Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

16
101 Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province MAMUN MUROD 1 , CECEP KUSMANA 2 , MOCHAMAD HASJIM BINTORO 3 , WIDIATMAKA 4 dan ENDANG HILMI 5 1 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-IPB 2 Departemen Silvikultur, FAHUTAN-IPB 3 Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAFERTA-IPB 4 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA-IPB 5 Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan-UNSOED Email : [email protected] Diterima 02 Oktober 2018 / Direvisi 08 Oktober 2018 / Disetujui 26 November 2018 ABSTRAK Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 205,051 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Desain struktur kendala diperlukan dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), diperlukan agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan. Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO ABSTRACT Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 205,051 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable. Key Word : Interpretative Structural Modelling (ISM), cultivation sago, sago (Metroxylon Sagu), constraint structure, VAXO

Transcript of Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Page 1: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

101

Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di

Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau

Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province

MAMUN MUROD1, CECEP KUSMANA2, MOCHAMAD HASJIM BINTORO3, WIDIATMAKA4 dan

ENDANG HILMI5

1Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-IPB 2Departemen Silvikultur, FAHUTAN-IPB

3Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAFERTA-IPB 4 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA-IPB

5Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan-UNSOED Email : [email protected]

Diterima 02 Oktober 2018 / Direvisi 08 Oktober 2018 / Disetujui 26 November 2018

ABSTRAK

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 205,051 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Desain struktur kendala diperlukan dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), diperlukan agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan.

Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO

ABSTRACT

Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 205,051 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable.

Key Word : Interpretative Structural Modelling (ISM), cultivation sago, sago (Metroxylon Sagu), constraint structure, VAXO

Page 2: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

102

PENDAHULUAN

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan

salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang

sangat potensial dalam mendukung program

ketahanan pangan Indonesia (Tarigan, 2001). Sagu

juga dapat digunakan sebagai bahan substitusi

bahan baku pembuat kue, mie, sohun, penyedap

makanan, kompos, pakan ternak, perekat, industri

farmasi, kemasan ramah lingkungan, biodegradable

plastic dan sumber bahan baku biomasa serta

bioethanol (Flach, 1997; Utami et al., 2014; Yadaf

dan Garg, 2013; Zawawi et al., 2017; Hoque et al.,

2013; Wang et al., 1996; Rahim et al., 2009; Kumar

dan Manivannan, 2015; Bukhari et al., 2017).

Pengembangan industrialisasi sagu di Kabupaten

Kepulauan Meranti pada masa yang akan datang

memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Hal

ini didukung dengan masih terdapatnya

kecukupan areal yang tersedia dan belum digarap

sekitar 70.091 ha. Sedangkan luasan tanaman sagu

eksisting seluas 53.456 ha atau 43%nya dari lahan

yang ada (123,547 Ha).

Pengolahan sagu di Kabupaten Kepulauan

Meranti saat ini masih berjalan secara

konvensional dan baru menghasilkan bahan

setengah jadi berupa pati sagu. Produksi pati sagu

yang dihasilkan oleh kilang sagu pada tahun 2011

adalah sebesar 144,927 ton dan selalu mengalami

peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata

sebesar 6% pada setiap tahunnya, dan produksi

pati sagu pada tahun 2017 adalah 205,051 ton (BPS,

2018). Pemanfaatan sagu saat ini hanya fokus

terhadap produk utamanya yaitu berupa pati

sagu. Pengembangan produk hilirnya masih

relatif terbatas berupa mie, kerupuk, sagu rendang

dan sohun. Produk sampingnya berupa limbah

dari ampas sagu (repu) dan kulit sagu (uyung)

belum dimanfaatkan secara optimal. Para pemilik

kilang sagu pada umumnya membuang limbah

berupa repu ke laut. Kulit sagu sebagian kecil

dimanfaatkan untuk bahan bakar dan sebagian

lagi digunakan sebagai pondasi mesin atau

penahan beban dan sangat disayangkan sebagian

besar kulit sagu hanya dibakar untuk menghindari

penumpukkan. Repu sangat potensial digunakan

sebagai bahan baku pakan ternak (Tiro et al., 2018)

dan media pengembangan jamur, sedangkan kulit

sagu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk

pembuatan bahan bakar pellet. PT. Sararasa

merupakan satu perusahaan yang telah

memanfaatkan kulit sagu sebagai bahan baku

pembuatan pellet biomas. Produksi pellet yang

telah dihasilkan mencapai 3000 ton per bulannya

(tahun 2014), namun juga tidak berkembang

dengan baik dan tidak operasional lagi pada April

2015.

Sagu memiliki manfaat multifungsi.

Sehingga dapat mendukung terhadap

perekonomian masyarakat, sagu juga dapat

mendorong penyerapan tenaga kerja, selain itu

tanaman sagu dapat bermanfaat terhadap

lingkungan (Asthutiirundu dan Lay, 2013; Singhal

et al., 2007). Tanaman sagu dapat menjaga

keseimbangan lingkungan (Trisia et al., 2016;

Bantacut, 2014). Peranan dalam menjaga ke-

seimbangan lingkungan, tanaman sagu dapat

menampung air dari lingkungan sekitarnya,

melindungi sungai akibat pencucian materi serta

membantu infiltrasi (penyerapan) aliran air dan air

hujan masuk kedalam tanah, mengurangi volume

air di permukaan dan mencegah banjir

(Louhenapessy et al., 2010; Situmorang dan

Harianja 2018).

Sagu sebagai salah satu komoditas tanaman

perkebunan, merupakan pangan lokal bagi

masyarakat dan memiliki peluang pengembangan

yang sangat strategis. Potensi sagu yang ada di

Kabupaten Kepulauan Meranti dapat

dimanfaatkan dan dikembangkan secara

berkelanjutan. Pengelolaan sagu berkelanjutan

menjadi hal penting dalam meningkatkan

produktivitas pemaanfatan sagu dan sebagai

upaya meningkatkan potensi tanaman sagu.

Namun demikian, dalam perkembangannya

pengelolaan sagu masih dihadapkan pada

permasalahan-permasalahan yang kompleks dan

mendasar. Kondisi tersebut menjadi penghambat

dalam mencapai pengelolaan sagu berkelanjutan.

Page 3: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

103

Pengembangan pengelolaan sagu agar

berkelanjutan memerlukan dukungan dari semua

stakeholeders terkait baik dari pemerintah,

akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan

dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berupa

kebijakan seperti pendampingan secara langsung.

Tujuannya adalah untuk melatih petani supaya

mampu menghasilkan produk-produk olahan

sagu yang lebih kreatif, inovatif dan variatif. Selain

itu, pendampingan dilakukan dalam hal budidaya

sagu dengan menanam anakan sagu unggul

dengan kaidah mengatur jarak tanam yang ideal

agar tingkat produktivitasnya yang tinggi. Hal ini

sejalan dengan (Alfons dan Rivaie, 2011) bahwa

upaya rehabilitasi perlu dilakukan untuk

meningkatkan potensi lahan sagu yang sudah ada,

melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis

potensial pada jarak tanam teratur. Upaya tersebut

perlu ditingkatkan dengan menjalin kerjasama

berbagai pihak yang meliputi masyarakat,

pemerintah pusat dan daerah, sehingga potensi

lahan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti

dapat dilestarikan serta dikembangkan dengan

efektif, terpadu dan berkelanjutan.

Outcome atau dampak yang diharapkan

dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi

kebijakan pengelolaan sagu yang dapat digunakan

sebagai pendorong pengembangan sagu dan

peningkatan kesejahteraan rakyat di Kabupaten

Kepulauan Meranti.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten

Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Kabupaten

Kepulauan Meranti secara geografis wilayah

terletak pada posisi 0° 42' 30" - 1° 28' 0" LU, dan

102° 12' 0" - 103° 10' 0" BT, dan terletak pada

bagian pesisir timur Pulau Sumatera. Penetapan

lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan

bahwa Kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai

potensi tanaman sagu yang merupakan salah satu

sektor utama mata pencaharian masyarakat

setempat secara turun-temurun. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan April 2017 sampai

Oktober 2017.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan

focus group discussion (FGD), wawancara

mendalam (in-depth interview), observasi dan studi

literatur. Parapihak terkait adalah pemerintah,

pelaku usaha, petani sagu, lembaga keuangan,

akedemisi dan LSM. Teknik pengumpulan sampel

pakar dilakukan secara purposive sampling dengan

jumlah pakar yang menjadi responden 17 orang.

Tahap awal penelitian ini dimulai dengan

pengumpulan data pada beberapa lokasi

pengelolaan sagu di Kabupaten Ke-pulauan

Meranti. Dalam memperoleh informasi yang

dibutuhkan, metode atau cara yang digunakan

dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Observasi

Peneliti melakukan pengamatan langsung di

lapangan untuk mengumpulkan data-data

mengenai kondisi objek pengelolaan sagu di lokasi

penelitian. Observasi dilakukan di keempat pulau

(Pulau Tebing Tinggi, Pulau Merbau, Pulau

Rangsang dan Pulau Padang) dilingkup wilayah

Kabupaten Kepulauan Meranti.

2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)

Aspek pemangku kepentingan (stakeholders)

merupakan institusi yang berperan dalam

pengelolaan sagu. Wawancara mendalam

dilakukan terhadap pihak pemerintah 8 orang,

pelaku usaha 1 orang, tokoh masyarakat 1 orang,

akademisi 5 orang, lembaga keuangan 3 orang

dan LSM 2 orang (Tabel 1).

Pemilihan responden disesuaikan dengan

kondisi lingkungan di sekitarnya dan memahami

permasalahan yang diteliti. Metode atau cara

menggali informasi dan pegetahuan atau pendapat

pakar pada penelitian ini digunakan metode

survei pakar (expert survey) yang dibagi atas 2

(dua) cara, yaitu :

a. Responden dari kalangan pakar

Responden pakar dipilih secara sengaja

(purposive sampling) dengan kriteria memiliki

Page 4: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

104

kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji.

Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar

yang akan dijadikan responden adalah :

Mempunyai pengalaman yang kom-peten

sesuai bidang yang dikaji.

Memiliki reputasi, kedudukan/ jabatan dalam

kompetensinya dengan bidang yang dikaji.

Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan

berada pada lokasi yang dikaji.

b. Responden dari masyarakat

Penilaian responden dari masyarakat di lokasi

penelitian menggunakan metode purposive

sampling (Walpole, 1995).

3. Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi

kelompok terfokus merupakan suatu metode

pengumpulan data yang lazim digunakan dalam

penelitian kualitatif sosial. Metode ini

mengandalkan perolehan data atau informasi dari

suatu interaksi informan atau responden

berdasarkan hasil diskusi dalam suatu kelompok

yang berfokus untuk melakukan bahasan dalam

menyelesaikan permasalahan tertentu. Stekeholders

yang berperan dalam pengelolaan sagu, meliputi

pemerintah, pelaku usaha, petani sagu, lembaga

keuangan, akademisi, dan lembaga swadaya

masyarakat. Penelitian pengelolaan sagu

melakukan World Cafe Method (WCM) atau Focus

Group Discussion (FGD) yang bertujuan

mendapatkan input, masukan dan pendapat

dalam pengelolaan sagu.

Analisis Data

Analisis data struktur kendala pengelolaan

sagu berkelanjutan menggunakan metode

interpretative structural modelling (ISM), yaitu teknik

pemodelan deskriptif yang merupakan alat

strukturisasi untuk suatu hubungan langsung

(Sexana et al., 1992). Melalui teknik ISM, model

mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi

model sistem yang tampak (visible). Sub elemen

yang dianalisis bersumber dari atribut/variabel

faktor pengungkit (leverage) hasil FGD. Tahapan

analisis ISM (Gambar 1) adalah menginventarisasi

kendala dalam sistem pengelolaan sagu,

memberikan penilaian perbandingan dengan

VAXO, analisis terhadap output ISM berupa

pemetaan permasalahan dan strukturisasi perma-

salahan dengan syarat hasil analisis tersebut telah

konsisten. Skenario kendala dominan dilihat

sebagai alternatif masukan dalam penyusunan

formulasi kebijakan.

Tabel 1. Jumlah pakar dalam Focus Group Discussion (FGD) pengelolaan sagu Table 1. The number of expert on Focus Group Discussion (FGD) to Sago Management

No Responden Pakar

Stakeholders Jumlah

Quantity Keterangan Description

1 Pemerintah Government

8 orang 8 people

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2 orang), Dinas Perkebunan Provinsi Riau (1 orang), Bappeda (2 orang), Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, Dinas Perkebunan dan Holtikultura, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Institution of research and application technology (2 people), Bappeda (2 people), Plantation service of Riau Province (1 people), The office of trade, industry, cooperatives and UKM, The office of Plantation and Horticulture, The office of environment and forestry.

2 Pelaku Usaha businessman

1 orang 1 people

PT. Nasional Sagu Prima National Sago Prima Company

3 Petani Sagu Sago Farmer

1 orang 1 people

Pegiat sagu masyarakat Sago community activists.

4

5

Akademisi Academics Lembaga Keuangan Finantial Institution

5 orang 5 people 3 orang

IPB, Trisakti, Universitas Riau Bogor Agricultural University; Trisakti University;Riau University BRI, BNI, Bank Riau Kepri BRI, BNI, Riau Kepri Bank

6 LSM NGO

2 Orang 2 people

Bahtera Alam, Jaringan Masyaraka Gambut Riau (JMGR) Bahtera Alam, Network of Riau Peat Communities

Page 5: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

105

Gambar 1. Tahapan Analisis ISM Figure 1. ISM Procedure Analysis

ISM dibuat dengan tujuan untuk

memahami perilaku sistem dalam melakukan

identifikasi hubungan antar sub elemen sistem

dalam tiap elemen sistem. Tahapan dalam

melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu

penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen

(Eriyatno, 2003). Penentuan tingkat hirarki

dilakukan dengan perspektif lima kriteria, yaitu :

A. Penyusunan Hirarki

Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam

dan/atau antar kelompok/pengikat.

Frekuensi relatif dari oksilasi, tingkat yang

lebih rendah lebih cepat terguncang

dibandingkan tingkat diatasnya

Konteks, tingkat yang lebih tinggi

beroperasi pada jangka waktu lebih lambat

dalam ruang yang lebih luas.

Liputan, tingkat yang lebih tinggi

mencakup tingkat dibawahnya, dan

Hubungan fungsional, tingkat yang lebih

tinggi mempunyai peubah lambat yang

mempengaruhi peubah cepat di tingkat

bawahnya.

B. Klasifikasi Sub elemen

Tahap kedua dalam melakukan ISM adalah

membagi substansi yang sedang ditelaah ke dalam

elemen-elemen dan sub-sub elemen secara

mendalam sampai dipandang memadai.

Penyusunan sub elemen ini menggunakan

masukan dari kelompok yang terkait. Selanjutnya

ditetapkan hubungan kontekstual antar sub

elemen, yang dinyatakan dalam terminologi sub

ordinat menuju pada perbandingan berpasangan.

Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual,

disusun Structural Self Interaction Matrix (SSIM),

Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X,

dan O.

Pengertian simbol-simbol tersebut adalah :

V : Kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi

tidak sebaliknya, V : eij = 1 dan eji = 0

A : Kendala (2) mepengaruhi kendala (1), tapi

tidak sebaliknya, A : eij = 0 dan eji = 1

X : Kendala (1) dan kendala (2) saling

berhubungan, X : eij = 1 dan eji = 1

O : Kendala (1) dan kendala (2), tidak saling

mempengaruhi, O : eij = 0 dan eji = 0

Simbol 1 adalah terdapat atau ada hu-bungan

kontekstual, sedangkan simbol 0 tidak terdapat

atau tidak ada hubungan kontekstual antara sub

elemen i dan j, serta sebaliknya (Eriyatno, 2003).

Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat dalam

Page 6: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

106

bentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan

menggantikan simbol V, A, X, dan O menjadi

bilangan 1 dan 0. Perhitungan menurut transivity

rule yaitu melakukan koreksi terhadap SSIM

sampai diperoleh matriks yang tertutup. RM yang

telah memenuhi transivity rule kemudian diolah

untuk menetapkan pilihan jenjang (level partition).

Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema

setiap elemen menurut jenjang vertikal dan

horinzontal. Berdasarkan RM, sub elemen dalam

satu elemen dapat disusun menurut nilai Driver-

Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk

menentukan klasifikasi sub elemen. Secara garis

besar klasifikasi sub elemen digolongkan dalam 4

sektor, yaitu :

Sektor 1 : weak drive-weak dependent variabels

(autonomous), sub elemen yang masuk dalam

sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan

sistem, dan mungkin mempunyai hubungan

sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja

kuat.

Sektor 2 : weak driver-strongly dependent variabels

(dependent), umumnya sub elemen yang masuk

dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak

bebas.

Sektor 3 : strong driver-strongly dependent variabels

(Lingkage), sub elemen yang masuk dalam sektor

ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan

antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada

sub elemen akan memberikan dampak terhadap

sub-elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya

dapat memperbesar dampak.

Sektor 4 : strong driver-weak dependent variabels

(Independent), sub elemen yang masuk dalam

sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan

disebut peubah bebas.

Analisa matrik dari klasifikasi sub elemen

disajikan pada Gambar 2.

Daya Dorong (Driver Power)

Ketergantungan (Dependence)

Gambar 2. Matrik Driver Power-Dependence Figure 2. Driver Power – Dependence matrix

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kendala Pengungkit Pengelolaan Sagu

Kendala yang dihadapi berjumlah 16 (enam

belas) sub elemen. Komposisi kendala secara detail

dapat dilihat pada Tabel 2.

Kendala yang dihadapi tersebut perlu

dinilai kembali oleh pakar agar dapat ditentukan

faktor pengungkit (leverage) yang menjadi prioritas

kebijakan untuk mencapai tujuan. Struktur

kendala diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar

untuk menyusun strategi pengelolaan sagu di

masa yang akan datang, sehingga akan dihasilkan

kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi

kendala yang ada.

Tabel 2. Kendala dalam pencapaian tujuan Table 2. The threat in achieving its objectives

No Elemen Kendala Threat element

Keterangan Description

1 Teknik pengeringan sagu Technique of drying sago

Pengeringan pati sagu masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat yakni dengan menjemur pati sagu di bawah sinar matahari Drying sago starch still traditionally, sago starch by drying in the sun

2 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan Processing of derivative product and packaging design

Pengolahan produk turunan masih terbatas dan desain kemasan masih sangat sederhana sehingga tampilannya kurang menarik Processing of derivative product is still limited and packaging design is still very simple and it looks less attractive

3 Pemanfaatan dan pengolahan limbah Waste utilization and management

Limbah sagu belum termanfaatkan dan masih di buang ke laut sehingga menjadi sumber pencemaran lingkungan Sago waste has not been utilized and still discharged into the sea so that it becomes a source of pollution.

SEKTOR IV

Independent

Variabels

SEKTOR III

Lingkage

Variabels

SEKTOR I

Autonomous

Variabels

SEKTOR II

Dependent

Variabels

Page 7: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

107

No Elemen Kendala Threat element

Keterangan Description

4 Penggunaan teknologi pengolahan air

Application technology for water treatmen

Sumber air untuk ekstraksi pati sagu masih berasal dari air gambut, belum ada teknologi untuk pengolahan air baku untuk kilang sagu. Source of water for sagu starch extraction is still was water peat, there has been no technology for reprocessing raw water to the refinery sago.

5 Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan Percentages of the population below poverty line

Persentase kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Meranti paling tinggi 28.89 %. Tertinggi di Provinsi Riau Percentage poverty in Meranti Island Regency the highest 28.99 %. Highest in Riau Province

6 Budaya pemanenan sagu Harvesting sago culture

Sistem pemanenan sagu yang masih konvensional Harvesting sago system is still conventional became an obstacle because need a long time.

7 Akses kelompok tani kelembaga keuangan Acces the farmers to financial institution

Masih terbatasnya akses permodalan petani sagu terutama keperbankan Still limited access to sago farmer’s capital especially to banks

8 Regulasi tata guna lahan Land use regulation

Pengaturan zonasi belum dilakukan Zoning arrangement have not been made.

9 Pola kemitraan dan peman-tapan kelembagaan petani Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions.

Belum terbentuk pola kemitraan antara perusahaan besar dengan petani sagu sehingga kelembagaan petani masih sangat lemah A partnership system has not been established between large companies and sago farmers.

10 Sistem ijon Ijon system

Sistem ijon masih berlangsung Ijon system is still ongoing

11 Stabilitas harga Price Stability

Harga sering mengalami fluktuasi, pada tahun 2016 harga berada pada Rp. 50.000,- per tual sedangkan harga pada tahun 2018 Rp. 30.000,- per tual Price often fluctuate, in 2016 the price at Rp. 50.000/trunk while in 2018 the price at Rp 30.000/trunk

12 Sumber modal Source of capital

Modal usaha masih sangat terbatas dan ada yang tergantung pada mekanisme ijon Source of capital is very limited and is that depends of ijon mechanism.

13 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, distribution and market segmentation

Segmentasi pasar masih sempit karena masih terbatas pada satu produk (pati sagu) Market segmentation is still narrow becauseit is still limited to one product (sago starch)

14 Tata kelola air Water management

Belum seluruhnya petani sagu melakukan tata kelola air Sago farmers have not all carried out water management

15 Asosiasi vegetasi Vegetation association

Budidaya tanaman sagu masyarakat masih monokultur The community is still Cultivating sago plants in monocultur

16 Kesesuaian lahan Land suitability

Sebagian besar areal berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan berada pada kategori N (tidak sesuai) Most of the based on the analysis of land is the n ( not appropriate )

Klasifikasi Sub Elemen

Melalui metode ISM ini diperoleh angka

Dependent dan Driver Power dari masing-masing

elemen tersebut, yang akhirnya dipetakan dalam

bentuk matrik Driver Power-Dependent dan

diagram struktur hirarki. Hasil perhitungan

elemen pengelolaan sagu dengan menggunakan

software ISM disajikan pada Tabel 3.

Page 8: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

108

NO K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 DP R

K1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K2 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2

K3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K4 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K5 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K6 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K7 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K8 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K9 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K11 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2

K12 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

K13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1

K15 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 4 4

K16 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3

D 15 6 4 15 16 15 15 15 16 4 6 15 4 4 16 16

L 2 3 4 2 1 2 2 2 1 4 3 2 4 4 1 1

Tabel 3. Matriks perhitungan sub elemen pengelolaan Sagu menggunakan software ISMTable 3. Calculation Matrix Management Sagu Elemen with ISM software

Keterangan : K1 (Teknik pengeringan sagu); K2 (Pengolahan produk turunan dan desain kemasan); K3 (Pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4 (Penggunaan teknologi pengolahan air); K5 (Persentase penduduk dibawah garis kemiskinan); K6 (Budaya pemanenan sagu); K7 (Akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8 (Regulasi tata guna lahan); K9 (Pola kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani); K10 (Sistem ijon); K11 (Stabilitas harga); K12 (Sumber modal); K13 (Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar); K14 (Tata kelola air); K15 (Asosiasi vegetasi); K16 (Kesesuaian lahan); R (Ranking); D (Dependence); dan DP (Driver-power). Information : K1 (Technique of drying sago); K2 (Processing of derivative product and packaging design); K3 (Waste utilization and management); K4 (Application technology for water treatmen); K5 (Percentages of the population below poverty line); K6 (Harvesting sago culture); K7 (Acces the farmers to financial institution); K8 (Land use regulation); K9 (Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions); K10 (Ijon system); K11 (Price stability); K12 (Source of capital); K13 (Availibility, distribution and market segmentation); K14 (Water management); K15 (Vegetation association); K16 (Land suitability).

Pembagian ordinasi keseluruhan faktor-faktor

yang terbagi pada kuadran independent, lingkage,

dan dependent disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Matriks driver power-dependence (DP-D) untuk elemen kendala

Figure 3. Matrix driver power-dependence (DP-D)

for threat element

Matriks driver power-dependence (DP-D)

untuk elemen kendala pada Gambar 3,

menunjukkan bahwa K3 (pemanfaatan dan

pengolahan limbah); K10 (sistem ijon); K13

(ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar);

K14 (tata kelola air); K2 (pengolahan produk

turunan dan design kemasan) serta K11 (stabilitas

harga) berada pada level tertinggi. Ke enam sub

elemen ini merupakan faktor kendala yang berada

pada sektor independent yang memiliki pengaruh

besar terhadap faktor lain. Hal ini berarti bahwa

berjalannya sistem pengelolaan sagu di Ka-

bupaten Kepulauan Meranti sangat diperlukan

adanya sub elemen tersebut dan mendorong

semua kendala yang ada dalam pengelolaan sagu

untuk mendukung berjalannya sistem.

Sektor berikutnya yakni sektor lingkage

terdiri dari: K1 (teknik pengeringan pati sagu); K4

(penggunaan teknologi pengolahan air); K6

(budaya pemanenan sagu); K7 (akses kelompok

tani kelembaga ke-uangan); K8 (regulasi tata guna

lahan); K12 (sumber modal); K5 (persentase

Page 9: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

109

penduduk dibawah garis kemiskinan); K9 (pola

kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani);

dan K16 (kesesuaian lahan). Sub elemen pada

sektor ini berpengaruh dalam mendorong

berjalannya sistem pengelolaan sagu.

Sektor dependent hanya terdapat satu sub

elemen yakni K15 (asosiasi vegetasi). Sektor ini

sangat dipengaruhi oleh faktor yang berada pada

sektor independent, artinya dengan daya gerak

yang besar dan ketergantungan terhadap sistem

rendah, keterlibatan elemen pada sektor

independent akan mendorong keterlibatan elemen

lain dalam sistem pengelolaan sagu.

Struktur Hirarki

Berdasarkan matriks tersebut dibuat

hirarki untuk membagi dalam tahapan

pengelolaan berjangka. Hirarki tersebut disajikan

pada Gambar 4.

Gambar 4. Strukturisasi elemen dalam pengelolaan sagu

Figure 4. The structure of the element in management of sago

Gambar 4 menunjukkan struktur hirarki

sub elemen kendala yang berpengaruh terhadap

pengelolaan sagu berkelanjutan dari level

terendah (level 1) yang pengaruhnya kurang

sensitif, sampai dengan level tertinggi (level 5)

yang pengaruhnya paling kuat. Wawancara

mendalam kepada para pakar dilaksanakan untuk

menyusun formulasi kebijakan pengelolaan sagu

berkelanjutan terhadap faktor pengungkit yang

berada di sektor independent atau pada struktur

hirarki level 4 dan 5. Hasil wawancara tersebut

dipergunakan untuk menyusun kebijakan,

program dan kegiatan sebagai strategi kebijakan

dalam implementasi pengelolaan sagu

berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti

sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Penjelasan

masing masing sub elemen kendala pengungkit

(leverage factor) dalam pengelolaan sagu sebagai

berikut :

Pemanfaatan dan pengolahan limbah

Perkembangan dalam bidang pertanian

dan industri pertanian seringkali menimbulkan

peningkatan limbah pertanian yang sebagian besar

merupakan limbah berligno-selulosa. Secara kimia

limbah berligno-selulosa kaya akan selulosa yang

dapat diolah menjadi produk-produk yang

bernilai ekonomi. Ditinjau dari jenis limbah,

limbah sagu mengandung lignoselulosa yang kaya

akan selulosa dan pati, sehingga dapat

dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber

karbon. Peningkatan jumlah produksi sagu

berbanding lurus dengan peningkatan jumlah

limbah yang dihasilkan. Pengolahan limbah yang

belum maksimal dan masih menggunakan sistem

konvensional menyebabkan pencemaran di sekitar

sungai. Oleh karena itu, perlunya pemahaman

pemanfaatan dan pengolahan limbah yang

terpadu, agar hasil limbah yang dihasilkan dari

sagu dapat bernilai ekonomi dan meminimalisir

Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

Level 5

Page 10: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

110

pencemaran lingkungan. Pengelolaan limbah cair

berupa air hasil ekstraksi sagu mampu

diminimalisir pencemarannya dengan meng-

gunakan teknik aerasi, ion logam dan mikro-

organisme (Rashid et al., 2010; Quek et al., 1998;

Ayyasamy et al., 2008; Kandasamy et al., 2014;

Gunasekar et al., 2014) dan bahkan mampu

menghasilkan biogas (Sangeetha dan Sivakumar,

2016). Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak

dapat menjadi salah satu strategi pengembangan.

Menurut Sisriyanni et al., (2017) pemberian lim-

bah sagu yang difermentasi mampu mensubtitusi

pakan hingga 75%, hal tersebut sangat meng-

untungkan peternak sapi karena mampu

mengurangi ketergantungan terhadap pakan

konvensional. Menurut Simanihuruk et al., (2013)

penggunaan 40% ampas sagu mampu diberikan

sebagai pakan alternatif untuk ternak kambing.

Sistem ijon

Menurut Susanti et al., (2018) masyarakat

yang hanya mendapatkan pendapatan dari satu

komoditas yang ditanam secara monokultur akan

melakukan sistem ijon. Menurunnya harga dari

komoditas yang diusahakan berdampak pada

pendapatan. Situasi lebih buruk karena sebagian

besar rumah tangga tidak memiliki akses kredit

bunga rendah seperti kredit dari bank pemerintah

atau kerja sama. Hal tersebut membuka jalan bagi

tengkulak atau disebut dengan ‘toke’ menyediakan

layanan keuangan dengan bunga yang lebih tinggi

antara 15% - 60%. Widodo et al., (2016)

menyatakan bahwa sagu di desa Sungai Tohor

merupakan sagu yang dibudidayakan oleh

masyarakat. Pada masa awal budidaya sagu,

sistem dalam budidaya sagu masih menggunakan

sistem ijon. Sistem ijon merupakan suatu sistem

yang masyarakatnya menanam pohon sagu dan

para pedagang dari keturunan cina membeli

pohon-pohon sagu mereka yang masih muda.

Sistem tersebut cukup merugikan para petani sagu

di Desa Sungai Tohor. Akhirnya, sistem ijon di-

hentikan dengan dibangunnya kilang-kilang sagu

di Desa Sungai Tohor.

Para petani sagu kini tidak perlu menjual

pohon sagunya, tetapi cukup dengan menjual tual-

tual sagu yang dipanen dari pohonnya. Para

petani akan menjual tual-tual tersebut ke para pe-

milik kilang dan para pemilik kilang akan

membeli tual-tual sagu. Selain itu, konsep

budidaya yang dilakukan petani sagu juga

difokuskan dalam rangka pemilihan lahan,

penanaman sagu, pengairan, dan penangan hama.

Menurut Salampessy et al., (2017) sistem hipotek

pohon merupakan salah satu bentuk kesepakatan

antara petani pala sebagai pelaku utama dan

pengepul sebagai agen. Kesepakatan atau

perjanjian tersebut terdiri atas sejumlah pohon

pala yang digunakan sebagai jaminan untuk

meminjam uang. Perjanjian dapat terlaksana

karena kerugian ekonomi dan kebutuhan rumah

tangga di kalangan petani. Petani membutuhkan

modal dalam keadaan tertentu untuk membiayai

berbagai kewajiban keluarga, seperti biaya sekolah

atau kuliah anak-anak, perbaikan rumah dan acara

seremonial seperti pernikahan. Menurut

Hutabarat (2013) terdapat 2 hipotesis petani

melakukan penjualan menggunakan sistem ijon.

Hipotesis yang pertama yaitu pendapatan petani

hanya diterima setiap musim panen, sedangkan

pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap

minggu bahkan pada waktu-waktu yang

mendesak sebelum panen tiba sehingga petani

terjebak pada sistem ijon. Hipotesis yang ke dua

yaitu biaya produksi sangat berpengaruh terhadap

penjualan ke tengkulak. Petani membutuhkan

uang tunai pada masa produksi, maupun untuk

kebutuhan konsumtif seperti hajatan dan

selamatan.

Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar

Pengembangan sagu di Indonesia khu-

susnya di Kabupaten Kepulauan Meranti

bertujuan mengoptimalkan sumberdaya dan

pengolahan berkelanjutan. Menurut Nursodik et

al., (2016) pengalaman petani dalam usahatani

sagu menjadi indikator dalam mengelola

usahatani sagu secara mandiri. Sasaran yang

penting dicapai dalam pengembangan sagu ini

Page 11: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

111

diantaranya peningkatan produktivitas sagu,

diversifikasi produk, dan peningkatan pendapatan

petani sagu. Segmentasi pasar sangat diperlukan

dalam mengoptimalkan pemanfaatan sagu yang

ada di Indonesia, agar masyarakat umum lebih

mengenal produk olahan sagu. Penguatan pangan

lokal berbasis sagu perlu disinkronkan dengan

program-program pemerintah seperti bantuan

pangan bencana alam dengan memasukkan

pangan lokal khususnya sagu. Menurut Hardono

(2014) strategi yang dapat dilakukan dalam

pengembangan diversifikasi pangan berbasis

pangan lokal yaitu menyelaraskan kebijakan

produksi dan industri pangan dengan kebijakan

konsumsi pangan; promosi pangan lokal yang

sehat, komprehensif, dan terus menerus;

penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional

dan wilayah; serta diikuti penyediaan produk

pangan lokal yang mampu bersaing dengan

produk asing.

Tata kelola air

Suriadikarta (2012) menyatakan bahwa

teknologi pengelolaan tanah dan air merupakan

kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di

lahan rawa gambut. Tata air makro dan mikro

mencakup saluran primer, sekunder dan tersier

sangat mempengaruhi kondisi tanah. Sistem tata

air tertutup di lahan rawa gambut cocok dilakukan

karena sistem tata air dapat dikontrol, sistem

tersebut dilengkapi dengan tanggul dan bangunan

pintu air. Menurut Ritzema et al. (2014) strategi

pada lahan gambut tropis yang dikeringkan dapat

dilakukan dengan strategi penyekatan kanal.

Tujuan penyekatan kanal yaitu 1) untuk

menaikkan muka air di lahan gambut; 2)

mengurangi limpasan melalui saluran dan sebagai

gantinya untuk membangun kembali aliran darat

alami dari puncak kubah gambut menuju sungai

yang berdekatan; 3) mengurangi kecepatan aliran

di kanal sebanyak mungkin untuk menghindari

erosi.

Tanaman sagu layak secara ekologi, ekonomi

dan sosial dalam mengkonservasi dan rehabilitasi

lahan gambut, sehingga mampu menjadi tanaman

unggulan dan menjadi komoditas strategis

khususnya pangan dan energi (Herman, 2016).

Menurut Ibrahim dan Gunawan (2015) areal

sagu saat ini menjadi lahan sasaran untuk

dikonversi menjadi lahan non pertanian. Salah

satu contohnya di Halmahera Barat pedagang sulit

mendapatkan pati sagu karena konversi lahan

sagu menjadi lahan sawah. Sagu di lahan gambut

banyak yang dikonversi menjadi tanaman

perkebunan lain.

Pengolahan produk turunan dan design kemasan

Pengolahan produk dan mendesain kemasan

merupakan rangkaian kegiatan untuk

meningkatkan nilai tambah ekonomi suatu

komoditas. Menurut Yasin et al., (2005)

pengembangan agribisnis sagu di Kabupaten

Kepulauan Meranti mampu mendukung

diversifikasi pangan dan agroindustri sehingga

meningkatkan ekonomi masyarakat. Menurut

Hadi (2014) di sektor pertanian, penciptaan nilai

tambah terjadi di sektor tengah dari sistem

agribisnis yaitu pengolahan hasil pertanian

(agroindustri). Hal ini disebabkan usaha di tingkat

sektor tengah lebih menguasai teknologi pencipta

nilai tambah dan akses pasar dibanding usaha di

tingkat hulu (petani/nelayan). Selain itu,

pengembangan produk dan promosi yang sesuai

dengan kebutuhan target pasar juga merupakan

kunci sukses dari strategi pemasaran. Produk

yang berhasil adalah produk yang dapat diterima

konsumen dengan harga, atribut dan tampilan

yang memenuhi kebutuhan konsumen.

Memasarkan sebuah produk, tidak hanya dari segi

kualitas saja, namun perlu memperhatikan atribut

produk tersebut. Perancangan desain kemasan

yang kreatif dan inovatif diperlukan dalam

meningkatkan strategi pemasaran produk sagu.

Menurut Cenadi (2000) kemasan menjadi tampilan

dari sebuah produk untuk menarik konsumen.

Kemasan menuntut banyak pertimbangan dalam

proses pembuatannya karena mempertimbangkan

faktor estetis dan fungsionalnya serta menarik

perhatian konsumen dan memenangkan

persaingan pasar. Menurut Irrubai (2016)

Page 12: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

112

walaupun labeling, packaging dan marketing di

pedesaan masih tradisional tetapi dari waktu ke

waktu mengalami peningkatan yang lebih baik.

Stabilitas harga

Stabilitas harga sagu perlu dijaga untuk

mendukung ketahanan pangan, sehingga harga

pangan terutama sagu tetap berada pada titik yang

terjangkau oleh konsumen. Ditinjau dari sisi

stabilitas harga, sagu merupakan komoditas yang

mempunyai harga relatif stabil, dari tahun 2004 –

2010 dan mengalami peningkatan tahun 2011

(Linda, et al. 2014). Namun demikian, stabilitas

harga sagu perlu dijaga, dengan mendorong

beberapa kebijakan. Kebijakan stabilitas harga

dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk

memperbaiki keseimbangan antara penawaran

dan permintaan agregat dalam perekonomian,

dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan

memperkuat posisi neraca pembayaran

internasional. Cara lain yang dapat dilakukan

yaitu mendorong peningkatan diversifikasi

konsumsi produk turunan sagu (Bantacut 2011).

Menurut Bantacut, (2014) pengembangan sagu di

Indonesia akan mampu memecahkan masalah

keamanan dan kedaulatan pangan karena

memiliki beragam produk turunan. Produk

turunan yang beragam akan meningkatkan

konsumsi sagu dan berdampak pada peningkatan

produksi di petani, sehingga kestabilan harga

dapat terjadi.

Arahan Kebijakan Berdasarkan Kendala Prioritas

Berdasarkan hasil kajian di atas, maka

arahan kebijakan yang dapat digunakan untuk

mengatasi kendala dalam pengelolaan sagu

berkelanjutan kedepannya diperlukan tahapan

perencanaan berdasarkan kendala prioritas

terpilih. Strategi kebijakan dalam implementasi

pengelolaan sagu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Strategi kebijakan dalam implementasi pengelolaan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Table 4. Policy strategy in the implementation of sago managemen in Meranti Islands Regency

No Kendala Kebijakan Program Kegiatan

1 Pemanfaatan dan pengelolaan limbah Waste utilization and management

Pengelolaan limbah sagu Handling of sago waste

Pilot Projek pengelolaan limbah Waste management pilot project

1. Pengolahan limbah padat menjadi pakan ternak dan energi terbarukan. Processing of solid waste into animal feed and renewable energy

2. Pengolahan limbah cair untuk budidaya alga Liquid waste treatment for algae cultivation

2 Sistem ijon Ijon system

Optimalisasi pemanfaatan lahan Optimization of land use

1. Penanaman tum-pangsari pada gawangankebun sagu

Planting with “tumpang sari” in sago garden

2. Diversifikasi usa-ha tani

Diversification farming

3. Pemanfaatan lahan pekarangan petani

Utilization of farmyard

4. Pelatihan pengrajin industri penunjang ekonomi keluarga

Home industry trai-ning for supporting economy of family.

1. Penanaman tanaman pangan pala-wija (jagung, cabe, terong) di gawangan kebun sagu

Food crops planting (corn,chili,eggplant) in sidelines of plants sago.

2. Kombinasi sagu-ternak, sagu-ikan, sagu-tanaman hutan (rotan, gaharu)

Combination of sago-farms, sago-fish, sago-forestry plants (rattan,gaharu).

3. Penanaman tanaman pekarangan (apotek hidup, cabe, bayam, kacang panjang dan lain-lain)

Planting yard crops (herbal plant, chile,spinach, beans etc.)

4. Pelatihan industri makanan/kuliner:

aneka mie, kue kering, gula cair sagu, kerupuk dan lain-lain

Culinary training: noodles, pastry, liquid sugar, cracker,etc

5. Pelatihan keterampilan penunjang

Page 13: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

113

No Kendala Kebijakan Program Kegiatan

ekonomi keluarga, kerajinan tangan, souvenir, rajut, membuat jala ikan.

Training other skills family economic supporting handicrafts, souvenir, knitting, make a fish.

3 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, dis-tribution and market segmentation

Kampanye pangan sehat Healthy food campaign

Pengembangan produk pangan sehat berbasis sagu Development of sago-based healthy food products

1. Sertifikasi pangan sehat Healthy food certification 2. Pembinaan kepada pelaku usaha

dan masyarakat Knowledge development to busi-

nessman and communities

4 Tata kelola air Water mana-gement

Pengembalian lingkungan tumbuh sagu sesuai per-syaratan kon-disinya Repayment growing sago environment in accordance with requirements condition

1. Pembasahan lahan Re-Wetting land

1. Pembuatan trio tata air jika belum tertata/terbuat yaitu : saluran, tanggul, pintu klep.

Triangle water management construction : cannal, barrier, and valve

2. Pembuatan sekat kanal. Cannal partition construction. 3. Pengairan pada lahan sagu yang

jauh dari badan air Watering on land sago that is far from a

body of water

2. Penataan ruang tumbuh sagu

Spatial planning growing sago

1. Pemetaan kelas lahan kesesuaian sagu.

Mapping of land suitability sago. 2. Penanaman sagu sesuai habitatnya Planting sago in their habitat.

5 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan

Peningkatan kualitas daya saing Improving the quality of compe-titiveness

1. Diversifikasi produk

Product diversifi-cation

2. Peningkatan mutu kemasan

Improving packaging quality

1. Desain kemasan Packaging design 2. Diversifikasi pengolahan Processing diversification

6 Stabilitas harga Penguatan ke-lembagaan pe-masaran sagu Institutional establishment of sago marketing

1. Penetapan formu-lasi harga dasar

Determanation of basic price formula-tions

2. Penguatan kelembagaan pemasaran sagu

Institutional streng-thening of sago marketing

1. Pembangunan sentra industry terpadu sagu

Development of integrated sago industrial centers

2. Pembangunan home industry Development of home industry 3. Pembangunan pasar penyangga

(Bulog) Construction of a buffer market (Bulog)

Berdasarkan Tabel 4, penelitian yang

dilakukan memiliki nilai penting dan strategis

dalam perumuskan kebijakan pengelolaan sagu

yang berkelanjutan bagi pemerintah dalam hal : a)

mendorong terbitnya kebijakan kuota sagu sebagai

barang substitusi impor; b) mendorong

pemerintah daerah dalam pengembangan dan

pengelolaan sagu dari hulu ke hilir; c) mendorong

pengelolaan limbah sagu; d) mendorong

penguatan kelembagaan pemasaran sagu; e)

mendorong peningkatan infrastruktur yang

mendukung pengembangan sagu; f) menjadikan

isu sagu sebagai pangan pokok pengganti beras.

Page 14: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

114

KESIMPULAN

Untuk mewujudkaan strategi pengelolaan

sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan

Meranti melalui analisis struktur kendala, maka

dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD)

diperoleh enam belas sub elemen yang

berpengaruh dalam pengelolaan sagu yaitu : K1

(teknik pengeringan sagu); K2 (pengolahan

produk turunan dan desain kemasan); K3

(pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4

(penggunaan teknologi pengolahan air); K5

(persentase penduduk dibawah garis

kemiskinan); K6 (budaya pemanenan sagu); K7

(akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8

(regulasi tata guna lahan); K9 (pola kemitraan

dan pemantapan kelembagaan petani); K10

(sistem ijon); K11 (stabilitas harga); K12 (sumber

modal); K13 (ketersediaan, distribusi dan

segmentasi pasar); K14 (tata kelola air); K15

(asosiasi vegetasi); K16 (kesesuaian lahan);

2. Analisis ISM menghasilkan enam sub elemen

kendala pengungkit yang harus diperhatikan

dalam pengelolaan sagu yaitu: pemanfaatan

dan pengolahan limbah; sistem ijon;

ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar;

tata kelola air; pengolahan produk turunan dan

desain kemasan; dan stabilitas harga.

3. Faktor pengungkit (Leverage factor) dominan

dalam pengelolaan sagu berkelanjutan adalah

pemanfaatan dan pengolahan limbah; sistem

ijon; ketersediaan, distribusi dan segmentasi

pasar; dan tata kelola air.

SARAN

1. Perlu kajian lebih lanjut tentang produk

turunan dari sagu terutama dukungan

teknologi, pelatihan dan penguatan

kelembagaan.

2. Perlu kajian lebih lanjut tentang kelangsungan

usaha pengrajin industri makanan rumah

tangga yang memerlukan tepung sagu basah

sebagai bahan baku berkaitan dengan kondisi

sekarang industri kilang sagu dominan

menghasilkan tepung sagu kering yang dijual

ke luar daerah.

3. Perlu kajian lebih lanjut dalam upaya

peningkatan produktivitas, mengurangi lama

masa panen dan menghapuskan ijon.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, J.B., A.A. Rivaie. 2011. Sagu men-dukung

ketahanan pangan dalam menghadapi

dampak perubahan iklim. Perspektif. 10(2):81-

91.

Asthutiirundu, A. Lay. 2013. Analisis kelayakan

finansial pengolahan tepung sagu menjadi

produk kue bagea (studi kasus pada industri

rumah tangga di Minahasa Selatan). Buletin

Palma. 14(1):61-68.

Ayyasamy, P.M., R. Banuregha, G.

Vivekanandhan, S. Rajakumar, R. Yasodha, S.

Lee, P. Lakshmana-perumalsamy. 2008.

Bioremediation of sago industry effluent and

its impact on seed germination (green gram

and maize). World J Microbiol Biotechnol.

24(11):2677-2684.

Bantacut, T. 2011. Sagu: sumberdaya untuk

penganekaragaman pangan pokok. Pangan.

20(1):27-40.

Bantacut, T. 2014. Indonesian staple food

adaptations for sustainability in continuosly

changing climates. Journal of Environment

and Earth Science. 4(21):202-215.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan

Meranti. 2018. Kabupaten Kepulauan

Meranti Dalam Angka 2018. Selatpanjang

Bukhari, N.A., S.K. Loh, N.A. Bakar, M. Ismail.

2017. Hydrolysis of residual starch from sago

pith residue and its fermentation to bioethanol.

Sains Malaysiana. 46(8):1269-1278.

Cenadi, C.S. 2000. Peranan desain kemasan dalam

dunia pemasaran. Nirmana. 2(1):92-103.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu

dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1 Edisi

Ketiga. Bogor. IPB Press.

Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon Sagu,

Rottb. International Plant Generic

Resources Institute: Pro-moting The

Conservation and The Use of Under

Utilized and Neglected Crops. Rome.

Page 15: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)

115

Gunasekar, V., K. Madhuri., N. Apoorva., G.

Sailaja., V. Ponnusami. 2014.

Bioremediation of sago industry waste. Bio

Technology An Indian Journal. 9(2):73-78.

Hadi, P.U. 2014. Reformasi Kebijakan Penciptaan

Nilai Tambah Produk Pertanian Indonesia. P.

303-316. Dalam Haryono, Pasandaran E.,

Rachmat M., Mardianto S., Salim S.H.P., dan

Heriadi A (Editor). Reformasi Kebijakan

Menuju Transformasi Pembangunan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Jakarta; IAARD Press.

Hardono, G.S. 2014. Strategi pengembangan

diversifikasi pangan lokal. Analisis Kebijakan

Pertanian. 12(1):1-17.

Herman. 2016. Upaya konservasi dan rehabilitasi

lahan gambut melalui pengembangan industri

perkebunan sagu. Soendjoto MA, Dharmono,

Riefani MK, editor. Potensi, Peluang dan

Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan

Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding Seminar

Nasional Lahan Basah 2016; 2016 Nov 5,

Banjarmasin. Banjarmasin (ID): Lambung

Mangkurat University Press.

Hoque, M.E., T.J. Ye, L.C. Yong., and K.M. Dahlan.

2013. Sago starch-mixed low-density

polyethylen biodegradable polymer: synthesis

and characterization. Journal of Materials. 1-8.

Hutabarat H. 2013. Analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi petani dalam penjualan padi

ke tengkulak di Kecamatan Jatilawang

Kabupaten Banyumas. Agritech. 15(2):87-104.

Ibrahim, K., H. Gunawan. 2015. Dampak kebijakan

konversi lahan sagu sebagai upaya

mendukung program pengem-bangan padi

sawah di Kabupaten Halmahera Barat,

Maluku Utara. Prosiding Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia.

Semarang, 9 Mei 2015. 11 hlm.

Irrubai, M.L. 2016. Strategi labeling, packaging,

dan marketing produksi hasil industri rumah

tangga. Social Science Education Journal.

3(1):17-26.

Kandasamy, S., B. Dananjeyan, and K.

Krishnamurthy. 2014. Biodegradation of

cyanide and starch by individual bacterial

strains and mixed bacterial consortium

isolated from cassava sago wastewater.

Research Journal of Chemistry and

Environment. 18(6):13-18.

Konuma, H., R. Rolle., and S. Boromthanarat. 2013.

Correlation of browning of starch extracted

from sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) to the

phenolic content and ecosystem conditions of

growth. Journal of Agricultural Technology.

9(1):193-200.

Kumar, M., and S. Manivannan. 2015.

Biomanagement of sago bagasse with biogas

plant slurry using an indigenous earthworms

perionyx ceylanensis Mich. And lampito

mauritii (kinberg) for nutrients recovery.

Pelagia Research Library. 5(12):12-17.

Linda T., M. Turukay., dan N.F. Wenno. 2014.

Analisis Permintaan Beras di Provisi Maluku.

Jurnal Agrilan (Agribisnis Kepulauan). 2(1):78-

87.

Louhenapessy, J.E., M. Luhukay., S. Talakua., H.

Salampessy., dan J. Riry. 2010. Sagu Harapan

dan Tantangan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Marimin. 2004. Teknik Aplikasi Pengambilan

Keputusan Kreteria Majemuk. Grasindo.

Jakarta.

Nursodik, R., Rosnita., dan E. Sayamar. 2016.

Kemandirian petani dalam berusahatani sagu

di Desa Tanjung Kecamatan Tebing Tinggi

Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi

Riau. SEPA. 13(1):28-39.

Quek, S.Y., D.A.J. Wase., and C.F. Forster. 1998.

The use of sago waste for the sorption of lead

and copper. Water SA. 24(3):251-256.

Rahim, A., Mappiratu., dan A. Noviyanti. 2009.

Sifat fisikokimia dan sensoris sohun instan

dari pati sagu. Jurnal Agroland. 16(2):124-129.

Rashid, W.A., H. Musa., W.S. King., and K. Bujang.

2010. The potential of extended aeration

system for sago effluent treatment. Amerina

Journal of Applied Sciences. 7(5):616-619.

Ritzema, H., S. Limin., K. Kusin., J. Jauhiainen., H.

Wosten. 2014. Canal blocking strategies for

hydrological restoration of degraded tropical

peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.

Catena. 114:11-20.

Salampessy M.L., I.G. Febryano., D. Zulfiani. 2017.

Bound by debt: nutmeg trees and changing

relations between farmers and agents in a

Moluccan agroforestry systems. Forest and

Society. 1(2):137-143.

Page 16: Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu ...

Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116

116

Sangeetha, V., V. Sivakumar. 2016. Biogas

production from synthetic sago wastewater by

anaerobic digestion: optimization and

treatment. Chem. Ind. Chem. Eng. Q. 22(1):33-

39.

Sexana., J.P. Sushil, and P. Vrat. 1992. Scenario

Buliding: A Critical Study of Energy

Conservation in The Indian Cement Industry.

Technological Forecasting and Social Change.

41:121-146.

Simanihuruk, K., Antonius., dan J. Sirait. 2013.

Penggunaan ampas sagu sebagai campuran

pakan komplit kambing Boerka fase

pertumbuhan. Inovasi Teknologi Peternakan

dan Veteriner Berbasis Sumberdaya Lokal

yang Adaptif dan Mitigasi Terhadap

Perubahan Iklim. Prosiding Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013; 2013

Sept 3-5, Medan. Medan (ID): IAARD Press.

Singhal, R.S., J.F. Kennedy., S.M. Gopalakrishnan.,

A. Kaczmarek., C.J. Knill., and P.F. Akmar.

2007. Industrial production, processing, and

utilization of sago palm-derived products.

Carbohydrate Polymers. 72:1-20.

Sisriyanni, D., A. Simanjuntak., dan T. Adelina.

2017. Potensi dan penggunaan limbah sagu

fermentasi sebagai pakan sapi di Kabupaten

Kepulauan Meranti. Teknologi Peternakan dan

Veteriner Mendukung Diversifikasi Sumber

Protein Asal Ternak. Prosiding Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner

2017; 2017Agust 8-9, Bogor. Bogor (ID):

IAARD Press.

Situmorang, R.O.P., dan A.H. Harianja. 2018.

Tingkat preferensi masyarakat mengelola sagu

di Kabupaten Asahan, serta faktor-faktor yang

memengaruhinya. Jurnal Penelitian Sosial dan

Ekonomi Kehutanan. 15(2):129-147.

Suriadikarta, D.A. 2012. Teknologi pengelolaan

lahan rawa berkelanjutan: studi kasus

kawasan ex PLG Kalimantan Tengah. Jurnal

Sumberdaya Lahan. 6(1):45-54.

Susanti, A., O. Karyanto., A. Affianto., Ismail., S.

Pudyatmoko., T. Aditya., Haerudin., H.A.

Nainggolan. 2018. Understanding the impacts

of recurrent peat fires in Padang Island – Riau

Province, Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan.

12:117-126.

Tarigan, D.D. 2001. Sagu memantapkan

swasembada pangan. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 23(5):1-3.

Trisia, M.A., A.P. Metaragakusuma., K. Osozawa.,

and H. Bai. 2016. Promoting sago palm in the

context of national level: chalenges and

strategies to adapt to climate change in

Indonesia. International Journal Sustainable

Future for Human Security. 4(2):54-63.

Tiro, B.M.W., P.A. Beding., and Y. Baliadi. 2018.

The utilization of sago waste as cattle feed. IOP

Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 119:1-9.

Utami, A.S., T.C. Sunarti., N. Isono., M.

Hisamatsu., and H. Ehara. 2014. Preparation of

biodegradable foam from sago residue. Sago

Palm. 22:1-5.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar statistika Edisi ke

3. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wang, W.J., A.D. Powell., and C.G. Oates. 1996.

Sago starch as a biomass source raw sago

starch hydrolysis by commercial enzymes.

Bioresource Technology. 55: 55-61.

Widodo A.C., K. Damayanti., MFRH. Rambey.,

P.D. Novitasari., dan S. Bonata. 2016. Upaya

petani sagu dalam usaha budidaya sagu pasca-

proyek kanalisasi: studi di Desa Sungai Tohor,

Riau. Jurnal Indonesia Student Research &

Summit 2016. 2:32-41.

Yadaf, R., and G. Garg. 2013. A review on Indian

sago starch and its pharmacuetical

applications. International Journal of

Pharmaceutical and Life Sciences. 2(3):99-106.

Yasin, A.Z.F., A. Rifai., E. Maharani., S. Hutabarat.,

N. Haska. 2005. A study on sago agribusiness

in Riau Province, Indonesia. Sago Palm. 13:1-8.

Zawawi, Z.A.M., N.F. Akam., D. Dose., S. Alyssa.,

R.A. Ahmad., and Z. Yussof. 2017.

Biodegradable plastics from sago starch.

Journal of Mechanical Engineering

Department PKS. 1(1):46-54.