ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA
Transcript of ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA
ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA
“SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT”
DI MAJALAH PANTAU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)
Oleh
Tia Agnes Astuti
NIM: 106051101943
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 14 Maret 2011
Tia Agnes Astuti
ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA
“SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT”
DI MAJALAH PANTAU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)
Oleh
Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, M.A NIP. 196601101993031004
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP
BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” DI MAJALAH
PANTAU telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Kom.I.)
pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.
Jakarta, 18 Maret 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,
Wahidin Saputra, M.A
NIP 19700903 199603 1 001
Ade Rina Farida, M.Si
NIP 19770513 200701 2 018
Anggota,
Penguji 1
Rully Nasrullah, M.Si
NIP 19750318 200801 1 008
Penguji 2
Rubiyanah, M.A
NIP 19730822 199803 2 001
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, M.A
NIP 19660110 199303 1 004
i
ABSTRAK
Tia Agnes Astuti/ 106051101943
Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” Pada Majalah Pantau
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama untuk genre atau
gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana
reportase dilakukan secara mendalam, dan penulisannya dengan gaya sastrawi.
Tom Wolfe pun menyebutnya sebagai new journalism (jurnalisme baru). Di
Indonesia, Majalah Pantau adalah majalah pertama di Indonesia yang secara sadar
menerapkan jurnalisme sastrawi ini dari tahun 2000. “Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft” karya Chik Rini ini diakui Andreas Harsono (penanggung jawab
Majalah Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki oleh Pantau.
Untuk mengetahui pengemasan berita dalam teks “Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft” di Majalah Pantau maka diperlukan rumusan masalah. Adapun
rumusan masalahnya yaitu Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksikan? Bagaimanakah
dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau?
Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
dikonstruksikan dapat dilihat dari penggunaan kata atau bahasa dalam teks,
penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi
kognisi dan konteks sosial penulis yang ikut mengkonstruksi teks tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma
konstruktivisisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris,
paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan
konstruktivisme karena dengan pola berpikir konstruksitivis ini menekankan pada
politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang
realitas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis
wacana model Teun van Dijk. Van Dijk membagi wacananya ke dalam tiga
dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk tidak
hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental
dari pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat.
Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan
yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999.
Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa
adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut
mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun
konstruktivis.
Dari penjelasan singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa teks tidak
lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut
dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti
peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang
Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh
pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa
berdarah di Aceh.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur, saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang telah memberikan limpahan karunia, ridho-Nya, dan ribuan
nikmat kepada semua makhluk di bumi ini. Shalawat serta salam senantiasa kita
curahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa ummatnya menuju jalan
kebenaran.
Atas berkat kenikmatan itulah, saya masih diberikan nikmat sehat dan
bernafas, menghirup udara sampai detik ini sehingga saya bisa menyelesaikan
skripsi ini guna mendaparkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I). Dalam
menyelesaikan skripsi ini, tentunya masih terdapat banyak kekurangan namun
skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi sekaligus sebagai pembimbing dalam skripsi ini.
2. Rubiyanah, M.A. sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina
sebagai sekretaris Konsentrasi Jurnalistik. Terima kasih atas bantuan dan
dukungannya.
3. Siti Nurbaya Ruslan sebagai pembimbing kedua, tempat konsultasi skripsi
saya. Makasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama penyusunan
skripsi ini.
4. Para dosen, karyawan, dan staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta selama peneliti kuliah di kampus UIN.
iii
5. Kepada Yayasan Pantau yang telah membantu peneliti, Andreas Harsono,
Imam Sofwan serta Chik Rini yang bersedia meluangkan waktunya untuk
wawancara selama dua jam.
6. Secara khusus dan paling utama adalah kepada kedua orang tua, Sri
Wiratno dan Nurzullah yang telah memberikan kasih sayang, motivasi,
dukungan, tekanan untuk segera cepat menyelesaikan, dan bersikap
demokratis kepada saya atas pilihan dan apa yang saya inginkan dalam
hidup ini. Jasa kalian tidak akan sanggup saya ganti dengan apa pun.
Kepada kedua orang tua saya, skripsi ini dipersembahkan.
7. Kepada kakak dan adik laki-laki saya, Tyo Zulfan Amri dan Muhamad
Fa’iz Al Magribhi.
8. Untuk seseorang yang peneliti kenal dari awal Propesa UIN 2006 hingga
kini, yang membuat bahagia sekaligus sedih dalam waktu bersamaan.
Untukmu semangat terus, melajulah perahu kertasku, dan gapai impianmu!
9. Sahabat saya, Mimi Fahmiyah yang rela mendengarkan curahan peneliti
selama di kampus ini, yang rela berbagi kosannya jika peneliti menginap,
yang sudah mencoba memahami peneliti kala sedih. Kamu berarti sob!
Kita wisuda April. Horeeeeeee!!!
10. Kepada teman-teman sekelas seperjuangan Jurnalistik Angkatan 2006
makasih atas kebersamaannya selama lima tahun ini (Lisa, Yuni, Yikki,
Jendral, Novita, Dita, Ira, Ina, Yanti, Caca, Putri, Aida, Sarah, Rere, Nina,
Ardi, Gesta, Deden, Wage, Irham, Abi, Jaka, Topan, Deros) khususnya
bagi kalian pada masa akhir ini, Danang, Rara, Eka, Jose, Eki, Meler, Ben,
iv
Ogi, Edi Mahmud, Risni yang belum wisuda, ayo semangat terus, nyusul
wisuda cepetan!
11. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta, kepada
organisasi ini peneliti mengenal dunia persma dan wartawan kampus,
memberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin redaksi (pemred), dan
mengajarkan beragam ilmu dari awal masuk menjadi reporter magang
tahun 2006 hingga akhir ada di kampus. Apa pun yang terjadi, terima
kasih INSTITUT.
12. Kepada KKN Kelompok 100 tahun 2009 lalu, makasih atas sebulan
kenangannya di Malang.
Akhirnya, peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu
peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT
semakin menambah rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti
mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini,
Harapan peneliti, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para
pembacanya, Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.
Wassalam
Jakarta, 15 Maret 2011
Peneliti
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
D. Metodologi Penelitian ................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 14
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 15
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Analisis Wacana .......................................................................... 17
1. Pengertian Analisis Wacana .................................................. 17
2. Analisis Wacana Model Teun Van Dijk ............................... 20
3. Kerangka Analisis van Dijk .................................................. 25
a. Dimensi Teks .................................................................. 25
b. Dimensi Kognisi Sosial .................................................. 28
c. Dimensi Konteks Sosial .................................................. 29
B. Konseptualisasi Berita ................................................................ 30
1. Pengertian Berita .................................................................. 30
2. Nilai-Nilai Berita .................................................................. 31
3. Jurnalisme Naratif ................................................................ 32
C. Jurnalisme Sastrawi ..................................................................... 35
1. Konstruksi Adegan Demi Adegan ....................................... 38
2. Pencatatan Dialog Secara Utuh ............................................ 39
3. Sudut Pandang Orang Ketiga ............................................... 39
4. Mencatat Secara Detil .......................................................... 40
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Majalah Pantau ........................................................................... 41
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya ............................... 41
2. Visi dan Misi Majalah Pantau ............................................. 55
3. Struktur Organisasi Majalah Pantau ..................................... 57
4. Rubrikasi Majalah Pantau ................................................... 58
vi
5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau ................................. 60
B. Biografi Penulis dan Sinopsis Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” di Majalah Pantau ............................................................ 62
1. Biografi Chik Rini ............................................................... 62
2. Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ................... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
di Majalah Pantau ....................................................................... 71
1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ........... 71
a. Analisis Teks Adegan 1 ................................................... 73
b. Analisis Teks Adegan 2 ................................................... 77
c. Analisis Teks Adegan 3 ................................................... 81
d. Analisis Teks Adegan 4 ................................................... 85
e. Analisis Teks Adegan 5 ................................................... 88
f. Analisis Teks Adegan 6 ................................................... 91
g. Analisis Teks Adegan 7 ................................................... 95
h. Analisis Teks Adegan 8 ................................................... 98
i. Analisisis Teks Adegan 9 ................................................. 105
j. Analisis Teks Adegan 10 .................................................. 109
k. Analisis Teks Adegan 11 ................................................. 114
2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” ................................................................................... 119
a. Strategi dalam Memahami Peristiwa ............................... 121
b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa .................. 124
3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” ................................................................................... 127
a. Praktik Kekuasaan ........................................................... 128
b. Akses Memengaruhi Wacana .......................................... 128
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 131
B. Saran ............................................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 133
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 136
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk .............................................. 24
Tabel 2. Struktur Teks Van Dijk ........................................................................ 25
Tabel 3. Elemen Teks Wacana Van Dijk ........................................................... 25
Tabel 4. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk .............................................. 29
Tabel 5. Proses Keredaksian Majalah Pantau .................................................... 60
Tabel 6. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1 .............................................. 76
Tabel 7. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2 .............................................. 80
Tabel 8. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3 .............................................. 84
Tabel 9. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4 .............................................. 87
Tabel 10. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5 ............................................ 90
Tabel 11. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6 ............................................ 94
Tabel 12. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7 ............................................ 97
Tabel 13. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8 ............................................ 103
Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9 ............................................ 108
Tabel 15. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10 .......................................... 112
Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 .......................................... 117
Tabel 17. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk ............................................ 126
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk ................................................... 24
Gambar 2. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ................................................ 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Asep Saeful Muhtadi dalam buku “Jurnalistik Pendekatan Teori
dan Praktik” mengemukakan bahwa secara umum, medium jurnalistik baik
media cetak maupun elektronik, keduanya memiliki fungsi yang sama
yaitu menyiarkan informasi. Ini merupakan fungsi utama media massa.
Sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi
tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini.
Fungsi kedua dari media massa yaitu mendidik. Karena media
massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung
pengetahuan dan dijadikan media pendidikan massa.
Ketiga, menghibur. Media massa biasanya menyajikan rubrik-
rubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Dan fungsi yang
keempat yaitu memengaruhi. Dalam hal ini, pers memegang peranan
penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat melakukan
kontrol sosial secara bebas dan bertanggung jawab.
Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya
menyediakan kolom atau rubrik untuk berita meski dengan kapasitasnya
masing-masing. Ini merupakan perwujudan dari institusi pers sebagai
lembaga kontrol sosial. Berita dalam penerbitan pers dapat berasal dari
2
masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun
manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut.1
Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the
fourth estate (kekuatan keempat) dalam sistem kenegaraan, setelah
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa
cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi
rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut
memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela
kebenaran dan keadilan.2
Sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan
pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut
juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima
publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang
dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap
penting oleh publik.3
Bill Kovach, Ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu
lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat, ia
menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan elemen jurnalime dalam
media massa. Ia mengutarakan hal ini dalam buku “Sembilan Elemen
Jurnalisme,” di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam
pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus
menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga independensi
terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah,
1 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda, 2004), h. 67
2 Zaenuddin HM, The Journalist, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 5-6
3 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos, 1999), h. 3
3
media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan
warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan
relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan
proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani.4 Kesembilan elemen
dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam
menjalankan tugasnya.
Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan
jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam
perusahan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang
berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang
menarik pula.
Pada umunya, gaya penulisan berita konvensional terdapat dua
yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan
media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative
reporting atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya dalam media
cetak. Tapi tidak semua media cetak menggunakannya kecuali majalah.
Seperti Majalah Tempo, Gatra, Trust dan sebagainya yang menerapkannya
karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam
dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan Majalah Pantau.
Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan
genre literary journalism (jurnalisme sastrawi).
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat
genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di
4 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: ANDI, 2005), h. 68-
69
4
Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan secara mendalam, penulisan
dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca.
Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre
ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru).5
Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan
fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru tetap mendasarkan
pada fakta-faka di lapangan. Jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan
mencapai tujuannya jika pembaca mengatakan, “Saya membaca
laporanmu enak seperti tulisan fiksi.” Elemen-eleman yang selama ini ada
dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap
mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut
keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar
“isi kepala” narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk
memberikan deskripsi dan data lain, membutuhkan sisi lain peliputan,
misalnya orang ketiga.6
Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan
kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di
Majalah Pantau. Dengan judul, “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat” yang diterbitkan Yayasan Pantau dan
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penyunting Andreas
Harsono dan Budi Setiyono.
Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat
peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam
5 Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, (Jakarta: KPG, 2008), h. VII 6 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 182
5
penelitian ini yaitu tulisan berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh
yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft
atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak Desember 2001 lalu.
Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang
sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe,
dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan
ini, namun ia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan,
masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka
provinsi Banda Aceh yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini
pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di
Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).
Rini yang mengadopsi naskah “Hiroshima” karya John Hersey ke
dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa
tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas
Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi
terbaik yang dimiliki oleh Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau.
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka
peneliti tertarik meneliti dengan judul, “Analisis Wacana Van Dijk
Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft” Di Majalah
Pantau.”
6
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Agar batasan masalah ini lebih terarah dan fokus maka
permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap analisis wacana teks yang
terdapat dalam pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya
Chik Rini di Majalah Pantau Tahun III Edisi 025-Mei 2002 kemudian
dibukukan pada tahun 2008 dalam bentuk antologi berjudul“Jurnalisme
Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” edisi revisi dengan
penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono, diterbitkan oleh Yayasan
Pantau. Penelitian ini dengan menggunakan paradigma konstruktivis
dengan pisau analisis wacana model Teun van Dijk.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksikan?
2. Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat
dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah
Pantau?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian
ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui wacana teks yang dikonstruksi oleh penulis yang
terdapat dalam pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di
Majalah Pantau.
7
2. Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang
terdapat dalam wacana pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” di Majalah Pantau.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi
sehari-hari di sekitar kita. Seperti, peristiwa-peristiwa yang luput dari
perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti
peristiwa Simpang Kraft ini.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi
akademisi, praktisi, mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca pada
umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Khususnya bagi mahasiswa/i jurnalistik yang ingin mempelajari
jurnalisme sastrawi. Dengan membaca “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen
jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.
8
D. METODOLOGI PENELITIAN
1. Paradigma Penelitian
Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken
menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dalam penelitian.7 Maksudnya, paradigma
merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh
peneliti dalam melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian.
Paradigma ini dilakukan supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara
berpikir penelitiannya.
Dalam studi mengenai bahasa, ada beberapa paradigma dalam
analisisnya yaitu paradigma positivisme-empiris, paradigma
konstruktivisme dan paradigma kritis.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma
konstruktivisme. Dalam paradigma konstruktivisme, bahasa tidak lagi
hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan
yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.8
Paradigma konstruksionis memperhatikan interaksi kedua belah
pihak, komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau
tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruktivis menekankan pada
politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran
7 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda karya,
Cetakan kedelapan 1997) h. 30 8 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS,Cet VII
Februari 2009), h. 5
9
tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai
proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana
seseorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing
pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi produksi pesan tersebut
dan mempertukarkan maknanya. Dalam paradigma konstruktivisme ini
adalah cara berpikir bagi peneliti dalam penelitiannya, bahwa segala
peristiwa maupun berita yang ada tidak lahir sebagai realitas murni saja
namun di balik realitas peristiwa yang dibangun terdapat orang-orang
tertentu yang turut mengkonstruksi berita.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu
analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Maka, dalam penelitian ini ingin mengetahui lebih jauh dari wacana yang
terbentuk dalam peristiwa Simpang Kraft tersebut.
2. Metode Penelitian
Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode
untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri
berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga
suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat
dipahami.
Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J.Moleong mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.9
9 Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3
10
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau
analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Pendekatan
kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam
masyarakat.10
Sedangkan analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan
suatu pernyataan. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi
kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan apa (what), analisis
wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks
komunikasi.
Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana
isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan. Lewat kata,
frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan
melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana
lebih bisa 11
3. Tahapan Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara, di
antaranya:
a) Observasi Teks
Observasi atau pengamatan langsung dilakukan kepada teks
yang akan diteliti. Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut
10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), h.23 11
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.68
11
dengan pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap
sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.12
Maka
kegiatan observasi ini dilakukan dengan cara mencari dan
menghimpun berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”
b) Wawancara
Wawancara dilakukan sebagai metode pengumpulan data yang
digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari
narasumbernya.13
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan
terstruktur atau tersusun sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
telah disiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan sebagai
pendukung bagi kognisi sosial serta konteks sosial dalam analisis
wacana van Dijk.
Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada tiga orang yang
berkepentingan dalam skripsi ini. Pertama, kepada Chik Rini selaku
wartawan sekaligus penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”
Wawancara ini sangat diperlukan karena untuk mengetahui unsur
kognisi sosial atau mental dari wartawan dalam memilih isu tersebut
serta situasi ketika ia menuliskannya. Kedua, Andreas Harsono sebagai
penanggung jawab dari Majalah Pantau dan editor dari naskah “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft.” Ketiga, Imam Sofwan selaku redaksi dari
12
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet Ke-5, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2002), h. 133 13
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35
12
Yayasan Pantau untuk mengetahui sejarah perkembangan Majalah
Pantau hingga menjadi Yayasan Pantau seperti sekarang ini.
c) Dokumentasi
Dokumentasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan,
membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku,
majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau
instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti
mengumpulkan data yang berhubungan dengan analisis wacana.
b. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul dan dikelompokkan sesuai dengan
tujuan penelitian untuk dianalisis dan diberikan interpretasi dengan
cara mengklasifikasikannya dengan kerangka teori kemudian
disimpulkan.
a). Analisis Data
Setelah data diperoleh, maka selanjutnya adalah melakukan
analisis data. Setelah diperoleh wacana yang akan dianalisis, maka
sebagai rujukan adalah dengan menggunakan analisis wacana model
Teun van Dijk yang terdiri dari tiga elemen yaitu dimensi teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial.
Dari beberapa teknik analisis data, peneliti merasa perlu
meneliti wacana dengan menggunakan teknik van Dijk. Karena selain
menganalisis dari struktur teks, analisa ini juga menukik kepada
elemen kognisi sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa)
13
serta konteks sosial (menganalisa wacana yang berkembang di
masyarakat). Teknik ini dirasa cocok dibandingkan dengan analisis
wacana (discourse analysis) lainnya yang lebih mengarah kepada
ideologi yang dikemukakan oleh Norman Fairclough atau tentang
kekuasaan kaum mayoritas kepada kaum minoritas oleh Theo Van
Leewen dkk.
Karena dalam penelitian ini, lebih ingin membongkar mengenai
konstruksi realitas dalam dimensi wacana teks berita tersebut, serta
dengan kedua unsur wacana van Dijk lainnya.
Dalam teknik analisis wacana van Dijk ini, terdapat tiga elemen
ini yaitu, pertama, dimensi teks yang terdiri dari struktur makro, yaitu
makna global dari suatu teks yang dapat diamati dati topik atau tema
yang diangkat oleh suatu teks, elemennya adalah tematik.
Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan,
isi, penutup, dan kesimpulan, elemennya adalah skematik. Struktur
mikro, makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan
kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks, elemennya adalah
semantik, sintaksis, stalistik dan retoris.
Kedua, yaitu kognisi sosial yaitu bagaimana wartawan atau
penulis mengetahui dan memahami peristiwa yang sedang digarapnya.
Ketiga, konteks sosial yaitu mengetahui apa yang sedang terjadi di
masyarakat, dan dampak di masyarakat setelah adanya pemberitaan
tersebut.
14
E. TINJAUAN PUSTAKA
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi
dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti
menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu, peneliti menelusuri
koleksi skripsi-skripsi di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDKOM) dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Maksud
pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang
tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya.
Di kedua perpustakaan tersebut, banyak skripsi yang menggunakan
analisis wacana van Dijk sebagai pisau analisisnya. Namun, tidak banyak
yang menggunakan paradigma konstruktivis sebagai cara berpikir. Selain
itu, tidak ada objek penelitian yang menggunakan teks genre jurnalisme
sastrawi. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut ialah:
1. Skripsi karya Sofwan Tamami (104051101959), mahasiswa
Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
(FIDKOM) UIN Jakarta Angkatan 2004 dengan judul “Analisis
Wacana Pemberitaan Film FITNA Karya Geert Wilders di Harian
Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008).” Perbedaan skripsi ini
dengan yang diteliti terletak pada objek penelitiannya. Skripsi Sofwan
meneliti pemberitaan Film FITNA karya Greert Wilders dan
kelebihannya yaitu pada paradigma penelitian yang digunakan.
15
2. Skripsi karya Yul Shella K.A. (105051001992), mahasiswi jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul “Analisis Wacana
Berita Pemilu 2009 Pada Harian Seputar Indonesia: Studi
Pemberitaan KPU Sebelum Pemilu Legislatif.” Perbedaannya terletak
pada objek yang diteliti. Yul Shella meneliti berita Pemilu 2009 di
Harian Seputar Indonesia.
3. Skripsi karya Astri Putriyani (103051028444), mahasiswi jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul “Analisis Wacana
Rubrik “Media dan Kita” Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.”
Perbedaannya tetap pada objek yang diteliti yaitu Rubrik “Media dan
Kita” Majalah UMMI. Kelebihannya, waktu penelitian dari Juli-
Oktober (empat bulan) adalah waktu yang lama.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab.
Setiap bab terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama
lainnya. Untuk lebih jelasnya peneliti uraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teoritis menguraikan mengenai kajian teoritis
mengenai analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk
16
dengan rincian pengertian dari discourse analysis (analisis wacana) serta
skema model wacana van Dijk. Dilanjutkan dengan konseptualisasi berita
dan penjelasan genre jurnalisme sastrawi.
Bab III Gambaran Umum Majalah Pantau memaparkan
mengenai sejarah berdiri dan perkembangan Majalah Pantau, visi dan
misi Majalah Pantau, struktur organisasi Majalah Pantau dan Yayasan
Pantau, rubrikasi Majalah Pantau, alur kinerja redaksi Majalah Pantau
serta konsep-konsep umum pada Majalah Pantau yang ditemukan peneliti
dalam sumber-sumber pendukung. Selain itu juga, peneliti memberikan
gambaran umum mengenai profil Chik Rini dan sinopsis dari naskah
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”
Bab IV Hasil Penelitian ini berisi mengenai penjelasan hasil
penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya.
Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti
mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.
17
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. ANALISIS WACANA
1. Pengertian Analisis Wacana
Pengertian analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan
wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-
baiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta penguraian
karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur
tersebut.1
Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta
wac/wak/uak yang memiliki arti „berkata‟ atau „berucap‟. Kemudian kata
tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata „ana‟ yang berada di
belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna „membendakan‟
(nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat dikatakan sebagai
perkataan atau tuturan.2
Namun, istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli
linguis (ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa
Inggris, „discourse‟. Kata „deiscourse‟ sendiri berasal dari bahasa Latin,
1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1 1988),
h.32 2 Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3
18
discursus (lari ke sana lari ke mari). Kata ini diturunkan dari kata „dis‟
(dan/ dalam arah yang berbeda-beda) dan kata „currere‟ (lari).3
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terdapat tiga makna
dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua,
keseluruhan tutur atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga,
satuan bahasa terbesar, terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan
yang utuh, seperti novel, buku, dan artikel.4
Definisi klasik wacana berasal dari asumsi-asumsi formalis (dalam
istilah Hymes 1974b, “struktural”), mereka berpendapat bahwa wacana
adalah “bahasa di atas kalimat atau di atas klausa” (Stubbs 1983:1).5
Van Dijk (1985:4) mengamati bahwa karakteristik deskripsi
struktural wacana pada beberapa perbedaan unit, kategori bentuk
sistematik atau hubungan-hubungan yang berbeda. Lanjutnya, menurut
van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya atas dasar dimensi teks
semata, karena teks tersebut merupakan hasil praktik produksi yang harus
diamati juga.
Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah
bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan
begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah
teks.6
3 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), h.3 4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, Edisi Ke-3 2002), h.1709 5 Deborah Schiffrin, Ancangan Kajian Wacana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.
28 6 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian, (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4
19
Secara ringkas atau sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan
terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau
pernyataan. Wacana sebagai upaya untuk mengungkap makna yang tersirat
dari subjek yang mengungkapkan pernyataan tersebut. Caranya, adalah
dengan meletakkan posisi pada si pembicara dengan mengikuti struktur
makna dari pembicara tersebut.
Jika dicoba untuk merumuskan, analisis wacana adalah studi
tentang struktur pesan dalam komunikasi. Dalam pandangan Littlejohn,
bahwa menulis dan bahkan bentuk-bentuk non verbal dapat dianggap
wacana.
Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-
sama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn: 1996). Pertama,
seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan
oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau
tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, wacana dipandang sebaga aksi. Ia adalah
cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis
wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya
aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk
menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-
tujuan pragmatik dalam situasi sosial. Ketiga, analisis wacana adalah suatu
pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari
perspektif mereka; ia tidak memerdulikan ciri atau sifat psikologis
20
tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan
sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan.7
Littlejohn lebih mengarahkan wacana kepada aturan-aturan tata
bahasa yang hadir dalam proses berkomunikasi. Secara otomatis, lebih
terarah kepada makna pesan yang disampaikan oleh komunikator.
Maka, tetap saja dalam penelitian lebih terarah kepada tokoh van
Dijk, yang lebih memaksudkan bahwa analisis wacana sebagai suatu
analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
2. Analisis Wacana Model Teun van Dijk
Dalam buku “Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media”
karangan Eriyanto, di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang
mengembangkan analisis wacana. Tokoh-tokoh yang terkenal dan
dikemukakan oleh Eriyanto tersebut, di antaranya Roger Fowler dkk
(1979), Norman Fairclough (1998) yaitu mengenai wacana tentang
ideologi, Sara Mills (1992) yang menitikberatkan perhatian kepada wacana
mengenai feminisme, Theo van Leeuwen (1986) adalah analisis yang
diperuntukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok
atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dari
banyaknya tokoh yang mengembangkan analisis wacana, model van Dijk-
lah yang paling sering dipakai dalam berbagai penelitian teks media.
Meski penelitian-penelitian wacana yang sering diteliti oleh van Dijk
adalah mengenai rasialisme namun tidak menutupkemungkinan terhadap
7 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik,
dan Analisis Framing, h. 48-49
21
objek penelitian atau teks berita lainnya untuk diteliti. Sama halnya,
seperti objek penelitian terhadap teks berita “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” ini.
Jika penelitian dalam skripsi ini memakai tokoh Teun A. van Dijk,
maka harus diketahui terminologi analisis wacana dari van Dijk itu sendiri,
yang dikutip dari buku “Aims of Critical Discourse Analysis.”
Critical Discourse Analysis (CDA) has become the general
label for a study of text and talk, emerging from critical linguistics,
critical semiotics and in general from socio-politically conscious
and oppositional way of investigating language, discourse and
communication. As is the case many fields, approaches, and
subdisciplines in language and discourse studies, however, it is not
easy precisely delimit the special principles, practices, aims,
theories or methods of CDA.8
Atau terminologi lainnya, yang terdapat dalam buku “Critical
Discourse Analysis” dalam pembahasan mengenai “What is discouse?”
yaitu:
Discourse analysis are tic, “ked to define the concept of
discourse.” Such a definition would have to consist of the whole
discipline of discourse studies, in the same of way as linguistic
provide many deminitions of the definition of „languages‟. In the
may view, it hardly makes to define fundamental notions such as
„discourse, languange, cognition, interaction, power, or society. To
understand these notions, we need whole theories or discipline of
the objects or phenomena we are dealing with. Thus, discourse is a
multidimentional social phenomenon. It is at the same tune in
linguistic (verbal gramatical), object (meaningful sequences of
word or sentences), an action (as an assertion or a threat), a form of
social interaction (like conversation), a social practice (such as a
lecture), a mental representation (a meening, a mental model, an
opinion, knowledge), an interactional communicative event or
activity (like a parliementary debate), a cultural product (like a
telenovela), or even an economic commodity that is being sold and
bought (like a novel). In other words, a more or less complete
„definition‟ of the notion of „discourse‟ would involve many
dimentions of consists of many other fundamental notions that
8 Teun van Dijk, Aims of Critical Discours e Analysis, (Japan Discourse, 1995) Vol. 1,
hal. 17
22
need definition, that is, theory, such as meaning, interaction, and
cognition.9
Studi wacana ini berasal dari analisis linguistik kritis. Merambah
kepada ilmu sosial lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa,
wacana, komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari
bahasan wacana linguistik, tapi tidak menutup kesempatan kepada ilmu
sosial lainnya untuk diteliti.
Van Dijk sendiri menyatakan dalam buku karangannya, Critical
Discourse Analysis (CDA) bahwa ia lebih menyukai untuk berbicara
mengenai Critical Discourse Studies (CDS) karena batasannya lebih
umum, tidak hanya meliputi analisis kritis tapi juga teori kritis seperti
penerapan kritis. Namun, dalam penelitian ini lebih tertuju kepada
paradigma konstruktivis, bukan paradigma kritis atau Critical Discourse
Analysis (CDA). Pengertian CDA dan wacana di atas hanya untuk
menggambarkan apa itu wacana menurut tokoh van Dijk sendiri.
Van Dijk juga memfokuskan kajiannya pada peranan strategis
wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau
kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses analisa
terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan wacana adalah pola-pola
akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok
masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu
hegemoni dengan wacana bisa terlihat dengan jelas, maka kita
membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu
pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait
9 Teun van Dijk, Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach, (London: Sage,
2002), h. 66-67
23
dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan
masyarakat, serta struktur sosial mikro dengan makro.10
Menurut van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah
teoritis sistematis dan deskriptif yaitu struktur dan strategi di berbagai
tingkatan dan wacana lisan tertulis, dilihat baik sebagai objek tekstual dan
sebagai bentuk praktek sosial budaya, antar tindakan dan hubungan. Sifat
teks ini berbicara dengan yang relevan pada struktur kognitif, sosial,
budaya, dan sejarah konteks. Singkatnya, studi analisis teks dalam
konteks. Momentum penting dari pendekatan tersebut terletak pada fokus
khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama membuat eksplisit
cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dominan dan mengakibatkan
ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.11
Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi
sosial.” Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi
sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya
teks.12
Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi
sosial dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan
ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks
yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang
dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial
10
Teun Van Djik,. Discourse and Society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New
Delhi: Sage, 1993), h. 249 11
Teun Van Dijk, Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa
Metodologi Reflektif, artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com 12
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Semiotik,
dan Analisis Framing, h. 73
24
dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu
penulis. Sementara itu aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana
yang berkembang dalam masyarakat mengenai suatu masalah.13
Dapat
digambarkan seperti di bawah ini:
Gambar 1.
Diagram Model Analisis Van Dijk14
Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan
dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:15
Tabel 1.
Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
STRUKTUR METODE
Teks
Menganalisis bagaimana strategi wacana
yang digunakan untuk menggambarkan
seseorang atau peristiwa tertentu.
Bagaimana strategi tekstual yang dipakai
untuk memarjinalkan suatu kelompok,
gagasan atau peristiwa tertentu
Critical linguistic
Kognisi Sosial
Menganalisis bagaimana kognisi penulis
dalam memahami seseorang atau
peristiwa tertentu yang akan ditulis
Wawancara mendalam
13
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Ananlisis Teks Media, h. 224 14
Ibid, h. 225 15
Ibid, h. 275
Konteks Sosial
Konteks Sosial
Kognisi Sosial
Kognisi Sosial
Teks
Teks
25
Konteks Sosial
Menganalisis bagaimana wacana yang
berkembang dalam masyarakat, proses
produksi dan reproduksi seseorang atau
peristiwa digambarkan
Studi pustaka, penelusuran sejarah,
dan wawancara
3. Kerangka Analisis Van Dijk
a. Dimensi Teks
Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat
digunakan, untuk melihat suatu wacana yang terdiri dari berbagai
tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya kepada tiga
tingkatan, yaitu.
Tabel 2.
Struktur Teks Van Dijk16
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema
yang diangkat oleh suatu teks
Superstruktur
Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun
dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan
kesimpulan
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat,
dan gaya yang dipakai oleh suatu teks
Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan oleh van Dijk
dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.
Elemen Wacana Teks Van Dijk
Struktur
Wacana
Hal yang diamati Elemen
Struktur Makro TEMATIK
Tema atau topik yang
Topik
16
Ibid, h. 227
26
dikedepankan dalam suatu berita
Superstruktur SKEMATIK
Bagaimana bagian dan urutan
berita diskemakan dalam teks
berita utuh
Skema atau Alur
Struktur Mikro
SEMANTIK
Makna yang ingin ditekankan
dalam teks berita. Misal, dengan
memberi detil pada satu sisi atau
membuat eksplisit satu sisi dan
mengurangi sisi lain
Latar, Detil,
Maksud,
Praanggapan,
Nominalisasi
Struktur Mikro SINTAKSIS
Bagaimana kalimat (bentuk,
susunan) yang dipilih
Bentuk kalimat,
Koherensi, Kata
ganti
Struktur Mikro STILISTIK
Bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam teks berita
Leksikon
Struktur Mikro RETORIS
Bagaimana dan dengan cara
penekanan dilakukan
Grafis, Metafora,
eskpresi
Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling
berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh
gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah
penjelasan singkatnya, yaitu:
a) Tematik (Tema atau Topik)
Elemen ini menunjuk kepada gambaran umum dari teks, disebut
juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topik menggambarkan apa yang
ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik
menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting
dalam sebuah berita.
b) Skematik (Skema atau Alur)
Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan
sampai akhir. Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun
dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti.
27
Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah
strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan
dengan urutan tertentu.
c) Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)
Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna
lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan
antarkalimat, hubungan antarproposisi, yang membangun makna tertentu
dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks,
seperti makna yang eksplisit maupun implisit.17
Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar
apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu
dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu dibawa.
Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang
ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan
untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil
lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil
sedikit.
Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itu
mengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit
atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Kalau
praanggapan (presuppotion) merupakan pernyataan yang digunakan untuk
mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber
yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.
17
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 78
28
d) Sintaksis (Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, “Sintaksis ialah bagian atau
cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase…”18
Dalam sintaksis terdapat koherensi, bentuk kalimat
dan kata ganti. Di mana, keriga hal tersebut untuk memanipulasi politik
dalam menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif,
dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat).
e) Stilistik (Leksikon)
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata
„meninggal‟ yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain.
f) Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi)
Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan
bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis,
penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis
adalah untuk menyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang
dikonstruksi oleh wartawan.
b. Dimensi Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis van Dijk, pentinya kognisi sosial yaitu
kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap
teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka,
atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak
18
Ibid, h. 80
29
dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang memiliki
beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari
kehidupannya.
Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara
pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Ada beberapa
skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis,
digambarkan sebagai berikut:19
Tabel 4.
Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk
Skema Person (Person Schemas):
Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan
memandang orang lain
Skema Diri (Self Schemas):
Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,
dipahami, dan digambarkan oleh seseorang
Skema Peran (Role Schemas):
Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan
menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat
Skema Peristiwa (Event Schemas):
Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu
ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
c. Dimensi Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial,
yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik
pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati
bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan
legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin yang penting, yakni praktik
kekuasaan (power) dan akses (access).
19
Eriyanto, Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media, h. 262
30
Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu
kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya.
Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat
memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut.
Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya
adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar
dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya
akses kepada media dalam memengaruhi wacana.
B. KONSEPTUALISASI BERITA
1. Pengertian Berita
Paul De Massener dalam buku Here‟s The News: Unesco Associate
menyatakan, news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan
menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James
M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini,
kecendrungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih
baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans
dalam Mirza, 2000:68-69).20
Berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang dilaporkan.
Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk
dilaporkan, belum dapat disebut berita. Wartawan yang menonton dan
menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa.
Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah memahami proses atau
20
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64
31
jalan cerita, yaitu harus tahu Apa (what) yang terjadi, Siapa (who) yang
terlibat, Bagaimana kejadian itu terjadi (how), Kapan (when) terjadi, Di
mana (where) peristiwa itu terjadi, dan Mengapa (why) sampai terjadi.
Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.21
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita
tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung
dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa
atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.22
Setelah merujuk kepada beberapa definisi tersebut, maka dapat
didefinisikan berita sebagai berikut; Berita adalah laporan tercepat
mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi
sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio,
televisi, atau media online internet.23
2. Nilai-Nilai Berita
Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita
sebagai dasar patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana yang
panats untuk diliput, dan mana yang tidak. Meski menurut Downie JR dan
Kaiser, istilah tersebut tidak mudah didefinisikan.
Kriteria nilai umum berita, menurut Brian S.Brooks, George
Kennedy, Darly M. Moen, dan Don Ranly dalam “News Reporting and
Editing” (1980: 6-17) menunjuk kepada sembilan hal. Beberapa pakar lain
menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks (sex) dalam
21
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, h. 18 22
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 55 23
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Teknik Menulis Berita dan Feature, h. 65
32
segala dimensi dan manifestasinya, juga termasuk ke dalam kriteria umum
nilai berita yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan
editor media massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris
Sumadiria dalam bukunya “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan
Feature,” yakni:
a. Keluarbiasaan (unsualness)
b. Kebaruan (newness)
c. Akibat (impact)
d. Aktual (timeliness)
e. Kedekatan (proximity)
f. Informasi (information)
g. Konflik (conflict)
h. Orang pentingg (prominence)
i. Ketertarikan manusiawi (human interest)
j. Kejutan (suprising)
k. Seks (sex)24
3. Jurnalisme Naratif
Menurut Sudirman Tebba dalam Jurnalistik Baru, berita dapat
dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (straight
news), berita komprehensif (comprehensive news), dan feature.
Berita langsung dan feature, adalah dua jenis berita yang sering
dipakai pada umumnya. Narasi hadir sebagai salah satu bentuk feature
24
Ibid, h. 80
33
karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan
deskrispi, karakterisasi, dan plot.
Istilah jurnalisme naratif ini dikembangkan oleh Mark Kramer
sejak tahun 1998 dalam The Nieman Fellowship di University Harvard.
Jurnalisme ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction. Meski
penulisannya menggunakan gaya bercerita atau story telling tapi tetap saja
fakta adalah unsur utamanya. Bergaya seperti seorang story teller atau
pendongeng yang melaporkan peristiwa dengan nilai dramatis yang kuat
dan tingkat immersion yang tinggi.
Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil
perkawinan silang, antara keterampilan mengisahkan cerita dan
kemampuan jurnalis dalam mendramatisir hasil observasinya terhadap
berbagai orang, tempat, dan kejadian nyata di dunia,” ungkap Robert Vare
dalam diskusi dengan para jurnalis tentang narrative journalism yang
dilaporkan Nieman Reports.25
Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simpel dibandingkan dengan
jurnalisme sastrawi, model laporannya pun lebih linier, dan tidak serumit
pengisahan berita literary journalism. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya
menyampaikan peristiwa yang terjadi namun juga harus pandai
mengisahkannya dalam rangkaian fakta yang dikisahkan.
Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah, dan akhir
laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog serta cerita
pendek. Selain itu, keringkasan kisah. “Pembaca mengejar apa yang
25
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 148
34
dikisahkan,” tegas Woo, “dan reporter harus segera menyampaikannya.”
Riset juga diperlukan, ini menolong wartawan yang kehilangan ide untuk
mengawali serta mengakhiri laporannya.
Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam narrative
journalism berkembang istilah teknis seperti jurnalisme sastrawi (literary
journalism), creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction.
Oleh karena itu, diperlukan untuk membahas tentang jurnalisme narasi
pada bab ini.
Jurnalisme ini memang menyediakan halaman yang besar bagi
wartawannya untuk mengeksplorasi kemampuan dalam mempresentasikan
kisahnya. Tapi, menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai bila
antara editor dan reporter telah mencapai kesepahaman mengenai:
Penggunaan teknik-teknik naratif dalam jenis kisah tertentu
Proses reportase untuk laporan naratif
Siapa yang seharusnya menulis dan menyunting laporan
semacam itu26
Unsur-unsur dalam naratif ini memang menambahkan banyak hal,
yang berbeda daripada straight news maupun feature pada umumnya,
karena naratif lebih mengacu kepada bagaimana (How) bukan apa (What).
Karena naratif ini bukan sekedar melaporkan peristiwa dengan gaya
penulisan yang biasa tapi terkait mengenai melaporkan kisah, yang artinya
seperti dikatakan oleh Tom Wolfe bahwa naratif harus diistilah sebagai
details life. Penggambaran hidup secara detil dan menyeluruh ini dapat
26
Ibid, h. 153
35
digambarkan seperti elemen-elemen emosi, karakter, deskriptif tempat,
serta kelas sosial mereka.
C. JURNALISME SASTRAWI
“Ia (jurnalisme sastrawi) seratus persen jurnalisme. Hanya
saja ditulis dengan gaya sastra. Ia juga seratus persen fakta, bukan
fiksi. Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah metode penulisan
dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada.
Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal
beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas.”27
Pulitzer Prize menyebutnya “eksplorative journalism.” Apapun
nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam
daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja
melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi
yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada
karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya
panjang dan utuh-tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.
Sedangkan Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter
Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H adalah
singkatan dari Who (siapa), What (Apa), Where (di mana), When (kapan),
Why (mengapa), dan How (bagaimana). Pada narasi menurut Clark dalam
satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi
plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why
menjadi motif, dan how menjadi narasi. 28
27
Junarto Imam Prakoso, Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi, artikel diakses pada 23
Mei 2010 dari http://www.semesta.net 28
Andreas Harsono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, h. VIII
36
Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena
dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang
tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk
mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran
televisi.29
Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu
mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang
terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun,
segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan
mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis
di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi
wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya.
Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi
(depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab
dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar
kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh
suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga (point of
view), dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.30
Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi “Jurnalisme
Sastrawi” Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak
menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme
menyucikan fakta. Walau memakai kata „sastra‟ tapi tetap saja harus
29
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 30
Ibid, h. 5
37
berdasarkan fakta. Fakta tersebut harus diverifikasi, karena verifikasi
adalah esensi dalam jurnalisme.
Kedua, konflik. Bila ingin menulis laporan narasi, maka sebagai
daya pikatnya adalah konflik. Konflik itu sendiri bisa bermacam-macam,
entar konflik internal yang berada dalam diri maupun konflik eksternal
yang berada di luar diri.
Ketiga, karakter. Unsur karakter ini membantu untuk mengikat
cerita. Karakter itu bisa sebagai peran utama dalam pengisahan tersebut,
bisa juga peran pembantu. Baik peran utama dan pembantu memiliki
fungsi yang penting dalam menghidupkan kisah.
Keempat, akses. Akses ini dimaksudkan sebagai peluang untuk
mendapatkan jaringan kepada narasumber supaya lebih mudah. Entah
dengan cara wawancara, korespondensi, foto, catatan pribadi narasumber,
kawan, dan sebagainya.
Kelima, emosi. Unsur emosi ini untuk menghidupkan karakter
dalam kisah tersebut. Emosi itu bisa saja dengan marah, tertawa,
tersenyum, dan cinta. Keenam, perjalanan waktu atau series of time. Pada
perjalanan waktu ini yang membedakan dari feature, jika feature itu sekali
jepret foto dan narasi itu ibarat video. Terserah kepada si-penulis ingin
menuliskannya yang mana lebih dahulu, apakah kronologis atau
menggunakan alur flashback.
Ketujuh, unsur kebaruan. Unsur kebaruan ini maksudnya adalah
lebih mudah untuk mewawancarai narasumber dari orang biasa yang
menjadi saksi mata bagi peristiwa besar. Dibandingkan mewawancarai
38
seorang panglima tinggi, yang pastinya hasil wawancara tersebut sudah
dapat ditebak.
Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin
menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik
jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional.
Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru.
Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori
dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian
konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan
pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil. Jika
diuraikan secara detil dari empat elemen dalam jurnalisme sastra, yakni:
a. Konstruksi Adegan Demi Adegan
Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B.
Rahmono, adegan ialah bagian dari suatu babak di dalam pementasan
teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau latar berubah.
Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta-berita-yang
mengilustrasikan pelbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat
sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan berita yang ingin
dilaporkan.31
Laporan ini disusun dengan menggunakan teknik bercerita adegan
demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, jurnalisme ini
menggunakan kelebihan dari teknik novel realisme dan roman, sehingga
berusahan mendalami “mengapa” dan “bagaimana”. Setelah tersusun fakta
31
Ibid, h. 46
39
maka dibentuk menjadi news story, yang meliputi unsur-unsur sosial dan
pelbagai ciri kemasyarakatan lainnya.
b. Pencatatan Dialog Secara Utuh
“Encyclopaedia of Literature” menyatakan bahwa dialog berasal
dari bahasa Latin (dialogus) atau bahasa Yunanri (di‟alogus). Dialog ini
merupakan elemen sebagai penghidup dari kisah serta sebagai saluran
untuk merepresentasikan perubahan topik kepada gagasan penulis.
Unsur dialog ini menguatkan keutuhan adegan dan memberikan
sentuhan riil pada laporan news strory. Dialog ini lebih menggunakan
kutipan langsung dibandingkan kutipan tidak langsung. Karena dengan
kutipan langsung ini, lebih mengukuhkan kekuatan dari lorong-lorong
peristiwa dan saat pembaca membacanya akan terasa lebih renyah.
c. Sudut Pandang Orang Ketiga
Pada karakteristik ini, sebagai representasi dari setiap suasana
peristiwa atau berita melalui pandangan mata orang ketiga yang
dimunculkan dalam kisah tersebut. Sudut pandang (points of view) ini
ditulis layaknya seperti kita ada di sana, melukiskan seperti novelis atau
penulis memoar.
d. Mencatat Secara Detil
Dalam elemen mencatat secara detil ini, sebagai perbedaan dati
teknik gaya penulisan jurnalisme sastra dengan feature pada umumnya. Di
mana dengan pencatatan secara detil ini menyeleuruh kepada perilaku,
adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan
40
wisata, makanana, cara merawat rumah, serta hubungan kehidupan dengan
orang sekitar.
Perekaman secara detil ini akan memberikan kekuatan literer
dalam pelaporannya. Secara otomatis, elemen terakhir ini memberi
pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan
seseorang, dan mencatat lambang-lambang sosial.
Pengamatan terhadap sudut pandang penulis tersebut, bisa lewat
kata “saya” atau “I”. Bisa juga melalui tokoh-tokoh lainnya (sudut
pandang dari orang ketiga). Namun, yang terpenting dalam deskripsi
mengenai pencatatan secara detil ini dapat ditampilkan lebih tajam, detil,
lengkap, dan bermakna.
41
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. MAJALAH PANTAU
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya
Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di
Indonesia, beragam media massa mulai bermunculan. Dari media
berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional atau media mainstream.
Seakan-akan gaung kemerdekaan pers baru terasa “merdeka” pasca
reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan.
Perkembangan media massa yang signifikan ini bisa dilihat dari
jumlah surat kabar yang dahulu berjumlah 200 penerbitan, kini naik
menjadi 1500-2000 penerbitan setelah reformasi. 1
Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamurnya tersebut,
membuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan
menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah
satunya, Yayasan Pantau yang dahulunya bernama Majalah Pantau.
Pada awal berdiri, Majalah Pantau adalah sebuah majalah yang
diterbitkan di bawah naungan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada
Juli 1999. ISAI dan Article XIX adalah organisasi nirlaba untuk
kebebasan berekspresi dari London yang juga ikut mengonsultani
Rancangan Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999 dan bersama-
1 Yayasan Pantau, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00
WIB dari http://www.lidahibu.com
42
sama memantau televisi serta menerbitkan penelitiannya lewat Pantau
melalui sebuah newsletter.
Pada Pemilu 1999, ISAI mengadakan program Pemantauan
Televisi yang bekerjasama dengan Article XIX London. Hasil
pemantauannya tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang
bernama Pantau dan terbit setiap minggu selama masa kampanye Pemilu.
Tujuannya, untuk memantau televisi-televisi Indonesia dalam meliput
Pemilu pasca Orde Baru (Orba). Sesudah Pemilu, Pantau diubah menjadi
majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan
analisis isi.
Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuat newsletter
lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Pantau yang pada
awalnya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak
hanya memantau permasalahan kampanye Pemilu belaka.
Maka pada Maret 2001, Pantau diubah menjadi majalah bulanan.
Partnership for Governance Reform in Indonesia dan Ford Foundation
membantu pendanaan Pantau dengan hibah masing-masing sebesar
US$65,000 (2001-2002) dan US$200,000 (2001-2003). Tujuannya,
menjadikan Pantau sebagai majalah bulanan dengan liputan mendalam
soal media dan jurnalisme. Beberapa perusahaan dan organisasi
memberikan sumbangan sehingga total dana Pantau terpakai sekitar
$350,000 dalam dua tahun (termasuk investasi awal).
Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan
mendalam. Bisa soal media, wartawan, Aceh, terorisme, dan lain-lain.
43
Isinya, sekitar 60 persen mengenai media dan 40 persen non media.
Majalah Pantau ini menjadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia,
karena untuk pertama kalinya media massa Indonesia diliput media lain
dengan standar wajar-tanpa standar ganda karena khawatir saling
mengganggu sesama wartawan.
Andreas Harsono, seseorang yang aktif berkecimpung dari awal
Majalah Pantau di bawah ISAI sampai diterbitkan oleh Yayasan Pantau,
mengatakan bahwa di Indonesia Majalah Pantau adalah majalah pertama
yang dengan sadar menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi,
dengan menggunakan elemen-elemen yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.
“Kalau dilihat secara teoritis, dilakukan secara sadar dengan
membaca Tom Wolfe, dengan memakai elemen-elemen yang
diterangkan oleh Tom Wolfe dengan visi new journalismnya
tampaknya yang muncul secara sadar dan dengan naratif yah baru
Pantau.”2
Pantau terbit rutin pada setiap hari Senin pertama. Tiap bulan
dicetak 3,000 eksemplar dan sirkulasi terjualnya naik hingga mencapai
2,500 pada Februari 2003. Menurut survei “Business Digest” pada
Oktober 2002, sebuah majalah Pantau rata-rata dibaca enam orang dan 62
persen pembaca Pantau adalah wartawan (media cetak disusul wartawan
televisi). Sisanya politisi, akademisi, orang public relation, dan
mahasiswa. Contohnya seperti Ali Alatas, mantan Menteri Luar Negeri
(Menlu) Indonesia, termasuk pelanggan Pantau dan menyukai majalah ini.
Liem Sioe Liong dari organisasi Hak Asasi Manusia
(HAM) Tapol London menyebut majalah ini sebagai majalah
terbaik di Indonesia. Muchtar Buchori, seorang legislator dari
2 Hasil wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan
Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB
44
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kolumnis Jakarta Post,
menyebutnya "majalah investigasi."3
Seberapa pun banyak pembaca dari Majalah Pantau tersebut serta
kekhasan jurnalisme sastrawi yang digunakan dalam teknik penulisannya,
hal ini tidak membuat Pantau mempunyai nafas panjang dalam industri
media. Pada tanggal 13 Februari 2003, melalui siaran pers ISAI kepada
beberapa media melalui surat elektronik, Majalah Pantau resmi ditutup.
Dirut ISAI Goenawan Mohamad mengatakan bahwa
struktur pembiayaan majalah Pantau dengan liputan-liputan
panjang, honor relatif tinggi, foto atau lukisan artistik, biaya
liputan, sementara permintaan pasar tipis dan pemasukan iklan
sedikit, mendorong manajemen ISAI untuk menutup majalah ini,
setelah beroperasi selama dua tahun. "Saya berat sekali. Majalah
ini bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus
kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup
dari perdagangan, tapi harus disubsidi. Dan itu yang kita tak
punya," papar Goenawan.4
Pantau edisi terakhir, Februari 2003 menurunkan laporan sepanjang
25 halaman tentang kehidupan tentara-tentara Indonesia di Aceh.
"Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" dikerjakan Alfian Hamzah, seorang
wartawan muda asal Kendari, yang tinggal selama dua bulan penuh
bersama sebuah batalyon Indonesia di daerah Aceh Barat.
Kata Andreas, setiap kali penerbitan, redaksi menyiapkan
waktu yang panjang sebelum menurunkan sebuah laporan. Laporan
Alfian itu, kata Andreas, disiapkan sejak Juli 2002. Kini, katanya,
di meja redaksi masih tersimpan beberapa laporan untuk penerbitan
tiga hingga empat bulan mendatang. Laporan-laporan itu akan
diputuskan, apakah akan dimuat atau dikembalikan, pada rapat
Kamis 13 Februari 2003. Pantau mengandalkan kontributor lepas
untuk mengerjakan hampir 70 persen isi majalah; mulai dari
laporan hingga kartun dan foto. Majalah ini memiliki sekitar 140
3 Anggar Septiadi, Laporan Jurnalistik yang Bercerita, artikel diakses pada Rabu, 3
November 2003 pkl 22.10 WIB dari http:www.kompas.com/kompasiana/media 4Tma, ANT, Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit, artikel diakses pada Rabu
3 November 2010 pkl 22.00 WIB dari http:// www.gatra.com
45
kontributor, dari Banda Aceh hingga Jayapura.5
Sekitar 100 kontributor Pantau merasa misi mereka meningkatkan
mutu jurnalisme Indonesia dan melayani publik lewat informasi-informasi
yang independen dan bermutu, jadi terputus. Mereka menilai majalah ini
harus diterbitkan lagi karena di Indonesia tidak ada media yang
menyajikan informasi dengan bercerita atau story telling seperti “The New
Yorker” atau “The Atlantic Monthly,” dengan menggunakan riset dalam,
referensi banyak, dan enak dibaca.
Oleh karena itu, dengan diprakarsai oleh awak redaksi yang tersisa,
mereka mendirikan Yayasan Pantau untuk meneruskan cita-cita majalah
pada Agustus 2003. Tadinya, yang hanya seputar analisis media, kini
merambah kepada ranah seputar politik-cum-kebudayaan. Manajemen
ISAI mendukung dan memberikan copy rights (hak cipta) Majalah Pantau
kepada Yayasan Pantau dan tetap menggunakan nama Pantau.
Seperti yang dijelaskan dalam wawancara dengan Imam Sofwan,
dari Yayasan Pantau;
“Yayasan PANTAU berdiri sendiri sejak dari tahun 2003,
sebelumnya dia di bawah ISAI (Institut Arus Informasi). Jadi ISAI
itu membawahi beberapa lembaga, ada Radio 68H, ada Pantau, ada
Jaringan Islam Liberal (JIL), KALAM, dan macam-macam. Trus,
tahun 2003 berdiri sendiri, kita bikin yayasan sendiri. Waktu itu,
ada Andreas Harsono, Budi Setyono, Indarwati Aminuddin
(sekarang di Belanda). Mereka mengajukan permohonan untuk
bikin yayasan sendiri, juga ada notaris.”6
Produk terbitannya tetap dalam format majalah bulanan dan
menggunakan penulisan genre jurnalisme sastrawi, hanya saja tidak lagi
5 Bagja Hidayat (Tempo-News Room), Majalah Pantau Berhenti Terbit, artikel diakses
pada Rabu, 13 November 2010 pkl 22.30 WIB dari http://www.tempointeraktif.com 6 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3
November 2010 pkl. 14.00 WIB
46
diterbitkan di bawah ISAI namun dibawahi langsung oleh Yayasan Pantau
dengan pemimpinnya Andreas Harsono bukan lagi Goenawan Mohammad
(ISAI).
Tapi, lagi-lagi majalah ini mengalami krisis yang sama, yaitu
permasalahan keuangan (cashflow) dan pemasaran (marketing). Sehingga
membuat Majalah Pantau hanya bertahan sebanyak tiga edisi dan kembali
gulung tikar. Meski, Pantau sempat terbit tiga edisi lagi namun dengan
perwajahan yang sedikit berbeda antara Desember 2003 hingga Februari
2004.
Majalah Pantau untuk kedua kalinya menelan pil pahit. Selain dua
persoalan di atas, Andreas mengungkapkan ada salah seorang kawan
dalam manajemen Yayasan Pantau yang menggelapkan uang iklan.
“Selain dana, yah ada yang menggelapkan uang, oleh
kawan kami sendiri sehingga membuat kami capek. Yah, itu saja.
Kami capek, sudah ngumpulin uang susah-susah tapi malah dibawa
lari. Shock banget kami.”7
The Ford Foundation mendukung dana awal untuk merombak
desain dan meluncurkan ulang majalah ini pada Maret 2001. Suzanne
Siskel dari The Ford Foundation pun mendukung tanpa syarat meski ia
meragukan kemampuan di luar manajemen non-redaksinya.
Awak majalah awalnya terdiri dari Ade Juniarti, Agus Sudibyo,
Eriyanto, Heru Widhi Handayani, Eri Sutrisno, Irawan Saptono, Joko
Sudarsono, Linda Chistanty, Veven SP. Wardhana, dan Wiratmo Probo.
Joko pontang-panting mengurus desain, kartun, dan gambar. Dibyo dan
7 Hasil Wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan
Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB
47
Eriyanto bikin riset media. Irawan, Linda, dan Veven menjaring para
kontributor. Eri Sutrisno mengatur distribusi dan pemasaran.8
Saat Majalah Pantau di bawah ISAI, para perupa yang membantu
dalam Pantau yaitu Agus Suwage, Suraji, Wara Anindyah, Augustin
Surauni, M. Syaifuddin, Agus Kurniawan, Yuswantoro Adi, Bunga Jeruk,
Zulfirmansyah, dan lain-lain. Serta para karikaturis, kartunis, hingga
fotografer. Mereka membentuk citra Pantau sebagai medium yang
memberikan perhatian kepada seni. Menurut Joko, “Mereka masih
membekaskan kesan yang nomplok.”
Ketika majalahnya tutup kembali untuk kedua kalinya, Yayasan
Pantau tidak kehabisan cara guna menyosialisasikan genre jurnalisme
sastrawi serta memperbaiki mutu jurnalisme di Indonesia, yaitu dengan
memberikan pelatihan dan kursus-kursus bagi wartawan, mahasiswa serta
pers kampus pada umumnya. Seperti yang diterangkan oleh Imam Sofwan
bahwa Yayasan Pantau telah membuat sindikasi Pantau di Aceh dengan
nama Aceh Feature Service.
“Kita sempat juga bikin sindikasi Pantau, namanya Pantau
Feature Service, itu khusus fokus bikin feature-feature bencana
Aceh pasca tsunami, berupa penulis-penulis Pantau yang dulu nulis
di majalah kemudian nulis di Pantau Feature Service.
Kemudian, belakangan pada akhir 2006 penanggung
jawabnya Linda dan editor Linda kemudian dari Desember akhir
2006 sampai akhir 2008. Kemudian itu, selain bikin Pantau Feature
Service, kita juga bikin kegiatan yang konsen training, sudah ada
70 training yang sudah diadakan di seluruh Indonesia. Minimal ada
sekali training. Yang rutin di Pantau memang cuma ada dua reguler
kursus di Pantau. Yang pertama, kelas narasi dua kali setahun, yang
jurnalisme sastrawi satu kali per tahun. Memang di situ lah yang
kemudian kita mempromosikan jurnalisme sastrawi dengan cara
8 Andreas Hasono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Liputan Mendalam dan
Memikat, (Jakarta: KPG, Cet Kedua Mei 2008), h.323
48
penulisan naratif. Dan rata-rata penulis-penulis Pantau alumni dari
kelas-kelas itu. Yang jurnalisme sastrawi sudah angkatan yang ke-
19 dan yang narasi angkatan ke-10. Dari situ, praktis setelah
majalah PANTAU tutup dan Aceh Feature Service selesai
programnya, maka praktis kegiataannya cuma training dan
beberapa riset, dan penerbitan beberapa buku, seperti jurnalisme
sastrawi.”9
Ketika, pada akhirnya Majalah Pantau tutup kembali, beragam
media massa nasional memberitakannya, respon dari para pembaca pun
beragam. Majalah bagus yang berkualitas memang membutuhkan dana
besar serta strategi marketing yang bagus.
Media nasional yang memberitakan tutupnya Pantau tersebut di
antaranya yaitu, media online www.gatra.com mengangkat judul “Majalah
PANTAU Berhenti Terbit” pada Jakarta, 13 Februari 2003 pukul 18:18
WIB. Kedua, dari Bagja Hidayat- Tempo News Room (TNR) diambil pada
www.tempointeraktif.com menulis dengan judul yang sama dengan
Gatra.com yaitu “Majalah PANTAU Berhenti Terbit” pada Selasa, 13
Februari 2003. Serta yang ketiga, dengan secara khusus Wisnu
T.Hanggoro, Direktur Lembaga Studi Pers & Informasi (LeSPI) menulis di
kolom http://suaramerdeka.com tentang plus minusnya Majalah Pantau
yang judul “Menyimak Tutupnya Majalah Pantau” pada Sabtu, 15 Februari
2003.
Tutupnya Majalah Pantau ini, tidak membuat awak redaksi
Yayasan Pantau reda semangatnya. Mereka membuat pelatihan, kursus,
dan kerja sama lainnya seputar jurnalisme sastrawi. Kerjasama
internasional yang sudah dikerjakan dan dirintis oleh Yayasan Pantau
9 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB di
Kantor Yayasan Pantau
49
adalah dengan Bill Kovach, wartawan terkemuka dunia, ketua Committee
of Concerned Journalist dan kurator Nieman Foundation, Harvard
University. Di bawah pengorganisasian Yayasan Pantau, Kovach pada
Desember 2003 lalu berdiskusi di sejumlah kota di Indonesia, sambil
meluncurkan bukunya “The Elements of Journalism,” yang diterbitkan
Yayasan Pantau dalam bahasa Indonesia. Kemudian, pada Desember 2004,
Yayasan Pantau menggandeng Michael Cowan, pengajar pada Columbia
Graduate School of Journalism, New York, yang juga produser acara
"Today" NBC.
Kerjasama internasional lainnya adalah dengan penulis buku
“Covering Globalization,” Anya Schiffrin dari Initiative of Policy
Dialogue, sebuah lembaga nirlaba yang dikembangkan penerima Nobel
Joseph E. Stiglitz. Beberapa nama lain adalah Mila Rosenthal dari
Columbia University dan Kevin Cassidy dan Carmen dari ILO, Noriel dan
Agatha Schmaedick dari the Worker's Right's Consortium.
Sejak April-Juni 2005, Pantau bekerjasama dengan Bisnis
Indonesia untuk melakukan workshop terhadap 60 reporter dan redaktur
Bisnis Indonesia yang berlangsung selama empat bulan sekaligus
mempersiapkan mereka memasuki perubahan dalam bentuk penulisan
byline dan etika pagar api (firewall), suatu kewajiban dalam media, yang
tak banyak dipraktikkan di Indonesia.
Pada Mei 2005, Pantau bekerjasama dengan PT. Freeport Indonesia
melatih wartawan-wartawan di Papua. Pantau juga mengorganisir jadwal
dan kunjungan US Jefferson Fellows di Indonesia dan pada Juli hingga
50
Desember 2005. Pantau terlibat dengan sejumlah riset dan training di
Kupang, Ende, Aceh, Lampung, Pontianak, Jember dan sebagainya.
Bulan Mei 2005 juga, Yayasan Pantau menjadi institusi resmi yang
menjalankan program The East-West Center Jefferson Fellowships di Asia
Pasifik. Program ini telah berlangsung selama 38 tahun di berbagai negara,
yang menghimpun sedikitnya 400 jurnalis negara-negara maju. Dengan
mata acara mulai dari seminar hingga studi lapangan dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pelatihan reguler yang biasa dilakukan Yayasan Pantau adalah
Kursus Jurnalisme Sastrawi (Literary Journalism), yang kini sudah
memasuki Angkatan ke-10. Kursus ini berlangsung satu semester sekali,
tiap bulan Januari dan Juni.
Pelatihan lainnya adalah workshop terprogram untuk para calon
wartawan. Praktis Yayasan Pantau harus berkeliling dari satu kota ke kota
lain. Fokus utamanya, adalah melatih para penggiat pers kampus (pers
mahasiswa). Untuk kegiatan ini, Pantau mendapatkan dana dari
Umverteilen, lembaga nirlaba dari Berlin, Jerman, yang antara lain
mengkhususkan pelatihan untuk mahasiswa.
Ada juga jenis inhouse training, beberapa portofolio yang sudah
Yayasan Pantau lakukan adalah dengan melatih para wartawan di
lingkungan Fajar Group, Makassar, pada September 2003, yang
melibatkan sedikitnya sembilan surat kabar dari anak perusahaan Fajar
Group. Pelatihan terhadap mereka adalah materi liputan investigatif.
Di luar pelatihan, Pantau pun masih terus mengembangkan liputan,
51
walau tak memiliki majalah. Salah satu proyek liputan terakhir adalah
kerjasama dengan Unesco dalam program liputan mendalam yang
dianggap penting diketahui publik. Liputan ini, yang berlangsung mulai
September 2005 sampai Januari 2006, diikuti oleh program seminar The
Latest Development in Investigative Journalism in Indonesia untuk
menjelaskan posisi liputan investigatif di Indonesia, yang sering disalah
pahami banyak media.
Program peliputan Pantau juga dikembangkan dalam bentuk
sindikasi media. Yayasan Pantau mengundang kontributor Pantau untuk
menulis aneka macam features, mulai indepht reporting, feature berita
hingga kolom. Seluruh naskah akan disimpan dalam website Yayasan
Pantau (www.pantau.or.id) yang sedang dalam pembangunan ulang.
Untuk keperluan tersebut, Pantau bekerjasama dengan Open Society
Institute (OSI) melalui Tifa Foundation dalam pendirian kantor Yayasan
Pantau di Aceh, yang secara khusus melakukan pemantauan atas upaya
rekonstruksi.
Kerjasama dimulai sejak September 2005 hingga September 2006
mendatang. Mengenai penerbitan buku, Yayasan Pantau belum dapat
berbuat banyak. Yayasan Pantau baru menerbitkan beberapa saja, yang
dimulai dengan buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovach
dan Tom Rosenstiels, pada tahun 2003.
Buku ini aslinya berjudul “The Elements of Journalism”, dianggap
salah satu buku jurnalisme terbaik penutup pada akhir abad ke-20. Buku
lain yang diterbitkan adalah “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
52
Mendalam dan Memikat,” pada 2005. Buku ini dikerjakan oleh para
kontributor Pantau, dan isinya dianggap bisa menerangkan apa yang
dimaksud dengan literary journalism, atau oleh Lembaga Pulitzer Prize
disebut explorative journalism.
Jika dapat dirangkum, maka terdapat beberapa keunggulan atau
nilai plus dari Majalah Pantau baik itu versi ISAI maupun versi Yayasan
Pantau, dibandingkan dengan media massa nasional lainnya di Indonesia,
yaitu:
a. Majalah Pantau difungsikan sebagai media-watch atau pemantau media
bagi media massa lainnya di Indonesia
b. Majalah Pantau menggunakan genre jurnalisme sastrawi yang pertama
kali diadopsi oleh “The New Yorker” di Amerika dan mengaplikasikan
elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam setiap tulisannya dari liputan
panjang hingga tulisan kolom
c. Majalah Pantau adalah majalah pertama yang secara sadar
menggunakan jurnalisme sastrawi
d. Manajemen Majalah Pantau menghargai kinerja seorang jurnalis
dengan memberikan honor relatif tinggi, yaitu Rp 400/kata kepada
reporter. Honor tinggi lainnya kepada foto atau lukisan artistik, serta
biaya liputan bagi jurnalis
e. Menyediakan kolom ombudsman sebagai seseorang yang dianggap
kredibel oleh manajemen Majalah Pantau untuk memantau serta
mengkritisi Majalah Pantau atau media massa
f. Majalah Pantau berani menggunakan konsep majalah berkarakter
53
tulisan panjang
g. Menggunakan reportase panjang, tanpa sidebar maupun tanya jawab
h. Berani mengambil risiko dengan mengandalkan freelance untuk
mengerjakan hampir dari 70% isi majalah dari laporan berita hingga
kartun dan foto
i. Memiliki 140 kontributor dari Banda Aceh hingga Jayapura, Papua
j. Majalah Pantau konsisten menggunakan byline (menulis nama penulis)
di bawah judul naskah berita dalam setiap laporan tulisannya sebagai
bentuk tanggung jawab atau transparansi dari penulis yang menulis
berita tersebut
Selain dari segi plus yang telah dirangkum di atas, Majalah Pantau
juga memiliki kekurangan akut dari awal penerbitan hingga tutupnya
majalah tersebut. Kurangnya dana dan kedua strategi pemasaran serta
kurangnya tenaga handal dalam bidang marketing.
Tidak bisa dipungkiri, majalah mewah dengan karakter laporan
penulisan panjang inilah, pastinya membutuhkan dana besar. Majalah
Pantau mempunyai dana besar dari para penyokong seperti Ford
Foundation dan pengiklan. Majalah ini dapat memperbaiki mutu
jurnalisme Indonesia dan memiliki segmentasi yang jelas. Segmentasi
Majalah Pantau adalah, wartawan, seniman, budayawan, akademisi,
mahasiswa dan masyarakat yang tertarik pada dunia jurnalistik. Tapi,
karena segmentasi yang tidak „merakyat‟ inilah membuatnya sulit untuk
beredar di kalangan masyarakat awam atau toko buku seperti Gramedia,
Gunung Agung, dan sebagainya.
54
Meski demikian, Majalah Pantau mendapatkan berbagai komentar
pada penghujung usianya. Di antaranya:
Maria Hartiningsih, wartawan harian Kompas, yang
menerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003 mengatakan, "Prosa
terbaik dan paling orisinal yang pernah ditulis jurnalis Indonesia
saat ini."
Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, yang
menerima Nieman Fellowship dari Universitas Harvard 2003-2004:
"The combination of the best in journalism and the best in literacy
can produce potent and effective non-fiction writings. This Pantau
collection is proof of that."
Janet Steele, dosen Universitas George Washington, yang
mengarang buku “Wars Within: A Story of Tempo, an Independent
Magazine in Soeharto's Indonesia” serta yang menulis disertasi
mengenai Majalah TEMPO mengatakan, "These pieces, not only
represent something new and appealing in Indonesian news
writing, but they also represent the highest calling of journalists: to
serve the citizens of Indonesia by reporting on some of the most
important social issues of our time."10
Yayasan Pantau juga mengelola sebuah mailing list pantau-
[email protected] dengan anggota lebih dari 600 wartawan,
produser, dan mahasiswa. Ada juga mailing list pantau-
[email protected] yang menjadi medium komunikasi
anggota Pantau. Sejumlah anggota Pantau telah memenangi beberapa
penghargaan dalam bidang jurnalisme, fotografi, kartun, desain, dan karya
fiksi.11
Tulisan dalam Majalah Pantau juga dapat diakses pada situs
website Yayasan Pantau melalui www.pantau.or.id. Dalam situs ini juga
masih menaruh laporan-laporan jurnalisme sastrawi dari para kontributor
hingga kini. Namun, karena situs Yayasan Pantau ini telah dihack
10
Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat, h. cover belakang 11
Artikel diakses dari http://www.pantau.com, pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10:30
WIB
55
sebanyak 250 kali oleh para hacker, maka Andreas Harsono mengatakan
hal utama yang dilakukan oleh manajemen Yayasan Pantau adalah
membangun ulang dan memperbaharui situsnya. Dengan demikian,
Yayasan Pantau tetap dapat menyosialisasikan tulisan jurnalisme sastrawi
kepada khalayak dari para kontributor melalui medium website.
2. Visi dan Misi Majalah Pantau
a. Visi Majalah Pantau
Visi Majalah Pantau adalah bertujuan untuk memperbaiki mutu
jurnalisme yang ada di Indonesia.
“Kalau visi misinya itu sendiri mungkin memperbaiki
jurnalisme di Indonesia. Karena Pantau sendiri didirikan dari
keprihatinan kualitas jurnalisme di Indonesia yang buruk. Artinya,
banyak hal yang menjadi kesimpulan kita di sini buruk. Terutama
soal diversity (keberagaman) soal bagaimana meliput konflik dan
segala macam. Kemudian, bagaimana kebanyakan media-media di
Indonesia menyuarakan orang-orang terkenal, menyuarakan pejabat
dan segala macam yang seharusnya tugas wartawan. Biasanya
prinsip-prinsip jurnalisme yang perlu diperbaiki kemudian Pantau
berusaha mulai memperbaiki jurnalisme di Indonesia, salah satunya
adalah dengan mempromosikan cara penulisan naratif dan waktu
itu kita bikin majalah untuk sarana promosi itu. Ini lho contoh cara
penulisan yang baik, kemudian soal uang yang terbatas. Wartawan
bisa nulis panjang dan segala macamnya, Pantau menyiapkan uang
itu.”12
Andreas juga mengungkapkan visi misi dari Majalah Pantau,
karena majalah ini adalah majalah media dan jurnalisme. Maka mandat
Majalah Pantau yaitu memantau radio, televisi, media, dan wartawan.
Tugas utamanya adalah meliput soal wartawan dan media.
12
Hasil wawancara dengan Imam Sofwan, pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB
di Kantor Yayasan Pantau
56
Selain itu, Majalah Pantau juga secara fokus juga berkonsentrasi
untuk mempromosikan cara penulisan naratif. Cara penulisan naratif yang
panjang ini jarang digunakan pada media mainstream Indonesia. Pantau
menggebraknya dan secara khusus dan kontinu (berkelanjutan)
menggunakan genre jurnalisme sastrawi ini, sama halnya seperti majalah
ikon Amerika Serikat yaitu “The New Yorker.”
b. Misi Majalah Pantau
Untuk mengaplikasikan visi dari Majalah Pantau tersebut, maka
Yayasan Pantau melakukan berbagai cara. Salah satunya, adalah dengan
memakai sistem ombudsman untuk memantau Majalah Pantau itu sendiri.
Ombudsman itu digunakan sebagai perangkat yaitu bagaimana
jurnalisme yang baik. Ada seseorang yang secara independen mengawasi
bagaimana praktik jurnalisme itu sudah benar atau belum. Dia mempunyai
wewenang untuk memutuskan itu. Selain itu juga, secara kualitas juga
dekat sekali, artinya untuk proses editing dan segala macam, chek rechek
itu standar yang belum banyak dipraktikkan.Makanya, Yayasan Pantau
memakai ombudsman, media pemantau dipantau pula oleh ombudsman.
“Paling tidak mereka (ombudsman Majalah Pantau) punya
record jurnalisme yang baik. Artinya mereka punya pengetahuan,
wawasan jurnalisme yang baiklah.”13
Selain ombudsman, misi Majalah Pantau adalah dengan memakai
byline dan sistem pagar api (firewall). Byline atau mencantumkan nama
asli penulis laporan berita tersebut digunakan sebagai transparansi si-
kontributor dan dapat dipertanggung jawabkan jika ada permasalahan.
13
Hasil wawancara dengan Imam Sofwan, pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB
di Kantor Yayasan Pantau
57
Sedangkan sistem pagar api (firewall) ini juga digunakan sebagai
pembeda atau pemisah untuk mengetahui mana yang opini dan mana yang
berita.
3. Struktur Organisasi Majalah Pantau
Susunan redaksi Majalah Pantau yang diterbitkan oleh Yayasan
Pantau, yaitu:14
a. Penanggung jawab : Andreas Harsono
b. Pemasaran dan Distribusi : Narliswandi Piliang
c. Sidang Redaksi : Agus Sopian, Budi Setiyono,
Mohamad Iqbal, Titarubi
d. Desain : Yusuf dari LeBoYe
e. Creative Director : Hermawan Tanzil
f. Ombudsman Pantau : Masmimar Mangiang
Sedangkan struktur organisasi pada Yayasan Pantau hingga kini,
yaitu:
Ketua Yayasan : Andreas Harsono
Sekretaris Yayasan : Budi Setiyono
Bendahara Yayasan : Artine Utomo15
14
Susunan Redaksi pada Majalah Pantau No.3/ Februari 2004, h.3 15
Yayasan Pantau, (Jakarta, Kebayoran Lama, 2009).
58
Gambar 2.
Struktur Organisasi Yayasan Pantau
4. Rubrikasi Majalah Pantau
Sejak Majalah Pantau terbit di bawah ISAI maupun di bawah
naungan Yayasan Pantau rubrikasi majalahnya tidak jauh berbeda.
Berdasarkan Majalah Pantau pada “periode kedua” di bawah naungan
Yayasan Pantau (Edisi Desember 2003), maka rubrikasi Majalah Pantau,
yaitu:
a. Daftar Isi : yaitu tentang daftar isi majalah dan sekilas judul di
dalamnya
b. Kontributor : berisi nama-nama kontributor pada edisi majalah
tersebut
BOARD
RTS Masli
Daniel Dhakidae
Hamid Basyaib
Artine Utomo
DIREKTUR
Andreas Harsono
WAKIL DIREKTUR
Budi Setiyono
MANAGER PROGRAM
Imam Shofwan
STAF PROGRAM
Siiti Nurrofiqoh
STAF UMUM
Khoirudin
KONTRIBUTOR/
HONORER
STAF KEUANGAN
Widji Lestari
59
c. Catatan Kota : berisi ragam informasi mengenai agenda even film,
musik, pertunjukan, tradisi, pameran, serta seminar atau diskusi
d. Obrolan : berisi empat hal yang sedang menjadi topik hangat
di tengah masyarakat. Obrolan kali ini terbagi menjadi sub rubrik,
yaitu identitas diri, pusaran uang, sejarah, gastronomi, dan republik
baru
e. Berpolitiklah : mengenai isu politik yang sedang hangat di
nasional
f. Kisah Pribadi : mengenai kisah pribadi dari petinggi atau pejabat
negara yang dituliskan dalam bentuk novel atau cerpen
g. Reporter dari Lapangan: berisi kabar dari lapangan yang dilaporkan
oleh para kontributor
h. Portofolio : berisi esai foto yang temanya dirapatkan saat
sidang redaksi
i. Resensi : resensi ini bisa mengenai film atau buku yang
sedang beredar di masyarakat
j. Pilar Anjungan: berita mengenai gaya arsitektur suatu bangunan
k. Sosok : yaitu kisah tentang sosok pribadi seseorang
l. Puisi : berisi kumpulan-kumpulan puisi
m. Ombudsman : berisi kritik atau saran kepada Majalah Pantau/
media massa
n. Gambar Belakang
60
5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau
Sistem keredaksian Majalah Pantau ini berbeda dari media massa
lainnya di Indonesia karena Pantau mengandalkan sekitar 70% isi
majalahnya dari para kontributor anggota Pantau. Berita-berita dalam
Majalah Pantau maupun dalam situs Yayasan Pantau, juga bisa ditulis oleh
manajemen redaksi Pantau serta kontributor Pantau.
Prosedur keredaksiannya yaitu reporter atau kontributor Pantau
mengajukan proposal liputan kepada pihak redaksi Majalah Pantau. Isi
proposal tersebut yaitu mulai dari apa yang akan diliput, siapa saja yang
akan dijadikan narasumber, tema liputan, outline tulisan, serta biaya
operasional reportase sampai selesai yang akan ditanggung sepenuhnya
oleh manajemen Majalah Pantau.
Kemudian dari pihak redaksi Majalah Pantau akan mendiskusikan
proposal tersebut. Dalam diskusinya, mereka akan menentukan layak atau
tidaknya tema liputan tersebut diangkat di Majalah Pantau. Serta
menentukan konsultan atau editor bagi reporter tersebut. Fungsi dari
konsultan ini adalah sebagai pihak tempat diskusi maupun pemberi
masukan bagi reporter sekaligus sebagai editor tulisan. Dahulu, editor
Majalah Pantau yaitu Andreas Harsono, Budi Setiyono, Linda Christanty,
dan Agus Sopian.
Jika sudah fix, selanjutnya reporter akan diskusi kepada editor yang
telah ditetapkan. Kemudian, reporter terjun reportase ke lapangan.
Reportasenya pun bisa berbulan-bulan lamanya hingga liputan selesai.
Karena narasumber yang diwawancarai pun bisa puluhan.
61
Setelah selesai reportase, reporter menuliskannya dengan teknik
penulisan genre jurnalisme sastrawi dan langsung diserahkan kepada
editor. Jika ada yang kurang, editor akan mencoret dengan tinta merah dan
dikembalikan kembali kepada reporter untuk diperbaiki sampai editor
menganggapnya selesai. Biasanya proses editing antara editor dengan
reporter dilakukan melalui surat elektronik atau email. Begitulah
seterusnya proses kinerja redaksi di Majalah Pantau.
Tabel 5.
Proses Keredaksian Majalah Pantau
Reporter/kontributor mengajukan proposal liputan
Redaksi Majalah Pantau mendiskusikannya
Pemilihan konsultan atau editor bagi reporter/ kontributor
Reportase mendalam/ liputan
Reporter menuliskannya
Proses Chek dan Rechek
Proses Editing Tulisan
Tulisan dipublikasikan
62
B. BIOGRAFI PENULIS DAN SINOPSIS BERITA “SEBUAH
KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT”
1. Biografi Chik Rini
Chik Rini adalah perempuan kelahiran Aceh. Usai dari SMA
Negeri 3 Banda Aceh pada 1993, ia melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi di Unsyiah pada Fakultas MIPA Jurusan Biologi.
Selama di Unsyiah, perempuan yang dipanggil Rini ini mengaku
tidak pernah bergiat mengikuti organisasi mana pun. Selepas sarjana, ia
menjadi wartawan pada Harian Analisa di Medan, mengikuti jejak
ayahnya pada media harian yang sama.
Namun, karena ia merasa kerjanya di Harian Analisa terlalu mudah
dan tidak menantang, akhirnya pada tahun 1999, ia pun keluar. Selama
jenjang dari tahun 2000-2003, Rini pun bekerja freelance. Ia menjadi
stringer foto untuk kantor berita Associated Press serta untuk Majalah
Pantau.
Belajar fotografi pun ia otodidak, begitu pun dengan menulis genre
jurnalisme sastrawi. Sebelum ia menulis “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” itu, ia pernah mengirimkan beberapa tulisan pada kolom di Pantau.
Namun, untuk tulisan panjangnya, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
adalah tulisan pertamanya. Di sela-sela repotase Simpang Kraft tersebut, ia
sempat menulis “Surat dari Geudong” yang juga dipublikasikan dalam
Majalah Pantau.
Pada tahun 2003, Rini juga pernah mengikuti kursus jurnalisme
investigatif atau Fellowship Investigative Reporting di Murdoch
63
University, Perth, Melbourne, Australia. Kursus jurnalisme investigatif
mengenai ekonomi ini berdasarkan rekomendasi dari Andreas Harsono.
Pada tahun yang sama pula, berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Chik Rini pada 29 Januari 2011 di kawasan Blok M, Jakarta
Selatan, ia mengaku saat itu berkeinginan untuk berhenti sementara
menjadi wartawan.
“Saat itu, saya sangat tertantang meliput perang atau konflik
di Aceh. Anda bayangkan di Aceh, hanya ada dua wartawan
perempuan yang mau terjun ke lapangan, saya dan Rayhan dari
detik.com. Malam itu, saya melihat dengan mata kepala saya
sendiri. Empat aktivis GAM dikepung oleh militer Indonesia.
Mereka diserbu dan ditembak mati oleh tiga ratusan militer
Indonesia. Mayatnya langsung dibuang begitu saja ke kebun
pisang. Jadi, kita sebagai wartawan melihat orang nangis saja, kita
senang memberitakannya. Malamnya, saya tidak bisa tidur. Muncul
wajah-wajah orang yang mati itu. Paginya, saya langsung bangun
dan melamun. Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apa yang saya
cari?”16
Ia juga sempat menekuni penelitian mengenai orang utan di Taman
Nasional Gunung Leuser. Saat ini, Rini bekerja sebagai Public Relation &
Media Officer Leuser International Foundation, sebuah lembaga non
pemerintah yang bekerja untuk perlindungan Ekosistem Leuser di Aceh
dan Sumatera Utara. Pernah bekerja sebagai peneliti seusai kuliah pada
Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah (1998)
Kini selain, bekerja untuk Yayasan Aswaja di Banda Aceh, ia
membantu pendidikan anak-anak yatim piatu korban tsunami pada
Desember 2004. Rini menjadi kontributor Majalah Pantau Jakarta selama
16
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan
Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
64
tahun 1999-2003. Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dimuat
pada Majalah Pantau Tahun II-Mei 2002.
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini juga pernah dimuat di
Kyoto Review pada 2005 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh Lyndal Meehan. Meehan menulis deskripsi mengenai Chik Rini
seperti di bawah ini:
Chik Rini, a journalist based in Banda Aceh, originally
reported this story in May 2002, drawing on five months‟ research
in Banda Aceh, Medan, Jakarta, and Lhokseumawe, including a
one-month stay near Krueng Geukeuh. It appeared in PANTAU, a
website promoting journalistic excellence and freedom of the press
in Indonesia. PANTAU was published by the Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) from May 1999 to January 2003. The original
article can be found under the title “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” at http://www.pantau.or.id/txt/25/07.html. This version was
translated and abridged by Lyndal Meehan.17
Selain bekerja sebagai communication of WWF di Banda Aceh,
Rini juga aktif memberikan kursus jurnalisme sastrawi kepada 20 orang
peserta pelatihan ETF yang diadakan oleh Eka Tjipta Foundation. Ia telah
mengajar sebanyak tiga kali pertemuan pelatihan sejak tahun lalu. Ilmu
jurnalisme sastrawi yang didapatnya dari Majalah Pantau pada kurun
waktu 2000-2003 lalu hingga kini, ia akan selalu tularkan kepada
mahasiswa yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi ini.
2. Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah salah
satu peristiwa berdarah yang terjadi di Aceh. Banyak konflik dan peristiwa
17
Chik Rini, “Madness at Simpang Kraft How Indonesian Journalists Witnessed the
Murder of Acehness Civilians”, artikel ini diakses pada Rabu, 26 Januari 2011 pkl 15.30 WIB
pada Kyoto Review of Southeast Asia
65
yang terjadi sepanjang sejarah Aceh, dari konflik bersenjata antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer Indonesia, Perda Syariah
yang diterapkan di sana, serta bencana alam tsunami pada 2004. Namun,
peristiwa Simpang Kraft masih membekas di hati masyarakat Aceh,
khususnya korban dari Simpang Kraft. Hingga kini, proses pengadilan
para pelaku belum juga tuntas atau mungkin tidak mendapatkan keadilan
dari segi hukum.
Bahkan LSM Imparsial dalam terbitan buku “Laporan Praktek
Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007” menuliskan bahwa peristiwa
Simpang Kraft ini menduduki posisi pertama dari peristiwa lainnya.
Dalam laporannya, dideskripsikan sebagai berikut; Simpang KKA
(Kertas Kraft Aceh) aparat TNI menembaki masyarakat yang sedang
berdemo di Kecamatan Dewantara. Tragedi KKA berawal dari sikap
arogansi pasukan Rudal terhadap warga setempat. Detasemen rudal
sebelumnya turun ke Cot Murong memukuli warga karna dituduh
menyandera aparat militer. Warga datang ke Koramil meminta mereka
menghentikan tindakannya. Namun Koraml tidak mneghiraukan tuntutan
warga. Bahkan meminta bantuan pasukan non organik untuk
menyingkirkan warga. 46 orang tewas tertembak aparat militer termasuk
Saddam Husen yang berusia 6 tahun, sekitar 200 luka-luka. Upaya hukum
Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Keppres No.88/1999 tentang Komisi
Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA).18
18
J. Budi Hernawan dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan
Papua 1998-2007. (Jakarta: Imparsial, 2009), h.106
66
Simpang Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di
sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya
sekitar 19 kilometer. Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik
kertas PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke
dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal
yang cuma berjarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini
menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.
Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya satu lampu
kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para
pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan
berhati-hati. Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton
besar yang membawa gulungan-gulungan kertas raksasa.
Sekitar 10 meter dari Simpang, jalan dibuat melebar 10 meter
dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri
dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung.
Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-
barang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret
warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada
bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga.
Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di antaranya
berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di depan deretan
warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung.
Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua rumah
67
sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di kiri
kanan jalan.
Senin 3 Mei 1999, hari di mana peristiwa berdarah itu terjadi. Pada
hari itu, ada dua demonstrasi besar-besaran. Pertama, di depan Koramil
Dewantara dekat Krueng Geukeuh dan yang kedua di Simpang Kraft. Ada
sekitar 10 ribu orang berkumpul di Simpang Kraft. Mulai dari para wanita,
anak-anak, kaum laki-laki sampai yang tua renta ada di sana.
Sebelumnya, ada beberapa isu yang beredar dan mengakibatkan
masyarakat Aceh berkumpul di Simpang Kraft, di antaranya:
a. Malam sebelumnya, para perempuan disuruh jaga malam karena
tentara mau menyerang kampung
b. Ada laki-laki yang mengumumkan di meunasah (masjid) kalau
meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik
(ulama) sudah tewas dibunuh.
c. Di Cot Murong (Pemukiman, empat km arah barat Krueng Geukeuh)
warga menghentikan setiap kendaraan untuk mencari anggota ABRI
karena ada yang mendengar bahwa warga desa Lanang Barat dipukuli
dan ditangkap tentara.
d. Dua hari sebelumnya, Kamis malam, 30 April 1999, tentara dari
Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal)
001/Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke Cut Murong. Ada satu
anggota yang hilang, dan mengakibatkan tentara masuk kampung
untuk mencarinya.
68
Masyarakat Aceh yang tidak senang militer masuk kampung,
membuat mereka geram. Oleh karena itu, mereka demonstrasi kepada
Camat Dewantara Cut Murong, Marzuki Muhammad. Kesepakatan yang
tidak membuahkan hasil kepada masyarakat Aceh membuat mereka demo.
Mereka meneriakkan Referendum, Merdeka, dan sebagainya.
Pukul 12.00 siang pada Senin, 3 Mei 1999 ketika keadaan mulai
memanas. Tiba-tiba sebuah truk datang dari arah Arhanud Rudal, mulailah
senjata meletus dengan keras dan tentara menyuruh massa bubar. Tentara
seperti kesetanan dan menembaki massa yang berkeliaran. Korban
mencapai puluhan dan ratusan terluka.
Sinopsis cerita di atas, hanya menjelaskan segelintir dari peristiwa
Simpang Kraft. Chik Rini mampu menjelaskannya dengan sangat baik dan
detil. Rini mengambil dan memaknai peristiwa ini dari sudut pandang
wartawan. Justru karena angle atau newspeg-nya dari perspektif wartawan
inilah, Rini ingin menunjukkan bagaimana wartawan menjadi saksi dari
peristiwa pembunuhan orang Aceh. Sudut pandang inilah yang belum
pernah ditulis oleh wartawan media mana pun.
Ada wartawan yang trauma, wartawan pun manusia. Lantas,
peristiwa itu juga fenomenal di Aceh. Korbannya cukup banyak dan juga
memilukan. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini pada wawancara via
email:
“Simpang Kraft adalah satu dari banyak peristiwa yang
kebenarannya dan keadilannya tak pernah terselesaikan sampai saat
ini. Simpang Kraft hanya bagian dari peristiwa konflik yang
69
memperlihatkan kekejaman militer di Aceh yang mau Kak Chik
sampaikan kepada pembaca di luar Aceh.”19
Andreas Harsono pun menulis dalam grup Majalah Pantau untuk
mempromosikan tulisan naskah Chik Rini ini.
Rini menceritakan pengalaman beberapa wartawan, antara
lain Umar HN, Imam Wahyudi dan Fipin Kurniawan dari RCTI,
ketika menyaksikan dari jarak dekat pembantaian puluhan orang
Aceh di depan pabrik kertas Kraft di Kreung Geukeuh,
Lhokseumawe, pada 3 Mei 1999. Imam menyebutnya sebagai
"Santa Cruz versi Aceh."
Laporan Rini ini unik karena ia memakai genre jurnalisme
sastrawi. Dari panjang tulisan, ia memang belum memecahkan
rekor Pantau sepanjang 16 halaman yang dipegang oleh Coen
Husain Pontoh dengan laporan majalah Tempo edisi Agustus 2001,
tapi Rini yang pertama kali mengusung genre sastrawi ke
dalam Pantau. Ini sebuah reputasi tersendiri. Ternyata Rini yang
memakai gaya ini pertama kali di Pantau. Bravo untuk Rini!
Linda ketika membaca naskah itu mengatakan introduksinya
mirip "In Cold Blood" karya Truman Capote. Di sana Rini
memakai deskripsi alam Lhokseumawe, dengan tower plus api
menyala-nyala karena gas LNG, kemiskinan yang bikin
sesak napas, dan terminal bis malam, sebagai pembukaannya. Ada
kekeringan, ada becak mesin, ada kesunyian, bau kematian. Mirip
dengan Capote yang membuka "In Cold Blood" dengan alam
Midwest ala Kansas City di Amerika Serikat.
Ternyata Rini meminjam gayanya John Hersey dalam
"Hiroshima." Rini mengatakan pada saya bahwa ia bolak-balik
membaca "Hiroshima" ketika menggarap "Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft."
Mirip dengan Hersey, karena di sini Rini tak memakai
referensi apa pun dalam naskahnya. Semua ditulis ibarat sebuah
novel atau cerita pendek. Rini bekerja selama lima bulan, dari
Medan, Jakarta, Lhokseumawe dan Banda Aceh, buat
menyelesaikan naskah ini. Ia juga mempelajari rekaman video buat
memperkaya paparannya tentang Simpang Kraft.
Saya suka naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai
memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya.20
19
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Rabu, 22 November 2010 pkl 21.22 WIB
melalui surat elektonik dari [email protected] kepada [email protected] 20
Artikel ini diakses dari [email protected] pada 22 Februari 2011
70
Perspektif wartawan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
ini dapat dilihat dari kacamata tiga orang wartawan RCTI yaitu Umar HN
(koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995), Imam Wahyudi
(Koordinator Liputan daerah RCTI Jakarta sejak 1994), Fipin Kurniawan
(kameraman RCTI), Ali Raban (kamerawan yang bekerja untuk Umar
HN), dan Azhari (wartawan ANTARA). Meski peristiwa Simpang Kraft
telah berlalu dan sudah diberitakan namun sisanya tetaplah sejarah.
71
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. TEMUAN DATA DAN HASIL PENELITIAN BERITA “SEBUAH
KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” PADA MAJALAH PANTAU
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan temuan data dan analisis
mengenai pemberitaan bergenre jurnalisme sastrawi yang berjudul “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini dan diterbitkan pada Majalah Pantau
Tahun II Mei 2002 atau dalam buku Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat. Diterbitkan pula oleh Yayasan Pantau. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pisau analisis wacana model
Teun van Dijk. Model van Dijk ini menganalisisis dari tiga elemen yaitu teks,
kognisi sosial, serta konteks sosial. Maka hasil penelitiannya diuraikan sebagai
berikut:
1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
a. Struktur Makro (Tematik)
Dalam struktur makro (makna global) hal yang diamati adalah tematik,
berarti gagasan atau tema utama yang ada dalam berita tersebut. Maka, tema
pada berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah perspektif atau
sudut pandang wartawan Indonesia dalam meliput dan menjadi saksi
pembunuhan dari orang Aceh pada peristiwa Simpang Kraft 3 Mei 1999.
b. Super Struktur (Skematik)
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam super struktur, hal
yang diamati adalah skematik, yaitu rangkaian pendapat itu disusun dan
72
dirangkai, seperti pendahuluan, isi, dan penutup. Van Dijk memasukkan skema
atau alur yang sistematis dalam sebuah wacana, sama halnya seperti “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft.”
Dalam berita, terdapat dua skema besar yaitu summary (ringkasan) dan
story (isi berita atau tulisan secara keseluruhan). Dalam summary terdapat dua
hal yaitu judul dan lead.
Judul berita ini adalah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft,” dengan sub-
judul Bagaimana wartawan-wartawan Indonesia meliput dan jadi saksi
pembunuhan orang Aceh?
Dalam naskah berita ini terdiri dari 11 adegan dan setiap adegannya
memiliki lead atau teras masing-masing dari satu teks berita yang sama serta
dikonstruksi oleh penulisnya. Karena berita ini menggunakan genre jurnalisme
sastrawi, yang diharuskan menggunakan konstruksi adegan per adegan, maka
berita ini terdiri dari 11 adegan termasuk epilog sebagai penutup.
Unsur skematik yang kedua yaitu story. Pada awal naskah ini dimulai
dari unsur situasi atau proses berjalannya peristiwa sebagai episode utama dari
peristiwa bukan dari unsur komentar narasumber.
Secara keseluruhan utuh, naskah berita ini diawali dengan situasi
kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe pada dini hari, 3 Mei 1999
atau disebut sebagai pra-peristiwa. Sedangkan isi berita ini terletak pada hari di
mana peristiwa Simpang Kraft tersebut berlangsung. Serta epilog atau
penutupnya (adegan 11) dari “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” yang
merupakan pasca peristiwa Simpang Kraft. Pada epilog ini, penulis
mengkonstruksi cerita pasca tiga peristiwa Simpang Kraft.
73
Setelah elemen tematik dan skematik ditemukan oleh peneliti secara
keseluruhan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” selanjutnya, peneliti
akan membagi hasil penelitian ini kepada penelitian per adegan dari adegan 1
sampai adegan 11. Penelitian ini dimulai dari super struktur (skematik atau
alur) dan struktur mikro (semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris), yaitu:
a). Analisis Teks Adegan 1 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Skematik atau alur pada adegan 1 dimulai dari situasi Lhoseumawe pada
Senin dini hari, 3 Mei 1999 dan menceritakan sejarah dari Lhokseumawe yang
terdapat kekayaan gas alam. Isinya, tentang kedatangan tiga wartawan RCTI
pada waktu itu juga guna meliput sisi lain kedamaian di Aceh. Media selama
ini selalu memberitakan sisi kekerasan dan konflik yang ada di Aceh. Penutup
pada adegan ini diakhiri dengan tiga wartawan RCTI beristirahat.
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Latar pada adegan 1, dimulai dari sejarah kota Lhokseumawe sebagai
pusat industri Aceh tapi orang Aceh merasakan ketidakadilan karena hanya
segelintir orang besar yang ada di Aceh dan Jakarta yang merasakan
kenikmatan gas alam, orang Aceh tidak. Hal ini, salah satu hal yang akan
memicu terjadinya peristiwa Simpang Kraft.
Pada adegan 1, terdapat salah satu contoh detil dari deskripsi keadaan
Lhokseumawe dini hari tersebut, yang dituliskan oleh Chik Rini, yaitu paragraf
kedua adegan 1, “Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari
74
hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di
atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api.
Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang
penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.”
Elemen maksud yang terkandung pada adegan 1 terdapat pada adegan 5,
“Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan
bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk
memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu.” Dalam kalimat tersebut, terdapat
kata “untuk” yang digunakan sebagai penjelas yang jelas (eksplisit) dari
keinginan GAM dalam rangka memerdekakan Aceh dari ketidakadilan.
Praanggapan sebagai pendukung dari pernyataan yang ada di adegan 1
terdapat pada paragraf 3, “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh,”
kalimat selanjutnya Chik Rini mampu memaparkan dengan detil bahwa di sana
terdapat kekayaan gas alam terbesar di Indonesia dan perusahaan-perusahaan.
Nominalisasi yang ditunjukkan pada kalimat ini adalah, “Setidaknya
1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.”
(paragraf 5). Serta pada, “Di tempat itu secara brutal, para tahanan dianiaya
50-an tentara Indonesia.. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.” (paragraf
16).
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Dari segi sintaksis yaitu pengemasan suatu teks dengan menentukan
bentuk kalimat, koherensi, kata ganti yang digunakan dalam kalimat. Bentuk
kalimat yang terlihat adalah bentuk kalimat aktif, “Mereka lebih suka
mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf 13).
75
Dalam hal ini digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya.
Kata „mereka‟ (organisasi massa di Aceh) menjadi subjek, dengan kata kerja
„mencuatkan‟ yang berarti „mengeluarkan.‟
Koherensi atau hubungan antar kata atau kalimat yang digunakan pada
adegan ini adalah proposisi “untuk memerdekaan Aceh dari ketidakadilan” dan
„dominasi militer Indonesia‟ adalah dua prinsip yang berlainan dan
dihubungkan dengan kata „tapi‟. Kalimatnya adalah, “Di sana juga mulai
timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut
GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer
Indonesia sangat kuat,” (paragraf 5). Koherensi „atau‟, “Referendum untuk
memilih merdeka atau tetap dalam negara Indonesia,” (paragraf 13).
Koherensi pembeda juga terlihat pada kalimat, “Imam mengatakan di
antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya,”
(paragraf 16).
Sepanjang adegan 1, kata ganti orang ketiga jamak yaitu „mereka‟.
Contoh, “Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan
nasib Aceh,” atau “Mereka mengungkapkannya lewat beberapa demonstrasi
atau huru-hara.”
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Unsur leksikon atau pemilihan kata yang digunakan penulis adalah
pemilihan kata „orang Aceh‟, “Orang Aceh banyak yang miskin, hidup di
pinggiran pabrik-pabrik.” Kata yang kedua, „militer Indonesia‟ yaitu “Tapi
dominasi militer Indonesia sangat kuat.” Kata ‘kelompok separatis‟ yaitu
“GAM, kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa
76
Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin meningkatkan perang gerilya, dari
kota maupun di daerah pedesaan.”
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Pemakaian grafis pada adegan 1 terdapat banyak kata kata „referendum‟
tapi hanya ada satu kata „referendum‟ yang diberikan tanda petik di atas yaitu,
“Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata “referendum” di badan
jalan. Grafiti-grafiti ini bertebaran tak hanya di jalan, tapi juga di tembok
pasar dan papan reklame.” (paragraf 18)
Sedangkan metafora atau kiasan terdapat pada kalimat, “…langit
tampak merah membara oleh cahaya api.” “Semburan api raksasa itu keluar
dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT
Arun LNG.”( paragraf 2)
Tabel 6.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro Topik/ Tema Kronologis awal mula kedatangan tiga wartawan
RCTI ke Lhokseumawe
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Pembuka: Situasi Lhokseumawe pada pada dini hari,
3 Mei 1999
Isi: Kedatangan tiga wartawan RCTI ke
Lhokseumawe dengan tujuan meliput sisi
kedamaian dari Aceh
Penutup adegan ini adalah ketiga wartawan
RCTI beristirahat untuk memulihkan fisik ketika
akan reportase esok pagi Struktur mikro
(semantik) Latar Latar situasi akan kota Lhokseumawe serta sejarah
kota tersebut yang membawa kepada alasan
perlawanan senjata oleh Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) kepada militer Indonesia yang ada di Aceh
Detil Pada paragraf kedua adegan 1, Chik Rini mampu
mendeskripsikan keadaan kota Lhokseumawe pada
dini hari Senin, 3 Mei 1999
Maksud Elemen maksud pada adegan 1 yaitu paragraf 5
mengenai keinginan GAM untuk memerdekakan
77
orang Aceh dari ketidakadilan yang mereka rasakan.
Praanggapan “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh”
(paragraf 3) selanjutnya, Chik Rini memaparkan
kekayaan gas alam di Aceh yang tersebar di
Indonesia serta perusahaan-perusahaan yang ada di
sana untuk memperkuat premis yang ia sebutkan di
awal pragraf
Nominalisasi Banyak nominalisasi pada adegan 1 salah satunya,
“Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan
3.430 mengalami penganiayaan.” (paragraf 5)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Salah satu bentuk kalimat aktif pada adegan 1
adalah,“Mereka lebih suka mencuatkan ide
referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf
13)
Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟)
“…untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu.
Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat.”
Koherensi pembeda:
“Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh,
seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya.”
Kata Ganti Kata ganti yang digunakan pada adegan 1 adalah ata
“mereka,” seakan-akan kata “mereka” itu
memisahkan antara penulis dengan narasumber serta
pembaca
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon orang Aceh (paragraf 4), militer Indonesia,
penganiayaan (paragraf 5), kelompok separatis,
kekerasan (paragraf 14), kekejaman, mati,
perlawanan bersenjata, kekejaman (paragraf 15)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis “Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata
“referendum” di badan jalan.”(paragraf 18)
Dari keseluruhan kara referendum yang ada di
adegan 1 hanya ada satu kalimat yang kata
refendumnya menggunakan tanda petik di atasnya
Metafora “semburan api raksasa”, “langit tampak merah
membara oleh cahaya api,”(paragraf 2)
2). Analisis Teks Adegan 2 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Skematik atau alur dari adegan 2 pada dini hari juga, Senin 3 Mei 1999
di Kreung Geukeuh, Kecamatan Dewantara ada 300-an orang Aceh berkumpul
di sebuah gardu jaga. Mereka berencana akan melakukan demonstrasi besar-
besaran. Di tengah adegan diceritakan ada banyak isu yang berkembang di
78
masyarakat. Salah satu isu, hilangnya anggota Arhanud Rudal di wilayah Cot
Murong, sekaligus sebagai penutup adegan.
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Latar di adegan ini adalah “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul
dekat sebuah gardu jaga,” (paragraf 1). Peristiwa inilah yang mengawali
mulainya adegan dan membawa pembaca kepada konstruksi atau pembentukan
rapat besar-besaran yang dilakukan oleh orang Aceh.
Elemen detil dapat dilihat pada paragraf 2 yang menunjukkan posisi
keberadaan bale-bale. “Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang
pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping pabrik ada jalan masuk ke
perkampungan Bangka Jaya. Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu
meter.”
Maksud yaitu; “Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi ke
markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng Geukeuh dekat pasar
Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk untuk mengangkut orang dari kampung-
kampung sekitar.” Dari kalimat di atas jelas sekali maksud yang akan
disampaikan kepada pembaca.
Praanggapan terdapat pada kalimat, “Mereka memang sedang resah,”
(paragraf 6) dilanjutkan dengan argumen pendukung kalimat lainnya yang
menunjukkan kuat alasan keresahan dari warga. “Tentara mau menyerang
kampung,” kata seorang pria (paragraf 7). Dikuatkan juga pada kalimat,
"Meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita
79
sudah tewas dibunuh." Kalimat yang mengungkapkan keresahan tersebut,
diperkuat oleh kalimat-kalimat selanjutnya.
Nominalisasi yang terdapat pada adegan 2 yaitu, “…ada sekitar 300-an
orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.” (paragraf 1)
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Bentuk kalimat yang terkandung lebih sering menggunakan kalimat
aktif, “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga,”
(paragraf 1). Kalimat ini sekaligus sebagai bentuk kalimat deduktif atau inti
kalimat dari keseluruhan teks pada adegan 2.
Elemen koherensi pembeda yang ada yaitu, “Mereka menghentikan
setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari singkatan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institusi militer
Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata
"ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru,” (paragraf
10). Koherensi kausal atau sebab akibat juga pada paragraf 12, “Selain dekat
dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di
sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya.”
Kata ganti yang digunakan tetap menggunakan kata ganti orang ketiga
jamak „mereka‟ dan satu kata ganti orang pertama jamak „kita‟, “Tengku
Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh,” (paragraf 8). Penggunaan kata
„kita‟ ini seakan-akan menunjukkan penyamaan rasa yang juga dirasakan oleh
sesama orang Aceh.
80
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Pemilihan leksikon yang dipilih Chik Rini adalah kata, „mengangkut‟
pada kalimat, “Mereka perlu truk untuk mengangkut orang…” (paragraf 5).
Kata „tewas dibunuh‟ bisa meninggal, dibunuh, terbunuh, wafat, terlihat pada
kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh.”
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Elemen grafis yaitu kata „anggota ABRI‟ pada paragraf 10 diberi tanda
petik di atas dibandingkan kata-kata lainnya. Hal ini menunjukkan penekanan
kata „anggota ABRI‟ yang mempunyai reputasi buruk dibandingkan dengan
paragraf 1 yang hanya menyebutkan kata „militer Indonesia.‟
Metafora ini terdapat dalam satu kalimat, “Seperti angin, informasi yang
tak jelas kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut.”
(paragraf 9)
Tabel 7.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro Topik/ Tema 300-an orang Aceh berkumpul di gardu jaga Kreung
Geukeuh pada dini hari
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Dimulai dengan adanya 300-an orang Aceh
berkumpul di bale-bale
Di tengah adegan dijelaskan bahwa mereka akan
melakukan demonstrasi besar-besaran di markas
Koramil Kreung Geukeuh
Adegan ditutup dengan salah satu isu hilangnya
anggota Arhanud Rudal di Cot Murong
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar peristiwanya adalah adanya 300-an orang Aceh
yang berkumpul itu
Detil Pada paragraf kedua adegan 2, penulis menjelaskan
posisi bale-bale tempat berkumpulnya 300-an orang
Aceh tersebut
Maksud Maksudnya, menjelaskan bahwa mereka akan
demonstrasi besar-besaran atas ketidakadilan yang
selama ini dirasakan orang Aceh (paragraf 5)
81
Praanggapan “Mereka memang sedang resah” (paragraf 6)
selanjutnya, Chik Rini alasan keresahan yang dialami
oleh orang Aceh, dengan adanya beragam isu yang
berkembang di masyarakat tentang ketidakadilan
tersebut
Nominalisasi Hanya ada satu nominalisasi pada adegan 2 yaitu,
““…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat
sebuah gardu jaga.” (paragraf 1)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat aktif ini
sebagai inti dari keseluruhan teks pada adegan 2,
“…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat
sebuah gardu jaga,” (paragraf 1)
Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟)
“Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi
Krueng Geukeuh ini strategis karena di sana ada
proyek-proyek vital yang perlu dijaga
keamanannya.” (paragraf 12)
Koherensi pembeda:
“Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk
mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari
singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum
diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata
"ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim
Orde Baru.” (paragraf 10)
Kata Ganti Kata ganti yang digunakan pada adegan 2 adalah ata
“mereka,” dan hanya satu kata “kita” yang digunakan
pada kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah
tewas dibunuh.” (paragraf 8)
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon Pemilihan kata: mengangkut (paragraf 5), tewas
dibunuh (paragraf 8)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis “…setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI"
yang berasal…”(paragraf 10)
Kata ini lebih menonjol di antara kata lainnya karena
penyebutan kata ABRI ini sangat tidak disukai bagi
orang Aceh, selain itu ABRI juga memiliki reputasi
buruk pada rezim Orde Baru
Metafora “seperti angin” dan “dari mulut ke mulut” (paragraf
9)
3). Analisis Teks Adegan 3 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Sruktur (Skematik)
Skema adegan 3, diawali dengan kronologis kejadian hilangnya anggota
Arhanud Rudal, Sersan Dua Aditia pada Kamis malam, 30 April 1999. Hingga
pada keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 puluhan tentara bersenjata masuk
82
ke Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia. Sampai disepakati bahwa tentara
dilarang masuk ke Cot Murong dan yang mencarinya adalah ulama setempat.
Penutup adegan diakhiri dengan kabar karena tahu anggotanya belum juga
ditemukan, Arhanud Rudal kembali masuk kampung dan ada isu penduduk
desa yang ditangkap, Minggu 2 Mei 1999.
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Latar adegan diawali dengan kronologis peritiwa hilangnya Sersan Dua
Aditia, anggota Arhanud Rudal.
Detil adegan terletak pada paragraf keenam, “Si penceramah bercerita
sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang
dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang makna
jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah.” Detil ini menceritakan tiga hal
yang biasa diceramahkan oleh GAM.
Maksud dari adegan ini sudah jelas, bahwa dengan hilangnya Sersan
Dua Aditia serta beragam isu tentara desa, memicu orang Aceh untuk
berdemonstrasi. Terlihat pada paragraf terakhir adegan 3 yaitu, “Senin
direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang
kampung yang ditangkap.”
Praanggapan adegan 3, Pada kalimat berikutnya, diterangkan apa saja
isi dari dakwahnya tersebut, sebagai penguat argumen penulis. “Si penceramah
bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika
berperang dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang
makna jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah.”
83
Nominalisasi ditunjukkan pada kalimat, “Tiga truk militer dan minibus
Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata
lengkap, masuk ke Cot Murong,” (paragraf 8).
Super Struktur (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Elemen sintaksis, bentuk kalimat pasif sekaligus sebagai inti kalimat
(deduktif) adegan 3 adalah, “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran
untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.” Kata kerja
direncanakan merupakan kalimat pasif, dalam hal ini van Dijk mengemukakan
kalimat pasif ini digunakan sebagai objek. Kalimat bentuk deduktif (inti
kalimat di awal) dapat dilihat dari satu kalimat di awal yang dipisahkan oleh
kata „untuk.‟ “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut
pelepasan orang kampung yang ditangkap.”
Dalam adegan 3 terdapat koherensi sebab akibat, “Tentara bahkan
sempat menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit
ikan), karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.” Dari paragraf
awal sampai paragraf akhir adegan 3 tetap menggunakan kata ganti “mereka.”
Struktur Mikro (Leksikon)
Elemen sintaksis yang diteliti yaitu leksikon, “Dakwah GAM” (paragraf
4), “Kabar penempelengan itu segera beredar,” (paragraf 16).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Grafis dalam adegan 3, ada satu kalimat menonjol dengan tanda petik di
atasnya dibandingkan kata atau kalimat lainnya, “….dan tak adil dari
“pemerintah Indonesia Jawa” sehingga….” (paragraf 6). Metafora yaitu; “Isi
84
dakwah malam itu sangat panas”, “Dakwah itu berbau politik” (paragraf 4),
“lari tunggang-langgang” (paragraf 13).
Tabel 8.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro Topik/ Tema Peristiwa hilangnya Sersan Aditia membuat orang
Aceh karena tentara masuk ke kampung
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Dimulai dengan kronologis awal hilangnya Sersan
Dua Aditia pada Kamis malam, 30 April 1999
Isi adegan menjelaskan pencarian Sersan Adit oleh
Arhanud Rudal hingga adanya kesepakatan bahwa
tentara tidak akan masuk kampung lagi pada Sabtu,
1 Mei 1999
Adegan ditutup dengan kabar tentara masuk
kampung lagi dan ada kabar penempelengan orang
Aceh oleh tentara
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar peristiwanya dengan kronologis hilangnya
anggota Arhanud Rudah, Sersan Aditia
Detil Paragraf 6 menjelaskan detil apa saja isi dari dakwah
GAM kepada orang Aceh
Maksud Kalimat terakhir adegan 3 menjelaskan maksud
sekaligus menjadi inti kalimat adegan 3 bahwa
mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran
Praanggapan “Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan
sejarah” (paragraf 6), kalimat ini diperkuat oleh
kalimat berikutnya yang menjelaskan isi dari dakwah
GAM
Nominalisasi “Tiga truk militer dan minibus Toyota Kijang dan
Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara
bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong”
(paragfraf 8)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat pasif,
“Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran
untuk menuntut pelepasan orang kampung yang
ditangkap”
Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟)
“…menampar seorang pemuda yang sedang
menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan
tak tahu tentang…” (paragfraf 15)
Kata Ganti Kata ganti “mereka”
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon Dakwah (paragraf 4), penempelengan (paragraf 6)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis “…Pemerintah Indonesia Jawa…” (paragraf 6)
Hanya ada satu kalimat yang menonjol pada adegan
3, karena kalimat inilah yang digunakan saat dakwah
GAM
Metafora “sangat panas” dan “berbau politik” (paragraf 4),
“lari tunggang-langgang (paragraf 13)
85
4). Analisis Teks Adegan 4 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Skematik adegan 4, sebagai pembuka yaitu kabar demonstrasi di
Koramil Kreung Geukeuh yang didengar oleh Azhari, wartawan ANTARA di
sebuah warkop pada pukul 9 pagi. Kabar serupa juga didengar oleh ketiga
wartawan RCTI dan Ali Raban. Penutup adegan adalah, mereka tidak langsung
ke lokasi kejadian tapi membeli makanan terlebih dahulu dan mengambil alat
reportase.
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Elemen semantik, latar yang dipakai menggunakan latar profil Azhari
sebagai wartawan ANTARA dan situasi warkop ketika ia berada. Latar inilah
sebagai tempat di mana ia menerima informasi tersebut.
Detil terletak pada kalimat, “Dari yang sekadar minum kopi, membaca
koran gratis, nonton televisi, maupun mengobrol,” (paragraf 2). Maksud,
“Jika tak segera mengambil momentum pertama, maka mereka tak akan
pernah mendapat momentum kedua,” (paragraf 23). Maksud kalimat ini yang
akan terjadi kepada wartawan RCTI, mereka kehilangan momen pertama untuk
mengejar berita demonstrasi.
Praanggapan adegan 4 terdapat pada perkataan narasumber di warkop
yang didengar oleh Azhari, “Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh
(Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)," (paragraf 3). Dari ucapan
orang Aceh tersebutlah ia mendapatkan informasi, dan ucapan tersebut
dibenarkan akan adanya demonstrasi besar-besaran di Kreung Geukeuh.
86
Sedangkan nominalisasi terdapat pada paragraf pertama, “Umurnya 32
tahun.”
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Elemen sintaksis, bentuk kalimat pasif, “Ada orang kita ditangkap si
Pa'i” (paragraf 5). Koherensi konjungsi sebab akibat, “Mereka terpaksa
pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto.”
Sedangkan kata ganti yang digunakan, tetap memakai kata ganti orang ketiga
„dia‟ dan „mereka‟ karena memang itu yang menjadi elemen jurnalisme
sastrawi. Namun, penggunaan kata ganti orang pertama jamak yaitu „kita‟
digunakan pada ucapan narasumber, ““Ada orang kita ditangkap si Pa'i”
(paragraf 5), “Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat (paragraf
15).
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Leksikon yang ada yaitu bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraf 5),
mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14), informan (paragraf 17),
verifikasi (paragraf 18), merepet (paragraf 24).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis, Metafora)
Elemen retoris, hanya ada satu kata yang menonjol atau grafis dan selalu
dibubuhi tanda petik di atasnya yaitu kata “channel” atau sumber informasi
yang terdapat pada paragraf 17. Metafora yang dipakai, kota gas (paragraf 1),
bendera GAM berlambang bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang
(paragraf 23).
87
Tabel 9.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro
Topik/ Tema Kabar akan adanya demonstrasi menyeruak ke
masyarakat dan wartawan
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Pembuka adegan Senin, 3 Mei 1999 pada pukul
09.00, latar situasi di sebuah warkop Lhokseumawe
Kabar serupa didengar oleh tiga wartawan RCTI dan
Ali Raban dari informan mereka melalui penyeranta
Azhari segera menuju ke sana tapi tidak dengan
wartawan RCTI, mereka sibuk mengurusi makanan
daripada langsung mengejar berita
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar diawali dengan profil Azhari wartawan
ANTARA dan situasi warkop di Lhoseumawe di
mana ia berada
Detil Paragraf 2 menjelaskan detil fungsi warkop yang ada
di Aceh
Maksud “Jika tak segera mengambil momentum pertama,
maka mereka tak akan pernah mendapat momentum
kedua,” (paragraf 23). Hal ini menunjukkan kinerja
wartawan untuk segera mendapatkan berita eksklusif
Praanggapan (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh),”
(paragraf 3). Ucapan narasumber tersebut diperkuat
dengan benar adanya bahwa banyak massa yang
berkumpul di Kreung Geukeuh
Nominalisasi “Umurnya 32 tahun.”(paragraf 1) Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat pasif:
“Ada orang kita ditangkap di Pa’i” (paragraf 3)
Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟)
“Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar
karena dia lupa membawa kamera foto.”
Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal “dia” dan “mereka”
tapi ada satu kata ganti orang pertama jamak “kita”,
“Ayo cepat kita ke sana,” sambut Imam,
bersemangat (paragraf 15).
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraf 5),
mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14),
informan (paragraf 17), verifikasi (paragraf 18),
merepet (paragraf 24).
Struktur mikro
(Retoris) Grafis “Channel” (paragraf 17)
Penggunaan kata “channel” yang berarti informan
atau sumber informasi menandakan bahwa wartawan
haruslah memiliki channel dan karena hal inilah yang
membawa Azhari dan wartawan RCTI kepada
peristiwa tersebut
Metafora kota gas (paragraf 1), bendera GAM berlambang
bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang
(paragraf 23).
88
5). Analisis Teks Adegan 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Alur adegan kelima “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ini hanya
menceritakan perjalanan Azhari menuju lokasi demonstrasi di Kreung
Geukeuh. Dimulai pada pukul 10.00, ia telah sampai dekat tugu depan PT.
Pupuk Iskandar Muda. Azhari berjalan kaki menuju Kreung Geukeuh karena
jalan telah diblokir. Pukul 11.00, ia sampai di simpang empat Kreung Geukeuh
dan memerhatikan kondisi massa sekitar. Saat itu, ketika ada iringan mobil
datang dari Lhokseumawe ingin lewat, dihadang oleh massa. Terjadi
perdebatan. Adegan 5 ditutup dengan kaburnya iringan mobil tersebut disertai
suasana massa yang kian memanas.
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Latar adegan berawal dari situasi pemblokiran jalan sepanjang lima
kilometer dari depan pabrik hingga ke desa Bungkah, termasuk yang ingin
menuju Simpang Kraft ditutup oleh massa, sehingga membuat orang Aceh
termasuk Azhari berjalan kaki.
Setiap adegan memiliki elemen detil masing-masing, sama halnya
dengan adegan ini. Dengan dijelaskannya latar pemblokiran jalan pada adegan
ini, terdapat kalimat yang memiliki unsur detil di dalamnya pada paragraf
pertama, “Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari
depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar udara Malikul
Saleh.” Detil lainnya juga terdapat pada, “Pusat kota Krueng Geukeuh masuk
89
dari persimpangan jalan tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana
terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor polisi, klinik
kesehatan, kantor camat dan lapangan sepak bola. Bersebelahan berdiri
pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer,” (paragraf 8).
Elemen maksud terdapat di paragraf 13, “Penumpang mobil memaksa
pergi ke Simpang Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu.”
Maksud pada kalimat di atas lebih tersurat (jelas) karena diperjelas oleh
kalimat berikutnya yang dinyatakan sebagai argumentasi.
“Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe…”
(paragraf 5). Dari praanggapan lokasi Kreung Geukeuh itu dipertajam dan
diperkuat dengan premis dari kalimat selanjutnya “…sebab di sana berdiri
pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer serta
pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.”
Nominalisasi yang terdapat pada adegan 5 yaitu “Azhari berjalan kaki
sejauh 100 meter” (paragraf 1), “Beberapa pria, tak sampai 10 orang…”
(paragraf 2).
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Bentuk kalimat adegan ini adalah “Azhari menemukan massa sudah
menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh” (paragraf 11) sekaligus
kalimat deduktif yang menjadi inti dari adegan 5. Koherensi dengan konjungsi
„tapi‟ banyak terdapat pada adegan 5, “Massa berdiri di sepanjang emperan
toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan.” (paragraf 9). Sedangkan
kata ganti tetap masih menggunakan kata „mereka.‟
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
90
Pada adegan 5 yaitu pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4),
barikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6), berderet (paragraf 9),
sweeping dan tentara Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Tidak ada grafis dalam adegan 5 ini. Sedangkan metafora yang ada
sangat banyak, yaitu “Mereka berseragam kaos hitam berlambang burung
walet,” (paragraf 4), bercakap lama, kartu indentitas (paragraf 10), tentara
berpakaian preman (paragraf 12).
Tabel 10.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro Topik/ Tema Kronologis peristiwa dari segala perspektif wartawan
dan orang Aceh pada pukul 10.00
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Adegan ini dibuka oleh perjalanan Azhari yang
harus berjalan kaki sejauh 100 meter dari PT. Pupuk
Iskandar Muda dari pukul 10.00
Pukul 11.00, Azhari telah sampai di simpang Kreung
Geukeuh, tempat massa pertama demonstrasi berada
Adegan ditutup dengan larangan iringan mobil
Distrik Militer Aceh Utara yang ingin ke Simpang
Kraft untuk lewat. Massa menghadangnya dengan
parang
Struktur mikro
(semantik) Latar Situasi pemblokiran jalan yang melewati Kreung
Geukeuh termasuk yang ingin ke Simpang Kraft
diblokir oleh massa
Detil Detil pemblokiran terlihat pada kalimat;
“Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima
kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa
Bungkah, dekat bandar udara Malikul Saleh.”
(paragraf 1)
Maksud “Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang
Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah
ditunggu.” (paragraf 13)
Praanggapan “Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri
Lhokseumawe…” (paragraf 5)
Kalimat selanjutnya dipertegas lagi bahwa di sana
terdapat 3 pabrik besar sebagai tonggak utama
Lhokseumawe
Nominalisasi “Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter” (paragraf 1)
91
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat deduktif:
“Azhari menemukan massa sudah menumpuk di
simpang empat Krueng Geukeuh” (paragraf 11)
Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟)
“Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi
lebih banyak menumpuk di persimpangan.” (paragraf
9)
Kata Ganti Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal
„mereka‟
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4),
barikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6),
berderet (paragraf 9), sweeping dan tentara
Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11).
Struktur mikro
(Retoris) Grafis -
Metafora berseragam kaos hitam berlambang burung walet,”
(paragraf 4), bercakap lama, kartu indentitas
(paragraf 10), tentara berpakaian preman (paragraf
12).
6). Analisis Teks Adegan 6 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super struktur (Skematik)
Jika adegan 5 memiliki alur dari perspektif Azhari, wartawan ANTARA
maka skematik pada adegan 6 dilihat dari kinerja perspektif tiga wartawan
RCTI dan Ali Raban. Peristiwa diawali ketika mereka menuju Kreung
Geukeuh pada pukul 11.00. Jika Azhari telah mencapai simpang Kreung
Geukeuh pada pukul 11.00, tidak dengan mereka. Mereka berempat masih
dalam perjalanan menuju Simpang Kraft. Di tengah adegan dijelaskan bahwa
mereka dicegat oleh massa, yang menanyakan identitas mereka sekaligus orang
Aceh bersikap stereotip terhadap suku Jawa. Sempat terjadi perdebatan, namun
teman Umar HN datang dan menolog. Mereka pun bergegas menuju Simpang
Kraft, lokasi kedua massa dan lebih banyak dibandingkan di simpang empat
Kreung Geukeuh.
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
92
Latar adegan adalah latar peristiwa perjalanan mereka menuju simpang
empat Kreung Geukeuh dan mendapat kendala karena jalan sudah diblokir.
Pada paragraf 2, sangat dijelaskan latar peristiwa tersebut.
Detil adegan 2 terlihat jelas pada paragraf 3, “Mereka melihat banyak
laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki
itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.”
Maksud terdapat pada paragraf 2 yang menunjukkan identitas profesi
mereka, “Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan.” Praanggapan
pada adegan ini pengungkapan satu sebutan bahasa Aceh kasar terhadap tentara
atau polisi Indonesia yang notabene-nya adalah suku Jawa. “Itu Pa’i juga,”
ada yang menyeletuk juga di belakang,” (paragraf 11). Stereotipe “Pa‟i”
tersebut ditujukan kepada wartawan RCTI yang berasal dari Jakarta.
Nominalisasi dalam kalimat ini sangat jelas, “Di simpang empat Krueng
Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan
emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak,” (paragraf 4).
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Sintaksis terdiri dari bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Terdapat
bentuk kalimat aktif dan pasif pada adegan 6 tapi bentuk kalimat pasif inilah
yang menonjol sebagai inti, “Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft
dengan sepeda motor milik warga di situ,” (paragraf 27).
Koherensi konjungsi „tapi‟, “Walau banyak yang senang aksi mereka
diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada
mereka,” (paragraf 10).
93
Elemen terakhir sintaksis yaitu kata ganti masih tetap menggunakan kata
ganti ketiga jamak yaitu “mereka” tapi dalam ucapan dialog narasumber ada
yang menggunakan kata ganti orang pertama “kami” pada paragraf ke-25 dan
26. “Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung,"
katanya. "Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang lain.”
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Pemilihan kata yang dipilih oleh Chik Rini yaitu merepet,
kedongkolannya (paragraf 1), senang (paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’i
(paragraf 11), mengamankan (paragraf 25).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Grafis pada adegan 6 terlihat pada dialog narasumber yang meneriakkan,
“Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI oke!” Hal ini menunjukkan
betapa kerasnya merela meneriakkan untuk menuntut ketidakadilan dan
mengekspresikannya di depan wartawan televisi. Grafis yang kedua pada
paragraf 11, "Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i sebutan
kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau polisi Indonesia.” Kata pa‟i
memiliki makna khusus bagi orang Aceh.
Metafora adegan 6 yaitu kehilangan banyak waktu (paragraf 1),
bersorak sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga memekakan telinga
(paragraf 4), mencium gelagat tak bagus, jantungnya berdenyut keras (paragraf
9), sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12), pengatur massa (paragraf 22),
berjalan zigzag (paragraf 28).
94
Tabel 11.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro
Topik/ Tema Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul
11.00
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Adegan ini dibuka oleh perjalanan ketiga wartawan
RCTI dan Ali Raban menuju Kreung Geukeuh dan
sudah melewati pukul 11.00
Pertengahan adegan, mereka langsung meliput tapi
dihadang oleh massa yang marah dengan aksi
reportase mereka
Mereka menuju lokasi massa kedua yaitu Simpang
Kraft karena mendapatkan informasi dari warga. Di
sana massa lebih banyak lagi dibandingkan dengan
di simpang Kreung Geukeuh
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar peristiwa perjalanan dari perspektif tiga
wartawan RCT dan Ali Raban
Detil Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang,
kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki
itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang
beringas.” (paragraf 3)
Maksud “Mereka dengan mudah dikenali sebagai
wartawan.” (paragraf 2) kalimat di sini
menunjukkan identitas profesi mereka
Praanggapan “Itu Pa’i juga,” ada yang menyeletuk juga di
belakang,” (paragraf 11) Anggapan orang Aceh
terhadap wartawan RCTI yang datang dari Jakarta.
Sebutan kasar bahasa Aceh tersebut beralasan, karena
mereka memandang stereotip terhadap tentara
Indonesia, yang notabene-nya adalah suku Jawa
Nominalisasi “Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah
mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan
emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan
anak-anak,” (paragraf 4).
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat pasif:
“Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft
dengan sepeda motor milik warga di situ.” (paragraf
27)
Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟)
“Walau banyak yang senang aksi mereka diliput
wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang
memandang curiga pada mereka,” (paragraf 10)
Kata Ganti Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal
mereka” dan ada kata ganti orang pertama jamak
yaitu „kami‟ yaitu; “Kami mau mengamankan
kampung kami. Tentara mau serang kampung,”
katanya.(paragraf 25)
Struktur mikro Leksikon merepet, kedongkolannya (paragraf 1), senang
95
(stilistik) (paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’i (paragraf
11), mengamankan (paragraf 25).
Struktur mikro
(Retoris) Grafis “Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI
oke!”
Grafis ini terletak pada dialog narasumber yang
dicantumkan oleh Chik Rini pada teks adegan 6
Metafora kehilangan banyak waktu (paragraf 1), bersorak
sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga
memekakan telinga (paragraf 4), mencium gelagat
tak bagus, jantungnya berdenyut keras (paragraf 9),
sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12),
pengatur massa (paragraf 22), berjalan zigzag
(paragraf 28).
7). Analisis Teks Adegan 7 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Adegan 7 ini adalah deskripsi menjelang peristiwa berdarah di Simpang
Kraft. Dari paragraf 1 sampai paragraf 5 adalah pembuka adegan dengan
deskripsi detil lokasi Simpang Kraft. Di tengah adegan, menjelaskan
kronologis rincian massa yang mulai berdatangan ke Simpang Kraft dari pukul
08.00. Hingga menjelang pukul 11.00 mencapai sekitar 10 ribu orang,
diketahui bahwa konsentrasi massa terbagi dua, depan Koramil Kreung
Geukeuh dan Simpang Kraft. Adegan ditutup dengan kedatangan keempat
wartawan RCTI di Simpang Kraft.
Struktur Mikro (Semantik)
Latar awal adegan yang dipakai adalah latar situasi di mana deskripsi
wilayah Simpang Kraft itu berada. Latar ini bisa terlihat dari paragraf awal
adegan 7 sampai paragraf kelima. Detil situasi mengenai Simpang Kraft
didapat dari paragraf 1 sampai paragraf 5 contohnya, “Sekitar 10 meter dari
simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi
jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang,
96
terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat
terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di
sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara
toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga,” (paragraf
3). Atau detil yang terdapat pada paragraf 12, “Pemandangan itu jadi hal
menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan pelajar yang bersekolah di
sekitarnya.”
Maksud pada adegan ini terdapat pada paragraf pertama, “Markas ini
menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.” Maksud kalimat ini
adalah bahwa jika semakin meledaknya demonstrasi massa orang Aceh ini dan
menyerang markas ini, maka berakibat fatal. Bisa jadi akan banyak
persenjataan tentara Indonesia hilang atau bahkan dibomnya markas ini.
Praanggapan “Simpang Kraft bagai lautan manusia,” kalimat ini
bukanlah metafora belaka, namun yang awalnya adalah anggapan awal penulis,
diperkuat dengan data bahwa massa menumpuk dalam radius 300 meter.
Nominalisasi yang ada yaitu “Massa menumpuk dalam radius 300
meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-
laki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak
pagi,” (paragraf 11)
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Bentuk Kalimat aktif pada paragraf 7, “Di kantornya, Camat Marzuki
Muhammad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum.”
Koherensi pembeda, “Jumlah tentara di Arhanud Rudal Cuma ada satu
kompi. Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya tentara-
97
tentara itu, orang-orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di
meunasah,” (paragraf 6). Koherensi konjungsi „kausal‟, “Rapat itu bubar,
karena massa berdatangan ke kantor,” (paragraf 7). Koherensi kondisional,
“Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ,”
(paragraf 13). Kata Ganti yang digunakan tetap menggunakan kata ganti
„mereka‟.
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Pemilihan kata atau leksikon yang digunakan pada adegan 7 di antaranya
memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol (paragraf 8), menumpuk
(paragraf 10), spontanitas, pengerahan massa (paragraf 11).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis, metafora)
Tidak ada kata atau angka yang menonjol secara grafis pada adegan ini.
Sedangkan metafora antara lain lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas
raksasa (paragraf 2).
Tabel 12.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro Topik/ Tema Adegan puncak dari keseluruhan perspektif orang
Aceh dan wartawan
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Diawali dengan deskripsi panjang mengenai letak
daerah Simpang Kraft dan urgensi pertigaan ini
bagi kelancaran lintasan Banda Aceh-Medan
Di bagian tengah adegan, dirincikan kronologis
massa yang datang ke Simpang Kraft dari pukul
08.00 hingga menjelang pukul 12.00
Adegan ditutup dengan kedatangan keempat
wartawan RCTI ke Simpang Kraft
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar deskripsi lokasi Simpang Kraft dari paragraf 1
hingga paragraf 5
Detil Detil deskripsi dapat diambil contoh pada paragraf 3,
“Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat
melebar 10 meter dengan pembatas median,
membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan
kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan
98
toko dan warung.”
Maksud “Markas ini menyimpan peluru kendali buat
perlindungan daerah ini.” (paragraf 1)
Dari kalimat ini jelas menandakan betapa pentingnya
markas peluru kendali ini bagi Aceh
Praanggapan “Simpang Kraft bagai lautan manusia.” (paragraf
10)
Ditambahkan argumentatif atas kalimat di atas,
penulis memasukkan data bahwa dalam radius 300
meter massa telah berkumpul di Simpang Kraft
Nominalisasi “Massa menumpuk dalam radius 300 meter.
Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10
ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak
terus berdatangan secara bergelombang sejak
pagi,” (paragraf 11)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat aktif:
“Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin
sedang melakukan rapat persiapan pemilihan
umum.” (paragraf 7)
Koherensi Koherensi pembeda:
Bersamaan masuknya tentara-tentara itu, orang-
orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan
azan di meunasah,” (paragraf 6)
Koherensi konjungsi „kausal‟:
“Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke
kantor,” (paragraf 7)
Koherensi kondisional:
“Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu,
bergabung dengan massa di situ,” (paragraf 13)
Kata Ganti Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal
mereka”
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol
(paragraf 8), menumpuk (paragraf 10), spontanitas,
pengerahan massa (paragraf 11)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis -
Metafora lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas
raksasa (paragraf 2), gelombang massa,
mendinginkan suasana yang memanas (paragraf 7),
lautan manusia (paragraf 10), panas hatinya
(paragraf 11)
8). Analisis Teks Adegan 8 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Adegan kedelapan ini adalah elemen terpenting dari keseluruhan
adegan, karena adegan ini letak dari peristiwa Simpang Kraft tersebut
99
berlangsung. Setting adegan di Simpang Kraft pada pukul 12.00 siang.
Adegan dimulai dengan situasi massa makin tak terkendali dan memanas.
Empat wartawan RCTI tetap merekam gambar, bahkan sempat
mewawancarai koordinator lapangan (korlap) demonstrasi, Faisal. Tapi,
tiba-tiba truk datang dari arah Arhanud Rudal, tentara langsung
membentuk dua lapis barisan dan seperti kesetanan tentara menembaki
massa.
Tengah adegan ini, menceritakan detil bagaimana tampak emosi
para tentara dan seperti tak mengenal kemanusiaan, mereka menembak
dengan brutal. Azhari dan keempat wartawan RCTI menjadi saksi atas
pembunuhan tersebut. Azhari berlari ke arah yang lebih aman. Sedangkan,
wartawan RCTI menshot kejadian, meski mereka kehilangan moment awal
selama 10 menit pertama. Adegan ditutup dengan evakuasi korban yang
dilarikan ke rumah sakit sekitar.
Super Struktur (Semantik; Latar, Detil, Maksud,
Praanggapan, Nominalisasi)
Latar adegan ini adalah latar peristiwa, di mana peristiwa ini
menjadi latar utama dalam adegan 8. Detil adegan 8 terlihat pada kalimat,
“Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan apa saja yang mereka
bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan
kepala manusia.” (paragraf 3). Detil lainnya ”…sepeda kecil, sandal,
kayu, batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh pemiliknya yang
tadi panik berlarian.” (paragraf 92)
100
Maksud terdapat pada kalimat, “Nalurinya sebagai wartawan
sama sekali tak jalan” (paragraf 39). Maksudnya menerangkan situasi
ketika peristiwa terjadi tapi naluri Azhari sebagai wartawan tidak berjalan.
Ia sama sekali tidak mewawancarai atau memotret. “Imam merasa ajaib
bahwa tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka,”
(paragraf 106) Ketika tentara mengancam keempat wartawan RCTI tapi
mereka tidak mengambil kaset rekaman tersebut.
Salah satu Praanggapan adegan 8 yaitu “Selain itu, Azhari
merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak
tentara,” (paragraf 13) Alasannya Azhari tidak hanya masalah tentara tapi
ia merasa lebih aman mengamati di kejauhan supaya identitas
wartawannya tidak ketahuan. Sedangkan untuk nominalisasi yang ada
adalah “…di bawah sebuah pohon asam dekat sawah, 500 meter dari
simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal.
Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter,”
(paragraf 1). “Lima orang wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di
bale-bale, tertawa ceria…” (paragraf 10)
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk kalimat, Koherensi, Kata
Ganti)
Baik Bentuk kalimat aktif maupun pasif yang ada pada adegan 8
ini memang banyak tapi bisa diambil satu kalimat pasif sebagai contoh
yang merupakan perkataan Imam dalam rekaman reportasenya, “Pemirsa,
jatuhnya korban di Simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari
seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini.”
101
Koherensi Pembeda, “Antara kelompok tentara ini dan massa
hanya berjarak 20-an meter.” Kalimat ini menunjukkan perbedaan jarak
antara keduanya. Jika kalimat di atas dari paragraf pertama, maka kalimat
ini dari paragraf terakhir adegan 8. “Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang
Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh
bisa dilakukan lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan
Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe.” Koherensi pembeda kedua,
ditandai dengan penegasan kata „seandainya‟ yang menunjukkan
perbedaan antara dua situasi yang berbeda, konflik dan perdamaian.
Koherensi konjungsi „tapi‟ terdapat pada, “Tadinya massa
bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika
tahu ada kamera televisi merekam aksi mereka.” (paragraf 3)
Kata Ganti yang digunakan menggunakan kata ganti orang ketiga
jamak yaitu „mereka‟ serta kata ganti orang pertama jamak „kami‟.
Penggunaan kata ganti „kami‟ terletak pada dialog narasumber, “Kami
dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh menculik orang Rudal,
sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu," teriaknya dengan emosi
dari megafone.” (paragraf 34)
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Leksikal yang dipilih pada adegan 8 di antaranya referendum
(paragraf 6), berekerudung (paragraf 10), menyorot (paragraf 11),
serombongan orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung, menyemut
(paragraf 14), dicopot, menanggalkan (paragraf 16), senyap (paragraf 25),
rakyat bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya (paragraf 26), provokator,
102
dituding (paragraf 27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40), rebah
(paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67), berjilbab (paragraf 68), tak
bernyawa (paragraf 75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas
(paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labi-labi (paragraf 105),
meninggal (paragraf 108), sok jagoan (paragraf 112).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis, Metafora)
Sebutan kata kasar “pa‟i” kembali hadir pada adegan kedelapan ini,
sebelumnya ada pada adegan 6. Pa’i menjadi salah satu elemen Grafis
yang menonjol, karena berulang kali disebutkan dalam adegan ini. Grafis
lainnya yaitu massa berkali-kali meneriakkan kata-kata Islam, seperti
seruan Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Inalillahi. Kata-kata ini baru ada
dalam adegan 8, pada adegan-adegan sebelumnya tidak dimasukkan sama
sekali oleh Chik Rini. “Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu
bersahut-sahutan dari ujung ke ujun,” (paragraf 4). Elemen grafis ketiga
adalah bunyi tembakan dari tentara. Bunyi ini dimasukkan oleh Chik Rini
pada adegan ke-8, sebagai visualisasi atas peristiwa pembunuhan tersebut.
“Tiba-tiba ... trat .... trat .... trat .... suara senjata meletus dengan keras.
Trat, trat, trat .... dengan cepat suara senjata susulan terdengar bersahut-
sahutan,” (paragraf 46).
Metafora di antaranya ketegangan serius (paragraf 1), melompat
kegirangan (paragraf 3), gambar lautan massa, bunyinya bagai suara
dengungan puluhan ribu lebah (paragraf 7), matahari tepat di atas kepala,
panasnya bagai membakar, memanaskan suasana, peluh mengucur deras
(paragraf 8), seakan tenggelam (paragraf 12), berpikiran kalut, di luar
103
kendali (paragraf 21), memancing emosi (paragraf 30), matahari
memancarkan sinar yang cukup panas (paragraf 33), massa makin tak
terkendali (paragraf 40), suasana memanas (paragraf 42), suara itu
bagaikan geledek yang menyambar, melepaskan peluru-peluru tajam
(paragraf 46), seperti kesetanan (paragraf 48), jatuh terjengkang, secepat
kilat (paragraf 39), tembakan bertubi-tubi (paragraf 64), Imam terkejut
bagai disambar petir (paragraf 73), malaikat pencabut nyawa (paragraf
77), tentara itu bagai mengejar dirinya (paragraf 88), melindungi
kameranya seperti melindungi bayinya (paragraf 94), mengaung-ngaung
serasa menyayat hati (paragraf 110), melumuri dadanya dengan darah
korban (paragraf 112).
Tabel 13.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro Topik/ Tema Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul 12
siang hingga datangnya bala bantuan
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Adegan dimulai pada pukul 12.00 siang, wartawan
RCTI menshot setiap adegan dari massa
Di bagian tengah adegan, tentara menembaki massa
seperti kesetanan dan tak mengenal kemanusiaan.
Wartawan RCTI kehilangan moment pertamanya
selama 10 menit pertama. Massa berhamburan
menyelamatkan diri.
Adegan ditutup dengan datangnya bantuan dan
evakuasi korban pada pukul 13.05
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar adegan 8 adalah latar peristiwa di mana pada
adegan ini adalah inti cerita dari keseluruhan adegan
yang ada
Detil “….Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul
di antara ribuan kepala manusia.” (paragraf 3)
Maksud “Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak
jalan” (paragraf 39)
Maksud kalimat ini, Azhari hanyalah menjadi
penonton dari keramaian massa dan tidak melakukan
profesinya sebagai jurnalis
Praanggapan “Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu
masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara,”
(paragraf 13)
104
Anggapan kalimat seperti ini adalah demi keamanan
dirinya menjadi wartawan
Nominalisasi “… 500 meter dari simpang, ada 20 tentara lain
yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara
kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-
an meter” (paragraf 1)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat pasif:
Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang Kraft ini
barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di
bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini.” (paragraf 113)
Koherensi Koherensi pembeda:
“Antara kelompok tentara ini dan massa hanya
berjarak 20-an meter” (paragraf 1)
Koherensi konjungsi „tapi‟:
“Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi
suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu
ada kamera televisi merekam aksi mereka.”
(paragraf 3)
Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟ dan kata
ganti orang pertama jamak „kami‟ yaitu “Kami
dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh
menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu
menahu masalah itu,” teriaknya dengan emosi dari
megafone.” (paragraf 34)
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon referendum (paragraf 6), berekerudung (paragraf
10), menyorot (paragraf 11), serombongan
orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung,
menyemut (paragraf 14), dicopot, menanggalkan
(paragraf 16), senyap (paragraf 25), rakyat
bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya
(paragraf 26), provokator, dituding (paragraf
27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40),
rebah (paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67),
berjilbab (paragraf 68), tak bernyawa (paragraf
75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas
(paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labi-
labi (paragraf 105), meninggal (paragraf 108),
sok jagoan (paragraf 112). Struktur mikro
(Retoris) Grafis Sebutan kasar kata pa‟I, seruan kata-kata Islam
seperti Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Innalillahi.
Grafis ketiga, bunyi visualisasi dari suara tembakan
pada paragraf 46
Metafora ketegangan serius (paragraf 1), melompat
kegirangan (paragraf 3), gambar lautan massa,
bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah
(paragraf 7), matahari tepat di atas kepala, panasnya
bagai membakar, memanaskan suasana, peluh
mengucur deras (paragraf 8), seakan tenggelam
105
(paragraf 12), berpikiran kalut, di luar kendali
(paragraf 21), memancing emosi (paragraf 30),
matahari memancarkan sinar yang cukup panas
(paragraf 33), massa makin tak terkendali (paragraf
40), suasana memanas (paragraf 42), suara itu
bagaikan geledek yang menyambar, melepaskan
peluru-peluru tajam (paragraf 46), seperti kesetanan
(paragraf 48), jatuh terjengkang, secepat kilat
(paragraf 39), tembakan bertubi-tubi (paragraf 64),
Imam terkejut bagai disambar petir (paragraf 73),
malaikat pencabut nyawa (paragraf 77), tentara itu
bagai mengejar dirinya (paragraf 88), melindungi
kameranya seperti melindungi bayinya (paragraf 94),
mengaung-ngaung serasa menyayat hati (paragraf
110), melumuri dadanya dengan darah korban
(paragraf 112).
9). Analisis Teks Adegan 9 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Adegan ini didahului dengan suasana korban Simpang Kraft yang
dilarikan ke rumah sakit di sekitar Kreung Geukeuh, Batuphat, dan
Lhokseumawe. Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT. Arun LNG,
untuk melanjutkan reportase mereka. Azhari menaikkan berita pertamanya
pada jam 3 siang. RCTI memunculkan berita pertamanya sebagai headline
pukul 18.30. Pukul 21.00, RCTI dan semua televisi swasta merelai siaran
Dunia Dalam Berita milik TVRI. Adegan diakhiri dengan pengiriman tiga
kaset rekaman hasil reportase wartawan RCTI ke RCTI, Associated Press, dan
Reuters pada pukul 21.00.
Super Struktur (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa, di mana dari paragraf pertama
hingga paragraf keempat menceritakan hal tersebut. Detil peristiwa terdapat
pada kalimat, “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan
106
kondisi mengenaskan,” (paragraf 3). Detil ini menrincikan kondisi korban di
rumah sakit. Ada dua elemen maksud yang ada pada adegan 9 ini di antaranya,
“Sampai di situ para petinggi militer di Lhokseumawe belum mengetahui
bahwa ada wartawan RCTI jadi saksi mata peristiwa itu,” (paragraf 16).
Maksud kedua, “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong,”
(paragraf 18). Kalimat pertama menerangkan ketika semua stasiun televisi
swasta merelai siaran dari TVRI, mereka belum mengetahui kalau ada
wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa tersebut. Sedangkan
kalimat kedua menjelaskan anggapan dari masyarakat bahwa RCTI
menyiarkan fakta bohong karena merelai siaran dari TVRI tersebut.
Praanggapan adegan 9 terletak di dialog Imam Wahyudi kepada redaksi
RCTI di Jakarta, “Imam menelepon RCTI Jakarta. Beritanya Cuma satu. “Ada
kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up…”
(paragraf 6). Peristiwa Simpang Kraft ini sama dengan Santa Cruz yang terjadi
pada 12 November 1991, begitulah anggapan dari Imam. Nominalisasi,
“Azhari menyebutkan, belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka,”
(paragraf 12), “Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan
lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang,” (paragraf 13).
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Bentuk kalimat pasif yang terdapat pada paragraf pertama, “Korban-
korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit
dan klinik sekitar Krueng Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe.” Koherensi
pembeda yang membedakan dua hal yang berbeda namun satu peristiwa yang
sama, secara kontras terdapat pada paragraf 11, “Imam terus bergerak mencari
107
data korban ke rumah sakit Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya
lebih dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa tertampung. Mereka
ditidurkan di lantai lorong rumah sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik
Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut
Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup dan tampak beberapa pasukan
marinir berjaga di gardu.”
Koherensi dengan konjungsi „kausalitas‟ yaitu “Mereka merasa harus
segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan
gambar yang ekslusif yang pasti jadi incaran militer.” Koherensi kausalitas
lainnya, “Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia.
Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara
terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal,
sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga,” (paragraf 17).
Kata Ganti yang digunakan tetap kata ganti orang ketiga jamak
„mereka‟, ditambah dengan kata ganti orang kedua tunggal „kau.‟ “Salah
seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam, “Kau harus segera pergi
dari Lhokseumawe.” (paragraf 9). Serta terdapat kata ganti kata ganti orang
kedua jamak „kalian‟, “… kalian harus segera follow up…” (paragraf 6).
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Leksikal yang dipilih Chik Rini antara lain tak bernyawa, digeletakkan
(paragraf 3), terpaku (paragraf 5).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Tidak ada grafis. Metafora adegan 9 yaitu tercium sangat kuat (paragraf
3), Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis keluarga
108
korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Suasana agak kacau,”
(paragraf 4), seperti orang linglung setelah kerja maraton (paragraf 14),
malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam (paragraf 15).
Tabel 14.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9
Struktur
Wacana
Elemen Temuan
Struktur
Makro
Topik/ Tema Para korban pembantaian dilarikan ke rumah sakit
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Di bagian awal adegan, para korban penembakan
Simpang Kraft dibawa ke rumah sakit (paragraf 1)
Pada bagian isi adegan diceritakan tentang
reportase dari Azhari dan empat wartawan RCTI di
rumah sakit serta persaingan akan berita eksklusif
Simpang Kraft yang masuk ke dalam media
nasional
Adegan ditutup dengan adanya pengiriman kaset
rekaman kepada pihak RCTI, Associated Press, dan
Reuters
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa ketika
korban-korban dilarikan ke rumah sakit
Detil “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda
tewas dengan kondisi mengenaskan,” (paragraf 3)
Dari latar tersebut, dijelaskan pula selanjutnya
kondisi dari korban Simpang Kraft
Maksud “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita
bohong,” (paragraf 18)
RCTI telah merelai beritanya dari siaran TVRI tapi
orang Aceh mengangganpnya itu adalah berita RCTI.
Padahal wartawan RCTI menjadi saksi dari
pembunuhan tersebut
Praanggapan “…Ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan
kalian harus segera follow-up…” (paragraf 6)
Peristiwa Simpang Kraft ini dianggap oleh Imam
Wahyudi sama seperti yang terjadi di Timor Timur
pada 12 November 1991, di mana tentara Indonesia
membubarkan massa dengan cara menembaki
mereka
Nominalisasi “Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas
dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa
penembakan tadi siang,” (paragraf 13)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat pasif:
“Korban-korban penembakan di Simpang Kraft,
dievakuasi ke beberapa rumah sakit….” (paragraf 1)
109
Koherensi Koherensi pembeda:
“…Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara
Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan
rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi (paragraf
11)
Koherensi konjungsi „kausalitas‟:
“Mereka merasa harus segera mengamankan
kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu
merupakan gambar yang eksklusif yang pasti jadi
incaran militer” (paragraf 11)
Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟ dan kata
ganti orang pertama kedua tunggal „kau‟, “… Kau
harus segera pergi dari Lhokseumawe,” (paragraf 9)
Kata ganti orang kedua jamak „kalian‟, ““… kalian
harus segera follow up…” (paragraf 6)
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon tak bernyawa, digeletakkan (paragraf 3), terpaku
(paragraf 5)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis -
Metafora tercium sangat kuat (paragraf 3), Rintihan kesakitan
terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis
keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah
sakit. Suasana agak kacau,” (paragraf 4), seperti
orang linglung setelah kerja maraton (paragraf 14),
malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam
(paragraf 15)
10). Analisis Teks Adegan 10 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Awal adegan dimulai dengan adanya penyiaran peristiwa Simpang Kraft
di Nuansa Pagi RCTI pukul 06.00. Tapi karena pada malam sebelumnya,
semua stasiun televisi swasta telah merelai siaran berita Dunia Dalam Berita
dari TVRI, hal itu yang membuat orang Aceh tidak percaya kepada wartawan,
khususnya terhadap RCTI dan Antara. Mereka pun mendapatkan ancaman dan
terror baik itu dari orang Aceh, GAM, maupun militer Indonesia. Adegan
ditutup dengan sampainya kaset rekaman Ali Raban yang disiarkan Reuters ke
pelanggannya seluruh dunia dan gambar Fipin Kurniawan yang disiarkan di
Seputar Indonesia pukul 18.30 pada Rabu, 5 Mei 1999.
110
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,
Nominalisasi)
Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penyiaran berita di Nuansa Pagi
RCTI pukul 06.00 pada Selasa, 4 Mei 1999. Detil peristiwa kecaman dari
orang Aceh kepada wartawan terlihat pada kalimat, “Imam seperti dikeroyok,
oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan
Fipin berdiri memisah, menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai
tudingan,” (paragraf 6).
Elemen Maksud adegan 10 yaitu “Bahwa wartawan itu harus berpijak
pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa yang terjadi itulah kebenaran.
Dan bagi saya menyuarakan kebenaran itu jihad,” (paragraf 20). Maksud dari
pernyataan Imam Wahyudi ini merupakan elemen dasar dari seorang
wartawan, seperti Sembilan Elemen Dasar yang dikemukakan oleh Bill Kovach
bahwa seorang wartawan haruslah berpijak kepada kebenaran.
Praanggapan adegan 10 adalah, “Jumlah korban masih simpang siur.
Berbagai versi berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah sakit,”
(paragraf 22). Anggapan inilah yang faktanya terjadi di lapangan, baik
pemberitaan dari media nasional maupun data dari rumah sakit.
Nominalisasi sebagai kisaran dari jumlah korban Simpang Kraft serta
lanjutan dari praanggapan di atas yaitu “Tapi data lengkap dari tim pencari
fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang
hilang,” (paragraf 22).
Super Struktur (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
111
Bentuk kalimat pasif sekaligus menjadi bentuk kalimat induktif yang
menjadi inti kalimat pada akhir paragraf dan adegan merupakan pon terpenting
dari adegan 10. Kalimat tersebut yaitu, “Tragedi ini kemudian lebih dikenal
sebagai Peristiwa Simpang Kraft,” (paragraf 39).
Elemen Koherensi kausalitas adegan 10 terdapat tiga antara lain “Dia
mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang di Lhokseumawe
marah pada RCTI karena pemberitaan semalam,” (paragraf 2). Kedua, Mereka
protes karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan
media,” (paragraf 21). Ketiga, Orang itu mengancam akan membakar rumah,
karena Umar dianggap membuat berita bohong di RCTI,” (paragraf 34).
Koherensi konjungsi „tapi‟ terdapat paragraf akhir pada adegan 10,
“Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana
sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh,”
(paragraf 40).
Adegan 10 memiliki tiga macam kata ganti. Pertama, kata ganti orang
ketiga jamak „mereka‟, kata ganti orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti
orang pertama tunggal „saya‟. Namun penggunaan kata saya tersebut, terdapat
dalam dialog narasumber, “Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan
berapa korbannya. Saya punya data dari rumah sakit,” sahut Imam.( paragraf
14)
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Chik Rini sebagai penulis dari naskah ini memilih leksikal di antaranya
tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerca (paragraf 4), mengerubungi,
dikeroyok, dikecam (paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf 21),
112
mengintrograsi (paragraf 25), menyodorkan (paragraf 27), terpelongo, mati
(paragraf 30), argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraf 38), tragedi
(paragraf 39).
Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)
Dalam adegan ini, tidak ada kata atau kalimat yang menggunakan tanda
petik di atasnya seperti pada adegan-adegan sebelumnya tapi ada kalimat yang
selalu ditekankan oleh penulis. Kalimat “RCTI pembohong” disebutkan
sebanyak lima kali dalam satu kali adegan “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft”. Seakan-akan Chik Rini ingin menunjukkan kepada masyarakat bhwa
dengan adanya beragam konflik di Aceh, khususnya peristiwa Simpang Kraft
telah membuat orang Aceh stereotip terhadap media dan wartawan.
Metafora adegan 10 yaitu seorang pemuda bertopi taliban (paragraf 3),
bereaksi keras (paragraf 21), rasa takut yang tinggi (paragraf 37),
membangkitkan emosi (paragraf 39), sebuah drama berdarah sekali lagi
terkelupas dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (paragraf 40).
Tabel 14.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10
Struktur
Wacana
Elemen Temuan/ Hasil Analisis
Struktur
Makro
Topik/ Tema Laporan berita pertama mengenai peristiwa Simpang
Kraft dilaporkan oleh wartawan RCTI
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Penyiaran berita Simpang Kraft di Nuansa Pagi
RCTI pukul 06.00, Selasa 4 Mei 1999 (paragraf 1)
Pada bagian isi adegan menceritakan bagaimana
orang Aceh memperlakukan wartawan pasca
peristiwa Simpang Kraft. Orang Aceh menjadi
stereotip terhadap pemberitaan yang disiarkan oleh
media nasional
Adegan ditutup dengan penayangan kaset rekaman
yang telah dikirim oleh Umar HN pada hari
sebelumnya serta ditayangkan pada Rabu, 5 Mei
1999. Meski RCTI telat satu setengah jam
menayangkan gambar Fipin dibandingkan dengan
gambar Ali Raban
113
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penayangan
berita Simpang Kraft di media nasional maupun
internasional
Detil “Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda
bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban,
dan Fipin berdiri…” (paragraf 6)
Pada kalimat di atas menceritakan bagaimana
munculnya rasa ketidakpercayaan orang Aceh
terhadap wartawan
Maksud “Bahwa wartawan itu harus berpijak pada
kebenaran, pada apa yang terjadi….” (paragraf 20)
Seperti yang diungkapkan oleh Bill Kovach bahwa
seorang wartawan haruslah berpijak kepada
wartawan. (Sembilan Elemen Dasar Jurnalisme, Bill
Kovach)
Praanggapan Pada paragraf 22 diterangkan mengenai data korban
Simpang Kraft yang masih simpang siur. Chik Rini
menambahkan pula konstruksi korban penembakan
Simpang Kraft dari tim pencari fakta
Nominalisasi “Tapi data lengkap dari tim pencari fakta
menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan
sepuluh orang hilang,” (paragraf 22)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat pasif:
“Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai
Peristiwa Simpang Kraft” (paragraf 39)
Koherensi Koherensi kausalitas:
Mereka protes karena menganggap jumlah
korban lebih banyak dari yang diberitakan
media,” (paragraf 21)
Koherensi konjungsi „tapi‟:
Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi
Indonesia melihat bagaimana sebuah drama
berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal
dari Aceh,” (paragraf 40)
Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟, kata ganti
orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang
pertama tunggal „saya‟
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerca
(paragraf 4), mengerubungi, dikeroyok, dikecam
(paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf
21), mengintrograsi (paragraf 25), menyodorkan
(paragraf 27), terpelongo, mati (paragraf 30),
argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraf
38), tragedi (paragraf 39)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis Kalimat “RCTI adalah pembohong” disebutkan
sebanyak lima kali dalam adegan 10 ini
114
Metafora seorang pemuda bertopi taliban (paragraf 3),
bereaksi keras (paragraf 21), rasa takut yang tinggi
(paragraf 37), membangkitkan emosi (paragraf 39),
sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas
dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (paragraf
40)
11). Analisis Teks Adegan 11 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Super Struktur (Skematik)
Adegan kesebelas ini disebut juga dengan epilog atau penutup. Disebut
epilog karena adalah akhir dari adegan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”.
Dalam teori elemen-elemen jurnalisme sastrawi Robert Vare diterangkan
mengenai kebaruan maka epilog ini adalah konteks kekinian yaitu tiga tahun
pasca peristiwa Simpang Kraft yaitu tahun 2002 (saat naskah ini pertama
dipublikasikan di Majalah Pantau pada Mei 2002).
Skematik adegan epilog ini diawali oleh tokoh Imam Wahyudi yang
mengalami trauma pasca peristiwa tersebut. Berlanjut kepada tokoh-tokoh
setelahnya yaitu Fipin Kurniawan, Ali Raban, dan Umar HN. Isi adegan 11
juga menceritakan proses pengadilan yang tak adil terhadap para korban
Simpang Kraft. Chik Rini pun berhasil menemukan „man behind the scene‟
bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memprovokasi massa dan
melibatkan diri di balik peristiwa tersebut (terdapat pada pernyataan Camat
Dewantara Marzuki Muhammad Amin ketika bertemu dengan Faisal, korlap
dari demonstrasi di Simpang Kraft).
Adegan diakhiri dengan masih adanya ketidakpercayaan orang Aceh
(korban atau keluarga korban penembakan) kepada wartawan, meski peristiwa
Simpang Kraft telah berlalu tiga tahun lalu.
115
Struktur Mikro (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)
Latar adegan 10 adalah latar pacsa peristiwa tersebut dalam konteks
kekinian yaitu tiga tahun setelahnya. Detil deskripsi Simpang Kraft pada epilog
ini juga dijelaskan oleh Chik Rini, sama seperti tiga tahun lalu (pada paragraf
6). Elemen maksud terdapat pada kalimat, “Umar berkali-kali minta saya agar
menulis cerita ini secara hati-hati,” (paragraf 5). Maksudnya adalah peristiwa
ini adalah peristiwa sensitif dan banyak wartawana yang mendapatkan
ancaman serta teror atas pemberitaan peristiwa Simpang Kraft, apalagi bagi
seorang wartawan perempuan Aceh.
Praanggapan ini adalah ekspresi atas kekecewaan mereka terhadap
ketidakadilan yang dialami. “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM
(lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-
pa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh,"
(paragraf 18). Pernyataan ini hanyalah representatif dari salah satu korban saja,
tapi hal inilah yang juga dirasakan oleh orang Aceh. Stereotif, lelah, serta
kekecawaan tersebut tetap sama, baik itu pada Mei 1999 hingga tiga tahun
setelahnya.
Elemen nominalisasi pada adegan 11 terdapat dalam, “….ditembak mati
tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang
tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat…” (paragraf 14) dan “…dengan
tuntutan Rp 83 miliar…” (paragraf 15).
Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Bentuk kalimat aktif terlihat pada, “Pihak militer Indonesia secara
resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi
116
massa,” (paragraf 9). Koherensi pembeda, “Pasca Peristiwa Simpang Kraft,
hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat
dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan
Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8). Koherensi
kausalitas, “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur,
karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang
markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf 10), “Peradilan itu belum
pernah berlangsung karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan
hakim setelah hampir seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total,”
(paragraf 15).
Adegan kesebelas ini memiliki keunikan dari segi elemen kata ganti
karena dalam adegan ini penulis memasukkan dirinya ke dalam teks naskah
dengan penggunaan kata ganti orang pertama tunggal „saya.‟ Ia
mengkonstruksi dirinya seolah-olah berada di sana serta untuk menunjukkan
konteks kekinian dari naskah. Penggunaan „saya‟ dimulai pada paragraf kedua
dan disebutkan sebanyak 15 kali. “Tapi dia menolak bicara dengan saya.
"Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat)
dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum. Padahal
mereka sudah tembak kami orang Aceh." (paragraf 18) Selain „saya‟,
digunakan pula kata ganti „mereka‟, „kami‟, dan „dia‟.
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
Pemilihan kata atau leksikon yang dipilih oleh Chik Rini yaitu
intimidasi, kekerasan, teror (paragraf 5), tewas, menerjang (paragraf 6), aksi
117
(paragraf 9), pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi (paragraf
15), pesimis (paragraf 16).
Struktur Mikro (Reoris; Grafis dan Metafora)
Dilihat dari segi grafis, „senjata AK 47‟ lebih ditonjolkan oleh penulis.
Dengan adanya penjelasan bahwa ada massa yang membawa jenis senjata ini,
membuat militer Indonesia yakin bahwa GAM di balik aksi provokasi massa.
Hal ini dijelaskan pada paragraf 9. Grafis kedua yaitu penyebutan kata‟pa‟i‟
diulang kembali pada akhir adegan epilog ini, sebagai pengenasan bahwa orang
Aceh masih tidak menyukai pa‟i.
Metafora adegan 11 terdiri atas dikejar-kejar bayangan (paragraf 1),
menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang (paragraf 6), pada suatu
siang berudara mendung, Mei berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tesentuh
hukum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana kacau dan memanas,
kerumunan massa (paragraf 9), memakan korban (paragraf 10), pohon itu
berlubang sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11), kasus peristiwa
Simpang Kraft bagai tenggelam (paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15),
peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum (paragraf 18).
Tabel 16.
Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11
Struktur
Wacana
Elemen Temuan/ Hasil Analisis
Struktur
Makro
Topik/ Tema Topiknya adalah dua tahun pasca peristiwa tersebut
yang menceritakan kondisi para tokoh
Super struktur
(skematik) Skema/ Alur Imam Wahyudi mengalami trauma pasca peristiwa
Simpang Kraft. Jika ia kembali ke sana, ia selalu
menyempatkan diri ke Simpang Kraft dan selalu
mengenang peristiwa tersebut (paragraf 1)
Pada bagian isi adegan dilanjutkan dengan
pernyataan resmi militer yang menyatakan bahwa
pihak GAMlah di balik aksi provokasi massa. Chik
Rini membuktikannya dengan dimasukkannya
dialog antara Camat Marzuki dan Faisal (korlap
118
demonstrasi Simpang Kraft) saat itu. Faisal
menunjukkan dirinya bahwa ia dari GAM
Pasca peristiwa, NGO HAM Aceh dan para pihak
yang peduli dengan peristiwa Simpang Kraft masih
menuntut keadilan para korban, dengan tuntutan
hukum perdata Rp 83 miliar tapi belum jua
mendapatkan keadilan
Stereotip, sikap anti Jawa (pa‟i), dan tidak lagi
percaya dengan LSM serta wartawan ini masih ada
pada orang Aceh meski peristiwa itu telah berlalu
selama tiga tahun (penutup adegan 11)
Struktur mikro
(semantik) Latar Latar adegan 11 adalah latar pasca peristiwa Simpang
Kraft yaitu tiga tahun setelah peristiwa terjadi
Detil Detil kondisi dan deskripsi letak Simpang Kraft sama
seperti tiga tahun setelahnya. Detil ini dijelaskan oleh
Chik Rini pada paragraf 6
Maksud “Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita
ini secara hati-hati,” (paragraf 5)
Maksudnya, dalam menuliskan peristiwa ini
sekaligus ditulis oleh wartawan Aceh harus secara
hati-hati. Peristiwa ini masih membekas dalam hati
orang Aceh
Praanggapan “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM
(lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi
tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum.
Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh,"
(paragraf 18)
Anggapan inilah yang masih berkembang dalam
orang Aceh, khususnya korban maupun keluarga
korban dari peristiwa Simpang Kraft tersebut
Nominalisasi “….ditembak mati tentara bersama 51 murid
pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang
tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat…”
(paragraf 14)
Struktur mikro
(sintaksis) Bentuk
Kalimat
Bentuk kalimat aktif:
“Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan
Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi
provokasi massa,” (paragraf 9)
Koherensi Koherensi pembeda:
“Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua
prajurit dan komandan di institusi militer
setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini
prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon
113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8)
Koherensi konjungsi „kausalitas‟:
“Tentara menganggap mereka sudah bertindak
sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh
Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang
markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf10)
119
Kata Ganti Kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟, kata ganti
orang pertama tunggal „saya‟, kata ganti orang
pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang ketiga
tunggal „dia‟
Struktur mikro
(stilistik) Leksikon intimidasi, kekerasan, teror (paragraf 5), tewas,
menerjang (paragraf 6), aksi (paragraf 9),
pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi
(paragraf 15), pesimis (paragraf 16)
Struktur mikro
(Retoris) Grafis Senjata AK 47 yaitu senjata yang sering digunakan
oleh GAM disebutkan di dalam naskah sebagai
pembukti bahwa GAMlah yang berada di balik
peristiwa Simpang Kraft dan penggunaan kata pa‟i
masih disebutkan meski peristiwa tekah berlalu tiga
tahun setelahnya
Metafora dikejar-kejar bayangan (paragraf 1),
menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang
(paragraf 6), pada suatu siang berudara mendung,
Mei berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tesentuh
hukum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana
kacau dan memanas, kerumunan massa (paragraf 9),
memakan korban (paragraf 10), pohon itu berlubang
sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11),
kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam
(paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15), peluru
bersarang di punggungnya, tidak kena hukum
(paragraf 18)
2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Dalam memahami sebuah teks, kognisi sosial menjadi hal terpenting. Pada
umumnya teks diasumsikan tidak mempunyai makna namun anggapan tersebut
salah karena teks tersebut diberikan makna oleh si pemakai bahasa (penulis).
Makna inilah yang dikonstruksi oleh penulis.
Dalam menganalisa struktur kedua wacana van Dijk ini yaitu kesadaran
mental pengarang. Sama halnya seperti naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft,” naskah ini tidak terlepas dari konstruksi teks serta mental dari penulis
yaitu Chik Rini. Tentunya, Chik Rini memiliki memiliki nilai, pengaruh, dan
ideologi dari kehidupannya yang memengaruhi terbentuknya teks tersebut.
120
Wacana tentang Aceh yang diangkat dalam Majalah Pantau Edisi Mei
2002 rubrik Reporter dari Lapangan merupakan peristiwa yang telah terlewati tiga
tahun lamanya, sebelum naskah tersebut dipublikasikan. Majalah Pantau adalah
majalah bergenre jurnalisme sastrawi yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus
Informasi atau ISAI (1999-2003) dan Yayasan Pantau (Desember 2003-Mei 2004)
dengan mengandalkan 70% isinya dari kontributor. Kontributor tersebut bekerja
secara freelance tergantung kepada berita yang mereka kirimkan kepada Pantau.
Dikutip dari wawancara ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana
proses pra produksi sebelum berita diangkat, Imam Sofwan sebagai staf redaksi
Yayasan Pantau menceritakan prosedur awal perencanaan liputan, “Biasanya
mereka (kontributor) ngajuin liputan. Ngajuin rencana liputan, semacam proposal
liputan. Apa yang akan dia liput, siapa saja yang akan dijadikan narasumber,
temanya, outline tulisannya, dan biaya liputannya. Mereka bikin rencana singkat.
Kemudian ada yang menjadi consultant-nya, yang akan ngedit itu nanti siapa.
Nanti mereka langsung ketemu dengan editornya, mungkin ada diberikan
masukan bacaan apa yang perlu dibaca, narasumber siapa saja yang perlu ditemui,
dikasih masukan. Yah, diskusi langsung ke editornya.”1
Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga mengakui
bahwa pada mulanya ia berdiskusi kepada Andreas Harsono mengenai rencana
liputannya. Awalnya, ia ingin meliput tentang komandan intelejen di Aceh yang
membunuh empat aktivis GAM tapi karena aksesnya susah maka ia tidak jadi.
Lalu temannya menceritakan tentang sosok Imam Wahyudi sebagai wartawan
yang trauma. Ketika ia ke Jakarta, ia berkonsultasi dengan Andreas Harsono.
1 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3
November 2010 pkl. 14.00 WIB
121
Wacana tema liputan ini menarik perhatian Andreas. Ia bilang, “Saya tertarik
dengan Aceh karena kekejaman-kekejaman yang terjadi di sana.”
Untuk mengetahui sejauh mana penulis mencampurkan pengetahuan yang
ia miliki ke dalam tulisannya, dalam hal ini van Dijk mempunyai empat elemen
untuk mengetahui strategi wartawan atau penulis dalam memahami peristiwa.
a. Strategi dalam Memahami Peristiwa
Strategi yang digunakan van Dijk untuk mengetahui model yang
digunakan wartawan atau penulis naskah dalam memahami peristiwa
Simpang Kraft di Aceh pada 3 Mei 1999 adalah dengan melakukan empat
strategi.
Strategi yang pertama itu adalah seleksi. Seleksi adalah strategi
yang kompleks untuk menunjukkan bagaimana sumber, peristiwa, dan
informasi diseleksi oleh wartawan kemudian ditampilkan ke dalam berita.
Setiap media maupun wartawan memiliki ideologinuya masing-masing.
Majalah Pantau merupakan majalah bulanan mengenai media dan
jurnalisme. Dalam penentuan dan pemilihan tema liputan di Majalah
Pantau didiskusikan oleh manajemen redaksi Pantau dengan kontributor
Pantau. Setelah disetujui oleh semua redaksi Pantau, kontributor
melanjutkan reportase.
Tema liputan Chik Rini disetujui oleh Andreas Harsono mengenai
Aceh tentang peristiwa apa pun namun tidak terlepas seputar media dan
jurnalisme. Akhirnya, disepakati tentang peristiwa Simpang Kraft yaitu
pembunuhan terhadap orang Aceh yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Untuk pemilihan narasumber, Chik Rini yang memilihnya sendiri Ia
122
mewawancarai sekitar 30 sampai 50 narasumber serta mencari data
mengenai peristiwa tersebut dalam kurun waktu lima bulan, termasuk
menuliskan naskah.
Kedua yaitu reproduksi. Setelah menggunakan strategi pertama
yaitu penyeleksian tema yang dipilih, reproduksi kisah yang berkaitan
dengan perolehan informasi dari narasumber. Dalam hal ini, Chik Rini
mencari data sebanyak-banyaknya ketika reportase dan
mengkonfirmasikan kembali kepada narasumber. Selain itu juga, editor
naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” (Andreas Harsono)
mengkroscek setiap data, dialog narasumber, detil kejadian, serta hal-hal
kecil lainnya untuk ditanyakan kembali kepada Chik Rini. Supaya
informasi yang didapatkan Chik Rini benar-benar akurat dan harus
dikroscek lagi kepada narasumber ketika editing berlangsung, sebelum
sampai kepada publik.
Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini karena ia sampai terkejut
dengan proses editing Majalah Pantau. “Apa maksud ini? Benar nggak dia
berkata seperti ini? Kalimat panjang jadi satu makanya luar biasa belajar
editing di Pantau. Mas Andreas yang bolak-balikin naskahnya. Proses
editing ini mulai Maret sampai April tapi bolak balik. Tapi itu hanya
menceritakan dua atau tiga hari peristiwa. Ada empat dengan yang
terbarukan itu.”2
Strategi ketiga adalah kesimpulan. Setelah penyeleksian tema serta
narasumber dan reproduksi informasi dari narasumber, selanjutnya adalah
2 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan
Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
123
proses penyimpulan. Data seperti kliping koran dan, informasi narasumber
dan lainnya dikemas dalam satu teks naskah utuh, yang didalamnya terbagi
dalam adegan demi adegan. Konstruksi per adegan ini termasuk ke dalam
elemen jurnalisme sastrawi.
Dari banyaknya 50 narasumber tersebut, ia pilah kepada tokoh
utama yaitu wartawan. Narasumber utama yaitu Imam Wahyudi sebagai
pengikat, ia menuliskan siapa saja yang berada dalam lingkaran Imam
(Umar HN, Fipin Kurniawan, Ali Raban), kemudian ada Azhari wartawan
ANTARA, Camat Dewantara Marzuki Muhammad, dan tokoh pendukung
lainnya. Mereka adalah para tokoh yang terpencar hingga Chik Rini harus
mempertemukan mereka ke dalam satu titik. Tokoh-tokoh itu tidak
dipertemukan secara langsung dan berinteraksi, hanya disebutkan “Azhari
melihat Umar HN.” Mereka dipertemukan oleh satu lokasi yaitu Simpang
Kraft.
Pada strategi ini, Chik Rini tidak hanya memasukkan dialog
narasumber ke dalam teks saja, tapi deskripsi situasi serta sense
penglihatan dan pendengaran ketika mereportase juga dimasukkan
olehnya. Seperti yang terdapat pada paragraf kedua adegan pertama,
“Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan
empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas
belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api.
Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang
penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.”
124
Sesuai dengan genre jurnalisme sastrawi yaang diusung oleh
Majalah Pantau, naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” berhasil
membawa Majalah Pantau sebagai majalah jurnalisme sastrawi layaknya
The New Yorker, seperti yang dikatakn Andreas Harsono, “Saya suka
naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai memakai genre yang sulit
ini di halaman-halamannya.”
Strategi keempat, transformasi lokal. Strategi ini berhubungan
dengan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Dalam naskah “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” informasi atau data yang berkaitan dengan
peristiwa tokoh dikemas dengan menarik. Meski peristiwa Simpang Kraft
ini telah berlalu sejak tiga tahun yang lalu sebelum naskah ini
dipublikasikan, dan detil peristiwa ini terasa begitu kejam namun Chik
Rini mampu mengolahnya menjadi naskah yang menarik layaknya sebuah
novel.
b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa
Perihal pengetahuan penulis dalam memahami peristiwa Simpang
Kraft yang diangkat ini bahwa peristiwa Simpang Kraft ini hanyalah awal
dari konflik yang kian menumpuk di Aceh. Chik Rini lahir dan tinggal di
Aceh tapi kedua orang tuanya bukan orang asli Aceh. Neneknya Padang,
kakek berasal dari suku Sunda. Ayahnya orang Palembang.
Keterikatan Chik Rini dalam memahami peristiwa Simpang Kraft
ini sangat erat. Kelebihan dirinya dalam mereportase peristiwa Simpang
Kraft yaitu ia tahu wilayah dan tahu beberapa akses narasumber.
125
Saat peristiwa itu berlangsung, ia pun masih duduk di SMA dan
hanya mengetahui saja peristiwa tersebut dari orang Aceh lainnya. Namun,
ia merasa sangat dekat dengan peristiwa Simpang Kraft, ibunya pun
merasakan ketakutan ketika menjelang peristiwa tersebut. Seperti yang
dikatakannya kepada peneliti melalui wawancara:
“Ada isu orang kampung diambil tentara. Mereka itu kayak
terakumulasi. Kak Chik juga dapat cerita, tapi itu juga nggak
Kakak masukkan, hanya menjadi background. Kenapa Kakak
bilang ada yang memobilisasi massa. Saat itu, di hari itu, di Kreung
Geukeuh di kampung Lancang Barat dapat cerita kalau malam
sudah dimobilisasi. Ibu Kak Chik ngumpet dengan saudara kami di
dalam kamar. Pagi-pagi sudah dijemput suruh naik mobil pick up.
Jaraknya sekitar 1 km. Ada mobilisasi massa. Semua perempuan
disuruh keluar, bawa anak. Bawa anak-anak.”3
Konstruksi secara deskripsi tempat kejadian kultur orang Aceh
serta alasan mengapa orang Aceh ingin referendum maupun alasan
mengapa GAM memberontak dari pemerintah Indonesia, ia memahami itu
semua. Secara geografis dan emosional, ia mengenal orang-orang Kreung
Geukeuh karena di sana banyak saudaranya. Namun, yang menjadi titik
utama dari angle yang diambil dalam naskahnya adalah bagaimana
wartawan-wartawan Indonesia menjadi saksi dari pembunuhan orang Aceh
oleh militer Indonesia, bagaimana tidak adanya sisi kemanusiaan ketika
konflik pada Orde Baru dan reformasi itu berlangsung di Indonesia,
khususnya kepada orang Aceh.
Chik Rini mencoba melepaskan keberpihakannya meskipun ia
adalah orang Aceh. Rini mencoba menulis sesuai dengan angle naskah
serta memasukkan dari beragam fakta yang ia temukan di lapangan, tidak
3 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan
Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
126
hanya dari laporan pers Kodam I Bukit Barisan, Medan saja tapi Rini juga
memasukkan data dari narasumber warga sipil (wartawan dan warga
Kreung Geukeuh).
Jika strategi media dalam memahami peristiwa dan kognisi penulis
dalam memahami peristiwa tersebut, seperti yang diterangkan di atas maka
dapat diambil kesimpulan dalam tabel empat skema atau model kognisi
sosial van Dijk, sebagai berikut:
Tabel 17.
Skema/ Model Kognisi Sosial van Dijk
Skema Person (Person Schemas):
Chik Rini adalah mantan wartawan Harian Analisa, Medan dan wartawan
freelance bagi Majalah Pantau. Ia mulai reportase dan menuliskan naskah
laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” pada Desember 2001 sampai April
2002. Naskah tersebut dipulikasikan pada Majalah Pantau pada Edisi Mei 2002.
Rini lahir dan berdomisili di Aceh hingga sekarang
Skema Diri (Self Schemas):
Chik Rini menulis naskah ini pada rubrik Reporter dari Lapangan. Ia adalah
kontributor Pantau. Ia mengambil angle atau sudut pandang peristiwa Simpang
Kraft ini bukan dari peristiwa, keadilan, maupun dari dua versi (militer Indonesia
atau orang Aceh) melainkan ia melihat sisi kemanusiaan yang diawali oleh
empat wartawan RCTI dan ANTARA, bahwa mereka adalah manusia dan juga
bisa mengalami trauma. Atas dasar keprihatinan inilah, ia menuliskannya dan
dengan genre jurnalisme sastrawi.
Skema Peran (Role Schemas):
Skema ini berkaitan dengan peran dari media naungan naskah tersebut berada.
Majalah Pantau sejak tahun 1999-2003 sebagai majalah media dan jurnalime
yang selalu mengkritisi dua hal tersebut, sangat cocok dengan tema liputan yang
diangkat oleh Chik Rini. Maka dari itu, Rini mengambil dari angle wartawan.
Majalah Pantau menjembatani peran dari media dan wartawan yang ada di
Indonesia
Skema Peristiwa (Event Schemas):
Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini bahwa peristiwa ini hanyalah awal dari
peristiwa yang kian menumpuk sejak Orde Baru (Orba). Reformasi di
pemerintahan Indonesia, berdampak juga ke Aceh. Setelah peristiwa Simpang
Kraft ini ragam peristiwa berdarah lainnya makin gencar terkuak oleh media
nasional apalagi sejak Aceh mendapatkan perhatian khusus di mata media
127
nasional maupun internasional.
Peristiwa Simpang Kraft ini terjadi kejam sekali, bagaimana militer Indonesia
secara membabi buta menembaki massa dari perempuan hingga anak kecil.
Kesannya peritiwa ini lewat begitu saja. Peristiwa ini terblow up karena RCTI
dan Associated Press (AP) yang disiarkan di televisi nasional.
3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
Analisis sosial (konteks sosial) berkaitan dengan hal-hal yang memengaruhi
pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial
tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti.
Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan
komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam
situasi bagaimana, apa mediumnya, dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam
analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada
konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat
memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana.
Dalam konteks peristiwa Simpang Kraft (naskah “Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft”) ini yang menjadi yang menjadi komunikator dan komunikannya
adalah antara militer Indonesia dan orang Aceh, di dalam orang Aceh terdapat
GAM. Indonesia waktu itu dalam keadaan reformasi dan segala macam kejahatan
Soeharto ketika itu membuat GAM memberontak. Chik Rini dan Majalah Pantau
menjadi medium di antara peristiwa tersebut untuk mempublikasikan naskah
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”
Peneliti menganalisis konteks sosial ini, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
128
a. Praktik Kekuasaan
Konstruksi praktik kekuasaan dalam peristiwa Simpang Kraft ini
adalah antara militer Indonesia yang memiliki dominasi lebih besar
terhadap kaum minoritas yaitu orang Aceh dan di dalamnya terdapat
GAM. Hal inilah yang membuat orang-orang Aceh membentuk GAM dan
memberontak terhadap pemerintah Indonesia. Seperti yang terdapat dalam
adegan 1 paragraf 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
“Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul
perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM,
untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer
Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah
Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama
Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan
3.430 mengalami penganiayaan.”
Dari paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik kekuasaan
militer Indonesia selama 10 tahun. Aceh menjadi salah satu wilayah
konflik berbahaya waktu itu oleh pemerintah Indonesia. Karena
ketidakadilan itulah, dalam dakwah GAM selalu menyebutkan
“Pemerintah-Indonesia Jawa.”
b. Akses Memengaruhi Wacana
Dalam akses mempengaruhi wacana, tentu saja militer Indonesia
mempunyai kekuatan yang dominan. Dari macam–macam akses yang van
Dijk kemukakan, militer Indonesia memilki akses yang disebut dengan
akses perencanaan (planning), akses wacana dalam hal setting, akses
129
wacana dalam hal mengontrol peristiwa komunikasi (communicative
event), dan kontrol wacana atas khalayak.
Hal ini dapat dilihat dari yang terlihat pada pemaparan peristiwa
dalam “Sebuh Kegilaan di Simpang Kraft.” Pertama, peristiwa ketika
seluruh stasiun televisi nasional termasuk RCTI merelai siaran Dunia
Dalam Berita TVRI. Saat itu TVRI masih dalam bayang pengaruh
pemerintah Indonesia.
“Pukul 21.00 RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran
Dunia Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan pada pernyataan
resmi militer Indonesia. Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul
Muarif mengatakan tentara terpaksa menembak karena massa hendak
menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka bentrok dengan
tentara yang berjaga.” (paragraf 17, adegan 9)
Peristiwa kedua, setelah peristiwa tersebut berlangsung, secara
resmi militer Indonesia Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada di balik
aksi provokasi massa. Mereka menganggap sudah bertindak sesuai
prosedur (pada paragraf 9 dan 10 di adegan 11 atau epilog). Tapi, wacana
yang berkembang di masyarakat Indonesia termasuk pihak LSM dan
Koalisi NGO HAM Aceh yaitu jika mereka bertindak sesuai prosedur
mengapa para korban lebih banyak masyarakat sipil khususnya perempuan
dan satu orang anak kecil berusia 6 tahun bernama Saddam Husen. Di sini,
terdapat kejanggalan logika.
130
Peristiwa ketiga yaitu karena sangat besar akses militer Indonesia
dalam memengaruhi wacana di masyarakat, hal ini membuat orang Aceh
semakin tidak mempercayai pemerintah Indonesia, dan wartawan.
Chik Rini pun menjelaskan bahwa kini orang Aceh sudah
melupakan peristiwa Simpang Kraft tersebut, meski para korban atau
keluarga korban tidak bisa melupakan peristiwa tersebut secara 100%.
“Akhir-akhir ini, setelah damai, mereka membuat Ketua
Asosiasi Korban Simpang Kraft. Amien Rais juga membaca
naskah itu. Disuruh juga menjadi saksi. Tapi, Mas Andreas bilang,
mana bisa wartawan itu jadi saksi. Baca saja naskah itu. Wartawan
independen, punya kekebalan hukum. Dia tidak bisa menjadi saksi
pengadilan. Dia nggak bisa. Itu ada dalam UU Pers No.40 Tahun
1999.”4
Setahun lalu, korban-korbaan Simpang Kraft membuat solidaritas
untuk mengenang para korban. Mereka memperingatinya setiap tahun.
Chik Rini pun pernah dipanggil oleh pengadilan perdata di Jakarta untuk
menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Namun, ia menolak.
Dengan adanya akses memengaruhi wacana yang besar dari militer
Indonesia tersebut, membuat militer Indonesia dapat memengaruhi dan
menguasai segala macam situasi di Aceh, dengan dalih sebagai stabilitas
pengamanan nasional.
4 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan
Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
131
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah menjelaskan dan menganalisa data pada bab-bab sebelumnya serta
diperkuat dengan wawancara langsung kepada Chik Rini, penulis “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft” dan narasumber lainnya, maka pada bab penutup ini
peneliti mengambil kesimpulan dari rumusan masalah sebelumnya, yaitu:
1. Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah
Pantau dikonstruksi dilihat dari dimensi teks Teun van Dijk, antara lain:
a. Teks ini mampu memaparkan segi semantik atau makna yang ditekankan
dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil secara keseluruhan teks.
Semantik ini sama halnya seperti elemen jurnalisme sastrawi (mencatat
dengan detil) dengan komprehensif.
b. Dalam pemilihan kata atau leksikon, penulis menggunakan kata-kata yang
berkonotasi negatif terhadap pihak militer Indonesia maupun orang Jawa.
Seperti penggunaan kata: militer Indonesia, rejim Soeharto, pemerintahan di
Jakarta, dan sebagainya.
c. Secara keseluruhan, teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini
menerapkan empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan Tom
Wolfe dengan baik dan wacana model van Dijk ini membantu dalam
konstruksi wacana teks.
132
2. Dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam teks “Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft.” Dari dimensi kognisi sosial, Chik Rini mencoba
melepakan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua
belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam
teksnya. Ia memiliki kekuatan dalam wilayah dan akses kepaada beberapa
narasumber. Sedangkan wacana yang berkembang di masyarakat ketika itu
(konteks sosial) ialah orang Aceh masih membenci militer Indonesia dan orang
Jawa yang mereka rasa telah menjajah orang Aceh selama sepuluh tahun masa
daerah operasi militer Aceh.
B. SARAN
Dari penelitian mengenai naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”
ini, peneliti mempunyai saran sebagai berikut:
1. Saran untuk pembaca khususnya mahasiswa/i jurnalistik yang tertarik dengan
genre jurnalisme sastrawi maka dianjurkan untuk membaca naskah berita
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini. Empat elemen Tom Wolfe
diaplikasikan dengan baik dalam wacana teks ini.
2. Bagi Majalah Pantau meski kini tidak diterbitkan lagi dalam bentuk majalah
namun seyogyanya Pantau tetap menyuarakan kekritisan seputar media dan
wartawan dalam medium website.
133
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Dibicara.
Yogyakarta: Bentang. Edisi Kedua. September 2005.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2002.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1
1988.
Depdiknas, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah. Bandung: M2S. Cetakan Kedua. Februari 2004.
Djuroto, Totok Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Rosda, 2004.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS,
Cet VII Februari 2009.
Harsono, Andreas dan Budi Setiyono, ed. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat. Jakarta: KPG, 2008.
Hernawan, J. Budi dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh
dan Papua 1998-2007. Jakarta: Imparsial, 2009.
Hersey, John. Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan. Jakarta: Komunitas Bambu.
2008.
HM, Zaenuddin. The Journalist. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas. Desember
2005.
Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. Sembilan Elemen Jurnalisme Apa yang
Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Jakarta: Yayasan
Pantau. Cetakan Ketiga. 2006.
Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Majalah Pantau Kajian Media dan Jurnalisme Tahun III No.025-Mei 2002.
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 2002.
Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos,
1999.
134
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2006.
Mulyana, Deddy. Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip
Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, Cetakan Kedelapan 1997.
Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan II.
2007.
Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana. Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Rani, Abdul. Analisis Wacana Sebuah Kajian. Malang: Bayu Media, 2004.
Rivers, William L. dan Clevw Mathews. Etika Media Massa dan Kecendrungan
untuk Melanggarnya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1994.
Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press, Edisi Ke-3 2002.
Schiffrin, Deborah. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Setiati, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Yogyakarta: ANDI,
2005.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Sumadiria, AS Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2005.
Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005.
Van Dijk, Teun. Aims of Critical Discourse Analysis. Japan Discourse, Vol.1
1995
Van Dijk, Teun. Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach. London:
Sage, 2002.
Van Djik, Teun. Discourse and Society: Vol 4 (2). London: Newbury Park and
New Delhi: Sage, 1993.
135
Internet:
Prakoso, Junarto Imam. “Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi.” Artikel
diakses pada 23 Mei 2010 dari http://www.semesta.net
Dijk, Teun Van. “Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui
Beberapa Metodologi Reflektif.” Artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari
http://www.discourse.com
“Yayasan Pantau.” Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl
22.00 WIB dari http://www.lidahibu.com
Septiadi, Anggar. “Laporan Jurnalistik yang Bercerita.” Artikel diakses pada
Rabu, 3 November 2010 pkl 22.10 WIB dari
http://www.kompas.com/kompasiana/media.
ANT, Tma. “Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel diakses
pada Rabu 3 November 2010 pkl 22.00 WIB dari http:// www.gatra.com
Hidayat, Bagja (Tempo-News Room). “Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel
diakses pada Rabu, 13 November 2010 pkl 22.30 WIB dari
http://www.tempointeraktif.com
“Profil Yayasan Pantau.” Artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10.30
WIB dari http://www.pantau.com.
Chik, Rini. “Madness at Simpang Kraft How Indonesian Journalists Witnessed the
Murder of Acehness Civilians.” Artikel diakses pada Rabu, 26 Januari 2011
pkl 15.30 WIB pada Kyoto Review of Southeast Asia