ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA

148
ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” DI MAJALAH PANTAU Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I) Oleh Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.

Transcript of ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA

ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA

“SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT”

DI MAJALAH PANTAU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)

Oleh

Tia Agnes Astuti

NIM: 106051101943

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H./2011 M.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 14 Maret 2011

Tia Agnes Astuti

ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA

“SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT”

DI MAJALAH PANTAU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)

Oleh

Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943

Pembimbing

Dr. Arief Subhan, M.A NIP. 196601101993031004

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H./2011 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP

BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” DI MAJALAH

PANTAU telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Kom.I.)

pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.

Jakarta, 18 Maret 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,

Wahidin Saputra, M.A

NIP 19700903 199603 1 001

Ade Rina Farida, M.Si

NIP 19770513 200701 2 018

Anggota,

Penguji 1

Rully Nasrullah, M.Si

NIP 19750318 200801 1 008

Penguji 2

Rubiyanah, M.A

NIP 19730822 199803 2 001

Pembimbing

Dr. Arief Subhan, M.A

NIP 19660110 199303 1 004

i

ABSTRAK

Tia Agnes Astuti/ 106051101943

Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” Pada Majalah Pantau

Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama untuk genre atau

gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana

reportase dilakukan secara mendalam, dan penulisannya dengan gaya sastrawi.

Tom Wolfe pun menyebutnya sebagai new journalism (jurnalisme baru). Di

Indonesia, Majalah Pantau adalah majalah pertama di Indonesia yang secara sadar

menerapkan jurnalisme sastrawi ini dari tahun 2000. “Sebuah Kegilaan di

Simpang Kraft” karya Chik Rini ini diakui Andreas Harsono (penanggung jawab

Majalah Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki oleh Pantau.

Untuk mengetahui pengemasan berita dalam teks “Sebuah Kegilaan di

Simpang Kraft” di Majalah Pantau maka diperlukan rumusan masalah. Adapun

rumusan masalahnya yaitu Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksikan? Bagaimanakah

dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau?

Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

dikonstruksikan dapat dilihat dari penggunaan kata atau bahasa dalam teks,

penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi

kognisi dan konteks sosial penulis yang ikut mengkonstruksi teks tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma

konstruktivisisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris,

paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan

konstruktivisme karena dengan pola berpikir konstruksitivis ini menekankan pada

politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang

realitas.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis

wacana model Teun van Dijk. Van Dijk membagi wacananya ke dalam tiga

dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk tidak

hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental

dari pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat.

Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan

yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999.

Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa

adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut

mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun

konstruktivis.

Dari penjelasan singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa teks tidak

lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut

dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti

peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang

Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh

pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa

berdarah di Aceh.

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur, saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan

semesta alam yang telah memberikan limpahan karunia, ridho-Nya, dan ribuan

nikmat kepada semua makhluk di bumi ini. Shalawat serta salam senantiasa kita

curahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa ummatnya menuju jalan

kebenaran.

Atas berkat kenikmatan itulah, saya masih diberikan nikmat sehat dan

bernafas, menghirup udara sampai detik ini sehingga saya bisa menyelesaikan

skripsi ini guna mendaparkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I). Dalam

menyelesaikan skripsi ini, tentunya masih terdapat banyak kekurangan namun

skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.

Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi sekaligus sebagai pembimbing dalam skripsi ini.

2. Rubiyanah, M.A. sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina

sebagai sekretaris Konsentrasi Jurnalistik. Terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

3. Siti Nurbaya Ruslan sebagai pembimbing kedua, tempat konsultasi skripsi

saya. Makasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama penyusunan

skripsi ini.

4. Para dosen, karyawan, dan staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta selama peneliti kuliah di kampus UIN.

iii

5. Kepada Yayasan Pantau yang telah membantu peneliti, Andreas Harsono,

Imam Sofwan serta Chik Rini yang bersedia meluangkan waktunya untuk

wawancara selama dua jam.

6. Secara khusus dan paling utama adalah kepada kedua orang tua, Sri

Wiratno dan Nurzullah yang telah memberikan kasih sayang, motivasi,

dukungan, tekanan untuk segera cepat menyelesaikan, dan bersikap

demokratis kepada saya atas pilihan dan apa yang saya inginkan dalam

hidup ini. Jasa kalian tidak akan sanggup saya ganti dengan apa pun.

Kepada kedua orang tua saya, skripsi ini dipersembahkan.

7. Kepada kakak dan adik laki-laki saya, Tyo Zulfan Amri dan Muhamad

Fa’iz Al Magribhi.

8. Untuk seseorang yang peneliti kenal dari awal Propesa UIN 2006 hingga

kini, yang membuat bahagia sekaligus sedih dalam waktu bersamaan.

Untukmu semangat terus, melajulah perahu kertasku, dan gapai impianmu!

9. Sahabat saya, Mimi Fahmiyah yang rela mendengarkan curahan peneliti

selama di kampus ini, yang rela berbagi kosannya jika peneliti menginap,

yang sudah mencoba memahami peneliti kala sedih. Kamu berarti sob!

Kita wisuda April. Horeeeeeee!!!

10. Kepada teman-teman sekelas seperjuangan Jurnalistik Angkatan 2006

makasih atas kebersamaannya selama lima tahun ini (Lisa, Yuni, Yikki,

Jendral, Novita, Dita, Ira, Ina, Yanti, Caca, Putri, Aida, Sarah, Rere, Nina,

Ardi, Gesta, Deden, Wage, Irham, Abi, Jaka, Topan, Deros) khususnya

bagi kalian pada masa akhir ini, Danang, Rara, Eka, Jose, Eki, Meler, Ben,

iv

Ogi, Edi Mahmud, Risni yang belum wisuda, ayo semangat terus, nyusul

wisuda cepetan!

11. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta, kepada

organisasi ini peneliti mengenal dunia persma dan wartawan kampus,

memberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin redaksi (pemred), dan

mengajarkan beragam ilmu dari awal masuk menjadi reporter magang

tahun 2006 hingga akhir ada di kampus. Apa pun yang terjadi, terima

kasih INSTITUT.

12. Kepada KKN Kelompok 100 tahun 2009 lalu, makasih atas sebulan

kenangannya di Malang.

Akhirnya, peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu

peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT

semakin menambah rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti

mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini,

Harapan peneliti, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para

pembacanya, Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.

Wassalam

Jakarta, 15 Maret 2011

Peneliti

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6

D. Metodologi Penelitian ................................................................ 8

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 14

F. Sistematika Penulisan ................................................................ 15

BAB II KAJIAN TEORETIS

A. Analisis Wacana .......................................................................... 17

1. Pengertian Analisis Wacana .................................................. 17

2. Analisis Wacana Model Teun Van Dijk ............................... 20

3. Kerangka Analisis van Dijk .................................................. 25

a. Dimensi Teks .................................................................. 25

b. Dimensi Kognisi Sosial .................................................. 28

c. Dimensi Konteks Sosial .................................................. 29

B. Konseptualisasi Berita ................................................................ 30

1. Pengertian Berita .................................................................. 30

2. Nilai-Nilai Berita .................................................................. 31

3. Jurnalisme Naratif ................................................................ 32

C. Jurnalisme Sastrawi ..................................................................... 35

1. Konstruksi Adegan Demi Adegan ....................................... 38

2. Pencatatan Dialog Secara Utuh ............................................ 39

3. Sudut Pandang Orang Ketiga ............................................... 39

4. Mencatat Secara Detil .......................................................... 40

BAB III GAMBARAN UMUM

A. Majalah Pantau ........................................................................... 41

1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya ............................... 41

2. Visi dan Misi Majalah Pantau ............................................. 55

3. Struktur Organisasi Majalah Pantau ..................................... 57

4. Rubrikasi Majalah Pantau ................................................... 58

vi

5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau ................................. 60

B. Biografi Penulis dan Sinopsis Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” di Majalah Pantau ............................................................ 62

1. Biografi Chik Rini ............................................................... 62

2. Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ................... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

di Majalah Pantau ....................................................................... 71

1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ........... 71

a. Analisis Teks Adegan 1 ................................................... 73

b. Analisis Teks Adegan 2 ................................................... 77

c. Analisis Teks Adegan 3 ................................................... 81

d. Analisis Teks Adegan 4 ................................................... 85

e. Analisis Teks Adegan 5 ................................................... 88

f. Analisis Teks Adegan 6 ................................................... 91

g. Analisis Teks Adegan 7 ................................................... 95

h. Analisis Teks Adegan 8 ................................................... 98

i. Analisisis Teks Adegan 9 ................................................. 105

j. Analisis Teks Adegan 10 .................................................. 109

k. Analisis Teks Adegan 11 ................................................. 114

2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” ................................................................................... 119

a. Strategi dalam Memahami Peristiwa ............................... 121

b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa .................. 124

3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” ................................................................................... 127

a. Praktik Kekuasaan ........................................................... 128

b. Akses Memengaruhi Wacana .......................................... 128

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 131

B. Saran ............................................................................................ 132

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 133

LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 136

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk .............................................. 24

Tabel 2. Struktur Teks Van Dijk ........................................................................ 25

Tabel 3. Elemen Teks Wacana Van Dijk ........................................................... 25

Tabel 4. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk .............................................. 29

Tabel 5. Proses Keredaksian Majalah Pantau .................................................... 60

Tabel 6. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1 .............................................. 76

Tabel 7. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2 .............................................. 80

Tabel 8. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3 .............................................. 84

Tabel 9. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4 .............................................. 87

Tabel 10. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5 ............................................ 90

Tabel 11. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6 ............................................ 94

Tabel 12. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7 ............................................ 97

Tabel 13. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8 ............................................ 103

Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9 ............................................ 108

Tabel 15. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10 .......................................... 112

Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 .......................................... 117

Tabel 17. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk ............................................ 126

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk ................................................... 24

Gambar 2. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ................................................ 58

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Asep Saeful Muhtadi dalam buku “Jurnalistik Pendekatan Teori

dan Praktik” mengemukakan bahwa secara umum, medium jurnalistik baik

media cetak maupun elektronik, keduanya memiliki fungsi yang sama

yaitu menyiarkan informasi. Ini merupakan fungsi utama media massa.

Sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi

tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini.

Fungsi kedua dari media massa yaitu mendidik. Karena media

massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung

pengetahuan dan dijadikan media pendidikan massa.

Ketiga, menghibur. Media massa biasanya menyajikan rubrik-

rubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Dan fungsi yang

keempat yaitu memengaruhi. Dalam hal ini, pers memegang peranan

penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat melakukan

kontrol sosial secara bebas dan bertanggung jawab.

Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya

menyediakan kolom atau rubrik untuk berita meski dengan kapasitasnya

masing-masing. Ini merupakan perwujudan dari institusi pers sebagai

lembaga kontrol sosial. Berita dalam penerbitan pers dapat berasal dari

2

masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun

manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut.1

Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the

fourth estate (kekuatan keempat) dalam sistem kenegaraan, setelah

legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa

cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi

rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut

memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela

kebenaran dan keadilan.2

Sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan

pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut

juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima

publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang

dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap

penting oleh publik.3

Bill Kovach, Ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu

lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat, ia

menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan elemen jurnalime dalam

media massa. Ia mengutarakan hal ini dalam buku “Sembilan Elemen

Jurnalisme,” di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam

pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus

menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga independensi

terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah,

1 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda, 2004), h. 67

2 Zaenuddin HM, The Journalist, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 5-6

3 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos, 1999), h. 3

3

media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan

warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan

relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan

proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani.4 Kesembilan elemen

dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam

menjalankan tugasnya.

Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan

jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam

perusahan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang

berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang

menarik pula.

Pada umunya, gaya penulisan berita konvensional terdapat dua

yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan

media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative

reporting atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya dalam media

cetak. Tapi tidak semua media cetak menggunakannya kecuali majalah.

Seperti Majalah Tempo, Gatra, Trust dan sebagainya yang menerapkannya

karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam

dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan Majalah Pantau.

Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan

genre literary journalism (jurnalisme sastrawi).

Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat

genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di

4 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: ANDI, 2005), h. 68-

69

4

Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan secara mendalam, penulisan

dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca.

Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre

ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru).5

Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan

fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru tetap mendasarkan

pada fakta-faka di lapangan. Jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan

mencapai tujuannya jika pembaca mengatakan, “Saya membaca

laporanmu enak seperti tulisan fiksi.” Elemen-eleman yang selama ini ada

dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap

mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut

keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar

“isi kepala” narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk

memberikan deskripsi dan data lain, membutuhkan sisi lain peliputan,

misalnya orang ketiga.6

Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan

kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di

Majalah Pantau. Dengan judul, “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan

Mendalam dan Memikat” yang diterbitkan Yayasan Pantau dan

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penyunting Andreas

Harsono dan Budi Setiyono.

Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat

peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam

5 Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam

dan Memikat, (Jakarta: KPG, 2008), h. VII 6 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 182

5

penelitian ini yaitu tulisan berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh

yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft

atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak Desember 2001 lalu.

Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang

sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe,

dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan

ini, namun ia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan,

masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka

provinsi Banda Aceh yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini

pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di

Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh

Merdeka (GAM).

Rini yang mengadopsi naskah “Hiroshima” karya John Hersey ke

dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa

tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas

Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft” adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi

terbaik yang dimiliki oleh Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau.

Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka

peneliti tertarik meneliti dengan judul, “Analisis Wacana Van Dijk

Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft” Di Majalah

Pantau.”

6

B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Agar batasan masalah ini lebih terarah dan fokus maka

permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap analisis wacana teks yang

terdapat dalam pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya

Chik Rini di Majalah Pantau Tahun III Edisi 025-Mei 2002 kemudian

dibukukan pada tahun 2008 dalam bentuk antologi berjudul“Jurnalisme

Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” edisi revisi dengan

penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono, diterbitkan oleh Yayasan

Pantau. Penelitian ini dengan menggunakan paradigma konstruktivis

dengan pisau analisis wacana model Teun van Dijk.

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di

Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksikan?

2. Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat

dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah

Pantau?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Penelitian

Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian

ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui wacana teks yang dikonstruksi oleh penulis yang

terdapat dalam pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di

Majalah Pantau.

7

2. Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang

terdapat dalam wacana pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” di Majalah Pantau.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi

sehari-hari di sekitar kita. Seperti, peristiwa-peristiwa yang luput dari

perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti

peristiwa Simpang Kraft ini.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi

akademisi, praktisi, mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca pada

umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

Khususnya bagi mahasiswa/i jurnalistik yang ingin mempelajari

jurnalisme sastrawi. Dengan membaca “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen

jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.

8

D. METODOLOGI PENELITIAN

1. Paradigma Penelitian

Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken

menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi yang

mengarahkan cara berpikir dalam penelitian.7 Maksudnya, paradigma

merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh

peneliti dalam melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian.

Paradigma ini dilakukan supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara

berpikir penelitiannya.

Dalam studi mengenai bahasa, ada beberapa paradigma dalam

analisisnya yaitu paradigma positivisme-empiris, paradigma

konstruktivisme dan paradigma kritis.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma

konstruktivisme. Dalam paradigma konstruktivisme, bahasa tidak lagi

hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan

yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.

Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam

kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.8

Paradigma konstruksionis memperhatikan interaksi kedua belah

pihak, komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau

tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruktivis menekankan pada

politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran

7 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda karya,

Cetakan kedelapan 1997) h. 30 8 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS,Cet VII

Februari 2009), h. 5

9

tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai

proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana

seseorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing

pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi produksi pesan tersebut

dan mempertukarkan maknanya. Dalam paradigma konstruktivisme ini

adalah cara berpikir bagi peneliti dalam penelitiannya, bahwa segala

peristiwa maupun berita yang ada tidak lahir sebagai realitas murni saja

namun di balik realitas peristiwa yang dibangun terdapat orang-orang

tertentu yang turut mengkonstruksi berita.

Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu

analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

Maka, dalam penelitian ini ingin mengetahui lebih jauh dari wacana yang

terbentuk dalam peristiwa Simpang Kraft tersebut.

2. Metode Penelitian

Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode

untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri

berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga

suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat

dipahami.

Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J.Moleong mendefinisikan

metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati.9

9 Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3

10

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau

analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Pendekatan

kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang

mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam

masyarakat.10

Sedangkan analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya

pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan

suatu pernyataan. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi

kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan apa (what), analisis

wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks

komunikasi.

Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana

isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan. Lewat kata,

frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan

melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana

lebih bisa 11

3. Tahapan Penelitian

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara, di

antaranya:

a) Observasi Teks

Observasi atau pengamatan langsung dilakukan kepada teks

yang akan diteliti. Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut

10

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), h.23 11

Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.68

11

dengan pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap

sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.12

Maka

kegiatan observasi ini dilakukan dengan cara mencari dan

menghimpun berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

b) Wawancara

Wawancara dilakukan sebagai metode pengumpulan data yang

digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari

narasumbernya.13

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik

wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan

terstruktur atau tersusun sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang

telah disiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan sebagai

pendukung bagi kognisi sosial serta konteks sosial dalam analisis

wacana van Dijk.

Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada tiga orang yang

berkepentingan dalam skripsi ini. Pertama, kepada Chik Rini selaku

wartawan sekaligus penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Wawancara ini sangat diperlukan karena untuk mengetahui unsur

kognisi sosial atau mental dari wartawan dalam memilih isu tersebut

serta situasi ketika ia menuliskannya. Kedua, Andreas Harsono sebagai

penanggung jawab dari Majalah Pantau dan editor dari naskah “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft.” Ketiga, Imam Sofwan selaku redaksi dari

12

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet Ke-5, (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2002), h. 133 13

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35

12

Yayasan Pantau untuk mengetahui sejarah perkembangan Majalah

Pantau hingga menjadi Yayasan Pantau seperti sekarang ini.

c) Dokumentasi

Dokumentasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan,

membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku,

majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau

instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti

mengumpulkan data yang berhubungan dengan analisis wacana.

b. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dan dikelompokkan sesuai dengan

tujuan penelitian untuk dianalisis dan diberikan interpretasi dengan

cara mengklasifikasikannya dengan kerangka teori kemudian

disimpulkan.

a). Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka selanjutnya adalah melakukan

analisis data. Setelah diperoleh wacana yang akan dianalisis, maka

sebagai rujukan adalah dengan menggunakan analisis wacana model

Teun van Dijk yang terdiri dari tiga elemen yaitu dimensi teks, kognisi

sosial, dan konteks sosial.

Dari beberapa teknik analisis data, peneliti merasa perlu

meneliti wacana dengan menggunakan teknik van Dijk. Karena selain

menganalisis dari struktur teks, analisa ini juga menukik kepada

elemen kognisi sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa)

13

serta konteks sosial (menganalisa wacana yang berkembang di

masyarakat). Teknik ini dirasa cocok dibandingkan dengan analisis

wacana (discourse analysis) lainnya yang lebih mengarah kepada

ideologi yang dikemukakan oleh Norman Fairclough atau tentang

kekuasaan kaum mayoritas kepada kaum minoritas oleh Theo Van

Leewen dkk.

Karena dalam penelitian ini, lebih ingin membongkar mengenai

konstruksi realitas dalam dimensi wacana teks berita tersebut, serta

dengan kedua unsur wacana van Dijk lainnya.

Dalam teknik analisis wacana van Dijk ini, terdapat tiga elemen

ini yaitu, pertama, dimensi teks yang terdiri dari struktur makro, yaitu

makna global dari suatu teks yang dapat diamati dati topik atau tema

yang diangkat oleh suatu teks, elemennya adalah tematik.

Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan,

isi, penutup, dan kesimpulan, elemennya adalah skematik. Struktur

mikro, makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan

kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks, elemennya adalah

semantik, sintaksis, stalistik dan retoris.

Kedua, yaitu kognisi sosial yaitu bagaimana wartawan atau

penulis mengetahui dan memahami peristiwa yang sedang digarapnya.

Ketiga, konteks sosial yaitu mengetahui apa yang sedang terjadi di

masyarakat, dan dampak di masyarakat setelah adanya pemberitaan

tersebut.

14

E. TINJAUAN PUSTAKA

Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi

dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and

Assurance) Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti

menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu, peneliti menelusuri

koleksi skripsi-skripsi di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi (FIDKOM) dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Maksud

pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang

tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya.

Di kedua perpustakaan tersebut, banyak skripsi yang menggunakan

analisis wacana van Dijk sebagai pisau analisisnya. Namun, tidak banyak

yang menggunakan paradigma konstruktivis sebagai cara berpikir. Selain

itu, tidak ada objek penelitian yang menggunakan teks genre jurnalisme

sastrawi. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut ialah:

1. Skripsi karya Sofwan Tamami (104051101959), mahasiswa

Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

(FIDKOM) UIN Jakarta Angkatan 2004 dengan judul “Analisis

Wacana Pemberitaan Film FITNA Karya Geert Wilders di Harian

Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008).” Perbedaan skripsi ini

dengan yang diteliti terletak pada objek penelitiannya. Skripsi Sofwan

meneliti pemberitaan Film FITNA karya Greert Wilders dan

kelebihannya yaitu pada paradigma penelitian yang digunakan.

15

2. Skripsi karya Yul Shella K.A. (105051001992), mahasiswi jurusan

Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul “Analisis Wacana

Berita Pemilu 2009 Pada Harian Seputar Indonesia: Studi

Pemberitaan KPU Sebelum Pemilu Legislatif.” Perbedaannya terletak

pada objek yang diteliti. Yul Shella meneliti berita Pemilu 2009 di

Harian Seputar Indonesia.

3. Skripsi karya Astri Putriyani (103051028444), mahasiswi jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul “Analisis Wacana

Rubrik “Media dan Kita” Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.”

Perbedaannya tetap pada objek yang diteliti yaitu Rubrik “Media dan

Kita” Majalah UMMI. Kelebihannya, waktu penelitian dari Juli-

Oktober (empat bulan) adalah waktu yang lama.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab.

Setiap bab terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama

lainnya. Untuk lebih jelasnya peneliti uraikan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metodologi penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Teoritis menguraikan mengenai kajian teoritis

mengenai analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk

16

dengan rincian pengertian dari discourse analysis (analisis wacana) serta

skema model wacana van Dijk. Dilanjutkan dengan konseptualisasi berita

dan penjelasan genre jurnalisme sastrawi.

Bab III Gambaran Umum Majalah Pantau memaparkan

mengenai sejarah berdiri dan perkembangan Majalah Pantau, visi dan

misi Majalah Pantau, struktur organisasi Majalah Pantau dan Yayasan

Pantau, rubrikasi Majalah Pantau, alur kinerja redaksi Majalah Pantau

serta konsep-konsep umum pada Majalah Pantau yang ditemukan peneliti

dalam sumber-sumber pendukung. Selain itu juga, peneliti memberikan

gambaran umum mengenai profil Chik Rini dan sinopsis dari naskah

“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Bab IV Hasil Penelitian ini berisi mengenai penjelasan hasil

penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya.

Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti

mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.

17

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. ANALISIS WACANA

1. Pengertian Analisis Wacana

Pengertian analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan

wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-

baiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta penguraian

karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur

tersebut.1

Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta

wac/wak/uak yang memiliki arti „berkata‟ atau „berucap‟. Kemudian kata

tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata „ana‟ yang berada di

belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna „membendakan‟

(nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat dikatakan sebagai

perkataan atau tuturan.2

Namun, istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli

linguis (ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa

Inggris, „discourse‟. Kata „deiscourse‟ sendiri berasal dari bahasa Latin,

1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1 1988),

h.32 2 Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis

Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3

18

discursus (lari ke sana lari ke mari). Kata ini diturunkan dari kata „dis‟

(dan/ dalam arah yang berbeda-beda) dan kata „currere‟ (lari).3

Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terdapat tiga makna

dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua,

keseluruhan tutur atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga,

satuan bahasa terbesar, terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan

yang utuh, seperti novel, buku, dan artikel.4

Definisi klasik wacana berasal dari asumsi-asumsi formalis (dalam

istilah Hymes 1974b, “struktural”), mereka berpendapat bahwa wacana

adalah “bahasa di atas kalimat atau di atas klausa” (Stubbs 1983:1).5

Van Dijk (1985:4) mengamati bahwa karakteristik deskripsi

struktural wacana pada beberapa perbedaan unit, kategori bentuk

sistematik atau hubungan-hubungan yang berbeda. Lanjutnya, menurut

van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya atas dasar dimensi teks

semata, karena teks tersebut merupakan hasil praktik produksi yang harus

diamati juga.

Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah

bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan

begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah

teks.6

3 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, (Yogyakarta: Kanisius,

1993), h.3 4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:

Modern English Press, Edisi Ke-3 2002), h.1709 5 Deborah Schiffrin, Ancangan Kajian Wacana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.

28 6 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian, (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4

19

Secara ringkas atau sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan

terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau

pernyataan. Wacana sebagai upaya untuk mengungkap makna yang tersirat

dari subjek yang mengungkapkan pernyataan tersebut. Caranya, adalah

dengan meletakkan posisi pada si pembicara dengan mengikuti struktur

makna dari pembicara tersebut.

Jika dicoba untuk merumuskan, analisis wacana adalah studi

tentang struktur pesan dalam komunikasi. Dalam pandangan Littlejohn,

bahwa menulis dan bahkan bentuk-bentuk non verbal dapat dianggap

wacana.

Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-

sama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn: 1996). Pertama,

seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan

oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau

tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, wacana dipandang sebaga aksi. Ia adalah

cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis

wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya

aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk

menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-

tujuan pragmatik dalam situasi sosial. Ketiga, analisis wacana adalah suatu

pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari

perspektif mereka; ia tidak memerdulikan ciri atau sifat psikologis

20

tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan

sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan.7

Littlejohn lebih mengarahkan wacana kepada aturan-aturan tata

bahasa yang hadir dalam proses berkomunikasi. Secara otomatis, lebih

terarah kepada makna pesan yang disampaikan oleh komunikator.

Maka, tetap saja dalam penelitian lebih terarah kepada tokoh van

Dijk, yang lebih memaksudkan bahwa analisis wacana sebagai suatu

analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

2. Analisis Wacana Model Teun van Dijk

Dalam buku “Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media”

karangan Eriyanto, di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang

mengembangkan analisis wacana. Tokoh-tokoh yang terkenal dan

dikemukakan oleh Eriyanto tersebut, di antaranya Roger Fowler dkk

(1979), Norman Fairclough (1998) yaitu mengenai wacana tentang

ideologi, Sara Mills (1992) yang menitikberatkan perhatian kepada wacana

mengenai feminisme, Theo van Leeuwen (1986) adalah analisis yang

diperuntukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok

atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dari

banyaknya tokoh yang mengembangkan analisis wacana, model van Dijk-

lah yang paling sering dipakai dalam berbagai penelitian teks media.

Meski penelitian-penelitian wacana yang sering diteliti oleh van Dijk

adalah mengenai rasialisme namun tidak menutupkemungkinan terhadap

7 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik,

dan Analisis Framing, h. 48-49

21

objek penelitian atau teks berita lainnya untuk diteliti. Sama halnya,

seperti objek penelitian terhadap teks berita “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” ini.

Jika penelitian dalam skripsi ini memakai tokoh Teun A. van Dijk,

maka harus diketahui terminologi analisis wacana dari van Dijk itu sendiri,

yang dikutip dari buku “Aims of Critical Discourse Analysis.”

Critical Discourse Analysis (CDA) has become the general

label for a study of text and talk, emerging from critical linguistics,

critical semiotics and in general from socio-politically conscious

and oppositional way of investigating language, discourse and

communication. As is the case many fields, approaches, and

subdisciplines in language and discourse studies, however, it is not

easy precisely delimit the special principles, practices, aims,

theories or methods of CDA.8

Atau terminologi lainnya, yang terdapat dalam buku “Critical

Discourse Analysis” dalam pembahasan mengenai “What is discouse?”

yaitu:

Discourse analysis are tic, “ked to define the concept of

discourse.” Such a definition would have to consist of the whole

discipline of discourse studies, in the same of way as linguistic

provide many deminitions of the definition of „languages‟. In the

may view, it hardly makes to define fundamental notions such as

„discourse, languange, cognition, interaction, power, or society. To

understand these notions, we need whole theories or discipline of

the objects or phenomena we are dealing with. Thus, discourse is a

multidimentional social phenomenon. It is at the same tune in

linguistic (verbal gramatical), object (meaningful sequences of

word or sentences), an action (as an assertion or a threat), a form of

social interaction (like conversation), a social practice (such as a

lecture), a mental representation (a meening, a mental model, an

opinion, knowledge), an interactional communicative event or

activity (like a parliementary debate), a cultural product (like a

telenovela), or even an economic commodity that is being sold and

bought (like a novel). In other words, a more or less complete

„definition‟ of the notion of „discourse‟ would involve many

dimentions of consists of many other fundamental notions that

8 Teun van Dijk, Aims of Critical Discours e Analysis, (Japan Discourse, 1995) Vol. 1,

hal. 17

22

need definition, that is, theory, such as meaning, interaction, and

cognition.9

Studi wacana ini berasal dari analisis linguistik kritis. Merambah

kepada ilmu sosial lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa,

wacana, komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari

bahasan wacana linguistik, tapi tidak menutup kesempatan kepada ilmu

sosial lainnya untuk diteliti.

Van Dijk sendiri menyatakan dalam buku karangannya, Critical

Discourse Analysis (CDA) bahwa ia lebih menyukai untuk berbicara

mengenai Critical Discourse Studies (CDS) karena batasannya lebih

umum, tidak hanya meliputi analisis kritis tapi juga teori kritis seperti

penerapan kritis. Namun, dalam penelitian ini lebih tertuju kepada

paradigma konstruktivis, bukan paradigma kritis atau Critical Discourse

Analysis (CDA). Pengertian CDA dan wacana di atas hanya untuk

menggambarkan apa itu wacana menurut tokoh van Dijk sendiri.

Van Dijk juga memfokuskan kajiannya pada peranan strategis

wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau

kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses analisa

terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan wacana adalah pola-pola

akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok

masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu

hegemoni dengan wacana bisa terlihat dengan jelas, maka kita

membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu

pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait

9 Teun van Dijk, Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach, (London: Sage,

2002), h. 66-67

23

dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan

masyarakat, serta struktur sosial mikro dengan makro.10

Menurut van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah

teoritis sistematis dan deskriptif yaitu struktur dan strategi di berbagai

tingkatan dan wacana lisan tertulis, dilihat baik sebagai objek tekstual dan

sebagai bentuk praktek sosial budaya, antar tindakan dan hubungan. Sifat

teks ini berbicara dengan yang relevan pada struktur kognitif, sosial,

budaya, dan sejarah konteks. Singkatnya, studi analisis teks dalam

konteks. Momentum penting dari pendekatan tersebut terletak pada fokus

khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama membuat eksplisit

cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dominan dan mengakibatkan

ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.11

Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi

sosial.” Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi

sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya

teks.12

Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi

sosial dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan

ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks

yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang

dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial

10

Teun Van Djik,. Discourse and Society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New

Delhi: Sage, 1993), h. 249 11

Teun Van Dijk, Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa

Metodologi Reflektif, artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com 12

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Semiotik,

dan Analisis Framing, h. 73

24

dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu

penulis. Sementara itu aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana

yang berkembang dalam masyarakat mengenai suatu masalah.13

Dapat

digambarkan seperti di bawah ini:

Gambar 1.

Diagram Model Analisis Van Dijk14

Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan

dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:15

Tabel 1.

Skema Penelitian dan Metode Van Dijk

STRUKTUR METODE

Teks

Menganalisis bagaimana strategi wacana

yang digunakan untuk menggambarkan

seseorang atau peristiwa tertentu.

Bagaimana strategi tekstual yang dipakai

untuk memarjinalkan suatu kelompok,

gagasan atau peristiwa tertentu

Critical linguistic

Kognisi Sosial

Menganalisis bagaimana kognisi penulis

dalam memahami seseorang atau

peristiwa tertentu yang akan ditulis

Wawancara mendalam

13

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Ananlisis Teks Media, h. 224 14

Ibid, h. 225 15

Ibid, h. 275

Konteks Sosial

Konteks Sosial

Kognisi Sosial

Kognisi Sosial

Teks

Teks

25

Konteks Sosial

Menganalisis bagaimana wacana yang

berkembang dalam masyarakat, proses

produksi dan reproduksi seseorang atau

peristiwa digambarkan

Studi pustaka, penelusuran sejarah,

dan wawancara

3. Kerangka Analisis Van Dijk

a. Dimensi Teks

Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat

digunakan, untuk melihat suatu wacana yang terdiri dari berbagai

tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya kepada tiga

tingkatan, yaitu.

Tabel 2.

Struktur Teks Van Dijk16

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema

yang diangkat oleh suatu teks

Superstruktur

Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun

dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan

kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat,

dan gaya yang dipakai oleh suatu teks

Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan oleh van Dijk

dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3.

Elemen Wacana Teks Van Dijk

Struktur

Wacana

Hal yang diamati Elemen

Struktur Makro TEMATIK

Tema atau topik yang

Topik

16

Ibid, h. 227

26

dikedepankan dalam suatu berita

Superstruktur SKEMATIK

Bagaimana bagian dan urutan

berita diskemakan dalam teks

berita utuh

Skema atau Alur

Struktur Mikro

SEMANTIK

Makna yang ingin ditekankan

dalam teks berita. Misal, dengan

memberi detil pada satu sisi atau

membuat eksplisit satu sisi dan

mengurangi sisi lain

Latar, Detil,

Maksud,

Praanggapan,

Nominalisasi

Struktur Mikro SINTAKSIS

Bagaimana kalimat (bentuk,

susunan) yang dipilih

Bentuk kalimat,

Koherensi, Kata

ganti

Struktur Mikro STILISTIK

Bagaimana pilihan kata yang

dipakai dalam teks berita

Leksikon

Struktur Mikro RETORIS

Bagaimana dan dengan cara

penekanan dilakukan

Grafis, Metafora,

eskpresi

Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling

berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh

gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah

penjelasan singkatnya, yaitu:

a) Tematik (Tema atau Topik)

Elemen ini menunjuk kepada gambaran umum dari teks, disebut

juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topik menggambarkan apa yang

ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik

menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting

dalam sebuah berita.

b) Skematik (Skema atau Alur)

Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan

sampai akhir. Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun

dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti.

27

Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah

strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan

dengan urutan tertentu.

c) Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)

Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna

lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan

antarkalimat, hubungan antarproposisi, yang membangun makna tertentu

dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks,

seperti makna yang eksplisit maupun implisit.17

Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar

apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu

dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu dibawa.

Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang

ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan

untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil

lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil

sedikit.

Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itu

mengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit

atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Kalau

praanggapan (presuppotion) merupakan pernyataan yang digunakan untuk

mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber

yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

17

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, h. 78

28

d) Sintaksis (Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, “Sintaksis ialah bagian atau

cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,

klausa, dan frase…”18

Dalam sintaksis terdapat koherensi, bentuk kalimat

dan kata ganti. Di mana, keriga hal tersebut untuk memanipulasi politik

dalam menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif,

dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat).

e) Stilistik (Leksikon)

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan

pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata

„meninggal‟ yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain.

f) Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi)

Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan

bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis,

penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis

adalah untuk menyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang

dikonstruksi oleh wartawan.

b. Dimensi Kognisi Sosial

Dalam kerangka analisis van Dijk, pentinya kognisi sosial yaitu

kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap

teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka,

atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak

18

Ibid, h. 80

29

dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang memiliki

beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari

kehidupannya.

Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema

dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara

pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Ada beberapa

skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis,

digambarkan sebagai berikut:19

Tabel 4.

Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk

Skema Person (Person Schemas):

Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan

memandang orang lain

Skema Diri (Self Schemas):

Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,

dipahami, dan digambarkan oleh seseorang

Skema Peran (Role Schemas):

Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan

menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat

Skema Peristiwa (Event Schemas):

Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu

ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu

c. Dimensi Konteks Sosial

Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial,

yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik

pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati

bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan

legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin yang penting, yakni praktik

kekuasaan (power) dan akses (access).

19

Eriyanto, Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media, h. 262

30

Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu

kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya.

Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat

memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut.

Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya

adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar

dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya

akses kepada media dalam memengaruhi wacana.

B. KONSEPTUALISASI BERITA

1. Pengertian Berita

Paul De Massener dalam buku Here‟s The News: Unesco Associate

menyatakan, news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan

menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James

M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini,

kecendrungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih

baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans

dalam Mirza, 2000:68-69).20

Berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang dilaporkan.

Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk

dilaporkan, belum dapat disebut berita. Wartawan yang menonton dan

menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa.

Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah memahami proses atau

20

AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64

31

jalan cerita, yaitu harus tahu Apa (what) yang terjadi, Siapa (who) yang

terlibat, Bagaimana kejadian itu terjadi (how), Kapan (when) terjadi, Di

mana (where) peristiwa itu terjadi, dan Mengapa (why) sampai terjadi.

Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.21

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita

tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung

dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa

atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.22

Setelah merujuk kepada beberapa definisi tersebut, maka dapat

didefinisikan berita sebagai berikut; Berita adalah laporan tercepat

mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi

sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio,

televisi, atau media online internet.23

2. Nilai-Nilai Berita

Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita

sebagai dasar patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana yang

panats untuk diliput, dan mana yang tidak. Meski menurut Downie JR dan

Kaiser, istilah tersebut tidak mudah didefinisikan.

Kriteria nilai umum berita, menurut Brian S.Brooks, George

Kennedy, Darly M. Moen, dan Don Ranly dalam “News Reporting and

Editing” (1980: 6-17) menunjuk kepada sembilan hal. Beberapa pakar lain

menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks (sex) dalam

21

Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, h. 18 22

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 55 23

AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Teknik Menulis Berita dan Feature, h. 65

32

segala dimensi dan manifestasinya, juga termasuk ke dalam kriteria umum

nilai berita yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan

editor media massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris

Sumadiria dalam bukunya “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan

Feature,” yakni:

a. Keluarbiasaan (unsualness)

b. Kebaruan (newness)

c. Akibat (impact)

d. Aktual (timeliness)

e. Kedekatan (proximity)

f. Informasi (information)

g. Konflik (conflict)

h. Orang pentingg (prominence)

i. Ketertarikan manusiawi (human interest)

j. Kejutan (suprising)

k. Seks (sex)24

3. Jurnalisme Naratif

Menurut Sudirman Tebba dalam Jurnalistik Baru, berita dapat

dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (straight

news), berita komprehensif (comprehensive news), dan feature.

Berita langsung dan feature, adalah dua jenis berita yang sering

dipakai pada umumnya. Narasi hadir sebagai salah satu bentuk feature

24

Ibid, h. 80

33

karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan

deskrispi, karakterisasi, dan plot.

Istilah jurnalisme naratif ini dikembangkan oleh Mark Kramer

sejak tahun 1998 dalam The Nieman Fellowship di University Harvard.

Jurnalisme ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction. Meski

penulisannya menggunakan gaya bercerita atau story telling tapi tetap saja

fakta adalah unsur utamanya. Bergaya seperti seorang story teller atau

pendongeng yang melaporkan peristiwa dengan nilai dramatis yang kuat

dan tingkat immersion yang tinggi.

Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil

perkawinan silang, antara keterampilan mengisahkan cerita dan

kemampuan jurnalis dalam mendramatisir hasil observasinya terhadap

berbagai orang, tempat, dan kejadian nyata di dunia,” ungkap Robert Vare

dalam diskusi dengan para jurnalis tentang narrative journalism yang

dilaporkan Nieman Reports.25

Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simpel dibandingkan dengan

jurnalisme sastrawi, model laporannya pun lebih linier, dan tidak serumit

pengisahan berita literary journalism. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya

menyampaikan peristiwa yang terjadi namun juga harus pandai

mengisahkannya dalam rangkaian fakta yang dikisahkan.

Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah, dan akhir

laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog serta cerita

pendek. Selain itu, keringkasan kisah. “Pembaca mengejar apa yang

25

Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2002), h. 148

34

dikisahkan,” tegas Woo, “dan reporter harus segera menyampaikannya.”

Riset juga diperlukan, ini menolong wartawan yang kehilangan ide untuk

mengawali serta mengakhiri laporannya.

Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam narrative

journalism berkembang istilah teknis seperti jurnalisme sastrawi (literary

journalism), creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction.

Oleh karena itu, diperlukan untuk membahas tentang jurnalisme narasi

pada bab ini.

Jurnalisme ini memang menyediakan halaman yang besar bagi

wartawannya untuk mengeksplorasi kemampuan dalam mempresentasikan

kisahnya. Tapi, menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai bila

antara editor dan reporter telah mencapai kesepahaman mengenai:

Penggunaan teknik-teknik naratif dalam jenis kisah tertentu

Proses reportase untuk laporan naratif

Siapa yang seharusnya menulis dan menyunting laporan

semacam itu26

Unsur-unsur dalam naratif ini memang menambahkan banyak hal,

yang berbeda daripada straight news maupun feature pada umumnya,

karena naratif lebih mengacu kepada bagaimana (How) bukan apa (What).

Karena naratif ini bukan sekedar melaporkan peristiwa dengan gaya

penulisan yang biasa tapi terkait mengenai melaporkan kisah, yang artinya

seperti dikatakan oleh Tom Wolfe bahwa naratif harus diistilah sebagai

details life. Penggambaran hidup secara detil dan menyeluruh ini dapat

26

Ibid, h. 153

35

digambarkan seperti elemen-elemen emosi, karakter, deskriptif tempat,

serta kelas sosial mereka.

C. JURNALISME SASTRAWI

“Ia (jurnalisme sastrawi) seratus persen jurnalisme. Hanya

saja ditulis dengan gaya sastra. Ia juga seratus persen fakta, bukan

fiksi. Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah metode penulisan

dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada.

Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal

beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas.”27

Pulitzer Prize menyebutnya “eksplorative journalism.” Apapun

nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam

daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja

melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi

yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada

karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya

panjang dan utuh-tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.

Sedangkan Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter

Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H adalah

singkatan dari Who (siapa), What (Apa), Where (di mana), When (kapan),

Why (mengapa), dan How (bagaimana). Pada narasi menurut Clark dalam

satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi

plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why

menjadi motif, dan how menjadi narasi. 28

27

Junarto Imam Prakoso, Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi, artikel diakses pada 23

Mei 2010 dari http://www.semesta.net 28

Andreas Harsono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam

dan Memikat, h. VIII

36

Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena

dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang

tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk

mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran

televisi.29

Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu

mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang

terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun,

segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan

mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis

di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi

wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya.

Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi

(depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab

dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar

kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh

suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga (point of

view), dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.30

Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi “Jurnalisme

Sastrawi” Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak

menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme

menyucikan fakta. Walau memakai kata „sastra‟ tapi tetap saja harus

29

Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 30

Ibid, h. 5

37

berdasarkan fakta. Fakta tersebut harus diverifikasi, karena verifikasi

adalah esensi dalam jurnalisme.

Kedua, konflik. Bila ingin menulis laporan narasi, maka sebagai

daya pikatnya adalah konflik. Konflik itu sendiri bisa bermacam-macam,

entar konflik internal yang berada dalam diri maupun konflik eksternal

yang berada di luar diri.

Ketiga, karakter. Unsur karakter ini membantu untuk mengikat

cerita. Karakter itu bisa sebagai peran utama dalam pengisahan tersebut,

bisa juga peran pembantu. Baik peran utama dan pembantu memiliki

fungsi yang penting dalam menghidupkan kisah.

Keempat, akses. Akses ini dimaksudkan sebagai peluang untuk

mendapatkan jaringan kepada narasumber supaya lebih mudah. Entah

dengan cara wawancara, korespondensi, foto, catatan pribadi narasumber,

kawan, dan sebagainya.

Kelima, emosi. Unsur emosi ini untuk menghidupkan karakter

dalam kisah tersebut. Emosi itu bisa saja dengan marah, tertawa,

tersenyum, dan cinta. Keenam, perjalanan waktu atau series of time. Pada

perjalanan waktu ini yang membedakan dari feature, jika feature itu sekali

jepret foto dan narasi itu ibarat video. Terserah kepada si-penulis ingin

menuliskannya yang mana lebih dahulu, apakah kronologis atau

menggunakan alur flashback.

Ketujuh, unsur kebaruan. Unsur kebaruan ini maksudnya adalah

lebih mudah untuk mewawancarai narasumber dari orang biasa yang

menjadi saksi mata bagi peristiwa besar. Dibandingkan mewawancarai

38

seorang panglima tinggi, yang pastinya hasil wawancara tersebut sudah

dapat ditebak.

Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin

menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik

jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional.

Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru.

Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori

dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian

konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan

pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil. Jika

diuraikan secara detil dari empat elemen dalam jurnalisme sastra, yakni:

a. Konstruksi Adegan Demi Adegan

Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B.

Rahmono, adegan ialah bagian dari suatu babak di dalam pementasan

teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau latar berubah.

Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta-berita-yang

mengilustrasikan pelbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat

sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan berita yang ingin

dilaporkan.31

Laporan ini disusun dengan menggunakan teknik bercerita adegan

demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, jurnalisme ini

menggunakan kelebihan dari teknik novel realisme dan roman, sehingga

berusahan mendalami “mengapa” dan “bagaimana”. Setelah tersusun fakta

31

Ibid, h. 46

39

maka dibentuk menjadi news story, yang meliputi unsur-unsur sosial dan

pelbagai ciri kemasyarakatan lainnya.

b. Pencatatan Dialog Secara Utuh

“Encyclopaedia of Literature” menyatakan bahwa dialog berasal

dari bahasa Latin (dialogus) atau bahasa Yunanri (di‟alogus). Dialog ini

merupakan elemen sebagai penghidup dari kisah serta sebagai saluran

untuk merepresentasikan perubahan topik kepada gagasan penulis.

Unsur dialog ini menguatkan keutuhan adegan dan memberikan

sentuhan riil pada laporan news strory. Dialog ini lebih menggunakan

kutipan langsung dibandingkan kutipan tidak langsung. Karena dengan

kutipan langsung ini, lebih mengukuhkan kekuatan dari lorong-lorong

peristiwa dan saat pembaca membacanya akan terasa lebih renyah.

c. Sudut Pandang Orang Ketiga

Pada karakteristik ini, sebagai representasi dari setiap suasana

peristiwa atau berita melalui pandangan mata orang ketiga yang

dimunculkan dalam kisah tersebut. Sudut pandang (points of view) ini

ditulis layaknya seperti kita ada di sana, melukiskan seperti novelis atau

penulis memoar.

d. Mencatat Secara Detil

Dalam elemen mencatat secara detil ini, sebagai perbedaan dati

teknik gaya penulisan jurnalisme sastra dengan feature pada umumnya. Di

mana dengan pencatatan secara detil ini menyeleuruh kepada perilaku,

adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan

40

wisata, makanana, cara merawat rumah, serta hubungan kehidupan dengan

orang sekitar.

Perekaman secara detil ini akan memberikan kekuatan literer

dalam pelaporannya. Secara otomatis, elemen terakhir ini memberi

pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan

seseorang, dan mencatat lambang-lambang sosial.

Pengamatan terhadap sudut pandang penulis tersebut, bisa lewat

kata “saya” atau “I”. Bisa juga melalui tokoh-tokoh lainnya (sudut

pandang dari orang ketiga). Namun, yang terpenting dalam deskripsi

mengenai pencatatan secara detil ini dapat ditampilkan lebih tajam, detil,

lengkap, dan bermakna.

41

BAB III

GAMBARAN UMUM

A. MAJALAH PANTAU

1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya

Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di

Indonesia, beragam media massa mulai bermunculan. Dari media

berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional atau media mainstream.

Seakan-akan gaung kemerdekaan pers baru terasa “merdeka” pasca

reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha

Penerbitan Pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan.

Perkembangan media massa yang signifikan ini bisa dilihat dari

jumlah surat kabar yang dahulu berjumlah 200 penerbitan, kini naik

menjadi 1500-2000 penerbitan setelah reformasi. 1

Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamurnya tersebut,

membuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan

menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah

satunya, Yayasan Pantau yang dahulunya bernama Majalah Pantau.

Pada awal berdiri, Majalah Pantau adalah sebuah majalah yang

diterbitkan di bawah naungan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada

Juli 1999. ISAI dan Article XIX adalah organisasi nirlaba untuk

kebebasan berekspresi dari London yang juga ikut mengonsultani

Rancangan Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999 dan bersama-

1 Yayasan Pantau, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00

WIB dari http://www.lidahibu.com

42

sama memantau televisi serta menerbitkan penelitiannya lewat Pantau

melalui sebuah newsletter.

Pada Pemilu 1999, ISAI mengadakan program Pemantauan

Televisi yang bekerjasama dengan Article XIX London. Hasil

pemantauannya tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang

bernama Pantau dan terbit setiap minggu selama masa kampanye Pemilu.

Tujuannya, untuk memantau televisi-televisi Indonesia dalam meliput

Pemilu pasca Orde Baru (Orba). Sesudah Pemilu, Pantau diubah menjadi

majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan

analisis isi.

Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuat newsletter

lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Pantau yang pada

awalnya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak

hanya memantau permasalahan kampanye Pemilu belaka.

Maka pada Maret 2001, Pantau diubah menjadi majalah bulanan.

Partnership for Governance Reform in Indonesia dan Ford Foundation

membantu pendanaan Pantau dengan hibah masing-masing sebesar

US$65,000 (2001-2002) dan US$200,000 (2001-2003). Tujuannya,

menjadikan Pantau sebagai majalah bulanan dengan liputan mendalam

soal media dan jurnalisme. Beberapa perusahaan dan organisasi

memberikan sumbangan sehingga total dana Pantau terpakai sekitar

$350,000 dalam dua tahun (termasuk investasi awal).

Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan

mendalam. Bisa soal media, wartawan, Aceh, terorisme, dan lain-lain.

43

Isinya, sekitar 60 persen mengenai media dan 40 persen non media.

Majalah Pantau ini menjadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia,

karena untuk pertama kalinya media massa Indonesia diliput media lain

dengan standar wajar-tanpa standar ganda karena khawatir saling

mengganggu sesama wartawan.

Andreas Harsono, seseorang yang aktif berkecimpung dari awal

Majalah Pantau di bawah ISAI sampai diterbitkan oleh Yayasan Pantau,

mengatakan bahwa di Indonesia Majalah Pantau adalah majalah pertama

yang dengan sadar menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi,

dengan menggunakan elemen-elemen yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.

“Kalau dilihat secara teoritis, dilakukan secara sadar dengan

membaca Tom Wolfe, dengan memakai elemen-elemen yang

diterangkan oleh Tom Wolfe dengan visi new journalismnya

tampaknya yang muncul secara sadar dan dengan naratif yah baru

Pantau.”2

Pantau terbit rutin pada setiap hari Senin pertama. Tiap bulan

dicetak 3,000 eksemplar dan sirkulasi terjualnya naik hingga mencapai

2,500 pada Februari 2003. Menurut survei “Business Digest” pada

Oktober 2002, sebuah majalah Pantau rata-rata dibaca enam orang dan 62

persen pembaca Pantau adalah wartawan (media cetak disusul wartawan

televisi). Sisanya politisi, akademisi, orang public relation, dan

mahasiswa. Contohnya seperti Ali Alatas, mantan Menteri Luar Negeri

(Menlu) Indonesia, termasuk pelanggan Pantau dan menyukai majalah ini.

Liem Sioe Liong dari organisasi Hak Asasi Manusia

(HAM) Tapol London menyebut majalah ini sebagai majalah

terbaik di Indonesia. Muchtar Buchori, seorang legislator dari

2 Hasil wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan

Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB

44

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kolumnis Jakarta Post,

menyebutnya "majalah investigasi."3

Seberapa pun banyak pembaca dari Majalah Pantau tersebut serta

kekhasan jurnalisme sastrawi yang digunakan dalam teknik penulisannya,

hal ini tidak membuat Pantau mempunyai nafas panjang dalam industri

media. Pada tanggal 13 Februari 2003, melalui siaran pers ISAI kepada

beberapa media melalui surat elektronik, Majalah Pantau resmi ditutup.

Dirut ISAI Goenawan Mohamad mengatakan bahwa

struktur pembiayaan majalah Pantau dengan liputan-liputan

panjang, honor relatif tinggi, foto atau lukisan artistik, biaya

liputan, sementara permintaan pasar tipis dan pemasukan iklan

sedikit, mendorong manajemen ISAI untuk menutup majalah ini,

setelah beroperasi selama dua tahun. "Saya berat sekali. Majalah

ini bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus

kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup

dari perdagangan, tapi harus disubsidi. Dan itu yang kita tak

punya," papar Goenawan.4

Pantau edisi terakhir, Februari 2003 menurunkan laporan sepanjang

25 halaman tentang kehidupan tentara-tentara Indonesia di Aceh.

"Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" dikerjakan Alfian Hamzah, seorang

wartawan muda asal Kendari, yang tinggal selama dua bulan penuh

bersama sebuah batalyon Indonesia di daerah Aceh Barat.

Kata Andreas, setiap kali penerbitan, redaksi menyiapkan

waktu yang panjang sebelum menurunkan sebuah laporan. Laporan

Alfian itu, kata Andreas, disiapkan sejak Juli 2002. Kini, katanya,

di meja redaksi masih tersimpan beberapa laporan untuk penerbitan

tiga hingga empat bulan mendatang. Laporan-laporan itu akan

diputuskan, apakah akan dimuat atau dikembalikan, pada rapat

Kamis 13 Februari 2003. Pantau mengandalkan kontributor lepas

untuk mengerjakan hampir 70 persen isi majalah; mulai dari

laporan hingga kartun dan foto. Majalah ini memiliki sekitar 140

3 Anggar Septiadi, Laporan Jurnalistik yang Bercerita, artikel diakses pada Rabu, 3

November 2003 pkl 22.10 WIB dari http:www.kompas.com/kompasiana/media 4Tma, ANT, Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit, artikel diakses pada Rabu

3 November 2010 pkl 22.00 WIB dari http:// www.gatra.com

45

kontributor, dari Banda Aceh hingga Jayapura.5

Sekitar 100 kontributor Pantau merasa misi mereka meningkatkan

mutu jurnalisme Indonesia dan melayani publik lewat informasi-informasi

yang independen dan bermutu, jadi terputus. Mereka menilai majalah ini

harus diterbitkan lagi karena di Indonesia tidak ada media yang

menyajikan informasi dengan bercerita atau story telling seperti “The New

Yorker” atau “The Atlantic Monthly,” dengan menggunakan riset dalam,

referensi banyak, dan enak dibaca.

Oleh karena itu, dengan diprakarsai oleh awak redaksi yang tersisa,

mereka mendirikan Yayasan Pantau untuk meneruskan cita-cita majalah

pada Agustus 2003. Tadinya, yang hanya seputar analisis media, kini

merambah kepada ranah seputar politik-cum-kebudayaan. Manajemen

ISAI mendukung dan memberikan copy rights (hak cipta) Majalah Pantau

kepada Yayasan Pantau dan tetap menggunakan nama Pantau.

Seperti yang dijelaskan dalam wawancara dengan Imam Sofwan,

dari Yayasan Pantau;

“Yayasan PANTAU berdiri sendiri sejak dari tahun 2003,

sebelumnya dia di bawah ISAI (Institut Arus Informasi). Jadi ISAI

itu membawahi beberapa lembaga, ada Radio 68H, ada Pantau, ada

Jaringan Islam Liberal (JIL), KALAM, dan macam-macam. Trus,

tahun 2003 berdiri sendiri, kita bikin yayasan sendiri. Waktu itu,

ada Andreas Harsono, Budi Setyono, Indarwati Aminuddin

(sekarang di Belanda). Mereka mengajukan permohonan untuk

bikin yayasan sendiri, juga ada notaris.”6

Produk terbitannya tetap dalam format majalah bulanan dan

menggunakan penulisan genre jurnalisme sastrawi, hanya saja tidak lagi

5 Bagja Hidayat (Tempo-News Room), Majalah Pantau Berhenti Terbit, artikel diakses

pada Rabu, 13 November 2010 pkl 22.30 WIB dari http://www.tempointeraktif.com 6 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3

November 2010 pkl. 14.00 WIB

46

diterbitkan di bawah ISAI namun dibawahi langsung oleh Yayasan Pantau

dengan pemimpinnya Andreas Harsono bukan lagi Goenawan Mohammad

(ISAI).

Tapi, lagi-lagi majalah ini mengalami krisis yang sama, yaitu

permasalahan keuangan (cashflow) dan pemasaran (marketing). Sehingga

membuat Majalah Pantau hanya bertahan sebanyak tiga edisi dan kembali

gulung tikar. Meski, Pantau sempat terbit tiga edisi lagi namun dengan

perwajahan yang sedikit berbeda antara Desember 2003 hingga Februari

2004.

Majalah Pantau untuk kedua kalinya menelan pil pahit. Selain dua

persoalan di atas, Andreas mengungkapkan ada salah seorang kawan

dalam manajemen Yayasan Pantau yang menggelapkan uang iklan.

“Selain dana, yah ada yang menggelapkan uang, oleh

kawan kami sendiri sehingga membuat kami capek. Yah, itu saja.

Kami capek, sudah ngumpulin uang susah-susah tapi malah dibawa

lari. Shock banget kami.”7

The Ford Foundation mendukung dana awal untuk merombak

desain dan meluncurkan ulang majalah ini pada Maret 2001. Suzanne

Siskel dari The Ford Foundation pun mendukung tanpa syarat meski ia

meragukan kemampuan di luar manajemen non-redaksinya.

Awak majalah awalnya terdiri dari Ade Juniarti, Agus Sudibyo,

Eriyanto, Heru Widhi Handayani, Eri Sutrisno, Irawan Saptono, Joko

Sudarsono, Linda Chistanty, Veven SP. Wardhana, dan Wiratmo Probo.

Joko pontang-panting mengurus desain, kartun, dan gambar. Dibyo dan

7 Hasil Wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan

Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB

47

Eriyanto bikin riset media. Irawan, Linda, dan Veven menjaring para

kontributor. Eri Sutrisno mengatur distribusi dan pemasaran.8

Saat Majalah Pantau di bawah ISAI, para perupa yang membantu

dalam Pantau yaitu Agus Suwage, Suraji, Wara Anindyah, Augustin

Surauni, M. Syaifuddin, Agus Kurniawan, Yuswantoro Adi, Bunga Jeruk,

Zulfirmansyah, dan lain-lain. Serta para karikaturis, kartunis, hingga

fotografer. Mereka membentuk citra Pantau sebagai medium yang

memberikan perhatian kepada seni. Menurut Joko, “Mereka masih

membekaskan kesan yang nomplok.”

Ketika majalahnya tutup kembali untuk kedua kalinya, Yayasan

Pantau tidak kehabisan cara guna menyosialisasikan genre jurnalisme

sastrawi serta memperbaiki mutu jurnalisme di Indonesia, yaitu dengan

memberikan pelatihan dan kursus-kursus bagi wartawan, mahasiswa serta

pers kampus pada umumnya. Seperti yang diterangkan oleh Imam Sofwan

bahwa Yayasan Pantau telah membuat sindikasi Pantau di Aceh dengan

nama Aceh Feature Service.

“Kita sempat juga bikin sindikasi Pantau, namanya Pantau

Feature Service, itu khusus fokus bikin feature-feature bencana

Aceh pasca tsunami, berupa penulis-penulis Pantau yang dulu nulis

di majalah kemudian nulis di Pantau Feature Service.

Kemudian, belakangan pada akhir 2006 penanggung

jawabnya Linda dan editor Linda kemudian dari Desember akhir

2006 sampai akhir 2008. Kemudian itu, selain bikin Pantau Feature

Service, kita juga bikin kegiatan yang konsen training, sudah ada

70 training yang sudah diadakan di seluruh Indonesia. Minimal ada

sekali training. Yang rutin di Pantau memang cuma ada dua reguler

kursus di Pantau. Yang pertama, kelas narasi dua kali setahun, yang

jurnalisme sastrawi satu kali per tahun. Memang di situ lah yang

kemudian kita mempromosikan jurnalisme sastrawi dengan cara

8 Andreas Hasono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Liputan Mendalam dan

Memikat, (Jakarta: KPG, Cet Kedua Mei 2008), h.323

48

penulisan naratif. Dan rata-rata penulis-penulis Pantau alumni dari

kelas-kelas itu. Yang jurnalisme sastrawi sudah angkatan yang ke-

19 dan yang narasi angkatan ke-10. Dari situ, praktis setelah

majalah PANTAU tutup dan Aceh Feature Service selesai

programnya, maka praktis kegiataannya cuma training dan

beberapa riset, dan penerbitan beberapa buku, seperti jurnalisme

sastrawi.”9

Ketika, pada akhirnya Majalah Pantau tutup kembali, beragam

media massa nasional memberitakannya, respon dari para pembaca pun

beragam. Majalah bagus yang berkualitas memang membutuhkan dana

besar serta strategi marketing yang bagus.

Media nasional yang memberitakan tutupnya Pantau tersebut di

antaranya yaitu, media online www.gatra.com mengangkat judul “Majalah

PANTAU Berhenti Terbit” pada Jakarta, 13 Februari 2003 pukul 18:18

WIB. Kedua, dari Bagja Hidayat- Tempo News Room (TNR) diambil pada

www.tempointeraktif.com menulis dengan judul yang sama dengan

Gatra.com yaitu “Majalah PANTAU Berhenti Terbit” pada Selasa, 13

Februari 2003. Serta yang ketiga, dengan secara khusus Wisnu

T.Hanggoro, Direktur Lembaga Studi Pers & Informasi (LeSPI) menulis di

kolom http://suaramerdeka.com tentang plus minusnya Majalah Pantau

yang judul “Menyimak Tutupnya Majalah Pantau” pada Sabtu, 15 Februari

2003.

Tutupnya Majalah Pantau ini, tidak membuat awak redaksi

Yayasan Pantau reda semangatnya. Mereka membuat pelatihan, kursus,

dan kerja sama lainnya seputar jurnalisme sastrawi. Kerjasama

internasional yang sudah dikerjakan dan dirintis oleh Yayasan Pantau

9 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB di

Kantor Yayasan Pantau

49

adalah dengan Bill Kovach, wartawan terkemuka dunia, ketua Committee

of Concerned Journalist dan kurator Nieman Foundation, Harvard

University. Di bawah pengorganisasian Yayasan Pantau, Kovach pada

Desember 2003 lalu berdiskusi di sejumlah kota di Indonesia, sambil

meluncurkan bukunya “The Elements of Journalism,” yang diterbitkan

Yayasan Pantau dalam bahasa Indonesia. Kemudian, pada Desember 2004,

Yayasan Pantau menggandeng Michael Cowan, pengajar pada Columbia

Graduate School of Journalism, New York, yang juga produser acara

"Today" NBC.

Kerjasama internasional lainnya adalah dengan penulis buku

“Covering Globalization,” Anya Schiffrin dari Initiative of Policy

Dialogue, sebuah lembaga nirlaba yang dikembangkan penerima Nobel

Joseph E. Stiglitz. Beberapa nama lain adalah Mila Rosenthal dari

Columbia University dan Kevin Cassidy dan Carmen dari ILO, Noriel dan

Agatha Schmaedick dari the Worker's Right's Consortium.

Sejak April-Juni 2005, Pantau bekerjasama dengan Bisnis

Indonesia untuk melakukan workshop terhadap 60 reporter dan redaktur

Bisnis Indonesia yang berlangsung selama empat bulan sekaligus

mempersiapkan mereka memasuki perubahan dalam bentuk penulisan

byline dan etika pagar api (firewall), suatu kewajiban dalam media, yang

tak banyak dipraktikkan di Indonesia.

Pada Mei 2005, Pantau bekerjasama dengan PT. Freeport Indonesia

melatih wartawan-wartawan di Papua. Pantau juga mengorganisir jadwal

dan kunjungan US Jefferson Fellows di Indonesia dan pada Juli hingga

50

Desember 2005. Pantau terlibat dengan sejumlah riset dan training di

Kupang, Ende, Aceh, Lampung, Pontianak, Jember dan sebagainya.

Bulan Mei 2005 juga, Yayasan Pantau menjadi institusi resmi yang

menjalankan program The East-West Center Jefferson Fellowships di Asia

Pasifik. Program ini telah berlangsung selama 38 tahun di berbagai negara,

yang menghimpun sedikitnya 400 jurnalis negara-negara maju. Dengan

mata acara mulai dari seminar hingga studi lapangan dalam bidang politik,

ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Pelatihan reguler yang biasa dilakukan Yayasan Pantau adalah

Kursus Jurnalisme Sastrawi (Literary Journalism), yang kini sudah

memasuki Angkatan ke-10. Kursus ini berlangsung satu semester sekali,

tiap bulan Januari dan Juni.

Pelatihan lainnya adalah workshop terprogram untuk para calon

wartawan. Praktis Yayasan Pantau harus berkeliling dari satu kota ke kota

lain. Fokus utamanya, adalah melatih para penggiat pers kampus (pers

mahasiswa). Untuk kegiatan ini, Pantau mendapatkan dana dari

Umverteilen, lembaga nirlaba dari Berlin, Jerman, yang antara lain

mengkhususkan pelatihan untuk mahasiswa.

Ada juga jenis inhouse training, beberapa portofolio yang sudah

Yayasan Pantau lakukan adalah dengan melatih para wartawan di

lingkungan Fajar Group, Makassar, pada September 2003, yang

melibatkan sedikitnya sembilan surat kabar dari anak perusahaan Fajar

Group. Pelatihan terhadap mereka adalah materi liputan investigatif.

Di luar pelatihan, Pantau pun masih terus mengembangkan liputan,

51

walau tak memiliki majalah. Salah satu proyek liputan terakhir adalah

kerjasama dengan Unesco dalam program liputan mendalam yang

dianggap penting diketahui publik. Liputan ini, yang berlangsung mulai

September 2005 sampai Januari 2006, diikuti oleh program seminar The

Latest Development in Investigative Journalism in Indonesia untuk

menjelaskan posisi liputan investigatif di Indonesia, yang sering disalah

pahami banyak media.

Program peliputan Pantau juga dikembangkan dalam bentuk

sindikasi media. Yayasan Pantau mengundang kontributor Pantau untuk

menulis aneka macam features, mulai indepht reporting, feature berita

hingga kolom. Seluruh naskah akan disimpan dalam website Yayasan

Pantau (www.pantau.or.id) yang sedang dalam pembangunan ulang.

Untuk keperluan tersebut, Pantau bekerjasama dengan Open Society

Institute (OSI) melalui Tifa Foundation dalam pendirian kantor Yayasan

Pantau di Aceh, yang secara khusus melakukan pemantauan atas upaya

rekonstruksi.

Kerjasama dimulai sejak September 2005 hingga September 2006

mendatang. Mengenai penerbitan buku, Yayasan Pantau belum dapat

berbuat banyak. Yayasan Pantau baru menerbitkan beberapa saja, yang

dimulai dengan buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovach

dan Tom Rosenstiels, pada tahun 2003.

Buku ini aslinya berjudul “The Elements of Journalism”, dianggap

salah satu buku jurnalisme terbaik penutup pada akhir abad ke-20. Buku

lain yang diterbitkan adalah “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan

52

Mendalam dan Memikat,” pada 2005. Buku ini dikerjakan oleh para

kontributor Pantau, dan isinya dianggap bisa menerangkan apa yang

dimaksud dengan literary journalism, atau oleh Lembaga Pulitzer Prize

disebut explorative journalism.

Jika dapat dirangkum, maka terdapat beberapa keunggulan atau

nilai plus dari Majalah Pantau baik itu versi ISAI maupun versi Yayasan

Pantau, dibandingkan dengan media massa nasional lainnya di Indonesia,

yaitu:

a. Majalah Pantau difungsikan sebagai media-watch atau pemantau media

bagi media massa lainnya di Indonesia

b. Majalah Pantau menggunakan genre jurnalisme sastrawi yang pertama

kali diadopsi oleh “The New Yorker” di Amerika dan mengaplikasikan

elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam setiap tulisannya dari liputan

panjang hingga tulisan kolom

c. Majalah Pantau adalah majalah pertama yang secara sadar

menggunakan jurnalisme sastrawi

d. Manajemen Majalah Pantau menghargai kinerja seorang jurnalis

dengan memberikan honor relatif tinggi, yaitu Rp 400/kata kepada

reporter. Honor tinggi lainnya kepada foto atau lukisan artistik, serta

biaya liputan bagi jurnalis

e. Menyediakan kolom ombudsman sebagai seseorang yang dianggap

kredibel oleh manajemen Majalah Pantau untuk memantau serta

mengkritisi Majalah Pantau atau media massa

f. Majalah Pantau berani menggunakan konsep majalah berkarakter

53

tulisan panjang

g. Menggunakan reportase panjang, tanpa sidebar maupun tanya jawab

h. Berani mengambil risiko dengan mengandalkan freelance untuk

mengerjakan hampir dari 70% isi majalah dari laporan berita hingga

kartun dan foto

i. Memiliki 140 kontributor dari Banda Aceh hingga Jayapura, Papua

j. Majalah Pantau konsisten menggunakan byline (menulis nama penulis)

di bawah judul naskah berita dalam setiap laporan tulisannya sebagai

bentuk tanggung jawab atau transparansi dari penulis yang menulis

berita tersebut

Selain dari segi plus yang telah dirangkum di atas, Majalah Pantau

juga memiliki kekurangan akut dari awal penerbitan hingga tutupnya

majalah tersebut. Kurangnya dana dan kedua strategi pemasaran serta

kurangnya tenaga handal dalam bidang marketing.

Tidak bisa dipungkiri, majalah mewah dengan karakter laporan

penulisan panjang inilah, pastinya membutuhkan dana besar. Majalah

Pantau mempunyai dana besar dari para penyokong seperti Ford

Foundation dan pengiklan. Majalah ini dapat memperbaiki mutu

jurnalisme Indonesia dan memiliki segmentasi yang jelas. Segmentasi

Majalah Pantau adalah, wartawan, seniman, budayawan, akademisi,

mahasiswa dan masyarakat yang tertarik pada dunia jurnalistik. Tapi,

karena segmentasi yang tidak „merakyat‟ inilah membuatnya sulit untuk

beredar di kalangan masyarakat awam atau toko buku seperti Gramedia,

Gunung Agung, dan sebagainya.

54

Meski demikian, Majalah Pantau mendapatkan berbagai komentar

pada penghujung usianya. Di antaranya:

Maria Hartiningsih, wartawan harian Kompas, yang

menerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003 mengatakan, "Prosa

terbaik dan paling orisinal yang pernah ditulis jurnalis Indonesia

saat ini."

Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, yang

menerima Nieman Fellowship dari Universitas Harvard 2003-2004:

"The combination of the best in journalism and the best in literacy

can produce potent and effective non-fiction writings. This Pantau

collection is proof of that."

Janet Steele, dosen Universitas George Washington, yang

mengarang buku “Wars Within: A Story of Tempo, an Independent

Magazine in Soeharto's Indonesia” serta yang menulis disertasi

mengenai Majalah TEMPO mengatakan, "These pieces, not only

represent something new and appealing in Indonesian news

writing, but they also represent the highest calling of journalists: to

serve the citizens of Indonesia by reporting on some of the most

important social issues of our time."10

Yayasan Pantau juga mengelola sebuah mailing list pantau-

[email protected] dengan anggota lebih dari 600 wartawan,

produser, dan mahasiswa. Ada juga mailing list pantau-

[email protected] yang menjadi medium komunikasi

anggota Pantau. Sejumlah anggota Pantau telah memenangi beberapa

penghargaan dalam bidang jurnalisme, fotografi, kartun, desain, dan karya

fiksi.11

Tulisan dalam Majalah Pantau juga dapat diakses pada situs

website Yayasan Pantau melalui www.pantau.or.id. Dalam situs ini juga

masih menaruh laporan-laporan jurnalisme sastrawi dari para kontributor

hingga kini. Namun, karena situs Yayasan Pantau ini telah dihack

10

Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan

Mendalam dan Memikat, h. cover belakang 11

Artikel diakses dari http://www.pantau.com, pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10:30

WIB

55

sebanyak 250 kali oleh para hacker, maka Andreas Harsono mengatakan

hal utama yang dilakukan oleh manajemen Yayasan Pantau adalah

membangun ulang dan memperbaharui situsnya. Dengan demikian,

Yayasan Pantau tetap dapat menyosialisasikan tulisan jurnalisme sastrawi

kepada khalayak dari para kontributor melalui medium website.

2. Visi dan Misi Majalah Pantau

a. Visi Majalah Pantau

Visi Majalah Pantau adalah bertujuan untuk memperbaiki mutu

jurnalisme yang ada di Indonesia.

“Kalau visi misinya itu sendiri mungkin memperbaiki

jurnalisme di Indonesia. Karena Pantau sendiri didirikan dari

keprihatinan kualitas jurnalisme di Indonesia yang buruk. Artinya,

banyak hal yang menjadi kesimpulan kita di sini buruk. Terutama

soal diversity (keberagaman) soal bagaimana meliput konflik dan

segala macam. Kemudian, bagaimana kebanyakan media-media di

Indonesia menyuarakan orang-orang terkenal, menyuarakan pejabat

dan segala macam yang seharusnya tugas wartawan. Biasanya

prinsip-prinsip jurnalisme yang perlu diperbaiki kemudian Pantau

berusaha mulai memperbaiki jurnalisme di Indonesia, salah satunya

adalah dengan mempromosikan cara penulisan naratif dan waktu

itu kita bikin majalah untuk sarana promosi itu. Ini lho contoh cara

penulisan yang baik, kemudian soal uang yang terbatas. Wartawan

bisa nulis panjang dan segala macamnya, Pantau menyiapkan uang

itu.”12

Andreas juga mengungkapkan visi misi dari Majalah Pantau,

karena majalah ini adalah majalah media dan jurnalisme. Maka mandat

Majalah Pantau yaitu memantau radio, televisi, media, dan wartawan.

Tugas utamanya adalah meliput soal wartawan dan media.

12

Hasil wawancara dengan Imam Sofwan, pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB

di Kantor Yayasan Pantau

56

Selain itu, Majalah Pantau juga secara fokus juga berkonsentrasi

untuk mempromosikan cara penulisan naratif. Cara penulisan naratif yang

panjang ini jarang digunakan pada media mainstream Indonesia. Pantau

menggebraknya dan secara khusus dan kontinu (berkelanjutan)

menggunakan genre jurnalisme sastrawi ini, sama halnya seperti majalah

ikon Amerika Serikat yaitu “The New Yorker.”

b. Misi Majalah Pantau

Untuk mengaplikasikan visi dari Majalah Pantau tersebut, maka

Yayasan Pantau melakukan berbagai cara. Salah satunya, adalah dengan

memakai sistem ombudsman untuk memantau Majalah Pantau itu sendiri.

Ombudsman itu digunakan sebagai perangkat yaitu bagaimana

jurnalisme yang baik. Ada seseorang yang secara independen mengawasi

bagaimana praktik jurnalisme itu sudah benar atau belum. Dia mempunyai

wewenang untuk memutuskan itu. Selain itu juga, secara kualitas juga

dekat sekali, artinya untuk proses editing dan segala macam, chek rechek

itu standar yang belum banyak dipraktikkan.Makanya, Yayasan Pantau

memakai ombudsman, media pemantau dipantau pula oleh ombudsman.

“Paling tidak mereka (ombudsman Majalah Pantau) punya

record jurnalisme yang baik. Artinya mereka punya pengetahuan,

wawasan jurnalisme yang baiklah.”13

Selain ombudsman, misi Majalah Pantau adalah dengan memakai

byline dan sistem pagar api (firewall). Byline atau mencantumkan nama

asli penulis laporan berita tersebut digunakan sebagai transparansi si-

kontributor dan dapat dipertanggung jawabkan jika ada permasalahan.

13

Hasil wawancara dengan Imam Sofwan, pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB

di Kantor Yayasan Pantau

57

Sedangkan sistem pagar api (firewall) ini juga digunakan sebagai

pembeda atau pemisah untuk mengetahui mana yang opini dan mana yang

berita.

3. Struktur Organisasi Majalah Pantau

Susunan redaksi Majalah Pantau yang diterbitkan oleh Yayasan

Pantau, yaitu:14

a. Penanggung jawab : Andreas Harsono

b. Pemasaran dan Distribusi : Narliswandi Piliang

c. Sidang Redaksi : Agus Sopian, Budi Setiyono,

Mohamad Iqbal, Titarubi

d. Desain : Yusuf dari LeBoYe

e. Creative Director : Hermawan Tanzil

f. Ombudsman Pantau : Masmimar Mangiang

Sedangkan struktur organisasi pada Yayasan Pantau hingga kini,

yaitu:

Ketua Yayasan : Andreas Harsono

Sekretaris Yayasan : Budi Setiyono

Bendahara Yayasan : Artine Utomo15

14

Susunan Redaksi pada Majalah Pantau No.3/ Februari 2004, h.3 15

Yayasan Pantau, (Jakarta, Kebayoran Lama, 2009).

58

Gambar 2.

Struktur Organisasi Yayasan Pantau

4. Rubrikasi Majalah Pantau

Sejak Majalah Pantau terbit di bawah ISAI maupun di bawah

naungan Yayasan Pantau rubrikasi majalahnya tidak jauh berbeda.

Berdasarkan Majalah Pantau pada “periode kedua” di bawah naungan

Yayasan Pantau (Edisi Desember 2003), maka rubrikasi Majalah Pantau,

yaitu:

a. Daftar Isi : yaitu tentang daftar isi majalah dan sekilas judul di

dalamnya

b. Kontributor : berisi nama-nama kontributor pada edisi majalah

tersebut

BOARD

RTS Masli

Daniel Dhakidae

Hamid Basyaib

Artine Utomo

DIREKTUR

Andreas Harsono

WAKIL DIREKTUR

Budi Setiyono

MANAGER PROGRAM

Imam Shofwan

STAF PROGRAM

Siiti Nurrofiqoh

STAF UMUM

Khoirudin

KONTRIBUTOR/

HONORER

STAF KEUANGAN

Widji Lestari

59

c. Catatan Kota : berisi ragam informasi mengenai agenda even film,

musik, pertunjukan, tradisi, pameran, serta seminar atau diskusi

d. Obrolan : berisi empat hal yang sedang menjadi topik hangat

di tengah masyarakat. Obrolan kali ini terbagi menjadi sub rubrik,

yaitu identitas diri, pusaran uang, sejarah, gastronomi, dan republik

baru

e. Berpolitiklah : mengenai isu politik yang sedang hangat di

nasional

f. Kisah Pribadi : mengenai kisah pribadi dari petinggi atau pejabat

negara yang dituliskan dalam bentuk novel atau cerpen

g. Reporter dari Lapangan: berisi kabar dari lapangan yang dilaporkan

oleh para kontributor

h. Portofolio : berisi esai foto yang temanya dirapatkan saat

sidang redaksi

i. Resensi : resensi ini bisa mengenai film atau buku yang

sedang beredar di masyarakat

j. Pilar Anjungan: berita mengenai gaya arsitektur suatu bangunan

k. Sosok : yaitu kisah tentang sosok pribadi seseorang

l. Puisi : berisi kumpulan-kumpulan puisi

m. Ombudsman : berisi kritik atau saran kepada Majalah Pantau/

media massa

n. Gambar Belakang

60

5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau

Sistem keredaksian Majalah Pantau ini berbeda dari media massa

lainnya di Indonesia karena Pantau mengandalkan sekitar 70% isi

majalahnya dari para kontributor anggota Pantau. Berita-berita dalam

Majalah Pantau maupun dalam situs Yayasan Pantau, juga bisa ditulis oleh

manajemen redaksi Pantau serta kontributor Pantau.

Prosedur keredaksiannya yaitu reporter atau kontributor Pantau

mengajukan proposal liputan kepada pihak redaksi Majalah Pantau. Isi

proposal tersebut yaitu mulai dari apa yang akan diliput, siapa saja yang

akan dijadikan narasumber, tema liputan, outline tulisan, serta biaya

operasional reportase sampai selesai yang akan ditanggung sepenuhnya

oleh manajemen Majalah Pantau.

Kemudian dari pihak redaksi Majalah Pantau akan mendiskusikan

proposal tersebut. Dalam diskusinya, mereka akan menentukan layak atau

tidaknya tema liputan tersebut diangkat di Majalah Pantau. Serta

menentukan konsultan atau editor bagi reporter tersebut. Fungsi dari

konsultan ini adalah sebagai pihak tempat diskusi maupun pemberi

masukan bagi reporter sekaligus sebagai editor tulisan. Dahulu, editor

Majalah Pantau yaitu Andreas Harsono, Budi Setiyono, Linda Christanty,

dan Agus Sopian.

Jika sudah fix, selanjutnya reporter akan diskusi kepada editor yang

telah ditetapkan. Kemudian, reporter terjun reportase ke lapangan.

Reportasenya pun bisa berbulan-bulan lamanya hingga liputan selesai.

Karena narasumber yang diwawancarai pun bisa puluhan.

61

Setelah selesai reportase, reporter menuliskannya dengan teknik

penulisan genre jurnalisme sastrawi dan langsung diserahkan kepada

editor. Jika ada yang kurang, editor akan mencoret dengan tinta merah dan

dikembalikan kembali kepada reporter untuk diperbaiki sampai editor

menganggapnya selesai. Biasanya proses editing antara editor dengan

reporter dilakukan melalui surat elektronik atau email. Begitulah

seterusnya proses kinerja redaksi di Majalah Pantau.

Tabel 5.

Proses Keredaksian Majalah Pantau

Reporter/kontributor mengajukan proposal liputan

Redaksi Majalah Pantau mendiskusikannya

Pemilihan konsultan atau editor bagi reporter/ kontributor

Reportase mendalam/ liputan

Reporter menuliskannya

Proses Chek dan Rechek

Proses Editing Tulisan

Tulisan dipublikasikan

62

B. BIOGRAFI PENULIS DAN SINOPSIS BERITA “SEBUAH

KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT”

1. Biografi Chik Rini

Chik Rini adalah perempuan kelahiran Aceh. Usai dari SMA

Negeri 3 Banda Aceh pada 1993, ia melanjutkan ke jenjang perguruan

tinggi di Unsyiah pada Fakultas MIPA Jurusan Biologi.

Selama di Unsyiah, perempuan yang dipanggil Rini ini mengaku

tidak pernah bergiat mengikuti organisasi mana pun. Selepas sarjana, ia

menjadi wartawan pada Harian Analisa di Medan, mengikuti jejak

ayahnya pada media harian yang sama.

Namun, karena ia merasa kerjanya di Harian Analisa terlalu mudah

dan tidak menantang, akhirnya pada tahun 1999, ia pun keluar. Selama

jenjang dari tahun 2000-2003, Rini pun bekerja freelance. Ia menjadi

stringer foto untuk kantor berita Associated Press serta untuk Majalah

Pantau.

Belajar fotografi pun ia otodidak, begitu pun dengan menulis genre

jurnalisme sastrawi. Sebelum ia menulis “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” itu, ia pernah mengirimkan beberapa tulisan pada kolom di Pantau.

Namun, untuk tulisan panjangnya, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

adalah tulisan pertamanya. Di sela-sela repotase Simpang Kraft tersebut, ia

sempat menulis “Surat dari Geudong” yang juga dipublikasikan dalam

Majalah Pantau.

Pada tahun 2003, Rini juga pernah mengikuti kursus jurnalisme

investigatif atau Fellowship Investigative Reporting di Murdoch

63

University, Perth, Melbourne, Australia. Kursus jurnalisme investigatif

mengenai ekonomi ini berdasarkan rekomendasi dari Andreas Harsono.

Pada tahun yang sama pula, berdasarkan hasil wawancara penulis

dengan Chik Rini pada 29 Januari 2011 di kawasan Blok M, Jakarta

Selatan, ia mengaku saat itu berkeinginan untuk berhenti sementara

menjadi wartawan.

“Saat itu, saya sangat tertantang meliput perang atau konflik

di Aceh. Anda bayangkan di Aceh, hanya ada dua wartawan

perempuan yang mau terjun ke lapangan, saya dan Rayhan dari

detik.com. Malam itu, saya melihat dengan mata kepala saya

sendiri. Empat aktivis GAM dikepung oleh militer Indonesia.

Mereka diserbu dan ditembak mati oleh tiga ratusan militer

Indonesia. Mayatnya langsung dibuang begitu saja ke kebun

pisang. Jadi, kita sebagai wartawan melihat orang nangis saja, kita

senang memberitakannya. Malamnya, saya tidak bisa tidur. Muncul

wajah-wajah orang yang mati itu. Paginya, saya langsung bangun

dan melamun. Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apa yang saya

cari?”16

Ia juga sempat menekuni penelitian mengenai orang utan di Taman

Nasional Gunung Leuser. Saat ini, Rini bekerja sebagai Public Relation &

Media Officer Leuser International Foundation, sebuah lembaga non

pemerintah yang bekerja untuk perlindungan Ekosistem Leuser di Aceh

dan Sumatera Utara. Pernah bekerja sebagai peneliti seusai kuliah pada

Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah (1998)

Kini selain, bekerja untuk Yayasan Aswaja di Banda Aceh, ia

membantu pendidikan anak-anak yatim piatu korban tsunami pada

Desember 2004. Rini menjadi kontributor Majalah Pantau Jakarta selama

16

Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan

Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan

64

tahun 1999-2003. Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dimuat

pada Majalah Pantau Tahun II-Mei 2002.

“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini juga pernah dimuat di

Kyoto Review pada 2005 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

oleh Lyndal Meehan. Meehan menulis deskripsi mengenai Chik Rini

seperti di bawah ini:

Chik Rini, a journalist based in Banda Aceh, originally

reported this story in May 2002, drawing on five months‟ research

in Banda Aceh, Medan, Jakarta, and Lhokseumawe, including a

one-month stay near Krueng Geukeuh. It appeared in PANTAU, a

website promoting journalistic excellence and freedom of the press

in Indonesia. PANTAU was published by the Institut Studi Arus

Informasi (ISAI) from May 1999 to January 2003. The original

article can be found under the title “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft” at http://www.pantau.or.id/txt/25/07.html. This version was

translated and abridged by Lyndal Meehan.17

Selain bekerja sebagai communication of WWF di Banda Aceh,

Rini juga aktif memberikan kursus jurnalisme sastrawi kepada 20 orang

peserta pelatihan ETF yang diadakan oleh Eka Tjipta Foundation. Ia telah

mengajar sebanyak tiga kali pertemuan pelatihan sejak tahun lalu. Ilmu

jurnalisme sastrawi yang didapatnya dari Majalah Pantau pada kurun

waktu 2000-2003 lalu hingga kini, ia akan selalu tularkan kepada

mahasiswa yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi ini.

2. Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah salah

satu peristiwa berdarah yang terjadi di Aceh. Banyak konflik dan peristiwa

17

Chik Rini, “Madness at Simpang Kraft How Indonesian Journalists Witnessed the

Murder of Acehness Civilians”, artikel ini diakses pada Rabu, 26 Januari 2011 pkl 15.30 WIB

pada Kyoto Review of Southeast Asia

65

yang terjadi sepanjang sejarah Aceh, dari konflik bersenjata antara

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer Indonesia, Perda Syariah

yang diterapkan di sana, serta bencana alam tsunami pada 2004. Namun,

peristiwa Simpang Kraft masih membekas di hati masyarakat Aceh,

khususnya korban dari Simpang Kraft. Hingga kini, proses pengadilan

para pelaku belum juga tuntas atau mungkin tidak mendapatkan keadilan

dari segi hukum.

Bahkan LSM Imparsial dalam terbitan buku “Laporan Praktek

Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007” menuliskan bahwa peristiwa

Simpang Kraft ini menduduki posisi pertama dari peristiwa lainnya.

Dalam laporannya, dideskripsikan sebagai berikut; Simpang KKA

(Kertas Kraft Aceh) aparat TNI menembaki masyarakat yang sedang

berdemo di Kecamatan Dewantara. Tragedi KKA berawal dari sikap

arogansi pasukan Rudal terhadap warga setempat. Detasemen rudal

sebelumnya turun ke Cot Murong memukuli warga karna dituduh

menyandera aparat militer. Warga datang ke Koramil meminta mereka

menghentikan tindakannya. Namun Koraml tidak mneghiraukan tuntutan

warga. Bahkan meminta bantuan pasukan non organik untuk

menyingkirkan warga. 46 orang tewas tertembak aparat militer termasuk

Saddam Husen yang berusia 6 tahun, sekitar 200 luka-luka. Upaya hukum

Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Keppres No.88/1999 tentang Komisi

Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA).18

18

J. Budi Hernawan dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan

Papua 1998-2007. (Jakarta: Imparsial, 2009), h.106

66

Simpang Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di

sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya

sekitar 19 kilometer. Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik

kertas PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke

dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal

yang cuma berjarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini

menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.

Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya satu lampu

kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para

pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan

berhati-hati. Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton

besar yang membawa gulungan-gulungan kertas raksasa.

Sekitar 10 meter dari Simpang, jalan dibuat melebar 10 meter

dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri

dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung.

Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-

barang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret

warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada

bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga.

Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di antaranya

berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di depan deretan

warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung.

Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua rumah

67

sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di kiri

kanan jalan.

Senin 3 Mei 1999, hari di mana peristiwa berdarah itu terjadi. Pada

hari itu, ada dua demonstrasi besar-besaran. Pertama, di depan Koramil

Dewantara dekat Krueng Geukeuh dan yang kedua di Simpang Kraft. Ada

sekitar 10 ribu orang berkumpul di Simpang Kraft. Mulai dari para wanita,

anak-anak, kaum laki-laki sampai yang tua renta ada di sana.

Sebelumnya, ada beberapa isu yang beredar dan mengakibatkan

masyarakat Aceh berkumpul di Simpang Kraft, di antaranya:

a. Malam sebelumnya, para perempuan disuruh jaga malam karena

tentara mau menyerang kampung

b. Ada laki-laki yang mengumumkan di meunasah (masjid) kalau

meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik

(ulama) sudah tewas dibunuh.

c. Di Cot Murong (Pemukiman, empat km arah barat Krueng Geukeuh)

warga menghentikan setiap kendaraan untuk mencari anggota ABRI

karena ada yang mendengar bahwa warga desa Lanang Barat dipukuli

dan ditangkap tentara.

d. Dua hari sebelumnya, Kamis malam, 30 April 1999, tentara dari

Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal)

001/Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke Cut Murong. Ada satu

anggota yang hilang, dan mengakibatkan tentara masuk kampung

untuk mencarinya.

68

Masyarakat Aceh yang tidak senang militer masuk kampung,

membuat mereka geram. Oleh karena itu, mereka demonstrasi kepada

Camat Dewantara Cut Murong, Marzuki Muhammad. Kesepakatan yang

tidak membuahkan hasil kepada masyarakat Aceh membuat mereka demo.

Mereka meneriakkan Referendum, Merdeka, dan sebagainya.

Pukul 12.00 siang pada Senin, 3 Mei 1999 ketika keadaan mulai

memanas. Tiba-tiba sebuah truk datang dari arah Arhanud Rudal, mulailah

senjata meletus dengan keras dan tentara menyuruh massa bubar. Tentara

seperti kesetanan dan menembaki massa yang berkeliaran. Korban

mencapai puluhan dan ratusan terluka.

Sinopsis cerita di atas, hanya menjelaskan segelintir dari peristiwa

Simpang Kraft. Chik Rini mampu menjelaskannya dengan sangat baik dan

detil. Rini mengambil dan memaknai peristiwa ini dari sudut pandang

wartawan. Justru karena angle atau newspeg-nya dari perspektif wartawan

inilah, Rini ingin menunjukkan bagaimana wartawan menjadi saksi dari

peristiwa pembunuhan orang Aceh. Sudut pandang inilah yang belum

pernah ditulis oleh wartawan media mana pun.

Ada wartawan yang trauma, wartawan pun manusia. Lantas,

peristiwa itu juga fenomenal di Aceh. Korbannya cukup banyak dan juga

memilukan. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini pada wawancara via

email:

“Simpang Kraft adalah satu dari banyak peristiwa yang

kebenarannya dan keadilannya tak pernah terselesaikan sampai saat

ini. Simpang Kraft hanya bagian dari peristiwa konflik yang

69

memperlihatkan kekejaman militer di Aceh yang mau Kak Chik

sampaikan kepada pembaca di luar Aceh.”19

Andreas Harsono pun menulis dalam grup Majalah Pantau untuk

mempromosikan tulisan naskah Chik Rini ini.

Rini menceritakan pengalaman beberapa wartawan, antara

lain Umar HN, Imam Wahyudi dan Fipin Kurniawan dari RCTI,

ketika menyaksikan dari jarak dekat pembantaian puluhan orang

Aceh di depan pabrik kertas Kraft di Kreung Geukeuh,

Lhokseumawe, pada 3 Mei 1999. Imam menyebutnya sebagai

"Santa Cruz versi Aceh."

Laporan Rini ini unik karena ia memakai genre jurnalisme

sastrawi. Dari panjang tulisan, ia memang belum memecahkan

rekor Pantau sepanjang 16 halaman yang dipegang oleh Coen

Husain Pontoh dengan laporan majalah Tempo edisi Agustus 2001,

tapi Rini yang pertama kali mengusung genre sastrawi ke

dalam Pantau. Ini sebuah reputasi tersendiri. Ternyata Rini yang

memakai gaya ini pertama kali di Pantau. Bravo untuk Rini!

Linda ketika membaca naskah itu mengatakan introduksinya

mirip "In Cold Blood" karya Truman Capote. Di sana Rini

memakai deskripsi alam Lhokseumawe, dengan tower plus api

menyala-nyala karena gas LNG, kemiskinan yang bikin

sesak napas, dan terminal bis malam, sebagai pembukaannya. Ada

kekeringan, ada becak mesin, ada kesunyian, bau kematian. Mirip

dengan Capote yang membuka "In Cold Blood" dengan alam

Midwest ala Kansas City di Amerika Serikat.

Ternyata Rini meminjam gayanya John Hersey dalam

"Hiroshima." Rini mengatakan pada saya bahwa ia bolak-balik

membaca "Hiroshima" ketika menggarap "Sebuah Kegilaan di

Simpang Kraft."

Mirip dengan Hersey, karena di sini Rini tak memakai

referensi apa pun dalam naskahnya. Semua ditulis ibarat sebuah

novel atau cerita pendek. Rini bekerja selama lima bulan, dari

Medan, Jakarta, Lhokseumawe dan Banda Aceh, buat

menyelesaikan naskah ini. Ia juga mempelajari rekaman video buat

memperkaya paparannya tentang Simpang Kraft.

Saya suka naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai

memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya.20

19

Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Rabu, 22 November 2010 pkl 21.22 WIB

melalui surat elektonik dari [email protected] kepada [email protected] 20

Artikel ini diakses dari [email protected] pada 22 Februari 2011

70

Perspektif wartawan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

ini dapat dilihat dari kacamata tiga orang wartawan RCTI yaitu Umar HN

(koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995), Imam Wahyudi

(Koordinator Liputan daerah RCTI Jakarta sejak 1994), Fipin Kurniawan

(kameraman RCTI), Ali Raban (kamerawan yang bekerja untuk Umar

HN), dan Azhari (wartawan ANTARA). Meski peristiwa Simpang Kraft

telah berlalu dan sudah diberitakan namun sisanya tetaplah sejarah.

71

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. TEMUAN DATA DAN HASIL PENELITIAN BERITA “SEBUAH

KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” PADA MAJALAH PANTAU

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan temuan data dan analisis

mengenai pemberitaan bergenre jurnalisme sastrawi yang berjudul “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini dan diterbitkan pada Majalah Pantau

Tahun II Mei 2002 atau dalam buku Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan

Mendalam dan Memikat. Diterbitkan pula oleh Yayasan Pantau. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pisau analisis wacana model

Teun van Dijk. Model van Dijk ini menganalisisis dari tiga elemen yaitu teks,

kognisi sosial, serta konteks sosial. Maka hasil penelitiannya diuraikan sebagai

berikut:

1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

a. Struktur Makro (Tematik)

Dalam struktur makro (makna global) hal yang diamati adalah tematik,

berarti gagasan atau tema utama yang ada dalam berita tersebut. Maka, tema

pada berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah perspektif atau

sudut pandang wartawan Indonesia dalam meliput dan menjadi saksi

pembunuhan dari orang Aceh pada peristiwa Simpang Kraft 3 Mei 1999.

b. Super Struktur (Skematik)

Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam super struktur, hal

yang diamati adalah skematik, yaitu rangkaian pendapat itu disusun dan

72

dirangkai, seperti pendahuluan, isi, dan penutup. Van Dijk memasukkan skema

atau alur yang sistematis dalam sebuah wacana, sama halnya seperti “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft.”

Dalam berita, terdapat dua skema besar yaitu summary (ringkasan) dan

story (isi berita atau tulisan secara keseluruhan). Dalam summary terdapat dua

hal yaitu judul dan lead.

Judul berita ini adalah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft,” dengan sub-

judul Bagaimana wartawan-wartawan Indonesia meliput dan jadi saksi

pembunuhan orang Aceh?

Dalam naskah berita ini terdiri dari 11 adegan dan setiap adegannya

memiliki lead atau teras masing-masing dari satu teks berita yang sama serta

dikonstruksi oleh penulisnya. Karena berita ini menggunakan genre jurnalisme

sastrawi, yang diharuskan menggunakan konstruksi adegan per adegan, maka

berita ini terdiri dari 11 adegan termasuk epilog sebagai penutup.

Unsur skematik yang kedua yaitu story. Pada awal naskah ini dimulai

dari unsur situasi atau proses berjalannya peristiwa sebagai episode utama dari

peristiwa bukan dari unsur komentar narasumber.

Secara keseluruhan utuh, naskah berita ini diawali dengan situasi

kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe pada dini hari, 3 Mei 1999

atau disebut sebagai pra-peristiwa. Sedangkan isi berita ini terletak pada hari di

mana peristiwa Simpang Kraft tersebut berlangsung. Serta epilog atau

penutupnya (adegan 11) dari “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” yang

merupakan pasca peristiwa Simpang Kraft. Pada epilog ini, penulis

mengkonstruksi cerita pasca tiga peristiwa Simpang Kraft.

73

Setelah elemen tematik dan skematik ditemukan oleh peneliti secara

keseluruhan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” selanjutnya, peneliti

akan membagi hasil penelitian ini kepada penelitian per adegan dari adegan 1

sampai adegan 11. Penelitian ini dimulai dari super struktur (skematik atau

alur) dan struktur mikro (semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris), yaitu:

a). Analisis Teks Adegan 1 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Skematik atau alur pada adegan 1 dimulai dari situasi Lhoseumawe pada

Senin dini hari, 3 Mei 1999 dan menceritakan sejarah dari Lhokseumawe yang

terdapat kekayaan gas alam. Isinya, tentang kedatangan tiga wartawan RCTI

pada waktu itu juga guna meliput sisi lain kedamaian di Aceh. Media selama

ini selalu memberitakan sisi kekerasan dan konflik yang ada di Aceh. Penutup

pada adegan ini diakhiri dengan tiga wartawan RCTI beristirahat.

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Latar pada adegan 1, dimulai dari sejarah kota Lhokseumawe sebagai

pusat industri Aceh tapi orang Aceh merasakan ketidakadilan karena hanya

segelintir orang besar yang ada di Aceh dan Jakarta yang merasakan

kenikmatan gas alam, orang Aceh tidak. Hal ini, salah satu hal yang akan

memicu terjadinya peristiwa Simpang Kraft.

Pada adegan 1, terdapat salah satu contoh detil dari deskripsi keadaan

Lhokseumawe dini hari tersebut, yang dituliskan oleh Chik Rini, yaitu paragraf

kedua adegan 1, “Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari

74

hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di

atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api.

Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang

penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.”

Elemen maksud yang terkandung pada adegan 1 terdapat pada adegan 5,

“Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan

bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk

memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu.” Dalam kalimat tersebut, terdapat

kata “untuk” yang digunakan sebagai penjelas yang jelas (eksplisit) dari

keinginan GAM dalam rangka memerdekakan Aceh dari ketidakadilan.

Praanggapan sebagai pendukung dari pernyataan yang ada di adegan 1

terdapat pada paragraf 3, “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh,”

kalimat selanjutnya Chik Rini mampu memaparkan dengan detil bahwa di sana

terdapat kekayaan gas alam terbesar di Indonesia dan perusahaan-perusahaan.

Nominalisasi yang ditunjukkan pada kalimat ini adalah, “Setidaknya

1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.”

(paragraf 5). Serta pada, “Di tempat itu secara brutal, para tahanan dianiaya

50-an tentara Indonesia.. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.” (paragraf

16).

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Dari segi sintaksis yaitu pengemasan suatu teks dengan menentukan

bentuk kalimat, koherensi, kata ganti yang digunakan dalam kalimat. Bentuk

kalimat yang terlihat adalah bentuk kalimat aktif, “Mereka lebih suka

mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf 13).

75

Dalam hal ini digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya.

Kata „mereka‟ (organisasi massa di Aceh) menjadi subjek, dengan kata kerja

„mencuatkan‟ yang berarti „mengeluarkan.‟

Koherensi atau hubungan antar kata atau kalimat yang digunakan pada

adegan ini adalah proposisi “untuk memerdekaan Aceh dari ketidakadilan” dan

„dominasi militer Indonesia‟ adalah dua prinsip yang berlainan dan

dihubungkan dengan kata „tapi‟. Kalimatnya adalah, “Di sana juga mulai

timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut

GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer

Indonesia sangat kuat,” (paragraf 5). Koherensi „atau‟, “Referendum untuk

memilih merdeka atau tetap dalam negara Indonesia,” (paragraf 13).

Koherensi pembeda juga terlihat pada kalimat, “Imam mengatakan di

antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya,”

(paragraf 16).

Sepanjang adegan 1, kata ganti orang ketiga jamak yaitu „mereka‟.

Contoh, “Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan

nasib Aceh,” atau “Mereka mengungkapkannya lewat beberapa demonstrasi

atau huru-hara.”

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Unsur leksikon atau pemilihan kata yang digunakan penulis adalah

pemilihan kata „orang Aceh‟, “Orang Aceh banyak yang miskin, hidup di

pinggiran pabrik-pabrik.” Kata yang kedua, „militer Indonesia‟ yaitu “Tapi

dominasi militer Indonesia sangat kuat.” Kata ‘kelompok separatis‟ yaitu

“GAM, kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa

76

Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin meningkatkan perang gerilya, dari

kota maupun di daerah pedesaan.”

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Pemakaian grafis pada adegan 1 terdapat banyak kata kata „referendum‟

tapi hanya ada satu kata „referendum‟ yang diberikan tanda petik di atas yaitu,

“Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata “referendum” di badan

jalan. Grafiti-grafiti ini bertebaran tak hanya di jalan, tapi juga di tembok

pasar dan papan reklame.” (paragraf 18)

Sedangkan metafora atau kiasan terdapat pada kalimat, “…langit

tampak merah membara oleh cahaya api.” “Semburan api raksasa itu keluar

dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT

Arun LNG.”( paragraf 2)

Tabel 6.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro Topik/ Tema Kronologis awal mula kedatangan tiga wartawan

RCTI ke Lhokseumawe

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Pembuka: Situasi Lhokseumawe pada pada dini hari,

3 Mei 1999

Isi: Kedatangan tiga wartawan RCTI ke

Lhokseumawe dengan tujuan meliput sisi

kedamaian dari Aceh

Penutup adegan ini adalah ketiga wartawan

RCTI beristirahat untuk memulihkan fisik ketika

akan reportase esok pagi Struktur mikro

(semantik) Latar Latar situasi akan kota Lhokseumawe serta sejarah

kota tersebut yang membawa kepada alasan

perlawanan senjata oleh Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) kepada militer Indonesia yang ada di Aceh

Detil Pada paragraf kedua adegan 1, Chik Rini mampu

mendeskripsikan keadaan kota Lhokseumawe pada

dini hari Senin, 3 Mei 1999

Maksud Elemen maksud pada adegan 1 yaitu paragraf 5

mengenai keinginan GAM untuk memerdekakan

77

orang Aceh dari ketidakadilan yang mereka rasakan.

Praanggapan “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh”

(paragraf 3) selanjutnya, Chik Rini memaparkan

kekayaan gas alam di Aceh yang tersebar di

Indonesia serta perusahaan-perusahaan yang ada di

sana untuk memperkuat premis yang ia sebutkan di

awal pragraf

Nominalisasi Banyak nominalisasi pada adegan 1 salah satunya,

“Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan

3.430 mengalami penganiayaan.” (paragraf 5)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Salah satu bentuk kalimat aktif pada adegan 1

adalah,“Mereka lebih suka mencuatkan ide

referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf

13)

Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟)

“…untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu.

Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat.”

Koherensi pembeda:

“Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh,

seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya.”

Kata Ganti Kata ganti yang digunakan pada adegan 1 adalah ata

“mereka,” seakan-akan kata “mereka” itu

memisahkan antara penulis dengan narasumber serta

pembaca

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon orang Aceh (paragraf 4), militer Indonesia,

penganiayaan (paragraf 5), kelompok separatis,

kekerasan (paragraf 14), kekejaman, mati,

perlawanan bersenjata, kekejaman (paragraf 15)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis “Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata

“referendum” di badan jalan.”(paragraf 18)

Dari keseluruhan kara referendum yang ada di

adegan 1 hanya ada satu kalimat yang kata

refendumnya menggunakan tanda petik di atasnya

Metafora “semburan api raksasa”, “langit tampak merah

membara oleh cahaya api,”(paragraf 2)

2). Analisis Teks Adegan 2 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Skematik atau alur dari adegan 2 pada dini hari juga, Senin 3 Mei 1999

di Kreung Geukeuh, Kecamatan Dewantara ada 300-an orang Aceh berkumpul

di sebuah gardu jaga. Mereka berencana akan melakukan demonstrasi besar-

besaran. Di tengah adegan diceritakan ada banyak isu yang berkembang di

78

masyarakat. Salah satu isu, hilangnya anggota Arhanud Rudal di wilayah Cot

Murong, sekaligus sebagai penutup adegan.

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Latar di adegan ini adalah “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul

dekat sebuah gardu jaga,” (paragraf 1). Peristiwa inilah yang mengawali

mulainya adegan dan membawa pembaca kepada konstruksi atau pembentukan

rapat besar-besaran yang dilakukan oleh orang Aceh.

Elemen detil dapat dilihat pada paragraf 2 yang menunjukkan posisi

keberadaan bale-bale. “Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang

pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping pabrik ada jalan masuk ke

perkampungan Bangka Jaya. Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu

meter.”

Maksud yaitu; “Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi ke

markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng Geukeuh dekat pasar

Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk untuk mengangkut orang dari kampung-

kampung sekitar.” Dari kalimat di atas jelas sekali maksud yang akan

disampaikan kepada pembaca.

Praanggapan terdapat pada kalimat, “Mereka memang sedang resah,”

(paragraf 6) dilanjutkan dengan argumen pendukung kalimat lainnya yang

menunjukkan kuat alasan keresahan dari warga. “Tentara mau menyerang

kampung,” kata seorang pria (paragraf 7). Dikuatkan juga pada kalimat,

"Meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita

79

sudah tewas dibunuh." Kalimat yang mengungkapkan keresahan tersebut,

diperkuat oleh kalimat-kalimat selanjutnya.

Nominalisasi yang terdapat pada adegan 2 yaitu, “…ada sekitar 300-an

orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.” (paragraf 1)

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Bentuk kalimat yang terkandung lebih sering menggunakan kalimat

aktif, “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga,”

(paragraf 1). Kalimat ini sekaligus sebagai bentuk kalimat deduktif atau inti

kalimat dari keseluruhan teks pada adegan 2.

Elemen koherensi pembeda yang ada yaitu, “Mereka menghentikan

setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari singkatan

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institusi militer

Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata

"ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru,” (paragraf

10). Koherensi kausal atau sebab akibat juga pada paragraf 12, “Selain dekat

dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di

sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya.”

Kata ganti yang digunakan tetap menggunakan kata ganti orang ketiga

jamak „mereka‟ dan satu kata ganti orang pertama jamak „kita‟, “Tengku

Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh,” (paragraf 8). Penggunaan kata

„kita‟ ini seakan-akan menunjukkan penyamaan rasa yang juga dirasakan oleh

sesama orang Aceh.

80

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Pemilihan leksikon yang dipilih Chik Rini adalah kata, „mengangkut‟

pada kalimat, “Mereka perlu truk untuk mengangkut orang…” (paragraf 5).

Kata „tewas dibunuh‟ bisa meninggal, dibunuh, terbunuh, wafat, terlihat pada

kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh.”

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Elemen grafis yaitu kata „anggota ABRI‟ pada paragraf 10 diberi tanda

petik di atas dibandingkan kata-kata lainnya. Hal ini menunjukkan penekanan

kata „anggota ABRI‟ yang mempunyai reputasi buruk dibandingkan dengan

paragraf 1 yang hanya menyebutkan kata „militer Indonesia.‟

Metafora ini terdapat dalam satu kalimat, “Seperti angin, informasi yang

tak jelas kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut.”

(paragraf 9)

Tabel 7.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro Topik/ Tema 300-an orang Aceh berkumpul di gardu jaga Kreung

Geukeuh pada dini hari

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Dimulai dengan adanya 300-an orang Aceh

berkumpul di bale-bale

Di tengah adegan dijelaskan bahwa mereka akan

melakukan demonstrasi besar-besaran di markas

Koramil Kreung Geukeuh

Adegan ditutup dengan salah satu isu hilangnya

anggota Arhanud Rudal di Cot Murong

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar peristiwanya adalah adanya 300-an orang Aceh

yang berkumpul itu

Detil Pada paragraf kedua adegan 2, penulis menjelaskan

posisi bale-bale tempat berkumpulnya 300-an orang

Aceh tersebut

Maksud Maksudnya, menjelaskan bahwa mereka akan

demonstrasi besar-besaran atas ketidakadilan yang

selama ini dirasakan orang Aceh (paragraf 5)

81

Praanggapan “Mereka memang sedang resah” (paragraf 6)

selanjutnya, Chik Rini alasan keresahan yang dialami

oleh orang Aceh, dengan adanya beragam isu yang

berkembang di masyarakat tentang ketidakadilan

tersebut

Nominalisasi Hanya ada satu nominalisasi pada adegan 2 yaitu,

““…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat

sebuah gardu jaga.” (paragraf 1)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat aktif ini

sebagai inti dari keseluruhan teks pada adegan 2,

“…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat

sebuah gardu jaga,” (paragraf 1)

Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟)

“Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi

Krueng Geukeuh ini strategis karena di sana ada

proyek-proyek vital yang perlu dijaga

keamanannya.” (paragraf 12)

Koherensi pembeda:

“Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk

mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari

singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,

nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum

diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata

"ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim

Orde Baru.” (paragraf 10)

Kata Ganti Kata ganti yang digunakan pada adegan 2 adalah ata

“mereka,” dan hanya satu kata “kita” yang digunakan

pada kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah

tewas dibunuh.” (paragraf 8)

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon Pemilihan kata: mengangkut (paragraf 5), tewas

dibunuh (paragraf 8)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis “…setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI"

yang berasal…”(paragraf 10)

Kata ini lebih menonjol di antara kata lainnya karena

penyebutan kata ABRI ini sangat tidak disukai bagi

orang Aceh, selain itu ABRI juga memiliki reputasi

buruk pada rezim Orde Baru

Metafora “seperti angin” dan “dari mulut ke mulut” (paragraf

9)

3). Analisis Teks Adegan 3 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Sruktur (Skematik)

Skema adegan 3, diawali dengan kronologis kejadian hilangnya anggota

Arhanud Rudal, Sersan Dua Aditia pada Kamis malam, 30 April 1999. Hingga

pada keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 puluhan tentara bersenjata masuk

82

ke Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia. Sampai disepakati bahwa tentara

dilarang masuk ke Cot Murong dan yang mencarinya adalah ulama setempat.

Penutup adegan diakhiri dengan kabar karena tahu anggotanya belum juga

ditemukan, Arhanud Rudal kembali masuk kampung dan ada isu penduduk

desa yang ditangkap, Minggu 2 Mei 1999.

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Latar adegan diawali dengan kronologis peritiwa hilangnya Sersan Dua

Aditia, anggota Arhanud Rudal.

Detil adegan terletak pada paragraf keenam, “Si penceramah bercerita

sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang

dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang makna

jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah.” Detil ini menceritakan tiga hal

yang biasa diceramahkan oleh GAM.

Maksud dari adegan ini sudah jelas, bahwa dengan hilangnya Sersan

Dua Aditia serta beragam isu tentara desa, memicu orang Aceh untuk

berdemonstrasi. Terlihat pada paragraf terakhir adegan 3 yaitu, “Senin

direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang

kampung yang ditangkap.”

Praanggapan adegan 3, Pada kalimat berikutnya, diterangkan apa saja

isi dari dakwahnya tersebut, sebagai penguat argumen penulis. “Si penceramah

bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika

berperang dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang

makna jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah.”

83

Nominalisasi ditunjukkan pada kalimat, “Tiga truk militer dan minibus

Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata

lengkap, masuk ke Cot Murong,” (paragraf 8).

Super Struktur (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Elemen sintaksis, bentuk kalimat pasif sekaligus sebagai inti kalimat

(deduktif) adegan 3 adalah, “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran

untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.” Kata kerja

direncanakan merupakan kalimat pasif, dalam hal ini van Dijk mengemukakan

kalimat pasif ini digunakan sebagai objek. Kalimat bentuk deduktif (inti

kalimat di awal) dapat dilihat dari satu kalimat di awal yang dipisahkan oleh

kata „untuk.‟ “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut

pelepasan orang kampung yang ditangkap.”

Dalam adegan 3 terdapat koherensi sebab akibat, “Tentara bahkan

sempat menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit

ikan), karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.” Dari paragraf

awal sampai paragraf akhir adegan 3 tetap menggunakan kata ganti “mereka.”

Struktur Mikro (Leksikon)

Elemen sintaksis yang diteliti yaitu leksikon, “Dakwah GAM” (paragraf

4), “Kabar penempelengan itu segera beredar,” (paragraf 16).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Grafis dalam adegan 3, ada satu kalimat menonjol dengan tanda petik di

atasnya dibandingkan kata atau kalimat lainnya, “….dan tak adil dari

“pemerintah Indonesia Jawa” sehingga….” (paragraf 6). Metafora yaitu; “Isi

84

dakwah malam itu sangat panas”, “Dakwah itu berbau politik” (paragraf 4),

“lari tunggang-langgang” (paragraf 13).

Tabel 8.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro Topik/ Tema Peristiwa hilangnya Sersan Aditia membuat orang

Aceh karena tentara masuk ke kampung

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Dimulai dengan kronologis awal hilangnya Sersan

Dua Aditia pada Kamis malam, 30 April 1999

Isi adegan menjelaskan pencarian Sersan Adit oleh

Arhanud Rudal hingga adanya kesepakatan bahwa

tentara tidak akan masuk kampung lagi pada Sabtu,

1 Mei 1999

Adegan ditutup dengan kabar tentara masuk

kampung lagi dan ada kabar penempelengan orang

Aceh oleh tentara

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar peristiwanya dengan kronologis hilangnya

anggota Arhanud Rudah, Sersan Aditia

Detil Paragraf 6 menjelaskan detil apa saja isi dari dakwah

GAM kepada orang Aceh

Maksud Kalimat terakhir adegan 3 menjelaskan maksud

sekaligus menjadi inti kalimat adegan 3 bahwa

mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran

Praanggapan “Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan

sejarah” (paragraf 6), kalimat ini diperkuat oleh

kalimat berikutnya yang menjelaskan isi dari dakwah

GAM

Nominalisasi “Tiga truk militer dan minibus Toyota Kijang dan

Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara

bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong”

(paragfraf 8)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat pasif,

“Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran

untuk menuntut pelepasan orang kampung yang

ditangkap”

Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟)

“…menampar seorang pemuda yang sedang

menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan

tak tahu tentang…” (paragfraf 15)

Kata Ganti Kata ganti “mereka”

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon Dakwah (paragraf 4), penempelengan (paragraf 6)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis “…Pemerintah Indonesia Jawa…” (paragraf 6)

Hanya ada satu kalimat yang menonjol pada adegan

3, karena kalimat inilah yang digunakan saat dakwah

GAM

Metafora “sangat panas” dan “berbau politik” (paragraf 4),

“lari tunggang-langgang (paragraf 13)

85

4). Analisis Teks Adegan 4 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Skematik adegan 4, sebagai pembuka yaitu kabar demonstrasi di

Koramil Kreung Geukeuh yang didengar oleh Azhari, wartawan ANTARA di

sebuah warkop pada pukul 9 pagi. Kabar serupa juga didengar oleh ketiga

wartawan RCTI dan Ali Raban. Penutup adegan adalah, mereka tidak langsung

ke lokasi kejadian tapi membeli makanan terlebih dahulu dan mengambil alat

reportase.

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Elemen semantik, latar yang dipakai menggunakan latar profil Azhari

sebagai wartawan ANTARA dan situasi warkop ketika ia berada. Latar inilah

sebagai tempat di mana ia menerima informasi tersebut.

Detil terletak pada kalimat, “Dari yang sekadar minum kopi, membaca

koran gratis, nonton televisi, maupun mengobrol,” (paragraf 2). Maksud,

“Jika tak segera mengambil momentum pertama, maka mereka tak akan

pernah mendapat momentum kedua,” (paragraf 23). Maksud kalimat ini yang

akan terjadi kepada wartawan RCTI, mereka kehilangan momen pertama untuk

mengejar berita demonstrasi.

Praanggapan adegan 4 terdapat pada perkataan narasumber di warkop

yang didengar oleh Azhari, “Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh

(Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)," (paragraf 3). Dari ucapan

orang Aceh tersebutlah ia mendapatkan informasi, dan ucapan tersebut

dibenarkan akan adanya demonstrasi besar-besaran di Kreung Geukeuh.

86

Sedangkan nominalisasi terdapat pada paragraf pertama, “Umurnya 32

tahun.”

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Elemen sintaksis, bentuk kalimat pasif, “Ada orang kita ditangkap si

Pa'i” (paragraf 5). Koherensi konjungsi sebab akibat, “Mereka terpaksa

pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto.”

Sedangkan kata ganti yang digunakan, tetap memakai kata ganti orang ketiga

„dia‟ dan „mereka‟ karena memang itu yang menjadi elemen jurnalisme

sastrawi. Namun, penggunaan kata ganti orang pertama jamak yaitu „kita‟

digunakan pada ucapan narasumber, ““Ada orang kita ditangkap si Pa'i”

(paragraf 5), “Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat (paragraf

15).

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Leksikon yang ada yaitu bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraf 5),

mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14), informan (paragraf 17),

verifikasi (paragraf 18), merepet (paragraf 24).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis, Metafora)

Elemen retoris, hanya ada satu kata yang menonjol atau grafis dan selalu

dibubuhi tanda petik di atasnya yaitu kata “channel” atau sumber informasi

yang terdapat pada paragraf 17. Metafora yang dipakai, kota gas (paragraf 1),

bendera GAM berlambang bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang

(paragraf 23).

87

Tabel 9.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro

Topik/ Tema Kabar akan adanya demonstrasi menyeruak ke

masyarakat dan wartawan

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Pembuka adegan Senin, 3 Mei 1999 pada pukul

09.00, latar situasi di sebuah warkop Lhokseumawe

Kabar serupa didengar oleh tiga wartawan RCTI dan

Ali Raban dari informan mereka melalui penyeranta

Azhari segera menuju ke sana tapi tidak dengan

wartawan RCTI, mereka sibuk mengurusi makanan

daripada langsung mengejar berita

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar diawali dengan profil Azhari wartawan

ANTARA dan situasi warkop di Lhoseumawe di

mana ia berada

Detil Paragraf 2 menjelaskan detil fungsi warkop yang ada

di Aceh

Maksud “Jika tak segera mengambil momentum pertama,

maka mereka tak akan pernah mendapat momentum

kedua,” (paragraf 23). Hal ini menunjukkan kinerja

wartawan untuk segera mendapatkan berita eksklusif

Praanggapan (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh),”

(paragraf 3). Ucapan narasumber tersebut diperkuat

dengan benar adanya bahwa banyak massa yang

berkumpul di Kreung Geukeuh

Nominalisasi “Umurnya 32 tahun.”(paragraf 1) Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat pasif:

“Ada orang kita ditangkap di Pa’i” (paragraf 3)

Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟)

“Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar

karena dia lupa membawa kamera foto.”

Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal “dia” dan “mereka”

tapi ada satu kata ganti orang pertama jamak “kita”,

“Ayo cepat kita ke sana,” sambut Imam,

bersemangat (paragraf 15).

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraf 5),

mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14),

informan (paragraf 17), verifikasi (paragraf 18),

merepet (paragraf 24).

Struktur mikro

(Retoris) Grafis “Channel” (paragraf 17)

Penggunaan kata “channel” yang berarti informan

atau sumber informasi menandakan bahwa wartawan

haruslah memiliki channel dan karena hal inilah yang

membawa Azhari dan wartawan RCTI kepada

peristiwa tersebut

Metafora kota gas (paragraf 1), bendera GAM berlambang

bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang

(paragraf 23).

88

5). Analisis Teks Adegan 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Alur adegan kelima “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ini hanya

menceritakan perjalanan Azhari menuju lokasi demonstrasi di Kreung

Geukeuh. Dimulai pada pukul 10.00, ia telah sampai dekat tugu depan PT.

Pupuk Iskandar Muda. Azhari berjalan kaki menuju Kreung Geukeuh karena

jalan telah diblokir. Pukul 11.00, ia sampai di simpang empat Kreung Geukeuh

dan memerhatikan kondisi massa sekitar. Saat itu, ketika ada iringan mobil

datang dari Lhokseumawe ingin lewat, dihadang oleh massa. Terjadi

perdebatan. Adegan 5 ditutup dengan kaburnya iringan mobil tersebut disertai

suasana massa yang kian memanas.

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Latar adegan berawal dari situasi pemblokiran jalan sepanjang lima

kilometer dari depan pabrik hingga ke desa Bungkah, termasuk yang ingin

menuju Simpang Kraft ditutup oleh massa, sehingga membuat orang Aceh

termasuk Azhari berjalan kaki.

Setiap adegan memiliki elemen detil masing-masing, sama halnya

dengan adegan ini. Dengan dijelaskannya latar pemblokiran jalan pada adegan

ini, terdapat kalimat yang memiliki unsur detil di dalamnya pada paragraf

pertama, “Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari

depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar udara Malikul

Saleh.” Detil lainnya juga terdapat pada, “Pusat kota Krueng Geukeuh masuk

89

dari persimpangan jalan tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana

terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor polisi, klinik

kesehatan, kantor camat dan lapangan sepak bola. Bersebelahan berdiri

pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer,” (paragraf 8).

Elemen maksud terdapat di paragraf 13, “Penumpang mobil memaksa

pergi ke Simpang Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu.”

Maksud pada kalimat di atas lebih tersurat (jelas) karena diperjelas oleh

kalimat berikutnya yang dinyatakan sebagai argumentasi.

“Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe…”

(paragraf 5). Dari praanggapan lokasi Kreung Geukeuh itu dipertajam dan

diperkuat dengan premis dari kalimat selanjutnya “…sebab di sana berdiri

pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer serta

pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.”

Nominalisasi yang terdapat pada adegan 5 yaitu “Azhari berjalan kaki

sejauh 100 meter” (paragraf 1), “Beberapa pria, tak sampai 10 orang…”

(paragraf 2).

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Bentuk kalimat adegan ini adalah “Azhari menemukan massa sudah

menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh” (paragraf 11) sekaligus

kalimat deduktif yang menjadi inti dari adegan 5. Koherensi dengan konjungsi

„tapi‟ banyak terdapat pada adegan 5, “Massa berdiri di sepanjang emperan

toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan.” (paragraf 9). Sedangkan

kata ganti tetap masih menggunakan kata „mereka.‟

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

90

Pada adegan 5 yaitu pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4),

barikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6), berderet (paragraf 9),

sweeping dan tentara Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Tidak ada grafis dalam adegan 5 ini. Sedangkan metafora yang ada

sangat banyak, yaitu “Mereka berseragam kaos hitam berlambang burung

walet,” (paragraf 4), bercakap lama, kartu indentitas (paragraf 10), tentara

berpakaian preman (paragraf 12).

Tabel 10.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro Topik/ Tema Kronologis peristiwa dari segala perspektif wartawan

dan orang Aceh pada pukul 10.00

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Adegan ini dibuka oleh perjalanan Azhari yang

harus berjalan kaki sejauh 100 meter dari PT. Pupuk

Iskandar Muda dari pukul 10.00

Pukul 11.00, Azhari telah sampai di simpang Kreung

Geukeuh, tempat massa pertama demonstrasi berada

Adegan ditutup dengan larangan iringan mobil

Distrik Militer Aceh Utara yang ingin ke Simpang

Kraft untuk lewat. Massa menghadangnya dengan

parang

Struktur mikro

(semantik) Latar Situasi pemblokiran jalan yang melewati Kreung

Geukeuh termasuk yang ingin ke Simpang Kraft

diblokir oleh massa

Detil Detil pemblokiran terlihat pada kalimat;

“Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima

kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa

Bungkah, dekat bandar udara Malikul Saleh.”

(paragraf 1)

Maksud “Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang

Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah

ditunggu.” (paragraf 13)

Praanggapan “Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri

Lhokseumawe…” (paragraf 5)

Kalimat selanjutnya dipertegas lagi bahwa di sana

terdapat 3 pabrik besar sebagai tonggak utama

Lhokseumawe

Nominalisasi “Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter” (paragraf 1)

91

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat deduktif:

“Azhari menemukan massa sudah menumpuk di

simpang empat Krueng Geukeuh” (paragraf 11)

Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟)

“Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi

lebih banyak menumpuk di persimpangan.” (paragraf

9)

Kata Ganti Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal

„mereka‟

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4),

barikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6),

berderet (paragraf 9), sweeping dan tentara

Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11).

Struktur mikro

(Retoris) Grafis -

Metafora berseragam kaos hitam berlambang burung walet,”

(paragraf 4), bercakap lama, kartu indentitas

(paragraf 10), tentara berpakaian preman (paragraf

12).

6). Analisis Teks Adegan 6 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super struktur (Skematik)

Jika adegan 5 memiliki alur dari perspektif Azhari, wartawan ANTARA

maka skematik pada adegan 6 dilihat dari kinerja perspektif tiga wartawan

RCTI dan Ali Raban. Peristiwa diawali ketika mereka menuju Kreung

Geukeuh pada pukul 11.00. Jika Azhari telah mencapai simpang Kreung

Geukeuh pada pukul 11.00, tidak dengan mereka. Mereka berempat masih

dalam perjalanan menuju Simpang Kraft. Di tengah adegan dijelaskan bahwa

mereka dicegat oleh massa, yang menanyakan identitas mereka sekaligus orang

Aceh bersikap stereotip terhadap suku Jawa. Sempat terjadi perdebatan, namun

teman Umar HN datang dan menolog. Mereka pun bergegas menuju Simpang

Kraft, lokasi kedua massa dan lebih banyak dibandingkan di simpang empat

Kreung Geukeuh.

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

92

Latar adegan adalah latar peristiwa perjalanan mereka menuju simpang

empat Kreung Geukeuh dan mendapat kendala karena jalan sudah diblokir.

Pada paragraf 2, sangat dijelaskan latar peristiwa tersebut.

Detil adegan 2 terlihat jelas pada paragraf 3, “Mereka melihat banyak

laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki

itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.”

Maksud terdapat pada paragraf 2 yang menunjukkan identitas profesi

mereka, “Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan.” Praanggapan

pada adegan ini pengungkapan satu sebutan bahasa Aceh kasar terhadap tentara

atau polisi Indonesia yang notabene-nya adalah suku Jawa. “Itu Pa’i juga,”

ada yang menyeletuk juga di belakang,” (paragraf 11). Stereotipe “Pa‟i”

tersebut ditujukan kepada wartawan RCTI yang berasal dari Jakarta.

Nominalisasi dalam kalimat ini sangat jelas, “Di simpang empat Krueng

Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan

emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak,” (paragraf 4).

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Sintaksis terdiri dari bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Terdapat

bentuk kalimat aktif dan pasif pada adegan 6 tapi bentuk kalimat pasif inilah

yang menonjol sebagai inti, “Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft

dengan sepeda motor milik warga di situ,” (paragraf 27).

Koherensi konjungsi „tapi‟, “Walau banyak yang senang aksi mereka

diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada

mereka,” (paragraf 10).

93

Elemen terakhir sintaksis yaitu kata ganti masih tetap menggunakan kata

ganti ketiga jamak yaitu “mereka” tapi dalam ucapan dialog narasumber ada

yang menggunakan kata ganti orang pertama “kami” pada paragraf ke-25 dan

26. “Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung,"

katanya. "Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang lain.”

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Pemilihan kata yang dipilih oleh Chik Rini yaitu merepet,

kedongkolannya (paragraf 1), senang (paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’i

(paragraf 11), mengamankan (paragraf 25).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Grafis pada adegan 6 terlihat pada dialog narasumber yang meneriakkan,

“Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI oke!” Hal ini menunjukkan

betapa kerasnya merela meneriakkan untuk menuntut ketidakadilan dan

mengekspresikannya di depan wartawan televisi. Grafis yang kedua pada

paragraf 11, "Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i sebutan

kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau polisi Indonesia.” Kata pa‟i

memiliki makna khusus bagi orang Aceh.

Metafora adegan 6 yaitu kehilangan banyak waktu (paragraf 1),

bersorak sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga memekakan telinga

(paragraf 4), mencium gelagat tak bagus, jantungnya berdenyut keras (paragraf

9), sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12), pengatur massa (paragraf 22),

berjalan zigzag (paragraf 28).

94

Tabel 11.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro

Topik/ Tema Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul

11.00

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Adegan ini dibuka oleh perjalanan ketiga wartawan

RCTI dan Ali Raban menuju Kreung Geukeuh dan

sudah melewati pukul 11.00

Pertengahan adegan, mereka langsung meliput tapi

dihadang oleh massa yang marah dengan aksi

reportase mereka

Mereka menuju lokasi massa kedua yaitu Simpang

Kraft karena mendapatkan informasi dari warga. Di

sana massa lebih banyak lagi dibandingkan dengan

di simpang Kreung Geukeuh

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar peristiwa perjalanan dari perspektif tiga

wartawan RCT dan Ali Raban

Detil Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang,

kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki

itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang

beringas.” (paragraf 3)

Maksud “Mereka dengan mudah dikenali sebagai

wartawan.” (paragraf 2) kalimat di sini

menunjukkan identitas profesi mereka

Praanggapan “Itu Pa’i juga,” ada yang menyeletuk juga di

belakang,” (paragraf 11) Anggapan orang Aceh

terhadap wartawan RCTI yang datang dari Jakarta.

Sebutan kasar bahasa Aceh tersebut beralasan, karena

mereka memandang stereotip terhadap tentara

Indonesia, yang notabene-nya adalah suku Jawa

Nominalisasi “Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah

mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan

emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan

anak-anak,” (paragraf 4).

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat pasif:

“Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft

dengan sepeda motor milik warga di situ.” (paragraf

27)

Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟)

“Walau banyak yang senang aksi mereka diliput

wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang

memandang curiga pada mereka,” (paragraf 10)

Kata Ganti Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal

mereka” dan ada kata ganti orang pertama jamak

yaitu „kami‟ yaitu; “Kami mau mengamankan

kampung kami. Tentara mau serang kampung,”

katanya.(paragraf 25)

Struktur mikro Leksikon merepet, kedongkolannya (paragraf 1), senang

95

(stilistik) (paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’i (paragraf

11), mengamankan (paragraf 25).

Struktur mikro

(Retoris) Grafis “Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI

oke!”

Grafis ini terletak pada dialog narasumber yang

dicantumkan oleh Chik Rini pada teks adegan 6

Metafora kehilangan banyak waktu (paragraf 1), bersorak

sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga

memekakan telinga (paragraf 4), mencium gelagat

tak bagus, jantungnya berdenyut keras (paragraf 9),

sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12),

pengatur massa (paragraf 22), berjalan zigzag

(paragraf 28).

7). Analisis Teks Adegan 7 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Adegan 7 ini adalah deskripsi menjelang peristiwa berdarah di Simpang

Kraft. Dari paragraf 1 sampai paragraf 5 adalah pembuka adegan dengan

deskripsi detil lokasi Simpang Kraft. Di tengah adegan, menjelaskan

kronologis rincian massa yang mulai berdatangan ke Simpang Kraft dari pukul

08.00. Hingga menjelang pukul 11.00 mencapai sekitar 10 ribu orang,

diketahui bahwa konsentrasi massa terbagi dua, depan Koramil Kreung

Geukeuh dan Simpang Kraft. Adegan ditutup dengan kedatangan keempat

wartawan RCTI di Simpang Kraft.

Struktur Mikro (Semantik)

Latar awal adegan yang dipakai adalah latar situasi di mana deskripsi

wilayah Simpang Kraft itu berada. Latar ini bisa terlihat dari paragraf awal

adegan 7 sampai paragraf kelima. Detil situasi mengenai Simpang Kraft

didapat dari paragraf 1 sampai paragraf 5 contohnya, “Sekitar 10 meter dari

simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi

jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang,

96

terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat

terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di

sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara

toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga,” (paragraf

3). Atau detil yang terdapat pada paragraf 12, “Pemandangan itu jadi hal

menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan pelajar yang bersekolah di

sekitarnya.”

Maksud pada adegan ini terdapat pada paragraf pertama, “Markas ini

menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.” Maksud kalimat ini

adalah bahwa jika semakin meledaknya demonstrasi massa orang Aceh ini dan

menyerang markas ini, maka berakibat fatal. Bisa jadi akan banyak

persenjataan tentara Indonesia hilang atau bahkan dibomnya markas ini.

Praanggapan “Simpang Kraft bagai lautan manusia,” kalimat ini

bukanlah metafora belaka, namun yang awalnya adalah anggapan awal penulis,

diperkuat dengan data bahwa massa menumpuk dalam radius 300 meter.

Nominalisasi yang ada yaitu “Massa menumpuk dalam radius 300

meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-

laki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak

pagi,” (paragraf 11)

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Bentuk Kalimat aktif pada paragraf 7, “Di kantornya, Camat Marzuki

Muhammad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum.”

Koherensi pembeda, “Jumlah tentara di Arhanud Rudal Cuma ada satu

kompi. Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya tentara-

97

tentara itu, orang-orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di

meunasah,” (paragraf 6). Koherensi konjungsi „kausal‟, “Rapat itu bubar,

karena massa berdatangan ke kantor,” (paragraf 7). Koherensi kondisional,

“Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ,”

(paragraf 13). Kata Ganti yang digunakan tetap menggunakan kata ganti

„mereka‟.

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Pemilihan kata atau leksikon yang digunakan pada adegan 7 di antaranya

memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol (paragraf 8), menumpuk

(paragraf 10), spontanitas, pengerahan massa (paragraf 11).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis, metafora)

Tidak ada kata atau angka yang menonjol secara grafis pada adegan ini.

Sedangkan metafora antara lain lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas

raksasa (paragraf 2).

Tabel 12.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro Topik/ Tema Adegan puncak dari keseluruhan perspektif orang

Aceh dan wartawan

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Diawali dengan deskripsi panjang mengenai letak

daerah Simpang Kraft dan urgensi pertigaan ini

bagi kelancaran lintasan Banda Aceh-Medan

Di bagian tengah adegan, dirincikan kronologis

massa yang datang ke Simpang Kraft dari pukul

08.00 hingga menjelang pukul 12.00

Adegan ditutup dengan kedatangan keempat

wartawan RCTI ke Simpang Kraft

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar deskripsi lokasi Simpang Kraft dari paragraf 1

hingga paragraf 5

Detil Detil deskripsi dapat diambil contoh pada paragraf 3,

“Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat

melebar 10 meter dengan pembatas median,

membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan

kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan

98

toko dan warung.”

Maksud “Markas ini menyimpan peluru kendali buat

perlindungan daerah ini.” (paragraf 1)

Dari kalimat ini jelas menandakan betapa pentingnya

markas peluru kendali ini bagi Aceh

Praanggapan “Simpang Kraft bagai lautan manusia.” (paragraf

10)

Ditambahkan argumentatif atas kalimat di atas,

penulis memasukkan data bahwa dalam radius 300

meter massa telah berkumpul di Simpang Kraft

Nominalisasi “Massa menumpuk dalam radius 300 meter.

Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10

ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak

terus berdatangan secara bergelombang sejak

pagi,” (paragraf 11)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat aktif:

“Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin

sedang melakukan rapat persiapan pemilihan

umum.” (paragraf 7)

Koherensi Koherensi pembeda:

Bersamaan masuknya tentara-tentara itu, orang-

orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan

azan di meunasah,” (paragraf 6)

Koherensi konjungsi „kausal‟:

“Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke

kantor,” (paragraf 7)

Koherensi kondisional:

“Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu,

bergabung dengan massa di situ,” (paragraf 13)

Kata Ganti Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal

mereka”

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol

(paragraf 8), menumpuk (paragraf 10), spontanitas,

pengerahan massa (paragraf 11)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis -

Metafora lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas

raksasa (paragraf 2), gelombang massa,

mendinginkan suasana yang memanas (paragraf 7),

lautan manusia (paragraf 10), panas hatinya

(paragraf 11)

8). Analisis Teks Adegan 8 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Adegan kedelapan ini adalah elemen terpenting dari keseluruhan

adegan, karena adegan ini letak dari peristiwa Simpang Kraft tersebut

99

berlangsung. Setting adegan di Simpang Kraft pada pukul 12.00 siang.

Adegan dimulai dengan situasi massa makin tak terkendali dan memanas.

Empat wartawan RCTI tetap merekam gambar, bahkan sempat

mewawancarai koordinator lapangan (korlap) demonstrasi, Faisal. Tapi,

tiba-tiba truk datang dari arah Arhanud Rudal, tentara langsung

membentuk dua lapis barisan dan seperti kesetanan tentara menembaki

massa.

Tengah adegan ini, menceritakan detil bagaimana tampak emosi

para tentara dan seperti tak mengenal kemanusiaan, mereka menembak

dengan brutal. Azhari dan keempat wartawan RCTI menjadi saksi atas

pembunuhan tersebut. Azhari berlari ke arah yang lebih aman. Sedangkan,

wartawan RCTI menshot kejadian, meski mereka kehilangan moment awal

selama 10 menit pertama. Adegan ditutup dengan evakuasi korban yang

dilarikan ke rumah sakit sekitar.

Super Struktur (Semantik; Latar, Detil, Maksud,

Praanggapan, Nominalisasi)

Latar adegan ini adalah latar peristiwa, di mana peristiwa ini

menjadi latar utama dalam adegan 8. Detil adegan 8 terlihat pada kalimat,

“Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan apa saja yang mereka

bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan

kepala manusia.” (paragraf 3). Detil lainnya ”…sepeda kecil, sandal,

kayu, batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh pemiliknya yang

tadi panik berlarian.” (paragraf 92)

100

Maksud terdapat pada kalimat, “Nalurinya sebagai wartawan

sama sekali tak jalan” (paragraf 39). Maksudnya menerangkan situasi

ketika peristiwa terjadi tapi naluri Azhari sebagai wartawan tidak berjalan.

Ia sama sekali tidak mewawancarai atau memotret. “Imam merasa ajaib

bahwa tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka,”

(paragraf 106) Ketika tentara mengancam keempat wartawan RCTI tapi

mereka tidak mengambil kaset rekaman tersebut.

Salah satu Praanggapan adegan 8 yaitu “Selain itu, Azhari

merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak

tentara,” (paragraf 13) Alasannya Azhari tidak hanya masalah tentara tapi

ia merasa lebih aman mengamati di kejauhan supaya identitas

wartawannya tidak ketahuan. Sedangkan untuk nominalisasi yang ada

adalah “…di bawah sebuah pohon asam dekat sawah, 500 meter dari

simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal.

Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter,”

(paragraf 1). “Lima orang wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di

bale-bale, tertawa ceria…” (paragraf 10)

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk kalimat, Koherensi, Kata

Ganti)

Baik Bentuk kalimat aktif maupun pasif yang ada pada adegan 8

ini memang banyak tapi bisa diambil satu kalimat pasif sebagai contoh

yang merupakan perkataan Imam dalam rekaman reportasenya, “Pemirsa,

jatuhnya korban di Simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari

seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini.”

101

Koherensi Pembeda, “Antara kelompok tentara ini dan massa

hanya berjarak 20-an meter.” Kalimat ini menunjukkan perbedaan jarak

antara keduanya. Jika kalimat di atas dari paragraf pertama, maka kalimat

ini dari paragraf terakhir adegan 8. “Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang

Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh

bisa dilakukan lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan

Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe.” Koherensi pembeda kedua,

ditandai dengan penegasan kata „seandainya‟ yang menunjukkan

perbedaan antara dua situasi yang berbeda, konflik dan perdamaian.

Koherensi konjungsi „tapi‟ terdapat pada, “Tadinya massa

bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika

tahu ada kamera televisi merekam aksi mereka.” (paragraf 3)

Kata Ganti yang digunakan menggunakan kata ganti orang ketiga

jamak yaitu „mereka‟ serta kata ganti orang pertama jamak „kami‟.

Penggunaan kata ganti „kami‟ terletak pada dialog narasumber, “Kami

dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh menculik orang Rudal,

sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu," teriaknya dengan emosi

dari megafone.” (paragraf 34)

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Leksikal yang dipilih pada adegan 8 di antaranya referendum

(paragraf 6), berekerudung (paragraf 10), menyorot (paragraf 11),

serombongan orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung, menyemut

(paragraf 14), dicopot, menanggalkan (paragraf 16), senyap (paragraf 25),

rakyat bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya (paragraf 26), provokator,

102

dituding (paragraf 27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40), rebah

(paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67), berjilbab (paragraf 68), tak

bernyawa (paragraf 75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas

(paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labi-labi (paragraf 105),

meninggal (paragraf 108), sok jagoan (paragraf 112).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis, Metafora)

Sebutan kata kasar “pa‟i” kembali hadir pada adegan kedelapan ini,

sebelumnya ada pada adegan 6. Pa’i menjadi salah satu elemen Grafis

yang menonjol, karena berulang kali disebutkan dalam adegan ini. Grafis

lainnya yaitu massa berkali-kali meneriakkan kata-kata Islam, seperti

seruan Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Inalillahi. Kata-kata ini baru ada

dalam adegan 8, pada adegan-adegan sebelumnya tidak dimasukkan sama

sekali oleh Chik Rini. “Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu

bersahut-sahutan dari ujung ke ujun,” (paragraf 4). Elemen grafis ketiga

adalah bunyi tembakan dari tentara. Bunyi ini dimasukkan oleh Chik Rini

pada adegan ke-8, sebagai visualisasi atas peristiwa pembunuhan tersebut.

“Tiba-tiba ... trat .... trat .... trat .... suara senjata meletus dengan keras.

Trat, trat, trat .... dengan cepat suara senjata susulan terdengar bersahut-

sahutan,” (paragraf 46).

Metafora di antaranya ketegangan serius (paragraf 1), melompat

kegirangan (paragraf 3), gambar lautan massa, bunyinya bagai suara

dengungan puluhan ribu lebah (paragraf 7), matahari tepat di atas kepala,

panasnya bagai membakar, memanaskan suasana, peluh mengucur deras

(paragraf 8), seakan tenggelam (paragraf 12), berpikiran kalut, di luar

103

kendali (paragraf 21), memancing emosi (paragraf 30), matahari

memancarkan sinar yang cukup panas (paragraf 33), massa makin tak

terkendali (paragraf 40), suasana memanas (paragraf 42), suara itu

bagaikan geledek yang menyambar, melepaskan peluru-peluru tajam

(paragraf 46), seperti kesetanan (paragraf 48), jatuh terjengkang, secepat

kilat (paragraf 39), tembakan bertubi-tubi (paragraf 64), Imam terkejut

bagai disambar petir (paragraf 73), malaikat pencabut nyawa (paragraf

77), tentara itu bagai mengejar dirinya (paragraf 88), melindungi

kameranya seperti melindungi bayinya (paragraf 94), mengaung-ngaung

serasa menyayat hati (paragraf 110), melumuri dadanya dengan darah

korban (paragraf 112).

Tabel 13.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro Topik/ Tema Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul 12

siang hingga datangnya bala bantuan

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Adegan dimulai pada pukul 12.00 siang, wartawan

RCTI menshot setiap adegan dari massa

Di bagian tengah adegan, tentara menembaki massa

seperti kesetanan dan tak mengenal kemanusiaan.

Wartawan RCTI kehilangan moment pertamanya

selama 10 menit pertama. Massa berhamburan

menyelamatkan diri.

Adegan ditutup dengan datangnya bantuan dan

evakuasi korban pada pukul 13.05

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar adegan 8 adalah latar peristiwa di mana pada

adegan ini adalah inti cerita dari keseluruhan adegan

yang ada

Detil “….Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul

di antara ribuan kepala manusia.” (paragraf 3)

Maksud “Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak

jalan” (paragraf 39)

Maksud kalimat ini, Azhari hanyalah menjadi

penonton dari keramaian massa dan tidak melakukan

profesinya sebagai jurnalis

Praanggapan “Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu

masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara,”

(paragraf 13)

104

Anggapan kalimat seperti ini adalah demi keamanan

dirinya menjadi wartawan

Nominalisasi “… 500 meter dari simpang, ada 20 tentara lain

yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara

kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-

an meter” (paragraf 1)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat pasif:

Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang Kraft ini

barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di

bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini.” (paragraf 113)

Koherensi Koherensi pembeda:

“Antara kelompok tentara ini dan massa hanya

berjarak 20-an meter” (paragraf 1)

Koherensi konjungsi „tapi‟:

“Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi

suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu

ada kamera televisi merekam aksi mereka.”

(paragraf 3)

Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟ dan kata

ganti orang pertama jamak „kami‟ yaitu “Kami

dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh

menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu

menahu masalah itu,” teriaknya dengan emosi dari

megafone.” (paragraf 34)

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon referendum (paragraf 6), berekerudung (paragraf

10), menyorot (paragraf 11), serombongan

orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung,

menyemut (paragraf 14), dicopot, menanggalkan

(paragraf 16), senyap (paragraf 25), rakyat

bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya

(paragraf 26), provokator, dituding (paragraf

27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40),

rebah (paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67),

berjilbab (paragraf 68), tak bernyawa (paragraf

75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas

(paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labi-

labi (paragraf 105), meninggal (paragraf 108),

sok jagoan (paragraf 112). Struktur mikro

(Retoris) Grafis Sebutan kasar kata pa‟I, seruan kata-kata Islam

seperti Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Innalillahi.

Grafis ketiga, bunyi visualisasi dari suara tembakan

pada paragraf 46

Metafora ketegangan serius (paragraf 1), melompat

kegirangan (paragraf 3), gambar lautan massa,

bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah

(paragraf 7), matahari tepat di atas kepala, panasnya

bagai membakar, memanaskan suasana, peluh

mengucur deras (paragraf 8), seakan tenggelam

105

(paragraf 12), berpikiran kalut, di luar kendali

(paragraf 21), memancing emosi (paragraf 30),

matahari memancarkan sinar yang cukup panas

(paragraf 33), massa makin tak terkendali (paragraf

40), suasana memanas (paragraf 42), suara itu

bagaikan geledek yang menyambar, melepaskan

peluru-peluru tajam (paragraf 46), seperti kesetanan

(paragraf 48), jatuh terjengkang, secepat kilat

(paragraf 39), tembakan bertubi-tubi (paragraf 64),

Imam terkejut bagai disambar petir (paragraf 73),

malaikat pencabut nyawa (paragraf 77), tentara itu

bagai mengejar dirinya (paragraf 88), melindungi

kameranya seperti melindungi bayinya (paragraf 94),

mengaung-ngaung serasa menyayat hati (paragraf

110), melumuri dadanya dengan darah korban

(paragraf 112).

9). Analisis Teks Adegan 9 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Adegan ini didahului dengan suasana korban Simpang Kraft yang

dilarikan ke rumah sakit di sekitar Kreung Geukeuh, Batuphat, dan

Lhokseumawe. Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT. Arun LNG,

untuk melanjutkan reportase mereka. Azhari menaikkan berita pertamanya

pada jam 3 siang. RCTI memunculkan berita pertamanya sebagai headline

pukul 18.30. Pukul 21.00, RCTI dan semua televisi swasta merelai siaran

Dunia Dalam Berita milik TVRI. Adegan diakhiri dengan pengiriman tiga

kaset rekaman hasil reportase wartawan RCTI ke RCTI, Associated Press, dan

Reuters pada pukul 21.00.

Super Struktur (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa, di mana dari paragraf pertama

hingga paragraf keempat menceritakan hal tersebut. Detil peristiwa terdapat

pada kalimat, “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan

106

kondisi mengenaskan,” (paragraf 3). Detil ini menrincikan kondisi korban di

rumah sakit. Ada dua elemen maksud yang ada pada adegan 9 ini di antaranya,

“Sampai di situ para petinggi militer di Lhokseumawe belum mengetahui

bahwa ada wartawan RCTI jadi saksi mata peristiwa itu,” (paragraf 16).

Maksud kedua, “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong,”

(paragraf 18). Kalimat pertama menerangkan ketika semua stasiun televisi

swasta merelai siaran dari TVRI, mereka belum mengetahui kalau ada

wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa tersebut. Sedangkan

kalimat kedua menjelaskan anggapan dari masyarakat bahwa RCTI

menyiarkan fakta bohong karena merelai siaran dari TVRI tersebut.

Praanggapan adegan 9 terletak di dialog Imam Wahyudi kepada redaksi

RCTI di Jakarta, “Imam menelepon RCTI Jakarta. Beritanya Cuma satu. “Ada

kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up…”

(paragraf 6). Peristiwa Simpang Kraft ini sama dengan Santa Cruz yang terjadi

pada 12 November 1991, begitulah anggapan dari Imam. Nominalisasi,

“Azhari menyebutkan, belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka,”

(paragraf 12), “Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan

lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang,” (paragraf 13).

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Bentuk kalimat pasif yang terdapat pada paragraf pertama, “Korban-

korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit

dan klinik sekitar Krueng Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe.” Koherensi

pembeda yang membedakan dua hal yang berbeda namun satu peristiwa yang

sama, secara kontras terdapat pada paragraf 11, “Imam terus bergerak mencari

107

data korban ke rumah sakit Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya

lebih dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa tertampung. Mereka

ditidurkan di lantai lorong rumah sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik

Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut

Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup dan tampak beberapa pasukan

marinir berjaga di gardu.”

Koherensi dengan konjungsi „kausalitas‟ yaitu “Mereka merasa harus

segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan

gambar yang ekslusif yang pasti jadi incaran militer.” Koherensi kausalitas

lainnya, “Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia.

Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara

terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal,

sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga,” (paragraf 17).

Kata Ganti yang digunakan tetap kata ganti orang ketiga jamak

„mereka‟, ditambah dengan kata ganti orang kedua tunggal „kau.‟ “Salah

seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam, “Kau harus segera pergi

dari Lhokseumawe.” (paragraf 9). Serta terdapat kata ganti kata ganti orang

kedua jamak „kalian‟, “… kalian harus segera follow up…” (paragraf 6).

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Leksikal yang dipilih Chik Rini antara lain tak bernyawa, digeletakkan

(paragraf 3), terpaku (paragraf 5).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Tidak ada grafis. Metafora adegan 9 yaitu tercium sangat kuat (paragraf

3), Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis keluarga

108

korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Suasana agak kacau,”

(paragraf 4), seperti orang linglung setelah kerja maraton (paragraf 14),

malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam (paragraf 15).

Tabel 14.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9

Struktur

Wacana

Elemen Temuan

Struktur

Makro

Topik/ Tema Para korban pembantaian dilarikan ke rumah sakit

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Di bagian awal adegan, para korban penembakan

Simpang Kraft dibawa ke rumah sakit (paragraf 1)

Pada bagian isi adegan diceritakan tentang

reportase dari Azhari dan empat wartawan RCTI di

rumah sakit serta persaingan akan berita eksklusif

Simpang Kraft yang masuk ke dalam media

nasional

Adegan ditutup dengan adanya pengiriman kaset

rekaman kepada pihak RCTI, Associated Press, dan

Reuters

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa ketika

korban-korban dilarikan ke rumah sakit

Detil “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda

tewas dengan kondisi mengenaskan,” (paragraf 3)

Dari latar tersebut, dijelaskan pula selanjutnya

kondisi dari korban Simpang Kraft

Maksud “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita

bohong,” (paragraf 18)

RCTI telah merelai beritanya dari siaran TVRI tapi

orang Aceh mengangganpnya itu adalah berita RCTI.

Padahal wartawan RCTI menjadi saksi dari

pembunuhan tersebut

Praanggapan “…Ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan

kalian harus segera follow-up…” (paragraf 6)

Peristiwa Simpang Kraft ini dianggap oleh Imam

Wahyudi sama seperti yang terjadi di Timor Timur

pada 12 November 1991, di mana tentara Indonesia

membubarkan massa dengan cara menembaki

mereka

Nominalisasi “Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas

dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa

penembakan tadi siang,” (paragraf 13)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat pasif:

“Korban-korban penembakan di Simpang Kraft,

dievakuasi ke beberapa rumah sakit….” (paragraf 1)

109

Koherensi Koherensi pembeda:

“…Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara

Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan

rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi (paragraf

11)

Koherensi konjungsi „kausalitas‟:

“Mereka merasa harus segera mengamankan

kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu

merupakan gambar yang eksklusif yang pasti jadi

incaran militer” (paragraf 11)

Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟ dan kata

ganti orang pertama kedua tunggal „kau‟, “… Kau

harus segera pergi dari Lhokseumawe,” (paragraf 9)

Kata ganti orang kedua jamak „kalian‟, ““… kalian

harus segera follow up…” (paragraf 6)

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon tak bernyawa, digeletakkan (paragraf 3), terpaku

(paragraf 5)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis -

Metafora tercium sangat kuat (paragraf 3), Rintihan kesakitan

terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis

keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah

sakit. Suasana agak kacau,” (paragraf 4), seperti

orang linglung setelah kerja maraton (paragraf 14),

malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam

(paragraf 15)

10). Analisis Teks Adegan 10 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Awal adegan dimulai dengan adanya penyiaran peristiwa Simpang Kraft

di Nuansa Pagi RCTI pukul 06.00. Tapi karena pada malam sebelumnya,

semua stasiun televisi swasta telah merelai siaran berita Dunia Dalam Berita

dari TVRI, hal itu yang membuat orang Aceh tidak percaya kepada wartawan,

khususnya terhadap RCTI dan Antara. Mereka pun mendapatkan ancaman dan

terror baik itu dari orang Aceh, GAM, maupun militer Indonesia. Adegan

ditutup dengan sampainya kaset rekaman Ali Raban yang disiarkan Reuters ke

pelanggannya seluruh dunia dan gambar Fipin Kurniawan yang disiarkan di

Seputar Indonesia pukul 18.30 pada Rabu, 5 Mei 1999.

110

Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan,

Nominalisasi)

Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penyiaran berita di Nuansa Pagi

RCTI pukul 06.00 pada Selasa, 4 Mei 1999. Detil peristiwa kecaman dari

orang Aceh kepada wartawan terlihat pada kalimat, “Imam seperti dikeroyok,

oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan

Fipin berdiri memisah, menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai

tudingan,” (paragraf 6).

Elemen Maksud adegan 10 yaitu “Bahwa wartawan itu harus berpijak

pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa yang terjadi itulah kebenaran.

Dan bagi saya menyuarakan kebenaran itu jihad,” (paragraf 20). Maksud dari

pernyataan Imam Wahyudi ini merupakan elemen dasar dari seorang

wartawan, seperti Sembilan Elemen Dasar yang dikemukakan oleh Bill Kovach

bahwa seorang wartawan haruslah berpijak kepada kebenaran.

Praanggapan adegan 10 adalah, “Jumlah korban masih simpang siur.

Berbagai versi berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah sakit,”

(paragraf 22). Anggapan inilah yang faktanya terjadi di lapangan, baik

pemberitaan dari media nasional maupun data dari rumah sakit.

Nominalisasi sebagai kisaran dari jumlah korban Simpang Kraft serta

lanjutan dari praanggapan di atas yaitu “Tapi data lengkap dari tim pencari

fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang

hilang,” (paragraf 22).

Super Struktur (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

111

Bentuk kalimat pasif sekaligus menjadi bentuk kalimat induktif yang

menjadi inti kalimat pada akhir paragraf dan adegan merupakan pon terpenting

dari adegan 10. Kalimat tersebut yaitu, “Tragedi ini kemudian lebih dikenal

sebagai Peristiwa Simpang Kraft,” (paragraf 39).

Elemen Koherensi kausalitas adegan 10 terdapat tiga antara lain “Dia

mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang di Lhokseumawe

marah pada RCTI karena pemberitaan semalam,” (paragraf 2). Kedua, Mereka

protes karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan

media,” (paragraf 21). Ketiga, Orang itu mengancam akan membakar rumah,

karena Umar dianggap membuat berita bohong di RCTI,” (paragraf 34).

Koherensi konjungsi „tapi‟ terdapat paragraf akhir pada adegan 10,

“Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana

sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh,”

(paragraf 40).

Adegan 10 memiliki tiga macam kata ganti. Pertama, kata ganti orang

ketiga jamak „mereka‟, kata ganti orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti

orang pertama tunggal „saya‟. Namun penggunaan kata saya tersebut, terdapat

dalam dialog narasumber, “Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan

berapa korbannya. Saya punya data dari rumah sakit,” sahut Imam.( paragraf

14)

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Chik Rini sebagai penulis dari naskah ini memilih leksikal di antaranya

tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerca (paragraf 4), mengerubungi,

dikeroyok, dikecam (paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf 21),

112

mengintrograsi (paragraf 25), menyodorkan (paragraf 27), terpelongo, mati

(paragraf 30), argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraf 38), tragedi

(paragraf 39).

Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora)

Dalam adegan ini, tidak ada kata atau kalimat yang menggunakan tanda

petik di atasnya seperti pada adegan-adegan sebelumnya tapi ada kalimat yang

selalu ditekankan oleh penulis. Kalimat “RCTI pembohong” disebutkan

sebanyak lima kali dalam satu kali adegan “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft”. Seakan-akan Chik Rini ingin menunjukkan kepada masyarakat bhwa

dengan adanya beragam konflik di Aceh, khususnya peristiwa Simpang Kraft

telah membuat orang Aceh stereotip terhadap media dan wartawan.

Metafora adegan 10 yaitu seorang pemuda bertopi taliban (paragraf 3),

bereaksi keras (paragraf 21), rasa takut yang tinggi (paragraf 37),

membangkitkan emosi (paragraf 39), sebuah drama berdarah sekali lagi

terkelupas dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (paragraf 40).

Tabel 14.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10

Struktur

Wacana

Elemen Temuan/ Hasil Analisis

Struktur

Makro

Topik/ Tema Laporan berita pertama mengenai peristiwa Simpang

Kraft dilaporkan oleh wartawan RCTI

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Penyiaran berita Simpang Kraft di Nuansa Pagi

RCTI pukul 06.00, Selasa 4 Mei 1999 (paragraf 1)

Pada bagian isi adegan menceritakan bagaimana

orang Aceh memperlakukan wartawan pasca

peristiwa Simpang Kraft. Orang Aceh menjadi

stereotip terhadap pemberitaan yang disiarkan oleh

media nasional

Adegan ditutup dengan penayangan kaset rekaman

yang telah dikirim oleh Umar HN pada hari

sebelumnya serta ditayangkan pada Rabu, 5 Mei

1999. Meski RCTI telat satu setengah jam

menayangkan gambar Fipin dibandingkan dengan

gambar Ali Raban

113

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penayangan

berita Simpang Kraft di media nasional maupun

internasional

Detil “Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda

bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban,

dan Fipin berdiri…” (paragraf 6)

Pada kalimat di atas menceritakan bagaimana

munculnya rasa ketidakpercayaan orang Aceh

terhadap wartawan

Maksud “Bahwa wartawan itu harus berpijak pada

kebenaran, pada apa yang terjadi….” (paragraf 20)

Seperti yang diungkapkan oleh Bill Kovach bahwa

seorang wartawan haruslah berpijak kepada

wartawan. (Sembilan Elemen Dasar Jurnalisme, Bill

Kovach)

Praanggapan Pada paragraf 22 diterangkan mengenai data korban

Simpang Kraft yang masih simpang siur. Chik Rini

menambahkan pula konstruksi korban penembakan

Simpang Kraft dari tim pencari fakta

Nominalisasi “Tapi data lengkap dari tim pencari fakta

menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan

sepuluh orang hilang,” (paragraf 22)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat pasif:

“Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai

Peristiwa Simpang Kraft” (paragraf 39)

Koherensi Koherensi kausalitas:

Mereka protes karena menganggap jumlah

korban lebih banyak dari yang diberitakan

media,” (paragraf 21)

Koherensi konjungsi „tapi‟:

Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi

Indonesia melihat bagaimana sebuah drama

berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal

dari Aceh,” (paragraf 40)

Kata Ganti Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟, kata ganti

orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang

pertama tunggal „saya‟

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerca

(paragraf 4), mengerubungi, dikeroyok, dikecam

(paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf

21), mengintrograsi (paragraf 25), menyodorkan

(paragraf 27), terpelongo, mati (paragraf 30),

argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraf

38), tragedi (paragraf 39)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis Kalimat “RCTI adalah pembohong” disebutkan

sebanyak lima kali dalam adegan 10 ini

114

Metafora seorang pemuda bertopi taliban (paragraf 3),

bereaksi keras (paragraf 21), rasa takut yang tinggi

(paragraf 37), membangkitkan emosi (paragraf 39),

sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas

dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (paragraf

40)

11). Analisis Teks Adegan 11 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Super Struktur (Skematik)

Adegan kesebelas ini disebut juga dengan epilog atau penutup. Disebut

epilog karena adalah akhir dari adegan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”.

Dalam teori elemen-elemen jurnalisme sastrawi Robert Vare diterangkan

mengenai kebaruan maka epilog ini adalah konteks kekinian yaitu tiga tahun

pasca peristiwa Simpang Kraft yaitu tahun 2002 (saat naskah ini pertama

dipublikasikan di Majalah Pantau pada Mei 2002).

Skematik adegan epilog ini diawali oleh tokoh Imam Wahyudi yang

mengalami trauma pasca peristiwa tersebut. Berlanjut kepada tokoh-tokoh

setelahnya yaitu Fipin Kurniawan, Ali Raban, dan Umar HN. Isi adegan 11

juga menceritakan proses pengadilan yang tak adil terhadap para korban

Simpang Kraft. Chik Rini pun berhasil menemukan „man behind the scene‟

bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memprovokasi massa dan

melibatkan diri di balik peristiwa tersebut (terdapat pada pernyataan Camat

Dewantara Marzuki Muhammad Amin ketika bertemu dengan Faisal, korlap

dari demonstrasi di Simpang Kraft).

Adegan diakhiri dengan masih adanya ketidakpercayaan orang Aceh

(korban atau keluarga korban penembakan) kepada wartawan, meski peristiwa

Simpang Kraft telah berlalu tiga tahun lalu.

115

Struktur Mikro (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)

Latar adegan 10 adalah latar pacsa peristiwa tersebut dalam konteks

kekinian yaitu tiga tahun setelahnya. Detil deskripsi Simpang Kraft pada epilog

ini juga dijelaskan oleh Chik Rini, sama seperti tiga tahun lalu (pada paragraf

6). Elemen maksud terdapat pada kalimat, “Umar berkali-kali minta saya agar

menulis cerita ini secara hati-hati,” (paragraf 5). Maksudnya adalah peristiwa

ini adalah peristiwa sensitif dan banyak wartawana yang mendapatkan

ancaman serta teror atas pemberitaan peristiwa Simpang Kraft, apalagi bagi

seorang wartawan perempuan Aceh.

Praanggapan ini adalah ekspresi atas kekecewaan mereka terhadap

ketidakadilan yang dialami. “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM

(lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-

pa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh,"

(paragraf 18). Pernyataan ini hanyalah representatif dari salah satu korban saja,

tapi hal inilah yang juga dirasakan oleh orang Aceh. Stereotif, lelah, serta

kekecawaan tersebut tetap sama, baik itu pada Mei 1999 hingga tiga tahun

setelahnya.

Elemen nominalisasi pada adegan 11 terdapat dalam, “….ditembak mati

tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang

tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat…” (paragraf 14) dan “…dengan

tuntutan Rp 83 miliar…” (paragraf 15).

Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

Bentuk kalimat aktif terlihat pada, “Pihak militer Indonesia secara

resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi

116

massa,” (paragraf 9). Koherensi pembeda, “Pasca Peristiwa Simpang Kraft,

hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat

dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan

Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8). Koherensi

kausalitas, “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur,

karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang

markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf 10), “Peradilan itu belum

pernah berlangsung karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan

hakim setelah hampir seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total,”

(paragraf 15).

Adegan kesebelas ini memiliki keunikan dari segi elemen kata ganti

karena dalam adegan ini penulis memasukkan dirinya ke dalam teks naskah

dengan penggunaan kata ganti orang pertama tunggal „saya.‟ Ia

mengkonstruksi dirinya seolah-olah berada di sana serta untuk menunjukkan

konteks kekinian dari naskah. Penggunaan „saya‟ dimulai pada paragraf kedua

dan disebutkan sebanyak 15 kali. “Tapi dia menolak bicara dengan saya.

"Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat)

dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum. Padahal

mereka sudah tembak kami orang Aceh." (paragraf 18) Selain „saya‟,

digunakan pula kata ganti „mereka‟, „kami‟, dan „dia‟.

Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)

Pemilihan kata atau leksikon yang dipilih oleh Chik Rini yaitu

intimidasi, kekerasan, teror (paragraf 5), tewas, menerjang (paragraf 6), aksi

117

(paragraf 9), pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi (paragraf

15), pesimis (paragraf 16).

Struktur Mikro (Reoris; Grafis dan Metafora)

Dilihat dari segi grafis, „senjata AK 47‟ lebih ditonjolkan oleh penulis.

Dengan adanya penjelasan bahwa ada massa yang membawa jenis senjata ini,

membuat militer Indonesia yakin bahwa GAM di balik aksi provokasi massa.

Hal ini dijelaskan pada paragraf 9. Grafis kedua yaitu penyebutan kata‟pa‟i‟

diulang kembali pada akhir adegan epilog ini, sebagai pengenasan bahwa orang

Aceh masih tidak menyukai pa‟i.

Metafora adegan 11 terdiri atas dikejar-kejar bayangan (paragraf 1),

menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang (paragraf 6), pada suatu

siang berudara mendung, Mei berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tesentuh

hukum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana kacau dan memanas,

kerumunan massa (paragraf 9), memakan korban (paragraf 10), pohon itu

berlubang sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11), kasus peristiwa

Simpang Kraft bagai tenggelam (paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15),

peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum (paragraf 18).

Tabel 16.

Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11

Struktur

Wacana

Elemen Temuan/ Hasil Analisis

Struktur

Makro

Topik/ Tema Topiknya adalah dua tahun pasca peristiwa tersebut

yang menceritakan kondisi para tokoh

Super struktur

(skematik) Skema/ Alur Imam Wahyudi mengalami trauma pasca peristiwa

Simpang Kraft. Jika ia kembali ke sana, ia selalu

menyempatkan diri ke Simpang Kraft dan selalu

mengenang peristiwa tersebut (paragraf 1)

Pada bagian isi adegan dilanjutkan dengan

pernyataan resmi militer yang menyatakan bahwa

pihak GAMlah di balik aksi provokasi massa. Chik

Rini membuktikannya dengan dimasukkannya

dialog antara Camat Marzuki dan Faisal (korlap

118

demonstrasi Simpang Kraft) saat itu. Faisal

menunjukkan dirinya bahwa ia dari GAM

Pasca peristiwa, NGO HAM Aceh dan para pihak

yang peduli dengan peristiwa Simpang Kraft masih

menuntut keadilan para korban, dengan tuntutan

hukum perdata Rp 83 miliar tapi belum jua

mendapatkan keadilan

Stereotip, sikap anti Jawa (pa‟i), dan tidak lagi

percaya dengan LSM serta wartawan ini masih ada

pada orang Aceh meski peristiwa itu telah berlalu

selama tiga tahun (penutup adegan 11)

Struktur mikro

(semantik) Latar Latar adegan 11 adalah latar pasca peristiwa Simpang

Kraft yaitu tiga tahun setelah peristiwa terjadi

Detil Detil kondisi dan deskripsi letak Simpang Kraft sama

seperti tiga tahun setelahnya. Detil ini dijelaskan oleh

Chik Rini pada paragraf 6

Maksud “Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita

ini secara hati-hati,” (paragraf 5)

Maksudnya, dalam menuliskan peristiwa ini

sekaligus ditulis oleh wartawan Aceh harus secara

hati-hati. Peristiwa ini masih membekas dalam hati

orang Aceh

Praanggapan “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM

(lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi

tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum.

Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh,"

(paragraf 18)

Anggapan inilah yang masih berkembang dalam

orang Aceh, khususnya korban maupun keluarga

korban dari peristiwa Simpang Kraft tersebut

Nominalisasi “….ditembak mati tentara bersama 51 murid

pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang

tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat…”

(paragraf 14)

Struktur mikro

(sintaksis) Bentuk

Kalimat

Bentuk kalimat aktif:

“Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan

Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi

provokasi massa,” (paragraf 9)

Koherensi Koherensi pembeda:

“Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua

prajurit dan komandan di institusi militer

setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini

prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon

113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8)

Koherensi konjungsi „kausalitas‟:

“Tentara menganggap mereka sudah bertindak

sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh

Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang

markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf10)

119

Kata Ganti Kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟, kata ganti

orang pertama tunggal „saya‟, kata ganti orang

pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang ketiga

tunggal „dia‟

Struktur mikro

(stilistik) Leksikon intimidasi, kekerasan, teror (paragraf 5), tewas,

menerjang (paragraf 6), aksi (paragraf 9),

pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi

(paragraf 15), pesimis (paragraf 16)

Struktur mikro

(Retoris) Grafis Senjata AK 47 yaitu senjata yang sering digunakan

oleh GAM disebutkan di dalam naskah sebagai

pembukti bahwa GAMlah yang berada di balik

peristiwa Simpang Kraft dan penggunaan kata pa‟i

masih disebutkan meski peristiwa tekah berlalu tiga

tahun setelahnya

Metafora dikejar-kejar bayangan (paragraf 1),

menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang

(paragraf 6), pada suatu siang berudara mendung,

Mei berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tesentuh

hukum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana

kacau dan memanas, kerumunan massa (paragraf 9),

memakan korban (paragraf 10), pohon itu berlubang

sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11),

kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam

(paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15), peluru

bersarang di punggungnya, tidak kena hukum

(paragraf 18)

2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Dalam memahami sebuah teks, kognisi sosial menjadi hal terpenting. Pada

umumnya teks diasumsikan tidak mempunyai makna namun anggapan tersebut

salah karena teks tersebut diberikan makna oleh si pemakai bahasa (penulis).

Makna inilah yang dikonstruksi oleh penulis.

Dalam menganalisa struktur kedua wacana van Dijk ini yaitu kesadaran

mental pengarang. Sama halnya seperti naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang

Kraft,” naskah ini tidak terlepas dari konstruksi teks serta mental dari penulis

yaitu Chik Rini. Tentunya, Chik Rini memiliki memiliki nilai, pengaruh, dan

ideologi dari kehidupannya yang memengaruhi terbentuknya teks tersebut.

120

Wacana tentang Aceh yang diangkat dalam Majalah Pantau Edisi Mei

2002 rubrik Reporter dari Lapangan merupakan peristiwa yang telah terlewati tiga

tahun lamanya, sebelum naskah tersebut dipublikasikan. Majalah Pantau adalah

majalah bergenre jurnalisme sastrawi yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus

Informasi atau ISAI (1999-2003) dan Yayasan Pantau (Desember 2003-Mei 2004)

dengan mengandalkan 70% isinya dari kontributor. Kontributor tersebut bekerja

secara freelance tergantung kepada berita yang mereka kirimkan kepada Pantau.

Dikutip dari wawancara ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana

proses pra produksi sebelum berita diangkat, Imam Sofwan sebagai staf redaksi

Yayasan Pantau menceritakan prosedur awal perencanaan liputan, “Biasanya

mereka (kontributor) ngajuin liputan. Ngajuin rencana liputan, semacam proposal

liputan. Apa yang akan dia liput, siapa saja yang akan dijadikan narasumber,

temanya, outline tulisannya, dan biaya liputannya. Mereka bikin rencana singkat.

Kemudian ada yang menjadi consultant-nya, yang akan ngedit itu nanti siapa.

Nanti mereka langsung ketemu dengan editornya, mungkin ada diberikan

masukan bacaan apa yang perlu dibaca, narasumber siapa saja yang perlu ditemui,

dikasih masukan. Yah, diskusi langsung ke editornya.”1

Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga mengakui

bahwa pada mulanya ia berdiskusi kepada Andreas Harsono mengenai rencana

liputannya. Awalnya, ia ingin meliput tentang komandan intelejen di Aceh yang

membunuh empat aktivis GAM tapi karena aksesnya susah maka ia tidak jadi.

Lalu temannya menceritakan tentang sosok Imam Wahyudi sebagai wartawan

yang trauma. Ketika ia ke Jakarta, ia berkonsultasi dengan Andreas Harsono.

1 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3

November 2010 pkl. 14.00 WIB

121

Wacana tema liputan ini menarik perhatian Andreas. Ia bilang, “Saya tertarik

dengan Aceh karena kekejaman-kekejaman yang terjadi di sana.”

Untuk mengetahui sejauh mana penulis mencampurkan pengetahuan yang

ia miliki ke dalam tulisannya, dalam hal ini van Dijk mempunyai empat elemen

untuk mengetahui strategi wartawan atau penulis dalam memahami peristiwa.

a. Strategi dalam Memahami Peristiwa

Strategi yang digunakan van Dijk untuk mengetahui model yang

digunakan wartawan atau penulis naskah dalam memahami peristiwa

Simpang Kraft di Aceh pada 3 Mei 1999 adalah dengan melakukan empat

strategi.

Strategi yang pertama itu adalah seleksi. Seleksi adalah strategi

yang kompleks untuk menunjukkan bagaimana sumber, peristiwa, dan

informasi diseleksi oleh wartawan kemudian ditampilkan ke dalam berita.

Setiap media maupun wartawan memiliki ideologinuya masing-masing.

Majalah Pantau merupakan majalah bulanan mengenai media dan

jurnalisme. Dalam penentuan dan pemilihan tema liputan di Majalah

Pantau didiskusikan oleh manajemen redaksi Pantau dengan kontributor

Pantau. Setelah disetujui oleh semua redaksi Pantau, kontributor

melanjutkan reportase.

Tema liputan Chik Rini disetujui oleh Andreas Harsono mengenai

Aceh tentang peristiwa apa pun namun tidak terlepas seputar media dan

jurnalisme. Akhirnya, disepakati tentang peristiwa Simpang Kraft yaitu

pembunuhan terhadap orang Aceh yang dilakukan oleh militer Indonesia.

Untuk pemilihan narasumber, Chik Rini yang memilihnya sendiri Ia

122

mewawancarai sekitar 30 sampai 50 narasumber serta mencari data

mengenai peristiwa tersebut dalam kurun waktu lima bulan, termasuk

menuliskan naskah.

Kedua yaitu reproduksi. Setelah menggunakan strategi pertama

yaitu penyeleksian tema yang dipilih, reproduksi kisah yang berkaitan

dengan perolehan informasi dari narasumber. Dalam hal ini, Chik Rini

mencari data sebanyak-banyaknya ketika reportase dan

mengkonfirmasikan kembali kepada narasumber. Selain itu juga, editor

naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” (Andreas Harsono)

mengkroscek setiap data, dialog narasumber, detil kejadian, serta hal-hal

kecil lainnya untuk ditanyakan kembali kepada Chik Rini. Supaya

informasi yang didapatkan Chik Rini benar-benar akurat dan harus

dikroscek lagi kepada narasumber ketika editing berlangsung, sebelum

sampai kepada publik.

Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini karena ia sampai terkejut

dengan proses editing Majalah Pantau. “Apa maksud ini? Benar nggak dia

berkata seperti ini? Kalimat panjang jadi satu makanya luar biasa belajar

editing di Pantau. Mas Andreas yang bolak-balikin naskahnya. Proses

editing ini mulai Maret sampai April tapi bolak balik. Tapi itu hanya

menceritakan dua atau tiga hari peristiwa. Ada empat dengan yang

terbarukan itu.”2

Strategi ketiga adalah kesimpulan. Setelah penyeleksian tema serta

narasumber dan reproduksi informasi dari narasumber, selanjutnya adalah

2 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan

Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan

123

proses penyimpulan. Data seperti kliping koran dan, informasi narasumber

dan lainnya dikemas dalam satu teks naskah utuh, yang didalamnya terbagi

dalam adegan demi adegan. Konstruksi per adegan ini termasuk ke dalam

elemen jurnalisme sastrawi.

Dari banyaknya 50 narasumber tersebut, ia pilah kepada tokoh

utama yaitu wartawan. Narasumber utama yaitu Imam Wahyudi sebagai

pengikat, ia menuliskan siapa saja yang berada dalam lingkaran Imam

(Umar HN, Fipin Kurniawan, Ali Raban), kemudian ada Azhari wartawan

ANTARA, Camat Dewantara Marzuki Muhammad, dan tokoh pendukung

lainnya. Mereka adalah para tokoh yang terpencar hingga Chik Rini harus

mempertemukan mereka ke dalam satu titik. Tokoh-tokoh itu tidak

dipertemukan secara langsung dan berinteraksi, hanya disebutkan “Azhari

melihat Umar HN.” Mereka dipertemukan oleh satu lokasi yaitu Simpang

Kraft.

Pada strategi ini, Chik Rini tidak hanya memasukkan dialog

narasumber ke dalam teks saja, tapi deskripsi situasi serta sense

penglihatan dan pendengaran ketika mereportase juga dimasukkan

olehnya. Seperti yang terdapat pada paragraf kedua adegan pertama,

“Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan

empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas

belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api.

Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang

penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.”

124

Sesuai dengan genre jurnalisme sastrawi yaang diusung oleh

Majalah Pantau, naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” berhasil

membawa Majalah Pantau sebagai majalah jurnalisme sastrawi layaknya

The New Yorker, seperti yang dikatakn Andreas Harsono, “Saya suka

naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai memakai genre yang sulit

ini di halaman-halamannya.”

Strategi keempat, transformasi lokal. Strategi ini berhubungan

dengan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Dalam naskah “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft” informasi atau data yang berkaitan dengan

peristiwa tokoh dikemas dengan menarik. Meski peristiwa Simpang Kraft

ini telah berlalu sejak tiga tahun yang lalu sebelum naskah ini

dipublikasikan, dan detil peristiwa ini terasa begitu kejam namun Chik

Rini mampu mengolahnya menjadi naskah yang menarik layaknya sebuah

novel.

b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa

Perihal pengetahuan penulis dalam memahami peristiwa Simpang

Kraft yang diangkat ini bahwa peristiwa Simpang Kraft ini hanyalah awal

dari konflik yang kian menumpuk di Aceh. Chik Rini lahir dan tinggal di

Aceh tapi kedua orang tuanya bukan orang asli Aceh. Neneknya Padang,

kakek berasal dari suku Sunda. Ayahnya orang Palembang.

Keterikatan Chik Rini dalam memahami peristiwa Simpang Kraft

ini sangat erat. Kelebihan dirinya dalam mereportase peristiwa Simpang

Kraft yaitu ia tahu wilayah dan tahu beberapa akses narasumber.

125

Saat peristiwa itu berlangsung, ia pun masih duduk di SMA dan

hanya mengetahui saja peristiwa tersebut dari orang Aceh lainnya. Namun,

ia merasa sangat dekat dengan peristiwa Simpang Kraft, ibunya pun

merasakan ketakutan ketika menjelang peristiwa tersebut. Seperti yang

dikatakannya kepada peneliti melalui wawancara:

“Ada isu orang kampung diambil tentara. Mereka itu kayak

terakumulasi. Kak Chik juga dapat cerita, tapi itu juga nggak

Kakak masukkan, hanya menjadi background. Kenapa Kakak

bilang ada yang memobilisasi massa. Saat itu, di hari itu, di Kreung

Geukeuh di kampung Lancang Barat dapat cerita kalau malam

sudah dimobilisasi. Ibu Kak Chik ngumpet dengan saudara kami di

dalam kamar. Pagi-pagi sudah dijemput suruh naik mobil pick up.

Jaraknya sekitar 1 km. Ada mobilisasi massa. Semua perempuan

disuruh keluar, bawa anak. Bawa anak-anak.”3

Konstruksi secara deskripsi tempat kejadian kultur orang Aceh

serta alasan mengapa orang Aceh ingin referendum maupun alasan

mengapa GAM memberontak dari pemerintah Indonesia, ia memahami itu

semua. Secara geografis dan emosional, ia mengenal orang-orang Kreung

Geukeuh karena di sana banyak saudaranya. Namun, yang menjadi titik

utama dari angle yang diambil dalam naskahnya adalah bagaimana

wartawan-wartawan Indonesia menjadi saksi dari pembunuhan orang Aceh

oleh militer Indonesia, bagaimana tidak adanya sisi kemanusiaan ketika

konflik pada Orde Baru dan reformasi itu berlangsung di Indonesia,

khususnya kepada orang Aceh.

Chik Rini mencoba melepaskan keberpihakannya meskipun ia

adalah orang Aceh. Rini mencoba menulis sesuai dengan angle naskah

serta memasukkan dari beragam fakta yang ia temukan di lapangan, tidak

3 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan

Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan

126

hanya dari laporan pers Kodam I Bukit Barisan, Medan saja tapi Rini juga

memasukkan data dari narasumber warga sipil (wartawan dan warga

Kreung Geukeuh).

Jika strategi media dalam memahami peristiwa dan kognisi penulis

dalam memahami peristiwa tersebut, seperti yang diterangkan di atas maka

dapat diambil kesimpulan dalam tabel empat skema atau model kognisi

sosial van Dijk, sebagai berikut:

Tabel 17.

Skema/ Model Kognisi Sosial van Dijk

Skema Person (Person Schemas):

Chik Rini adalah mantan wartawan Harian Analisa, Medan dan wartawan

freelance bagi Majalah Pantau. Ia mulai reportase dan menuliskan naskah

laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” pada Desember 2001 sampai April

2002. Naskah tersebut dipulikasikan pada Majalah Pantau pada Edisi Mei 2002.

Rini lahir dan berdomisili di Aceh hingga sekarang

Skema Diri (Self Schemas):

Chik Rini menulis naskah ini pada rubrik Reporter dari Lapangan. Ia adalah

kontributor Pantau. Ia mengambil angle atau sudut pandang peristiwa Simpang

Kraft ini bukan dari peristiwa, keadilan, maupun dari dua versi (militer Indonesia

atau orang Aceh) melainkan ia melihat sisi kemanusiaan yang diawali oleh

empat wartawan RCTI dan ANTARA, bahwa mereka adalah manusia dan juga

bisa mengalami trauma. Atas dasar keprihatinan inilah, ia menuliskannya dan

dengan genre jurnalisme sastrawi.

Skema Peran (Role Schemas):

Skema ini berkaitan dengan peran dari media naungan naskah tersebut berada.

Majalah Pantau sejak tahun 1999-2003 sebagai majalah media dan jurnalime

yang selalu mengkritisi dua hal tersebut, sangat cocok dengan tema liputan yang

diangkat oleh Chik Rini. Maka dari itu, Rini mengambil dari angle wartawan.

Majalah Pantau menjembatani peran dari media dan wartawan yang ada di

Indonesia

Skema Peristiwa (Event Schemas):

Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini bahwa peristiwa ini hanyalah awal dari

peristiwa yang kian menumpuk sejak Orde Baru (Orba). Reformasi di

pemerintahan Indonesia, berdampak juga ke Aceh. Setelah peristiwa Simpang

Kraft ini ragam peristiwa berdarah lainnya makin gencar terkuak oleh media

nasional apalagi sejak Aceh mendapatkan perhatian khusus di mata media

127

nasional maupun internasional.

Peristiwa Simpang Kraft ini terjadi kejam sekali, bagaimana militer Indonesia

secara membabi buta menembaki massa dari perempuan hingga anak kecil.

Kesannya peritiwa ini lewat begitu saja. Peristiwa ini terblow up karena RCTI

dan Associated Press (AP) yang disiarkan di televisi nasional.

3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

Analisis sosial (konteks sosial) berkaitan dengan hal-hal yang memengaruhi

pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi,

peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial

tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti.

Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan

komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam

situasi bagaimana, apa mediumnya, dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam

analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada

konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat

memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana.

Dalam konteks peristiwa Simpang Kraft (naskah “Sebuah Kegilaan di

Simpang Kraft”) ini yang menjadi yang menjadi komunikator dan komunikannya

adalah antara militer Indonesia dan orang Aceh, di dalam orang Aceh terdapat

GAM. Indonesia waktu itu dalam keadaan reformasi dan segala macam kejahatan

Soeharto ketika itu membuat GAM memberontak. Chik Rini dan Majalah Pantau

menjadi medium di antara peristiwa tersebut untuk mempublikasikan naskah

“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Peneliti menganalisis konteks sosial ini, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

128

a. Praktik Kekuasaan

Konstruksi praktik kekuasaan dalam peristiwa Simpang Kraft ini

adalah antara militer Indonesia yang memiliki dominasi lebih besar

terhadap kaum minoritas yaitu orang Aceh dan di dalamnya terdapat

GAM. Hal inilah yang membuat orang-orang Aceh membentuk GAM dan

memberontak terhadap pemerintah Indonesia. Seperti yang terdapat dalam

adegan 1 paragraf 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

“Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul

perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM,

untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer

Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah

Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama

Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan

3.430 mengalami penganiayaan.”

Dari paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik kekuasaan

militer Indonesia selama 10 tahun. Aceh menjadi salah satu wilayah

konflik berbahaya waktu itu oleh pemerintah Indonesia. Karena

ketidakadilan itulah, dalam dakwah GAM selalu menyebutkan

“Pemerintah-Indonesia Jawa.”

b. Akses Memengaruhi Wacana

Dalam akses mempengaruhi wacana, tentu saja militer Indonesia

mempunyai kekuatan yang dominan. Dari macam–macam akses yang van

Dijk kemukakan, militer Indonesia memilki akses yang disebut dengan

akses perencanaan (planning), akses wacana dalam hal setting, akses

129

wacana dalam hal mengontrol peristiwa komunikasi (communicative

event), dan kontrol wacana atas khalayak.

Hal ini dapat dilihat dari yang terlihat pada pemaparan peristiwa

dalam “Sebuh Kegilaan di Simpang Kraft.” Pertama, peristiwa ketika

seluruh stasiun televisi nasional termasuk RCTI merelai siaran Dunia

Dalam Berita TVRI. Saat itu TVRI masih dalam bayang pengaruh

pemerintah Indonesia.

“Pukul 21.00 RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran

Dunia Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan pada pernyataan

resmi militer Indonesia. Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul

Muarif mengatakan tentara terpaksa menembak karena massa hendak

menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka bentrok dengan

tentara yang berjaga.” (paragraf 17, adegan 9)

Peristiwa kedua, setelah peristiwa tersebut berlangsung, secara

resmi militer Indonesia Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada di balik

aksi provokasi massa. Mereka menganggap sudah bertindak sesuai

prosedur (pada paragraf 9 dan 10 di adegan 11 atau epilog). Tapi, wacana

yang berkembang di masyarakat Indonesia termasuk pihak LSM dan

Koalisi NGO HAM Aceh yaitu jika mereka bertindak sesuai prosedur

mengapa para korban lebih banyak masyarakat sipil khususnya perempuan

dan satu orang anak kecil berusia 6 tahun bernama Saddam Husen. Di sini,

terdapat kejanggalan logika.

130

Peristiwa ketiga yaitu karena sangat besar akses militer Indonesia

dalam memengaruhi wacana di masyarakat, hal ini membuat orang Aceh

semakin tidak mempercayai pemerintah Indonesia, dan wartawan.

Chik Rini pun menjelaskan bahwa kini orang Aceh sudah

melupakan peristiwa Simpang Kraft tersebut, meski para korban atau

keluarga korban tidak bisa melupakan peristiwa tersebut secara 100%.

“Akhir-akhir ini, setelah damai, mereka membuat Ketua

Asosiasi Korban Simpang Kraft. Amien Rais juga membaca

naskah itu. Disuruh juga menjadi saksi. Tapi, Mas Andreas bilang,

mana bisa wartawan itu jadi saksi. Baca saja naskah itu. Wartawan

independen, punya kekebalan hukum. Dia tidak bisa menjadi saksi

pengadilan. Dia nggak bisa. Itu ada dalam UU Pers No.40 Tahun

1999.”4

Setahun lalu, korban-korbaan Simpang Kraft membuat solidaritas

untuk mengenang para korban. Mereka memperingatinya setiap tahun.

Chik Rini pun pernah dipanggil oleh pengadilan perdata di Jakarta untuk

menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Namun, ia menolak.

Dengan adanya akses memengaruhi wacana yang besar dari militer

Indonesia tersebut, membuat militer Indonesia dapat memengaruhi dan

menguasai segala macam situasi di Aceh, dengan dalih sebagai stabilitas

pengamanan nasional.

4 Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan

Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan

131

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah menjelaskan dan menganalisa data pada bab-bab sebelumnya serta

diperkuat dengan wawancara langsung kepada Chik Rini, penulis “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft” dan narasumber lainnya, maka pada bab penutup ini

peneliti mengambil kesimpulan dari rumusan masalah sebelumnya, yaitu:

1. Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah

Pantau dikonstruksi dilihat dari dimensi teks Teun van Dijk, antara lain:

a. Teks ini mampu memaparkan segi semantik atau makna yang ditekankan

dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil secara keseluruhan teks.

Semantik ini sama halnya seperti elemen jurnalisme sastrawi (mencatat

dengan detil) dengan komprehensif.

b. Dalam pemilihan kata atau leksikon, penulis menggunakan kata-kata yang

berkonotasi negatif terhadap pihak militer Indonesia maupun orang Jawa.

Seperti penggunaan kata: militer Indonesia, rejim Soeharto, pemerintahan di

Jakarta, dan sebagainya.

c. Secara keseluruhan, teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini

menerapkan empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan Tom

Wolfe dengan baik dan wacana model van Dijk ini membantu dalam

konstruksi wacana teks.

132

2. Dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam teks “Sebuah

Kegilaan di Simpang Kraft.” Dari dimensi kognisi sosial, Chik Rini mencoba

melepakan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua

belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam

teksnya. Ia memiliki kekuatan dalam wilayah dan akses kepaada beberapa

narasumber. Sedangkan wacana yang berkembang di masyarakat ketika itu

(konteks sosial) ialah orang Aceh masih membenci militer Indonesia dan orang

Jawa yang mereka rasa telah menjajah orang Aceh selama sepuluh tahun masa

daerah operasi militer Aceh.

B. SARAN

Dari penelitian mengenai naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

ini, peneliti mempunyai saran sebagai berikut:

1. Saran untuk pembaca khususnya mahasiswa/i jurnalistik yang tertarik dengan

genre jurnalisme sastrawi maka dianjurkan untuk membaca naskah berita

“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini. Empat elemen Tom Wolfe

diaplikasikan dengan baik dalam wacana teks ini.

2. Bagi Majalah Pantau meski kini tidak diterbitkan lagi dalam bentuk majalah

namun seyogyanya Pantau tetap menyuarakan kekritisan seputar media dan

wartawan dalam medium website.

133

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Dibicara.

Yogyakarta: Bentang. Edisi Kedua. September 2005.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2002.

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007.

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1

1988.

Depdiknas, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan

Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah. Bandung: M2S. Cetakan Kedua. Februari 2004.

Djuroto, Totok Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Rosda, 2004.

Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS,

Cet VII Februari 2009.

Harsono, Andreas dan Budi Setiyono, ed. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan

Mendalam dan Memikat. Jakarta: KPG, 2008.

Hernawan, J. Budi dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh

dan Papua 1998-2007. Jakarta: Imparsial, 2009.

Hersey, John. Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan. Jakarta: Komunitas Bambu.

2008.

HM, Zaenuddin. The Journalist. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.

Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas. Desember

2005.

Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. Sembilan Elemen Jurnalisme Apa yang

Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Jakarta: Yayasan

Pantau. Cetakan Ketiga. 2006.

Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2002.

Majalah Pantau Kajian Media dan Jurnalisme Tahun III No.025-Mei 2002.

Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 2002.

Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos,

1999.

134

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2006.

Mulyana, Deddy. Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip

Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda

Karya, Cetakan Kedelapan 1997.

Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan II.

2007.

Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana. Yogyakarta:

Kanisius, 1993.

Rani, Abdul. Analisis Wacana Sebuah Kajian. Malang: Bayu Media, 2004.

Rivers, William L. dan Clevw Mathews. Etika Media Massa dan Kecendrungan

untuk Melanggarnya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1994.

Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer.

Jakarta: Modern English Press, Edisi Ke-3 2002.

Schiffrin, Deborah. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007.

Setiati, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Yogyakarta: ANDI,

2005.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Sumadiria, AS Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2005.

Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005.

Van Dijk, Teun. Aims of Critical Discourse Analysis. Japan Discourse, Vol.1

1995

Van Dijk, Teun. Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach. London:

Sage, 2002.

Van Djik, Teun. Discourse and Society: Vol 4 (2). London: Newbury Park and

New Delhi: Sage, 1993.

135

Internet:

Prakoso, Junarto Imam. “Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi.” Artikel

diakses pada 23 Mei 2010 dari http://www.semesta.net

Dijk, Teun Van. “Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui

Beberapa Metodologi Reflektif.” Artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari

http://www.discourse.com

“Yayasan Pantau.” Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl

22.00 WIB dari http://www.lidahibu.com

Septiadi, Anggar. “Laporan Jurnalistik yang Bercerita.” Artikel diakses pada

Rabu, 3 November 2010 pkl 22.10 WIB dari

http://www.kompas.com/kompasiana/media.

ANT, Tma. “Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel diakses

pada Rabu 3 November 2010 pkl 22.00 WIB dari http:// www.gatra.com

Hidayat, Bagja (Tempo-News Room). “Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel

diakses pada Rabu, 13 November 2010 pkl 22.30 WIB dari

http://www.tempointeraktif.com

“Profil Yayasan Pantau.” Artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10.30

WIB dari http://www.pantau.com.

Chik, Rini. “Madness at Simpang Kraft How Indonesian Journalists Witnessed the

Murder of Acehness Civilians.” Artikel diakses pada Rabu, 26 Januari 2011

pkl 15.30 WIB pada Kyoto Review of Southeast Asia