Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009
-
Upload
erika-angelika -
Category
Documents
-
view
1.399 -
download
0
Transcript of Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009
1
LAPORAN PENELITIAN MPHI
“ANALISIS PERAN WWF DALAM SERTIFIKASI KAYU
HUTAN KALIMANTAN TAHUN 2003-2009”
KELOMPOK I
Haryo Tetuko (0606097026)
Aisyah Ilyas (070629110)
Erika (0706291243)
Natasha Agnes (0706291344)
Rifki Ahmad Z. S. (0706291376)
Teguh Prayogo S. (0706291432)
Winda (0706291464)
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2009
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Permasalahan Hutan di Tingkat Global
Penurunan kualitas lingkungan bumi akibat eksploitasi secara besar-
besaran yang terjadi di berbagai tempat tengah menjadi isu yang ramai
dibicarakan oleh para ahli lingkungan, terutama terkait ketersedian dan
keberlanjutan sumber daya tersebut bagi generasi di masa mendatang. Kebutuhan
dan penggunaan sumber daya yang tinggi dianggap sebagai alasan utama yang
menimbulkan pemanasan global.1
Permasalahan lingkungan mulai mendapat
perhatian sejak beberapa abad lalu yaitu ketika terjadi Revolusi Industri Inggris.
Ketika itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan dilatarbelakangi oleh
polusi yang ditimbulkan oleh industri-industri yang tengah berkembang di
Inggris.2
Kerusakan hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang
mendapat perhatian dari banyak pakar. Hal ini disebabkan karena hutan memiliki
manfaat yang banyak bagi manusia. Hutan dapat memberikan manfaat langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya hutan dapat dimanfaatkan untuk
berbagai sumber penghasilan dan kebutuhan pangan. Dari sini dapat dilihat bahwa
sumber daya hutan berkontribusi penting bagi kesejahteraan manusia.
Empat puluh tiga persen sumber daya hutan dunia terletak di kawasan
tropis.3
Hutan tropis bermanfaat antara lain sebagai sumber energi, produk
industri perkayuan, pelindung tanah dan sumber air, sumber genetis, belum lagi
hasil-hasil hutan selain kayu.4 Hasil Penilaian Sumber Hutan Tropis menunjukkan
kerusakan hutan terbuka di daerah tropis sekitar 3,8 juta hektar per tahun,
1
Geologi dan Permasalahan Lingkungan diakses dari
http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah-Lingkungan pada Kamis,
8 Oktober 2009, pukul 16.17 2 David N. Ballam dan Michael Vesseth, Introduction to International Political Economy (NJ:
Prentice Hall International Inc, 1996), hal. 409. 3 Lihat Nota Informasi FAO: Situasi Sumber Daya Hutan Dunia Dewasa ini, (Jakarta: Departemen
Kehutanan, 1990), hal. 2. 4 Ibid.
3
sedangkan kerusakan di hutan tertutup adalah 7,5 juta hektar pertahun. Wilayah
kerusakan di hutan Kalimantan itu sebanding dengan wilayah Swiss dan Austria.
Kerusakan itu terutama disebabkan oleh deforestasi. Deforestasi berarti perubahan
fungsi hutan yang disebabkan oleh konversi secara permanen, dari hutan menjadi
lahan pertanian atau hutan produksi, dengan cara penebangan kayu. Memang
hutan dapat beregenerasi, tetapi sering kali jumlah kayu yang ditebang—baik
secara legal maupun ilegal—tidak seimbang dengan waktu regenerasi kayu.
Selain itu, membuka lahan baru sering kali dilakukan dengan cara membakar
hutan, yang dapat mematikan bibit-bibit pohon baru.5
1.1.2. Kemunculan Aktor International Civil Society Organization (ICSO)
dalam Permasalahan Lingkungan Global
Hingga pertengahan tahun 1970-an, permasalahan lingkungan merupakan
masalah yang belum banyak menyita perhatian para pemimpin dunia. Negara pada
saat itu masih berfokus pada masalah-masalah militer dan ekonomi, sehingga isu-
isu lingkungan global masih merupakan isu marjinal dalam kerangka politik
internasional suatu negara. Isu lingkungan global mulai mendapat tempat dalam
dunia internasional pada tahun 1972, ketika diselenggarakannya United Nations
Conference on the Human Environment di Stockholm, Swedia. Konferensi ini
kemudian menjadi titik awal diakuinya peran ICSO lingkungan sebagai aktor
yang mampu mengusahakan jalur komunikasi untuk berdiplomasi dengan
pemerintah, mampu membangun opini publik—baik di tingkat nasional maupun
di tigkat internasional—untuk menekan pemerintah suatu negara agar mengambil
tindakan nyata dalam memerangi masalah lingkungan, serta mampu memberikan
kontribusi pada perdebatan ilmiah untuk membantu pencapaian konsensus pada
aspek-aspek masalah lingkungan.6
Selepas konferensi tersebut, peran ICSO sebagai aktor yang
memperjuangkan isu-isu dan kaum marjinal semakin terkukuhkan. Pusat
perhatian dan perjuangan ICSO lingkungan pada umumnya adalah negara, karena
negara merupakan aktor legal yang dapat mengeluarkan berbagai regulasi dan
5 N. Myers, ―Tropical Forests and Climate‖,dalam jurnal Climate Change, Vol. 19, No. 1/2,
September 1991. 6 John Baylis, dan E.J. Rengger, ed., Dilemmas of World Politics: International Issues in a
Changing World, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hlm. 295-296.
4
kebijakan sehubungan dengan pemanfaatan lingkungan. Negara merupakan aktor
yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan regulasi mengikat tentang
pembatasan eksploitasi sumber daya alam di tingkat masyarakat. Di lain pihak,
pihak korporasi juga menjadi tujuan perjuangan ICSO lingkungan. Hal ini
disebabkan karena eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam seringkali
disponsori—atau bahkan dilakukan—oleh pihak korporasi yang menginginkan
keuntungan sebesar-besarnya dari setiap proyeknya. Kepemilikan modal yang
besar juga membuat pihak korporasi seperti berada di atas angin; terkadang
dengan modalnya yang besar, pihak korporasi turut bermain dalam pembuatan
kebijakan pemerintah tentang lingkungan. Itulah sebabnya, pihak korporasi juga
menjadi tujuan perjuangan ICSO lingkungan.
Di antara berbagai ICSO lingkungan yang ada di seluruh dunia, World
Wide Fund merupakan salah satu dari ICSO lingkungan yang sejak awal
pendiriannya sudah aktif menyuarakan dan memperjuangkan isu lingkungan.
Berbagai proyek yang bertujuan untuk pelestarian dan perlindungan lingkungan
telah dilakukan WWF. Salah satunya adalah proyek untuk merealisasikan
sertifikasi hutan Kalimantan.
1.1.3. Keadaan Hutan di Indonesia
Luasnya area hutan di Indonesia menjadikan negara tersebut sebagai
salah satu produsen kayu terbesar di dunia. Namun, hal ini tidak berarti hutan di
Indonesia terlepas dari masalah dalam pengelolaannya. Undang-Undang Pokok
Kehutanan tidak membawa dampak yang signifikan pada pengurangan eksploitasi
hutan secara besar-besaran. Pada pertengahan tahun 1960-an, pemerintah
mengeluarkan UU Pokok Kehutanan No. 5 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kehutanan. Di dalamnya disebutkan bahwa pengelolaan hutan diselenggarakan
atas asas kelestarian lingkungan dan asas manfaat.7 Hutan harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tanpa upaya merusak lingkungan.
Pemanfaatan sebesar-besarnya yang dimaksud di sini merujuk pada betapa
bermanfaatnya hutan karena menyediakan penghidupan, secara langsung maupun
tidak, terutama untuk masyarakat di sekitar hutan itu.
7
Pemanfaatan Hutan Tropis yang Berwawasan Lingkunga di Indonesia, dikeluarkan oleh
Departemen Kehutanan (Jakarta: Departemen Kehutanan, 1991), hal. 1.
5
Indonesia kehilangan hutan lebih cepat dari negara-negara pemilik lain di
dunia. Berdasarkan data FAO (2006), hutan di Indonesia berkurang 1,8 juta hektar
per tahun. Dalam buku rekor dunia Guinness edisi 2008, tertulis dari 44 negara
yang secara kolektif memiliki 90% hutan dunia, negara yang meraih tingkat laju
deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia. Hingga sekarang ini,
Inonesia telah kehilangan tigaperempat luas kawasan hutan alamnya (sekitar 72%)
dan dari jumlah tersebut 40% telah hilang sama sekali. Faktor utama pendorong
tingginya deforestasi di Inonesia adalah pembalakan skala besar untuk industri
kayu, kertas, pembukaan lahan gambut untuk perluasan kelapa sawit dan
kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun untuk pembukaan hutan.8 Kerusakan
ini terutama disebabkan oleh permintaan Asia akan kayu bagi kebutuhan industri
kayu dan industri kertas. Sementara itu dua pertiga dari penebangan di hutan
Indonesia adalah ilegal. Penebangan hutan secara ilegal ditengarai sebagai salah
satu penyebab utama laju deforestasi di kawasan Indonesia. Hancurnya hutan di
Indonesia juga akan mempengaruhi ketahanan pangan.9
1.1.4. Kerusakan Hutan di Kalimantan
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hijau,
terutama hutan tropis dalam skala yang cukup besar. Pada tahun 1950, tidak lama
setelah negara tersebut merdeka, peta vegetasi menyebutkan luas hutan per pulau
secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar,
Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi
seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000
hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar
atau dalam kalkulasi secara keseluruhan, ditambah dengan luas wilayah hutan di
luar kawasan yang disebutkan, jumlah hutan di negara Indonesia tersebut adalah
sekitar 162.290.000 hektar.10
Satu jumlah yang mungkin sulit dibayangkan betapa
luasnya wilayah hutan di Indonesia.
8
―Pembalakan liar In Indonesia‖ dalam Country Profile: Indonesia. Diakses dari
http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/asia/indonesia_ftn/indonesia_profile/, pada 9 September
2009 pukul 11.28 WIB. 9
Geologi dan Permasalahan Lingkungan diakses dari
http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah-Lingkungan pada Kamis,
8 Oktober 2009, pukul 16.17 10
―Potret Buram Indonesia‖, diakses dari http://www.isai.or.id/?q=node/10, diakses pada hari
Jumat, 9 Oktober 2009 pukul 16.34.
6
Dalam perkembangannya, luas wilayah hutan di Indonesia ini mengalami
penurunan disaat negara tersebut memasuki era orde baru yaitu pada tahun 1970-
an.11
Pada masa ini, kebijakan Soeharto, Presiden Indonesia kala itu, mempunyai
kebijakan yang terfokus pada pembangunan, sebuah kebijakan yang sangat
mengarah pada bidang ekonomi. Keberadaan kayu yang begitu banyak di negara
tersebut menjadikannya satu hal yang sangat ―menggiurkan‖. Hal inilah yang
menjadikan awal dimana pembalakan hutan begitu intens terjadi. Selain itu,
merebaknya perusahaan kayu pada masa tersebut menjadi faktor pendukung
lainnya.12
Menurut survei pada tahun 1999, laju deforestrasi rata-rata dari tahun
1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut,
Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar.
Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen
tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu
terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada
2005 dan di Kalimantan setelah 2010.13
Bila kita lihat data-data tersebut, kerusakan hutan di Kalimantan
merupakan yang terparah dibandingkan dengan kerusakan di pulau-pulau yang
lainnya. Hutan Kalimantan atau sering kali dikenal dengan kawasan Borneo ini
dalam data penelitian, pada tahun 1985 luas wilayah Kalimantan, lebih 70
persennya adalah hutan dan kini luas hutan tinggal 50,4 persen.14
Satu penurunan
yang sangat memprihatinkan tentunya. Pemetaan proses perkembangan
pengrusakan hutan di Kalimantan dapat dilihat dalam gambar 1 tentang realisasi
dan pengrusakan hutan di Kalimantan 1900-2020.
Latar belakang dari menurunnya luas hutan terutama di Kalimantan
tersebut sangatlah beragam. Hal pertama tentunya adalah banyaknya tindakan
pembalakan liar. Nilai jual kayu yang cukup tinggi di tingkat dunia dan
pengawasan yang tidak begitu optimal menjadikan tindakan pembalakan liar ini
11
Ibid. 12
Ibid. 13
Ibid. 14
Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam artikel yang berjudul ―Hutan di Kalimantan Cuma Tersisa
Separo‖ yang diakses dari
http://www.hulusungaitengahkab.go.id/versi3/index.php?option=com_content&view=article&id=4
32:awas-luas-hutan-di-kalimantan-cuma-tersisa-separo&catid=18:pariwisata&Itemid=64, diakses
pada hari Jumat, 9 oktober 2009 pukul 16.31.
7
semakin marak terjadi. Korupsi diantara kalangan oknum aparat terkait
pengawasan dan perlindungan kawasan hutan ini dapat menjadi faktor lainnya.
Gambar 1
Realisasi dan Prediksi Kerusakan Hutan Kalimantan 1900-2020
Dalam sebuah data penelitian disebutkan bahwa terdapat pembukaan lahan hutan
tropis di Kalimantan untuk kepentingan penanaman kelapa sawit, pertambangan,
dan kawasan transmigrasi.15
Save Our Borneo (SOB) memaparkan, berdasarkan
prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektar, laju
kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16
persen.16
Dalam sudut pandang yang sedikit berbeda, terdapat faktor lainnya yang
menjadi penyebab kerusakan kawasan hutan di Kalimantan tersebut. Faktor
15
Lihat Save Our Borneo (SOB), ―Kerusakan Hutan di Kalimantan karena Pembukaan Lahan
Kelapa Sawit‖, diakses dari
http://saveourborneo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=109&Itemid=29,
diakses pada hari Jumat, 9 Oktober 2009 pkl. 16.25. 16
Ibid.
8
tersebut terkait dengan keberadaan satu peraturan yang datang dari pihak
pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang
Berlaku pada Departemen Kehutanan dikatakan bahwa hutan nasional dapat
disewa untuk kepentingan industri dengan biaya Rp 3 juta per hektare (ha) per
tahun, dalam kalkulasi yang lebih spesifik dapat dikatakan bahwa hal tersebut
adalah sama dengan kisaran Rp 200,00 – Rp 300,00 per m2.17
Dalam peraturan
yang berbeda, UU 5/1990 dikatakan bahwa kegiatan industri pertambangan di
kawasan hutan lindung, apalagi dalam skala yang sangat besar, tidak
diperkenankan.18
1.1.5. Deskripsi World Wild Fund (WWF)
1.1.5.1. Profil World Wild Fund (WWF) Global
World Wide Fund (WWF) merupakan salah satu organisasi nirlaba
berfokus lingkungan terbesar di dunia yang didirikan sejak tanggal 11 September
1961. Kantor pusat WWF terletak di Gland, Swiss sementara kantor cabangnya
tersebar di berbagai belahan dunia. Dulunya, WWF merupakan singkatan dari
World Wildlife Fund, namun pada 1986 nama tersebut mengalami perubahan
menjadi World Wide Fund for Nature. Namun ada beberapa negara seperti
Amerika Serikat dan Kanada, yang masih menggunakan nama World Wildlife
Fund. Untuk mempermudah, nama akronim WWF-lah yang hingga kini
digunakan secara global. Misi utama WWF adalah untuk menghentikan degradasi
lingkungan hidup dan untuk membangun masa depan di mana manusia dapat
hidup harmonis dengan alam19
. Misi tersebut dilaksanakan dengan tiga langkah
utama, yaitu:20
1. Melindungi keanekaragaman biologis dunia,
2. Memastikan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui
secara stabil,
17
Lihat Suara Pembaharuan mengenai ―Cabut PP 2/2008‖ yang diakses melalui
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/02/21/Utama/ut01.htm pada hari Jumat, 9 Oktober
2009 pkl. 16.32. 18
Ibid. 19
WWF, Who We are, How We Came About, and What We’re About,
http://www.panda.org/who_we_are/, diakses pada 8 Oktober 2009, pukul 21.56. 20
Ibid.
9
3. Mempromosikan pengurangan polusi dan konsumsi yang berlebihan.
Hingga kini, terdapat lebih dari 1300 proyek WWF yang sedang berjalan di
seluruh dunia. Proyek-proyek ini pada dasarnya lebih berfokus pada isu-isu lokal,
mulai dari restorasi habitat orangutan, hingga proyek perlindungan giant panda.
Dalam mencapai misi-misinya, WWF memiliki pedoman sendiri dalam
bertindak, antara lain21
:
1. Menjadi organisasi yang bersifat global, multikultural, dan non-politis,
2. Menggunakan informasi dengan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan
suatu isu, dan dengan kritis mengevaluasi setiap langkah yang telah
dilakukan,
3. Membangun solusi perlindungan yang konkrit melalui kombinasi inisiatif
kebijakan, kapasitas membangun, dan pendidikan,
4. Mengikutsertakan komunitas/penduduk lokal pada setiap proses
perencanaan dan eksekusi program-programnya, dengan tetap
menghargai budaya dan kebutuhan ekonomi mereka,
5. Membangun jaringan kerjasama dengan organisasi-organisasi lain,
pemerintah, serta dengan komunitas lokal dan bisnis untuk meningkatkan
efektivitas WWF,
6. Menjalankan setiap operasinya dengan efektif secara pendanaan, dan
menggunakan donasi sesuai dengan standar-standar akuntabilitas yang
ada.
WWF bekerja sama dengan berbagai partner, seperti misalnya organisasi-
organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), agensi-agensi pembangunan
seperti USAID dan Bank Dunia, serta dengan berbagai partner dari kalangan
bisnis dan industri yang menghendaki perubahan. WWF juga mendapat bantuan
dari banyak donatur individu, yang memberikan kontribusi sebesar 60% dari total
pendapatan WWF, sementara sekitar 45% pendapatan WWF lainnya datang dari
Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.22
1.1.5.2. WWF Indonesia
21
Ibid. 22
WWF, WWF in Brief, http://www.panda.org/wwf_quick_facts.cfm, diakses pada 8 Oktober
2009, pukul 22.00.
10
WWF Indonesia merupakan jaringan independen dari WWF Global,
yang terdaftar pada hukum Indonesia, serta dikelola oleh Dewan Penyantun yang
terdiri dari Dewan Penasihat, Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana yang
berfungsi sebagai lembaga penentu arahan strategis dan kredibilitas WWF-
Indonesia.23
Kantor Sekertariat Nasional WWF berada di Jakarta, bertugas
memimpin dan berkoordinasi dengan sejumlah Kantor Lapangan WWF Indonesia
yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Sekertariat Nasional ini juga bertugas
memastikan agar upaya dan proyek WWF Indonesia sejalan dengan Global WWF
Network. Sementara Kantor Lapangan bertugas melakukan upaya pelestarian dan
perlindungan lingkungan di tingkat lokal, dengan bekerja sama dengan
pemerintah lokal melalui kegiatan proyek praktis di lapangan, penelitian ilmiah,
memberi masukan untuk kebijakan lingkungan, mempromosikan pendidikan
lingkungan, memperkuat komunitas, dan meningkatkan kesadaran publik terhadap
isu lingkungan.24
1.2. Permasalahan
Bagaimana WWF melakukan perannya dalam sertifikasi kayu dari hutan
Kalimantan untuk mengatasi pembalakan liar pada tahun 2003-2009?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah; (1) untuk menjelaskan dan memahami
adanya permasalahan hutan di Indonesia, khususnya hutan di Kalimantan; (2)
untuk mengeksplorasi peran dari ICSO dalam membantu mengatasi permasalahan
hutan di Kalimantan; dan (3) untuk mengesplorasi dan menganalisis cara kerja
WWF dalam merealisasikan sertifikasi kayu hasil Hutan Kalimantan.
Selain itu, ada beberapa manfaat dari penelitian ini, yaitu secara teoritis
dan praktis. Manfaat penelitian secara teoritis adalah dapat memberikan
sumbangan bagi kajian studi ilmu hubungan internasional, terutama kajian
masyarakat transnasional mengenai masalah lingkungan hidup. Manfaat penelitian
secara teoritis lainnya adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
23
WWF Indonesia, Tentang WWF, diakses dari www.wwf.or.id/tentang_wwf/, diakses pada 8
Oktober 2009, pukul 21.45. 24
Ibid.
11
mengenai konsep dalam kajian masyarakat transnasional, seperi ICSO. Sedangkan,
manfaat penelitian secara praktis adalah dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas bagi pembaca yang lebih jelas bagi tim peneliti dan pembaca mengenai
upaya konkret dari WWF dalam merealisasikan sertifikasi kayu hasil Hutan
Kalimantan.
1.4. Tinjauan Pustaka
1. Permasalahan hutan adalah permasalahan lintas batas negara. Ini
dikarenakan posisi hutan berada di wilayah yang tidak mengenal
pembatasan wilayah yang diciptakan secara politik dalam hubungan
antarnegara. Sebagai contoh, hutan yang berada di sekitar sungai
Amazon di Amerika Selatan tidak dipangkas dan digunduli sesuai dengan
batas-batas wilayah, apakah itu termasuk wilayah Brasil, Kolombia, Peru,
ataukah Bolivia. Begitupula hutan yang berada di pulau Kalimantan.
Apakah hutan yang berada di Kalimantan harus dipagari dan dibendung
berdasarkan batas-batas imajiner tiga negara yang berada di kawasan itu;
Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia? Tentunya, permasalahan
ini akan semakin kompleks jika ternyata keberadaan hutan juga memiliki
efek yang global. Ini berarti, keberadaan hutan di suatu negara juga
memiliki efek bagi seluruh wilayah, seluruh negara yang ada di seluruh
dunia. Reduction Emission on Deforestation and Degradation (REDD)
misalnya, bertujuan untuk membuat hutan tetap lestari dengan
menyewakan lahan hutan alami bagi negara yang mempunyai kelebihan
kapital di negara yang kekurangan kapital untuk mengelola hutan di
negara kekurangan kapital dengan lebih efektif, walaupun pada akhirnya
program REDD mendapatkan banyak kritikan karena kurang tepat dan
efektif dalam menangani permasalahan hutan lestari. Ternyata diperlukan
suatu strategi baru di luar konsep yang selama ini diajarkan mengenai
pembatasan wilayah kerja pada isu wilayah imajiner karena ternyata
terdapat banyak isu di luar konteks tersebut. Isu ini tentunya
membutuhkan cara pandang yang berbeda. Untuk itulah dibutuhkan unit
analisis yang memiliki cara pandang berbeda tersebut dan concern
12
terhadap permasalahan ini secara utuh. Penulis mengambil aktor
transnasional yang dalam hal ini adalah organisasi masyarakat sipil
internasional (OMSI dalam bahasa Indonesia atau International Civil
Society Organization disingkat ICSO dalam bahasa Inggris) yang
memiliki fokus terhadap isu lingkungan khususnya isu pemberdayaan
hutan lestari yaitu WWF.
2. WWF menginginkan agar isu-isu lingkungan juga diperhatikan di dalam
hubungan internasional. Buktinya, proyek-proyek organisasi yang semula
berasal dari Eropa Barat ini ternyata juga tidak hanya dilakukan di Eropa
Barat, namun juga di luar Eropa Barat, bahkan hingga ke Kalimantan
pada tahun 2003. Salah satu isu yang sedang mereka perjuangkan
sekarang terkait dengan pelestarian lingkungan adalah program sertifikasi
kayu yang mereka coba terapkan di seluruh dunia terutama di kawasan-
kawasan hutan dunia yang memang rentan terhadap pengrusakan. Salah
satu alasan utama pengrusakan hutan adalah pembiaran terhadap
penebangan liar atau ilegal. Sertifikasi kayu terkait dengan usaha untuk
mempertemukan tiga titik utama penyebab kerusakan hutan; (a)
kegagalan manajemen hutan oleh pemerintah, (b) kegagalan manajemen
hutan oleh masyarakat melalui perusahaan dan masyarakat sendiri
dengan menebang hutan secara ilegal, dan (c) kegagalan organisasi
pemberdayaan masyarakat untuk memberdayakan masyarakat akan
pentingnya perjuangan isu pelestarian hutan. Dengan sertifikasi kayu,
diharapkan masing-masing elemen dapat dengan lebih gencar
memperjuangkan isunya masing-masing. Namun, benarkah demikian?
Bagaimana WWF menghadapi pertanyaan ini terkait dengan sertifikasi
kayu dan ide-nya untuk mempertemukan tiga kepentingan yang ada?
3. Selain di Kalimantan, program serupa yang dilakukan oleh WWF juga
terjadi di banyak negara karena mengingat masalah hutan adalah masalah
transnasional. Sebagai contoh, dalam buku yang dirilis oleh WWF
sendiri—yaitu oleh divisi khusus WWF yang menangani proyek ini,
Global Forest and Trade Network (GFTN)—mereka menyebutkan secara
implisit wilayah-wilayah hutan di negara mana yang akan mereka
13
jalinkan hubungan antara negara, perusahaan, dan konsumen untuk
diberikan informasi pentingnya melaksanakan sertifikasi hutan karena
memang menguntungkan. Dalam gambaran tabel yang berisikan daftar
negara-negara yang merupakan sumber dari kayu ilegal25
, dijelaskan
mengenai negara-negara mana saja yang menjadi sumber dari produksi
kayu ilegal dengan memaparkan prosentasi terhadap produksi kayu yang
berasal dari negara masing-masing. Dimulai dari kawasan Eropa Timur:
Estonia, Latvia, dan Rusia; Afrika: Kamerun, Guinea Ekuatorial, Gabon,
Ghana, Liberia; Asia Pasifik: Cina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini;
Amerika Latin: Brasil, Ekuador, Peru; walaupun tentu saja data-data ini
belum mencakup semua negara-negara termasuk dari wilayah asal WWF.
Namun, informasi terbaru yang penulis peroleh dari WWF GFTN
menyebutkan bahwa GFTN telah berkembang di lebih dari 30 negara di
dunia;26
(1) Afrika: negara-negara di Afrika Tengah (Kamerun dan
Republik KoICSO), dan Ghana; (2) Asia Pasifik: Australia, Cina,
Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Vietnam; (3) Eropa: Austria, Belanda,
Belgia, Bulgaria, Inggris, Jerman, Perancis, Portugal, Rumania, Rusia,
Spanyol, Swedia, dan Swiss; (4) Amerika Latin dan Karibia: Bolivia,
Brasil, Peru, dan negara-negara Amerika Tengah dan Karibia (Belize, El
Salvador, Guatemala, Honduras, Kosta Rika, Nikaragua, Panama, Puerto
Riko, dan Republik Dominika); (5) Amerika Utara: (disebutkan berbagai
perusahaan). Ternyata, program serupa juga terjadi di Brasil, negara
dengan daerah hutan hujan tropis terbesar di dunia. Permasalahannya pun
sama dengan Indonesia, hutan hujan di Brasil juga mengalir dan banyak
mengalami kerusakan di wilayah sekitar sungai Amazon yang berada di
lintas batas negara dengan laju pengrusakan yang tidak kalah cepat. Di
sekitar daerah aliran sungai Amazon, terdapat sekitar 22 juta warga
Brasil yang menggantungkan hidup dari hutan yang menunjukkan bahwa
permasalahan hutan di Brasil adalah permasalahan sosial dengan
25
Frank Miller, Rodney Tailor, dan George White, Keep It Legal, (WWF, Juli 2006), hlm. 6. 26
Diakses dari http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/, diakses pada Minggu, 11 Oktober 2009,
pukul 18.40.
14
kepelikkan yang besar.27
Oleh karenanya, hutan di sekitar kawasan
Amazon haruslah dikelola secara lestari. Di Brasil, GFTN WWF juga
menerapkan hutan lestari dengan menggunakan sertifikasi kayu.
Tujuannya sama, untuk mencegah terjadinya penebangan ilegal. GFTN
WWF memberikan penyuluhan dan bekerjasama dengan institusi
pemerintah yang juga sudah memiliki program sertifikasi kayu sendiri
dan elemen-elemen penting dalam produksi dan konsumsi kayu agar
menggunakan kayu yang berasal dari penebangan yang legal dan
berkelanjutan. GFTN WWF Brasil tentunya menjadi semacam pengawas
internasional yang bertujuan untuk menekankan kembali pentingnya
penerapan sertifikasi hutan di hutan Brasil. Beberapa data mutakhir
menunjukkan sudah ada tujuh perusahaan dan 30 perusahaan keluarga
yang berhasil menyelamatkan hutan seluas 16.122 hektar dengan kayu
yang diperdagangkan mencapai 3% dari keseluruhan kayu nasional
dengan nilai mencapai US$ 46 juta.28
WWF ternyata memang memiliki
fokus yang besar bagi perjuangan isu pelestarian hutan di seluruh dunia.
5. Di wilayah ini, ternyata tidak hanya WWF yang berkeja, namun banyak
sekali OMSI yang juga melakukan kerjanya di sini. Hutan Kalimantan
sangat penting sehingga menarik beberapa OMSI besar seperti
Greenpeace. Greenpeace memiliki program pengawasan pengelolaan
hutan. Program mereka lebih bersifat kampanye yang dilakukan dan
ditujukan kepada masyarakat. Salah satu program kampanye mereka
adalah ―Melindungi Hutan Alam Terakhir di Dunia (MHATD)‖. Sebagai
contoh kasus, pembukaan hutan untuk menggantinya dengan pohon
kelapa sawit dengan menggunakan cara-cara dan ketentuan yang telah
distandarkan (melalui sertifikasi) telah lama ditentang oleh Greenpeace.
Greenpeace bukan menentang keberadaan sertifikasi kayu tersebut,
namun Greenpeace menentang keberadaan sertifikasi kayu yang hanya
27
Diakses dari
http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:w5VXJkts7a8J:assets.panda.org/downloads/gftn_bra
zil_factsheet_aug2009.pdf+gftn+brazil&hl=id&sig=AFQjCNGGLloJ-A2gjTkVcQrhdGNzy-hJIw,
diakses pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 19.00. 28
Diakses dari
http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=Brazil&countryi
d=30, diakses pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 18.34.
15
digunakan sebagai tameng untuk memperoleh pasar. Sebagai contoh,
pasar Eropa yang merupakan salah satu tujuan utama ekspor kelapa sawit
Indonesia, yang sudah menerapkan penerimaan impor hanya jika sudah
memiliki sertifikat kayu yang baik dan benar. Pada kasus pencegatan
kapal yang akan bergerak dari Dumai menuju Rotterdam yang akan
membawa kelapa sawit dari perusahaan Sinar Mas, Greenpeace
mencurigai bahwa kelapa sawit yang dibawa adalah sebenarnya bukan
melalui sertifikasi kayu yang seharusnya.29
Perusahaan yang
memproduksi 10% dari produksi kelapa sawit nasional Indonesia itu
dituduh telah melakukan deforestasi besar-besaran di Kalimantan dan
Sumatera dengan tujuan untuk membuka lahan bagi perkebunan sawit.
Mereka menyerang dan memperingatkan kepada perusahaan dan
pemerintah untuk mengelola hutan secara lestari, bukannya melalui cara-
cara yang mereka anggap tidak memenuhi kelayakkan sertifikasi kayu.
6. Dari sisi sertifikasi kayu itu sendiri, seberapa pentingkah sertifikasi kayu
dalam proses penyelematan hutan dan membangun hutan lestari? Salah
satu penggagas dan perintis utama dari sertifikasi kayu adalah OMSI
yang bernama Foreign Stewardship Council (FSC) yang didirikan
semenjak pertemuan Konferensi Dunia yang membahas Pembangunan
Berkelanjutan di Rio De Janeiro, Brasil pada tahun 1992.30
FSC sendiri
didirikan pada Oktober 1993 di Toronto, Kanada, dengan dihadiri lebih
dari 130 partisipan dari 26 negara. Hingga kini (Juli 2009), semenjak
perumusan prinsip-prinsip sertifikasi kayu, sudah lebih dari 100 juta
hektar hutan di seluruh dunia yang menganut prinsip-prinsipnya. Ini
berarti, dengan luas yang sama ternyata hutan-hutan dapat dikelola secara
lestari di sekitar 82 negara. Sayangnya, hutan Kalimantan belum masuk
dalam wilayah kerja FSC. Dengan belum masuknya hutan Kalimantan,
sebenarnya studi terhadap bagaimana hutan lestari dikelola di
29
Diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/greenpeace-menantang-
rspo-untu, diakses pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 19.20. 30
Diakses dari http://www.fsc.org/history.html?&L=tР―Р‡Р’С—Р’Р…arget%3D_self, diakses
pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 20.10.
16
Kalimantan terutama dengan menggunakan sertifikasi kayu dari WWF
masih perlu diperdalam.
1.5. Kerangka Konsep
Karena tulisan ini akan membahas tentang peran ICSO yaitu WWF
dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Maka penulis harus menerangkan
terlebih dahulu ICSO sebagai International Civil Society Organization (mungkin
lebih sering dikenal sebagai INGO atau International Non-Governmental
Organization) atau transnational actor. Istilah ini dipakai untuk menghindari
pandangan bahwa hanya negara aktor legal di dunia ini, sedangkan yang lain
adalah aktor ilegal. Arti dari transnational actor sendiri adalah aktor yang berada
di luar lingkup negara dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi peluang
dan kemungkinan kebijakan yang diambil oleh negara tersebut.
Ada beberapa kategori sehingga aktor pantas disebut sebagai
transnational actor. Pertama, aktor tersebut harus dapat menjalankan fungsi
penting dan berkelanjutan, terutama memiliki pengaruh dalam hubungan antar
negara. Kedua, aktor tersebut harus dipandang berpengaruh, baik besar maupun
kecil, oleh pengambil keputusan luar negeri dan turut mempengaruhi kebijakan
luar negeri negara yang bersangkutan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ketiga, aktor tersebut memiliki derajat kemandirian atau otonomi dalam
merumuskan dan menentukan kebijakan dan keputusannya.31
Transnational
actors kemudian dibagi lagi ke dalam dua kategori yaitu International
Governmental Organization (IGO) dan International Non-Governmental
Organization (IICSO). IGO kemudian mewakili kepentingan dan kebijakan
negara-negara yang menjadi anggota secara formal, sedangkan IICSO (atau ICSO)
merupakan perwakilan kelompok-kelompok non-pemerintah. IICSO atau ICSO
kemudian dapat dibagi lagi kedalam beberapa bagian, diantaranya Non-Profit
Organizations (NPO), Private Voluntary Organizations (PVO), Voluntary
31
Curul Ann Cusgrove dan Kenneth J. Twitchett, The New International Actors: The UN and the
EEC, (London: Macmillan, 1970).
17
Organizations (VA), Peoples Organizations (PO), Grassroots Support
Organizations (GSO), dan Membership Support Organizations (MSO).32
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi keikutsertaan IICSO dalam
politik lingkungan global. Pertama, keahlian anggota IICSO dalam pengetahuan
dan pemikiran inovatif tentang isu-isu lingkungan global yang diperoleh dari
spesialisasi isu berdasarkan negosiasi. Kedua, dedikasi mereka terhadap tujuan
yang melebihi keterbatasan negara atau kepentingan sektoral. Ketiga, perwakilan
dalam undang-undang yang substansial dalam negara mereka yang menarik
perhatian dan terkadang mempengaruhi sistem pemilihan umum di negara
tersebut.33
Pada negara-negara industri, mayoritas ICSO yang berperan secara
aktif dalam politik lingkungan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu organisasi yang
berafiliansi dengan ICSO Internasional yang memiliki cabang ke beberapa negara;
organisasi nasional besar yang secara khusus memfokuskan pada isu lingkungan
domestik; institusi penelitian yang memiliki pengaruh dari studi-studi yang
dipublikasikan dan proposal-proposal isu yang ingin ditindaklanjuti.34
Ketika sudah dijelaskan dan diakui bahwa ICSO adalah salah satu aktor
legal di dunia ini, maka konsep yang harus dibahas selanjutnya adalah hubungan
di antara negara (public sector), pasar (bussines) dan ICSO (civil society). Ros
Tennyson dan Luke Wilde menjelaskan bahwa partnership (kerjasama) menjadi
jalan yang baik bagi ketiganya untuk saling berhubungan, dimana setiap aktor
kemudian mempunyai peran berbeda-beda yang saling melengkapi satu sama lain.
Dengan bekerja sama, keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pihak
justru bisa lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerjasama, selain itu
setiap pihak pasti mendapatkan keuntungan (dua arah/win-win solution).35
Partnership yang dimaksud oleh Tennyson dan Wilde disini adalah
aliansi dua atau lebih aktor yang saling berkomitmen untuk bekerjasama untuk
melaksanakan sebuah proyek pembangunan berkesinambungan (sustainable
32
Daniel S. Papp. Contemporary International Relations, 5th
Edition. New York: McMillan
Publishing Company, 1984, hlm. 86-87. 33
Peter Willets, ―Transnational Actors and International Organizations in World Politics‖, dalam
John Bayts dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction Relations,
(Oxford: Oxford University Press, 1997). 34
Ibid. 35
Ros Tennyson dan Luke Wilde, The Guiding Hand – Brokering Partnership for Sustainable
Development, The United Nations Staff College & The Prince of Wales Business Leaders Forum,
2000, hlm. 7-14.
18
development) dimana masing-masing anggotanya saling berbagi resiko dan
keuntungan, meninjau hubungannya secara berkala dan merevisi hubungan
partnership jika memang diperlukan. Kerjasama ini dapat terjadi baik dalam level
lokal maupun global (ICSO). Lantas bagaimana partnership yang sukses dapat
tercipta? Terdapat 4 karakteristik kunci dalam dalam menciptakan partnership
yang sukses dan efektif, yaitu memegang prinsip keterbukaan dan kesetaraan;
saling berbagi resiko dan keuntungan; beradaptasi dengan baik terhadap
perubahan; dan bekerja menuju empowerment.
Konsep berikutnya yang juga perlu diterangkan adalah penebangan atau
pembalakan liar. Penebangan liar dijelaskan ke dalam beberapa definisi:
1. Menebang tanpa otoritas dari taman nasional atau konservasi
perlindungan.
2. Menebang tanpa otoritas.
3. Menebang karena kelebihan otoritas.
4. Kegagalan dalam melaporkan aktivitas penebangan untuk menghindari
pembayaran royalti atau pajak.
5. Kesalahan klasifikasi dari spesies atau menaksir di bawah harga dengan
sengaja (deliberate undervaluation).
6. Penyimpangan terhadap perjanjian perdagangan internasional seperti
Convention on International Trade and Endangered Species (CITES).36
Food and Agricultural Organization (FAO) Persatuan Bangsa-Bangsa
mendefinisikan penebangan liar sebagai ―Aktivitas penebangan kayu yang gagal
bertanggung jawab terhadap hukum-hukum dan norma-norma nasional dan
subnasional yang mengatur masalah penebangan tersebut.‖37
Laporan dari FAO
ini kemudian disimpulkan menjadi definisi dari penebangan liar yaitu
penebangan baik tanpa maupun kelebihan otoritas atau dengan tujuan
menghindari pembayaran penuh dari royalti, pajak, atau biaya.
Penebangan liar mempunyai dampak lingkungan, sosial dan ekonomi,
seperti:
36
Overview of Pembalakan liar, Jaakko Pöyry Consulting, hlm. 1. 37
Guertin, Pembalakan liar: Overview and Possible Issues in the UNECE Region, diakses dari
http://www.unece.org/trade/timber/docs/sem/2004-1/qweb.pdf.
19
1. Penebangan liar yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan hutan,
biodiversitas dan ekosistem serta merusak kestabilan pendapatan
masyarakat lokal.
2. Produk-produk illegal dalam pasar menyebabkan kompetisi tidak jujur
bagi mereka yang menaati dan tunduk pada hukum.
3. Penebangan liar yang tidak terkontrol menyebabkan praktek-praktek
korupsi yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan.38
Konsep terakhir yang akan dijelaskan adalah mengenai sertifikasi kayu.
Sertifikasi kayu merupakan salah satu solusi yang dipikirkan oleh ICSO
lingkungan untuk mempertemukan penggunaan hutan bagi kesejahteraan umat
manusia dengan keberadaan hutan sebagai penyangga lingkungan. Pembalakan
liar dipandang sebagai salah satu penyebab terbesar terjadinya deforestasi hutan
yang membahayakan keberadaan hutan itu sendiri. Walaupun memang benar
hutan yang dideforestasi menandakan adanya penggunaan hutan bagi perjuangan
kesejahteraan manusia, namun deforestasi yang tidak wajar lambat laun juga akan
memberikan ketidakberlanjutan hutan itu sendiri sebagai tempat manusia untuk
memperoleh kesejahteraannya. Ditambah nilai yang tidak dapat tidak dipedulikan
begitu saja yaitu rusaknya lingkungan yang tentunya akan semakin memperburuk
kualitas hidup manusia dan makhluk hidup lain di muka bumi.
Pada awalnya para ICSO lingkungan ini menunjukan perlawanannya
terhadap perdagangan kayu internasional karena dinilai bertanggung jawab atas
terjadinya pengurangan jumlah hutan alami di dunia. Kampanye dilakukan dengan
cara melarang atau memboikot kayu-kayu tersebut. Lama kelamaan mereka
menyadari bahwa perdagangan kayu tidak akan menjadi berbahaya atau justru
membahayakn bagi peningkatan kesejahteraan manusia jika dilarang tanpa alasan
yang jelas asalkan kayu yang diperoleh dengan jaminan berasal dari hutan-hutan
yang dikelola secara berkelanjutan (sustainably managed forests). Fokus pun
berubah menjadi pembentukan sistem sertifikasi kayu yang akan membantu pasar
mengerti akan tambahan indikator mengenai perlunya mengelola hutan secara
berkelanjutan (sustainably managed forests) terutama yang berhubungan dengan
38
Loc. Cit, Overview of Pembalakan liar, hlm. 1.
20
penggunaan kayu. Tujuannya adalah untuk menggunakan insentif dari pasar
(market-based incentives) dan kerelaan untuk patuh (voluntary compliance).39
Sertifikasi kayu kemudian diartikan sebagai sebuah proses yang hasilnya
terkandung dalam sebuah pernyataan tertulis untuk menjadi bukti asal dari bahan
baku kayu tersebut serta status/kualifikasinya, terkadang diikuti dengan validasi
oleh sebuah pihak ketiga yang bersifat independen (independent third party).
Sertifikasi didesain untuk memperkenankan pesertanya untuk mengukur praktek
pengelolaan hutan mereka terhadap standar yang ada serta untuk menunjukkan
kepatuhan terhadap standar tersebut. Sertifikasi hutan juga dapat digunakan untuk
memvalidasi tipe apapun dari klaim lingkungan yang dibuat oleh seorang
produsen, atau untuk memberikan pernyataan fakta yang objektif tentang produk
kayu dan hutan asalnya yang secara normal tidak diperlihatkan oleh produsen atau
perusahaan manufaktur.40
Natural Resources Defense Council mengartikan
sertifikasi kayu sebagai usaha untuk melindungi hutan dari praktek-praktek
penebangan yang sifatnya merusak. Sertifikasi kayu ditujukan sebagai segel/cap
atas penerimaan, maksudnya adalah untuk memberitahukan konsumen bahwa
produk kayu tersebut berasal dari hutan yang dikelola sesuai dengan standar
lingkungan dan sosial.41
Penyadaran atau pemberian informasi dilakukan terlebih
dahulu dari sisi permintaan karena terdapat beberapa asumsi yang mengatakan
bahwa produsen amat sangat tergantung dengan tren penggunaan yang sedang
berkembang dari sisi konsumen.
Sertifikasi kayu pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama:
sertifikasi kemampuan manajemen hutan (certification of sustainability of forest
management) dan sertifikasi produk. Sertifikasi manajemen hutan meliputi
inventarisasi hutan (forest inventory), manajemen penanaman (management
planning), silviculture, penebangan (harvesting), konstruksi jalan, dan aktivitas
terkait lainnya, termasuk dampak-dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari
aktivitas hutan. Dalam sertifikasi produk kayu-kayu gelondongan dan produk-
39
Ghazali Baharuddin, Timber Certification: An Overview, diakses dari
http://www.fao.org/docrep/v7850e/V7850e04.htm#Timber%20certification:%20an%20overview
pada hari Senin, 19 Oktober 2009 pukul 15.09 WIB. 40
Ibid. 41
Natural Resources Defense Council, Good Wood: How Forest Certification Helps the
Environment, diakses dari http://www.nrdc.org/land/forests/qcert.asp#7 pada hari Rabu, 21
Oktober 2009 pukul 13.57 WIB.
21
produk kayu olahan dilacak lewat fase yang berurutan dari rantai produksi (supply
chain). Sertifikasi manajemen kemudian mengambil tempat di dalam negara asal,
sedangkan sertifikasi produk mengambil tempat meliputi rantai produksi domestik
dan pasar ekspor.42
Biaya untuk sertifikasi secara teoritis dapat dibagi ke dalam
dua kategori umum. Pertama, biaya tambahan untuk meningkatkan manajemen
hutan melalui pelatihan dalam level unit manajemen untuk mencapai standar
sertifikasi. Kedua, biaya dari sertifikasi itu sendiri termasuk latihan manajemen
untuk penaksiran atau pemeriksaan keuangan, serta biaya untuk mengidentifikasi
dan mengawasi rantai pengamanan (chain of custody).43
Biaya dimungkinkan
akan menjadi salah satu penghambat bagi pelaksanaan sertifikasi kayu ini
terutama oleh perusahaan yang hanya mengutamakan kepentingan profit daripada
kepentingan keberlanjutan usahanya karena kayu yang diperoleh dari penebangan
liar akan memudahkan hutan cepat habis dan membuat usaha bisnis mereka
menjadi cepat selesai. Untuk membantu meringankan biaya, biasanya ICSO yang
bergerak memperjuangkan sertifikasi kayu akan menggunakan strategi mengelola
keuangan dunia dimana dia akan menghimpun dana dari bagian lain dunia yang
lebih kaya untuk dijadikan dana bantuan bagi proses sosialisasi dalam bentuk
pemberian manajemen sertifikasi kayu kepada perusahaan secara gratis melalui
pelatihan dan workshop. Mereka juga dapat menekan pemerintah untuk kembali
menggunakan pajak untuk kayu-kayu yang terdaftar bagi peningkatan kualitas
manajemen perusahaan kayu yang pada akhirnya akan semakin memperkecil
pengeluaran perusahaan pada proses sertifikasi kayu.
1.6. Asumsi
Asumsi merupakan seperangkat kondisi yang melingkupi batasan-
batasan dari cakupan permasalahan dan hipotesis, dan merupakan titik awal untuk
melakukan analisa yang keberlakuannya tidak akan diuji dalam tulisan ini.
42
Loc. Cit, Timber Certification: An Overview dan Timber Certification Defined, diakses dari
http://www.rainforestinfo.org.au/good_wood/tcrt_def.htm pada hari Senin, 19 Oktober 2009 pukul
15.12 WIB. 43
Loc. Cit.
22
1. Degradasi lingkungan berupa pembalakan liar merupakan salah satu
ancaman yang melewati batas-batas negara dan mengancam integritas
ekonomi dan sosial.
2. Hutan Kalimantan merupakan salah satu entitas lingkungan yang terkena
degradasi terburuk yang diakibatkan oleh kepentingan ekonomi dan
politik, aktor negara dan korporasi.
3. Karena aktor negara dan korporasi cenderung mengutamakan
kepentingan ekonomi dan politik dengan mengeksploitasi sumber daya
alam, maka diperlukan solusi global yang dapat mempertemukan
kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan ekonomi dan politik,
yaitu sertifikiasi.
4. Aktor negara berperan dalam membuat kebijakan yang dapat mengikat.
Korporasi berperan dalam memanfaatkan lingkungan sebagai roda
penggerak perekonomian. Tetapi sampai pada level tertentu dibutuhkan
aktor IICSO untuk mendukung negara dan mengawasi korporasi dalam
penanganan persoalan lingkungan global.
5. Semua komponen yang ada, baik negara, korporasi, ICSO internasional,
maupun ICSO lokal, harus dapat merasakan permasalahan yang sama
agar dapat terbentuk kerjasama untuk dapat mencapai tujuan, yaitu
pemanfaatan lingkungan yang bersifat jangka panjang dengan
memperhatikan pemberdayaannya.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan kunjungan dan wawancara secara langsung
dengan anggota atau pengurus WWF dan Departemen Kehutanan sebagai sumber
primer. Studi pustaka (buku dan internet) sebagi sumber sekunder, contohnya
dokumen-dokumen mengenai penebangan kayu di hutan Kalimantan. Makalah ini
dikerjakan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif eksploratif. Adapun
penggunaan metode kualitatif ini didasarkan pada penggunaan teknik wawancara
langsung sebagai sumber utama dan memadukannya dengan triangulasi dengan
studi pustaka untuk menambah keabsahan dari data primer. Sedangkan untk
23
menjawab permasalahan menggunakan teknik eksploratif, yang didasarkan
dengan penggunaan kata tanya bagaimana.
1.8. Sistematika Penulisan
Bab I pada makalah ini akan membahas mengenai latar belakang masalah,
yang lalu dibagi menjadi pembahasan mengenai permasalahan hutan di tingkat
global, keadaan hutan di Indonesia, kemunculan aktor Non-Governmental
Organization (ICSO) atau Civil Society Organization (CSO) Internasional dalam
permasalahan lingkungan global, serta pembahasan mengenai kerusakan hutan di
Kalimantan.
Bab II, yaitu bab Pembahasan, akan membahas mengenai peran IICSO
WWF dalam merealisasikan sertifikasi hutan di Kalimantan. Pada bab ini, penulis
akan memaparkan usaha-usaha dan langkah-langkah yang telah ditempuh WWF
sehubungan dengan realisasi sertifikasi hutan Kalimantan, dalam berhadapan
dengan pihak pemerintah dan korporasi.
Pada Bab III, yaitu bab Penyajian Data, penulis akan mencoba
menjelaskan signifikansi langkah WWF dengan memaparkan data-data kondisi
hutan Kalimantan sebelum dan sesudah realisasi sertifikasi hutan.
Bab IV, merupakan bab Kesimpulan, di mana penulis akan mencoba
merangkum dan menegaskan kembali peran WWF sebagai IICSO lingkungan
dalam memperjuangkan pentingnya isu social development—dalam hal ini isu
lingkungan—dalam perkembangan hubungan internasional.
24
BAB II
PEMBAHASAN STRATEGI WWF
2.1. Gambaran Umum Strategi WWF dalam GFTN
Melalui mekanisme Global Forest and Trade Network (GFTN) yang
dilakukannya, WWF bekerja dengan melakukan lobbying terhadap para pemegang
kekuasaan (key stakeholders) mengenai perubahan-perubahan yang harus
dilakukan untuk mengurangi penebangan ilegal dan deforestasi.44
Selain bekerja
dengan melobi pemerintah, WWF juga melakukan lobbying dengan kalangan
bisnis sebagai usahanya mempromosikan produk kayu bersertifikasi demi
mengutangi praktik penebangan kayu ilegal. Adapun, WWF lebih sering
melakukan lobbying dengan kalangan bisnis dibanding dengan pemerintah. Hal
tersebut dikarenakan mekanisme GFTN (yang menitikberatkan pada
pembangunan jaringan perdagangan bagi produk kayu bersertifikasi) lebih
44
WWF, UK-FTN, Abouth the UK-FTN.
http://www.wwf.org.uk/what_we_do/safeguarding_the_natural_world/
forests/forest_trade_network/about_the_uk_ftn.cfm, diakses pada 21 November 2009, pukul
06.03.
25
mengacu ke arah perdagangan, ranah yang lebih diminati bagi kalangan bisnis.
Selain melakukan lobbying, WWF juga mengembangkan strategi networking yang
bertujuan untuk memperkuat jaringan sertifikasi kayu global.
Adapun cara kerja lobbying dan networking dalam meningkatkan
sertifikasi hutan dapat dijelaskan dalam bagan di atas.45
Cara kerja ini dibagi ke
dalam empat langkah penting. Pertama, dengan pemberian bantuan teknis dan
peningkatan kesadaran yang dilakukan oleh ICSO, baik lokal maupun
internasional; pemerintah, baik melalui Departemen Kehutanan, departemen
lainnya, maupun oleh pemerintah daerah, dan oleh pihak pemberi sertifikat seperti
Smartwood dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) terhadap masyarakat, industri,
dan pemerintah. Kedua, melalui perluasan pasar, investasi, dan berbagai insentif
lainnya dimana pasar, investasi, dan insentif yang ada mendukung terlaksananya
sertifikasi kayu sehingga memaksa produsen kayu di Indonesia dan pembeli kayu
dari luar Indonesia untuk menerima konsep sertifikasi kayu. Langkah kedua ini
diperoleh setelah langkah pertama dilaksanakan dimana langkah pertama akan
menumbuhkan perilaku untuk menerima sertifikasi kayu di pasar. Adapun
langkah ketiga yaitu pembeli kayu dari negara-negara yang menjalin dagang
dengan Indonesia mengubah kebiasaannya untuk menerapkan sertifikasi kayu
dalam perilaku dagang mereka. Para pembeli ini pada akhirnya diharapkan hanya
mau menerima kayu yang bersertifikat. Diharapkan, negara-negara inilah yang
kemudian akan terjalin masuk ke dalam jaringan negara-negara bersertifikat kayu
internasional yang di WWF disebut sebagai GFTN. Ketiga langkah ini pada
akhirnya akan memaksa produsen kayu di Indonesia untuk mengubah langkahnya
untuk memproduksi kayu dengan menggunakan sertifikat kayu. Langkah
keempat adalah dengan selalu mengembangkan cara yang inovatif untuk
mengelola bagaimana sertifikasi kayu ini dilaksanakan misalnya dengan
menambahkan indikator transparansi baik pada saat melakukan tracking jejak
perdagangan kayu, pengelolaan dana, dsb., yang diimplementasikan pada langkah
pertama dan penekanan langsung pada produsen kayu negara asal, Indonesia
misalnya.
45
E. Meijaard, et.all, Panduan bagi Praktisi; Mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di
Indonesia, Studi Kasus di Kalimantan Timur. (Samarinda, Indonesia: The Nature Conservancy,
2006), hal. 20.
26
WWF juga menerapkan strategi yang sama dengan yang dipaparkan
melalui GFTN. Strategi WWF dalam makalah ini akan dibahas dalam dua strategi
besar yaitu lobbying (melobi) dan networking (membuat jejaring). Dalam langkah
pertama disebutkan bahwa diberikan penyuluhan dan peningkatan pemahaman
kepada produsen kayu di Indonesia dan kepada pasar internasional mengenai
perlunya penerapan sertifikasi kayu dalam aktivitas penggunaan kayu dari hutan.
Proses ini akan disebut sebagai proses lobbying dimana WWF akan terus
menggunakan strategi ini untuk menyadarkan dan meningkatkan pemahaman
mereka pada sertifikasi kayu kepada para stakeholder seperti pemerintah,
perusahaan, dan masyarakat dan networking dimana WWF akan terus berusaha
membangun jaringan yang akan semakin memperkuat keberadaan isu sertifikasi
kayu yang mereka perjuangkan juga kepada para stakeholder yaitu pemerintah,
perusahaan, dan masyarakat. Jika dianalogikan secara sederhana dan hitam putih,
lobbying akan seperti bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman akan
sertifikasi kayu, dan networking bertujuan untuk meningkatkan kuantitas
pengguna sertifikasi kayu. Baik lobbying dan networking dalam sertifikasi kayu
adalah suara-suara yang sebenarnya menyuarakan sebuah isu yang sengaja
diadakan oleh WWF agar para stakeholder mau memperhatikan pengelolaan
hutan secara lestari. Walaupun isu ini sengaja diadakan (karena WWF sendiri
memiliki status sebagai organisasi pemberdayaan lingkungan), isu ini memang
benar-benar ada dan perhatian terhadap isu ini harus lebih diadakan. Hutan lestari
adalah suatu konsep yang sangat mendesak untuk direalisasikan karena
keberadaannya yang amat memiliki dampak positif bagi kelestarian dan
keseimbangan alam.
2.2. WWF Melobi
2.2.1. Strategi WWF dalam Lobbying dengan Pemerintah
Hutan Kalimantan berada di wilayah yang secara politis diisi oleh tiga
negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia. Tingkat pengawasan
termasuk pelaksanaan sertifikasi yang lemah oleh ketiga negara yang seharusnya
bertanggung jawab menyebabkan hutan Kalimantan mengalami tingkat
deforestasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Untuk melaksanakan program
27
penyelamatan hutannya, WWF mengembangkan strategi untuk melobi pemerintah
ketiga negara secara nasional dan pemerintah lokal atau daerah agar lebih
memperhatikan hal-hal yang dianggap kecil dan sepele seperti pengawasan dan
pelaksanaan sertifikasi yang sudah seharusnya dilaksanakan dengan lebih ketat.
a. Strategi WWF Melobi Pemerintah Nasional
Dari ketiga negara yang memiliki wilayah hutan di Kalimantan, hanya
Brunei Darussalam yang memiliki porsi wilayah hutan yang kecil. Brunei
Darussalam juga dalam beberapa data yang penulis temukan tidak memiliki
cabang WWF yang mengurusi mengenai GFTN yang mengindikasikan bahwa
WWF belum memiliki fokus yang besar terhadap pengelolaan hutan di Brunei
Darussalam dan lebih memilih untuk menempatkan cabangnya yang sama-sama
mengurusi kepengurusan hutan di Kalimantan di dua negara yang memiliki
jumlah kawasan hutan terbesar, Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian, ada
beberapa rekam jejak perjalanan WWF dalam melobi pemerintah ketiga negara
untuk benar-benar melakukan tanggung jawab mereka secara optimal kepada
hutan Kalimantan.
Menurut dara dari Global Forest Watch (GFW), Kalimantan mengalami
tingkat deforestasi hutan hujan tropis terburuk nomor tiga di Indonesia setelah
Sulawesi dan Sumatera pada periode tahun 1985-1997 dengan tingkat deforestasi
sebanyak 25% bila dibandingkan dengan Sulawesi sebanyak 29% dan Sumatera
28%.46
Namun bila dihitung dari segi luas wilayah hutan yang hilang, Kalimantan
menduduki posisi pertama dengan jumlah lahan yang mengalami deforestasi
sekitar sepuluh juta hektar dimana kini hutan kalimantan (Indonesia) hanya tersisa
55% dari keseluruhan total wilayah.47
Bila menggunakan prediksi dari GFW
bahwa hutan Indonesia mengalami deforestasi sebanyak dua juta hektar per tahun,
tidak dipungkiri memang sesuai dengan pendapat dari Bank Dunia bahwa pada
tahun 2010 hutan di Kalimantan akan lenyap.48
Sebelum itu terjadi, tiga negara di
kawasan ini dengan difasilitasi oleh WWF pada tahun 2007 mencanangkan
program besar bernama Heart of Borneo (HoB) untuk’menyisakan’ hutan di
46
Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Keadaan Hutan Indonesia, (Bogor: Forest
Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, 2001), hlm. 12. 47
Ibid. 48
Ibid., hlm. 10.
28
Kalimantan sebanyak 22 juta hektar dengan 12,6 juta hektar (57%) berada di
wilayah Indonesia.49
Tampaknya akan lebih menarik jika membahas mengenai HoB ini karena
walaupun ketiga pemerintahan masing-masing negara sama-sama memiliki
komitmen setelah ditandatanganinya proyek itu untuk melindungi hutan
Kalimantan, namun terdapat suatu pertanyaan besar bagi penulis mengenai
perbedaan kelakuan masing-masing pemerintahan. Satu hal yang perlu dikritisi
adalah sikap Pemerintah Indonesia yang justru hanya menjadi satu-satunya
pemerintahan dari ketiga negara yang membiarkan hutan Kalimantan tergerus
secara besar-besaran hingga tercapainya kawasan HoB di tahun 2020. Bayangkan
saja, dari total hutan Indonesia di Kalimantan pada tahun 2005 sebanyak 20 juta
hektar (data WWF), akan direncanakan ada sekitar 7,4 juta hektar hutan
Kalimantan yang akan hilang kembali hingga tahun 2020. Keadaan ini akan
terlihat kontras dengan keadaan komitmen Pemerintah Brunei Darussalam dan
Malaysia yang justru mengurangi sangat sedikit wilayah hutannya yang akan
hilang hingga tahun 2020 (kembali lihat gambar 1 mengenai realisasi dan prediksi
pengrusakan hutan di Kalimantan 1900-2020). WWF sebenarnya sudah
menyadari adanya kejanggalan ini. Walaupun demikian, WWF tidak hanya tetap
melobi Pemerintah Indonesia saja, namun juga kedua pemerintahan lain yaitu
Pemerintah Brunei Darussalam dan Pemerintah Malaysia karena melihat
kenyataan bahwa alur perdagangan kayu ilegal di Kalimantan masih terjadi di
dalam lingkup tiga negara terutama antara Indonesia dan Malaysia.
Salah satu pertemuan yang penting yang diadakan oleh WWF untuk
memfasilitasi ketiga negara membicarakan masalah HoB dan pengembangan
solusi pencapaian HoB ini adalah Pertemuan Ilmiah mengenai Heart of Borneo
yang diadakan di Brunei Darussalam dengan tajuk Three Countries One
Conservation Vision pada 5-6 April 2005.50
Pertemuan ini dihadiri oleh 150
perwakilan baik dari pemerintah maupun institusi nonpemerintah dan perwakilan
diplomatik dari Association of South East Asian Nations (ASEAN), United
49
Ambrosius Harto, ―70 Persen Heart of Borneo Kaltim Hutan Produksi‖, dalam Kompas, Kamis,
04 Oktober 2007, diakses dari http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0710/04/170054.htm,
pada Sabtu, 30 Mei 2009. 50
WWF, Heart of Borneo: Three Countries One Conservation Vision. (WWF: Brunei Darussalam,
dapat diakses di www.wwf.org).
29
Nations Educational, Scientifical, and Cultural Organization (UNESCO), Wildlife
Conservation Society (WSC), the Nature Conservancy (NC), International
Tropical Timber Organization (ITTO), the International Union for the
Conservation of the Nature and Natural Resources (IUCN), the Wildlife Trade
Monitoring Network (TRAFFIC), dan sebagainya. Dalam pertemuan itu masing-
masing perwakilan ketiga negara menyampaikan pernyataannya mengenai
perlindungan bersama hutan di Kalimantan. Pemerintah Brunei Darussalam
misalnya, melalui pernyataan Menteri Industri dan Sumber Daya Alam Primer
Brunei Darussalam memprioritaskan untuk mewujudkan one vision yang
dimaksudkan harus adanya perhatian pada peran tiga aktor yaitu masyarakat,
perusahaan, dan pemerintah itu sendiri pada HoB.51
Fokus ini dapat dituangkan
dalam berbagai strategi riil yang mampu mengarahkan fokus untuk lebih
memperhatikan kelestarian hutan yang bertujuan untuk benar-benar
merealisasikan HoB dimana Brunei Darussalam condong untuk lebih
menerapakan ekoturisme bagi pemanfaatan HoB dengan mendukung pelestarian
terhadap keberadaan HoB,52
yang mana mengenai ekoturisme ini tidak akan
dibahas lebih lanjut pada makalah ini. Pemerintah Indonesia sendiri masih
dikhawatirkan keberlanjutannya untuk dapat merealisasikan proyek konservasi ini
karena keberadaan tanda tanya besar pada otorisasi pengelolan hutan di kawasan
Kalimantan. Menurut akademisi dari Universitas Mulawarman dalam pertemuan
itu, lahan-lahan yang telah habis dibabat setelah adanya otonomi daerah mulai
banyak dilirik untuk dijadikan kawasan hutan kelapa sawit.53
Betapa ironis di
tengah semakin canggihnya peradaban manusia yang dapat mengembangkan
teknologi biologis untuk memulihkan ekosistem yang telah rusak dengan lebih
cepat dan aliran dana dari institusi internasional yang demikian melimpah untuk
mengembangkannya. Perwakilan Pemerintah Malaysia yang diwakili oleh
Departemen Kehutanan Negara Bagian Sabah mengatakan bahwa untuk
mengurangi laju deforestasi akibat pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan
diperlukan suatu bentuk pencegahan penyebaran agar hutan yang tidak terkelola
secara berkelanjutan secara minimal tidak menyentuh kawasan konservasi yang
51
Ibid., hlm. 9. 52
Ibid., hlm. 10. 53
Ibid., hlm. 17.
30
telah direncanakan bersama, HoB.54
Perwakilan Malaysia tersebut mencontohkan
dengan mengelola hutan memakai sertifikat kayu seperti pada 55.000 hektar
kawasan hutan di Deramakot. Dalam pertemuan tersebut, WWF sendiri
menawarkan solusi sertifikasi kayu dan mengajak para stakeholder terutama
pemerintah ketiga negara untuk lebih menunjukkan komitmennya dalam
mengkoordinasikan para stakeholder di negara masing-masing misalnya dalam
ikut serta program sertifikasi kayu GFTN WWF.
Lebih lanjut mengenai lobi yang dilakukan WWF ini ternyata
memberikan beberapa keberhasilan seperti dengan dikeluarkannya sebuah sistem
sertifikasi independen bagi semua produk kayu ekspor oleh Departemen
Kehutanan Indonesia. Sejak September 2009, semua produk kayu yang diekspor
ke luar negeri haruslah disertifikasi oleh badan usaha independen dan representatif
ICSO.55
Adapun keberadaan sertifikasi produk kayu Indonesia ini dimaksudkan
agar produk kayu Indonesia dapat bersaing secara kompetitif dengan produk kayu
negara lain, sekaligus untuk mengurangi praktik penebangan kayu ilegal di
Indonesia yang ternyata sangat disadari merugikan keuangan pemerintah.
Dari peran pemerintah negara lain di luar kawasan hutan Kalimantan
sendiri ternyata sangat efektif dalam membantu WWF untuk lebih leluasa melobi
pemerintah yang memiliki kawasan hutan Kalimantan untuk melakukan sertifikasi
hutan. Lobi terhadap pemerintah negara-negara di luar kawasan hutan Kalimantan
seperti dari negara-negara yang sudah mulai menyadari pentingnya penggunaan
sertifikasi kayu bagi kelestarian lingkungan adalah dari Uni Eropa, Jepang, dan
mulai berkembangnya isu ini di Amerika Serikat dan Cina dimana negara-negara
tersebut memiliki aktivitas perdagangan kayu terbesar dengan Indonesia; ternyata
juga tidak terlepas dari adanya aktivitas lobi organisasi serupa misalnya dari
WWF terhadap pemerintah di negara-negara tersebut. Buktinya, di wilayah-
wilayah negara tersebut sudah terdapat cabang WWF yang mengurusi GFTN
terutama di hampir seluruh negara-negara Uni Eropa selain tentunya di Jepang,
Amerika Serikat, dan Cina. Ditambah lagi dengan baru saja munculnya regulasi
54
Ibid., hlm. 28. 55
Malam Sambat Kaban yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan Indonesia
menyampaikan hal tersebut, lihat ―Indonesia to Clean Up Timber Exports‖, http://www.illegal-
logging.info/ item_single.php?it_id=3522&it=news, 21-11-2009, 07.57
31
dari Pemerintah Amerika Serikat pada bulan Mei 2009 yang memberlakukan
Undang-Undang Lacey Act dan parlemen Uni Eropa yang telah membahas
pemberlakuan regulasi serupa; keampuhan strategi lobbying WWF di negara-
negara tersebut terutama dari Amerika Serikat telah membantu untuk lebih
mengampuhkan strategi lobbying WWF terhadap pemerintah negara-negara yang
memiliki hutan di pulau Kalimantan. Regulasi dari Amerika Serikat dan Uni
Eropa itu sendiri mensyaratkan produk-produk perkayuan yang memasuki negara-
negara tersebut harus dapat membuktikan legalitas asal-usulnya melalui
sertifikasi,56
yang tentunya akan menjadi ancaman bagi industri kayu di negara-
negara yang tidak melaksanakan sertifikasi kayu namun mengekspornya ke
Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya.
Selain itu, akibat beberapa lobi ini, Pemerintah Indonesia sebagai contoh
melakukan perundingan bilateral mengenai masalah kehutanan dengan negara-
negara yang menjadi mitra dagang kayunya yang terbesar, diantaranya,57
1. Perundingan Bilateral Indonesia – Inggris
Pada tahun 2002 Pemerintah Indonesia dan Inggris menandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) yang didasarkan pada komitmen
sebelumnya di perundingan negara-negara G8 mengenai perdagangan
kayu ilegal dan pembalakkan liar dunia untuk kemudian melalui MoU
tersebut kedua negara berkomitmen untuk mengimplementasikan
kesepakatan:
a. kedua pemerintah harus mengidentifikasikan secara jelas
permasalahan pembalakkan liar dan perdagangan yang melibatkan
kayu-kayu hasil pembalakkan liar tersebut dalam setiap langkah untuk
mereformasi pengelolaan hutan termasuk dalam menerapkan
manajemen pengelolaan hutan yang lebih baik.
b. kedua pemerintah harus mengembangkan sistem pengecekkan
verifikasi dan jalur perdagangan kayu ilegal tersebut dalam rangka
membasmi pembalakkan liar dengan fokus utama di Indonesia.
56
―RI Diminta Antisipasi Lacey Act‖, diakses dari
http://www.indonesia.go.id/id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=8861, pada
tanggal 19 November 2009, pukul 21.41 WIB. 57
Arnoldo Contreras-Hermosilla, Current State of Discussion and Implementation Related to
Pembalakan liar and Trade in Forest Products, (Roma: FAO), hlm. 27-31.
32
c. Pemerintah Inggris akan membantu menyediakan dukungan teknis
dan dana dalam melaksanakan proses identifikasi dan pengecekkan
verifikasi dan jalur perdagangan kayu ilegal.
d. kedua pemerintah akan bekerjasama untuk mendukung keberadaan
dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengelolaan manajemen hutan
lestari yang dimaksudkan.
e. adanya data yang dikembangkan bersama-sama dimana masing-
masing negara bersedia untuk saling tukar-menukar data aktivitas
perdagangan kayu diantaranya untuk membuka informasi dalam
memantau aktivitas perdagangan kayu.
f. mengimplementasikan kesepakatan ini ke dalam tubuh hukum
nasional masing-masing negara dengan menyediakan wadah
koordinasi mengenai pengembangan lebih lanjut kesepakatan agar
dapat lebih memperhatikan ruang prasyarat hukum nasional yang
diajukan.
g. kedua negara harus memberikan penyuluhan kepada industri kayu
untuk menggunakan dan meICSOlah kayu secara legal.
2. Perundingan Bilateral Indonesia – Norwegia
Pada bulan Agustus 2002, Indonesia dan Norwegia juga sepakat untuk
mewujudkan pengelolaan hutan Indonesia dengan lebih lestari dimana
Norwegia secara tentatif bersedia untuk memberikan bantuan
pengembangan dan penerapan reformasi kebijakan, hukum, dan regulasi
Indonesia dalam rangka memberangus pembalakkan liar.
3. Perundingan Bilateral Indonesia – Jepang
Pada bulan Juni 2003 Indonesia dan Jepang menandatangani kesepakatan
untuk memberangus keberadaan pembalakkan liar dengan termasuk tidak
melakukan perdagangan yang di dalamnya terdapat kayu hasil
pembalakkan liar. Kedua belah pihak sama-sama membangun beberapa
rencana aksi yang memiliki poin,
a. untuk memberantas pembalakkan liar terutama dalam menghasilkan
kayu baik yang dilegalisasi maupun tidak perlu dikembangkan di baik
Indonesia maupun Jepang suatu sistem verifikasi yang lebih baik.
33
b. merangsang keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penciptaan
hutan lestari terutama dalam mencegah terjadinya pembalakkan liar
dan untuk ikut serta dalam memonitor implementasi dari sistem
verifikasi yang telah dikembangkan oleh kedua negara.
c. adanya pembukaan data perdagangan oleh kedua belah pihak untuk
dapat lebih memantau dan mengendalikan aktivitas dagang yang
melibatkan kayu hasil pembalakkan liar.
d. adanya tindakan kolaboratif dari dua negara untuk dapat terus
memperbaiki kerjasama dan kesepakatan agar dapat terus
mengaplikasikan kesepakatan ini dengan dinamika yang ada dan
tentunya dapat diterapkan dalam hukum nasional.
e. diperlukan adanya pembangunan sumber daya manusia di kedua
negara agar terjadi proses implementasi sistem yang lebih baik.
4. Perundingan Bilateral Indonesia – Cina
Pada akhir tahun 2002, Indonesia membangun kesepakatan dengan Cina
melalui MoU dimana Cina merupakan importir terbesar kayu dari
Indonesia. Mereka sepakat untuk memerangi pembalakkan liar dengan
meningkatkan kesepakatan dan kesepahaman dalam pengembangan
hukum perdagangan yang lebih sesuai dengan keinginan untuk
memerangi pembalakkan liar. Beberapa poin dalam pembahasan MoU
adalah,
a. memerangi perdagangan ilegal yang membawa kayu hasil
pembalakkan liar termasuk di dalamnya yang membawa spesies flora
dan fauna langka dengan berdasarkan kepada kesalingpenghormatan,
kesetaraan dan keuntungan mutual, dan terutama untuk menjaga
keberlanjutan sumber daya hutan.
b. meningkatkan penggunaan hukum dalam memberantas pembalakkan
liar.
c. meningkatkan kesadaran di antara kedua belah pihak mengenai
pentingnya untuk menjaga hutan secara lestari terutama jika dikaitkan
dengan masa depan lingkungan dan kebajikan dari kehidupan sosial
dan ekonomi.
34
d. membuat dan mendukung praktik kehutanan yang adaptif terhadap
pengelolaan hutan secara lestari.
5. Perundingan Bilateral Indonesia – Amerika Serikat
Pada 28 Juli 2003, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan the
President’s Initiative agaisnt Pembalakan liar yang memfokuskan
pembalakkan liar di tiga wilayah; (a) Basin KoICSO, (b) Basin Amazon
dan Amerika Tengah, dan (c) Asia Selatan dan Asia Tenggara. Inisiatif
ini diadakan dengan didasarkan pada empat pilar; (a) good governance,
membangun kapasitas negara untuk lebih memperhatikan manajemen
hutan lestari termasuk dalam perangkat hukum, (b) community-based
action dimana dalam manajemen hutan harus melibatkan peran
masyarakat sipil, (c) tehnology transfer, adanya aliran teknologi untuk
lebih meningkatkan kemampuan dalam peICSOntrolan dan pemantauan,
dan (d) harnessing market forces dimana diperlukan bangunan pasar
yang transparan, adanya praktik bisnis yang baik, perdagangan yang legal,
dan kapasitas negara dalam mengimplementasikan untuk ikut mengawasi
proses yang ada termasuk dalam mengimplementasikan kesepakatan
antarnegara yang telah dicapai sebelumnya ke dalam aktivitas
perdagangan riil di lapangan. Inisiatif ini juga bekerja di Indonesia dalam
bentuk kerjasama bilateral antara Amerika Serikat dengan Indonesia.
Misalnya, Indonesia mendapatkan bantuan keungan dalam kegiatan
internal Indonesia untuk mendukung empat pilar yang disuarakan oleh
Amerika Serikat ini.
b. Strategi WWF Melobi Pemerintah Lokal atau Daerah di Kalimantan
Selain pemerintah pusat, WWF juga melobi pemerintah daerah yang di
Indonesia memiliki kekuasaan yang cukup penting dalam melakukan otorisasi
kebijakan akibat adanya otonomi daerah. WWF melobi semua pemerintah
provinsi yang ada di keempat provinsi di Kalimantan. WWF juga mengadakan
berbagai workshop bagi pemerintah daerah di kawasan ini mengenai manajemen
hutan yang berkesinambungan, keuntungan dari sertifikasi, dan berbagai aspek
sosial dari sertifikasi. Strategi lobi yang dilakukan oleh WWF terhadap
pemerintah daerah Indonesia di wilayah Kalimantan ada yang menunjukkan
35
respon positif seperti yang terjadi pada Pemerintah Daerah Kalimantan Timur.
Keberhasilan lobi WWF ini ditunjukkan dengan ditandatanganinya
Memorandums of Understanding (MoU) untuk meningkatkan kesadaran
lingkungan melalui perencanaan eko-regional.58
Penandatangan MoU ini
menunjukkan intensi pemerintah daerah untuk mendukung usaha WWF dalam
memerangi praktik penebangan ilegal melalui penggunaan sertifikasi kayu dalam
mekanisme GFTN. WWF juga membantu pemerintah daerah Kalimantan Timur
dalam sebuah usaha capacity-building dengan menyediakan Geographic
Information System, sebuah sistem pelatihan bagi para perencana kehutanan pada
tingkat distrik dan provinsi.59
Selain itu workshop yang Sosialisasi Program Sertifikasi Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari juga dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Barat.
Workshop ini menarik untuk dicermati karena diselenggarakan tidak hanya oleh
WWF tetapi juga bekerjasama dengan Dinas Kehutanan RI dan Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Kalimantan Barat. Workshop ini
merupakan salah satu strategi lobbying WWF yang bertujuan untuk menekankan
kembali komitmen propinsi Kalimantan Barat dalam sertifikasi kayu. Di dalam
workshop ini dipaparkan data mengenai krisis ekonomi yang saat ini melanda
negara-negara tujuan ekspor. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan
permintaan terhadap produk kayu. Di Indonesia, volume kayu pada bulan Januari
2008 tercatat sebesar 127.477 m3, sedangkan pada Januari 2009 ekspor kayu
Indonesia hanya 54.571 m3.60
2.2.2. Strategi WWF dalam Lobbying dengan Kalangan Bisnis
Dalam usahanya melobi kalangan bisnis, WWF bekerja sama dengan The
Nature Conservancy (TNC) untuk membentuk Alliance to Promote Certification
and Combat Pembalakan liar (yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai
58
Lusa Tacconi, et.all, Learning Lessons to Promote Forest Certification and Control Pembalakan
liar in Indonesia. (Indonesia: Center for International Forestry Research, 2004), hal.30. 59
Ibid, hal.29. 60
Departemen Kehutanan, ―Ekspor dan Impor Komoditi Kehutanan‖, diakses dari
http://www.dephut.go.id/files/Exim_2008.pdf, pada tanggal 19 November 2009, pukul 20.29 WIB.
36
Aliansi). Aliansi adalah sebuah inisiatif berjangka waktu tiga tahun yang
bertujuan untuk61
:
1. Memperluas pasar penjualan produk kayu bersertifikat
2. Meningkatkan persediaan produk kayu Indonesia yang bersertifikasi
3. Mewujudkan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest)
4. Mengurangi investasi pada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
penebangan kayu ilegal di Indonesia
5. Meningkatkan kemampuan industri kayu Indonesia untuk
mengimplementasikan solusi praktis dalam melawan praktik penebangan
ilegal dan dalam pencapaian manajemen keberlangsungan hutan (sustainable
forest management).
Adapun usaha lobbying WWF dengan kalangan bisnis tidak lepas dari
usaha WWF mewujudkan tujuan-tujuan Aliansi. Tulisan ini akan membahas
lobbying WWF dengan kalangan bisnis pada tiga tujuan utama Aliansi. Pertama,
usaha lobbying WWF melalui perluasan pasar penjualan produk kayu bersertifikat.
Kedua, lobbying WWF dengan kalangan bisnis untuk meningkatkan persediaan
produk kayu Indonesia bersertifikasi. Ketiga, lobbying WWF dengan kalangan
bisnis untuk mewujudkan hutan bernilai konservasi tinggi.
1. Perluasan Pasar bagi Produk Kayu Bersertifikasi melalui GFTN
Usaha lobbying juga dilakukan WWF dengan para pengusaha, terutama
yang berkaitan dengan usaha hasil-hasil hutan seperti misalnya pengusaha
furnitur. WWF memberika pengetahuan dasar mengenai sertifikasi kayu dan
manfaatnya kepada perusahaan-perusahaan ini. Usaha lobbying terhadap
perusahaan tidak terlepas juga dari usaha pembangunan jaringan yang akan
dibahas dalam subbab berikutnya karena jaringan yang ada misalnya yang
tergabung dalam GFTN WWF akan memberikan semacam insentif kepada
perusahaan untuk lebih menunjukkan komitmennya mensertifikasikan kayu
mereka.
Beberapa poin dasar mengenai kesepakatan dan prasyarat yang harus
dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang mau mensertifikasi kayunya
sudah dibahas dalam Bab I Pendahuluan mengenai sertifikasi kayu seperti
61
Ibid, hal.19.
37
dengan memiliki dua komponen utama: sertifikasi kemampuan manajemen
hutan dan sertifikasi produk. Dengan memberikan pengetahuan dasar
misalnya mengenai dua komponen utama sertifikasi kayu melalui beberapa
pelatihan dan edukasi kepada perusahaan, akan banyak perusahaan yang
diharapkan mampu menerapkan pengetahuan yang telah diberikan. Pelatihan
ini tentunya dikenakan biaya dan tentunya biaya untuk melakukan sertifikasi
kayu. Inilah mengapa, untuk mengajak perusahaan bergabung menggunakan
sertifikasi kayu harus diadakan adanya paksaan seperti mengajak unsur yang
dapat memaksa seperti pemerintah dan masyarakat yang pada akhirnya
mampu membuat perusahaan ikut tunduk pada aktivitas sertifikasi kayu.
Perluasan pasar juga dilakukan WWF dengan memfasilitasi hubungan
perdagangan antara perusahaan-perusahaan yang berkomitmen untuk
mendukung terciptanya hutan yang lebih baik. Melalui GFTN, WWF
menciptakan kondisi pasar yang membantu melindungi hutan-hutan dunia,
sambil menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial bagi para pengusaha
yang terlibat di dalamnya.62
Melalui GFTN, WWF mengadakan semacam
pasar untuk jual-beli produk kayu bersertifikat. Adapun pasar ini kini telah
mencakup berbagai belahan dunia, mulai dari Uni Eropa, Amerika Serikat,
Cina, sampai Jepang—empat negara tujuan utama ekspor produk kayu
Indonesia. Adanya pasar kayu bersertifikasi ini menjadi insentif bagi para
eksportir kayu untuk terlibat dalam proses sertifikasi kayu. Pasar ini
sebenarnya semacam jaringan internasional yang akan dibahas lebih lanjut
dalam subbab berikutnya. Penjelasan di dalam subbab ini dimaksudkan untuk
menjadikan jaringan ini sebagai insentif kepada perusahaan dalam strategi
lobbying yang dilakukan oleh WWF.
Pada akhirnya, pengetahuan dan insentif yang diberikan akan membuat
mereka (perusahaan) menolak untuk membeli produk kayu yang tidak
bersertifikasi. Pada sepuluh tahun terakhir, permintaan konsumen akan
produk kayu asal hutan yang dikelola secara berkelanjutan dengan dampak
terbatas terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat asli yang hidup di
62
WWF, About GFTN. http://gftn.panda.org/, diakses pada 21 November 2009, pukul 06.34.
38
dalam dan di sekitar hutan telah meningkat.63
Permintaan pada produk kayu
bersertifikasi ini lantas menjadi insentif bagi industri kayu untuk melakukan
penebangan secara legal agar produk kayu mereka dapat disertifikasi. Ini juga
terjadi pada para pedagang produk kayu di Indonesia, seperti yang
disampaikan Ambar Tjahyono sebagai Ketua Indonesian Furniture and
Handicraft Association (Asmindo) yang berpendapat sertifikasi merupakan
hal yang penting untuk membuat produk kayu Indonesia menjadi kompetitif
di pasar global64
, karena produk kayu bersertifikasilah yang banyak diminta
di pasar global. Adanya peningkatan permintaan pada produk kayu
bersertifikasi inilah yang, lanjut Ambar, menyebabkan peningkatan jumlah
eksportir produk kayu yang kini menggunakan sertifikasi, yaitu sejumlah
2000 eksportir.65
Peningkatan jumlah eksportir produk kayu bersertifikasi ini
merupakan bukti hasil kerja WWF melalui mekanisme GFTN yang
dijalankannya. Dalam Kalimantan sendiri, Aliansi telah memfasilitasi
hubungan perdagangan antara salah satu eksportir produk kayu bersertifikasi
di Kalimantan, PT Sumalindo Lestari Jaya dan PT Suka Jaya Makmur dengan
sebuah industri furniture terkemuka di Amerika Serikat66
, Home Depot.
2. Peningkatan Persediaan Produk Kayu Bersertifikasi dengan Melibatkan
Kalangan Bisnis
Dalam meningkatkan persediaan produk kayu bersertifikasi, WWF
melibatkan kalangan bisnis, terutama dari industri-industri kayu. Adapun
peningkatan persediaan kayu bersertifikasi ini dilakukan WWF dengan
memberikan bantuan-bantuan teknis pada industri kayu yang tertarik untuk
terlibat dalam proses sertifikasi kayu ini. WWF telah berhasil melobi
berbagai industri kayu untuk memproduksi kayu bersertifikasi dengan cara
melakukan penebangan secara legal dengan tetap memperhatikan unsur
keseimbangan alam. Salah satu industri yang menjadi tujuan usaha lobbying
WWF dan kini telah menjadi salah satu industri kayu bersertifikasi adalah PT.
Suka Jaya Makmur yang merupakan bagian dari Grup Alas Kusuma,
63
E. Meijaard, et.all, op.cit., hal. 17. 64
Jakarta Post, Furniture Companies Seek Wood Certification. http://www.illegal-logging.info/
item_single.php?it_id=2530&it=news, diakses pada 21 November 2009, pukul 08.13. 65
Ibid. 66
Luca Tacconi, op.cit., hal.29.
39
perusahaan ini memiliki plymill dan konsesi di Ketapang, sebuah daerah di
Kalimantan Barat. WWF Indonesia telah berhasil melobi PT Suka Jaya
Makmur untuk memproduksi produk kayu bersertifikasi sebagai usaha untuk
mengatasi masalah kehutanan di Indonesia. Kini, produk kayu dari PT Suka
Jaya Makmur telah diekspor ke berbagai belahan dunia, salah satunya adalah
ekspor kayu meranti dari perusahaan ini ke Amerika Serikat.67
Dalam
usahanya melobi PT Suka Jaya Makmur, WWF bekerja sama dengan
Tropical Forest Foundation (TFF) dalam menyediakan bantuan perencanaan
penebangan pohon bagi PT Suka Jaya Makmur. Selain memberikan bantuan
perencanaan bagi PT Suka Jaya Makmur, Aliansi juga bekerja sama dengan
LATIN dan Smartwood untuk memberikan training bagi industri yang
terlibat dalam usaha sertifikasi produk kayu, misalnya ketika Aliansi
membantu PT Gunung Gajah Abadi dan PT Sumalindo Lestari Jaya68
—dua
industri produk kayu di Kalimantan—dalam pencapaian sertifikasi produk
kayu mereka.
3. Perwujudan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi dengan Melibatkan Kalangan
Bisnis
Dalam usahanya mendorong produser-produser kayu untuk melakukan
sertifikasi terhadap produk kayunya, WWF Indonesia mendirikan kumpulan
produsen Forest Trade and Network yang dinamakan Nusa Hijau (Green
Archipelago).69
Adapun tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperluas
keanggotaannya untuk meningkatkan persediaan kayu bersertifikasi di
Indonesia. Aktivitas Nusa Hijau ini antara lain berperan dalam perwujudan
hutan bernilai konservasi tinggi dengan membangun jaringan unit eko-
regional pada wilayah yang ditargetkan menjadi wilayah konservasi.
Di Kalimantan sendiri, tepatnya di Kalimantan Timur, hingga kini hanya
terdapat satu hutan bernilai konservasi tinggi yang resmi yaitu konsesi hutan
pada daerah atas Mahakam seluas 50.000 hektar yang dilakukan oleh PT
Sumalindo Lestari Jaya70
, sementara daerah lainnya masih sedang berkutat
67
Down to Earth, Stepwise Approach to Certification Raises Questions.
http://dte.gn.apc.org/59crt.htm, diakses pada 21 November 2009, pukul 06.19 68
Luca Tacconi, loc.cit., hal. 29. 69
Ibid, hal.23. 70
Ibid, hal.42.
40
dengan legalisasi hutan bernilai konservasi tinggi. Adapun, industri-industri
yang sedang mengajukan permohonan konsesi hutan bernilai konservasi
tinggi di Kalimantan Timur adalah PT Intracawood dan PT Gunung Gajah
Abadi. Adanya permohonan konsesi hutan bernilai konservasi tinggi ini tidak
lepas dari peran WWF melalui Nusa Hijau-nya dalam melobi para industri
kayu untuk ikut berperan dalam penyediaan produk kayu bersertifikasi di
Indonesia. Permohonan konsesi hutan bernilai konservasi tinggi ini juga
membuktikan keberhasilan WWF dalam mengubah persepsi kegunaan hutan
bagi kalangan bisnis, di mana awalnya hutan hanya mempunyai manfaat
konversi menjadi juga memiliki manfaat konservasi.
Pada saat krisis ekonomi ini, penggunaan sertifikasi ekolabel
menguntungkan bagi produsen produk kayu dalam memberikan nilai tambah pada
produknya sehingga mampu menghadapi persaingan memperebutkan pasar yang
semakin terbatas. Contoh konkretnya adalah PT Sari Bumi Kusuma yang
menyatakan bahwa konsesi yang berlokasi di Kalimantan Barat dan telah
memperoleh sertifikat kayu terbukti memberikan keuntungan bagi perusahaan
yang berkomitmen tinggi dalam mewujudkan hutan lestari dimana perusahaan
tersebut tidak mengalami penurunan permintaan di masa krisis seperti ini.71
Dengan bukti ini dan sosialisasi yang dilakukan oleh WWF Indonesia, ICSO ini
berusaha untuk melobi dan meyakinkan perusahaan-perusahaan produk kayu hasil
Hutan Kalimantan agar ikut menjalankan sertifikasi kayu yang mampu membantu
menyelamatkan hutan Kalimantan.
Bisnis kehutanan yang berkelanjutan berawal dari adanya pengelolaan
hutan yang lestari. Sertifikasi kayu merupakan salah satu alat dalam menjaga
kelestarian hutan. Oleh karena itu, perolehan sertifikasi kayu menjadi indikasi
penting sehatnya pengelolaan hutan dan bisnis kehutanan. Pengelolaan hutan
haruslah melibatkan banyak pihak baik dari pemerintah, sektor swasta, lembaga
ilmiah, perguruan tinggi dan masyarakat. Mekanisme kerjasama perlu dibangun
secara sinergis agar hubungan antar pihak dapat tercipta secara positif demi
mencapai tujuan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.
71
―Komitmen Kalimantan Barat Meningkatkan Daya Saing dengan Sertifikasi‖, diakses dari
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/pressrelease/?8762/Komitmen-Kalimantan-Barat-
Meningkatkan-Daya-Saing-dengan-Sertifikasi, pada tanggal 18 Oktober 2009, pukul 11.45 WIB.
41
GFTN juga menawarkan asistensi teknis mengenai proses sertifikasi serta
memberikan peluang pemasaran yang memberikan keuntungan bagi perusahaan
dan masyarakat yang bergantung pada penjualan hasil hutan. Maka, secara umum
GFTN merupakan salah satu inisiatif WWF yang ditujukan untuk menghilangkan
pembalakan liar dan mengelola hutan berkelanjutan melalui proses sertifikasi.72
WWF pun mengembangkan aliansi dengan The Nature Conservancy (TNC) untuk
melobi dan mempromosikan sertifikasi dan memerangi penebangan liar. WWF
pun melakukan inisiatif untuk melobi pasar sehingga dapat memperluas sertifikasi
dan mengurangi penebangan liar dan berusaha untuk meningkatkan pasokan kayu
Indonesia yang telah bersertifikat. Untuk mewujudkan peningkatan permintaan
dan pangsa pasar bagi kayu-kayu yang bersertifikat, maka WWF melakukan
strategi dan pendekatan lobbying terhadap pasar internasional. Cara melobi pasar
adalah dengan meningkatkan kesadaran akan adanya keuntungan lingkungan dari
sertifikasi dan dengan menawarkan produsen dan pembeli untuk bergabung dalam
Jaringan Hutan dan Perdagangan Global (GFTN: Global Forest and Trade
Network).73
2.2.3. Strategi WWF dalam Lobbying dengan Masyarakat
Masyarakat adalah salah satu kelompok dalam organisasi kehidupan
manusia yang memiliki fokus pada isu-isu pembangunan masyarakat. Isu-isu
pembangunan masyarakat ini dianggap lebih memuaskan masyarakat itu sendiri
sebagai kalangan mayoritas dalam organisasi kehidupan manusia daripada
perjuangan isu kapital dan isu kekuasaan yang lebih memuaskan kalangan
minoritas di dalam masyarakat. Oleh karenya, masyarakat yang berdaya akan
sangat memiliki kemampuan untuk dapat menekan praktik-praktik dari kalangan
pengusaha dan pemerintah yang tidak bersahabat dengan alam. Salah satu isu
pemberdayaan masyarakat itu sendiri adalah isu untuk melestarikan lingkungan
alam yang menjadi tempat tinggal dari masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan
72
―GFTN-Indonesia‖, diakses dari
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/kehutanan_spesies/whatwedo/gftnindonesia/inde
x.cfm, pada tanggal 19 November 2009, pukul 21.52 WIB. 73
Luca Tacconi, et.al., ―Proses Pembelajaran (Learning Lessons) Promosi Sertifikasi Hutan dan
Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia‖, diakses dari
www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BTacconi0402.pdf, pada tanggal 20 November
2009, pukul 19.02 WIB.
42
masyarakat yang diartikan sebagai proses untuk mencerdaskan masyarakat untuk
lebih mengetahui bagaimana seharusnya lingkungan dikelola terutama dalam
mengelola hutan dengan cara lebih lestari sangat dibutuhkan agar masyarakat
tidak ikut kepada suatu tatanan yang dibentuk secara semena-mena oleh
pemerintah dan kalangan pengusaha untuk memuaskan kepentingan minoritas
mereka dan menjadi kalangan elit atau kalangan menengah ke atas.
Namun sayangnya, kebanyakkan masyarakat di kawasan hutan
Kalimantan belumlah berdaya atau sudah berdaya namun belum memiliki suara
yang kuat untuk membentuk organisasi kehidupan manusia yang lebih terhubung
antara masyarakat dan pemerintahnya. Untuk itulah, WWF hadir di sini untuk
melobi masyarakat lokal dan masyarakat di luar kawasan hutan Kalimantan untuk
lebih tanggap terhadap permasalahan hutan Kalimantan dan ikut menerapkan
solusi sertifikasi kayu sebagai salah satu cara utama dalam mengelola hutan secara
lestari di Kalimantan. Bahkan, lobi-lobi yang dilakukan oleh WWF juga banyak
mendapatkan informasi pengetahuan dari aktivitas pengelolaan hutan lestari yang
sudah lebih dahulu diterapkan oleh masyarakat lokal seperti masyarakat Dayak
Kanyah di Kalimantan Timur.
Ada banyak program yang dilakukan WWF baik di rumah pembalakkan
liar itu sendiri maupun di negara lain yang menggunakan hasil pembalakkan liar
untuk melobi masyarakat agar menjadi masyarakat yang tahu, masyarakat yang
berdaya. Salah satu program itu di Indonesia adalah lomba penulisan dan analisis
proyek GFTN WWF yang dilakukan di pulau Kalimantan yang mana lomba ini
dilaksanakan pada tahun 2008. Hadiah lomba ini adalah berkunjung ke kawasan
HoB yang diharapkan dapat menjadi edukasi langsung mengenai pelestarian
lingkungan dengan mendekatkan langsung masyarakat yang sebelumnya awam
tentang pelestarian lingkungan untuk menjadi tahu dan berdaya mengenai
pelestarian lingkungan terutama mengenai usaha-usaha pelestarian hutan
Kalimantan. Selain itu, GFTN juga mengadakan seminar mengenai desain hijau di
Bandung pada 26-29 Juni 2008 lalu untuk meningkatkan pemahaman masyarakat
Indonesia mengenai pentingnya mendesain aktivitas kehidupan manusia yang
hijau dan ramah lingkungan khususnya dalam mendesai rumah dengan
43
menggunakan kayu yang bersertifikasi.74
Diadakannya seminar ini tidak
dipungkiri dari kenyataan bahwa Indonesia masih membutuhkan pendirian sekitar
1,2 juta rumah baru per tahunnya dan diprediksikan akan terus meningkat dari
tahun ke tahun. WWF juga mengadakan semacam diskusi dengan masyarakat
internasional di diskusi meja bundar mengenai produk kayu yang sudah menjadi
bubur kertas di New York yang banyak mendapatkan masukan dan kritikan yang
sangat membangun persepsi dan pemahaman semua stakeholder (masyarakat juga
terdapat di dalamnya) mengenai hutan lestari dan sertifikasi kayu sebagai salah
satu solusi untuk mewujudkannya.75
WWF menekankan kepada masyarakat di AS
melalui beberapa pelatihan dan workshop edukasi mengenai pentingnya untuk
lterlibat lebih aktif dalam program GFTN terutama mengingat peran AS sebagai
salah satu penyumbang terbesar konsumsi kayu ilegal dunia yang terutama berasal
dari Indonesia, Cina, dan Brasil.76
Jadi, konsumsi kayu AS yang dapat berbentuk kayu dan kertas sangat
kritis dan berpotensi besar untuk mengurangi terjadinya pembalakan liar di
Indonesia, khususnya Kalimantan. Salah satu bentuk komitmen keberhasilan yang
dicapai adalah mulai bergabungnya Perusahaan Wal Mart sebagaimana yang
dijelaskan oleh wakil presiden senior bidang kesinambungan perusahaan itu, ―One
of our goals at Wal-Mart is to sell products that sustain and protect our resources.
By joining the GFTN we can further this goal by providing our customers with a
reliable supply of wood products that come from responsibly managed forests‖.77
Lebih lanjut dia mengatakan komitmennya, ―This is just one way Wal-Mart is
helping our customers save money and live better‖. WWF untuk lebih
merealisasikan keinginan ini bekerjasama dengan organisasi publik seperti
USAID untuk lebih mempromosikan penggunaan kayu bersertifikat kepada
masyarakat AS dimana mereka sama-sama menginginkan agar masyarakat AS
lebih menggunakan barang dan jasa dengan memikirkan nilai-nilai sosial,
74
WWF, GFTN Newsletter October 2008, (diakses dari
http://assets.panda.org/downloads/0975_gftn_newsletter_oct_08_final_1_.pdf, diakses pada
Minggu 22 November 2009 pukul 15.34), hlm. 2. 75
Ibid., hlm. 4. 76
WWF, ―Wal-Mart Joins WWF's Global Forest & Trade Network‖, diakses dari
http://www.illegal-logging.info/item_single.php?it_id=2795&it=news, diakses pada Kamis, 3
Desember 2009. 77
Ibid.
44
konservasi lingkungan, dan keuntungan ekonomi jangka panjang. Dengan
bergabungnya Wal-Mart dalam misi ini dapat dipastikan akan lebih
memperlihatkan komitmen AS dalam pencegahan penggunaan lebih lanjut
pembalakan liar. Organisasi publik seperti USAID sendiri mengatakan bahwa hal
ini (kerjasama antara organisasi lingkungan, perusahaan, dan kesadaran publik),
―Today's development assistance is about mobilizing the ideas, efforts and
resources of governments, businesses and civil society by forging public-private
alliances that stimulate economic growth, develop businesses opportunities and
address environmental issues.‖78
2.3. WWF Menjaring
Salah satu strategi lain yang dikembangkan oleh WWF untuk
menyelamatkan hutan Kalimantan adalah dengan membangun jejaring global
untuk mendukung program Global Forest Trade Network (GFTN) atau sertifikasi
kayu-nya dari hutan Kalimantan. Pada pertengahan tahun 2007, luas lahan yang
digunakan untuk sertifikasi kayu mencapai 292 juta hektar.79
Dari beberapa mitra
dagang Indonesia dalam aktivitas perdagangan kayu, terdapat empat negara dan
kelompok negara yang menjadi mitra dagang terbesar yaitu: Uni Eropa, Jepang,
Amerika Serikat, dan Cina. Cina sendiri menjadi mitra dagang kayu Indonesia
terbesar. Jika melihat beberapa data yang disuguhkan dari masing-masing negara
yang memiliki jumlah aktivitas perdagangan kayu besar seperti Cina, akan banyak
ditemui beberapa fakta yang semakin mengukuhkan data yang dipaparkan di atas.
Impor kayu Cina sendiri pada tahun 2006 misalnya, sebanyak seperempat yang
dilakukan berasal dari negara-negara pemilik hutan hujan tropis.80
Salah satu
negara pemilik hutan hujan tropis terbesar di dunia adalah Indonesia yang kini
menurun peringkatnya menjadi peringkat ketiga terbesar setelah Brasil, dan
KoICSO akibat laju deforestasi yang demikian besar. Program Heart of Borneo
yang ditawarkan dan diinisiasi oleh WWF sendiri merupakan kerja keras untuk
mempertahankan luas minimal hutan di Kalimantan yang harus dapat
78
Ibid. 79
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Forest Product Annual Market Review: 2006-2007, (New York:
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2007), hlm. 1. 80
Ibid., hlm. 15.
45
dipertahankan di tahun 2020 (dapat melihat peta ketersediaan hutan di pulau
Kalimantan pada gambar 1 mengenai realisasi dan prediksi pengrusakan hutan di
Kalimantan 1900-2020), yang tentunya strategi utama untuk mewujudkan impian
ini adalah mempertemukan tiga kepentingan besar tiga aktor: pemerintah,
perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil dengan melakukan sertifikasi kayu
dari hutan-hutan yang tersisa di Kalimantan.
WWF memiliki GFTN yang merupakan perwujudan dari sertifikasi kayu
dengan campuran berbagai strategi untuk mewujudkan sertifikasi kayu. WWF
telah berusaha membangun jejaring global untuk merangsang penggunaan dan
penghadiran sertifikasi kayu ke dalam aktivitas peICSOlahan hutan untuk
mencukupi kebutuhan hidup manusia dari kayu. Kekuatan jaringan diasumsikan
menjadi kekuatan penopang dari terlaksananya ide sertifikasi kayu terhadap hutan
Kalimantan. Beberapa tujuan dari GFTN yang dipromosikan untuk dilakukan
terhadap hutan Kalimantan adalah,
1. mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan
2. usaha memenuhi permintaan kayu lestari dari Indonesia
3. memediasi kesempatan kerjasama produsen dan pembeli yang
berkomitmen tinggi dalam mencapai dan mendukung kegiatan kehutanan
yang bertanggung jawab dalam jaringan pasar global
4. memfasilitasi tercapainya lebih banyak produsen dan manufaktur hasil
hutan tersertifikasi di Indonesia
GFTN mampu menjembatani usaha pelestarian hutan sekaligus
menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial bagi kalangan bisnis serta
masyarakat yang bergantung pada hutan tersebut. GFTN juga mempromosikan
kerjasama antara organisasi non-pemerintah (ICSO) dengan para perusahaan
untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan. GFTN mampu memfasilitasi
perusahaan-perusahaan dalam mengevaluasi pembelian dan pengimplementasian
action plan untuk menjamin bahan baku yang lestari.
Ada beberapa keuntungan dari keikutsertaan suatu perusahaan di dalam GFTN:81
1. Mendapatkan keuntungan substansial, yaitu dari ketersediaan akses
sumber kayu yang terpercaya dan bertanggung jawab
81
―The benefits of GFTN Participation‖, http://gftn.panda.org/about_gftn/benefits/, pada tanggal
18 Oktober 2009, pukul 11.48 WIB.
46
2. Meningkatkan penerimaan dari para pembeli kayu sehingga perusahaan
tersebut dapat menjual lebih banyak
3. Mendapatkan informasi dan bantuan teknis dalam proses mendapatkan
sertifikasi yang kredibel dan bertanggung jawab
4. Mendapatkan kontak dan jaringan yang membantu perusahaan,
masyarakat, LSM, dan pengusaha memasuki pasar yang baru.
Hal ini dapat dilakukan tidak terlepas dari kuatnya jaringan yang berhasil
dibangun WWF melalui GFTN. Jaringan GFTN ini tersebar di berbagai wilayah
di muka bumi terutama di wilayah yang memiliki kontak langsung dengan
pengrusakan hutan akibat pembalakkan liar dan kontak tidak langsung dengan
menerima hasil pembalakkan liar melalui perdagangan. Sebagaimana sudah
disebutkan di Bab I Pendahuluan dalam informasi terbaru yang penulis peroleh
dari WWF, jaringan GFTN WWF telah berkembang di lebih dari 30 negara di
dunia;82
(1) Afrika: negara-negara di Afrika Tengah (Kamerun dan Republik
KoICSO), dan Ghana; (2) Asia Pasifik: Australia, Cina, Indonesia, Jepang,
Malaysia, dan Vietnam; (3) Eropa: Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Inggris,
Jerman, Perancis, Portugal, Rumania, Rusia, Spanyol, Swedia, dan Swiss; (4)
Amerika Latin dan Karibia: Bolivia, Brasil, Peru, dan negara-negara Amerika
Tengah dan Karibia (Belize, El Salvador, Guatemala, Honduras, Kosta Rika,
Nikaragua, Panama, Puerto Riko, dan Republik Dominika); (5) Amerika Utara:
(disebutkan berbagai perusahaan di Kanada dan Amerika Serikat).
Untuk membahas lebih lanjut mengenai jaringan ini, penulis akan
memaparkan proses singkat GFTN yang dilakukan WWF di salah satu negara
yang mulai aktif mempromosikan penggunaan kayu bersertifikat, Inggris. WWF
Inggris sebenarnya juga berperan sebagai pemimpin utama dalam struktur
pemerintahan di GFTN, bersama dengan negara-negara lain yang bertujuan untuk
mewujudkan penggunaan produk hutan yang lebih bertanggung jawab,
mengurangi penebangan ilegal, dan meningkatkan manajemen hutan di dunia.83
Dalam GFTN, anggota yang tergabung di dalamnya selain berkomitmen untuk
melindungi hutan melalui manajemen hutan dan produk-produk hutan secara
bertanggung jawab, mereka juga berkomitmen untuk melakukan pembelian
82
Diakses dari http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/, op.cit. 83
Ibid.
47
produk kayu secara bertanggung jawab, yaitu dengan memperhatikan asal kayu
(apakah kayu yang dibeli didapatkan secara legal dan didapatkan dengan
memperhatikan unsur sustainability dari hutan, atau tidak). Di Inggris sendiri,
GFTN telah memiliki lebih dari 40 anggota, mulai dari high street retailers seperti
B&Q, Homebase, dan Sainsburys; perusahaan konstruksi seperti Bovis Lend
Lease dan Redrow Group plc; sampai pada para eksportir kayu seperti Jewson’s
Travis Perkins dan Timbmet.84
Dapat dibayangkan saja ketika GFTN yang mulai
menguat di Inggris ini juga terjadi di seluruh negara yang dibuatkan jaringan oleh
WWF melalui GFTN ini. Program sertifikasi kayu tentunya diharapkan akan
dapat terus berkembang dan terealisasikan ke depannya.
Jaringan GFTN yang diinisiasi dan dikembangkan oleh WWF memiliki
beberapa keunggulan karena menguasai sekitar 53% dari permintaan kayu
bersertifikat di dunia, sementara itu sisanya diperdagangkan oleh perusahaan non–
GFTN (32%), lembaga publik (14%), and pihak lain (1%).85
Keunggulan ini akan
semakin meningkatkan ketertarikan negara-negara terutama perusahaan dan
industri kayu untuk terus meningkatkan program sertifikasi kayunya yang ternyata
mulai menjadi trend di tingkat global dengan WWF menguasai pangsa
pelaksanaannya yang mungkin akan dijadikan semacam cambukan paksaan bagi
stakeholder untuk melakukan sertifikasi kayu. Dengan semakin meluasnya
penggunaan sertifikasi kayu akibat menguatnya jaringan GFTN WWF, sertifikasi
kayu akan menjadi trend global yang tidak dapat dihindari oleh stakeholder yang
menginginkan keuntungan dari penggunaan dan peICSOlahan kayu dunia baik
dari aktivitas kontak langsung dengan hutan maupun aktivitas kontak tidak
langsung.
Hingga kini, telah ada 18 jaringan pembeli kayu hasil Hutan Indonesia,
khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu, terdapat juga jaringan
pembeli di Jepang dan Hong Kong. Sejauh ini, GFTN Indonesia tercatat
mempunyai 38 anggota (27 perusahaan manufaktur hasil hutan dan 11 Unit
84
WWF, Invisible Consequences.
http://www.wwf.org.uk/what_we_do/campaigning/one_planet_homes/
invisible_consequences/, diakses pada 21 November 2009, pukul 06.01. 85
Luca Tacconi, et.al, Loc.Cit.
48
Manajemen Hutan).86
Pada prinsipnya, setiap anggota GFTN ini diharuskan
membuat rencana aksi untuk menghilangkan kayu dari sumber ilegal dari rantai
perdagangannya dan untuk meningkatkan prosentase kayu yang bersertifikat.
Sejumlah kelompok produsen berada dalam berbagai tahap pengembangan di
Amerika Selatan, Afrika Barat dan Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Pada
saat ini, terdapat sekitar 500 perusahaan yang berpartisipasi dalam jaringan ini.
Perhatian juga diberikan pada pembentukan Forest Trade Network (FTN)
produsen untuk menjamin bahwa pasokan kayu bersertifikat dan kayu legal
bersesuaian dengan permintaan. Jaringan GFTN di Indonesia mengkhususkan diri
pada hutan Kalimantan yang terancam kelestariannya. Mulai meningkatnya
penggunaan sertifikat kayu yang dipromosikan oleh WWF Indonesia melalui
keanggotaan dalam GFTN Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya potensi
keuntungan dari akses yang lebih mudah ke pasar internasional.
Beberapa contoh aktivitas yang dilakukan WWF wilayah kerja Indonesia
terhadap negara lain untuk semakin mendukung penggunaan kayu bersertifikat
dari hutan Indonesia terutama hutan Kalimantan adalah bekerjasama dengan
WWF wilayah kerja Belanda misalnya untuk mempromosikan penggunaan kayu
bersertifikat di negara tersebut. WWF Indonesia dan Belanda melobi dan
mengajak beberapa asosiasi perumahan dari Belanda untuk berkomitmen
menggunakan kayu dari Borneo (Kalimantan) yang bersertifikasi Forest
Stewardship Council (FSC), organisasi internasional yang memberikan label
sertifikat pada kayu, untuk membangun 100.000 rumah di Belanda dalam lima
tahun kedepan.87
Komitmen tersebut dijadikan sebagai bentuk kepedulian yang
besar dari pelaku usaha perumahan di Belanda terhadap pengelolaan hutan
berkelanjutan di Indonesia, khususnya di Kalimantan. Seratus ribu rumah yang
akan dibangun dengan kayu bersertifikasi FSC tersebut mencakup 25 persen dari
total jumlah rumah yang akan dibangun di negeri kincir tersebut. Komitmen ini
dituangkan dalam sebuah deklarasi yang ditandatangi dan diumumkan dalam
86
―GFTN Participants-Indonesia‖, diakses dari
http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=Indonesia&coun
tryid=9, pada tanggal 19 November 2009, pukul 22.10 WIB. 87
―Asosiasi Perumahan Belanda hanya Gunakan Kayu Indonesia Bersertifikat‖, diakses dari
http://www.kompas/202.146.5.33/ver1/Iptek/0703/27/000009.htm, pada tanggal 20 November
2009, pukul 19.04 WIB.
49
acara Konferensi Jakarta yang diselenggarakan WWF-Indonesia bekerjasama
dengan FSC Belanda. Hingga kini, sedikitnya 38 perusahaan perumahan Belanda
telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi tersebut.88
Pembelian kayu dari hutan-hutan yang dikelola secara berkelanjutan
merupakan sebuah cara membantu mengatasi masalah deforestasi dan degradasi
hutan. Deklarasi yang ditandatangani oleh para pengusaha perumahan dari
Belanda menunjukkan bahwa pasar bagi kayu-kayu bersertifikasi ada dan akan
terus mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini membuktikan
keberhasilan dari promosi dan lobbying yang dilakukan oleh WWF yang pada
akhirnya justru membuat jaringan penggunaan sertifikasi kayu semakin kuat dan
menjadi alat pemaksa bagi industri kayu pada khususnya menggunakan sertifikasi
kayu karena beberapa alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya seperti
menjembatani dan memberikan kesempatan bagi perusahaan peICSOlah dan
produsen kayu dari Indonesia untuk bertemu secara langsung dengan para pelaku
usaha perumahan, industri konstruksi dan peICSOlah kayu, serta ritel pedagang
dari Belanda. Hal ini penting dan berguna untuk menjalin hubungan bisnis
(ekspor-impor kayu) dan mendorong pembelian kayu dari sumber hutan Indonesia,
khususnya Kalimantan yang legal dan lestari. Selain itu, Konferensi Jakarta ini
juga merupakan bagian dari progam kampanye "Building and Borneo", yang
diusung oleh WWF Belanda, FSC Belanda, dan sejumlah pelaku usaha yang
bergerak dalam sektor perumahan di Belanda dengan mottonya adalah renewal
here must not lead to destruction elsewhere (pembangunan di Belanda harusnya
tidak menyebabkan kerusakan di tempat lain).89
Kampanye tersebut bertujuan
untuk memastikan bahwa semua pelaku usaha perumahan sejak sekarang dan
seterusnya akan memilih untuk menggunakan kayu dan produk-produk kayu yang
berasal dari hutan-hutan yang dikelola dengan lestari, seperti yang diusahakan
dalam sertifikasi kayu hasil Hutan Kalimantan.
Konferensi Jakarta ini juga adalah satu dari beberapa acara yang
difasilitasi oleh Program Nusa Hijau WWF-Indonesia atau yang juga dikenal
sebagai Indonesian Forest and Trade Network (IFTN) melalui kerjasama dengan
beberapa mitra lainnya. IFTN adalah bagian dari Global Forest and Trade
88
―Asosiasi Perumahan Belanda hanya Gunakan Kayu Indonesia Bersertifikat‖, Loc.Cit. 89
Ibid.
50
Network (GFTN), sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mengeliminasi
pembalakan liar dan meningkatkan pengelolaan hutan-hutan yang bernilai tinggi
tetapi sedang terancam kondisinya, seperti Hutan Kalimantan. WWF-Indonesia
bekerja dengan mitra-mitranya untuk meningkatkan pengelolaan hutan yang
lestari di Borneo dan daerah lainnya di Indonesia, yaitu dengan membantu dunia
industri agar mendapatkan sertifikasi hutan yang kredibel. Komitmen dari pelaku
usaha perumahan dari Belanda untuk membeli kayu bersertifikasi FSC dari
Indonesia sejalan dengan upaya IFTN dalam meningkatkan pengelolaan hutan
yang lestari di Indonesia.
2.4. Data Kondisi Hutan Kalimantan Wilayah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Realisasi Sertifikasi Kayu Tahun 2003.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dalam
Statistik Kehutanan 2007 disebutkan bahwa luas daratan kawasan hutan di
Kalimantan Barat pada tahun 2007 adalah sebesar 9.101.760 hektar, Kalimantan
Tengah 15.300.000 hektar, Kalimantan Timur 14.651.053 hektar, dan Kalimantan
Selatan 1.839.494 hektar.90
Sedangkan Kementrian Negara Lingkungan Hidup
menunjukkan presentase tutupan lahan hutan dan non-hutan pada tahun 2008,
yang ditunjukkan oleh data di bawah.91
Tabel 1.1
Persentase Tutupan Lahan Hutan dan Non-Hutan 2008 90
Data diperoleh dari Statistik Kehutanan 2007, diakses dari
http://www.dephut.go.id/files/Stat_2007.pdf pada hari Sabtu, 21 November 2009 pukul 14.39 WIB,
hal. 20. Lihat gambar 1 mengenai realisasi dan prediksi pengrusakan hutan di Kalimantan 1900-
2020. 91
Data diperoleh dari Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2008, diakses dari
http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/4_lahandanhutan.pdf pada hari Sabtu, 21 November 2009
pukul 15.01 WIB, hal. 48.
51
Dari data ini dapat dilihat bahwa presentase tutupan lahan non-hutan di
Kalimantan sekarang sekarang sudah melebihi tutupan lahan hutan disana. Hal ini
membuktikan bahwa di hutan-hutan di Kalimantan semakin berkurang
(deforestasi hutan), tentu saja hal ini bisa dikarenakan beberapa hal. Pertama,
pembukaan hutan sebagai lahan pertanian. Kedua, pembukaan hutan untuk
dibangun rumah sebagai tempat tinggal manusia maupun berbagai prasarana
umum lainnya seperti jalan dan sekolah. Ketiga, kebakaran hutan yang melanda
hutan-hutan di Kalimantan. Terakhir, yang adalah hal paling buruk yang selama
ini diduga menjadi penyebab utama berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan
adalah penebangan kayu liar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.92
Di bawah dilampirkan juga data mengenai klasifikasi dan luas kawasan hutan di
Indonesia dan persentase luas kawasan hutan per pulau di Indonesia tahun 2007
yang diambil dari Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia yang dikeluarkan
oleh Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup tahun 2008.
92
Ibid., hal. 56-57.
52
Grafik 1.1
Klarifikasi dan Luas Kawasan Hutan di Indonesia93
93
Ibid., hal. 49.
53
Tabel 1.2
Persentase Luas Kawasan Hutan Per Pulau di Indonesia 200794
Lantas, bagaimana dengan laju deforestasi di Kalimantan? Terdapat dua sumber
data yang diperoleh disini. Pertama, data dari Departemen Kehutanan dari periode
2000-2001 hingga periode 2004-2005. Kedua, data dari Kementerian Negara
Lingkungan Hidup selama periode 2003-2006. Kedua data ini kemudian akan
bersifat melengkapi satu sama lain.
Tabel 1.3
Deforestasi 7 Pulau Besar (termasuk Kalimantan) 2000-200595
94
Ibid., hal 50. 95
Op. Cit., Statistik Kehutanan 2007, hal. 26.
54
Grafik 1.2
Deforestasi 7 Pulau Besar (termasuk Kalimantan) 2000-200596
Tabel 1.4
Deforestasi di Kalimantan Periode 2003-200697
Keterangan
KSA-KPA : Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
HL : Hutan Lindung
96
Data diperoleh dari Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2007, diakses dari
http://www.menlh.go.id/slhi/slh2007/slhi2007/SLHI_2007_05_lahan&hutan.pdf pada hari Sabtu,
21 November 2009 pukul 15.03 WIB, hal. 111. 97
Op. Cit., Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, hal. 53.
55
HPT : Hutan Produksi Terbatas
HP : Hutan Produksi
HPK : Hutan Produksi Konversi
APL : Area Penggunaan Lain
Berdasarkan data tersebut, kita dapat membandingkan laju deforestasi sebelum
dan sesudah sertifikasi kayu. Pada periode 2000-2003, yaitu sebelum program
sertifikasi kayu dilakukan, deforestasi di Kalimantan berjumlah 822.100 hektar
dengan rata-rata 274.033,33 hektar/tahun. Sedangkan pada periode 2003-2006,
yaitu sesudah sertifikasi kayu dilakukan, deforestasi di Kalimantan (kawasan
hutan saja) rata-rata 239.045,4 ribu hektar/tahun, dengan total kerusakan sebesar
717.136,2 hektar. Hal ini berarti sesudah diterapkan program sertifikasi kayu,
deforestasi di Kalimantan ternyata berkurang. Namun, apakah benar laju
deforestasi berkurang karena adanya sertifikasi kayu yang bertujuan mengurangi
penebangan kayu liar? Karena bisa saja deforestasi berkurang dikarenakan
berkurangnya populasi yang berakibat pada penurunan permintaan lahan pertanian
dan tempat tinggal. Selain itu deforestasi juga bisa berkurang akibat menurunnya
tingkat kebakaran hutan. Oleh karena itu, kita perlu melihat lebih detail apakah
sertifikasi kayu berdampak pada berkurangnya penebangan liar di Kalimantan.
Tabel 1.5
Penebangan Liar di Kalimantan 2002-200398
98
Statistik Kehutanan 2003, diakses dari
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/Stat2003/PKA/III4103.pdf pada hari Minggu, 22
November 2009 pukul 08.57 WIB.
56
Tabel 1.7
Penebangan Liar Tahun 2006-200799
Berdasarkan data diatas, kita dapat membandingkan penebangan liar yang terjadi
di Kalimantan pada periode 2002-2003 yaitu sebelum sertifikasi kayu
diberlakukan dan pada tahun 2006-2007 yaitu data terakhir dimana sertifikasi
kayu sudah mulai dilakukan. Secara keseluruhan dapat terlihat bahwa penebangan
liar yang terjadi di Kalimantan berkurang. Hal ini membuktikan bahwa program
sertifikasi kayu di Kalimantan berhasil mengurangi penebangan liar yang terjadi
di Kalimantan.
99
Statistik Kehutanan 2007 hal. 65 dan Status Lingkungan Hidup 2008 hal. 57.
57
BAB III
KESIMPULAN
Kalimantan memiliki masalah kehutanan yang cukup parah dengan
menjadi kawasan yang memiliki luas wilayah hutan yang terdegradasi terbesar di
Indonesia untuk kawasan hutan Kalimantan di Indonesia. Tingkat deforestasi di
Kalimantan wilayah bagian Indonesia mulai mengikuti tingkat deforestasi di
pulau Sumatera dan Sulawesi. Banyak alasan yang menyebabkan terjadinya
pengrusakan di wilayah Kalimantan ini terutama karena adanya pembalakkan liar.
Wilayah Asia Tenggara sendiri merupakan salah satu wilayah yang memiliki
kawasan hutan hujan tropis terbesar di dunia, namun belum memiliki kemauan
untuk menekan laju deforestasi terutama dari pembalakan liar. Kawasan ini juga
ternyata belum memiliki inisiatif untuk melaksanakan program sertifikasi hutan
yang disadari memiliki banyak manfaat dan kegunaan terutama untuk mencegah
terjadinya pembalakkan liar. Oleh karenanya, program GFTN WWF diterapkan
pertama kali ke wilayah ini sebagai proyek rintisan untuk melakukan sertifikasi
kayu.
Program sertifikasi kayu terhadap hutan Kalimantan dirasakan sangat
penting dan mendesak untuk segera dilakukan dengan lebih masif karena tanpa
adanya pengelolaan hutan secara lestari, seluruh stakeholders yang sama-sama
terlibat dalam pengelolaan hutan akan mengalami kerugian di masa depan. Tanpa
pengelolaan hutan secara berkelanjutan, pohon yang ada di hutan akan semakin
cepat berkurang dan habis. Hal ini tentunya akan memberikan dampak, pertama,
semakin langkanya kayu yang dapat diperoleh masyarakat. Kedua, masyarakat
belum dapat menemukan substitusi pengganti dari penggunaan kayu dalam
kehidupan sehar-harinya seperti menjadi beberapa elemen penting pembangunan
rumah dan berbagai infrastruktur lain hingga dalam hal menggunakan kertas.
Ketiga, semakin langkanya kayu akan semakin menyebabkan harga kayu semakin
mahal. Mahalnya harga kayu akan menyebabkan selain kayu yang sulit dicari bagi
penopang aktivitas masyarakat yang disebutkan dalam poin kedua, beberapa
aktivitas ekonomi lanjutan dari pengelolaan kayu seperti industri percetakan
hinggan industri distribusi kayu akan mengalami kerugian yang besar karena
58
anjloknya permintaan mereka akan produk mereka. Keempat, bagi industri hulu
pembuatan kayu yang bersinggungan langsung dengan hutan tentunya dalam
tahap awal pelaksanaan pembalakan liar akan merasa sangat diuntungkan. Namun,
industri mereka akan tidak berjalan dengan lama. Hutan habis, kayu habis,
aktivitas mereka tentunya akan berhenti seketika. Kelima, bagi pemerintah dimana
pemerintah akan kehilangan sumber pajak yang dapat digunakan untuk terus
membangun kegiatan bernegara seperti membiayai beberapa proyek pemerintahan
dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Jika sumber ini
hilang, pemerintah akan semakin sulit untuk mencari pembiayaan dari sumber lain
yang akan semakin memberikan kesulitan bagi pelaksanaan pembangunan.
Dampaknya, pemerintah akan secara politik mendapatkan legitimasi yang kurang
dari warga negara khususnya bagi para politisi seperti presiden hingga legislator.
Mungkin, dampak-dampak yang disinggung dari pembalakan liar dan
pengelolaan hutan secara tidak lestari terkesan hanya menghasilkan dampak
secara domestik. Namun, isu pembangunan berkelanjutan seperti dengan
mengelola hutan secara lestari adalah isu yang bersifat internasional yang berarti
merupakan isu bersama yang dialami oleh semua negara. Memang mungkin tidak
akan terlihat jika manusia masih memakai perspektif berpikir mereka untuk
melihat permasalahan secara domestik dan lebih mementingkan aspek kedaulatan
negara. Di luar batas-batas imajiner negara, manusia tinggal di suatu benda secara
bersama-sama yang bernama bumi. Bumi jika dilihat secara holistik memiliki
segala penyokong yang salah satunya adalah keseimbangan elemen-elemen yang
ada untuk terus dapat menopang kehidupan. Hutan adalah bagian dari penyokong
itu yang melalui pohon-pohonnya dapat memberikan kehidupan kepada manusia
berupa udara yang tidak mematikan, panas yang juga tidak mematikan, dan
sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghidupi aktivitasnya mencari
makanan. Kalimantan adalah salah surga yang menyokong aktivitas itu dimana
hutan hujan tropis ternyata lebih besar dalam membantu menyeimbangkan alam
daripada hutan berjenis lainnya di muka bumi. Aktivitas perdagangan kayu
internasional juga tentunya akan terganggu jika dari sisi penawaran tidak lagi
memberikan penawaran yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan karena
pengelolaan kayu tidak dilakukan dengan berkesinambungan. Ini belum
59
dipandang dari sisi yang lebih luas yaitu perubahan iklim dan hilangnya
keanekaragaman hayati dunia mengingat hutan hujan tropis menopang sebagian
besar aktivitas ini. Oleh karenanya, hutan terutama hutan Kalimantan memang
pantas untuk disebut penting dan mendesak agar dikelola secara lestari.
Sertifikasi kayu sendiri dilakukan dengan menggunakan dua langkah; (a)
sertifikasi manajemen hutan yang dilakukan di daerah asal terutama berkaitan
dengan bagaimana hutan ditebang dan diolah untuk menjadi kayu, dan (b)
sertifikasi kayu dimana dilakukan di daerah setelah daerah asal terutama berkaitan
dengan aliran perdagangan kayu untuk memonitor dan mengawasi kayu apakah
benar-benar memiliki legalitas. Selain itu, dalam program GFTN diberikan
semacam solusi lanjutan terhadap kritikan akan adanya aliran hanya melalui
proses prosedurisasi legalisasi. Solusi lanjutan ini berupa bentuk pengawasan
yang komprehensif dari awal ketika pohon ditebang untuk menjadi kayu dengan
memenuhi syarat dan prosedur yang telah diterapkan sesuai dengan standar yang
ada hingga ke hilir dimana kayu ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia seperti untuk membangun rumah.
Strategi yang dilakukan oleh WWF untuk merangkul semua aktor yang
terlibat dalam penggunaan kayu agar menggunakan sertifikasi kayu adalah
melalui dua cara; (a) lobbying dan (b) networking. Terdapat empat langkah yang
dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan strategi untuk menggunakan
sertifikasi kayu yang dilakukan dalam tingkat global menurut Meijiaraad. Pertama,
dengan pemberian bantuan teknis dan peningkatan kesadaran yang dilakukan oleh
ICSO, baik lokal maupun internasional; pemerintah, baik melalui Departemen
Kehutanan, departemen lainnya, maupun oleh pemerintah daerah, dan oleh pihak
pemberi sertifikat seperti Smartwood dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)
terhadap masyarakat, industri, dan pemerintah. Kedua, melalui perluasan pasar,
investasi, dan berbagai insentif lainnya dimana pasar, investasi, dan insentif yang
ada mendukung terlaksananya sertifikasi kayu sehingga memaksa produsen kayu
di Indonesia dan pembeli kayu dari luar Indonesia untuk menerima konsep
sertifikasi kayu. Langkah kedua ini diperoleh setelah langkah pertama
dilaksanakan dimana langkah pertama akan menumbuhkan perilaku untuk
menerima sertifikasi kayu di pasar. Adapun langkah ketiga yaitu pembeli kayu
60
dari negara-negara yang menjalin dagang dengan Indonesia mengubah
kebiasaannya untuk menerapkan sertifikasi kayu dalam perilaku dagang mereka.
Para pembeli ini pada akhirnya diharapkan hanya mau menerima kayu yang
bersertifikat. Diharapkan, negara-negara inilah yang kemudian akan terjalin
masuk ke dalam jaringan negara-negara bersertifikat kayu internasional yang di
WWF disebut sebagai GFTN. Ketiga langkah ini pada akhirnya akan memaksa
produsen kayu di Indonesia untuk mengubah langkahnya untuk memproduksi
kayu dengan menggunakan sertifikat kayu. Langkah keempat adalah dengan
selalu mengembangkan cara yang inovatif untuk mengelola bagaimana sertifikasi
kayu ini dilaksanakan misalnya dengan menambahkan indikator transparansi baik
pada saat melakukan tracking jejak perdagangan kayu, pengelolaan dana, dsb.,
yang diimplementasikan pada langkah pertama dan penekanan langsung pada
produsen kayu negara asal, Indonesia misalnya. Strategi WWF yang
dikelompokkan dalam lobbying dan networking mencakup analisis yang
dijelaskan secara umum oleh Meijaraad.
Analisis strategi ini terhadap WWF adalah dalam langkah pertama
disebutkan bahwa diberikan penyuluhan dan peningkatan pemahaman kepada
produsen kayu di Indonesia dan kepada pasar internasional mengenai perlunya
penerapan sertifikasi kayu dalam aktivitas penggunaan kayu dari hutan. Proses ini
akan disebut sebagai proses lobbying dimana WWF akan terus menggunakan
strategi ini untuk menyadarkan dan meningkatkan pemahaman mereka pada
sertifikasi kayu kepada para stakeholder seperti pemerintah, perusahaan, dan
masyarakat dan networking dimana WWF akan terus berusaha membangun
jaringan yang akan semakin memperkuat keberadaan isu sertifikasi kayu yang
mereka perjuangkan juga kepada para stakeholder yaitu pemerintah, perusahaan,
dan masyarakat. Jika dianalogikan secara sederhana dan hitam putih, lobbying
akan seperti bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman akan sertifikasi
kayu, dan networking bertujuan untuk meningkatkan kuantitas pengguna
sertifikasi kayu. Baik lobbying dan networking dalam sertifikasi kayu adalah
suara-suara yang sebenarnya menyuarakan sebuah isu yang sengaja diadakan oleh
WWF agar para stakeholder mau memperhatikan pengelolaan hutan secara lestari.
Kedua strategi ini dilakukan pada tiga elemen sekaligus, yaitu pada pemerintah
61
(baik lokal maupun nasional), pada kalangan bisnis (eksportir kayu, industri kayu,
dan pemilik usaha yang berhubungan dengan praktik penebangan kayu), serta
pada masyarakat (baik masyarakat lokal tempat penebangan kayu terjadi maupun
masyarakat lain secara keseluruhan). Baik lobbying maupun networking
dilakukan secara dua arah pelaksanaannya dimana penguatan jaringan yang
sebenarnya ditopang oleh lobbying akan membuat proses lobbying menjadi lebih
bekerja. Penggunaan strategi dengan tidak hanya melibatkan pemerintah sebagai
pengambil keputusan, tapi juga dengan melibatkan kalangan bisnis yang turut
berperan dalam meningkatkan praktik penebangan liar di hutan Kalimantan, serta
dengan melibatkan masyarakat yang mengalami kerugian akibat praktik
penebangan liar tersebut, menurut penulis, merupakan langkah yang efektif dalam
memerangi praktik penebangan liar di hutan Kalimantan.
Strategi pertama, melobi, dilakukan WWF pada pemerintah, kalangan bisnis, dan
masyarakat. Pada pemerintah lokal, WWF memberikan berbagai workshop
mengenai manajemen hutan yang berkesinambungan dan keuntungan dari
sertifikasi. WWF juga memberikan sistem pelatihan berupa Geographic
Information System (GIS) bagi para perencana kehutanan pada tingkat distrik dan
propinsi. Tidak hanya itu, untuk semakin mempertegas komitmen pemerintah
daerah dalam mendukung usaha WWF untuk memerangi praktik penebangan liar
melalui penggunaan sertifikasi kayu dalam mekanisme Global Forest Trade
Network (GFTN), WWF juga melakukan penandatangan Memorandums of
Understanding (MoU) dengan pemerintah-pemerintah daerah Kalimantan.
Pada kalangan bisnis, usaha lobbying WWF dilakukan dengan memberikan
insentif pada para pengusaha kayu Kalimantan berupa perluasan akses pada pasar
produk kayu bersertifikasi melalui GFTN. Adapun pasar ini kini telah mencakup
berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Jepang
dan Cina yang kesemuanya tergabung dalam GFTN. Tidak hanya memberikan
insentif berupa akses pada pasar produk kayu bersertifikat, WWF juga
memberikan pengetahuan pada industri-industri kayu di Kalimantan yang tertarik
untuk menerapkan sertifikasi kayu. Adapun pengetahuan yang diberikan adalah
bantuan perencanaan penebangan pohon, pemberian asistensi teknis, dan berbagai
bantuan lainnya sehubungan pelaksanaan penebangan kayu legal di hutan
62
Kalimantan.
WWF juga melakukan usaha lobbying pada masyarakat. Usaha lobbying
ini dilakukan dengan melakukan lobi terhadap masyarakat dalam Kalimantan dan
masyarakat di luar Kalimantan. Salah satu contoh menarik dilakukan lobi
terhadap masyarakat lokal di dalam Kalimantan adalah mempelajari mengenai
kebudayaan asli Dayak dan memberikan laporannya kepada publik bahwa
ternyata masyarakat ini telah memiliki norma-norma dan peraturan adat yang
sesungguhnya dapat dimasukkan dalam kegiatan pengelolaan hutan secara
berkesinambungan. Selain itu, masyarakat di luar Kalimantan dilakukan dengan
cara memberikan beberapa pelatihan dan edukasi workshop misalnya di Bandung
mengenai cara mendesai rumah hijau dan di New York mengenai pemanfaatan
berkesinambungan kayu yang mereka impor kebanyakan dari daerah yang
mengalami pembalakan liar seperti Indonesia terutama dari Kalimantan. WWF
juga menjalin kerjasama dengan berbagai institusi publik seperti USAID untuk di
AS sendiri untuk membantu memberikan edukasi kepada masyarakat di sana
mengenai pentingnya menggunakan kayu yang bersertifikat dalam rangka
mencapai tujuan bersama akan masa depan lingkungan yang lebih baik.
Strategi kedua, networking, dilakukan WWF melalui usahanya
membangun jejaring global untuk mendukung program GFTN, yang kini sudah
tersebar di berbagai wilayah dunia terutama di wilayah yang memiliki kontak
langsung dengan pengrusakkan hutan akibat pembalakan liar dan kontak tidak
langsung dengan menerima hasil pembalakan liar melalui perdagangan kayu
ilegal. Jaringan GFTN ini sendiri kini sudah tersebar sedikitnya di 30 negara
dunia, mulai dari Benua Afrika, Asia, Eropa, sampai Amerika Latin dan Amerika
Utara (termasuk di dalamnya Amerika Serikat sebagai importir utama kayu-kayu
Indonesia). Dalam GFTN, anggota yang tergabung di dalamnya berkomitmen
untuk melakukan pembelian produk kayu secara bertanggung jawab, yaitu dengan
memperhatikan asal kayu yang dibelinya (apakah kayu tersebut didapatkan secara
legal dengan memperhatikan unsur sustainability hutan atau tidak). Jaringan
GFTN yang diinisiasi oleh WWF ini telah berhasil menguasai pemenuhan
mayoritas permintaan produk kayu bersertifikat di dunia, keberhasilan yang
signifikan dalam usahanya memerangi praktik penebangan kayu ilegal di dunia
63
pada umumnya, dan di hutan Kalimantan pada khususnya. Strategi lobbying dan
networking yang kemudian gencar dilakukan WWF pada akhirnya mampu
mengurangi praktik penebangan liar di hutan Kalimantan, keberhasilan yang
positif menuju terciptanya hutan Kalimantan yang lestari.
64
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
________Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Keadaan Hutan
Indonesia. 2001. Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.:
Global Forest Watch.
Ballam, David N. dan Michael Vesseth. 1996. Introduction to International
Political Economy. New York: Prentice Hall International Inc.
Baylis, John dan E.J. Rengger, ed. 1992. Dilemmas of World Politics:
International Issues in a Changing World. Oxford: Clarendon Press.
Contreras-Hermosilla, Arnoldo. Current State of Discussion and Implementation
Related to Pembalakan liar and Trade in Forest Products. Roma: FAO.
Cusgrove, Curul Ann dan Kenneth J. Twitchett. 1970. The New International
Actors: The UN and the EEC.
Meijaard, E. et.all. 2006. Panduan bagi Praktisi; Mengelola Hutan Bernilai
Konservasi Tinggi di Indonesia, Studi Kasus di Kalimantan Timur.
Samarinda, Indonesia: The Nature Conservancy.
Miller, Frank, Rodney Tailor, dan George White.2006. Keep It Legal. WWF, Juli.
Papp, Daniel S. 1984. Contemporary International Relations, 5th Edition. New
York: McMillan Publishing Company.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2007. Forest Product Annual Market Review: 2006-
2007. New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tacconi, Lusa, et.all. 2004. Learning Lessons to Promote Forest Certification and
Control Pembalakan liar in Indonesia. Indonesia: Center for International
Forestry Research.
Tennyson, Ros dan Luke Wilde. 2000. The Guiding Hand – Brokering Partnership
for Sustainable Development. The United Nations Staff College & The
Prince of Wales Business Leaders Forum.
ARTIKEL
65
________ Pemanfaatan Hutan Tropis yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia.
1991. dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Myers, N. 1991. ―Tropical Forests and Climate‖, dalam jurnal Climate Change,
Vol. 19, No. 1/2, September.
Nota Informasi FAO: Situasi Sumber Daya Hutan Dunia Dewasa ini. 1990.
Jakarta: Departemen Kehutanan.
Statistik Kehutanan 2007 hal. 65 dan Status Lingkungan Hidup 2008 hal. 57.
Willets, Peter. 1997. ―Transnational Actors and International Organizations in
World Politics‖. dalam John Bayts dan Steve Smith. The Globalization of
World Politics: An Introduction Relations. Oxford: Oxford University Press.
INTERNET
WWF. ―Wal-Mart Joins WWF's Global Forest & Trade Network‖. Diakses dari
http://www.illegal-logging.info/item_single.php?it_id=2795&it=news.
Diakses pada Kamis, 3 Desember 2009.
http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BTacconi0402.pdf.
http://assets.panda.org/downloads/0975_gftn_newsletter_oct_08_final_1_.pdf.
http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:w5VXJkts7a8J:assets.panda.org/do
wnloads/gftn_brazil_factsheet_aug2009.pdf+gftn+brazil&hl=id&sig=AFQj
CNGGLloJ-A2gjTkVcQrhdGNzy-hJIw.
http://dte.gn.apc.org/59crt.htm.
http://gftn.panda.org/.
http://gftn.panda.org/about_gftn/benefits/.
http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=
Brazil&countryid=30.
http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=
Indonesia&countryid=9.
http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/.
http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/.
http://saveourborneo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=109&It
emid=29
66
http://www.dephut.go.id/files/Exim_2008.pdf.
http://www.dephut.go.id/files/Stat_2007.pdf.
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/Stat2003/PKA/III4103.pdf.
http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah
Lingkungan.
http://www.fao.org/docrep/v7850e/V7850e04.htm#Timber%20certification:%20a
n%20overview.
http://www.fsc.org/history.html?&L=tР―Р‡Р’С—Р’Р…arget%3D_self.
http://www.gftn.panda.org/gftn_worldwide/asia/indonesia_ftn/indonesia_profile.
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/greenpeace-menantang-
rspo-untu.
http://www.hulusungaitengahkab.go.id/versi3/index.php?option=com_content&vi
ew=article&id=432:awas-luas-hutan-di-kalimantan-cuma-tersisa-
separo&catid=18:pariwisata&Itemid=64.
http://www.illegal-logging.info/ item_single.php?it_id=2530&it=news.
http://www.indonesia.go.id/id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=8
861.
http://www.isai.or.id/?q=node/10.
http://www.kompas/202.146.5.33/ver1/Iptek/0703/27/000009.htm.
http://www.menlh.go.id/slhi/slh2007/slhi2007/SLHI_2007_05_lahan&hutan.pdf.
http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/4_lahandanhutan.pdf.
http://www.nrdc.org/land/forests/qcert.asp#7.
http://www.panda.org/who_we_are/.
http://www.panda.org/wwf_quick_facts.cfm.
http://www.rainforestinfo.org.au/good_wood/tcrt_def.htm.
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/02/21/Utama/ut01.htm.
http://www.unece.org/trade/timber/docs/sem/2004-1/qweb.pdf.
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/pressrelease/?8762/Komitmen-Kalimantan-
Barat-Meningkatkan-Daya-Saing-dengan-Sertifikasi.
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/kehutanan_spesies/whatwedo/gft
nindonesia/index.cfm.
http://www.wwf.org.
67
http://www.wwf.org.uk/what_we_do/campaigning/one_planet_homes/
invisible_consequences/.
http://www.wwf.org.uk/what_we_do/safeguarding_the_natural_world/
forests/forest_trade_network/about_the_uk_ftn.cfm.
http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0710/04/170054.htm.
www.wwf.or.id/tentang_wwf/.
http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah-
Lingkungan.