ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK TERPIDANA KORUPSI...

101
ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK TERPIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Starta Satu (S1) Dalam Hukum Pidana Islam Oleh : ASMARITA NIM: SHP.162153 PEMBIMBING : Dr.ROBI’ATUL ADAWIYAH,M.HI NURAIDA FITRIHABI S.Ag.,M.Ag PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2020

Transcript of ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK TERPIDANA KORUPSI...

  • ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK TERPIDANA

    KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

    Skripsi

    Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna

    Memperoleh Gelar Sarjana Starta Satu (S1)

    Dalam Hukum Pidana Islam

    Oleh :

    ASMARITA

    NIM: SHP.162153

    PEMBIMBING :

    Dr.ROBI’ATUL ADAWIYAH,M.HI

    NURAIDA FITRIHABI S.Ag.,M.Ag

    PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

    FAKULTAS SYARI’AH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

    JAMBI

    2020

  • ii

    PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR

    Yang bertanda tangan dibawah ini

    Nama : ASMARITA

    NIM : SHP 162153

    Jurusan Konsentrasi : Hukum Pidana Islam

    Fakultas : Syari’ah

    Alamat : Dusun Setiti RT.08/RW.04 Desa Simpang Sungai Duren

    Kec. Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi

    Menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi ini yang berjudul Analisis Yuridis

    Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi

    Manusia. Merupakan hasil karya pribadi saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam

    Negeri (UIN) sulthan thaha saifuddin jambi. Semua sumber yang saya gunakan

    dalam penulisan ini telah saya camtumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

    di Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    Apabila pernyataan ini tidak benar, maka peneliti siap

    mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hukum yang berlaku dan ketentuan

    Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, termasuk

    pencabutan gelar yang saya peroleh dari skripsi ini.

    Jambi, 2020

    Penulis

    ASMARITA

    SHP 162153

  • iii

    Pembimbing I : Dr.Robi’atul Adawiyah,M.HI

    Pembimbing II : Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag

    Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi

    Jl. Jambi- Muara Bulian KM. 16 Simp. Sei Duren

    Jaluko Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021

    Jambi, 2020

    Kepada Yth.

    Dekan Fakultas Syariah

    UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

    Di-

    JAMBI

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    Assalamualaikum wr wb.

    Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi

    saudari ASMARITA , SHP. 162153 yang berjudul:

    “Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam

    Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)”.

    Telah disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna

    melengkapi syarat-syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dalam jurusan

    Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi.

    Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi

    kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.

    Wassalamualaikum wr wb.

    Pembimbing I Pembimbing II

    Dr.Robi’atul Adawiyah,M.HI Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag

    NIP:19820110 20050 1 2004 NIP:19770915 20031 2 2004

  • iv

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana

    Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ”. telah diujikan pada Sidang

    Munaqasah Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada tanggal

    14 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh

    gelar Sarjana Satu (S.1) dalam Jurusan Hukum Pidana Islam.

    Jambi, 2020

    Mengesahkan,

    Dekan Fakultas Syariah

    Agus Salim, M.A.,M.I.R., Ph.D

    NIP: 197808172009011009

    Panitia Ujian:

    1. Ketua Sidang : Dr.Ayub Mursalin.S.Ag.,M.A (.....................) NIP. 19760607 20031 2 1005

    2. Sekretaris Sidang : Zarkani, S.Ag (.....................) NIP. 19760326 20021 2 1001

    3. Pembimbing I : Dr.Robi’atul Adawiyah,M.HI (.....................) NIP:19820110 20050 1 2004

    4. Pembimbing II : Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag (.....................) NIP:19770915 20031 2 2004

    5. Penguji I : Dr.Ruslan Abdul Ghani, M.H (.....................) NIP. 19650929 20050 1 1002

    6. Penguji II : Masburiyah, S.Ag.,M.Fil.I (.....................) NIP. 19720116 20000 3 2003

  • v

    PERSEMBAHAN

    Alhamdulillah, puji syukur saya panjarkan kehadiran Allah

    SWT karena sudah menghadirkan orang-orang yang sangat

    berati disekeliling saya. Yang selalu memberi semangat dan doa,

    sehingga skripsi saya ini dapat diselesaikan dengan baik.

    Dengan rahmat allah SWT skripsi ini saya persembahkan

    kepada orang-orang yang telah memberikan cinta,

    kasih,perhatian setra motivasi dalam menuntut ilmu.

    Kedua orang tua tercinta Ayahanda Herman Toher dan

    ibunda Rusma yang telah mendidikku dengan penuh kegigihan

    dan kesabaran, yang tak henti-hentinya menyelipkan namaku

    dalam setiap do’anya, berkat do’a dan dorongan motivasi beliau

    berdualah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih

    untuk semua yang ayah ibu berikan selama ini, harapan besarku

    semoga skripsi ini menjadi hadiah terindah bagi ayah dan ibu.

    Adik-adikku tersayang, Ahmad Muhammad Aftor dan

    Meilinda Purnama, yang selalu ada menberikan semangat dan

    mendoakan keberhasilanku. Walaupun tidak tumbuh bersamaan

    kami punya tujuan yang sama untuk kebahagiaan orang tua.

    Dan tak lupa pula untuk teman-teman hukum pidana yang

    telah berjuang bersama selama 3 tahun lebih yang memberikan

    semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir.

    Semoga silaturrahmi kita tetap terjaga sampai kapanpun

  • vi

    MOTTO

    Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di

    antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa

    (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan

    sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)

    dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).

  • vii

    ABSTRAK

    Dalam Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    disebutkan ada sejumlah hak-hak tertentu yang bisa dicabut negara ketika individu

    secara kuat telah melanggar hukum, salah satunya adalah hak memilih dan dipilih.

    Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHP, pencabutan hak hanya bisa berlaku selama lima

    tahun setelah terpidana selesai menjalani masa hukuman. Hak dipilih tidak dapat

    dicabut bila individu tersebut mendapatkan jabatan karena ditunjuk atau diangkat,

    maka pencabutan hak tersebut tidak berlaku. Maraknya pencabutan hak politik ini

    menuai pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra, pencabutan hak politik

    dinilai berlebihan karena hal tersebut merupakan hak dasar setiap manusia.

    Bahkan tidak sedikit yang menilai hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak

    asasi manusia (HAM). Sementara kelompok yang pro, seperti Komisi

    Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mendukung upaya tersebut dan berharap

    hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera

    yang lebih tegas, terutama bagi seorang pejabat publik yang cenderung

    menyelewengkan kewenangan yang diembannya.

    Permasalahan yang terjadi adalah Bagaimana penerapan pencabutan hak

    politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dan Apa permasalahan

    yang timbul dalam penerapan pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam

    perspektif hak asasi manusia. Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode

    penelitian yuridis normatif, yang mana berdasarkan buku-buku tentang tindak

    pidana korupsi, putusan Mahkamah Agung kasus tindak pidana korupsi, isu-isu

    yang berkembang dalam dunia politik terkait pencabutan hak politik koruptor, dan

    pendapat-pendapat para ahli hukum tentang pencabutan hak politik.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencabutan hak politik terpidana

    korupsi dalam perspektif hak asasi manusia berdasarkan beberapa kasus yang

    digunakan dalam skripsi ini yaitu Putusan Mahkamah Nomor 336 K/Pid.Sus/2015

    An.Akil Mochtar, putusan 537 K/Pid.Sus/2014 An. Irjen Djoko Susilo, putusan

    1195 K/Pid.Sus/2014 An. Luthfi Hasan Ishaaq, putusan 1261 K/Pid.Sus/2015 An.

    Anas Urbaningrum, dan 285 K/Pid.Sus/2015 An. Ratu Atut Chosiyah. Bahwa

    pencabutan hak politik yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi bukanlah suatu

    pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena mereka yang tertangkap korupsi

    rata-rata merupakan orang-orang dengan jabatan di eksekutif, legislatif, maupun

    yudikatif yang mendapatkan amanah untuk mengelola urusan publik dan institusi

    publik dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk memperkaya

    pribadi atau kelompok.

    Kata Kunci: Korupsi Politik, Pencabutan Hak Politik, Dasar Hukum

    Pencabutan Hak Politik.

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana dalam

    penyelesaian skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga

    dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa pula iringan shalawat

    serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

    Skripsi ini diberi judul “Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik

    Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ” merupakan suatu

    kajian hukum terhadap pencabutan hak politik yang dikaitkan dengan Hak Asasi

    Manusia dengan contoh beberapa kasus korupsi yang ada di Indonesia.

    Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan

    ilmu syariah dalam bagian hukum pidana dan juga memenuhi sebagian

    persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan

    Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah di Universitas Islam Negeri Sulthan

    Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia. Kemudian dalam penyelesaian skripsi ini,

    penulis akui tidak sedikitnya hambatan dan rintangan yang penulis temui baik

    dalam pengumpulan data maupun dalam penyusunannya. Dan berkat adanya

    bantuan dari berbagai pihak, terutama bantuan bimbingan yang diberikan oleh

    dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena

    itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih kepada semua

    pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung

    penyelesaian skripsi ini, terutama sekali kepada yang terhormat:

    1. Bapak Prof Dr. H. H Su’aidi Asy’ari, M. A, Ph.D sebagai Rektor Universitas

    Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

  • ix

    2. Ibu Dr. Rafiqah Ferawati, SE.,M.EI selaku Wakil Rektor 1, Bapak Dr. As’ad

    Isma’ M.Pd selaku Wakil Rektor II, dan Bapak Dr. Bahrul Ulum, MA selaku

    Wakil Rektor III Uin Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    3. Bapak Sayuti Una, S.Ag,. M.H sebagai Dekan Fakultas Syariah Universitas

    Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    4. Bapak Agus Salim, M.A.,M.I.R., Ph.D, sebagai Wakil Dekan Bidang

    Akademik, Bapak Ruslan Abdul Gani.,S.H., M.Hum, sebagai Wakil Dekan

    Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan, Bapak Dr. H. Ishaq,

    SH. M.Hum, sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.

    5. Ibu Dr.Robi’atul Adawiyah, M.HI, Sebagai Ketua Prodi Hukum Pidana Islam

    dan Bapak Devrian Ali Putra MA.Hk , Sekretaris Prodi Hukum Pidana Islam

    Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    6. Ibu Dr.Robi’atul Adawiyah, M.HI, sebagai Pembimbing I.

    7. Ibu Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag, sebagai Pembimbing II

    8. Bapak dan Ibu Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh Karyawan/Karyawati

    Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    9. Bapak dan Ibuk Karyawan/Karyawati Perpustakan Fakultas Syariah dan

    Perpustakan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudin Jambi.

    10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung

    maupun tidak langsung.

    Akhirnya kepada Allah jualah penulis memohon agar jerih payah

    Bapak/Ibu dan teman-teman semua menjadi amal shaleh bagi mereka semua dan

    mendapatkan ridha Allah SWT serta mendapatkan balasan yang setimpal di hari

  • x

    kemudian nantinya. Di samping itu dengan segala kerendahan hati penulis

    menyadari masih banyak terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan

    adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini,

    kepada Allah SWT kita memohon ampunan-Nya dan kepada manusia kita

    memohon kemanfaatannya, semoga amal kebajikan kita ini dinilai seimbang oleh

    Allah SWT.

    Jambi, 2020

    Penulis

    ASMARITA

    SHP 162153

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

    LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................ iii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................... iv

    MOTTO. .................................................................................................... v

    ABSTRAK. ................................................................................................ vi

    PERSEMBAHAN ..................................................................................... vii

    KATA PENGANTAR ............................................................................... viii

    DAFTAR ISI. ............................................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ................................................................. 8

    C. Batasan Masalah .................................................................... 8

    D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8

    E. Karangka Teori Dan Konseptual ........................................... 10

    F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 16

    G. Metode Penelitian .................................................................. 18

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

    A. Pengertian Korupsi ................................................................ 24

    B. Faktor Penyebab Korupsi ....................................................... 27

    C. Dampak Korupsi .................................................................... 32

    BAB III REFORMASI PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI INDONESIA

    A. Sejarah Hukum Korupsi Di Indonesia .................................. 38

    B. Upaya Pemerintah Terhadap Penegakan Hukum Korupsi

    Di Indonesia .......................................................................... 41

    C. Implementasi Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi

    Di Indonesia .......................................................................... 43

    BAB IV ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK

    TERPIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK

    ASASI MANUSIA

    A. Bagaimana penerapan pencabutan hak politik terhadap

    pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia ........................... 47

  • xii

    B. Apa permasalahan yang timbul dalam penerapan

    pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam perspektif

    hak asasi manusia ................................................................... 66

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ............................................................................ 79

    B. Saran ...................................................................................... 80

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 81

    LAMPIRAN

    CURRICULUM VITAE

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman

    VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca

    kemerdekaan. Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan

    korupsi belum juga ditangani dengan baik. Berbagai peraturan dan reformasi

    perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang

    memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justru terjadi setelah masa

    reformasi.1

    Korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

    memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain,

    secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu

    keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain. Secara umum, korupsi dipahami

    sebagai suatu tindakan pejabat public yang menyelewengkan kewenangan untuk

    kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian

    Negara. Selain itu, korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan

    dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi.2 Dalam hukum Islam disyariatkan

    Allah SWT demi kemaslahatan manusia yang diwujudkan dalam syariat hukum

    adalah harta yang terpelihara. Karena itulah, larangan merampas, mencuri,

    mencopet dan lainnya dari kepemilikan harta yang tidak sah. Larangan

    1Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dalam https:// wawasanfadhitya . blogspot .

    com. Diakses 21/10/19 20:37 WIB. 2 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).

    Hlm. 1-5. 3 Korupsi dalam pandangan islam menurut ulama fiqh, https://dalamislam.com/hukum-

  • 2

    memakainya sebagai taruhan judi dan juga memberikan pada orang lain yang

    diyakini akan dipakai untuk perbuatan yang maksiat. Ulama fikih juga sepaham

    dan berkata jika perbuatan korupsi merupakan haram dan juga terlarang sebab

    menjadi hal yang bertentangan dengan maqasid asy-syariah.3 Berdasarkan firman

    Allah didalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 188 yaitu :

    “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara

    kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu

    itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda

    orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-

    Baqarah: 188).

    Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi

    kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara sehingga memerlukan penanganan

    yang luar biasa.4 Di Indonesia kejahatan korupsi sudah di golongkan sebagai

    kejahatan serius atau "Serious Crime", dasarnya konsideran adalah UU No. 20

    tahun 2001 tentang perubahan UU No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang

    terjadi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-

    hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan juga bertentangan dengan

    tujuan negara yaitu mensejahterakan kehidupan Bangsa yang terdapat pada

    pembukaan UUD NKRI 1945 pada Alinea ke IV, sehingga tindak pidana korupsi

    3 Korupsi dalam pandangan islam menurut ulama fiqh, https://dalamislam.com/hukum-

    islam/hukum-korupsi-dalam-islam.html. Diakses 07 Mei 2019 pada 11:09 WIB. 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak

    Pidana Korupsi.

    https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-korupsi-dalam-islam.html.%20Diakses%2007%20Mei%202019https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-korupsi-dalam-islam.html.%20Diakses%2007%20Mei%202019

  • 3

    digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasanya harus dilakukan secara luar

    biasa.5

    Pidana tambahan yang dijatuhkan pada terpidana korupsi dapat berupa

    pencabutan hak. Dalam Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (KUHP) disebutkan ada sejumlah hak-hak tertentu yang bisa dicabut negara

    ketika individu secara kuat telah melanggar hukum, salah satunya adalah hak

    memilih dan dipilih. Pencabutan hak politik merupakan tambahan atas hukuman

    yang sudah ada, adanya vonis tambahan tersebut karena Hakim memandang

    terpidana telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik yang

    menimbulkan kesengsaraan yang berdampak di dalam masyarakat.Menurut Pasal

    38 ayat (1) KUHP, pencabutan hak hanya bisa berlaku selama lima tahun setelah

    terpidana selesai menjalani masa hukuman. Hakim sendiri berhak menentukan

    lamanya pencabutan hak tersebut. Hak dipilih tidak dapat dicabut bila individu

    tersebut mendapatkan jabatan karena ditunjuk atau diangkat, maka pencabutan

    hak tersebut tidak berlaku. 6

    Pencabutan hak politik memiliki dasar dari Pasal 10 KUHP menyebutkan

    pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu,

    dan pengumuman putusan hakim. Sebagai pidana tambahan pencabutan hak

    tertentu berarti hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Menurut

    Andi Hamzah hukuman ini tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal

    5Pencabutan hak politik pada terpidana tindak pidana korupsi

    https://www.kompasiana.com diakses pada 4 Mei 2020 21:30 wib. 6 Pencabutan hak politik warga negara bagaimana aturannya https://www.idntimes.com.

    diakses pada 21 juli 2019 14:32 WIB.

    https://www.kompasiana.com/https://www.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/pencabutan-hak-politik-warga-negara-bagaimana-aturannya

  • 4

    tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu, pidana tambahan ini bersifat

    fakultatif dalam arti dapat dijatuhkan tetapi tidak harus.7

    Dalam konteks narapidana yang dicabut hak politiknya oleh hakim dapat

    dihidupkan kembali hak politiknya. Hal tersebut diperkuat dengan keputusan

    Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2009. Dalam konteks ini, MK pernah

    mengeluarkan putusan No 4/PUUVII/ 2009 yang menetapkan bahwa hukuman

    pencabutan hak politik dianggap konstitusional, tetapi dengan batasan-batasan

    tertentu. Misalnya, pencabutan hak politik hanya berlaku sampai lima tahun sejak

    terpidana selesai menjalankan hukumannya, serta jabatan yang boleh diduduki itu

    hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan, bukan jabatan yang

    diraih karena pengangkatan atau penunjukan.8

    Adapun penerapan pencabutan hak politik terpidana korupsi yang penulis

    ambil yakni Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta dengan putusan kasasi MA

    terhadap terpidana Irjen Polisi Djoko Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM

    di Korlantas Polri. Djoko juga dijatuhi pidana 18 tahun penjara dari sebelumnya

    10 tahun penjara, denda Rp1 miliar, hukuman tambahan berupa: pembayaran uang

    pengganti sebesar Rp 32 miliar serta pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih

    dan dipilih dalam jabatan publik. Kedua, putusan kasasi MA terhadap Luthfi

    Hasan Ishaaq dengan mencabut hak politiknya untuk dipilih dalam jabatan publik

    lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dalam kasus impor

    daging sapi di Kementerian Pertanian. Majelis Hakim memperberat hukuman

    7 Andi Hamzah, " Asas-Asas Hukum Pidana,edisi revisi." (Jakarta: Rineka Cipta,2008).

    Hal. 202. 8 https://tirto.id/ketika-pencabutan-hak-politik-tak-mematikan-karier-politisi-cnys, diakses

    pada 21 juli 2019 16:13.

    https://tirto.id/ketika-pencabutan-hak-politik-tak-mematikan-karier-politisi-cnys

  • 5

    mantan Presiden PKS itu, yang semula 16 tahun penjara menjadi 18 tahun

    penjara, serta denda Rp 1 miliar dengan penjara pengganti (subsidair) 1 tahun

    penjara jika tidak membayar pidana denda.

    Dalam kasus lainnya yaitu Akil Mochtar yang diputus dengan pidana

    penjara seumur hidup terkait kasus penerima suap untuk dua kasus sengketa

    pilkada setelah aksi Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (2/10) malam di

    beberapa tempat di Jakarta dan Banten. Akil ditetapkan sebagai tersangka terkait

    sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah,

    dan Lebak Banten dalam penangkapan terhadap 13 orang yang kemudian enam

    diantaranya menjadi tersangka yakni Akil Mochtar, Chairun Nisa, Hambit Bintih,

    Cornelis Nhalau, Susi Tur Handayani, dan Tubagus Cherry Wardana. Sidang

    putusan tersebut sampai pada tingkat kasasi yang mana putusan akhir yaitu Akil

    dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Dengan ketentuan tersebut, maka hak

    politik untuk dipilih yang ada pada Akil Mochtar secara otomatis tercabut dengan

    sendirinya.9 Berkaitan dengan kasus sebelumnya Mahkamah Agung (MA)

    akhirnya menerbitkan putusan terkait kasus yang menjerat mantan Gubernur

    Banten, Ratu Atut Chosiyah. Kasasinya ditolak dan Atut diganjar vonis 7 tahun

    penjara. Putusan ini jauh lebih berat ketimbang vonis majelis hakim Tipikor. Ratu

    Atut juga didenda Rp200 juta dan diharuskan menjalani tambahan kurungan bui 6

    bulan jika denda tak bisa dipenuhi. Hak politik Atut untuk kembali dipilih jabatan

    publik juga dicabut. Putusan MA ini juga diberatkan dengan alasan Ratu Atut

    sebagai kepala daerah, tak memberi contoh mendukung program pemerintah yang

    9 Kronlogi penangkapan Akil Mochtar, dalam https://www.republika.co.id/ berita/

    nasional/ hukum, diakses pada 21 juli 2019 16:32 WIB.

    http://news.okezone.com/read/2014/09/01/339/1032714/ratu-atut-divonis-4-tahun-penjarahttps://www.republika.co.id/%20berita/%20nasional/%20hukumhttps://www.republika.co.id/%20berita/%20nasional/%20hukum

  • 6

    bersih dari KKN. Korupsi Atut juga mencederai lembaga peradilan Mahkamah

    Konstitusi. Ratu Atut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

    pidana korupsi secara bersama-sama dalam suap Pilkada Lebak, Banten.10

    Kemudian putusan kasasi MA Anas Urbaningrum terbukti terlibat dalam

    kasus korupsi proyek Hambalang . Dirinya mendapat vonis kurungan 14 tahun

    penjara serta denda sebesar Rp 5 miliar. Selain itu, Anas juga diwajibkan

    membayar uang pengganti Rp57 miliar yang telah digunakannya.Ternyata,

    hukumannya tak sampai disitu, Mahkamah Agung juga mencabut hak politiknya

    untuk dipilih dalam jabatan publik11

    . Dan yang terjadi di Jambi pada waktu lalu

    yaitu Gubernur Jambi periode 2016 s.d. 2021 nonaktif Zumi Zola

    Zulkifli menerima divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3

    bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

    Jakarta. Dalam putusannya, Zumi dinilai terbukti menerima gratifikasi dan

    memberi suap kepada anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 terkait

    pengesahan APBD Tahun Anggaran 2017 dan 2018. Terdakwa Zumi

    Zola terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

    korupsi secara bersama-sama. Majelis Hakim juga menjatuhkan tambahan pidana

    untuk Zumi berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5

    tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.12

    10

    Mahkamah Agung perberat hukuman dan cabut hak politik Ratu Atut Chosiyah pada

    sidang kasasi, dalam https://nasional.okezone.com. Diakses pada 23 desember 2019 11:32. 11

    Para tokoh yang dicabut hak politiknya, salah satunya yaitu Anas Urbaningrum terkait

    kasus proyek Hambalang, dalam https://nasional.okezone.com. Diakses pada 18 desember 2019

    11:42 WIB. 12

    Zumi Zola terbukti korupsi terkait pengesahan R-APBD JAMBI tahun anggaran 2017-

    2018 yang dijatuhi vonis 6 tahun penjara, denda Rp.500 juta dan subsider 3 bulan penjara , dalam

    https://www.hukumonline.com. Diakses pada 18 desember 2019 12:45 WIB.

    https://nasional.okezone.com/https://nasional.okezone.com/https://www.hukumonline.com/

  • 7

    Maraknya pencabutan hak politik ini menuai pro dan kontra. Bagi

    kelompok yang kontra, pencabutan hak politik dinilai berlebihan karena hal

    tersebut merupakan hak dasar setiap manusia. Bahkan tidak sedikit yang menilai

    hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Sementara

    kelompok yang pro, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru

    mendukung upaya tersebut. Komisi antirasuah berharap, hukuman tambahan

    berupa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera yang lebih tegas,

    terutama bagi seorang pejabat publik yang cenderung menyelewengkan

    kewenangan yang diembannya13

    . Beberapa kalangan yang kontra atau yang tidak

    setuju terhadap dijatuhkannya pencabutan hak pilih aktif dan pasif kepada

    terpidana korupsi, bagi mereka pencabutan hak politik adalah pelanggaran HAM

    yang telah diatur secara konstitusional. Hal itu masih dapat terbantahkan, sebab

    setiap hukuman atau pemidanaan pada dasarnya memang adalah pelanggaran

    HAM, tetapi pelanggarannya diperbolehkan, sepanjang berdasarkan Undang-

    undang.14

    Berdasarkan fenomena dan keadaan tersebut membuat penulis tertarik

    untuk melakukan penelitian dengan judul: ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN

    HAK POLITIK TERPIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI

    MANUSIA.

    13

    Pencabutan hak politik tidak mematikan karier politisi, dalam https://tirto.id. Diakses

    pada 18 desember 2019 10:18 WIB. 14

    Pencabutan hak politik bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dalam

    http://hukum.studentjournal.ub.ac.id. Diakses pada 24 oktober 2019 11: 56 WIB.

    https://tirto.id/http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/

  • 8

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan di atas, maka penulis

    membuat rumusan masalah sebagai berikut :

    1. Bagaimana penerapan pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana

    korupsi di Indonesia ?

    2. Apa permasalahan yang timbul dalam penerapan pencabutan hak politik

    terpidana korupsi dalam perspektif hak asasi manusia ?

    C. Batasan Masalah

    Pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagaimana yang saya uraikan

    dalam latar belakang diatas untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan

    ini. Penulis membatasinya pada analisis yuridis pencabutan hak politik terpidana

    korupsi dalam perspektif hukum hak asasi manusia (HAM) dengan mengambil

    contoh Putusan Mahkamah Nomor 336 K/Pid.Sus/2015 An.Akil Mochtar, putusan

    537 K/Pid.Sus/2014 An. Irjen Djoko Susilo, putusan 1195 K/Pid.Sus/2014 An.

    Luthfi Hasan Ishaaq, putusan 1261 K/Pid.Sus/2015 An. Anas Urbaningrum, dan

    285 K/Pid.Sus/2015 An. Ratu Atut Chosiyah .

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    a. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai

    oleh peneliti. Tujuan penelitian ini penulis klasifikasikan kedalam dua sifat,

    pertama bersifat umum yang terdiri:

  • 9

    a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pencabutan hak politik terhadap

    pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.

    b. Untuk mengetahui apa permasalahan yang timbul dalam penerapan

    pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam perspektif hak asasi

    manusia.

    Dan sifat kedua sifat khusus, dari penelitian yang penulis lakukan, ini

    merupakan syarat untuk menyelesaikan study srata satu ( S1) pada Jurusan

    Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.

    b. Kegunaan Penelitian

    Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah:

    a. Secara akademis dapat menambah wawasan bagi penulis khususnya dan

    kepada pembaca umumnya, dalam hal ini yang berkenaan dengan

    pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam perspektif hukum hak asasi

    manusia (HAM).

    b. Bagi penulis, hasil penulisan ini dapat melengkapi salah satu syarat guna

    memperoleh gelar sarjana stara satu (S1) pada Hukum Pidana Islam

    Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi dan tulisan ini diharapkan bisa

    menambah perbendaharaan referensi kepustakaan di Fakultas Syari’ah dan

    bagi mahasiswa yang mengkaji permasalahan tentang pencabutan terpidana

    korupsi dalam perspektif hukum hak asasi manusia (HAM).

    Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna

    sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait topik

    penelitian penulis.

  • 10

    E. Kerangka Teori dan Konseptual

    a. Kerangka Teori

    a) Efektivitas hukum

    Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto15

    adalah bahwa

    efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

    1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

    2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

    menerapkan hukum.

    3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

    4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

    atau diterapkan.

    5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

    didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

    Apabila semua faktor itu telah terpenuhi maka keadilan dalam

    masyarakat dapat dirasakan sepenuhnya. Karena seperti diketahui bahwa

    keadilan adalah tujuan utama dari penerapan hukum. Dengan demikian

    keadilan hukum itu bisa diterima oleh masyarakat umum sehingga efektivitas

    hukum dapat terwujud.

    b) Penegakan Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan

    Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproses

    di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat

    15

    Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT.

    Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.

  • 11

    dengan warganyalah yang dapat menentukan luas daya cakup hukum,

    maupun batas kegunaannya.16

    Penegakan hukum terletak pada kegiatan

    menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah

    yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai akhir

    untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

    hidup.17

    Penjatuhan pidana kepada orang yang dianggap bersalah menurut

    hukum pidana, secara garis besar dapat bertolak dari perbuatan terpidana di

    masa lalu dan/ atau untuk kepentingan di masa yang akan datang.

    Pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut :

    a. Pembalasan, pengimbalan atau retribusi/absolut.

    b. Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat.18

    Teori absolut menjelaskan sebagai berikut :

    a. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si

    korban, baik perasaan adil baginya, temannya dan keluarganya serta

    masyarakat. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat

    dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe ini

    disebut dengan vindicative.

    b. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku

    kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang

    merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara

    tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe ini disebut fairness.

    16

    Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cetakan Ke Dua Puluh Dua,

    (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm 143. 17

    Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan

    Kesepuluh (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm 5. 18

    Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 81.

  • 12

    c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara

    apa yang disebut dengan the grafity of the offense dengan pidana yang

    dijatuhkan. Tipe absolut ini disebut dengan proporsionality. Termasuk ke

    dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau

    dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang

    dilakukan dengan sengaja ataupun dengan lalai.19

    Tujuan dari ajaran-ajaran absolut tidaklah semata-mata pembalasan.

    Maksud dan tujuannya kadang juga lebih dari ideal, misalnya berkenaan

    dengan mendemonstrasikan keberlakuan hukum terhadap mereka yang

    melanggarnya atau mengembalikan keseimbangan kekuatan-kekuatan sosial

    yang terganggu atau penderitaan korban maupun warga masyarakat

    lainnya.20

    Teori yang selanjutnya adalah teori relatif. Secara prinsip teori ini

    mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya

    harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari

    kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta

    mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari

    kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah

    dilakukan maupun lainnya.21

    Teori terakhir yang sering digunakan adalah teori gabungan. Secara

    teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang

    19

    Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung:

    Mandar Maju, 1995), hlm. 83-84. 20

    Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm 601. 21

    E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm 185.

  • 13

    terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Di samping mengakui

    bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan

    pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa

    kembali ke masyarakat. Munculnya teori gabungan pada dasarnya

    merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori

    absolut maupun teori absolut. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang

    tidak hanya berioentasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu,

    tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu

    sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan

    masyarakat.22

    c) Hak Asasi Manusia

    Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata

    karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan

    kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan

    semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.23

    Hak Asasi

    Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan

    manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-

    Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

    hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

    harkat dan martabat manusia.24

    22

    Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,

    2013), hlm 191-192. 23

    Jack Donnely, Universal Human Right in Theory and Practise, dikutip Rhona K.M.

    Smith et. al., Cetakan Pertama (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm 11. 24

    Tim Redaksi Media Center, Pengadilan Hak Asasi Manusia UU RI No. 26 Th 2000 &

    Hak Asasi Manusia UU RI No. 39 Th 1999, (Surabaya: Media Center, 2007), hlm 76.

  • 14

    Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, semua orang

    dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.

    Mereka dikaruniai akal dan budi dan kehendaknya bergaul satu sama lain

    dalam persaudaraan.25

    Hak-hak yang diatur dan dijamin dalam Undang-

    undang Nomor 39 Tahun 1999, antara lain hak hidup, hak berkeluarga dan

    melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh

    keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas

    kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan serta hak

    anak. Prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat

    fundamental dalam hukum pidana materiil ialah asas legalitas dan asas

    culpabilitas.26

    b. Konseptual

    1. Korupsi

    Dilihat dari sudut terminology, istilah korupsi berasal dari kata

    “corruption”dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebocoran, dan

    dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaaan atau perbuatan yang busuk.

    Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata

    dalam bahasa berbagai Negara, termasuk bahasa Indonesia.27

    2. Hak politik

    Kebebasan dari hak politik dan sipil mencakup hak-hak yang

    memungkinkan warga negara ikut berpartisipasi dalam kehidupan politik.

    25

    Tim Redaksi Media Center, ibid, hlm 181. 26

    Barda Nawawi Arief, op-cit, hlm 56. 27

    Elwi danil, Korupsi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo persada,2011). Hlm 3.

  • 15

    Hak politik mencakup hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan

    dan memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkala dengan hak

    suara yang universal dan setara. Hak-hak politik berkembang sejalan dengan

    tumbuhnya sistem Negara bangsa yang dilembagakan ke dalam sistem

    parlementer. Hak-hak politik yang berkaitan dengan proses pengambilan

    keputusan yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi dengan memberikan

    hak pilih pada saat pemilihan berlangsung.

    3. Pencabutan hak politik

    Hak Asasi manusia yang tercakup dalam Konvenan bersifat dasar dan

    luas ruang lingkupnya; pengecualian yang ada hanyalah sebatas hal-hal

    yang diizinkan Konvenan itu sendiri. Lebih jauh lagi, hak tertentu tidak

    pernah boleh dibekukan atau dibatasi walaupun dalam keadaan darurat.

    Tidak satupun negara pihak dapat mengabaikan kewajibannya untuk

    melindungi hak untuk hidup, menjamin kebebasan dari penganiayaan,

    kebebasan dari perbudakan dan perhambaan, perlindungan dari pemenjaraan

    atas hutang piutang, kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut, hak

    untuk diakui statusnya sebagai pribadi di depan hukum serta kebebasan

    untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama. Pencabutan hak memilih dan

    dipilih dalam jabatan publik dapat dijatuhkan pada terpidana yang memiliki

    jabatan atau posisi politik yang dimana terpidana tersebut melakukan tindak

    pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan yang

    ia miliki.

  • 16

    F. Tinjauan Pustaka

    Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap beberapa literature

    terdahulu, maka peneliti menemukan adanya beberapa literature yang memiliki

    relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan. Adapun sebagai berikut :

    a. Tesis oleh Rangga Alfauzi,” Penghapusan Hak Politik Terpidana Korupsi

    Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ( Analisis Kasus Putusan Irjen. Djoko

    Susilo Dan Luthfi Hasan Ishaaq )”28

    . Dalam penulisan ini penulis membuat

    dalam bentuk tesis dengan metode penelitian empiris dan normative yang mana

    contoh kasus yang diambil yaitu irjen. Djoko susilo dan luthfi hasan ishaaq

    dengan riset yang diakukan di mahkamah agung RI pada tahun 2015.

    Perbandingan dengan penelitian yang akan penulis buat yaitu “ Analisis

    Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum

    Hak Asasi Manusia (HAM)”. Dengan mengambil contoh kasus yaitu kasus

    mantan ketua mahkamah konstitusi Akil Mochtar yang dijatuhi pidana penjara

    seumur hidup, irjen. Djoko susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, Anas Urbaningrum

    dan Ratu atut.

    b. Jurnal Ilmiah oleh Yosy Dewi Mahayanthi ” Dasar Pertimbangan Hakim

    Dalam Menjatuhkan Putusan Pencabutan Hak Pilih Aktif Dan Pasif Terhadap

    Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 29

    .

    Dalam penulisan jurnal ini penulis memaparkan pertimbangan hakim dalam

    28

    Rangga Alfauzi,” Penghapusan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak

    Asasi Manusia ( Analisis Kasus Putusan Irjen. Djoko Susilo Dan Luthfi Hasan Ishaaq ), 2015. 29

    Yosy Dewi Mahayanthi ” Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

    Pencabutan Hak Pilih Aktif Dan Pasif Terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam

    Perspektif Hak Asasi Manusia”. 2015.

  • 17

    menetapkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih aktif dan hak pilih

    pasif terhadap terpidana korupsi yang disetujui pada April 2015 dengan

    mengambil contoh kasus yaitu Luthfi Hasan Ishaaq dan irjen. Djoko Susilo

    yang tertuang dalam Putusan 14/PID/TPK/2014/PT.DKI. Perbandingan dengan

    penelitian yang akan penulis buat yaitu “ Analisis Yuridis Pencabutan Hak

    Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia

    (HAM)”. Yang mana dalam hal ini penulis mengambil kasus yaitu kasus Akil

    Mochtar mantan Ketua Mahkamah, irjen. Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq,

    Anas Urbaningrum dan Ratu Atut.

    c. Skripsi oleh Haliva Muharosa “Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak

    Politik bagi Terpidana Korupsi di Indonesia”30

    . Dalam skripsi ini penulis

    meneliti tentang urgensi terhadap pencabutan hak politik bagi terpidana

    korupsi dan praktek penjatuhan pidana tambahan berupa penjatuhan hak politik

    bagi terpidana korupsi dalam putusan pengadilan di Indonesia dengan

    mengambil contoh kasus yaitu Ir.Djoko Susilo kasus pengadaan Driving

    Simulator Uji Klinik SIM. Perbandingan dengan penelitian yang akan penulis

    buat yaitu “ Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam

    Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)”. Berbeda dengan skripsi oleh

    Haliva, dalam penulisan ini penulis tidak mengkaji tentang praktek pencabutan

    hak politik yang terjadi di Indonesia bagi terpidana koruptor namun lebih

    kepada bagaimana pencabutan hak politik tersebut jika dipandang dari segi

    hukum hak asasi manusia.

    30

    Haliva Muharosa “Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak Politik bagi Terpidana

    Korupsi di Indonesia”. 2016.

  • 18

    d. Skripsi oleh Mucharom Tunggal Jati “Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku

    Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”31

    . Dalam

    penulisan skripsi ini penulis mengkaji bagaimana ketentuan dari hukum positif

    dan hukum islam terhadap pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana

    korupsi dan apa aspek persamaan dan perbedaan dari segi keduanya.

    Perbandingan dari penelitian yang akan dibuat yaitu “ Analisis Yuridis

    Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Hak

    Asasi Manusia (HAM)”. Dalam penelitian ini penulis bukan hanya melihat dari

    segi hukum postif namun lebih kepada segi hukum hak asasi manusia terkait

    tentang pencabutan hak politik untuk dipilih terhadap pelaku tindak pidana

    korupsi yang terjadi di Indonesia.

    G. Metode Penelitian

    Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk

    mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.32

    Metode penelitian atau

    metode ilmiah adalah serangkaian prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh

    dalam rangka untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.33

    Berdasarkan

    hal ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok

    dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu,

    31

    Mucharom Tunggal Jati “Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku Tindak Pidana

    Korupsi Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”. 2018. 32

    Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuatitatif. Kualitatif, dan R dan D

    (Bandung : Alpabeta, 2011), hlm. 3 33

    Suryana, Metode Penelitian, Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bahan

    Ajar Perkuliahan, (Jakarta : Universitas Pendidikan Indinesia, 2010), hlm. 17

  • 19

    penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

    metodologis dan konsisten.34

    1. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan

    penelitian yuridis normatif, dengan melakukan identifikasi terhadap isu-isu

    hukum yang berkembang dalam masyarakat, mengkaji penerapan-penerapan

    hukum (normatif) dalam masyarakat,mengkaji pendapat para ahli-ahli hukum

    terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil

    penulisan kemudian ditinjau aspek praktis dan aspek akademis keilmuan

    hukumnya dalam penulisan hukumnya.

    2. Jenis penelitian

    Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisa data sekunder

    yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai

    perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-

    undangan yang mengatur mengenai permasalahan penelitian ini. Jadi penelitian

    ini dipahami sebagai penelitian keperpustakaan, yaitu penelitian terhadap data

    sekunder.

    3. Jenis dan sumber data

    Dalam upaya merumuskan skripsi ini, penulis melakukan penelitian

    keperpustakaan (library research), maka sumber data atau informasi yang

    menjadi data baku penulis, untuk diolah merupakan data yang berbentuk data

    primer, data sekunder, dan data tersier.

    34

    Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 17.

  • 20

    a. Data primer

    Data primer adalah data pokok yang diperlukan dalam penelitian,

    yang diperoleh langsung dari sumbernya atau keseluruhan data hasil

    penelitian yang diperoleh dilapangan.35

    Sumber utama adalah al-Quran dan

    Undang-undang atau hukum pidana yang berkaitan dengan judul penelitian.

    Bahan hukum primer di dalam penelitian ini terdiri dari:

    1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

    1945;

    2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

    3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

    yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme;

    4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi;

    5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi;

    6) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2011 tentang Pengadilan Tindak

    Pidana Korupsi;

    7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan

    lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

    8) Putusan Mahkamah Nomor 336 K/Pid.Sus/2015 An.Akil Mochtar,

    putusan 537 K/Pid.Sus/2014 An. Irjen Djoko Susilo, putusan 1195

    35

    Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skrifsi Edisi Revisi (Jambi: Syariah Press, 2012),

    hlm.45

  • 21

    K/Pid.Sus/2014 An. Luthfi Hasan Ishaaq, putusan 1261 K/Pid.Sus/2015

    An. Anas Urbaningrum, dan 285 K/Pid.Sus/2015 An. Ratu Atut

    Chosiyah.

    b. Data sekunder

    Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung

    yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.36

    Data

    penunjangnya ialah data-data yang diambil dari sumber-sumber yang ada

    relevansinya dengan pembahasannya yang berupa buku-buku, majalah,

    jurnal, makalah, internet dan lainnya.

    c. Data tertier

    Data tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan lebih

    lanjut terhadap bahan-bahan primer dan sekunder yaitu berupa kamus

    hukum, kamus bahasa indoesia, kamus bahasa inggris, dan kamus-kamus

    yang lain.

    4. Metode pengumpulan data

    Metode dokumentasi ialah metode yang digunakan penulis untuk

    menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,

    peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, wawancara dan sebagainya.

    Metode dokumentasi ini digunakan oleh penulis untuk memperoleh data-data

    dan informasi serta pengetahuan keperpustakaan yang berkaitan dengan materi

    penelitian ini yaitu tentang pencabutan hak politik terhadap narapidana korupsi

    dalam perspektif hak asasi manusia (HAM).

    36

    Ibid, hlm.46

  • 22

    5. Metode analisi data

    Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data-data tersebut dianalisis.

    Untuk mengadakan penarikan kesimpulan dari suatu penelitian, harus

    berdasarkan pada hasil pengolahan dan harus selaras dengan jenis data-data

    yang ada. Dalam metode analis data ini penulis menggunakan cara yaitu analis

    data kualitatif, oleh karenanya penelitian yang dilakukan adalah penulisan

    kualitatif.37

    6. Sistematika penulisan

    Penyusunan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, antara babnya ada yang

    terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab mambahas permasalahan

    tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dangan bab yang

    berikutnya. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan

    jelas mengenai pembahasan skripsi ini menyusun menggunakan sistematika

    dengan membagi pembahasan sebangai berikut:

    BAB I Merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

    masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan peneitian,

    kerangka teori, tinjauan pustaka.metode penelitian, pendekatan

    penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,

    metode analisis data, sistematika penulisan.

    BAB II Tinjauan umum tentang korupsi.

    BAB III Reformasi penegakan hukum korupsi di Indonesia.

    37

    Soejarno, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T Rineka Cipta, 1997), hlm.23.

  • 23

    BAB IV Menguraikan pembahasan mengenai penerapan pencabutan hak

    politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dan

    permasalahan yang timbul dalam penerapan pencabutan hak politik

    terpidana korupsi dalam perspektif hak asasi manusia.

    BAB V Penutup, pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dari bab-bab

    sebelumnya dari kesimpulan yang diperoleh tersebut penulis

    memberikan saran sebagai refleksi bagi semua pihak baik yang

    terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung.

  • 24

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG KORUPSI

    A. PENGERTIAN KORUPSI

    Dalam ensiklopedia indonesai disebut “ korupsi” (dari bahasa latin:

    corruption= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-

    badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

    pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

    Korupsi merupakan suatu perbuatan atau perilaku menyimpang manusia

    dan interaksi sosial yang dapat mengancam dan membahayakan masyarakat dan

    negara. Korupsi itu merupakan sebuah suatu kejahatan yang berat yang harus

    diberantassampai ke akar – akarnya demi tegaknya tatanan kehidupan berbangsa

    dan bernegara. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio atau corruptus.

    Corruptio berasal dari kata asal corrumpere, kemudian dari bahasa Latin itu turun

    ke banyak bahasa seperti di Inggris corruption,corrupt, Prancis Corruption,

    BelandaCorruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia

    yaitu korupsi38

    .

    Treisman39

    mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan sumber daya

    publik untuk kepentingan pribadi. Jain40

    menganggap korupsi sebagai tindakan

    menggunakan kekuatan jabatan publik untuk keuntungan pribadi melalui cara

    38

    Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

    Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Hlm. 4. 39

    Treisman, D. (2000). “The Causes of Corruption: a cross-national study”, Journal of

    Public Economics 76: 399. 40

    Jain, Anil Kumar. (2001). “Corruption: A Review”, Journal of Economic Surveys 15:

    71.

  • 25

    yang bertentangan dengan rules of the game. Jadi secara umum definisi korupsi

    menurut para ahli adalah penyalahgunaan sumber daya dan jabatan publik untuk

    kepentingan pribadi.

    Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang

    dimaksud dengan corruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang

    merugikan Negara. Baharudin lopa mengutip pendapat dari david m. chalmers,

    menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut

    masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan

    yang menyangkut bidang kepentingan umum.41

    Secara harfiah korupsi merupakan

    sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi

    memang akan menemukan kenyataan semacam korupsi menyangkut segi-segi

    moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur

    pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor

    ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dalam kedinasan dibawah

    kekuatan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan

    bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

    1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan ( uang Negara atau perusahaan dan

    sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

    2. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai uang atau barang yang diberikan

    kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

    41

    Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua) (Jakarta, Sinar Grafika ,2007)

    hlm.8-9.

  • 26

    Baharudin Lopa dalam bukunya kejahatan korupsi dan penegakan hukum

    membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 bentuk, yaitu sebagai berikut42

    :

    a. Korupsi yang bermotif terselebung

    Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara

    tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh:

    seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan menerima si pemberi

    suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatu jabatan. Namun dalam

    kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak mempedulikan janjinya

    kepada orang yang memberi suap tersebut. Yang pokok adalah mendapatkan

    uang tersebut.

    b. Korupsi yang bermotif ganda

    Yaitu seorang yang melakuka korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya

    bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni

    kepentingan politik. Contoh: seorang yang membujuk dan menyogok seorang

    pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya, pejabat itu dalam

    mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu,

    meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah

    fasilitas itu akan memberikan hasil padanya.

    Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud tindak pidana

    korupsi adalah segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara dan

    menghambat pembangunan nasional. Namun karena korupsi yang terjadi telah

    42

    Ibid, Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), hlm.10.

  • 27

    meluas dampaknya, maka menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

    Atas UU Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud tindak pidana korupsi tidak

    hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran

    terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu

    menurut UU Anti Korupsi, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai

    kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dari sekian

    banyak definisi korupsi yang ada, definisi yang sering digunakan sebagai acuan

    dalam studi korupsi lintas negara adalah definisi korupsi menurut Transparency

    International. Menurut Transparency International, korupsi merupakan

    penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi (the

    abuse of entrusted power for private gain)43

    .

    B. FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

    Kondisi yang mendukung munculnya korupsi 44

    :

    1. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

    2. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari

    pendanaan politik yang normal.

    3. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

    4. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman

    lama".

    5. Lemahnya ketertiban hukum.

    6. Lemahnya profesi hukum.

    43

    https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-

    Korupsi.pdf. Accessed 23 Nov. 18. Hlm. 5-6 44

    https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi Diakses 28 Desember 2019 15:23 WIB.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Transparansi_(politik)https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ketertiban_hukum&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Profesi_hukum&action=edit&redlink=1https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi

  • 28

    7. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

    8. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

    Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia

    disebabkan karena faktor-faktor, yaitu45

    :

    1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan

    kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini adalah faktor yang

    paling menonjol, dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia;

    2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah berlakunya

    KUHP di Indonesia, menyalahgunakan kekuasaan oleh pejabat untuk

    menguntungkan diri sendiri memang telah diperhitungkan secara khusus oleh

    Pemerintah Belanda sewaktu disusun WvS untuk Indonesia. Hal ini nyata

    dengan disisipkan Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP Indonesia;

    3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang

    efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam arti

    bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan korupsi.

    Sering dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin besar pula

    kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;

    4. Modernisasi mengembangkan korupsi karena membawa perubahan nilai yang

    dasar dalam masyarakat , membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan

    baru, membawa perubahan-perubahan yang akibatnya dalam bidang kegiatan

    politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipat-gandakan kegiatan-

    kegiatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.

    45

    Andi Hamzah dan Djoko Prakoso dkk, Kejahatan-Kejahatan yang membahayakan dan

    Merugikan Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1987). Hlm. 392.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_berpendapathttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kebebasan_media_massa&action=edit&redlink=1

  • 29

    Menurut Evi Hartanti dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana

    Korupsi bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai

    berikut46

    :

    a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.

    b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan

    kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

    c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di

    Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual

    yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan

    kurang tepat.

    d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya

    bukan didasari kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah

    dari kalangan tidak mampu melainkan para konglomerat.

    e. Tidak adanya sanksi yang keras.

    f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.

    g. Struktur pemerintahan.

    h. Perubahan radikal. Pada saat system nilai mengalami perubahan radikal,

    korupsi muncul sebagai penyakit transisional

    i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan

    keadaan masyarakat secara keseluruhan.

    Svensson47

    berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab korupsi antara lain

    adalah: faktor sejarah, ekonomi, budaya, dan kelembagaan.

    46

    Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua),.. Op cit, hlm.11.

  • 30

    1) Faktor Sejarah

    Sejarah yang berhubungan dengan penjajahan kolonial suatu negara

    merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat korupsi.

    Kolonialisme dalam sebuah negara memberikan efek pembentukan sistem

    kelembagaan di negara tersebut. Sebagai contoh misalnya, negara yang pernah

    dijajah oleh kolonial Inggris biasanya memiliki tingkat korupsi yang rendah

    dan ditandai dengan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) tinggi.

    2) Faktor Ekonomi

    Menurut Svensson, negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki

    karakteristik sebagai negara berkembang dan negara transisi, negara dengan

    tingkat pendapatan yang rendah, dan negara yang memiliki sistem

    perekonomian tertutup. Sistem perekonomian tertutup menyebabkan tingkat

    entry pasar yang semakin rendah sehingga kompetisi sangat sulit terjadi.

    Akibatnya muncul penyuapan dan pungli untuk dapat masuk dalam sebuah

    pasar. Oleh karena itu perekonomian tertutup cenderung untuk memiliki

    tingkat korupsi yang tinggi. Negara maju biasanya memiliki sistem pengaturan

    entry pasar yang baik dan stabil sehingga tingkat korupsinya juga rendah.

    Tingkat pendapatan dapat mempengaruhi masyarakat dalam melakukan korupsi.

    Dalam sebuah sistem pemerintahan, banyaknya proporsi birokrat korup dan gaji

    pegawai pemerintah yang rendah dapat meningkatkan tingkat korupsi suatu

    pemerintahan atau negara. Menurut Andvig dan Moene 48

    , suap yang ditawarkan

    47

    Svensson, J. (2005). “Eight Questions about Corruption”, The Journal of Economic

    Perspectives. Hlm 19-42. 48

    Andvig J. C. & K. W. Moene. (1990). “How Corruption May Corrupt”. Journal of

    Economic Behavior and Organization: hlm 63.

  • 31

    menjadi semakin tinggi ketika gaji pegawai publik rendah. Namun, selanjutnya

    pendapat ini menjadi tidak relevan karena terdapat pula pegawai pemerintah dengan

    gaji tinggi juga masih melakukan korupsi. Maka faktor yang muncul bukan hanya

    pendapatan yang rendah tetapi juga sifat tamak (greedy).

    3) Faktor Budaya

    Perspektif budaya maskulin suatu negara dapat mempengaruhi tingkat

    korupsi suatu Negara. Banyaknya praktek korupsi yang terjadi dalam suatu

    Negara dan tidak adanya penanggulangan dalam kehidupan bermasyarakat

    mengakibatkan tidak adanya sikap peduli dari masyarakat terhadap pelaku

    korupsi.

    4) Faktor Kelembagaan

    Negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tinggi cenderung memiliki

    tingkat korupsi yang rendah. Sebaliknya, negara yang memiliki tingkat

    kebebasan pers rendah cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini

    dikarenakan free press dapat memberikan informasi lebih banyak tentang

    orang atau oknum pemerintah yang melakukan korupsi. Selain itu dengan

    adanya kebebasan pers, tingkat deteksi menjadi lebih tinggi sehingga tingkat

    korupsi menjadi lebih rendah.

    Suatu kondisi yang dapat menyebabkan korupsi antara lain adalah adanya

    kekuasaan dan kewenangan strategis oleh pejabat publik dan adanya sistem

    kelembagaan yang lemah. Dalam upaya mengurangi korupsi yang paling

    efektif adalah dengan meningkatkan hukuman bagi koruptor dan kontrol

    kelembagaan. Namun kenyataannya di Indonesia, hukuman bagi koruptor

    hanya mampu menutupi 7% dari biaya sosial eksplisit yang ditimbulkan oleh

  • 32

    korupsi. Dengan demikian, tidak ada efek jera dari upaya hukum terhadap

    koruptor.

    Factor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral

    dan intelektual para pemimpin masyarakat. Beberapa factor yang dapat

    menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah:

    1) Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spritiual serta tugas

    kemajuan nasional dan public maupun birokrasi;

    2) Administrasi yang efisien serta penyesuaian structural yang layak dari mesin

    dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber

    korupsi;

    3) Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;

    4) Berfungsinya suatu system yang antikorupsi;

    5) Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan

    intelektual yang tinggi.

    C. DAMPAK KORUPSI

    Pola perilaku korupsi sepertinya telah merajalela di Indonesia. Tidak heran

    jika dalam kehidupan birokrasi, masyarakat seringkali dihadapkan oleh suap dan

    pungli dalam pelayanan publik yang telah menjadi rahasia umum di masyarakat.

    Hampir setiap hari penyajian berita pada media massa juga berkaitan dengan

    gratifikasi, penggelapan anggaran belanja pemerintah, penyidikan, dan pengenaan

    hukuman bagi para koruptor49

    . Dengan adanya praktek korupsi yang semakin

    49

    https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-

    Korupsi.pdf. Accessed 23 Nov. 18. Hlm. 16.

    https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018

  • 33

    marak dilakukan sangat berdampak bagi kehidupan bermasyarakat khususnya

    perekonomian, sosial dan budaya.

    a. Dampak Korupsi Terhadap Perekonomian

    korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian bangsa dan Negara.

    Adapun dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut:

    1) Korupsi Berdampak Negatif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

    korupsi berdampak buruk bagi perekonomian. Hal ini terbukti dengan

    banyaknya propaganda dan pendirian lembaga anti korupsi di berbagai

    negara termasuk di Indonesia. Dengan demikian, dampak korupsi

    khususnya di Indonesia adalah menghambat pertumbuhan ekonomi dan

    merugikan perekonomian nasional.

    2) Korupsi Menurunkan Tingkat Investasi

    Fakta bahwa korupsi mampu menurunkan tingkat investasi suatu

    negara. Investasi yang rendah akan memberikan multiplier effect investasi

    terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah. Investasi merupakan variabel

    yang robust (sehat dan kuat) dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

    Maka dari itu rendahnya investasi akibat korupsi mampu menurunkan

    tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dari titik optimalnya.

    Ketika masyarakat di suatu negara menciptakan dan mempertahankan

    budaya korup di negerinya maka secara tidak langsung masyarakat di negara

    tersebut mengundang investor asing yang juga korup, yaitu terbiasa

    melakukan suap untuk mendapatkan perizinan usaha. Selain itu budaya

    korup juga dapat mengundang investor asing yang tidak berkualitas.

  • 34

    Meskipun tidak berkualitas, investor asing tersebut dapat memperoleh izin

    usaha di negara korup dengan cara suap. Budaya korup mengundang

    investor asing yang tidak berkualitas dan terbiasa melakukan praktik korupsi

    seperti suap, gratifikasi dan penggelapan. Masuknya investor tidak

    berkualitas memperburuk perekonomian dalam negeri.50

    3) Korupsi Menambah Beban dalam Transaksi Ekonomi dan Menciptakan

    Sistem Kelembagaan yang Buruk

    Adanya suap, pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya

    transaksi ekonomi menjadi semakin tinggi. Tingginya biaya transaksi

    menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Yang dimaksud biaya

    transaksi adalah biaya yang diperlukan dalam penggunaan sumber daya

    untuk penciptaan, pemeliharaan, penggunaan, perubahan dan sebagainya

    pada suatu institusi dan organisasi. Suatu kelembagaan akan semakin efektif

    jika biaya transaksi yang diperlukan semakin rendah. Biaya transaksi

    berfokus pada efisiensi. Rendahnya biaya transaksi merupakan suatu ciri

    kelembagaan yang baik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia

    terdapat suap dan pungli dalam upaya mendapatkan pelayanan publik

    seperti pembuatan akta kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan

    lainnya. Kondisi ini menyebabkan tingginya biaya transaksi ekonomi dan

    sistem kelembagaan yang buruk.

    50

    Cuervo-Cazurra, Alvaro. (2006). ”Who Cares about Corruption?”, Journal of

    International Business Studies. Hlm 807.

  • 35

    4) Korupsi Menyebabkan Sarana dan Prasarana Berkualitas Rendah

    Shleifer dan Vishny51

    menyatakan bahwa Korupsi berupa

    penggelapan, suap, dan pungli dapat menyebabkan sarana-prasarana di

    negara korup berkualitas rendah. Suap dan pungli dalam implementasi

    anggaran pembangunan infrastruktur menyebabkan pengurangan anggaran

    pembangunan sarana dan prasarana. Demikian pula penggelapan atas

    anggaran pembangunan infrastruktur, menyebabkan anggaran pembangunan

    infrastruktur berkurang, mengakibatkan infrastruktur yang dibangun

    berkualitas rendah. Rendahnya kualitas infrastruktur dapat mengganggu

    akses masyarakat kepada pusat perekonomian dan pusat pertumbuhan.

    Maka, kualitas infrastruktur yang rendah dapat berdampak negatif terhadap

    pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

    5) Korupsi Menciptakan Ketimpangan Pendapatan

    Tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh pada perilaku korupsi.

    Orang kaya lebih memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan

    suap dibandingkan orang miskin. Secara umum, aktivitas korupsi terdiri dari

    tiga jenis yaitu suap, pungli dan penggelapan. Tindakan korupsi tersebut

    mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para koruptor.

    Akibatnya ketimpangan pendapatan akan terjadi antara elit koruptor dengan

    publik karena berpindahnya sumber daya publik kepada koruptor.

    6) Korupsi Meningkatkan Kemiskinan

    Kemiskinan diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu:

    51

    Shleifer, A. & Vishny, R. W. (1993). “Corruption”, The Quarterly Journal of

    Economics. Hlm 599.

  • 36

    a. Kemiskinan absolut

    Merupakan kondisi seseorang yang memiliki pendapatan di

    bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

    pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang

    dibutuhkan untuk dapat hidup dan bekerja dengan layak. Standar

    kemiskinan absolut merupakan standar kehidupan minimum yang

    dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik

    kebutuhan makanan dan non-makanan.

    b. Kemiskinan relatif

    Merupakan kemiskinan yang dikarenakan pengaruh kebijakan

    yang dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan. Standar kemiskinan

    relatif ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat.

    c. Kemiskinan kultural

    Merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor adat atau

    budaya yang membelenggu sehingga tetap berada dalam kondisi miskin.

    d. Kemiskinan struktural

    Merupakan kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan

    seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem yang

    tidak adil sehingga mereka tetap terjebak dalam kemiskinan.

    Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor

    keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di

    Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan

    https://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomihttps://id.wikipedia.org/wiki/Afrikahttps://id.wikipedia.org/wiki/Asiahttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Penagihan_sewa&action=edit&redlink=1

  • 37

    perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya

    diinvestasikan ke dalam negeri.52

    b. Dampak Korupsi Terhadap Budaya

    Korupsi memiliki dampak negatif terhadap budaya dan norma yang

    berlaku di masyarakat. Ketika korupsi sudah sering terjadi di dalam masyarakat

    dan masyarakat menganggap korupsi sebagai hal yang biasa, maka korupsi

    akan mengakar dalam masyarakat sehingga menjadi norma dan budaya.

    Adapun pengertian norma sosial merupakan sebuah nilai kehidupan yang

    berlaku dan disepakati bersama. Masyarakat Indonesia cenderung masih

    permisif dengan korupsi dan bahkan tidak memberikan sanksi sosial kepada

    para koruptor. Ketika masyarakat permisif terhadap korupsi, maka semakin

    banyak individu yang melanggar norma anti-korupsi atau melakukan korupsi

    dan semakin rendah rasa bersalah. Oleh karena itu korupsi masih dianggap

    sebagai kejahatan tidak berbahaya dan dinilai sebagai hal yang biasa dalam

    masyarakat, dengan cara pandang ini menyebabkan tingkat korupsi di

    Indonesia tergolong masih tinggi.

    c. Dampak Sosial Korupsi Di Indonesia

    Korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian khususnya di

    Indonesia. Korupsi juga dapat memberikan pengaruh yang buruk dalam

    berperilaku. Masyarakat negara korup cenderung tidak disiplin dan tidak patuh

    terhadap peraturan yang berlaku juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan

    masyarakat.

    52

    Pengertian korupsi, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi. Diakses 28 Desember

    2019 15:23 WIB.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Penanaman_modalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi

  • 38

    BAB III

    REFORMASI PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI INDONESIA

    A. SEJARAH HUKUM KORUPSI DI INDONESIA

    Indonesia merupakan negara yang berdasar atas Pancasila dan Undang-

    Undang Dasar 1945 yang terimplementasi dalam peraturan perundang-

    undangannya dimana segala hal yang berhubungan dengan Negara Kesatuan

    Republik Indonesia adalah berdasarkan atas aturan yang konkret, Undang-Undang

    Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas

    hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

    berarti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan

    pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia

    dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

    dan pemerintah serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

    ada kecualinya53

    Sejak bergulirnya reformasi, isu pemberantasan korupsi selalu menjadi

    tema sentral dalam penegakan hukum di Indonesia. Pendapat beberapa ahli

    mengenai pengertian tindak pidana korupsi berbeda-beda. Diantaranya

    berpendapat bahwa korupsi adalah penyimpangan dari tugas formal dalam

    kedudukan resmi pemerintah, bukan jabatan eksekutif tetapi juga legeslatif, partai

    politik, auditif, BUMN/BUMD hingga dilingkungan penjabat sektor swasta.54

    53

    Evi Hartanti, Tindak Pidana korupsi …, Op. cit., hlm 1. 54

    Surachmin dan Suhandi Cahaya, Srategi dan Teknik Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika,

    2011). Hlm 10.

  • 39

    Peraturan perundang di Indonesia tentang pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

    (KUHP). Pasal-pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana korupsi adalah

    Pasal 209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 223, 225, dan 435. Penyalahgunaan

    jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.26 Pasal-pasal tersebut masih

    kurang jelas berbicara mengenai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu ada

    peraturan-peraturan lain mendukung atau melengkapi KUHP tersebut.55

    Pada periode penguasa perang militer tanggal 9 April 1957 keluar

    peraturan KSAD Nomor PRT/PM-06/1957 Tentang Korupsi yang ada di

    lingkungan militer, tetapi peraturan tersebut dirasa juga belum efektif, kemudian

    dilengkapi dengan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-06/1957, tanggal

    27 Mei 1957 tentang Pemilikan Harta Benda., kemudian keluar lagi Peraturan

    Penguasa Militer Nomor PRT/PM-001/1957, tanggal 1 Juni 1957 tentang

    Penyitaan dan Perampasan Barang-barang Hasil Korupsi. Ketiga peraturan

    tersebut sebagai dasar kewenangan kepada penguasa militer untuk dapat menyita

    dan merampas barang-barang hasil korupsi. Tiga peraturan dilingkungan militer

    tersebut kemudian dilengkapi lagi dengan keluarnya Peraturan Penguasa Perang

    Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, tanggal 16 April

    Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Korupsi Pidana dan Pemilikan

    Harta Benda. Kemudian tanggal 1 Januari 1960 pemerintah memberlakukan

    Undang- Undang Nomor 14/PRP/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

    Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

    55

    Siti Nurkholisah, dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap

    Pencabutan Hak Memilih Dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan Dalam

    Tindak Pidana Korupsi”.2016. Hlm. 37.

  • 40

    Kemudia keluar Kepres No 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967

    Tentang Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Undang- Undang

    yang lebih jelas tentang tindak pidana Korupsi adalah setelah keluarnya Undang-

    Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang

    Nomor 3 tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi. Pada periode reformasi,

    pemerintah, dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

    Tentang Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang- Undang Nomor 3

    Tahun1971 dan sejak saat itu Undang- Undang No 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak

    berlaku lagi.56

    Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang

    korupsi dan sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai 20. Kemudian

    pada Bab IV mulai Pasal 25 sampai Pasal 40 memuat tentang ketentuan formil

    bagaimana menjalankan ketentuan materilnya. Pemerintah kemudian melakukan

    perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan

    mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 malakukan perubahan pada

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yakni penjelasan Pasal 2 ayat (2) sedang

    substansinya tetap, kemudian ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 Pasal 8, Pasal 9,

    Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal-

    Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan

    unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal yang diacu.

    56

    Siti Nurkholisah, ibid…,hlm. 38-39.

  • 41

    Dari sudut sanksi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan

    sanksi yang jauh lebih ringan dari yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 31

    Tahun 1999. Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah

    membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang- Undang

    Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

    tentang Tindak Pidana Pencucican Uang yang kemudian diubah dengan Undang-

    Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15

    tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terakhir dicabut dan diganti

    dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang57

    .

    B. UPAYA PEMERINTAH TERHADAP PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI

    INDONESIA

    Penegakan hukum harus melindungi hak konstitusional warga negara

    untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti. Sedangkan

    dalam hukum pidana dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang di terjemahkan

    sebagai asas legalitas. Dengan demikian, maka setiap tindakan dalam proses

    hukum harus mengacu pada suatu peraturan yang tertulis yang telah ditetapkan

    terlebih dahulu oleh perundang-undangan.58

    Di Indonesia korupsi di golongkan sebagai kejahatan serius atau "Serious

    Crime", UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No.31 tahun 1999 Tentang

    57

    Ibid, …. Hlm. 40. 58

    Siswanto Sunarso, Filsafat Hukum Pidana Konsep, Dimensi, dan Aplikasi, Jakarta: PT

    Raja Grafindo Persada,2015. Hlm. 110.

  • 42

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana

    korupsi yang terjadi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

    melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan juga

    bertentangan dengan tujuan negara yaitu mensejahterak