ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MELAKUKAN …/Analisis... · (Skripsi) Disusun dan diajukan ... Arip,...
Transcript of ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MELAKUKAN …/Analisis... · (Skripsi) Disusun dan diajukan ... Arip,...
i
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MELAKUKAN PENEMUAN
HUKUM UNTUK MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI KASUS
KORUPSI BLBI (STUDI PUTUSAN MA NO.17 PK/PID/2007)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
ETIKA FARIDA
NIM : E1106118
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MELAKUKAN PENEMUAN
HUKUM UNTUK MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI KASUS
KORUPSI BLBI (STUDI PUTUSAN MA NO.17 PK/PID/2007)
Disusun oleh :
ETIKA FARIDA
NIM : E1106118
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO S.H,M.Hum
NIP. 196202091989031001
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MELAKUKAN PENEMUAN
HUKUM UNTUK MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI KASUS
KORUPSI BLBI (STUDI PUTUSAN MA NO.17 PK/PID/2007)
Disusun oleh :
ETIKA FARIDA
NIM : E1106118
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 23 Maret 2010
TIM PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ................................. ) NIP. 195706291985031002 Ketua 2. Kristiyadi, S.H., M.Hum. ( ..................................) NIP. 195812251986011001 Sekretaris 3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ................................. ) NIP. 196202091989031001 Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP : 196109301986011001
iv
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari
suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
”Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah bila kita berhasil melakukan apa yang menurut
orang lain tidak dapat kita lakukan”
(Walter Beganhot)
“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita dan berusaha
mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”
(Hamka)
“Setiap manusia pasti akan melalui fase tersulit dalam hidup, jadikanlah suatu keterpurukan
dalam hidup sebagai acuan melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih baik lagi. Karena
larut dalam keterpurukan adalah neraka dunia yang paling jahanam.”
(Penulis)
“Hidup itu pilihan so pilih lah jalan terbaik untuk hidup mu”
(Penulis)
“Kata sesal tidak bisa diucap di awal, dan sebisa mungkin jangan sampai terucap di akhir.
Usaha dari manusia itu sendiri adalah untuk mengetahui jawaban yang telah digariskan
Allah.”
(Penulis)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih
kepada :
1. Allah SWT Sang Pencipta Alam Semesta atas segala karunia, rahmat, dan nikmat yang
telah diberikan-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri teladan
yang baik bagi umatnya.
3. Kedua Orangtua Ku tercina Bapak H.Maryadi dan Ibu Hj.Sumiyati di desa.
4. Adik- adikku tercinta Laely Alpiah dan Nikmah choiriyah atas semangat dan
keceriaanya
5. Seluruh keluarga besarku atas perhatian dan dukungannya.
6. Sahabat-Sahabatku.
7. Indonesia Tanah kelahiranku,dimana aku hidup dan mengabdi.
8. Almamterku,Universitas sebelas Maret Surakarta.
vi
ABSTRAK
ETIKA FARIDA, 2010. ANLISIS PERTIMBANAGAN HAKIM MELAKUKAN PENEMUAN HUKUM UNTUK MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI KASUS KORUPSI BLBI (STUDI PUTUSAN MA NO.17/PK/PID/2007) Fakultas Hukum UNS. Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui wewenang hakim Mahkamah Agung untuk menemukan hukum dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali perkara korupsi BLBI Sebagai penelitian hukum, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal.Sumber data utamanya berupa data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data menggunakan teknik analisis data yang bersifat tafsiran hukum sehingga diperoleh kesimpulan yang bersifat obyektif dan sistematis sebagai jawaban dari permasalahan yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus korupsi BLBI dengan terpidana David Nusa Wijaya adalah dalam memaknai pengertian melawan hukum dalam UU no. 31 tahun 1999. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 menyebutkan bahwa pengertian melawan hukum meliputi formil dan materiil. Penjelasan Pasal tersebut dinyatakan “tidak mengikat secara hukum” oleh putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU.IV/2006. Akibat putusan MK tersebut maka yang dimaksud/pengertian “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi tidak jelas. Untuk mengatasi ketidakjelasan tersebut, maka Hakim Mahkamah Agung harus melakukan penemuan hukum dalam memaknai pengertian melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999. Hasil Penemuan hukum tersebut adalah bahwa dengan mengacu pada beberapa teori, maka Hakim Mahkamah Agung dalam pemeriksaan PK tetap memaknai pengertian melawan hukum dalam arti yang luas, yaitu formil dan materiil.
vii
ABSTRACT
ETIKA FARIDA, 2010. THE ANALYSE OF THE JUDGE CONSIDERATION IN DOING THE INVENTION OF LAW TO FILL THE BLANKNESS OF LAW IN SESSION OF THE COURT OF SIGHTING RETURN TO THE CASE OF BLBI CORRUPTION (CASE STUDY OF SUPREME COURT NO. 17/PK/PID/2007) Faculty of Law, Sebelas Maret University. This research of law aims to find out the competent of judge of Supreme Court to find the law in session of the court of sighting return to the case of BLBI corruption. As the research of law, this research represents the research of law of normative or doctrinal. The main source of data can be secondary data, which contains premier law material, secondary law material, and tertiary law material. The data analysis used techniques of data analysis which have characteristic of law interpretation so that it can be gotten the objective and systematic conclusion as the answer of the research problems. From the result of analysis, the result of the data test yields that form of the law invention which is done by the judge of Supreme Court in session of the court of sighting return to the case of BLBI corruption with the suspect of David Nusa Wijaya is in concerning the meaning of oppose the law in statute number 31 year 1999. The explanation of section 2 sentence (1) in statute number 31 year 1999 mentioned that the meaning of oppose the law contains formal and material. The explanation of the section is mentioned “do not bind judicially” by the decision of Constitution Law court no. 003/PUU.IV/2006. The consequence of the decision of Constitution Law court makes the meaning of “oppose the law” in the section 2 sentence (1) unclearly. To overcome this unclearness, hence the judge of Supreme Court should do the law invention in concerning the meaning of oppose the law in the section 2 sentence (1) of statute number 31 year 1999. The result of the law invention is by referring at some theories, hence the judge of Supreme Court in PK inspection remains to concern the meaning of oppose the law in wide meaning, that is formal and material.
vi
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis
mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul “ANALISIS
PERTIMBANAGAN HAKIM MELAKUKAN PENEMUAN HUKUM UNTUK
MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA
PENINJAUAN KEMBALI KASUS KORUPSI BLBI (STUDI PUTUSAN MA
NO.17/PK/PID/2007)”
Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-
syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan hukum ini, penulis mengalami banyak hambatan dan
permasalahan baik secara langsung maupun tidak langsung menyangkut
penyelesaian penulisan hukum ini. Namun berkat bimbingan, bantuan moral
maupun materiil, serta saran dari berbagai pihak yang tidak henti-hentinya
memberi semangat dan selalu mendukung penulis.Maka tidak ada salahnya
dengan kerendahan hati dan perasaan yang tulus dari sanubari yang paling dalam,
penulis memberikan penghargaan berupa ucapan terima kasih atas berbagai
bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama melaksanakan studi sampai
terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini, maka pada kesempatan kali ini
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang kepada :
1. Bapak Prof. DR. Dr. Syamsulhadi, SpKj selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret.
2. Bapak Moh. Jamin, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret yang telah banyak memberikan kemudahan
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H, MH selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
Yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
ix
4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. Selaku Pembimbing Skripsi yang
telah sabar dan tidak lelah memberikan bimbingan,dukungan,nasihat,
motivasi demi kemajuan Penulis.
5. Ibu Djuwityastuti, S.H, selaku Pembimbing Akademik Penulis yang
selalu memberi wejangan selama belajar di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
6. Bapak Waluya, S.H, M.Si selaku Pembimbing KMM di Kejaksaan Negeri
Sragen yang telah mendampingi penulis dalam menempuh kegiatan
tersebut.
7. Bapak Kristiyadi, S.H, M.H, selaku dosen Hukum acara pidana yang telah
memberikan dasar-dasar hukum acara pidana.
8. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku bapak non reguler .
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis
selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
10. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh
studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta.
11. Seluruh staf dan pegawai jajaran Kejaksaan Negeri Sragen yang telah
banyak membantu dan memberi banyak pengalaman kepada penulis.
12. Kedua Orangtua Ku tercina Bapak H.Maryadi dan Ibu Hj.Sumiyati di
desa,matur Suwun sanget untuk kasih sayang,doa serta segenap
pengertian, dukungan dan kepercayaan atas segala jalan yang Penulis pilih
dan keputusan yang Penulis buat. Dan tidak pula di pungkiri atas semua
“uang saku” yang telah engkau berikan. Walaupun mungkin mereka tidak
mengerti tentang apa yang sedang Penulis kerjakan tetapi support mereka
adalah suatu bentuk pengertian terbesar mereka terhadap Penulis.
13. Adik-adikku Laely yang suka mendadak sakit menjelang ujian,Si hitam
manis Nikmah yang membuat hari-hari penulis selalu ceria.Mz.fauzy dan
x
Keponakan-keponakanku yang selalu mengganggu jalannya penulisan
hukum ini, fahlul, Arip, fai, eri, ipin, putri, izzah, qois, arik, anip, bagas
dan dyas yang setia mendampingi penulis dalam suka maupun duka dan
selalu memberikan motivasi serta selalu mengorbankan waktunya
untukku.
14. Keluarga Besar Penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan
baik moril maupun materiil.
15. Kangmas yang telah setia mendampingiku dalam suka maupun duka, yang
selalu memberikan motivasi serta selalu mengorbankan waktunya
untukku.terimakasi atas semua yang telah engkau berikan, maaf penulis
belum bisa membalas semua kebaikanmu.
16. Soulmateku Deden Andriani S.H dengan mz.ridwanya dan Ririn Setiawati
S.H dengan pak pol.isharyanto nya,yang selalu ada untuk penulis di saat
suka maupun duka,Makasih boat semua motivasi dan nasehat yang kau
berikan, penulis bukan apa-apa tanpa kalian.
17. Seseorang yang pernah mengisi relung hati penulis terima kasih atas
semangat, kesabaran dan kasih sayang yang pernah kau berikan, penulis
berdoa semoga Tuhan YME selalu menjagamu.
18. Teman-teman seperjuanganku yang berjuang pantang menyerah demi
sebuah toga: Winda, Shenny, Berlian, mz.Donii, Yudha, Jefry, Topik,
Nana, Andika dll.
19. Teman-teman kuliah seperjuanganku: Aby, Ajay, Rodi, Anung, Entud,
Setom, Gepeng, Noni dina, Noni Sari dll. dan seluruh teman-teman
Angkatan 2006 FH UNS yang telah mengisi hari-hari Penulis selama ini
hingga lebih berwarna dan berarti. Maaf tidak bisa menyebutkan kalian
satu persatu
20. Temen-Temen ku: Ade, Wafa, Julek, Nina, Qoqom, Mb.Ndi.2, Mb.Riema,
Pak.Anton Jaksa, Winda 09, Tyaz 09, Anu, Rojan, Haris, Simmo, Benciz,
Kintil, Buyung yang selalu kompak,di tunggu maen bareng nya lagi.
xi
21. Teman-teman Angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 reguler
maupun non reguler yang telah banyak mewarnai kehidupan Penulis dalam
studi di Kampus Hukum tercinta
22. Pasukan Pengamanan Kampus : Bapak Harno dan Crew, Mas Pardi, mas
Wahyono, mas Eko, serta kerabat kerja yang komitmen terhadap
kenyamanan Kampus.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima
dengan senang hati
Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan
Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal
baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN MOTTO...................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v ABSTRAK ....................................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... vii DAFTAR ISI ....................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 7
E. Metode Penelitian ...................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ........................................................................... 12
1. Tinjauan Umum tentang Hakim Mahkamah Agung ............. 12
a. Pengertian Hakim ........................................................... 12
b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim ....................... 12
c. Pengertian Mahkamah Agung......................................... 13
d. Wewenang Mahkamah Agung........................................ 14
e. Arti Penting Putusan Hakim ........................................... 15
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi ................ 16
a. Pengertian Korupsi ......................................................... 16
b. Sifat Delik Korupsi ........................................................ 25
c. Ciri-Ciri Korupsi ............................................................. 26
d. Sebab-Sebab Korupsi...................................................... 26
3. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Peninjauan Kembali 27
a. Pengertian dan Jenis Upaya Hukum .............................. 27
xiii
b. Pengertian Tentang Peninjauan Kembali ....................... 28
B. Kerangka Pemikiran .................................................................. 30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pertimbangan Hakim untuk Melakukan Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan Kembali Kasus Korupsi BLBI ......................................................... 32
1. Kasus posisi .......................................................................... 32
2. Identitas Terpidana ................................................................ 33
3. Dakwaan .......................................................................... 34
4. Tuntutan Pidana..................................................................... 34
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
tanggal 11Maret 2002 No.504/Pid.B/2001/PN. Jkt.Bar ....................................................................... 35
6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
No.67/Pid/2002/PT.DKI tanggal 12 Agustus 2002 ........................................................ 35
7. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung
RI No.830 K/Pid/2003 tanggal 23 Juli 2003 ............ 36 8. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh
Terpidana ................................................................... 37 9. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan
Perkara Peninjauan Kembali ...................................... 75 10. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam
Pemeriksaan Peninjuan Kembali ............................... 77 11. Pembahasan ..................................................................... 79
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................. 88
B. Saran ................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagai suatu Negara yang dalam tahap membangun dan berkembang,
Indonesia memiliki suatu tujuan dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia 4 yaitu melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita tersebut, bangsa Indonesia harus
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta
kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus-menerus dari
generasi ke generasi. Untuk menjamin terlaksananya usaha tersebut perlu
setiap generasi dibekali oleh generasi yang terdahulu dengan kehendak,
kesediaan, dan kemampuan serta ketrampilan untuk melaksanakan tugas
tersebut guna terwujudnya tujuan dan cita-cita bangsa.
Sehubungan dengan cara untuk memenuhi kesejahteraan, maka orang
seringkali menempuh cara-cara yang dilarang oleh peraturan. Sikap seseorang
tersebut sangat bertentangan dengan peraturan yang melandasi Negara hukum
ini. Menurut UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana
keseluruhan perilaku dan tindakan setiap warga Negara dan aparatur Negara
tunduk terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
segi hukum, rumusan umum yang dapat disampaikan adalah bahwa segala
tindakan termasuk kebijaksanaan-kebijaksanaan harus didasarkan pada
ketentuan-ketentuan hukum.
Korupsi merupakan suatu momok bagi setiap negara di dunia. Korupsi
yang telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa
konsekuensi
2
terhambatnya pembangunan di suatu negara. Tak pelak lagi, gaung
pemberantasan korupsi semakin bergema di seluruh dunia. Indonesia sebagai
salah satu negara dengan peringkat korupsi teratas, ikut serta dalam langkah
tersebut dengan memperkuat perangkat hukum yang ada untuk memberantas
korupsi, yaitu diantaranya dengan membentuk UU tentang Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian ditindaklanjuti dengan UU Pengadilan Khusus
Korupsi.
Walaupun Indonesia termasuk dalam peringkat teratas dalam korupsi,
namun secara statistik tidak banyak kasus korupsi yang dapat dijerat dengan
perangkat hukum yang ada. Hal ini tentunya menimbulkan suatu pertanyaan
besar mengenai bagaimanakah sebenarnya proses penegakan hukum dalam
bidang korupsi di negara ini. Ketidakantusiasan masyarakat yang secara nyata
terlihat dalam menyikapi upaya pemerintah dalam memberantas korupsi
secara retorik menjawab pertanyaan besar tersebut
Di seluruh dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak
yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi
merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas
dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan
juga politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena
lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan
ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional
tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak
pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran
terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya
3
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
dengan cara-cara luar biasa.
Korupsi itu sendiri adalah merupakan suatu penyakit dalam
masyarakat, suatu hal yang dapat menghambat jalannya pembangunan di
Negara kita ini. Karena itu sebagaimana juga berbagai penyakit dalam
masyarakat lainnya, penyakit ini perlu diberantas. Darimana dan bagaimana
memulai pemberantasan korupsi, ketika penyimpangan kekuasaan itu sudah
merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan, dalam lingkungan politik dan
birokrasi yang tidak mendukung. Sementara pemerintahan baru yang
diharapkan masyarakat dapat memutus mata rantai korupsi yang ditinggalkan
rezim lama, juga harus menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi, masalah
politik dan keamanan yang juga sama pentingnya untuk diselesaikan dalam
waktu bersamaan.
Sejauh ini banyak pihak di tanah air, termasuk pemerintah, yang
meyakini penyelesaian masalah semacam itu sesuatu hal yang tidak mudah
dan harus ditoleransi sebagai masalah bersama yang telah membudaya yang
harus dihadapi dengan kesabaran tinggi, sambil berharap ada perebaikan
dalam jangka panjang. Tidak ada perbedaan signifikan korupsi yang terjadi
pada era demokrasi ini, bahkan sesungguhnya merupakan kelanjutan sistem,
pola dan cara-cara yang diwariskan orde baru. Terutama korupsi di birokrasi
pemerintah relatif tidak mengalami perubahan. Hal ini mudah dipahami
karena birokrasi hampir 100 persen masih di dominasi orang-orang lama,
meskipun pemerintahannya berganti. Juga tidak ada kebijakan untuk
mereformasi birokrasi, termasuk lembaga pengawasan dan institusi hukum
guna mempersempit peluang-peluang bagi terjadinya korupsi dan menjamin
pelakunya diadili.
Salah satu kasus yang menyita perhatian masyarakat adalah kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah berlangsung bertahun-
tahun. Dana BLBI senilai Rp 144,5 triliun itu digunakan untuk membantu
perbankan yang kesulitan likuiditas saat krisis moneter tahun 1997. sampai
4
saai ini masih banyak jejak yang belum terhapus dari kasus BLBI ini yang
terus membebani negara.
Beban utang yang harus ditanggung oleh negara akibat skandal BLBI
itu tentu saja juga sangat besar. Lebih dari Rp 1000 triliun harus disediakan
untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap, dengan beban
pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun – Rp
50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan ini menyebabkan
menurunnya kemampuan keuangan negara, khususnya dalam membiayai
pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan serta peningkatan
kesejahteraan rakyat. Ironisnya, sebagian dari pengemplang dana BLBI itu
kini justru masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia dimana kekayaan 150
orang terkaya (versi Globe Asia 2007) mencapai US$ 46,6 miliar atau Rp 438
triliun
Dalam Perkara kasus korupsi BLBI (STUDI PUTUSAN MA
NO.17PK/PID/2007).Bahwa Majelis Hakim kasasi telah membuat kekeliruan
nyata, dalam bentuk kesalahan penerapan hukum dengan mengubah/
memperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana, padahal :
a. Mengenai berat ringanya pidana yang dijatuhkan adalah merupakan
wewenang judex facti (Cq. Pengadilan Tinggi) yang tidak tunduk pada
kasasi, kecuali dalam menjatuhkan pidana tersebut melampui batas
maximum ancaman pidana atau kurang dari batas minimum ancaman
pidananya, yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau
menjatuhkan hukuman dengan tidak memberikan pertimbangan yang
cukup;
b. Bahwa dalam perkara ini judex facti (cq. Pengadilan Tinggi) dalam
menjatuhkan pidana telah mengambil alih pertimbangan hukum
Pengadilan Negeri tentang keadaan-keadaan yang memberatkan dan
meringankan pemidanaan dan menambah dengan pertimbangannya sendiri
tentang keadaan-keadaan yang memberatkan pemidanaan sehingga
putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengenai pidana yang dijatuhkan telah
berdasarkan pertimbangan yang cukup, karena itu telah memenuhi syarat
5
formil putusan pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat
1 huruf (f) KUHAP;
c. Bahwa pidana yang dijatuhkan oleh judex facti (Pengadilan Tinggi)
tidakmelampui batas maximum ancaman pidananya atau kurang dari batas
minimum ancaman pidana yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan;
d. Bahwa walaupun tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum tidak
mengikat hakim, tetapi lebih arif kalau hal tersebut diperhatikan dan dalam
perkara ini Pengadilan tinggi telah menjatuhkan pidana yang sesuai
dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yaitu pidana penjara selama 4 (empat)
tahun;
e. Bahwa benar merupakan kekeliruan yang nyata dari Majelis Hakim Kasasi
yang tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan pemidanaan
yaitu dengan adanya itikad baik dan sikap kooperatif yang ditunjukkan
Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam menyelesaikan dana
BLIBI dimana Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana telah
menyerahkan seluruh milik pribadi, keluarga maupun PT. Bank Umum
Servitia kepada Pemerintah cq.BPPN, walaupun ada laporan mengenai
hasil penjualan asset-asset tersebut dari BPPN.
Menurut Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
kehakiman Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya Pasal 16
ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila
terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum
6
mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk
menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-
undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka
menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun
2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik
untuk menelitinya dan menyusunnya kedalam penulisan hukum dengan judul
“ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MELAKUKAN PENEMUAN
HUKUM UNTUK MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM
PEMERIKSAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI KASUS
KORUPSI BLBI (STUDI PUTUSAN MA NO.17 PK/PID/2007)”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Untuk dapat memperjelas tentang permasalahan yang ada agar
pembahasannya lebih terarah dan sesuai dengan tujuan serta sasaran yang
diharapkan, maka penting sekali adanya perumusan masalah yang akan
dibahas. Perumusan masalah juga akan memudahkan penulis dalam
pengumpulan data, menyusun data dan menganalisisnya, sehingga penelitian
dapat dilakukan secara mendalam dan sesuai dengan sasaran yang telah
ditentukan. Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah :
Bagaimanakah implementasi wewenang hakim Mahkamah Agung untuk
menemukan hukum dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali perkara
korupsi BLBI
7
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian merupakan suatu terget yang ingin dicapai dalam
suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan
obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif).
Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui wewenang hakim Mahkamah Agung dalam
menemukan Hukum pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus
Korupsi BLBI.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis
terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diperoleh penulis serta
sinkronisasinya dengan pelaksanaan teori-teori tersebut dalam
prakteknya.
b. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas sebagai bahan
untuk menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam
memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas, juga diharapkan
memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan
hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana di Indonesia, serta
dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut.
b. Manfaat Praktis
1. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai
bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
8
2. Memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang
dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk mengetahui kemampuan
3. penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada
kuantitas / banyaknya data (Lexy J. Moleong, 1993:3). Dalam penelitian
hukum normatif, peneliti cukup dengan mengumpulkan data-data sekunder
dan mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil penelitian. Sifat
penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis. Disebut deskriptif
karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara
menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang diteliti.
Dari sifatnya termasuk jenis penelitian deskriptif, karena
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin, sistematis
dan menyeluruh tentang Wewenang Hakim Mahkamah Agung untuk
menemukan Hukum (Recht finding) dalam pemeriksaan perkara
peninjauan kembali perkara korupsi BLBI
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk memahami fenomena
tenteng apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, tindakan, secara holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
3. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan
oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-
bahan kepustakaan, terdiri dari literature, dokumen-dokumen, peraturan
perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan
9
sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang
diteliti.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan berupa data sekunder adalah:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis
gunakan adalah
1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2) KUHP
3) UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaaan kehakiman
5) UU No. 5 tahun 2005 tentang Mahkamah Agung
6) Putusan Mahkamah Agung No.17 PK/Pid/2007
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan hukum primer : yaitu buku-buku ilmiah yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti, hasil penelitian yang relevan dan
buku-buku penunjang lain.
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk yaitu : kamus hukum, artikel internet.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisa yang dipakai peneliti adalah teknik analisa kualitatif
dengan model interaktif yaitu : data yang terkumpul akan dianalisa melalui
tiga tahap :
10
a. Mereduksi data
b. Menyajikan data
c. Menarik kesimpulan
Selain itu dilakukan pula suatu proses siklus antara tahap – tahap
tersebut. Sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu dengan
yang lainnya secara sistematis.Setelah data terkumpul kemudian direduksi,
setelah itu kita sajikan kemudian kita ambil kesimpulan. Tahapan ini harus
dilakukan secara berurutan, seperti misalnya kita memperoleh data tanpa
kita reduksi data itu sudah lengkaplansung kita sajikan. Dan misalnya kita
sudah ampai tahap penyajian data maka kita kesulitan untuk mengambil
kesimpulan, karena data masih kurang lengkap dan kita dapat kembali ke
tahap pengumpulan data lagi atau ke tahap yang lainnya. Jadi antara tahap
satu dengan lainnya saling berhubungan membentuk suatu siklus.
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika
penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya
ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada awal bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal
tentang penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian
yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi
penelitian ini secara garis besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka
pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang
wewenang hakim Mahkamah Agung untuk menemukan hukum
11
dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali perkara korupsi
BLBI .
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan
tentang Wewenang Hakim Mahkamah Agung untuk menemukan
Hukum dalam pemeriksaan perkara peninjaun kembali perkara
korupsi BLBI.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan
simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran
sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hakim Mahkamah Agung
a. Pengertian Hakim
Yang dimaksud “Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili” (Pasal 1 butir 8
KUHAP. Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud
dengan “mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim, untuk
menerima, memeriksa memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 1 ayat (9) KUHAP).
Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal
31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
Menurut UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
hakim mempunyai kewajiban :
1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat” (Pasal 28 ayat (1)).
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”
(Pasal 28 ayat (2)).
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau
13
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan hakim
ketua, salah seorang hakim anggota jaksa, penasehat hukum, atau
panitera (Pasal 29 ayat (2)).
4) Hakim ketua sidang, hakim anggota, bahkan jaksa atau panitera yang
masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau
semenda dengan yang diadili, wajib pula mengundurkan diri dari
pemeriksaan itu (Pasal 29 ayat (3)).
5) Sebelum memangku jabatan hakim diwajibkan bersumpah dan
berjanji menurut agamanya (Pasal 30).
Sedangkan yang berisi tanggung jawab hakim yaitu bahwa
”Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1)).
c Pengertian Mahkamah Agung
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi,
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukim dan
keadilan.
Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai
wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan kewenangan lainnya yang
diberikan oleh undang-undang. Kekuasaan kehakiman yang merdeka
merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu
negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun,
sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan
ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan
keadilan.
14
Di dalam Pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 dinyatakan bahwa
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
d. Wewenang Mahkamah Agung
Pasal 28 ayat (1) UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, menyebutkan bahwa Mahkamah Agung bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus. permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik
Indonesia. Sedangkan Di dalam Pasal 11 UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Mahkamah Agung
merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan
peradilan Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang undang
terhadap undang-undang; dan
3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Di dalam Pasal 31 UU No. 5 tahun 2005 tentang Perubahan atas
UU No. 15 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa
Mahkamah Agung mempunyai wewenang :
1) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
2) Menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku. Putusan mengenai tidak sahnya
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
15
(2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada
tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
e Arti Penting Putusan Hakim
Di dalam undang-undang termuat hukum, berwujud aturan-
aturan. Ini merupakan hukum yang tertulis. Tetapi di dalam tindakan-
tindakan seseorang pun juga tersimpul hukum. dari kenyataan-
kenyataan itupun juga dapat diketemukan aturan-aturan. Ini merupakan
hukum yang tidak tertulis, sekedar itu tidak juga terdapat dalam sebuah
undang-undang.
Jika seseorang melakukan tindakan yang tidak sebagaimana
hukumnya, jikalau ada persoalan bagaimanakah hukumnya, maka harus
ditemukan bagaimanakah atau apakah hukumnya itu. Kita sendiri juga
dapat mengatakan bagaimanakah hukumnya itu dalam suatu hal, akan
tetapi pendapat kita itu adalah pendapat perseorangan. Pendapat kita itu
tidak mempunyai kekuatan mengikat secara obyektif.
Orang-orang yang pendapatnya justru mempunyai kekuatan
mengikat yaitu petugas hukum, yang salah satunya ialah hakim, atau
pengadilan. Hakim di dalam keputusannya, menetapkan bagaimana
hukumnya yang berlaku di dalam sesuatu hal. Petugas hukum lainnya
ialah pembentuk undang-undang. Tetapi tugas hakim berlainan daripada
tugas pembentuk undang-undang, walaupun pada asasnya sama, yaitu
menetapkan hukum. Hakim memutuskan hukumnya yang berlaku
secara konkrit, sedangkan pembentuk undang-undang secara abstrak.
16
Di negara-negara Anglo-Saxon, termasuk Amerika Serikat. Di
sana para hakim terikat kepada keputusan yang sudah ada lebih dahulu
dari hakim-hakim yang lebih tinggi dan hakim-hakim yang sejajar.
Dengan demikian di negara itu terjadi "judge make law", atau "case
law". Sedangkan di Indonesia tidak demikian karena putusan hakim
terdahulu dalam perkara kemudian yang serupa boleh diikuti oleh hakim
yang akan mengambil keputusan. Kata "boleh" berarti tidak harus.
Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian
hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk
mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia, yaitu menjamin
prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang
terkuat yang berlaku, beberapa asas yang terkandung dalam asas
kepastian hukum adalah :
1) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum.
2) Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang
cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan
pemerintahan.
3) Asas non-retroaktif perundang-undangan : sebelum mengikat,
undang-undang harus diumumkan secara layak.
4) Asas non-liquet : hakim tidak boleh menolak perkara yang
dihadapkan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas
atau tidak ada.
5) Asas peradilan bebas : objektif-imparsial dan adil-manusiawi.
6) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya
dalam undang-undang dasar.
Negara adalah suatu penataan yuridisal, dimana kekuasaan yang
terlegitimasi dijalankan untuk mewujudkan cita-cita politik dan
memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan kolektif. Demokrasi
perwakilan yang sejati hanya dapat terwujud dalam negara hukum.
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi
17
a. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie (Foklema
Andreaea:1951 dalam Lilik Mulyadi, 2000 :16) atau corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata
corrumpore, suatu kata latin yang tua. Dari bahasa Latin inilah turun
kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris: Corruption, corrupt; Prancis:
Corruption; dan Belanda Corruptie (korruptie) (Andi Hamzah,Op.
Cit.:9 dalam Lilik Mulyadi, 2000:16), sedang dalam Ensiklopedia
Indonesia: Korupsi adalah gejala di mana para pejabat badan-badan
negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya. Sedangkan arti harafiah dari korupsi ( Lilik
Mulyadi. dalam Bambang Santoso, 2003:21-22) dapat berupa:
1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan
ketidakjujuran.
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya.
3) Perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang
bersifat buruk
4) Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran
5) Sesuatu yang dikorup, sepereti kata yang diubah atau diganti secara
tidak tepat dalam satu kalimat
6) Pengaruh-pengaruh yang korup.
Istilah korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum di
Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958
tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga
dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang
ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian
sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun
18
(1)
kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.
Pengertian korupsi mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan yang ada di masyarakat, dengan munculnya Undang-
Undang No. 3 Tahun 1971, pengertian korupsi mengalami
perkembangan karena adanya beberapa pasal di dalam KUHP yang
dimasukkan ke dalam ketentuan Undang-undang tersebut. Pengertian
dari perbuatan korupsi tercantum dalam pasal 1 ayat (1) dan (2), yaitu :
a. Barangsiapa melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan negara.
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal
209, 210, 387, 415, 416, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP.
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
seperti dimaksud pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan
atau suatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau oleh si
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu.
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang
diberikan kepadanya seperti tersebut dalam pasal 418, 419, 420
KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada
pihak yang berwajib.
19
(2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk
melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e
pasal ini.
Adapun elemen dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 ini adalah (Darwan Prinst, 2002: 29) :
(1) Secara Melawan Hukum
Adapun yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup
pengertian perbuatan melawan hukum secara formil maupun
materiel. Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang
melanggar/bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan
melawan hukum secara materiel berarti, bahwa meskipun
perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun adalah melawan hukum apabila perbuatan itu dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, seperti bertentangan dengan
adat istiadat, kebiasaan, moral, nilai agama dan sebagainya, maka
perbuatan itu dapat dipidana (penjelasan Pasal 2).
(2) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi
Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini adalah :
b) Memperkaya diri sendiri
Artinya, bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku
menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya
sendiri.
c) Memperkaya orang lain
Maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada
orang lain yang harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan
bukan pelaku langsung.
d) Memperkaya korporasi
Atau mungkin juga mendapat keuntungan dari perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
20
korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999).
(3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Dari rumusan elemen ini diketahui, bahwa tindak pidana korupsi
adalah delik formil, artinya akibat itu tidak perlu sudah terjadi.
Akan tetapi, apabila perbuatan itu dapat /mungkin merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan pidana
sudah selesai dan sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud
dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena :
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat
pusat maupun di daerah.
b) Berada dalam pengusaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara,
atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan perekonomian negara
adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat
pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat
(penjelasan umum UU No. 31/1999).
21
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Ancaman pidananya penjara maksimal
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta
dan paling banyak 1 milyar rupiah.
Sedangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 melihat dari 2 segi Tindak Pidana Korupsi
yaitu Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif. Adapun yang dimaksud dengan
Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
(1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999);
(2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
(Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999);
(3) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 UU No. 31
Tahun 1999);
(4) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001);
(5) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
22
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun
2001);
(6) Memberi atau menjanjikan kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001);
(7) Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 20
Tahun 2001);
(8) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1)
huruf b UU No. 20 Tahun 2001);
(9) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf
c UU No. 20 Tahun 2001);
(10) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d UU
No. 20 Tahun 2001);
(11) Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan yang
atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
23
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001);
(12) Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-
daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20
Tahun 2001);
(13) Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
untuk sementara waktu dengan sengaja; menggelapkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut (Pasal 10 UU
No. 20 Tahun 2001);
(14) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang :
(a) Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau
menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal 12 huruf e UU No. 20
Tahun 2001);
(b) Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara yang lain atau Kas Umum tersebut
mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan hutang (huruf f);
24
(c) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan barang seolah-olah merupakan
hutang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan hutang (huruf g);
(d) Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah
negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan perundang-undangan, telah merugikan orang yang
berhak padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
(e) Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk mengurus atau
mengawasinya (huruf i).
(15) Memberi hadiah kepada Pegawai Negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukan itu (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).
Sedangkan Korupsi Pasif sebagai berikut :
(1) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak bertentangan
dengan kewajibannya (Pasal 1 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001);
(2) Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001);
(3) Orang yang menerima penyerahan bahan dan keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf c UU No. 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat
(2) UU No. 20 Tahun 2001);
25
(4) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun
2001);
(5) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal
12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001);
(6) Hakim menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d
UU No. 20 Tahun 2001);
(7) Setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 UU No. 20
Tahun 2001). (Darwan Prinst, 2002: 2-6)
b. Sifat Delik Korupsi
Delik korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dikelompokkan atas :
a) Delik Korupsi dirumuskan normatif (pasal 2 dan 3)
b) Delik dalam KUHP Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419,
420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi Delik Korupsi (Pasal 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11, 12)
26
c) Delik Penyuapan Aktif (Pasal 13)
d) Delik Korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang
memberi kualifikasi sebagai delik korupsi (Pasal 14)
e) Delik korupsi percobaan, pembantuan, permufakatan (Pasal15)
f) Delik korupsi dilakukan diluar teritori negara Republik Indonesia
(Pasal 16)
g) Delik korupsi dilakukan subyek badan hukum (Pasal 20)
c. Ciri- Ciri Korupsi
Menurut Syed Hussein Alatas korupsi di dalam praktek
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (Martiman Prodjohamidjojo,
2001: 12)
a) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang
b) Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan
c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
d) Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik kebenaran
hukum
e) Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan
yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan
f) Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik
atau masyarakat umum
g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan
h) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif
dari mereka yang melakukan itu
i) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat
d. Sebab-Sebab Korupsi
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah
sebagai berikut (Syed Hussein Alatas, 1980: 47-48):
a) Kelemahan para pengajar agama dan etika
27
b) Kolonialisme, dimana suatu pemerintahan asing tidaklah
menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk
membendung korupsi
c) Kurangnya pendidikan, namun melihat pada realitas yang ada pada
saat ini ternyata kasus-kasus korupsi di Indonesia, mayoritas
koruptor adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual yang
tinggi, sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat
d) Kemiskinan, pada kasus-kasus yang merebak di Indonesia dapat
disimpulkan bahwa para pelaku korupsi bukan disebabkan oleh
kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari
kalangan yang tidak mampu melainkan mereka adalah konglomerat
e) Tiada sanksi yang keras
f) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi
g) Struktur pemerintahan
h) Perubahan radikal, di saat sistem nilai mengalami transisional
i) Keadan masyarakat, k`orupsi dalm suatu birokrasi bisa
mencerminkan masyarakat keseluruhan.
3. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Peninjauan Kembali
a. Pengertian dan Jenis Upaya Hukum
Di dalam Pasal 1 Butir 12 KUHAP, yang dimaksud dengan upaya
hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali. Upaya hukum menurut ilmu hukum dibedakan
menjadi dua yaitu :
1) Upaya hukum biasa, yang terdiri dari :
(a) Banding, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk
diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak
puas atas putusan pengadilan negeri ( Pasal 67 jo Pasal 233
KUHAP ).
28
(b) Kasasi, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta
pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi
karena:
(1) Pengadilan Tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang;
(2) Peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya
(3) Proses peradilan tidak dijalankan menurut ketentuan
Undang-Undang.
2) Upaya hukum luar biasa, yang terdiri dari :
(a) Upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum
Yaitu hak Jaksa Agung untuk meminta pembatalan atas
putusan pengadilan tingkat terakhir.
(b) Upaya hukum peninjauan kembali.
b. Pengertian tentang Peninjauan Kembali
Kata “Peninjauan Kembali” diterjemahkan dari kata herziening.
Menurut M.H.Tirtaamidjaja herziening, adalah suatu jalan untuk
memperbaiki suatu keputusan yang telah menjadi tetap jadinya tidak
dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan Hakim,
yang merugikan si terhukum….Kalau perbaikan itu hendak dilakukan,
maka ia harus memenuhi beberapa syarat, yakni bahwa ada sesuatu
keadaan yang pada pemeriksaan hakim, tidak diketahui oleh hakim
itu……jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan keputusan
lain……..”.
Menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permintaan peninjauan
kembali dilakukan atas dasar :
(1) terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
29
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
(2) dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain.
(3) putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 263 ayat (3) KUHAP mengatakan bahwa atas dasar alasan
yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan.
30
B. Kerangka Pemikiran
Secara garis besar kerangka pemikiran dalam penulisan hukum ini
dapat dilihat dalam skema berikut ini :
Perkara korupsi BLBI
Persidangan judex factie
Pemeriksaan Kasasi
Wewenang MA
Menemukan Hukum
Pengadilan Negeri dan PT
Menghindari Recht Vacuum
Gb.1 Skema Kerangka Pemikiran
Perwujudan Asas Judge make law
Wewenang Hakim MA
Putusan
31
Keterangan
Berdasarkan skema di atas maka, dapat dijabarkan uraian penjelasan kerangka
pemikiran sebagai berikut :
Sesuai dengan tahapan tingkat peradilan di Indonesia, maka perkara
korupsi BLBI diperiksa mulai dari tingkat judex factie, yaitu pemeriksaan oleh
Pengadilan Negeri dan dilanjutkan pemeriksaan banding oleh Pengadilan Tinggi.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan di tingkat kasasi, dimana hakim Mahkamah
Agung tidak lagi memeriksa fakta hukum, akan tetapi lebih menitikberatkan
kepada persoalan penerapan hukum apakah sudah sesuai atau belum.
32
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pertimbangan Hakim untuk Melakukan Penemuan Hukum dalam
Pemeriksaan Perkara Peninjauan Kembali Kasus Korupsi BLBI
1. Kasus Posisi
David Nusa Wijaya alias Ng. Tjuen Wie dalam kedudukannya sebagai Direktur
Utama PT. Bank Umum Servitia Tbk, yang diangkat berdasarkan Rapat Umum
pemegang saham PT. Bank Umum Servitia Tbk, tanggal 23 Juni 1998 dan
mempunyai tugas bersama-sama dengan para Direksi dan pejabat lain untuk
menentukan kebijakan perusahaan, menghadiri diri pertemuan-pertemuan baik di
Bank Indonesia, ataupun di Departemen Keuangan, memimpin rapat-rapat intern
maupun ekstern, berhubungan dengan pihak asing (Bank-Bank asing maupun
Investor asing) sehubungan dengan pengembangan usaha, menerima laporan dari
Direksi tentang keuangan Bank (Finansial Report) dan tingkat kesehatan Bank,
serta mempunyai wewenang menentukan policy perusahaan (Bank), dan
memberikan persetujuan kredit kepada nasabah Rp. 3 milyar ke atas; secara
bersama-sama dengan Wiryatin Nusa Kepala cabang kantor pusat operasional
(KPO) PT. Bank Umum Servitia Tbk, yang berkas perkaranya akan diajukan
secara terpisah atau masing-masing bertindak secara sendiri-sendiri, pada tanggal
22 Desember 1998 sampai dengan tanggal 12 Maret 1999, atau sekitar waktu itu
atau setidak-tidaknya dalam tahun 1998 sampai dengan 1999, bertempat di Jalan
Kopi No.40-50, Jakarta Barat atau di tempat lain di wilayah Pengadilan Negeri
Jakarta Barat atau setidak-tidaknya di tempat lain yang Pengadilan Negeri
Jakarta Barat berwenang memeriksa dan mengadili, dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
33
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan beberapa kali yang
merupakan gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, perbuatan mana dilakukan dengan cara
antara lain sebagai berikut : Bahwa terdakwa pada tanggal 22 Desember 1998
sampai dengan tanggal 8 Pebruari 1999 telah menghimpun dana dari Bank lain
(PUAB) yaitu dari Bank Sanho kemudian membayarkan kembali berikut bunga
yang seluruhnya sebanyak Rp.988.265.055.555,56 (sembilan ratus delapan puluh
delapan milyar dua ratus enam puluh lima juta lima puluh lima ribu lima ratus
lima puluh lima rupiah lima puluh enam sen) yang pada saat itu PT. Bank Umum
Servitia Tbk, dalam keadaan saldo debet sehingga mengurangi saldo debet pada
rekeningnya dengan maksud memperoleh dan menggunakan dana bantuan
likuiditas Bank Indonesia untuk pembayaran kewajibannya, untuk itu terdakwa
David Nusa Wijaya menerbitkan 34 nota kredit dan diserahkan kepada Bank
Sanho melalui kliring/pemindah bukuan Bank Indonesia;. Untuk maksud tersebut
terdakwa telah menerbitkan 34 (tiga puluh empat) nota kredit PT. Bank Umum
Servitia, Tbk sebesar Rp.988.265.055.555,56 melalui Kantor cabang KPO Bank
Umum Servitia Tbk, yang dipimpin oleh Wirjatin Nusa kepada Bank Sanho
seperti diuraikan di atas, sedangkan terdakwa mengetahui bahwa penggunaan
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut tidak diperuntukkan
membayar kepada pihak terkait.
2. Identitas Terpidana
Nama : DAVID NUSA WIJAYA al. NG TJUEN WIE
Tempat lahir : Jakarta ;
Umur / Tanggal Lahir : 40 tahun/27 September 1961
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl. Wijayakarta III No.5 B Mampang, Jakarta Selatan
34
Agama : Budha
Pekerjaan : Swasta/mantan Direktur utama PT. Bank Umum Servitia
Tbk;
3. Dakwaan
Pertama : Melanggar Pasal 1ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 65
ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Undang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 ;
ATAU
Kedua : Melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999
jo Pasal 1 ayat (2) Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal ayat (1) KUHP
4. Tuntutan Pidana
a. Menyatakan Terdakwa DAVID NUSA WIJAYA alias NG TJUEN WIE
bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (1) sub jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo
Pasai 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 ;
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa DAVID NUSA WIJAYA alias NG
TJUEN WIE dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi
selama Terdakwa ditahan ;
c. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
subsidair 6 (enam) bulan kurungan ;
d. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.1.291.
530.307.776,84 (satu trilyun dua ratus sembilan puluh satu milyar lima ratus
tiga puluh juta tiga ratus tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh enam rupiah
delapan puluh empat sen);
e. Menyatakan barang bukti berupa :
35
1) Surat-surat nomor urut I, II dan III dikembalikan kepada Penuntut Umum
untuk dipergunakan dalam perkara lain ;
2) Surat-surat tanah dan bangunan, tanah dan bangunan sesuai daftar barang
bukti nomor urut IV,V, VI dirampas untuk Negara.
d. Membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 11 Maret 2002
No.504/Pid.B/2001/PN.Jkt.Bar :
a. Menyatakan Terdakwa DAVID NUSA WIJAYA alias NG TJUEN WIE telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“KORUPSI”;
b. Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;
c. Menghukum Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
d. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada Negara
sebesar Rp.1.291.530.307.776,84,- (satu trilyun dua ratus sembilan puluh
satu milyar lima ratus tiga puluh juta tiga ratus tujuh ribu tujuh ratus tujuh
puluh enam rupiah delapan puluh empat sen);
e. Menetapkan pidana penjara yang dijatuhkan dikurangkan seluruhnya dengan
masa penahanan Terdakwa :
f. Menyatakan barang bukti berupa :
1) Surat-surat nomor urut I, II, III dikembalikan kepada Penuntut Umum
untuk dipergunakan dalam perkara lain ;
2) Surat-surat tanah dan bangunan, tanah dan bangunan sesuai daftar barang
bukti nomor urut IV, V dan VI dirampas untuk Negara ;
g. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,-
(lima ribu rupiah).
36
6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.67/Pid/2002/PT.DKI tanggal
12 Agustus 2002
a. Menyatakan Terdakwa DAVID NUSA WIJAYA alias NG TJUEN WIE telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
"KORUPSI";
b. Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun ;
c. Menghukum Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) dengan ketentuan bila denda itu tidak dibayar, diganti
dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan ;
d. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada Negara
sebesar Rp.1.291.530.307.776,84,- ( satu trilyun dua ratus sembilan puluh
satu milyar lima ratus tiga puluh juta tiga ratus tujuh ribu tujuh ratus tujuh
puluh enam rupiah delapan puluh empat sen);
e. Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari masa pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa
tersebut;
f. Menyatakan barang bukti berupa :
1) Surat-surat nomor urut I, II, III dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk
dipergunakan dalam perkara lain ;
2) Surat-surat tanah dan bangunan, tanah dan bangunan sesuai daftar barang
bukti nomor urut IV, V dan VI dirampas untuk Negara ;
g. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);
7. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.830 K/Pid/2003 tanggal 23
Juli 2003 :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Terdakwa DAVID
NUSA WIJAYA al. NG TJUEN WIE tersebut;
37
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 12 Agustus 2002
No.67/Pid/2002/PT.DKI jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 11
Maret 2002 No.504/Pid.B/2001/PN.Jkt.Bar
MENGADILI SENDIRI
a. Menyatakan Terdakwa DAVID NUSA WIJAYA alias NG TJUEN WIE telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
"Korupsi dilakukan secara bersama-sama";
b. Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun ;
c. Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani oleh terdakwa, dikurangkan
sepenuhnya dari masa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut;
d. Menghukum Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) dengan ketentuan bila denda itu tidak dibayar, diganti
dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan ;
e. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada Negara
sebesar Rp.1.291.530.307.776,84,- ( satu trilyun dua ratus sembilan puluh satu
milyar lima ratus tiga puluh juta tiga ratus tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh
enam rupiah delapan puluh empat sen);
f. Menyatakan barang bukti berupa :
1) Surat-surat nomor urut I, II, III dikembalikan kepada Penuntut Umum
untuk dipergunakan dalam perkara lain ;
2) Surat-surat tanah dan bangunan, tanah dan bangunan sesuai daftar barang
bukti nomor urut IV, V dan VI dirampas untuk Negara ;
g. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);
8. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Terpidana
1) ADANYA KEADAAN BARU (NOVUM) YANG BELUM DIKETAHUI
PADA PEMERIKSAANPERSIDANGAN SEBAGAIMANA
DINYATAKAN DALAM PASAL 263 AYAT (2) Pasal 263 ayat (2)
KUHAP. Adanya dan diketemukan keadaan baru (Novum), yang jika
38
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan
Bahwa Pemohon PK/Terpidana, dalam kedudukannya selaku direktur utama
PT. Bank Umum Servitia, Tbk ("BUS"), dinyatakan terbukti, melakukan
tindak pidana yang terjadi dalam tahun 1998 sampai 1999, sehubungan
dengan ketiga transaksi BUS yaitu:
- Penerbitan nota kredit untuk pelunasan call money (transaksi PUAB)
Bank Sanho (transaksi PUAB) sejumlah Rp 988.265.055.555,56;
- Penerbitan Negotiable Certificate Deposite (NCD) PT. Bank Dagang Bali
dan PT. Bank Eksekutif sejumlah Rp 277.665.252.221,28;
- Pencairan kredit kepada PT. Mitra Rona Wana Sejahtera sejumlah Rp
25.600.000.000.
Bahwa Pemohon PK mendapatkan bukti baru, yaitu Laporan Keuangan
PT. Bank Umum Servitia, Tbk tanggal 31 Desember 2003 dan 2002 yang disusun
oleh Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah, Sutrisno ("Laporan
Keuangan").
Substansi Laporan Keuangan dalam hubungannya dengan transaksi
PUAB, penerbitan NCD dan Pencairan Kredit adalah sebagai berikut:
1. LAPORAN AUDITOR INDEPENDEN
a. Alinea 1:
“Kami telah mengaudit neraca PTBank Umum Sertivia, Tbk (Bank
Beku Kegiatan Usaha) tanggal 31 Desember 2003 dan 2002, serta laporan
laba rugi dan laporan arus kas untuk tahun-tahun yang berakhir pada
tanggal tersebut”
Bahwa berdasarkan Laporan Auditor Independen yang dikutip di atas,
Laporan Keuangan dimaksud merupakan hasil audit terhadap neraca BUS yang
39
mencerminkan posisi keuangan pada tanggal 31 Desember 2003 dan 2002 yang
merupakan hasil akumulasi dari transaksi yang terjadi pada periode sebelumnya
termasuk transaksi-transaksi yang terjadi di tahun 1998 dan tahun 1999.
Dengan demikian neraca pada Laporan Keuangan BUS tersebut juga
mencerminkan akibat finansial dari transaksi yang terjadi di tahun 1998 dan
tahun 1999 termasuk transaksi PUAB, penerbitan NCD dan Pencairan Kredit.
Prinsip bahwa suatu laporan keuangan mencerminkan transaksitransaksi pada
tahun-tahun sebelumnya ini digariskan pada butir 22 Kerangka Dasar
Penyusunan Laporan Keuangan yang merupakan acuan tertinggi dalam
penyusunan dan penyajian suatu laporan keuangan:
"Untuk mencapai tujuannya laporan keuangan disusun atas dasar akrual Dengan
dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan
bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam
catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang
bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan
informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan
penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa
depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan diterima di masa
depan. Oleh karena itu laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi
masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pemakai dalam
pengambilan keputusan ekonomi."
Laporan Keuangan BUS tersebut memberi informasi posisi keuangan
BUS pada tahun 2003 yang mengkoreksi transaksi pada tahun-tahun sebelumnya
dan merupakan cerminan keseluruhan transaksi/akibat transaksi, termasuk tahun
1998 dan 1999, pada waktu mana terjadinya tindak pidana yang didakwakan,
quad non, Laporan Keuangan ini merupakan dokumen keuangan yang
mencerminkan posisi keuangan terakhir BUS pada saat BUS dinyatakan sebagai
Bank Beku Kegiatan Usaha ("BBKU") hingga dibubarkan, sesuai dengan
pengumuman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tentang
40
Pembubaran Badan Hukum Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha
("Bank Beku") Yang Berada Dalam Penanganan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional dalam Tambahan Berita Negara nomor 45 tahun 2004.
Laporan Keuangan ini menjelaskan keadaan yang telah ada namun belum
diketahui dalam proses pemeriksaan perkara sebelumnya dan jika keadaan
tersebut telah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan.
Dengan demikian hal ini merupakan "keadaan baru" yang merupakan
Novum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) a KUHAP.
b. Alinea 2:
"Kami melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang
ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Standar tersebut mengharuskan kami
merencanakan dan melaksanakan audit agar kami memperoleh keyakinan
memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah sail material. Audit
meliputi pemeriksaan, pengujian, buktibukti yang mendukung jumlah-
jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan."
Bahwa berdasarkan Laporan Auditor Independen sebagaimana
tercantum dalam Alinea 2 Laporan Keuangan BUS, Laporan Keuangan
BUS adalah Laporan Keuangan yang memiliki akurasi dan validitas yang
sudah diuji berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia sehingga merupakan Laporan Keuangan yang dapat
digunakan:
1) untuk menguji kebenaran dari laporan-laporan mengenai transaksi yang
belum diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dengan standar auditing
yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia; dan
2) untuk mengetahui posisi yang sebenarnya dari suatu akun atau
transaksi yang dilakukan BUS.
41
c. Alinea 3:
"Dengan ditetapkannya Bank dengan status Bank Baku Kegiatan
Usaha (BBKU) pada tanggal 12 Maret 1999, sehingga secara faktual Bank
sudah berhenti beroperasi dan kemungkinan besar akan dilikuidasi, Bank
menyusun laporan keuangannya berdasarkan konsep likuidasi dan menilai
kembali seluruh aktiva berdasarkan estimasi nilai wajar".
Bahwa berdasarkan Alinea 3 Laporan Auditor Independen tersebut,
Laporan Keuangan BUS disusun dengan konsep likuidasi yang melakukan
pencatatan kewajiban Bank berdasarkan posisi kewajiban yang aktual
(sesuai fakta) dan melakukan pencatatan harta bank berdasarkan nilai
estimasi.
d. Alinea 4:
"Pada posisi tanggal 31 Desember 2003, seluruh aktiva untuk diiual
dan barang jaminan diambil alih milik Bank, dijual ke BPPN dalam upaya
penyelesaian aset dan kewajiban Bank, sesuai dengan Surat Keputusan
Ketua BPPN No. SK-36/BPPN/0204 tanggal 17 Februari 2004, yang
dirubah dengan Surat Keputusan Ketua BPPN No. SK-56/BPPN/0404
tanggal 12 April 2004 seperti dijelaskan pada Catatan 6 dan 45 atas
laporan keuangan." Bahwa berdasarkan Alinea 4 Laporan Auditor
Independen tersebut di atas, BUS menanggung seluruh kewajiban yang
timbul dari transaksi- transaksi yang dilakukan sebelum periode 2003
termasuk transaksi yang terjadi di tahun 1998 dan 1999. Sebagai
pelaksanaan dari kewajiban tersebut, BUS telah menjual seluruh aset-
asetnya pada tahun 2000 dan 2003 kepada BPPN (lihat Catatan Laporan
Keuangan butir 30 halaman 36, 37, 38 dan 39), dengan mekanisme bahwa
BPPN akan menjual aset-aset tersebut kepada public yang hasil
penjualannya diperhitungkan untuk mengurangi kewajiban BUS.
Bahwa dengan persetujuan BUS sebagai entitas perseroan untuk
menanggung seluruh kewajiban BUS, sebagaimana kemudian
42
direalisasikan dengan Penyerahan Aset Bank kepada BPPN sebagaimana
fakta yang dinyatakan pada butir 30 halaman 36 Laporan Keuangan
(HASIL PENJUALAN AKTIVA INTI DAN NON-INTI KE BPPN),
berarti tidak ada akibat transaksi yang menjadi tanggung jawab pribadi dari
Pengurus Bank karena seluruh transaksi yang terjadi dilakukan dalam batas
kewenangan Pengurus sehingga seluruh akibat transaksi menjadi tanggung
jawab Bank sebagai entitas/badan hukum perseroan.
Bahwa penerimaan tanggung jawab atas transaksi BUS oleh BUS
sebagai tanggung jawab atau kewajiban BUS sebagai entitas/badan hukum
perseroan yang dibuktikan dari Laporan Keuangan BUS (lihat halaman 2,
butir 10 halaman 24, butir 11 halaman 25, dan halaman 32 Laporan
Keuangan), mengandung pengertian hukum bahwa tidak ada tindakan
terpidana sebagai pengurus (dalam hal ini selaku direktur utama) yang
menyalahi kewajiban, tanggung jawab dan kewenangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas:
"ayat (1) Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan. ayat (2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Bahwa dengan demikian, berdasarkan Catatan Laporan Keuangan
dapat disimpulkan bahwa tidak ada penyalahgunaan kewenangan dan atau
Hal. 24 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 tindakan yang
dikualifikasikan sebagai ultra vires oleh David Nusa Wijaya sebagai
Direktur Utama BUS dan karenanya seluruh akibat dari transaksi yang
dilakukan oleh BUS menjadi tanggung jawab BUS sebagai entitas/badan
hukum Perseroan.
2. CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN
43
a. Butir 1 huruf b halaman 7:
INFORMASI UMUM, Penetapan Bank Dengan Status Bank Beku
Kegiatan Usaha (BBKU). "Pada tanggal 12 Maret 1999, Pemerintah, melalui
Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 12 Maret 1999, menyatakan
Bank sebagai Bank dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)
terhitung dan menyerahkannya kepada Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN)".
Bahwa berdasarkan Catatan Laporan Keuangan butir I huruf b
halaman 7 Laporan Keuangan, sejak tanggal 12 Maret 1999 BUS berada
dalam keadaan Bank Beku Kegiatan Usaha dan diserahkan kepada BPPN
termasuk dalam hal penggunaan BLBI, penyusunan Laporan Penjualan Aset
dan penyusunan Laporan Keuangan BUS.
b. Butir 3 alinea 2 halaman 10:
PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM/PKPS
"Untuk bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya, proses PKPS
dilaksanakan dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham yang
timbul akibat kerugian yang diderita oleh bank BBKU".
"Sehubungan dengan masalah tersebut, Menteri Negara Koordinator
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua Komite Kebijakan
Sektor Ekonomi (KKSK), menerbitkan Surat Keputusan No, Kep.
12/M.EKUIN/04/2000, Tentang Prinsip Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham dari BBKU Kepada Pemerintah yang timbul akibat pembekuan
Usaha Bank".
"Proses PKPS dilaksanakan terhadap BBKU Kategori B, yaitu bagi
bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atas nilai asset
pemegang saham bank dan atau ;
b. Melakukan transaksi tidak wajar;
44
Bahwa berdasarkan Catatan Laporan Keuangan butir 3 alinea 2
halaman 10 Laporan Keuangan, BUS sebagai bank BBKU (yang saat itu
CAR nya mencapai minus 15%) termasuk dalam Kategori B (yaitu bank
yang posisi CAR nya antara minus 25% s/d 4%) yang penyelesaian
kewajibannya mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
(PKPS).
Bahwa dengan demikian apabila terdapat transaksi BUS yang
menurut penilaian dianggap tidak wajar, maka sesuai dengan Keputusan
Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri
selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Ekonomi (KKSK), melalui Surat
Keputusan No. Kep.12/M.EKUIN/04/2000, tentang Prinsip Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham dari BBKU Kepada Pemerintah Yang
Timbul Akibat Pembekuan Usaha Bank, penyelesaian kewajiban BUS
dilakukan melalui mekanisme PKPS. PKPS yang sudah dibuat oleh
Pemegang Saham adalah sebagai konsekwensi dari BUS yang di BBKU
termasuk seluruh akibat dari transaksi yang dilakukan, termasuk jika
transaksi tersebut berakibat pada kerugian Bank.
Dengan demikian secara hukum, seluruh akibat dari transaksi
BUS bukan menjadi beban Negara atau menjadi kerugian Negara
melainkan menjadi beban Pemegang Saham BUS. Dengan telah
dibebankannya kewajiban BUS terhadap pemegang saham (dan
sebaliknya pemegang saham menerima pertanggungjawaban dimaksud),
berarti dalam hal ini telah diterima prinsip perluasan tanggung jawab
pemegang saham (yang dikenal sebagai prinsip piercing the corporate
veil), Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemegang saham telah
menerima seluruh pertanggungjawaban atas tindakan direksi dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan yang
diberikan berdasarkan anggaran dasar perseroan. Tindakan direksi
sehubungan dengan ketiga transaksi, -quod nonsebagaimana dakwaan
45
Penuntut Umum tersebut merupakan pelaksanaan fiduciary duty untuk
mengamankan perusahaan sehingga merupakan tindakan yang sah
dilaksanakan sebagai direksi perseroan dan bukan sebagai pribadi. Secara
hukum, berarti dalam hal ini tidak terjadi ultra vires (melampaui batas
kewenangan) oleh direksi, sehingga direksi tidak bertanggungjawab
secara pribadi atas tindakannya. Karena tindakan David Nusa Wijaya
yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum, - quod non-, merupakan
pelaksanaan fiduciary duty sehingga dalam hal ini tidak ada perbuatan
melawan hukum, hal mana juga terbukti dari pembebanan pemerintah
terhadap segala tanggung jawab yang timbul kepada pemegang saham,
dengan demikian pertimbangan judex factie yang dikuatkan oleh judex
juris mengenai pertanggungjawaban David Nusa Wijaya secara pribadi
adalah tidak tepat.
c. Butir huruf m halaman 16:
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) "Pada tanggal 6
Februari 1999, Bank Indonesia mengalihkan saldo BLBI pertanggal 29
Januari 1999 kepada Pemerintah q.q. BPPN. Walaupun demikian. Bank
Indonesia masih memberikan BLBI yang sampai saat ini belum dialihkan
kepada Pemerintah q.q. BPPN, Hutang Bank kepada Bank Indonesia dan
BPPN terdiri dari:
1. BLBI yang sudah dialihkan dari Bank Indonesia kepada BPPN dan
dicatat sebagai hutang kepada Pemerintah q.q. BPPN.
2. BLBI yang belum dialihkan dan dicatat sebagai Hutang kepada BI -
BLBI.
KEWAJIBAN KEPADA BANK INDONESIA Akun ini terdiri
dari: 2003 2002 Akun ini terdiri dari:
- Fasilitas Diskonto Rp 441.393.462.500 441.393.462.500
- Giro Debet (BLBI) Rp1.248.180.322.849 1.248.180.322.849
46
Bahwa berdasarkan Catatan Laporan Keuangan butir 4 huruf m
halaman 16 dan butir 36 halaman 42 Laporan Keuangan BUS, terdapat
dua macam BLBI, yaitu :
1) Saldo BLBI yang terjadi dan dialihkan pada tahun 1999 yang
jumlahnya telah diverifikasi oleh Bank Indonesia adalah Rp
361.976.074.127; dan
2) BLBI yang masih diberikan oleh Bank Indonesia setelah tanggal
pengalihan ke BPPN sampai tahun 2003 yang dicatat sebagai Hutang
atau Kewajiban Kepada Bank Indonesia (BLBI), namun belum/tidak
termasuk BLBI yang telah diverifikasi oleh Bank Indonesia, sejumlah
Rp 1.248.180.322.849 dan fasilitas diskonto sejumlah
441.393.462.500;
HUTANG BLBI KEPADA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
QQ BPPN.
Alinea 1:
"Pada tahun 1998, Bank Indonesia menempatkan Bank dalam "Program
Penyehatan " melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
30/218/KEP/DIR tanggal 14 Februari 1998. Bank. memperoleh fasilitas BLBI
dari Bank Indonesia sejumlah Rp 361,976.074,127,-".
Alinea 2;
"Pada tanggal 6 Februari 1999 Gubernur Bank Indonesia membuat
persetujuan bersama dengan Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam
rangka penyerahan dan pengalihan (cessie) hak atas piutang kepada Pemerintah
.q.q BPPN, pada posisi tanggal 29 Januari 1999. Sebagai realisasi pembayaran
atas pengalihan piutang tersebut, Pemerintah menerbitkan Surat Utang No. SU-
001/MK/1998 tanggal 25 September 1998, sebesar Rp 80.000.000.000.000,-
dan Surat Utang No. SU-003/MK/1999 tanggal 8 Februari 1999 sebesar Rp
64.536.094.294.530,-. Bank Indonesia melalui Akta Penyerahan dan Pengalihan
Hak (Cessie) No. 29 tanggal 22 Februari 1999 dari Notaris Mudofir Hadi, SH,
47
mengalihkan kewajiban Bank kepada Bank Indonesia sebesar Rp
361.976.074.127, - menjadi kewajiban kepada Pemerintah q.q BPPN. Dalam
perjanjian tersebut BI menjamin kebenaran dan keakuratan daftar- daftar dan
dokumen-dokumen yang mendukung jumlah BLBI tersebut.
Pada tanggal 31 Desember 2003, hutang BLBI sebesar Rp
361.976.074.127,- di offset dengan pengurang hutang ke BPPN sehingga saldo
akun ini pada tanggal 31 Desember 2003 adalah nihil (lihat catatan 6, 23, 26,
27, 28dan 31)".
Bahwa berdasarkan Catatan Laporan Keuangan Butir 4 huruf m
halaman 16, butir 36 halaman 42, butir 13 alinea 1 & alinea 2 halaman 26 & 27
Laporan Keuangan BUS, saldo BLBI yang terjadi dan dialihkan pada tahun
1999 adalah sebesar Rp 361.976.074.127. yang kebenaran dan keakuratan
datanya dijamin oleh Bank Indonesia. Kemudian pada tanggal 31 Desember
2003. saldo BLBI ini telah menjadi nihil karena telah dioffset dengan
pengurangan hutang ke BPPN, sebagaimana Catatan Laporan Keuangan:
1) berasal dari setoran debitur Rp 289.857.503.909 (butir 23);
2) hasil penjual aktiva tetap/BJDA Rp 18.647.260.503 (butir 26);
3) hasil penjualan aktiva inti lain Rp. 28.070.528.343 (butir 27);
4) hasil penjualan aktiva bergerak Rp. 14.815.737.525 (butir 28),
5) saldo penilaian aktiva Rp. 9.789.596.476 (butir 31).
Sedangkan BLBI yang kemudian masih diterima oleh BUS setelah
tanggal pengalihan BLBI ke BPPN pada tahun 1999, sebagaimana bunyi
Catatan Laporan Keuangan butir 4 huruf m halaman 16 di atas, tidak terkait
dengan transaksi PUAB, NCD dan pencairan kredit, karena timbul setelah
terjadinya ketiga transaksi tersebut.
Bahwa saldo BLBI bukan Rp 988.265.055.555,56 sebagaimana
disebutkan dalam pembuktian adanya penggunaan BLBI antara tanggal 22
Desember 1998 s/d 8 Februari 1999 yang memperkaya Terpidana atau Bank
Sanho dalam transaksi PUAB yang merupakan pertimbangan Judex Factie
48
maupun Judex Juris. Jika pertimbangan tersebut benar tentunya penggunaan
BLBI oleh BUS per tariggal 8 Februari 1999 sekurang-kurangnya adaiah
sebesar Rp 988.265.055.555,56. Pada faktanya, Saldo BLBI sampai dengan
tahun 2003 (sebelum di offset oleh BPPN pada tanggal 31 Desember 2003
sehingga menjadi lunas) sebagaimana Hal. 29 dari 58 hal. Put. No.17
PK/Pid/2007 tercatat dalam Laporan Keuangan BUS tersebut di tidak berubah
yaitu sejumlah Rp 361.976.074.127.
Bahwa demikian pula terhadap transaksi penerbitan NCD total sebesar
Rp 277.665.252.221,28 yang dilakukan dalam periode antara tanggal 29 Januari
1999 sampai dengan 9 Maret 1999, berdasarkan Laporan Keuangan BUS tidak
terbukti menambah saldo BLBI.
Demikian juga dengan penarikan Kredit atas Kelonggaran Tarik yang
dilakukan oleh PT Mitra Rona Wana Sejahtera sebesar Rp 25.600.000.000,-
yang terjadi dalam periode antara 8 Januari 1999 sampai dengan 24 Februari
1999, berdasarkan Laporan Keuangan BUS juga tidak terbukti menambah saldo
BLBI.
Kesimpulan Judex Juris bahwa transaksi PUAB melalui, penerbitan
Nota Kredit kepada Bank Sanho, Penerbitan;. NGD kepada Bank Eksekutif dan
Bank Dagang BaliP / serta Pencairan Kredit kepada PT. Mitra Rona Wana
Sejahtera yang dananya berasal dari BLBI sejumlah Rp 1,291,530,307,776.84
tidak terbukti, karena saldo BLBl yang berasal dari transaksi yang terjadi pada
tahun 1998 dan 1999 sebagaimana tercatat dalam Laporan Keuangan BUS
adaiah sebesar Rp 361.976.074.127.
Sedangkan dalam hal penarikan Kredit atas Kelonggaran Tarik yang
dilakukan oleh PT Mitra Rona Wana Sejahtera adalah karena BUS sesuai
dengan Perjanjian Kredit memiliki kewajiban untuk memberikan pencairan
kredit sebesar kelonggaran tariknya. Penarikan kredit tersebut tidak berakibat
pada penambahan Saldo BLBI bahkan kredit tersebut sudah lunas.
49
Dari uraian di atas, nilai kerugian dalam dakwaan terhadap David Nusa
Wijaya selaku Pengurus BUS sehubungan dengan transaksi PUAB, NCD dan
pencairan kredit yang dinyatakan terbukti oleh Judex Facti dan Judex Juris
adalah tidak berdasar dan keliru, karena Penuntut Umum hanya menjumlahkan
nilai ketiga transaksi tersebut (sejumlah Rp 1,291,530,307,776.84) dan
berasumsi bahwa dana dimaksud merupakan BLBI karena BUS berada Hal. 30
dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 dalam keadaan saldo negatif, padahal
berdasarkan Laporan Keuangan saldo BLBI yang diterima BUS sampai tahun
1999 sejumlah Rp 361.976.074.127.
f. Butir 22 halaman 32:
Surat Keputusan No. SK-41/BPPN/02/04 mengatur hal-hal sebagai
berikut:
1) Yang dimaksud dengan hutang Bank kepada Negara q.q. BPPN yaitu
terdiri dan' BLBL dana talangan program penjaminan, talangan
pembayaran pesangon karyawan Bank BBO/BBKU, serta dana talangan
lainnya yang berhubungan dengan BBO/BBKU, setelah dikurangi hasil
realisasi aset BBO/BBKU (Hutang bersih).
2) Hutang bersih tersebut dibebani bunga dimulai pada saat dana talangan
dibayarkan oleh Negara sampai dengan tanggal pelunasan hutang.
3) Bunga dihitung berdasarkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) tahun yang bersangkutan.
Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, dasar perhitungan bunga
beserta hutang bunga pinjaman Bank kepada Negara qq BPPN pada tanggal
31 Desember 2003 adalah sebagai berikut:
- Akumulasi beban Bunga s/d 2003 adalah Rp 1.559.156.920.376 Bahwa
berdasarkan Catatan Laporan Keuangan tersebut di atas, atas penggunaan
BLBI dan dana talangan yang dipergunakan untuk membayar kewajiban
BUS sebagai akibat keputusan pembekuan BUS (BUS berstatus BBKU,
disamping membayar Premi Program Penjaminan. BUS harus membayar
50
bunga berdasarkan tingkat bunga SBI sehingga Negara tidak menanggung
beban biaya atau kerugian atas akibat penetapan BUS sebagai BBKU. Atas
dana yang diterima dari pemerintah sebagaimana diuraikan di atas,
pemerintah telah menetapkan biaya yang harus dibayar oleh BUS berupa
biaya bunga sejumlah Rp. 1.559.156.920.376. Berdasarkan fakta tersebut,
jelaslah bahwa Hal. 31 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 atas dana yang
diterima BUS dari pemerintah tidak menimbulkan kerugian negara / karena
BUS membayar bunga yang menjadi pendapatan/piutang negara.
g. Butir 30 halaman 36, 37, 38 dan 39
"Dalam rangka pengamanan dan pengelolaan kekayaan Bank sebagai
salah satu sumber penyelesaian aset dan kewajiban Bank terhadap Negara
Republik Indonesia, seluruh aset bank dialihkan ke BPPN yang dilakukan
dalam dua tahap,.."
Bahwa BUS telah menyerahkan aset-asetnya pada tahun 2000 dan
2003 sebagaimana catatan Laporan Keuangan butir 30 halaman 36, 37, 38 dan
39, dengan perincian sebagai berikut: Tahun Aset Nilai Buku IDR USD 2000
Aktiva inti 2.513.750.616.307 1,000,000 Barang bergerak 10.702.628.996 -
2003 Aktiva tetap & BJDA 562.733.749.916 - Piutang 35.754.180.666 - Total
Rp 3.122.941. 175.885 USD 1, 000,000.
Bahwa berdasarkan Catatan Laporan Keuangan Butir 30 halaman 36
dan Butir 31 halaman 39 Laporan Keuangan BUS, terbukti BUS sudah
menyerahkan seluruh aset BUS untuk melunasi kewajiban BUS kepada
Negara. Jumlah aset BUS yang sudah diserahkan kepada Negara q.q BPPN
adalah total senilai Rp 3.122.941.175.885,- dan US$ 1.000.000,0 (Rp
3.131.941.175.885,- jika US$ dikonversi pada nilai tukar Rp/US$ 9.000).
Selain aset BUS yang sudah diserahkan melalui Perjanjian Jual Beli
dan Penyerahan Piutang, Perjanjian Jual Beli Aset, Perjanjian Jual Beli Atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana Hal. 32 dari 58 hal. Put. No.17
PK/Pid/2007 dimaksud dalam catatan Laporan Keuangan di atas, masih
51
terdapat aset BUS yang secara aktual dan hukum dikuasai oleh BPPN senilai
Rp 105.876.468.139.
Bahwa fakta berdasarkan Laporan Keuangan BUS, Pemegang Saham
BUS dan BUS sudah menyerahkan asset dengan nilai Rp 3.237.817.644.024
(Rp 3,237 Triliun) kepada BPPN untuk membayar kewajiban BUS kepada
Negara.
Bahwa angka aset yang diserahkan BUS tersebut senilai Rp
3.237.817.644.024,- (Rp 3,237 Triliun) jauh lebih besar dibandingkan dengan
angka kerugian sejumlah Rp 1.291.530.307.776,84 (quod non), karena BPPN
sendiri hingga saat ini sesuai dengan Catatan Laporan Keuangan Butir 4 huruf
e angka 3 halaman 14 belum dapat menentukan dampak BUS yang dibekukan.
Sampai dengan saat ini BPPN juga belum * mengeluarkan laporan realisasi
penjualan aset milik BUS yang penjualannya dilakukan oleh BPPN untuk
mengurangi kewajiban BUS.
Bahwa dengan demikian, kesimpulan adanya Kerugian Negara sebesar
Rp 1.291.530.307.776,84 adalah tidak terbukti, keliru, atau setidak-tidaknya
masih prematur. Adanya Laporan Keuangan BUS tanggal 31 Desember 2003
dan 2002 yang disusun oleh Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah,
Sutrisno ("Laporan Keuangan") yang substansinya menjelaskan akibat
transaksi dari tahun-tahun sebelumnya termasuk transaksi yang dilakukan
pada tahun 1998 dan 1999 yang membuktikan bahwa:
1) Transaksi menghimpun dana dari bank lain (PUAB), penerbitan NCD dan
Pencairan Kredit tidak bertentangan (dalam kewenangan) Direksi serta
tidak ada penyalahgunaan kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
2) Seluruh kewajiban BUS, termasuk kewajiban kepada negara, dibebankan
kepada BUS sebagai badan hukum dan BUS telah menyerahkan seluruh
aset-asetnya sebagai pelaksanaan tanggungjawab atas kewajibannya
tersebut. Hal. 33 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007
52
3) Saldo BLBI yang diterima BUS pada tahun 1999 adalah sebagaimana yang
telah dialihkan kepada BPPN sejumlah Rp 361.976.074,127. Transaksi
menghimpun dana dari bank lain (PUAB), penerbitan NCD dan Pencairan
Kredit tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Laporan Keuangan BUS tanggal 31 Desember 2003 dan 2002 yang disusun
oleh Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah, Sutrisno ("Laporan
Keuangan") merupakan novum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263
ayat (2) a KUHAP.
2. Berdasarkan Novum terbukti bahwa:
a. Tidak ada penyalahgunaan kesempatan atau sarana yang ada pada David
Nusa Wijaya karena jabatan atau kedudukannya sehubungan dengan
transaksi menghimpun dana dan bank lain (PUAB), penerbitan NCD dan
Pencairan Kredit,
b. Seluruh akibat transaksi BUS berkaitan dengan transaksi PUAB,
penerbitan NCD dan Pencairan Kredit telah dibebankan kepada BUS
sebagai badan hukum dan pemegang saham dan BUS serta pemegang
sahamnya telah menyerahkan seluruh aset-asetnya sebagai pelaksanaan
tanggungjawab atas kewajibannya tersebut.
c. Saldo BLBI yang diterima BUS pada tahun 1999 adalah sebagaimana
yang telah dialihkan kepada BPPN sejumlah Rp 361.976.074.127.
d. Transaksi menghimpun dana dari bank lain (PUAB), penerbitan NCD dan
Pencairan Kredit tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Pasal 263 ayat (2) c KUHAP:
"Adanya Kekhilafan Hakim Atau Suatu Kekeliruan Yang Nyata"
Bahwa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 830
K/Pid/2003,tanggal 23 Juli 2003 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.
67/Pid/2002/PT.DKI, tanggal 20 Mei 2002. Jo Putusan Pengadilan Negeri
53
Jakarta Barat No. 504/Pid.B/2001/PN.JKT.BRT) tanggal 11 Maret 2002 dengan
jelas telah mebuktikan adanya suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata. Hal. 34 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 Pengertian kekhilafan
menurut teori dan praktek hukum adalah salah atau cacat pertimbangan atau
perbuatan (an error or defect of judgement or of conduct). Atau dengan kata lain
berarti pertimbangan putusan yang diambil tidak sempurna (incomplete
judgement). Atau bisa juga diartikan putusan atau tindakan yang diambil atau
dilakukan, menyimpang dari ketentuan yang semestinya (any deviation).
Bahkan pertimbangan yang ringkas (shortcoming) yang tidak cermat dan
menyeluruh, dikualiiikasikan sebagai putusan yang mengandung kekhilafan.
Oleh karena itu, kurang cermat dan kurang hati-hati mempertimbangkan semua
faktor dan aspek yang relevan dan urgen dikualifikasi sebagai kekhilafan yang
mengabaikan pelaksanaan fungsi mengadili dan memutus perkara; Berdasar
pengertian kekhilafan yang dikemukakan, patokan yang harus dipegang adalah
meneliti dengan seksama apakah putusan kasasi yang dimohonkan peninjauan
kembali sekarang telah seksama dan cermat serta hati-hati mempertimbangkan
semua faktor dan elemen relevan dan urgen secara integral dan komprehensif
sehingga pendapat dan kesimpulan hukum yang ditarik tidak keliru, cacat atau
menyimpang dari yang semestinya. (Vide Putusan MA No. 279/PKlPdt/1992).
Dikaitkan dengan isi Putusan Mahkamah Agung NO.830 K/PID/2003 tanggal
23 Juli 2003 dalam perkara Pemohon PK, ternyata dalam Putusan tersebut
ditemukan adanya pertimbangan hukum yang cacat atau menyimpang dari
ketentuan yang semestinya (defect and deviation judgement) sebagaimana akan
dikemukakan di bawah ini.
Bahwa ternyata keberatan-keberatan yang telah dikemukakan Pemohon
Kasasi David Nusa Wijaya hanya ditanggapi secara singkat dalam Putusan
Kasasi, karena sebelum tiba pada amar putusan sebagaimana telah dikutip di
atas, Majelis Hakim Kasasi hanya memberikan pertimbangan sebagai berikut:
"Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah
54
Agung berpendapat: mengenai keberatan ad. 1, 3, 4, 5: bahwa, keberatan-
keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti tidak salah
menerapkan hukum; mengenai keberatan ad. 2:, bahwa, keberatan ini tidak
dapat dibenarkan, karena keberatan tersebut mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang Hal. 35 dari 58 hal. Put. No.17
PK/Pid/2007 suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanyaberkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan
hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau apakah cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut Undang-Undang, dan apakah pengadilan telah melampaui
batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981;
Menimbang, bahwa terlepas dan alasan-alasan kasasi tersebut di atas
majelis hendak memberikan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa oleh karena
Judex Factie telah membuktikan Terdakwa telah dinyatakan terbukti dengan sah
dan meyakinkan atas dakwaan pertama tersebut dan pertimbangan mana sudah
tepat dan benar, sehingga Terdakwa telah terbukti melakukan penyalahgunaan
BLBI secara bersamasama dengan Saudara Wiryatin Nusa selaku Kepala
Cabang KPO (Kantor Pusat Operasi) PT. Bank Umum Servitia Tbk tersebut;
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan yang terbukd tersebut adalah
tindak pidana korupsi yang mana diancam maximum hukuman mati atau
hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara sedangkan pidana yang dijatuhkan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta adalah 4 tahun penjara adalah tidak selaras dan
sebanding dengan pidana korupsi tersebut, seharusnya Judex Facti memberikan
hukuman bersifat mendidik (edukatif dan preventif serta sepatutnya setimpal
dengan perbuatannya yang terbukti tersebut;
Menimbang, bahwa oleh karena itu amar putusan Pengadilan Tinggi
tersebut perlu diperbaiki mengenai kwalifikasi kejahatan serta hukumnya,
sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagaimana tercantum di bawah ini;
55
Menimbang, bahwa majelis hendak memberikan pertimbangan tentang
hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan hukuman Terdakwa; Hal-hal
yang memberatkan:
1. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah merugikan keuangan negara
triliunan rupiah;
2. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah menyinggung perasaan
masyarakat;
3. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut bertentangan dengan kemauan
pemerintah yang hendak mengikis korupsi dan KKN tersebut; Hal. 36 dari 58
hal. Put. No.17 PK/Pid/2007
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa belum pernah dihukum;
2. Terdakwa selama persidangan tidak mempersulit pemeriksaan;
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi/ Terdakwa tetap
dihukum maka Terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini; Memperhatikan Undang-Undang No, 14 Tahun 1970, Undang-
Undang No.8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 dan Undang-
Undang No.3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999;
Mengadili....... dst."
Bahwa terhadap pertimbangan hukum Putusan a quo sebagaimana
dikutip di atas, Pemohon PK berpendapat bahwa pertimbangan tersebut
mengandung kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 263 ayat (2) c, berdasar alasan-alasan hukum
sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
2. Kekhilafan atau Kekeliruan Yang Nyata dalam pertimbangan hukum
Putusan a quo terhadap Keberatan Kasasi ke-1 tentang tidak diterapkannya
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
56
a. Bahwa Judex Juris dengan pertimbangannya yang sumir langsung saja
menyatakan bahwa keberatan kasasi ke-1 tidak dapat dibenarkan, oleh karena
Judex Facti tidak salah menerapkan hukum;
b. Bahwa dalam hal ini Judex Juris mengulangi kekeliruan yang sama yang telah
dilakukan oleh Judex Factie di tingkat Pengadilan Pertama dan di tingkat
Pengadilan Banding;
A. Bahwa Majelis hakim telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang
nyata dalam pertimbangan hukum Putusan a quo, dengan alasan-alasan
hukum sebagai berikut:
(1) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dalam menilai
perbuatanperbuatan yang didakwakan kepada David Nusa Wijaya
terbukti merupakan penyalahgunaan dana BLBI yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana korupsi ex Pasal 1 ayat (1) subbUUNo.
3Tahun 1971;
(2) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan tidak
mempertimbangkan bahwa penyaluran BLBI oleh pemerintah pada
Hal. 37 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 periode 1997-1999
kepada sektor perbankan merupakan suatu kebijakan (policy)
pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi sebagaimana tertuang
dalam Surat Sekretariat Negara Nomor R- 183/M Sesneg/12/1997
tertanggal 27 Desember 1997, yang antara lain berbunyi: ".........
bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi Bank Indonesia
untuk mengganti saldo debet bank yang ada harapan sehat dengan
SBPU khusus...... Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu
dilakukan, untuk menjaga agar tidak banyak bank pada tutup tahun
sekarang ini yang terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut......."(vide
BuktiPK- 4);
(3) Bahwa dalam hal pengucuran BLBI khususnya kepada Bank Umum
Servitia, Pemohon PK tidak dalam posisi sebagai pemohon bantuan
57
likuiditas, tetapi lebih dalam posisi sebagai pihak yang terpaksa
menerima BLBI, bahkan Pemohon PK tidak memiliki otoritas untuk
menolaknya (vide J, Soedradjad Djiwandono, dalam buku "Mengelola
Bank Indonesia Dalam masa Krisis", Jakarta: LP3ES, 2001, hal. 246-
249),
(4) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan tidak
mempertimbangkan bahwa perbuatan-perbuatan yang didakwakan
kepada Pemohon PK yaitu: penerbitan Nota Kredit (NK), penerbitan
Negotiable Certificate of Deposit (NCD), dan realisasi pencairan
kredit kepada nasabah debitur PT Mitra Rona Wana Sejahtera (FT
MRWS) berdasarkan komitmen lama, pada periode yang didakwakan
adalah tidak menambah saldo debet Bank Umum Servitia di BI (vide
bukti BDPP- C5),
(5) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan mengabaikan fakta
bahwa Pemohon PK selaku salah satu pemegang saham Bank Umum
Servitia telah mengikat perjanjian PKPS-APU dengan pemerintah cq
BPPN dan telah menyerahkan asset-asset yang dimilikinya guna
penyelesaian hutang BLBI yang telah diterima Bank Umum Servitia
secara perdata;
B. Kekhilafan atau Kekeliruan Yang Nyata dalam pertimbangan hukum
Putusan a quo terhadap Keberatan Kasasi ke-2 tentang tidak diterapkannya
atau kekeliruan penerapan hukum pembuktian Pasal 183 Hal. 38 dari 58
hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 s/d 189 KUHAP dalam kaitan dengan
ketentuan Bank Indonesia yaitu SK Direksi No. 31/32/Kep/Dir tanggal 29
Mei 1998 dan surat-surat permohonan yang dibuat BUS kepada Bank
Indonesia untuk setiap kali akan menerbitkan Nota Kredit (NK):
1. Bahwa Judex Juris tanpa memeriksa secara mendalam tentang
keberatan kasasi ke-2 langsung saja menyatakan bahwa keberatan
tersebut tidak dapat dibenarkan karena keberatan tersebut mengenai
58
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan;
2. Bahwa dalam hal ini Judex Juris mengulangi kekeliruan yang sama
yang telah dilakukan oleh Judex Factie di tingkat Pengadilan Pertama
dan di tingkat Pengadilan Banding;
3. Bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan
yang nyata dalam pertimbangan hukum Putusan a quo, dengan alasan-
alasan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf karena tidak
memperhatikan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian yang telah
diperoleh dalam persidangan, sehingga Majelis Hakim telah salah
menerapkan hukum pembuktian. Kekeliruan/ kekhilafan Majelis
Hakim dalam perkara ini adalah Majelis Hakim sama sekali tidak
mempertimbangkan alat-alat bukti khususnya berkaitan dengan
ketentuan Bank Indonesia yaitu SK Direksi No. 31/32/Kep/Dir
tanggal 29 Mei 1998, surat-surat permohonan Bank Umum Servitia
kepada Bank Indonesia, Rekening Koran Giro Bank Umum
Servitia di BI, perjanjian penyelesaian BLBI melalui PKPS-APU
antara Pemohon PK dengan pemerintah cq BPPN, penyerahan
asset-asset Bank Umum Servitia kepada pemerintah cq BPPN, latar
belakang pemberian BLBI oleh Pemerintah kepada sektor
perbankan pada periode 1997-1999 yang merupakan notoir feiten,
kesemuanya sama sekali tidak dipertimbangkan sehingga
mengakibatkan kekeliruan pengambilan kesimpulan dan juga
merupakan kekeliruan penerapan hukum pembuktian. Namun oleh
Judex Juris kesalahan tersebut kembali diulangi dengan hanya
menyatakan bahwa penilaian pembuktian merupakan penghargaan
atas suatu kenyataan yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.
Judex Juris sama sekali tidak memeriksa Hal. 39 dari 58 hal. Put.
59
No.17 PK/Pid/2007 apakah benar telah ada kekeliruan penerapan
hukum pembuktian atau tidak, sehingga menyebabkan Judex Juris
telah keliru/ khilaf dalam pertimbangannya;
b. Bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan/kekhilafan yang
nyata dalam menyimpulkan bahwa penerbitan Nota Kredit oleh
Bank Umum Servitia merupakan suatu perbuatan korupsi tanpa
mengaitkannya dengan ketentuan Bank Indonesia yaitu SK Direksi
No.31/32/Kep/Dir tanggal 29 Mei 1998, surat-surat permohonan
Bank Umum Servitia kepada Bank Indonesia dan Rekening Koran
Giro Bank Umum Servitia di BI. Bahwa apabila Majelis Hakim
telah meneliti dan mempertimbangkan ketentuan dalam SK Direksi
No. 31/32/Kep/Dir tanggal 29 Mei 1998, surat-surat permohonan
Bank Umum Servitia kepada Bank Indonesia dan Rekening Koran
Giro Bank Umum Servitia di BI maka tentu dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. bahwa penerbitan Nota Kredit oleh Bank Umum Servitia
merupakan transaksi PUAB yang dapat dilakukan oleh bank
asalkan suku bunganya sesuai dengan bunga pasar;
2. bahwa dalam setiap penerbitan NK selalu didahului oleh surat
permohonan dari Bank Umum Servitia kepada Bank Indonesia
dan tidak ada larangan dari BI atas penerbitan NK tersebut;
3. bahwa tanggal-tanggal penerbitan NK tidak menambah saldo
debet Bank Umum Servitia di BI;
4. bahwa tidak ada satu pun tanda tangan dari Pemohon PK atas
keseluruhan NK yang diperiksa di persidangan.
5. Dengan demikian transaksi penerbitan 34 NK merupakan
transaksi perbankan yang wajar dan tidak melanggar CDO dari
Bank Indonesia.
60
C. Kekhilafan atau Kekeliruan Yang Nyata dalam pertimbangan Putusan a quo
terhadap Keberatan Kasasi ke-3 tentang kesalahan penafsiran unsur dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dalam
kaitan dengan penerbitan NCD dan pencairan kredit PT MRWS: Hal. 40
dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007
a. Bahwa fudex Juris dengan pertimbangannya yang sumir langsung saja
menyatakan bahwa keberatan kasasi ke-3 tidak dapat dibenarkan, oleh
karena Judex Factie tidak salah menerapkan hukum;
b. Bahwa dalam hal ini Judex Juris mengulangi kekeliruan yang sama yang
telah dilakukan oleh Judex Factie di tingkat Pengadilan Pertama dan di
tingkat Pengadilan Banding;
c. Bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang
nyata dalam pertimbangan hukum Putusan a quo, dengan alasan-alasan
hukum sebagai berikut:
(1) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf menyimpulkan bahwa
perbuatan penerbitan NCD dan pencairan kredit PT MRWS adalah
telah memenuhi unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan dengan tidak mempertimbangkan bahwa
penerbitan NCD dan pencairan kredit PT MRWS adalah merupakan
transaksi perbankan sehari-hari yang dilakukan oleh bank dalam
peranan intermediasi, yaitu mengumpulkan kelebihan dana (idle) dari
masyarakat dan kemudian menyalurkannya kepada pihak-pihak yang
membutuhkan dalam bentuk pinjaman (kredit);
(2) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan tidak
mempertimbangkan bahwa penerbitan NCD merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan bank untuk mengatasi tekanan "rush
"dan kesulitan likuiditas;
(3) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan tidak
mempertimbangkan bahwa pencairan kredit PT MRWS merupakan
61
pelaksanaan komitmen lama yang telah ada jauh sebelum Bank
Umum Servitia dilanda kesulitan likuiditas;
(4) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf karena tidak
mempertimbangkan posisi rekening giro Bank Umum Sertivia yang
tidak mengalami penambahan saldo debet pada saat penerbitan NCD
dan pencairan kredit PT MRWS;
(5) Bahwa ketentuan dalam Pernyataan Standar Akutansi Keuangan No.
31, Akutansi Perbankan (PSAK No. 31) mengenai standar akuntansi
komitmen dan kontijensi yang tercantum dalam laporan keuangan
bank adalah sebagai berikut: (vide Bukti PK-1) "Bab II, Paragraf 11 :
Hal. 41 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 "Komitmen adalah
suatu ikatan atau kontrak berupa janji yang tidak dapat dibatalkan
(irrevocable) secara sepihak, dan harus dilaksanakan apabila
persyaratan yang disepakati bersama dipenuhi, seperti komitmen
kredit, komitmen penjualan atau pembelian aktiva bank dengan
syarat "repurchase agreement" (Repo), serta komitmen penyediaan
fasilitas perbankan lainnya." Bab VI, Paragraf 02: "jenis komitmen
keuangan yang lazim antara lain sebagai berikut:
01. Fasilitas Pinjaman yang Diterima ... dst.
02. Fasilitas kredit yang diberikan adalah fasilitas kredit yang telah
disetujui oleh bank untuk diberikan kepada nasabah dan masih
berlaku untuk digunakan oleh nasabah. Fasilitas kredit yang
diberikan disajikan sebesar sisa komitmen yang belum ditarik.
03. Kewajiban pembelian kembali aktiva bank yang dijual dengan
syarat Repo ... dst.
04. L/C yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable) yang masih
berjalan ... dst.
05. Akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka ... dst.
62
06. Transaksi valuta asing tunai (spot) yang belum diselesaikan ...
dst.
07. Transaksi Valuta Asing Berfangka (forward/ future): .... dst."
(6) Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan No. 31, Akuntansi Perbankan
(PSAK No. 31) maka pemberian kredit berdasarkan persetujuan
yang telah diberikan merupakan komitmen yang tidak dapat
ditarik kembali dan harus di-laksanakan dan disajikan dalam
laporan keuangan sebesar sisa komitmen yang belum ditarik.
Dengan demikian pencairan kredit PT Mitra Rona Wana
Sejahtera (PT MRWS) merupakan jenis transaksi berdasarkan
komitmen lama dan telah tercatat dalam laporan keuangan bank
pada saat komitmen tersebut disepakati dan bukan merupakan
jenis pemberian kredit baru dan juga bukan ekspansi kredit baru
sebagaimana yang tercantum dalam Surat CDO Bank Indonesia.
D. Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan hukum Putusan
a quo terhadap keberatan kasasi ke-4 tentang kesalahan penerapan hukum
dengan telah salah menafsirkan unsur menyalah Hal. 42 dari 58 hal. Put.
No.17 PK/Pid/2007 gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan dalam kaitan dengan penerbitan 34 NK dan
posisi saldo debet bank yang tidak bertambah.
1. Bahwa Judex Juris dengan pertimbangannya yang sumir langsung saja
menyatakan bahwa keberatan kasasi ke-4 tidak dapat dibenarkan, oleh
karena Judex Factie tidak salah menerapkan hukum;
2. Bahwa dalam hal ini Judex Juris mengulangi kekeliruan yang sama yang
telah dilakukan oleh Judex Factie di tingkat Pengadilan Pertama dan di
tingkat Pengadilan Banding;
63
3. Bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang
nyata dalam peitimbangan hukum Putusan a quo, dengan alasan-alasan
hukum sebagai berikut:
1. Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dalam menyimpulkan
bahwa penerbitan 34 NK telah memenuhi unsur menyalah gunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan dimana Majelis Hakim secara keliru/ khilaf tidak
mempertimbangkan bahwa setiap kali akan menerbitkan NK, Bank
Umum Servitia terlebih dahulu memohon izin secara tertulis kepada
Bank Indonesia dan penerbitan NK dimaksud tidak pernah
meridapat larangan ataupun tegoran dari BI;
4. Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan tidak
mempertimbangkan bahwa keseluruhan NK yang diperiksa di
persidangan, tidak ada satupun NK yang ditandatangani oleh
Pemohon PK;
5. Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf karena tidak
mempertimbangkan posisi Rekening Koran Giro Bank Umum Servitia
di BI yang menunjukkan bahwa pada waktu/hari penerbitan setiap NK,
posisi saldo Bank Umum Servitia di BI selalu menunjukkan jumlah
saldo debet yang berkurang;
6. Bahwa dengan tidak adanya penambahan saldo debet dalam periode
penerbitan 34 NK dan pembayarannya, maka transaksi tersebut
merupakan transaksi yang wajar dan tidak melanggar aturan dalam
CDO Bank Indonesia;
7. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 31, Akuntansi Perbankan (PSAK No. 31) X mengenai
pinjaman yang diterima suatu bank yang tercantum dalam laporan
keuangan bank, adalah sebagai berikut; (vide Bukti PK-1) "Bab V,
64
Paragraf l4, 15, 16: "Pinjaman yang diterima Hal. 43 dari 58 hal. Put.
No.17 PK/Pid/2007
14. Pinjaman yang diterima adalah fasilitas pinjaman yang diterima dari
bank atau pihak lain termasuk dari Bank Indonesia baik dalam rupiah
maupun dalam mata uang asing, dan haras dibayar bila telah jatuh
waktu. Dalam pengertian pinjaman yang diterima tidak termasuk
pinjaman subordinasi.
15. Pinjaman yang diterima disajikan sebesar saldo pinjaman yang diterima
bank pada tanggal laporan. 16. Hal-hal tersebut di bawah ini wajib
diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan:
a. Jenis pinjaman yang diterima
- Kredit likuiditas Bank Indonesia
- Pinjaman yang diterima dari pasar uang
- Lainnya
b. Rata-rata tingkat suku bungs
c. Jangka waktu dan jatuh tempo
d. Jenis valuta (Rupiah & Valuta asing)
e. Perikatan yang menyertainya
f. Nilai assets bank yang dijaminkan."
8. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan No. 31, Akuntansi Perbankan (PSAK No. 31)
maka penerbitan 34 NK sehubungan dengan diterimanya Pinjaman
PUAB (Call Money) oleh Bank Umum Servitia (BUS) dari Bank Sanho
tidak dapat dicatat sebagai pendapatan kotor yang diterima BUS karena
Pinjaman Call Money (PUAB) tersebut diterima BUS untuk jangka
waktu 1-7 hari dan telah dilunasi sesuai jangka waktu yang
diperjanjikan. Sesuai ketentuan PSAK No. 31, Bab V, Paragraf 15 dan
16, maka pinjaman yang diterima oleh suatu bank disajikan hanya
sebesar saldo pinjaman yang diterima bank pada tanggal laporan dengan
65
mencantumkan jangka waktu dan jatuh temponya. Dengan demikian
pinjaman PUAB dengan jangka waktu 1-7 hari yang dilakukan oleh
BUS dengan Bank Sanho tidak dapat dicatat secara keseluruhan
mengingat pinjaman PUAB tersebut selalu dilunasi sesuai per
periodenya.
9. Bahwa dengan demikian berdasarkan ketentuan-ketentuan PSAK No.31,
Bab V, Paragraf 14, 15 dan 16 maka tidaklah benar bahwa Terpidana
David Nusa Wijaya telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau
suatu badan sebesar total keseluruhan 34 NK yang telah Hal. 44 dari 58
hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 diterbitkannya. Dengan demikian Majelis
Hakim telah keliru / khilaf karena dalam pertimbangannya sama sekali
tidak bersandarkan pada prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku di bank,
khususnya PSAK No.31. Untuk itu maka Putusan A Quo harus
dibatalkan mengingat bahwa Majelis Hakim telah terbukti melakukan
kekeliruan yang nyata/ kekhilafan dalam pertimbangan hukumnya.
E. Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan Putusan a quo
terhadap keberatan kasasi ke-5 tentang kesalahan penafsiran unsur kerugian
negara karena salah dalam menilai alat-alat bukti yang dihasilkan di
persidangan dalam kaitan dengan penandatanganan akta PKPS-APU.
a. Bahwa Judex Juris dengan pertimbangannya yang sumir langsung saja
menyatakan bahwa keberatan kasasi ke-5 tidak dapat dibenarkan, oleh
karena Judex Factie tidak salah menerapkan hukum;
b. Bahwa dalam hal ini Judex Juris mengulangi kekeliruan yang sama yang
telah dilakukan oleh Judex Factie di tingkat Pengadilan Pertama dan di
tingkat Pengadilan Banding;
c. Bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang
nyata dalam pertimbangan hukum Putusan a quo, dengan alasan-alasan
hukum sebagai berikut:
66
(1) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan tidak
mempertimbangkan upaya-upaya penyelesaian BLBI yang telah
dilakukan oleh Pemohon PK dimana Pemohon PK telah
menunjukkan sikap kooperatif dengan pemerintah cq BPPN
sebagaimana termuat dalam bukti BDPP - G 1 s/d bukti BDPP – G
16;
(2) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan mengabaikan
adanya perjanjian PKPS-APU yang telah ditandatangani oleh
Pemohon PK dengan pemerintah cq BPPN dalam penyelesaian
kewajiban BLBI yang telah diterima oleh bank milik Pemohon PK
(Bank Umum Servitia);
(3) Bahwa Majelis Hakim telah keliru/khilaf dengan menafsirkan bahwa
kerugian negara telah pasti jumlahnya akibat dikucurkannya BLBI
kepada Bank Umum Servitia. Bahwa Majelis Hakim telah
keliru/khilaf dengan tidak memperhitungkan assetasset milik
Pemohon PK yang telah diserahkan kepada Pemerintah cq BPPN
yang belum semuanya dieksekusi yang ditujukan untuk meng-cover
hutang BLBI yang diterima Bank Umum Servitia;
(4) Bahwa pertimbangan Majelis Hakim mengenai adanya kerugian
negara yang merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi
dalam penerimaan BLBI kepada Bank Umum Servitia yang harus
dipertanggungjawabkan kepada Pemohon PK selaku salah satu
pemegang saham Bank Umum Servitia nampaknya tidak dapat
dipertahankan lagi mengingat pada masa sekarang pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan baru bagi penyelesaian kewajiban BLBI
terhadap debitur-debitur lainnya dengan mengutamakan pembayaran
hutang BLBI dan mengeyampingkan unsur pidananya jika para
debitur tersebut melunasi kewajibannya paling lambat akhir tahun
2006. (vide Bukti PK - 2);
67
(5) Bahwa perlakuan yang sama harusnya diterima oleh Pemohon PK
sebagai salah satu debitur BLBI yang kooperatif yang terlanjur
dipersalahkan atas diterimanya BLBI oleh bank miliknya. Oleh
karena penyelesaian hukum atas diri Pemohon PK telah selesai
dilakukan dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum
tetap maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pemohon PK
hanyalah mengajukan permintaan PK ini dengan keyakinan bahwa
Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan yang nyata/ kekhilafan
dalam menilai unsur "kerugian negara".
3. Kekhilafan atau Kekeliruan Yang Nyata dalam pertimbangan hukum
Putusan A Quo tentang hal-hal yang memberatkan dalam kaitan
dengan ancaman pidana maksimal dalam Undang-undang No. 3
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Korupsi.
a. Bahwa dalam pertimbangan Putusan A Quo halaman 28, Judex
Juris mempertimbangkan sebagai berikut: "Menimbang, bahwa
oleh karena dakwaan yang terbukti tersebut adalah tindak pidana
korupsi yang mana diancam maximum hukuman mati atau
hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara sedangkan pidana
yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta adalah 4 tahun
penjara adalah tidak selaras dan sebanding dengan pidana korupsi
tersebut, seharusnya Judex Facti memberikan hukuman bersifat
mendidik (edukatif dan prefentif serta sepatutnya setimpal dengan
perbuatannya yang terbukti tersebut);
Menimbang, bahwa oleh karena itu amar putusan Pengadilan Tinggi
tersebut perlu diperbaiki mengenai kwalifikasi kejahatan serta
hukumnya, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagaimana
tercantum di bawah ini;
68
Menimbang, bahwa majelis hendak memberikan pertimbangan
tentang hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan hukuman
Terdakwa;
Hal-hal yang memberatkan:
1. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah merugikan keuangan
negara triliunan rupiah;
2. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah menyinggung perasaan
masyarakat;
3. Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut bertentangan dengan
kemauan pemerintah yang hendak mengikis korupsi dan KKN
tersebut; "
b. Bahwa Judex Juris telah melakukan kekeliruan yang
nyata/kekhilafan dengan menyatakan bahwa ancaman hukuman
bagi tindak pidana korupsi yang didakwakan adalah diancam
maximum hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau 20
tahun penjara dalam pertimbangan hukum di atas. Bahwa Judex
Juris telah keliru/khilaf karena ancaman hukuman bagi tindak
pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan kepada Pemohon
PK merupakan tindak pidana dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU No.
3 Tahun 1971 yang hanya diancam hukuman penjara seumur
hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan atau denda
setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah sebagaimana
termuat dalam Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1971, bukan ancaman
hukuman mati sebagaimana pertimbangan Judex Juris tersebut di
atas. c. Bahwa Judex Juris juga telah keliru/khilaf dalam
memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan
karena sama sekali tidak mempertimbangkan adanya itikad baik
dan sikap kooperatif yang ditunjukkan Pemohon PK (Terpidana
David Nusa Wijaya) dalam menyelesaikan dana BLBI dimana
69
Pemohon PK telah menyerahkan seluruh milik pribadi, keluarga
maupun PT Bank Umum Servitia kepada pemerintah cq BPPN,
walaupun sampai saat ini belum terdapat laporan hasil penjualan
asset-asset tersebut dari BPPN. Judex Juris langsung saja
menyatakan bahwa David Nusa Wijaya telah merugikan negara
triliunan rupiah tanpa pernah memperhitungkan nilai asset-asset
yang telah diserahkan Pemohon PK kepada Pemerintah.
d. Bahwa selanjutnya pertimbangan Judex Juris dalam menyatakan
bahwa David Nusa Wijaya telah merugikan negara triliunan
sehingga patut dijatuhi pidana yang berat adalah terbukti
merupakan suatu kekeliruan yang nyata/kekhilafan karena jika
melihat perkara BLBI pada debiturdebitur BLBI yang lain yang
nilainya jauh di atas dana BLBI yang diterima Pemohon PK,
maka pemerintah telah mengambil sikap menyelesaikannya secara
perdata dan mengeyampingkan perkara pidananya sesuai
kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung sebagaimana tercantum
dalam Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung.
Pengeyampingan perkara pidananya dan memberi kesempatan
kepada debitur BLBI untuk penyelesaian secara perdata telah
diterima oleh debitur-debitur BLBI antara lain: Syamsul Nursalim
(Bank BDNI), dan delapan bankir lainnya yang tercantum dalam
SK Menkeu No. 151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006.
Dengan demikian pertimbangan Judex Juris pada Putusan a quo
halaman 28 tentang hal-al yang memberatkan adalah tidak sejalan
dengan kemauan pemerintah sendiri yang lebih mengutamakan
pengembalian uang negara (dana BLBI) dari para debitur BLBI
dari pada memproses pidananya secara hukum.
Bahwa dengan demikian hal-hal yang oleh Judex Juris
dipertimbangkan sebagai memberatkan David Nusa Wijaya, menurut
70
pendapat Pemohon PK tidak cukup menjadi alasan menjatuhkan
pidana melebihi yang dituntut oleh Penuntut Umum, sehingga
terbukti bahwa dalamhal ini Judex Juris telah melakukan kekeliruan
yang nyata/kekhilafan dan permintaan PK atas perkara David Nusa
Wijaya ini haruslah dikabulkan.
4. ADANYA PERUBAHAN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU;
1. Terdapat Perubahan Dalam Perundang-undangan Tentang
Pengertian Unsur Tindak Pidana Korupsi: "Melawan Hukum"
a. Bahwa dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-
IV/2006 tentang penjelasan pengertian "melawan hukum"
dengan amar Putusan sebagai berikut: "Menyatakan kata
"dapat" dalam frasa "yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, beserta
penjelasan-penjelasannya dan kalimat, ".,.., maupun dalam
arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam perundang-undangan namum apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana" dinyatakan tidak
mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repuplik
Indonesia Tahun 1945"
b. Bahwa walaupun David Nusa Wijaya dihukum karena
melanggar Pasal 1 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 3
Tahun 1971, akan tetapi perumusan Pasal 3 Undang-undang
71
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 adalah sama, sehingga mutatis
mutandis Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud berlaku
juga bagi penerapan Pasal 1 ayat 1 huruf b Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 berdasar ketentuan sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan:
"Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya "
c. Bahwa walaupun dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) huruf b
perbuatan melawan hukum tidak secara nyata dicantumkan
sebagai unsur (bestandeel),akan tetapi tetap harus dianggap
sudah terkandung dalam rumusan, sebagaimana dikemukakan
Andi Hamzah dalam bukunya "Korupsi di Indonesia. Masalah
dan Pemecahannya", Penerbit PT. Gramedia, Jakarta 1984
halaman 105 sebagai berikut; "Pada rumusan Pasal 1 ayat (1)
b tidak dicantumkan unsur melawan hukum secara berdiri
sendiri (bukan merupakan bestanddeel). Ini bukan berarti
bahwa delik ini dapat dilakukan tanpa melawan hukum,
Unsur melawan hukumnya terbenih (inhaerent) dalam
keseluruhan perumusan. Dengan menyalahgunakan
kewenangan ...... dst, berartimelawan hukum. Kepada
penasihat hukumnya (diberi) kesempatan untuk membuktikan
bahwa tertuduh tidak melawan hukum "
d. Bahwa dikaitkan dengan Dakwaan Penuntut Umum yang
menjadi dasar pemeriksaan dan Putusan baik di tingkat
pertama, maupun di tingkat banding dan kasasi, perbuatan-
perbuatan yang didakwakan yaitu: - Perbuatan menerbitkan
72
Nota Kredit dalam rangka transaksi Pasar Uang Antar Bank
(PUAB);
- Perbuatan menerbitkan Negotiate Certificate of Deposit
(NCD);
- Mencairkan pinjaman yang telah lebih dahulu disepakati
(demand loan) Bukanlah perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan perundang-undangan, melainkan
merupakan transaksi-transaksi yang lazim dilakukan dalam
industri perbankan, sebagaimana telah dijelaskan dalam
bagian keberatan kedua memori peninjauan kembali ini;
2. Terdapat Perubahan Dalam Perundang-undangan Tentang
Pengertian Unsur Tindak Pidana Korupsi: "Kerugian Negara"
a. Bahwa dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara telah diberikan interpretasi otentik
tentang pengertian "kerugian negara", sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 butir 22 sebagai berikut :
"Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai
akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai"
b. Bahwa pengertian yang baru tersebut berdasar ketentuan Pasal
1 ayat (2) KUHP seharusnya diterapkan pada perkara ini;
c. Bahwa beban Bank yang bertambah akibat adanya transaksi
PUAB dan NCD sebagaimana dikemukakan dalam Nota
Pembelaan Tim Penasihat Hukum halaman 68 s/d halaman 73
sebenarnya hanyalah dalam bentuk bunga yang dibayar Bank
yaitu sebesar Rp.3.265.055.555,54 untuk transaksi PUAB dan
Rp.9.990.255.254,- untuk transaksi NCD, sehingga jumlah
bunga dua transaksi tersebut adalah sebesar
Rp.13.255.310.809,54 (Tiga belas milyar dua ratus lima puluh
73
lima juta tiga ratus sepuluh ribu delapan ratus sembilan rupiah
lima puluh empat sen). Sedang pencairan demand loan
kepada PT MRWS sebesar Rp.21.600.000.000.- bukanlah
merupakan pelanggaran perundang-undangan melainkan
justru merupakan pelaksanaan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu
memenuhi isi Perjanjian Kredit antara Bank dan PT MRWS.
Di lain pihak, sebelum dilakukan penyidikan perkara, kredit
tersebut telah lunas.
d. Bahwa memperhatikan rumusan pengertian kerugian negara
dalamUndang-undang Perbendaharaan Negara yang telah
dikemukakan di atas, yang jumlahnya harus pasti dan nyata,
adalah juga bersesuaian dengan pengertian "kerugian" di
lingkungan perbankan, yaitu tidak didasarkan pada saat
pengeluaran uang saja (cash basis), tetapi harus dilihat suatu
transaksi secara menyeluruh dari permulaan sampai akhir
transaksi, barulah dapat ditentukan ada atau tidak kerugian
(accrual basis), Bahwa dikaitkan dengan transaksi yang
didakwakan kepada David Nusa Wijaya, sebagaimana
dikemukakan di atas, untuk transaksi PUAB dan NCD hanya
ada beban bunga sebesar Rp.13.255.310.809,54 (Tiga belas
milyar dua ratus lima puluh lima juta tiga ratus sepuluh ribu
delapan ratus sembilan rupiah lima puluh empat sen), sedang
untuk transaksi pemberian kredit kepada PT. MRWS, karena
sudah lunas, tidak ada beban atau kerugian bagi Bank,
malahan Bank memperoleh keuntungan dari bunga kredit;
e. Bahwa masalah kerugian negara ini telah dikemukakan diatas
sebagai bagian dari "adanya kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata" sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
263 ayat (2) cKUHAP.
74
3. ADANYA PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS
PENANGANAN KASUS BLBI YANG DITUANGKAN DALAM
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN No. 151/KMK.01/2006
TANGGAL16 MARET 2006:
a. Bahwa melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 151/KMK.01/2006 tanggal
16 Maret 2006, Pemerintah telah mengambil kebijakan baru atas penanganan
8 (Delapan) Debitur BLBI lainnya yaitu dengan memberikan kesempatan
kepada mereka untuk melunasi utangnya kepada Pemerintah sampai batas
waktu hingga akhir 2006. Dalam skema tersebut terhadap debitur yang telah
melunaskan kewajiban BLBI-nya dan tidak ditemukan adanya unsur pidana,
maka Pemerintah langsung memberikan Surat Keterangan Lunas. Sebaliknya,
jika ada ditemukan unsur pidana maka Pemerintah melalui Jaksa Agung
dengan kewenangannya akan mengeyampingkan perkara hukumnya atau
mendeponir. (vide Bukti PK-2) Hal. 51 dari 58 hal. Put. No.17 PK/Pid/2007 b.
Bahwa kebijakan baru Pemerintah tersebut di atas, sangatlah mencederai rasa
keadilan terutama bagi Pemohon PK karena Pemohon PK juga merupakan
salah satu Debitur BLBI namun mendapat perlakuan hukum yang amat
berbeda dibanding debiturdebitur BLBI lainnya dimana Termohon PK
walaupun telah menandatangani PKPS-APU dengan pemerintah dan telah
menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban BLBI-nya dengan
menyerahkan asset-asset kepada Pemerintah cq BPPN namun Pemohon PK
tetap diperiksa, disidik, dan diproses hukum dan mendapatkan hukuman atas
diterimanya utang BLBI oleh Bank Umuin Servitia milik Pemohon PK.
c. Bahwa dalam proses hukum perkara Korupsi BLBI yang dituduhkan kepada
Pemohon PK oleh Majelis Hakim baik di tingkat pengadilan pertama, tingkat
banding maupun tingkat kasasi sama sekali mengabaikan latar belakang
diterimanya BLBI oleh sektor perbankan pada periode 1997 - 1999, khususnya
oleh Bank Umum Servitia milik Pemohon PK.
75
d. Bahwa jika dirunut kebelakang, pengucuran BLBI bersifat sistemik dan
menunjukkan debitur sebagai penerima bantuan bersifat pasif sebagai
penerima keputusan Pemerintah yang dilaksanakan Menteri Keuangan dan BI.
Dari penelusuran Panitia Kerja (Panja) BLBI, yang dibentuk oleh Komisi IX
DPR RI pada tahun 1999, diperoleh keterangan bahwa BLBI adalah
Keputusan Pemerintah yang dalam pelaksanaannya menjadi tanggung jawab
Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur BI. (vide PK-2)
e. Bahwa Pemohon PK sebagai pemegang saham Bank Umum Servitia
sebenarnya tidak menginginkan untuk mempertahankan tetap beroperasinya
bank miliknya dalam masa krisis itu. Pemohon PK sebagai pemilik bank
merasa akan ringan bebannya bila Bank Umum Servitia ditutup. Tetapi
Menteri Keuangan yang memiliki kewenangan melikuidasi bank, karena
merujuk kepada keputusan Presiden, tidak melakukannya, bahkan tetap
mempertahankan beroperasinya perbankan dalam rangka kelangsungan sistem
perbankan Indonesia. (vide J. Soedradjad Djiwandono dalam buku "Mengelola
Bank Indonesia Dalam Masa Krisis", Jakarta: LP3ES, 2001, hal, 246-249).
Menjatuhi pidana terhadap Pemohon PK tanpa memahami konteks, dan
meminta tanggung jawab masalah BLBI hanya kepada Pemohon sangat tidak
adil dan tidak obyektif, mengingat pengucuran BLBI bersifat sistemik.
Pemohon PK tidak berada dalam posisi sebagai pemohon bantuan likuiditas,
tetapi lebih dalam posisi sebagai pihak yang terpaksa menerima BLBI, bahkan
tidak memiliki otoritas untuk menolaknya.
f. Bahwa setelah proses hukum terhadap Pemohon PK telah selesai dilakukan
dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pemerintah menunjukkan sikap
ketidak konsistenan dalam penanganan penyelesaian masalah BLBI yaitu
dengan memberikan surat keterangan lunas maupun pembebasan dari jerat
hukum kepada beberapa debitur BLBI lainnya apabila debitur BLBI tersebut
melunasi kewajibannya paling lambat akhir tahun 2006. Padahal beberapa
debitur BLBI yang diampuni tersebut juga telah terlambat menyelesaikan
76
kewajibannya sebagaimana yang telah mereka janjikan dalam PKPS - APU
sebelumnya, namun kembali diberi kesempatan dan ditambah janji dari
Pemerintah akan mengeyampingkan perkara pidana mereka demi kepentingan
umum.
g. Bahwa dengan adanya kebijakan baru dari Pemerintah terhadap penanganan
penyelesaian kewajiban pemegang saham (Debitur BLBI) sebagaimana
dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 151/KMK.01/2006
tanggal 16 Maret 2006 merupakan suatu perubahan perundang-undangan
menurut Pasal 1 ayat 2 KUHP dan dapat dijadikan alasan bagi Pemohon PK
untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ini. Dalam hal ini
Pemohon PK memohon perlakuan hukum yang sama dengan 8 (Delapan)
Debitur lainnya karena Pemohon PK juga memenuhi syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006, butir Pertama, yaitu: "Pemohon
PK (Terpidana David Nusa Wijaya) merupakan Pemegang Saham yang telah
menandatangani PKPS-APU yang telah melakukan sebagian pembayaran
kewajibannya kepada BPPNsebelum masa tugas BPPN berakhir".
h. Bahwa APABILA TERHADAP DEBITOR-DEBITOR BLBI LAINNYA
Pemerintah hanya menuntut penyelesaian kewaiiban secara perdata dengan
membayar uang (pelunasan kewajiban BLBI) mengapa terhadap pemohon PK
pemerintah tetap menuntutntya dengan pembayaran Hal. 53 dari 58 hal. Put.
No.17 PK/Pid/2007 "uang" dan juga "darah" (hukuman pidana)? untuk itu
Pemohon PK mohon agar Permintaan Peninjauan Kembali ini dikabulkan.
9. Bentuk Penemuan Hukum dalam Pemeriksaan Perkara Peninjauan
Kembali
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena
walaupun penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 199
sudah dinyatakan “tidak mengikat secara hukum” oleh putusan Mahkamah
77
Konstitusi No.003/PUU.IV/2006, tetapi dalam praktek Mahkamah Agung
berdasarkan yurisprudensi masih tetap menerapkan pengertian perbuatan
melawan hukum formil maupun materiil, berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut :
1. Bahwa dengan dinyatakan tidak mengikat secara hukum penjelasan Pasal 2
ayat 1 Undang-undang No.31 Tahun 1999, oleh Mahkamah Konstitusi,
maka yang dimaksud/pengertian “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1
tersebut menjadi tidak jelas;
2. Bahwa penganut Doktrin “Sin-clair (La doktrin du Sensclair) berpendapat
bahwa “penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika:
- Peraturanya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau
- Peraturannya sudah ada tetapi belum jelas;
3. Bahwa Lie Oen Hock berpendapat : apabila kita memperhatikan Undang-
undang, ternjata bagi kita, bahwa undang-undang tidak sadja
menundjukkan banjak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali djuga tidak
djelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah,
bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada
Hakim untuk menetapkan sendiri maknanja kententuan undang-undang itu
atau artinja suatu kata jang tidak djelas dalam suatu ketentuan undang-
undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang setjara
gramatikal atau historis, baik “recht maupun wetshistoris”; (Lie Oen
Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada
Pengresmian Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Djakarta, pada
tanggal 19 September 1959, hlm.11);
4. Bahwa tugas Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum
berdasarkan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menentukan “bahwa pengadilan tidak boleh
78
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan Pasal ini mengisyaratkan
kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan
belum jelas atau belum mengaturnya Hakim harus bertindak berdasarkan
inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut; Dalam hal ini
Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum
sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya; Perlu
dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan
Pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28
ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Bahwa selain itu
berdasarkan teori perubahan Undang-Undang, perlu dikemukakan sebagai
berikut :
a. Teori formil yang dianut oleh Simon.
Perubahan Undang-undang yang dimaksud baru terjadi bilamana
redaksi Undang-Undang Pidana yang dirubah, in casu yang dirubah
adalah hanya penjelasan, sehingga menurut teori ini putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak menyebabkan adanya perubahan Undang-
Undang menurut Pasal 1 (2) KUHP;
b. Teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh Van Geunus, bahwa
perubahan Undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan
keyakinan hukum pembuat Undang-undang. Bahwa in casu tidak ada
perubahan keyakinan hukum pembuat Undang-Undang, karena yang
menyatakan “Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31
79
Tahun 1999 tidak mengikat secara hukum, bukan pembuat Undang-
Undang tetapi Mahkamah Konstitusi ;
10. Amar Putusan Mahkamah Agung dalam Pemeriksaan Peninjuan
Kembali
a. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Pemohon Peninjauan Kembali DAVID NUSA WIJAYA alias NG
TJUEN WIE tersebut ;
b. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Juli 2003 Nomor:
830 K/Pid/2003 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta tanggal 12 Agustus 2002, Nomor : 67/Pid/2002/ PT.DKI yang
memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 11 Maret
2002 No.504/Pid.B/2001/PN.Jkt.Bar;
MENGADILI KEMBALI :
a. Menyatakan Terdakwa DAVID NUSA WIJAYA alias NG TJUEN WIE
tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan
tindak pidana "KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-
SAMA";
b. Menghukum oleh karena itu Terdakwa dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan
diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
c. Menetapkan masa penahanan yang dijalani oleh terpidana, akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
d. Menghukum pula terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada
Negara sebesar Rp.1.291.530.307.776,84,- ( satu trilyun dua ratus
sembilan puluh satu milyar lima ratus tiga puluh juta tiga ratus tujuh ribu
tujuh ratus tujuh puluh enam rupiah delapan puluh empat sen);
e. Menetapkan barang bukti berupa :
80
1) Surat-surat nomor urut I, II, III dikembalikan kepada Penuntut Umum
untuk dipergunakan dalam perkara lain ;
2) Surat-surat tanah dan bangunan, tanah dan bangunan sesuai daftar
barang bukti nomor urut IV, V dan VI dirampas untuk Negara ;
f. Membebankan biaya perkara ini dalam semua tingkat peradilan kepada
terpidana, yang untuk pemeriksaan peninjauan kembali ditetapkan
sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
11. Pembahasan
Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana material yang lebih
dikenal dengan hukum pidana dan hukum pidana formal atau disebut dengan
hukum acara pidana. Hukum acara pidana mempelajari tentang himpunan
peraturan-peraturan hukum yang jika terjadi pelanggaran pidana, negara
melalui alat-alatnya melakukan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Mencari kebenaran tentang terjadinya pelanggaran hukum pidana tersebut.
b. Menyidik siapa pelaku perbuatan tersebut (mencari tersangka).
c. Menangkap pelaku dan jika perlu dilakukan penahanan.
d. Mencari bahan-bahan bukti untuk mengajukan terdakwa ke muka
persidangan.
e. Mengambil keputusan.
f. Upaya hukum untuk melawan putusan hakim tersebut.
g. Melaksanakan putusan hakim.
(Andi Hamzah, 1986 : 2).
Setiap pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan, mengharuskan
penuntut umum melimpahi berkas perkara dengan surat dakwaan. Fungsi
utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan adalah
81
“menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara”. Pemeriksaan perkara di
sidang Pengadilan mesti didasarkan dari isi surat dakwaan. Atas landasan
surat dakwaan inilah Ketua sidang memimpin dan mengarahkan jalannya
seluruh pemeriksaan baik yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun
yang berkenaan dengan barang bukti.
Agar Ketua sidang dapat menguasai jalannya pemeriksaan yang sesuai
dengan surat dakwaan, harus lebih dahulu memahami secara tepat segala
sesuatu unsur-unsur konstitutif yang terkandung dalam Pasal tindak pidana
yang didakwakan, serta terampil mengartikan dan menafsirkan Pasal tindak
pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebelum Hakim memulai
pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan, lebih dahulu memahami secara
mantap semua unsur tindak pidana yang didakwakan.
Keputusan hakim harus berdasar pada surat pelimpahan perkara yang
memuat dakwaan atas kesalahan terdakwa dan berdasarkan hasil pemeriksaan
persidangan dalam ruang lingkup surat dakwaan tersebut. Tirtaamidjaja dalam
hal ini menyatakan : “Hakim pada mengambil putusannya itu mula-mula akan
meninjau perkara itu dari sudut formal. Jika hasilnya sedemikian sifatnya,
sehingga perkara itu harus dipandang selesai karena pertimbangan-
pertimbangan formal maka tidaklah perlu bagi penyelidikan seterusnya dari
sudut material dari perkara itu”.
Salah satu fungsi dari hukum adalah sebagai alat untuk melindungi
manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia.Upaya yang
semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia adalah hukum
harus dilakukan secara layak.Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung
secara damai,normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran
hukum.Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah
ditegakkan dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut
menjadi kenyataan.
82
Dalam hal penegakan hukum,setiap orang selalu mengharapkan dapat
ditetapkanya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit,dengan kata lain
peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai
dengan hukum yang berlaku,yang pada akhirnya kepastian hukum dapat
diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga
unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi
dan tujuan itu sendiri,yaitu: Kepastian Hukum (Rechtssicherheit),
Kemanfaatan(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtgkeit).
Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus
mereka perbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan
tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati
peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan
akan menimbulkan rasa ketidakadilan.apapun yang terjadi peraturanya adalah
demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan.dan kadang undang-undang
sering tersa kejam apabila dilaksanakan secara ketat(Lex dura sed tamen
scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya masyarakat hanya melihat
peraturan hukum dalam arti kaidah atau perturan perundang-
undangan,terutama bagi para praktisi. Sedangkan kita sadar bahwa undang-
undag itu tidaklah sempurna. Undang-undang tidak mungkin dapat mengatur
segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas.Ada kalanya undang-undag
itu tidak lengkap atau tidak jelas. Tidak hanya itu dalam Al-Qur’an sendiri
yang merupakan rujukan umat Islam dalam menentukan hukum akan suatu
peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran pada
masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan atasnya
untuk dilakukan suatu penafsiran
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak
hukum/hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang.Hakim
83
tidak dapat dan tidak boleh menagguhkan atau menolak menjatuhkan putusan
dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim
dilarang menolak menjatuhkanputusan dengan dalih tidak sempurnanya
undang-undang. Olehnya karana undang – undang yang mengatur akan
peristiwa kongkrit tadak lengkap ataupun tidak jelas, mak dalam hal ini
penegak hukum (hakim) haruslah mencari , menggali dan mengkaji
hukumnya (rechtsvinding).
Problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum ini
memang pada umumnya di pusatkan sekitar ”hakim”, oleh karena dalam
kesehariannya ia senantiasa di hadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik
untuk diselesaikannya,jadi jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan
hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan
mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Disamping
itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum.
Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang
kongkrit.Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum yantg bersifat umum dengan mengigat peristiwa kongkrit. Atau lebih
lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses
kongkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
umum dengan menggigat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.
Dari abstraksi pemikiran yang di kemukakan di atas,terdapat beberapa
hal/faktor serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap
prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara
terutama pada tahap pengambilan keputusan,antara lain sebagai berikut :
84
Pertama, bahwa kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas,tidak
terhitung jumlah dan jenisnya,sehingga tadak mungkin tercakup dalam suatu
perundang - undagan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada
peraturan perundang-undagan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan
kehidupan manusia,sehingga tak ada peraturan perundang-undagan yang
lengkap selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya
tidak lengkap dan tidak jelas maka harus di cari dan ditemukan.
Kedua, perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah
berlasung lama dan ajaran penemuan hukum,ajaran penafsiran hukum atau
metode yuridis ini pada abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis
(hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan
penerapannya.
Ketiga ,adalah munculnya suatu gejala umum,yakni kurangnya serta
menipisnya suatu kepercayaan sebagian”besar”masyarakat terhadap proses
penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat,
melalui berbagai media yang ada. Gejala ini lahir tidak lain adalah karena
terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya
dilakukan/diharapkan(khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa
yang terjadi dalam kenyataanya.
Keempat, kaitannya dengan gejala umum diatas,dari mekanisme
penyelesaian perkara (kasus) yang ada,tidak jarang hakim selaku penegak
hukum menjatukan putusan/vonis terhadap kasus yang tanpa disadari telah
melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karana terlalu kaku dalam
melihat suatu peraturan (bersifat normatif/positivistik)tanpa
mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada.Salah satu contoh yang masih
hangat dimemori kita diawal bulan yang lalu yakni divonis bebesnya beberapa
kasus korupsi(koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan
Negara.
85
Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni
melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukun dalan tugas
dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada
profesinya serta sejauh mana hal itu dapat mewarnai dalan setiap putusan
yang dilahirkan.
Analisis Teoritis dan Kerangka Konseptual
Sistem hukum mempunyai tiga komponen atau sub sistem yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya,yaitu substansi hukum (substance)
yakni kaidah/norma hukum serta peraturan perundang-undagan,struktur
hukum(structure) yakni aparat penegak hukum dan budaya hukum (legal
culture). Apabila mana ketiga komponen tersebut bersinergi secara
pisitif,maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang
diinginkan.Dalam hal ini,hukum tersebut efektif mewujudkan ”tujuan hukum”
(keadilan, bermanfaat dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga
kompenen hukum bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem
hukum yang semrawut dan tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.
Hukum, kaidah/norma perundang-undagan (substansi hukum) yang
merupakan komponen dari sistem hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk
melindungi kepentingan manusia atau sebagai pelindungan kepentingan
manusia.Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan
manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum
itu sendiri dapat berlangsung secara damai,normal tetapi dapat terjadi pula
karana pelanggaran hukum.Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut
haruslah ditegakkan,dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum
tersebut menjadikan kenyataan.
Dalam hal terjadilah pelanggaran undang-undang tersebut,penegak
hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang.Hakim
86
(unsur dari struktur hukum) tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau
menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karana hukumnya tidak lengkap
atau tidak jelas.Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih
tidak sempurnanya undang-undang.
Apa yang dimaksud dengan”penemuan hukum”dalam penelitian
adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum kongkrit. Atau dapat dikatakan adalah proses konkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum(das sollen)yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa konkrit(das sein) tertentu (Sudikno Mertokusumo,
1996 :37).
Studi mengenai analisis terhadap teknik/metode (prosedur) penemuan
hukum oleh hakim dalam proses pengambilan keputusan,kiranya tepat
didekati melalui pendekatan teori”sistem hukum” sebagaimana dikemukakan
oleh Lawrence M. Friedman yakni Substance of the rule, legal structure
(Lawrance M. Friedman, 1997:11) dan teori ”penegakan hukum”
sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:5) yaitu: (a)
materi hukum atau undang-undang(b)penegak hukum(c)sarana dan fasilitas(d)
masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan (e)budaya
masyarakat,dalam hal ini akan diteliti faktor- faktor yang mempengaruhi
hakim dalam proses penemuan hukum. Serta teori tentang”tujuan hukum”
yakni mencapai keadilan,menciptakan kemanfaatan dan menciptakan
kepastian hukum guna melihat apakah produk pengadilan (putusan oleh
hakim) dapat mewujudkan hakikat dari tujuan hukum yang ada.
Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan “bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan
87
mengadilinya. Ketentuan Pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa
apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum
mengaturnya Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara tersebut; Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk
menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-
undangan tidak dapat membantunya.
Dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1
tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-
undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak
hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
88
BAB IV
P E N U T U P
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :
Bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan perkara peninjauan kembali kasus korupsi BLBI dengan
terpidana David Nusa Wijaya adalah dalam memaknai pengertian melawan hukum
dalam UU no. 31 tahun 1999. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999
menyebutkan bahwa pengertian melawan hukum meliputi formil dan materiil.
Penjelasan Pasal tersebut dinyatakan “tidak mengikat secara hukum” oleh putusan
Mahkamah Konstitusi No.003/PUU.IV/2006. Akibat putusan MK tersebut maka
yang dimaksud/pengertian “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut
menjadi tidak jelas.
Untuk mengatasi ketidakjelasan tersebut, maka Hakim Mahkamah Agung
harus melakukan penemuan hukum dalam memaknai pengertian melawan hukum
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999. Hasil Penemuan hukum tersebut
adalah bahwa dengan mengacu pada beberapa teori, maka Hakim Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan PK tetap memaknai pengertian melawan hukum dalam
arti yang luas, yaitu formil dan materiil.
B. Saran-Saran
1. Hakim dalam memeriksan dan memutus perkara harus senantiasa
memperhatikan adanya keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. Dengan adanya keseimbangan tersebut, maka diharapkan
adanya harmonisasi dalam penegakan hukum.
89
89
2. Penemuan hukum oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana
harus dilakukan secara cermat, arief dan berdasarkan argumentasi yuridis
yang rasional, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para
pencari keadilan.