geografis
Desa Bangkali Barat secara geografis berada pada ketinggian 50 m diatas
permukaan laut dan keadaan tanah datar, berbukit, dan pegunungan serta
mempunyai suhu rata-rata 30 derajat Celcius. Desa Bangkali Barat memiliki 2
(dua) dusun dan terletak di sebelah barat Kecamatan Watopute dengan luas
wilayah 380 Ha (luas pemukiman 5, 500 Ha). Dari luas wilayah Desa Bangkali
Barat mempunyai batasan-batasan sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Wawesa,
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bangkali,
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kontu Naga,
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Dana.
4. Kondisi Demografis
Berdasarkan data yang penulis peroleh dari kantor Desa Bangkali Barat
bahwa Jumlah penduduk sebanyak 783 jiwa. Populasi Desa Bangkali Barat terdiri
dari 205 kepala keluarga (KK) yang terbagi atas 350 jiwa laki-laki dan 433 jiwa
perempuan.
Masyarakat Desa Bangkali Barat bisa dikatakan bukanlah masyarakat
majemuk yang memiliki campuran etnis yang disebabkan oleh perkawinan yang
kemudian menetap di desa tersebut seperti kebanyakan desa yang lain. Namun
desa ini hampir sepenuhnya memiliki etnis yang sama dan tidak memiliki banyak
campuran etnis lain.
36
5. Kondisi Sosial Budaya
Keadaan sosiaol budaya masyarakat Desa Bangkali Barat dapat dilihat dari
beberapa segi yaitu:
1. Kegiatan Gotong Royong
Kegiatan gotong royong sebagai cirri khas masyarakat desa dalam
berbagai aspek kehidupan social sehari-hari dapat dilihat dalam wujud tolong
menolong antara keluarga dalam berbagai macam lapangan aktivitas soaial baik
yang berdasarkan hubungan antara tetangga, ataupun hubungan kerabat lainnya.
Kegiatan gotong royong telah dibina oleh masyarakat Desa Bangkali Barat sejak
dahulu kala, sama seperti masyarakat desa lainnya, sebab bagi masyarakat
menganggap bahwa wadah ini adalah merupskan suatu hal yang baik dan akan
mempertahankannya.
2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat merupakan suatu alat ukur dalam
mengetahui kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan mata pencaharian atau
pekerjaan yang mereka geluti kemudian memperoleh hasil berupa upah atau gaji,
kemudian mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup atau kebutuhan ekonomi.
Mata pencaharian penduduk Desa Bangkali Barat adalah:
1. Buruh sebanyak 52 orang,
2. Pengrajin sebanyak 73 orang,
3. Pedagang sebanyak 25 orang,
4. Pengusaha pertokoan sebanyak 10 orang,
5. TNI/POLRI sebanyak 5 orang,
37
6. Petani sebanyak 64 orang, dan
7. Pegawai Negeri Sipil 88 orang.
3. Bidang Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Bangkali Barat sebagian besar hanya
pada tikat SMA namun ada juga yang sampai pada tingkat pendidikan tinggi
yakni sarjana (S1).
4. Bidang Keagamaan/Kepercayaan
Masyarakat Desa Bangkali Barat secara keseluruhan menganut agama
Islam, dengan kata lain masyarakat Desa Bangkali Barat mayoritas beragama
Islam atau 100% muslim.
B. Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa
1. Gambaran Umum tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Pemerintahan desa merupakan bagian yang terintegrasi dengan
pemerintahan daerah karena daerah baik kabupaten/kota dan juga provinsi terdiri
dari kumpulan desa-desa hingga membentuk pemerintahan yang lebih tinggi di
atasnya. Pemerintah Desa sebagai badan kekuasaan terendah memiliki wewenang
asli untuk mengatur rumah tangga sendiri juga memiliki wewenang dan
kekuasaan sebagai pelimpahan secara bertahap dari pemerintahan di atasnya yakni
pemerintah daerah dan pemerintah pusat.44
Setiap kegiatan yang diserahkan atau ditugaskan atau dilimpahkan dari
pemerintah pusat kepada permerintah di bawahnya harus disertai dengan
44
Sumber Saparin. 1979. Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa. Jakarta:
Ghalia Indonesia. hlm. 30.
38
pembiayaan-pembiyaan untuk menjalankan wewenang tersebut. Hal inilah yang
kemudian mempengaruhi proses pengelolaan keuangan dari pusat ke deareh dan
juga di desa.
Sumber keuangan desa berasal dari dana desa dan sumber-sumber
pendapan desa. Berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa, pendapatan desa terdiri atas:
1. Pendapatan Asli Desa (PADesa),
2. Transfer, dan
3. Pendapatan Lain-Lain.
Adapun pendapatan asli desa terdiri atas:
1. Hasil usaha (hasil Bumdes, tanah kas desa),
2. Hasil aset (tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, jaringan
irigasi),
3. Swadaya, partisipasi dan gotong royong (membangun dengan kekuatan
sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat berupa tenaga, barang yang
dinilai dengan uang), dan
4. Lain-lain pendapatan asli desa.
Untuk sumber pendapatan yang berasal dari transfer terdiri atas:
1. Dana Desa,
2. Bagian dari Hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota dan Retribusi Daerah,
3. Alokasi Dana Desa (ADD),
4. Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi, dan
5. Bantuan Keuangan APBD Kabupaten/Kota.
39
Selanjutnya untuk pendapatan lain-lain terdiri atas:
1. Hibah dan Sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat, dan
2. Lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Dana desa yang ditransfer dari APBN disalurkan dalam 3 kali pengiriman
dalam 1 tahun yakni bulan April, bulan Agustus, dan bulan Oktober. Untuk ADD
yang ditransfer dari APBN disalurkan dalam 2 kali pengiriman dalam 1 tahun
yakni awal tahun dan pertengahan tahun. Sedangkan APBD yang ditransfer untuk
desa disalurkan dalam 1 kali pengiriman dalam 1 tahun berupa bantuan dana dari
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Anggaran ini 70% digunakan untuk pembangunan
fisik dan permodalan dan 30% untuk belanja operasional (sarana dan prasarana
pemerintahan dan tunjangan aparatur desa). Dengan adanya anggaran tersebut
digunakan untuk belanja desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu)
tahun anggaran dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan Desa
berupa penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan belanja tak
terduga.
Berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, jenis belanja desa terdiri atas:
1. Belanja Pegawai (pengeluaran penghasilan tetap dan tunjangan bagi Kepala
Desa dan Perangkat Desa serta tunjangan BPD),
2. Belanja Barang dan Jasa (pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya
kurang dari 12 (dua belas) bulan), dan
40
3. Belanja Modal (pembelian/pengadaan barang atau bangunan yang nilai
manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan). Pembelian/pengadaan barang
atau bangunan digunakan untuk kegiatan penyelenggaraan kewenangan desa.
Kewenangan desa terkait erat dengan pengelolaan keuangan desa karena
sumber-sumber pedapatan dan dana desa yang diperoleh oleh perangkat desa
dikelola guna mewujudkan pembangunan desa. Kewenangan desa diatur dalam
Pasal 19 UU Desa yang meliputi:
a. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
b. Kewenangan lokal berskala Desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam peraturan mengenai pengelolaan keuangan desa pada
saat ini diatur melalui Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa khususnya dalam Pasal 2 ayat (1) yakni keuangan desa dikelola
berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan
tertib dan disiplin anggaran. Disiplin anggaran dalam hal ini yang dimaksudkan
adalah pengelolaan keuangan desa dikelola dalam masa satu tahun anggaran yakni
mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Baik sebelum
ataupun sesudah diberlakukannya Undang-Undang mengenai Desa, asas-asas
dalam pengelolaan keuangan desa tidak mengalami banyak perubahan. Inti dalam
41
pengelolaan keuangan desa umumnya harus mengedapankan asas transparansi,
akuntabilitas, dan partisipatif sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Adanya pengelolaan keuangan desa merupakan konsekuensi logis adanya
hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang sehingga memerlukan
adanya pengelolaan keuangan berdasarkan asas-asas atau prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan desa merupakan kekuasaan kepala
desa di mana kepala desa dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada
perangkat desa yang ditunjuk.45
Berdasarkan pengamatan peneliti, bahwa pengelolaan keuangan desa di
Desa Bangkali Barat belum sepenuhnya memenuhi asas-asas pengelolaan
keuangan desa yakni asas transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Transparansi
Artinya adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan mansyarakat untuk
mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang
keuangan desa dengan maksud untuk menjamin akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan
pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip mengenai transparansi
dapat diukur melalui sejumlah program atau indikator sebagai berikut ini:
a) Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari
semua proses-proses pelayanan publik,
45
Wolhof dalam Zein Zanibar. 2003. Otonomi Desa dengan Acuan Khusus pada Desa di Provinsi
Sumatera Selatan. Jakarta: Disertasi UI. hlm. 107.
42
b) Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang
berbagai kebijakan dan pelayanan publik maupun proses-proses di dalam
sektor publik ,
c) Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi
maupun penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan
melayani.
b. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau
menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang badan hukum
pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
c. Partisipatif
Partisipasi dalam hal ini adalah setiap warga negara mempunyai suara dalam
pembuatan keputusan baik secara langsung maupun melalui intermediasi
institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi masyarakat
dalam penetuan kebijakan publik menjadi kekuatan pendorong untuk
mempercepat terpenuhinya penyelenggaraan pemerintahan di desa.
Dari ketiga asas tersebut, Desa Bangkali Barat hanya sedikit menerapkan
asas partisipatif dan belum menerapkan asas akuntabilitas dan transparansi secara
umum dan terbuka padahal sudah merupakan hak dari masyarakat untuk
mendapatkan dan mengetahui akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan
desa serta untuk mendapatkan keterangan atau pertanggung jawaban dari
pemerintah desa dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa sebab bukan
43
hanya pada pihak pemerintah daerah penyampaian pertanggung jawaban tersebut
melainkan kepada masyarat juga yang merupakan salah satu pihak pengawas
secara langsung dalam pengelolaan keuangan desa oleh pemerintah desa.
Masyarakat hanya dapat mengeluarkan suara dalam pembuatan kebijakan dan
keputusan, hal ini dapat dikatakan sebagai pemenuhan asas partisipatif dalam
pengelolaan keuangan desa namun pelaksananya tetap dilakukan oleh pemerintah
desa itu sendiri yang pada pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang telah
disepakati barsama masyarakat.
Kurangnya keterbukaan pemerintah desa membuat masyarakat kurang
mengetahui dan kurang mendapatkan akses informasi tentang keuangan desa dan
tentang penyelenggaraan pemerintahan desa padahal sudah merupakan sebagian
hak dari masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut.46
Berdasarkan hasil penelitian peneliti, bahwa kurangnya keterbukaan
pemerintah desa dapat dilihat dari berbagai fasiltas yang tidak disediakan oleh
pemerintah desa baik fasilitas pengaduan dan pelaporan maupun fasilitas
penyebaran informasi secara umum serta mekanisme yang menjamin sistem
keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik tidak
disediakan.
2. Tahapan-Tahapan Pengelolaan Keuangan Desa
Pengertian pengelolaan keuangan desa merupakan serangkaian kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban, yang dilaksanakan dalam masa 1 (satu) tahun anggaran
46Wawancara dengan Agus Setiawan Masyarakat Desa Bangkali Barat, pada tanggal 19 Maret
2016.
44
terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pengertian
mengenai pengelolaan keuangan desa ini disebutkan dalam Pasal 93 PP Nomor 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berikut adalah tahapan-tahapan dalam pengelolaan keuangan desa:
a. Tahap Perencanaan
Perencanaan pengelolaan keuangan desa diwujudkan dalam bentuk
Rancangan APBDesa yang ditetapkan melalui Peraturan Desa mengenai
APBDesa. Secara umum, pembentukan sebuah peraturan desa yang baik
setidaknya harus memenuhi tiga syarat yang diantaranya adalah:47
1) Berlaku secara filosofis yakni apabila isi peraturan tersebut sesuai dengan
nilai-nilai tertinggi atau norma yang berlaku dan dihormati di dalam
masyarakat tersebut;
2) Berlaku secara sosiologis yakni apabila isi peraturan tersebut berhubungan
dengan kebutuhan riil di dalam masyarakat tersebut;
3) Berlaku secara yuridis yakni apabila peraturan tersebut disusun sesuai dengan
prosedur atau tatacara pembentukan peraturaan yang berlaku di dalam
masyarakat tersebut dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Berdasarkan Pasal 20 Permendagri Nomor 113 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa menyebutkan bahwa perencanaan RAPBDesa
disusun oleh Sekertaris Desa yang kemudian disampaikan kepada Kepala Desa.
Kepala Desa bersama-sama dengan BPD membahas dan meyepakati RAPBDesa
tersebut. Proses perancangan ini dilakukan selambat-lambatnya pada bulan
47
Mohammad Fadli dan Mustafa Lutfi. 2013. Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif. Malang:
UB Press. Hlm. 131.
45
Oktober tahun berjalan. Adapun tahapan mengenai perencanaan dalam hal
pengelolaan keuangan desa yaitu:
1. Sekdes (Merancang RAPBDesa),
2. Kepala Desa dan BPD (Pembahasan),
3. Camat,
4. Bupati/Walikota (Melakukan Evaluasi, jika tidak sesuai maka dikembalikan
ke Kepala Desa untuk disempurnakan),
5. Perdes APBDesa.
Analisis hukum tahap perencanaan yaitu pada Pasal 20 Permendagri No
113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa menjelaskan bahwa setelah
kepala desa melakukan pembahasan bersama dengan BPD terkait dengan
penyusunan RAPBDesa oleh Sekertaris Desa, rancangan tersebut kemudian
diajukan kepada Bupati/Walikota oleh Camat. Pengajuan ini dilakukan selambat-
lambatnya tiga hari kerja. Bupati/Walikota dalam hal ini akan mengevaluasi
RAPBDesa dan hasil evaluasi ditetapkan paling lama dua puluh hari kerja.
Apabila Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu yang telah
ditentukan maka RAPBDesa akan berlaku dengan sendirinya. Sedangkan apabila
hasil evaluasi oleh Bupati/Walikota menyatakan bahwa RAPBDesa tidak sesuai
maka harus ada perbaikan atau penyempurnaan oleh Kepala Desa dan BPD yang
dilaksanakan paling lama tujuh hari kerja. Dalam hal apabila perbaikan atas hasil
evaluasi Bupati/Walikota tidak ditindaklanjuti atau tidak disempurnakan oleh
Kepala Desa dan BPD maka RAPBDesa tesebut dibatalkan melalui Peraturan
Bupati/Walikota dan Kepala Desa menggunakan pagu APBDesa tahun anggaran
46
sebelumnya. RAPBDesa yang telah dievaluasi oleh Bupati/Walikota baik dengan
perbaikan atau tidak akan disetujui menjadi Peraturan Desa tentang APBDesa.
Dikaitkan dengan sumber keuangan desa yang telah dijelaskan dalam
pembahasan sebelumnya, perencanaan dalam pengelolaan keuangan desa harus
diketahui terlebih dahulu sumber berasalnya dana. Pasal 8 PP Nomor 60 Tahun
2014 tentang Dana Desa menyebutkan bahwa Dana Desa diprakarsai oleh
Pemerintah yang diwujudkan dalam Anggaran Dana Desa. Anggaran Dana Desa
tersebut kemudian diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR
menjadi pagu dana desa. Dana desa ini kemudian ditransfer ke daerah dan desa.
Lebih lanjut lagi Dana Desa yang akan dikelola oleh Pemerintah Desa
tersebut setelah melalui proses penganggaran sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 8 PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa akan disalurkan melalui
tahap penyaluran sebagai berikut:
1. Ditetapkan dalam Perpres mengenai rincian APBN,
2. Kabupaten/Kota,
3. Dana Desa.
Alokasi Dana Desa dari Kab/Kota disalurkan berdasarkan Alokasi yang dihitung
berdasarkan Jumlah Penduduk, Angka Kemiskinan, Luas Wilayah, dan Indeks Kesulitan
Geografis.
Berdasarkan hasil penelitian peneliti, APBDesa Bangkali Barat yang disusun
tidak menggambarkan kebutuhan desa dan tidak sesuai dengan kebutuhan desa.
Penyusunan RAPBDesa Bangkali Barat tidak memenuhi syarat sosiologis
pembuatan peraturan desa. Dalam penyusunan tersebut tidak menutup
47
kemungkinan digunakan untuk kepentingan pribadi mengingat besarnya anggaran
yang akan dikelola setelah anggaran tersebut disalurkan.
Penyusunan Peraturan Desa tentang APBDesa Bangkali Barat dibuat oleh
aparatur desa sehingga dalam pembuatannya bisa saja tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat melainkan untuk kepentingan pribadi sendiri. Dalam
pebuatan peraturan tentang APBdesa dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh
aparatur desa untuk keperluan yang diinginkannya.48
b. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan dapat dipahami sebagai semua penerimaan dan pengeluaran
desa dalam rangka pelaksanaan kewenangan desa melalui rekening kas desa.
Teknisnya adalah, pelaksana kegiatan mengajukan pendanaan untuk
melaksanakan kegiatan yang mengharuskan ikut sertanya dokumen yang antara
lain adalah rencana Anggaran Biaya. Berdasarkan hal ini Nampak sangat jelas
bahwa setiap program kerja desa harus menggunakan anggaran yang telah
dirancang sebelumnya dan pengeluaran desa yang mengakibatkan beban
APBDesa tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan desa tentang
APBDesa ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Pelaksana kegiatan inilah yang
bertanggungjawab terhadap tindakan pengeluaran yang menyebabkan atas beban
anggaran belanja kegiatan. Dalam hal pengajuan pendanaan untuk melaksanakan
kegiatan, pelaksana kegiatan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
kepada Kepala Desa yang mana SPP tersebut terdiri atas:
1) Surat Permintaan Pembayaran,
48Wawamcara dengan Nawir Masyarakat Desa Bangkali Barat, pada tanggal 19 Maret 2016.
48
2) Pernyataan tanggungjawab belanja,
3) Lampiran bukti transaksi.
Adapun tahapan mengenai pelaksanaan dalam pengelolaan keuangan desa
menurut Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 yaitu:
1. Pelaksana Kegiatan mengajukan dokumen rancangan Anggaran Kegiatan,
2. Pelaksana Kegiatan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP),
3. Sekretaris Desa melakukan verifikasi,
4. Kepala Desa mengesahkan,
5. Kepala Desa mengarah ke Rekening Kas Desa untuk melakukan Penerimaan
dan Pengeluaran, dan
6. Pelaksanaan Kegiatan.
SPP yang dirancang oleh pelaksana kegiatan berdasarkan Rencana
Anggaran Biaya diajukan kepada Kepala Desa dan diteliti oleh Sekretaris Desa
untuk selanjutnya diverifikasi.
Analisis hukum tahap pelaksanaan yaitu pada PP Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa menyebutkan bahwa penggunaan dana desa diperuntukkan
untuk penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat
dan kemasyarakatan. Penggunaan dana desa ini mengacu kepada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
Penggunaan dana desa ini digunakan sesuai dengan prioritas pembangunan desa
yang ditetapkan dalam peraturan menteri teknis yakni kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pelaksanaan pembangunan
49
yang dijabarkan dalam RPJMDesa kemudian menjadi acuan dalam penyusunan
dan pelaksanaan APBDesa.
Berdasarkan hasil penelitian peneliti, pelaksana kegiatan Desa Bangkali
Barat terbagi atas 4 yakni Bidang Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Bidang
Pelaksanaan Pembangunan Desa, Bidang Pembinaan Kemasyarakatan, dan
Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Dari 4 bidang pelaksana kegiatan ini dana
yang digunakan bersumber dari dana desa. Dalam pengajuan kegiatan yang sudah
dirancang dalam APBDesa, anggaran yang dibebankan oleh pelaksana kegiatan
tidak menggambarkan kesesuaian kebutuhan anggaran dengan kegiatan yang akan
dilaksanakan. Selain itu, volume material yang diadakan oleh pelaksana kegiatan
tidak sesuai dengan besaran anggaran yang sudah diperoleh.
Pengajuan kegiatan oleh pelaksana kegiatan bisa diterima jika telah
melengkapi berkas pelaksanaan kegiatan. Kegiatan yang akan dilaksanakan serta
besaran anggaran yang dibebankan dalam APBDesa sudah dirancang sebelumnya
dalam APBDesa, jadi semua kegiatan dan beban anggarannya sudah diatur dalam
APBDesa tinggal dilaksanakan melalui pemenuhan persyaratan.49
c. Tahap Penatausahaan
Penatausahaan dalam sistem pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh
Bendahara Desa. Berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa, penatausahaan pengelolaan keuangan desa
Bendahara Desa memiliki kewajiban untuk melakukan pencatatan penerimaan dan
49Wawancara dengan Abjan Sekretaris Desa Bangkali Barat, pada tanggal 22 Maret 2016.
50
pengeluaran setiap akhir bulan secara tertib dan mempertanggungjawabkan uang
melalui laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Desa.
Bendahara desa sebagai salah satu perangkat desa bertanggungjawab
kepada kepala desa dalam hal laporan pertanggungjawaban yang disampaikan
kepada kepala desa setiap bulannya dan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
Penyusunan dalam laporan pertanggungjawaban Bendahara Desa berupa
pencatatan pengeluaran anggaran yang tersalurkan untuk pelaksanaan
pemerintahan desa dalam segala bidang kegiatan yang sudah dirancang dalam
APBDesa serta berupa pencatatan penerimaan yang diterima oleh desa dari
bantuan anggaran oleh pemerintah Kabupaten dan Provinsi serta dari sumber-
sumber pendapatan desa.50
Berdasarkan hasil penelitian peneliti, pencatatan penerimaan dan
pengeluaran dalam laporan pertanggungjawaban Bendahara Desa Bangkali Barat
kepada Kepala Desa kurang transparan sebab pencatatan dalam laporan
pertanggungjawaban tersebut tidak disebutkan peruntukan untuk sisa anggaran
yang tidak habis pakai serta pencatatan penerimaan yang diperoleh dari sumber-
sumber pendapatan desa disusun secara tidak utuh dan bantuan dana dari
Pemerintah Kabupaten dan Provinsi disusun secara tidak terpisah.
d. Tahap Pelaporan
Berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, laporan mengenai pengelolaan keuangan desa dilaksanakan oleh
50Wawancara dengan Surya Ningrat Bendahara Desa Bangkali Barat, pada tanggal 22 Maret 2016.
51
Kepala Desa sebanyak dua kali yakni laporan realisasi pelaksanaan APBDesa
pada semester pertama dan yang kedua laporan realisasi pelaksanaan APBDesa
semester akhir tahun, selanjutnya laporan realisasi pelaksanaan APBDesa tersebut
disampaikan kepada Bupati/Walikota.
Laporan realisasi pelaksanaan APBDesa pada semester pertama paling
lambat disampaikan kepada Bupati/Walikota pada akhir bula Juli tahun berjalan
sedangkan laporan realisasi akhir tahun paling lambat disampikan kepada
Bupati/Walikota pada akhir bulan Januari tahun berikutnya. Penyusunan laporan
pertanggungjawaban ini harus sesuai dengan standar akutansi keuangan.
Pelaporan terkait pengelolaan realisasi APBDesa tidak berhenti sampai dengan
tingakat daerah kabupaten/kota. Dalam perspektif pembanguna, pelaporan
mempunyai unsur penting karena dengan laporan dapat diketahui hasil dari
pelaksanaan atau realisasi dari perencanaan. Dalam PP Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa, laporan yang diterima oleh Bupati/Walikota sebanyak dua kali
dalam satu tahun anggaran tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri dan
juga Gubernur. Jika Kepala Desa ataupun Bupati/Walikota terlambat
menyampaikan laporan realisasi APBDesadan/atau APBD Kab/Kota maka
penyaluran dana desa ditangguhkan sampai dengan laporan realisasi penggunaan
dana desa disampaikan.
Analisis hukum tahap pelaporan yaitu pada PP Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa, Kepala Desa menyampaikan laporan tentang dana desa
kepada Bupati/Walikota oleh Camat. Bupati/Walikota dalam hal ini melakukan
evaluasi terkait laporan dana desa tersebut, jika laporan tersebut masih memiliki
52
kekurangan maka dikembalikan kepada kepala desa nanum jika diterima maka
laporan tersebut akan disampaikan kepada Menteri dan Gubernur.
Berdasarkan hasil penelitian peneliti, penyusunan laporan
pertanggungjawaban Desa Bangkali Barat belum memenuhi standar administrasi.
Kepala Desa Bangkali Barat terbebani dalam penyusunan laporan
pertanggungjawaban yang harus dibuat secara utuh dari semua penggunaan
anggaran yang harus sesuai dengan standar akutansi keuangan padahal laporan
pertanggungjawaban ini merupakan hal yang sangat penting mengingat
penyampaiannya tidak boleh terlambat.
Agar memudahkan, laporan pertanggungjawaban kepala desa seharusnya
disusun dengan tidak melihat sumber dana yang diperoleh desa. Misalnya adalah
penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) dibuat laporan realisasi penggunaan ADD
secara terpisah dengan penggunaan Dana Bantuan dari Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang perlu juga dibuat laporan realisasi penggunaannya agar
keseragaman laporan keuangan bisa tercapai. Hal demikian dirasa memperingan
beban adminsitrasi perangkat desa tanpa mengurangi substansi pelaksanaan
pertanggungjawaban.51
e. Tahap Pertanggungjawaban
Kepala Desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi
pelaksanaan APBDesa dengan Peraturan Desa kepada Bupati/Walikota setiap
akhir tahun anggaran. Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan
APBDesa terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Hal yang terpenting
51Wawancara dengan La Ode Alindona Kepala Desa Bangkali Barat, pada tanggal 21 Maret.
53
adalah hubungan pembinaan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi wajib membina dan
mengawasi pemberian dan penyaluran Dana Desa, Alokasi Dana Desa, dan Bagi
hasil Pajak dan Retribusi Daerah dari Kabupaten/Kota kepada Desa. Sementara
Pemerintah Kabupaten/Kota wajib membina dan mengawasi pelaksanaan
pengelolaan keuangan desa.
Berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 6
Tahu 2104 tentang Desa, pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa berada
pada tangan Kepala Desa. Adapun laporan pertanggungjawaban kepala desa yaitu:
a) Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir
tahun anggaran kepada bupati/walikota (bahan evaluasi bupati/walikota
untuk dasar pembinaan pengawasan);
b) Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir
masa jabatan kepada bupati/walikota (kepada bupati/walikota dalam memori
serah terima jabatan);
c) Menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan Desa
secara tertulis kepada BPD setiap akhir tahun anggaran (digunakan oleh
Badan Permusyawaratan Desa dalam melaksanakan fungsi pengawasan
kinerja kepala Desa).
Pada huruf (a), laporan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui
Camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran, yang sedikitnya memuat:
a. Pertanggungjawaban penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
54
b. Pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan;
c. Pelaksanaan pembinaan kemasyarakatan; dan
d. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
Untuk huruf (b), laporan disampaikan dalam jangka waktu 5 (lima) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan, yang paling sedikit memuat:
a. Ringkasan laporan tahun-tahun sebelumnya;
b. Rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam jangka waktu untuk 5
(lima) bulan sisa masa jabatan;
c. Hasil yang dicapai dan yang belum dicapai;
d. Hal yang dianggap perlu perbaikan.
Untuk huruf (c), laporan diserahkan setiap akhir tahun anggaran kepada
Badan Permusyawaratan Desa secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran, dan paling sedikit memuat pelaksanaan Peraturan
Desa. Selain adanya kontrol dari Kabupaten/Kota dan BPD, juga terdapat
pengawasan oleh masyarakat desa secara langsung, di mana Kepala Desa
menginformasikan secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah
diakses oleh masyarakat mengenai penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada
masyarakat Desa.
Analisis hukum tahap pertanggungjawaban yaitu pada Pasal 40 ayat (1)
dan ayat (2) Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 menyebutkan bahwa laporan
realisasi dan laporan pertanggungjawaban diinformasikan pada masyarakat secara
tertulis di papan tulis pengumuman, radio komunitas dan sebagainya. Hal tersebut
sudah pas dengan prinsip pengelolaan keuangan desa yakni transparansi dan
55
akuntabalitas. Laporan pertanggungjawaban ditetapkan dalam bentuk Peraturan
Desa.
Berdasarkan hasil penelitian peneliti, Rencana penggunaan dan
pertanggungjawaban APBDesa Bangkali Barat kurang transparan. Dengan tidak
adanya laporan pertanggungjawaban Kepala Desa terhadap masyarakat terkait
pengelolaan keuangan desa maka jelas terlihat kurangnya keterbukaan Pemerintah
Desa Bangkali Barat terkait pengelolaan keuangan desa dalam pelaksanaan
pemerintahannya kepada masyarakat desa. Hal seperti ini seharusnya tidak boleh
terjadi karna bisa menimbulkan hilangnya kepercayaan kepada pemimpin desa.
Kepala Desa Bangkali Barat tidak melakukan laporan pertanggung
jawaban terkait pengelolaan keuangan desa kepada masyarakat padahal
masyarakat juga mempunyai hak untuk mengetahui proses pengelolaan keuangan
desa apakah sudah dijalankan sebagaimana mestinya untuk kepentingan
masyarakat secara umum atau tidak.52
Penyampaian pertanggungjawaban Kepala Desa Bangkali Barat kepada
warga dianggap tidak terlalu rumit dan tidak memberatkan. Agar
pertanggungjawaban tersebut bisa tersampaikan secara menyeluruh maka
penyampaian tersebut bisa juga dilakukan oleh Kepala Desa dengan memfasilitasi
seluruh masyarakat desa untuk melakukan pertemuan dibalai desa membahas
pertanggungjawaban Kepala Desa. Namun tidak ada inisiatif kepala desa untuk
melakukan hal tersebut.53
52Wawancara dengan Defri Masyarakat Desa Bangkali Barat, pada tanggal 20 Maret. 53Wawancara dengan Sarman Kepala Dusun Desa I Bangkali Barat, pada tanggal 23 Maret 2016.
56
Dalam hal kepala desa tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik
maka berdasarkan undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 28
Ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa: (1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai
sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2) Dalam hal
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian.
Pertanggungjawaban yang tidak disampaikan Kepala Desa Bangkali Barat
kepada masyarakat dikarenakan ketidak siapan kepala desa untuk menyampaikan
pertanggungjawaban tersebut mengingat banyak hal yang harus diperbaiki dari
berbagai kekurangan diantaranya yaitu mengenai realisasi anggaran. Hal tersebut
telah ditolerir dan diberikan keringanan oleh pemerintah daerah mengingat
pelaksanaan pemerintah desa masih awal dan masih membutuhkan pengalaman
lebih serta sulitnya penyesuaian pelaksaan pemerintahan desa dengan regulasi
aturan yang ada oleh pemerintah desa.54
Tahapan-tahapan di atas merupakan serangkaian kegiatan yang tergolong
dalam pengelolaan keuangan desa yakni mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, penatusahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, unsur-unsur
eksternal seperti pengawasan, pemantauan dan pembinaan juga merupakan hal
yang tidak bisa ditinggalkan dalam proses pembangunan desa.
54Wawancara dengan La Ode Aliba Ketua BPD Desa Bangkali Barat, pada tanggal 21 Maret 2016.
57
Berdasarkan tahapan-tahapan yang menjelaskan tentang pengelolaan
keuangan desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka Desa Bangkali Barat belum
memenuhi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa tersebut.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Pengelolaan Keuangan Desa
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam pengelolaan keuangan desa di Desa Bangkali Barat
adalah sebagai berikut:
1. Pada Tahap Perencanaan
APBDesa Yang Disusun Tidak Menggambarkan Kebutuhan Desa.
Penyelenggaraan pemerintahan tercermin dari metode penyusunan rencana
kerja dan pendanaan dalam APBDesa. APBDesa yang disusun sangat berperan
penting dalam pelaksanaan pembangunan desa dan merupakan rujukan dalam
proses pengelolaan keuangan desa namun penyusunannya tidak menunjukan
kebutuhan desa. Jika penyusunannya tidak menggambarkan kebutuhan desa maka
secara otomatis pelaksanaannyapun tidak akan menggambarkan kebutuhan desa
itu sendiri. Dengan banyaknya kebutuhan desa yang harus di penuhi dalam hal
pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kehidupan masyarakat
seharusnya hal itu menjadi prioritas dalam penyusunan APBDesa.
Dalam penyusunan APBDesa seharusnya mengutamakan kebutuhan desa
seperti pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan desa serta pemberdayaan masyarakat desa sebab selain
58
peningkatan sarana dan prasara desa, penyaluran anggaran untuk peningkatan
kesejahteraan desa dan peningkatan ekonomi desa juga menggambarkan proses
pengelolaan keuangan yang baik.55
2. Pada Tahap Pelaksanaan
Proses Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Desa Rawan Manipulasi.
Kegiatan yang akan dilaksanakan pelaksana kegiatan sudah dirancang
dalam APBDesa, namun anggaran yang dibebankan atau pengajuan anggaran oleh
pelaksana kegiatan tidak menggambarkan kesesuaian kebutuhan anggaran dengan
kegiatan yang akan dilaksanakan. Selain itu, volume material yang diadakan oleh
pelaksana kegiatan tidak sesuai dengan besaran anggaran yang sudah diperoleh.
Seperti kebanyakan pelaksanaan pembangunan, pelaksana kegiatan selalu
memanipulasi volume material dengan mengurangi volume bahan yang diadakan.
Hal ini terjadi pada Pelaksana Kegiatan Desa Bangkali Barat yang mengurangi
volume bahan yang diadakan untuk pembangunan dan bahan bangunan yang
diadakan tersebut sebagian tidak memenuhi kualitas serta standar bahan bangunan
perbandingannya tidak sesuai.56
3. Pada Tahap Penatausahaan
Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Desa kurang transparan
Penyusunan laporan pertanggungjawaban Bendahara Desa Bangkali Barat
merupakan pencatatan hasil pengeluaran dan penerimaan namun sisa dari
pengeluaran anggaran tidak disebutkan dengan jelas peruntukannya serta
penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan desa dan dari bantuan
55Wawancara dengan La Ode Biru Kepala Dusun II Desa Bangkali Barat, pada tanggal 23 Maret
2016. 56Wawancara dengan Sarianti Pendamping Desa Bangkali Barat, pada tanggal 23 Maret 2016.
59
dana oleh pemerintah Kabupaten maupun Provinsi disusun secara tidak utuh.
Dengan banyaknya jumlah dana desa yang diterima oleh desa seharusnya
bendahara desa menyusun pencatatan tersebut secara utuh dan terpisah antara
dana dari sumber-sumber pendapatan desa dan dana dari bantuan pemerintah
Kabupaten maupun Provinsi namun hal demikian tidak dilakukan oleh bendahara
desa yang menunjukan penyusunan pencatatan penerimaan desa kurang tranparan
karena tidak menutup keemungkinan anggaran yang akan dimasukan dalam
pencatatan penerimaan desa tersebut sepenuhnya akan sesuai dengan dana yang
disalurkan.
Sebagian dari sisa aggaran yang tidak jelas peruntukannya dikhawatirkan
tidak akan dimasukan dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh
Bendahara Desa Bangkali Barat sebab pertanggungjawabannya langsung kepada
kepala desa dan pertanggungjawaban tersebut hanya kepada kepala desa
mengingat kepala desa dan bendahara desa merupakan bagian penting dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. Besarnya anggaran yang diterima oleh
desa dikhawatirkan akan disalah gunakan belum lagi adanya bantuan dana dari
pemerintah Kabupaten dan Provinsi.57
4. Pada Tahap Pelaporan
Laporan Keuangan Dana Desa Belum Mengikuti Standar Akutansi Keuangan.
Desa diberi tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan sehingga
untuk pencatatan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangannya
seharusnya mengikuti standar akuntansi keungan yakni suatu prosedur pembuatan
57Wawancara dengan La Fardi, S. Sos Masyarakat Desa Bangkali Barat, pada Tanggal 20 Maret
2016.
60
laporan keuangan agar terjadi keseragaman dalam penyajian laporan keuangan.
Namun Kepala Desa Bangkali Barat terbebani dengan penyusunan laporan
pertanggungjawaban tersebut yang harus dibuat secara utuh dari semua sumber
anggaran yang diperoleh dari bantuan Kabupaten maupun Provinsi dan sumber-
sumber lain yang wajib dilaporkan. Hal ini mengarah pada aspek SDM dimana
kapasitas SDM Desa Bangkali Barat dalam pengelolaan keuangan desa masih
terbatas dan tidak merata.
Standar akuntansi keuangan untuk desa perlu dibuat secara sederhana
seperti pemisahan laporan pertanggungjawaban realisasi anggaran dari sumber
dana yang berbeda untuk memudahkan desa dalam pelaksanaannya agar laporan
keuangan desa dapat dipertanggungjawabkan.58
5. Pada Tahap Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban APBDesa Kepada Masyarakat Tidak Dilakukan.
Rencana penggunaan anggaran dalam APBDesa yang disusun oleh Kepala
Desa Bangkali Barat dan pertanggungjawabannya oleh Kepala Desa Bangkali
Barat tidak memenuhi pengelolaan keuangan desa yang dapat dilihat dari tidak
adanya laporan pertanggungjawaban kepala desa kepada masyarakat. Dengan
tidak adanya pertanggungjawaban tersebut maka masyarakat tidak akan
mengetahui rencana penggunaan anggaran dalam APBDesa. Hal ini disebabkan
karena kurang tegasnya pemerintah daerah dalam menanggapi dan mengawasi
kinerja kepala desa serta ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan
oleh camat kepada Kepala Desa Bangkali Barat belum jelas.
58Wawancara dengan La Ode Alindona Kepala Desa Bangkali Barat, pada tanggal 21 Maret 2016.
61
Dengan tidak disampaikannya pertanggungjawaban kepala desa kepada
masyarakat yang merupakan kewajibannya bisa menimbulkan dampak negatif
dalam pelaksanaan pemerintahan desa dan kurangnya kepercayaan masyarakat
desa kepada kepala desa untuk pengelolaan keuangan desa sebab pengelolaan
keuangan desa berperan penting dalam proses pembangunan desa.59
Jika faktor-faktor permasalahan dalam pengelolaan keuangan Desa
Bangkali Barat tersebut dibiarkan maka sangat berpengaruh pada pelaksanaan
pemerintahan desa sebab dengan pelaksanaan pengelolaan keuangan desa yang
baik dan benar maka dapat memperlancar pengembagan pembangunan,
pemberdayaan masyarakat, penyelenggaraan pemerintah desa dan kemasyarakatan
desa.
Dari berbagai permasalahan di atas, juga dibutuhkan beberapa langkah
yang harus ditempuh agar pembangunan desa terwujud, yakni sebagai berikut:
1. Kemendesa PDTT & Kemenkeu
a) Menyusun kesepakatan bersama terkait Pengawasan, Pemantauan dan Evaluasi
Penggunaan Dana untuk Desa (APBDesa).
b) Revisi Peraturan Pemerintah terkait: penyusunan laporan pertanggungjawaban
dan panduan evaluasi.
2. Kemendagri
a) Menyusun sistem keuangan desa dan komponen pelaporan pertanggungjawaban
keuangan desa yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan desa.
b) Mengevaluasi dan merevisi norma dalam PP dan Permendagri terkait dengan
pendapatan tetap perangkat desa sebagai acuan dasar setiap daerah, siklus
59Wawancara dengan La Ode Safar Masyarakat Desa Bangkali Barat, pada tanggal 20 Maret
2016.
62
anggaran desa, pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dengan
memasukkan aspek pengawasan partisipatif oleh masyarakat, audit sosial,
mekanisme pengaduan dan peran Inspektorat Daerah serta memperjelas fungsi
evaluasi dan pengawasan Camat kepada Desa.
3. Pemda
a) Provinsi/Kab/Kota menyediakan dukungan pendanaan terkait SDM untuk
peningkatan kualitas pengelolaan keuangan desa.
b) Melakukan pembinaan dan pendampingan serta membangun sistemnya.
63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada
bab sebelumnya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
1. Pengelolaan Keuangan Desa Di Desa Bangkali Barat, Kec. Watopute, Kab.
Muna belum memenuhi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan belum
mencapai tujuan dari pada pengelolaan keuangan itu sendiri dalam proses
pelaksanaan pemerintahan desa.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam Pengelolaan keuangan desa di Desa
Bangkali Barat, Kec. Watopute, Kab. Muna adalah:
a) Pada Tahap Perencanaa, APBDesa yang disusun tidak menggambarkan
kebutuhan desa.
b) Pada Tahap Pelaksanaan, proses pelaksanaan kegiatan pembangunan desa
rawan manipulasi.
c) Pada Tahap Penatausahaan, penyusunan laporan pertanggungjawaban
bendahara desa kurang transparan.
d) Pada Tahap Pelaporan, laporan keuangan dana desa belum mengikuti
standar akutansi keuangan.
e) Pada Tahap Pertanggungjawaban, pertanggungjawaban APBDesa kepada
masyarakat tidak dilakukan.
64
B. Saran
Adapun saran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada pemerintah untuk menyusun sistem keuangan desa dan
komponen pelaporan pertanggungjawaban keuangan desa yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan desa agar pelaksanaannya berjalan dengan baik dari semua
komponen atau tahapan-tahapannya.
2. Kiranya pihak yang terkait dan berkompeten dapat memperhatikan dan
menaggulangi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan keuangan desa
di Desa Bangkali Barat, serta memberikan sanksi kepada pihak yang melakukan
pelanggaran.
65
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amiruddin, Askin dan Zainal. (2010). Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Budiono. (2005). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.
Busroh, Abu Daud. (1985). Asas-asas Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
fadli, Mohammad. (2013) Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif. Malang: UB
Prees.
Fauzan, Muhammad. (2006). Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta: UII Press.
Gie, The Liang. (1994). Pertumbuhn Pemerintahan Daerah di Negara Republik
Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Manan, Bagir. (1994). Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
. (2001). Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat
Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII.
Ndraha, Taliziduhu. (1991). Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta: Bumi
Aksara.
Saparin, Sumber. (1979). Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan
Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soehino. (1983). Perkembangan Pemerintahan di Daerah. Yogyakarta: Liberty.
Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Sujamto. (1987). Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Sunardjo, Unang. (1984). Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Bandung: Penerbit
Tarsito.
Syafrudin, Ateng dan Suprin Na’a. (2010). Republik Desa: Pergulatan Hukum
Tradisional dan Hukum Modern dalam Desai Otonomi Desa. Bandung:
Penerbit PT. Alumni.
Tjandra, Riawan. (2006). Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo.
Wolhof dalam Zein Zanibar. 2003. Otonomi Desa dengan Acuan Khusus pada
Desa di Provinsi Sumatera Selatan. Jakarta: Disertasi UI.
B. Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
- Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
- Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
- Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
66
- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.
- Peraturan Menteri Desa No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa.
C. Artikel
Agus, Sudrajat. Defenisi Desa Menurut Para Ahli. Harian Kompas Edisis Juma’at
24 Oktober 2013. Html.
D. Internet
Budiman Sudjamiko. tanpa tahun. Isu-isu Strategis UU Desa.
kkn.bunghatta.ac.id/downloadIsu%20Strategis%20UU%20Desa.pdf.html
(online). (15 April 2015).
Hukumonline.com. KPK Siap Antisipasi Potensi Korupsi Dana Bantuan Desa.
Edisi tanggal 11 Desember 2014 (online). (03 Mei 2015).