Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

67
1 LAPORAN PENELITIAN MPHI “ANALISIS PERAN WWF DALAM SERTIFIKASI KAYU HUTAN KALIMANTAN TAHUN 2003-2009” KELOMPOK I Haryo Tetuko (0606097026) Aisyah Ilyas (070629110) Erika (0706291243) Natasha Agnes (0706291344) Rifki Ahmad Z. S. (0706291376) Teguh Prayogo S. (0706291432) Winda (0706291464) DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2009

Transcript of Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

Page 1: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

1

LAPORAN PENELITIAN MPHI

“ANALISIS PERAN WWF DALAM SERTIFIKASI KAYU

HUTAN KALIMANTAN TAHUN 2003-2009”

KELOMPOK I

Haryo Tetuko (0606097026)

Aisyah Ilyas (070629110)

Erika (0706291243)

Natasha Agnes (0706291344)

Rifki Ahmad Z. S. (0706291376)

Teguh Prayogo S. (0706291432)

Winda (0706291464)

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2009

Page 2: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Permasalahan Hutan di Tingkat Global

Penurunan kualitas lingkungan bumi akibat eksploitasi secara besar-

besaran yang terjadi di berbagai tempat tengah menjadi isu yang ramai

dibicarakan oleh para ahli lingkungan, terutama terkait ketersedian dan

keberlanjutan sumber daya tersebut bagi generasi di masa mendatang. Kebutuhan

dan penggunaan sumber daya yang tinggi dianggap sebagai alasan utama yang

menimbulkan pemanasan global.1

Permasalahan lingkungan mulai mendapat

perhatian sejak beberapa abad lalu yaitu ketika terjadi Revolusi Industri Inggris.

Ketika itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan dilatarbelakangi oleh

polusi yang ditimbulkan oleh industri-industri yang tengah berkembang di

Inggris.2

Kerusakan hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang

mendapat perhatian dari banyak pakar. Hal ini disebabkan karena hutan memiliki

manfaat yang banyak bagi manusia. Hutan dapat memberikan manfaat langsung

terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya hutan dapat dimanfaatkan untuk

berbagai sumber penghasilan dan kebutuhan pangan. Dari sini dapat dilihat bahwa

sumber daya hutan berkontribusi penting bagi kesejahteraan manusia.

Empat puluh tiga persen sumber daya hutan dunia terletak di kawasan

tropis.3

Hutan tropis bermanfaat antara lain sebagai sumber energi, produk

industri perkayuan, pelindung tanah dan sumber air, sumber genetis, belum lagi

hasil-hasil hutan selain kayu.4 Hasil Penilaian Sumber Hutan Tropis menunjukkan

kerusakan hutan terbuka di daerah tropis sekitar 3,8 juta hektar per tahun,

1

Geologi dan Permasalahan Lingkungan diakses dari

http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah-Lingkungan pada Kamis,

8 Oktober 2009, pukul 16.17 2 David N. Ballam dan Michael Vesseth, Introduction to International Political Economy (NJ:

Prentice Hall International Inc, 1996), hal. 409. 3 Lihat Nota Informasi FAO: Situasi Sumber Daya Hutan Dunia Dewasa ini, (Jakarta: Departemen

Kehutanan, 1990), hal. 2. 4 Ibid.

Page 3: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

3

sedangkan kerusakan di hutan tertutup adalah 7,5 juta hektar pertahun. Wilayah

kerusakan di hutan Kalimantan itu sebanding dengan wilayah Swiss dan Austria.

Kerusakan itu terutama disebabkan oleh deforestasi. Deforestasi berarti perubahan

fungsi hutan yang disebabkan oleh konversi secara permanen, dari hutan menjadi

lahan pertanian atau hutan produksi, dengan cara penebangan kayu. Memang

hutan dapat beregenerasi, tetapi sering kali jumlah kayu yang ditebang—baik

secara legal maupun ilegal—tidak seimbang dengan waktu regenerasi kayu.

Selain itu, membuka lahan baru sering kali dilakukan dengan cara membakar

hutan, yang dapat mematikan bibit-bibit pohon baru.5

1.1.2. Kemunculan Aktor International Civil Society Organization (ICSO)

dalam Permasalahan Lingkungan Global

Hingga pertengahan tahun 1970-an, permasalahan lingkungan merupakan

masalah yang belum banyak menyita perhatian para pemimpin dunia. Negara pada

saat itu masih berfokus pada masalah-masalah militer dan ekonomi, sehingga isu-

isu lingkungan global masih merupakan isu marjinal dalam kerangka politik

internasional suatu negara. Isu lingkungan global mulai mendapat tempat dalam

dunia internasional pada tahun 1972, ketika diselenggarakannya United Nations

Conference on the Human Environment di Stockholm, Swedia. Konferensi ini

kemudian menjadi titik awal diakuinya peran ICSO lingkungan sebagai aktor

yang mampu mengusahakan jalur komunikasi untuk berdiplomasi dengan

pemerintah, mampu membangun opini publik—baik di tingkat nasional maupun

di tigkat internasional—untuk menekan pemerintah suatu negara agar mengambil

tindakan nyata dalam memerangi masalah lingkungan, serta mampu memberikan

kontribusi pada perdebatan ilmiah untuk membantu pencapaian konsensus pada

aspek-aspek masalah lingkungan.6

Selepas konferensi tersebut, peran ICSO sebagai aktor yang

memperjuangkan isu-isu dan kaum marjinal semakin terkukuhkan. Pusat

perhatian dan perjuangan ICSO lingkungan pada umumnya adalah negara, karena

negara merupakan aktor legal yang dapat mengeluarkan berbagai regulasi dan

5 N. Myers, ―Tropical Forests and Climate‖,dalam jurnal Climate Change, Vol. 19, No. 1/2,

September 1991. 6 John Baylis, dan E.J. Rengger, ed., Dilemmas of World Politics: International Issues in a

Changing World, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hlm. 295-296.

Page 4: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

4

kebijakan sehubungan dengan pemanfaatan lingkungan. Negara merupakan aktor

yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan regulasi mengikat tentang

pembatasan eksploitasi sumber daya alam di tingkat masyarakat. Di lain pihak,

pihak korporasi juga menjadi tujuan perjuangan ICSO lingkungan. Hal ini

disebabkan karena eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam seringkali

disponsori—atau bahkan dilakukan—oleh pihak korporasi yang menginginkan

keuntungan sebesar-besarnya dari setiap proyeknya. Kepemilikan modal yang

besar juga membuat pihak korporasi seperti berada di atas angin; terkadang

dengan modalnya yang besar, pihak korporasi turut bermain dalam pembuatan

kebijakan pemerintah tentang lingkungan. Itulah sebabnya, pihak korporasi juga

menjadi tujuan perjuangan ICSO lingkungan.

Di antara berbagai ICSO lingkungan yang ada di seluruh dunia, World

Wide Fund merupakan salah satu dari ICSO lingkungan yang sejak awal

pendiriannya sudah aktif menyuarakan dan memperjuangkan isu lingkungan.

Berbagai proyek yang bertujuan untuk pelestarian dan perlindungan lingkungan

telah dilakukan WWF. Salah satunya adalah proyek untuk merealisasikan

sertifikasi hutan Kalimantan.

1.1.3. Keadaan Hutan di Indonesia

Luasnya area hutan di Indonesia menjadikan negara tersebut sebagai

salah satu produsen kayu terbesar di dunia. Namun, hal ini tidak berarti hutan di

Indonesia terlepas dari masalah dalam pengelolaannya. Undang-Undang Pokok

Kehutanan tidak membawa dampak yang signifikan pada pengurangan eksploitasi

hutan secara besar-besaran. Pada pertengahan tahun 1960-an, pemerintah

mengeluarkan UU Pokok Kehutanan No. 5 tentang ketentuan-ketentuan pokok

kehutanan. Di dalamnya disebutkan bahwa pengelolaan hutan diselenggarakan

atas asas kelestarian lingkungan dan asas manfaat.7 Hutan harus dimanfaatkan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tanpa upaya merusak lingkungan.

Pemanfaatan sebesar-besarnya yang dimaksud di sini merujuk pada betapa

bermanfaatnya hutan karena menyediakan penghidupan, secara langsung maupun

tidak, terutama untuk masyarakat di sekitar hutan itu.

7

Pemanfaatan Hutan Tropis yang Berwawasan Lingkunga di Indonesia, dikeluarkan oleh

Departemen Kehutanan (Jakarta: Departemen Kehutanan, 1991), hal. 1.

Page 5: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

5

Indonesia kehilangan hutan lebih cepat dari negara-negara pemilik lain di

dunia. Berdasarkan data FAO (2006), hutan di Indonesia berkurang 1,8 juta hektar

per tahun. Dalam buku rekor dunia Guinness edisi 2008, tertulis dari 44 negara

yang secara kolektif memiliki 90% hutan dunia, negara yang meraih tingkat laju

deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia. Hingga sekarang ini,

Inonesia telah kehilangan tigaperempat luas kawasan hutan alamnya (sekitar 72%)

dan dari jumlah tersebut 40% telah hilang sama sekali. Faktor utama pendorong

tingginya deforestasi di Inonesia adalah pembalakan skala besar untuk industri

kayu, kertas, pembukaan lahan gambut untuk perluasan kelapa sawit dan

kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun untuk pembukaan hutan.8 Kerusakan

ini terutama disebabkan oleh permintaan Asia akan kayu bagi kebutuhan industri

kayu dan industri kertas. Sementara itu dua pertiga dari penebangan di hutan

Indonesia adalah ilegal. Penebangan hutan secara ilegal ditengarai sebagai salah

satu penyebab utama laju deforestasi di kawasan Indonesia. Hancurnya hutan di

Indonesia juga akan mempengaruhi ketahanan pangan.9

1.1.4. Kerusakan Hutan di Kalimantan

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hijau,

terutama hutan tropis dalam skala yang cukup besar. Pada tahun 1950, tidak lama

setelah negara tersebut merdeka, peta vegetasi menyebutkan luas hutan per pulau

secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar,

Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi

seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000

hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar

atau dalam kalkulasi secara keseluruhan, ditambah dengan luas wilayah hutan di

luar kawasan yang disebutkan, jumlah hutan di negara Indonesia tersebut adalah

sekitar 162.290.000 hektar.10

Satu jumlah yang mungkin sulit dibayangkan betapa

luasnya wilayah hutan di Indonesia.

8

―Pembalakan liar In Indonesia‖ dalam Country Profile: Indonesia. Diakses dari

http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/asia/indonesia_ftn/indonesia_profile/, pada 9 September

2009 pukul 11.28 WIB. 9

Geologi dan Permasalahan Lingkungan diakses dari

http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah-Lingkungan pada Kamis,

8 Oktober 2009, pukul 16.17 10

―Potret Buram Indonesia‖, diakses dari http://www.isai.or.id/?q=node/10, diakses pada hari

Jumat, 9 Oktober 2009 pukul 16.34.

Page 6: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

6

Dalam perkembangannya, luas wilayah hutan di Indonesia ini mengalami

penurunan disaat negara tersebut memasuki era orde baru yaitu pada tahun 1970-

an.11

Pada masa ini, kebijakan Soeharto, Presiden Indonesia kala itu, mempunyai

kebijakan yang terfokus pada pembangunan, sebuah kebijakan yang sangat

mengarah pada bidang ekonomi. Keberadaan kayu yang begitu banyak di negara

tersebut menjadikannya satu hal yang sangat ―menggiurkan‖. Hal inilah yang

menjadikan awal dimana pembalakan hutan begitu intens terjadi. Selain itu,

merebaknya perusahaan kayu pada masa tersebut menjadi faktor pendukung

lainnya.12

Menurut survei pada tahun 1999, laju deforestrasi rata-rata dari tahun

1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut,

Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar.

Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen

tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu

terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada

2005 dan di Kalimantan setelah 2010.13

Bila kita lihat data-data tersebut, kerusakan hutan di Kalimantan

merupakan yang terparah dibandingkan dengan kerusakan di pulau-pulau yang

lainnya. Hutan Kalimantan atau sering kali dikenal dengan kawasan Borneo ini

dalam data penelitian, pada tahun 1985 luas wilayah Kalimantan, lebih 70

persennya adalah hutan dan kini luas hutan tinggal 50,4 persen.14

Satu penurunan

yang sangat memprihatinkan tentunya. Pemetaan proses perkembangan

pengrusakan hutan di Kalimantan dapat dilihat dalam gambar 1 tentang realisasi

dan pengrusakan hutan di Kalimantan 1900-2020.

Latar belakang dari menurunnya luas hutan terutama di Kalimantan

tersebut sangatlah beragam. Hal pertama tentunya adalah banyaknya tindakan

pembalakan liar. Nilai jual kayu yang cukup tinggi di tingkat dunia dan

pengawasan yang tidak begitu optimal menjadikan tindakan pembalakan liar ini

11

Ibid. 12

Ibid. 13

Ibid. 14

Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam artikel yang berjudul ―Hutan di Kalimantan Cuma Tersisa

Separo‖ yang diakses dari

http://www.hulusungaitengahkab.go.id/versi3/index.php?option=com_content&view=article&id=4

32:awas-luas-hutan-di-kalimantan-cuma-tersisa-separo&catid=18:pariwisata&Itemid=64, diakses

pada hari Jumat, 9 oktober 2009 pukul 16.31.

Page 7: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

7

semakin marak terjadi. Korupsi diantara kalangan oknum aparat terkait

pengawasan dan perlindungan kawasan hutan ini dapat menjadi faktor lainnya.

Gambar 1

Realisasi dan Prediksi Kerusakan Hutan Kalimantan 1900-2020

Dalam sebuah data penelitian disebutkan bahwa terdapat pembukaan lahan hutan

tropis di Kalimantan untuk kepentingan penanaman kelapa sawit, pertambangan,

dan kawasan transmigrasi.15

Save Our Borneo (SOB) memaparkan, berdasarkan

prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektar, laju

kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16

persen.16

Dalam sudut pandang yang sedikit berbeda, terdapat faktor lainnya yang

menjadi penyebab kerusakan kawasan hutan di Kalimantan tersebut. Faktor

15

Lihat Save Our Borneo (SOB), ―Kerusakan Hutan di Kalimantan karena Pembukaan Lahan

Kelapa Sawit‖, diakses dari

http://saveourborneo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=109&Itemid=29,

diakses pada hari Jumat, 9 Oktober 2009 pkl. 16.25. 16

Ibid.

Page 8: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

8

tersebut terkait dengan keberadaan satu peraturan yang datang dari pihak

pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan

Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang

Berlaku pada Departemen Kehutanan dikatakan bahwa hutan nasional dapat

disewa untuk kepentingan industri dengan biaya Rp 3 juta per hektare (ha) per

tahun, dalam kalkulasi yang lebih spesifik dapat dikatakan bahwa hal tersebut

adalah sama dengan kisaran Rp 200,00 – Rp 300,00 per m2.17

Dalam peraturan

yang berbeda, UU 5/1990 dikatakan bahwa kegiatan industri pertambangan di

kawasan hutan lindung, apalagi dalam skala yang sangat besar, tidak

diperkenankan.18

1.1.5. Deskripsi World Wild Fund (WWF)

1.1.5.1. Profil World Wild Fund (WWF) Global

World Wide Fund (WWF) merupakan salah satu organisasi nirlaba

berfokus lingkungan terbesar di dunia yang didirikan sejak tanggal 11 September

1961. Kantor pusat WWF terletak di Gland, Swiss sementara kantor cabangnya

tersebar di berbagai belahan dunia. Dulunya, WWF merupakan singkatan dari

World Wildlife Fund, namun pada 1986 nama tersebut mengalami perubahan

menjadi World Wide Fund for Nature. Namun ada beberapa negara seperti

Amerika Serikat dan Kanada, yang masih menggunakan nama World Wildlife

Fund. Untuk mempermudah, nama akronim WWF-lah yang hingga kini

digunakan secara global. Misi utama WWF adalah untuk menghentikan degradasi

lingkungan hidup dan untuk membangun masa depan di mana manusia dapat

hidup harmonis dengan alam19

. Misi tersebut dilaksanakan dengan tiga langkah

utama, yaitu:20

1. Melindungi keanekaragaman biologis dunia,

2. Memastikan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui

secara stabil,

17

Lihat Suara Pembaharuan mengenai ―Cabut PP 2/2008‖ yang diakses melalui

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/02/21/Utama/ut01.htm pada hari Jumat, 9 Oktober

2009 pkl. 16.32. 18

Ibid. 19

WWF, Who We are, How We Came About, and What We’re About,

http://www.panda.org/who_we_are/, diakses pada 8 Oktober 2009, pukul 21.56. 20

Ibid.

Page 9: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

9

3. Mempromosikan pengurangan polusi dan konsumsi yang berlebihan.

Hingga kini, terdapat lebih dari 1300 proyek WWF yang sedang berjalan di

seluruh dunia. Proyek-proyek ini pada dasarnya lebih berfokus pada isu-isu lokal,

mulai dari restorasi habitat orangutan, hingga proyek perlindungan giant panda.

Dalam mencapai misi-misinya, WWF memiliki pedoman sendiri dalam

bertindak, antara lain21

:

1. Menjadi organisasi yang bersifat global, multikultural, dan non-politis,

2. Menggunakan informasi dengan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan

suatu isu, dan dengan kritis mengevaluasi setiap langkah yang telah

dilakukan,

3. Membangun solusi perlindungan yang konkrit melalui kombinasi inisiatif

kebijakan, kapasitas membangun, dan pendidikan,

4. Mengikutsertakan komunitas/penduduk lokal pada setiap proses

perencanaan dan eksekusi program-programnya, dengan tetap

menghargai budaya dan kebutuhan ekonomi mereka,

5. Membangun jaringan kerjasama dengan organisasi-organisasi lain,

pemerintah, serta dengan komunitas lokal dan bisnis untuk meningkatkan

efektivitas WWF,

6. Menjalankan setiap operasinya dengan efektif secara pendanaan, dan

menggunakan donasi sesuai dengan standar-standar akuntabilitas yang

ada.

WWF bekerja sama dengan berbagai partner, seperti misalnya organisasi-

organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), agensi-agensi pembangunan

seperti USAID dan Bank Dunia, serta dengan berbagai partner dari kalangan

bisnis dan industri yang menghendaki perubahan. WWF juga mendapat bantuan

dari banyak donatur individu, yang memberikan kontribusi sebesar 60% dari total

pendapatan WWF, sementara sekitar 45% pendapatan WWF lainnya datang dari

Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.22

1.1.5.2. WWF Indonesia

21

Ibid. 22

WWF, WWF in Brief, http://www.panda.org/wwf_quick_facts.cfm, diakses pada 8 Oktober

2009, pukul 22.00.

Page 10: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

10

WWF Indonesia merupakan jaringan independen dari WWF Global,

yang terdaftar pada hukum Indonesia, serta dikelola oleh Dewan Penyantun yang

terdiri dari Dewan Penasihat, Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana yang

berfungsi sebagai lembaga penentu arahan strategis dan kredibilitas WWF-

Indonesia.23

Kantor Sekertariat Nasional WWF berada di Jakarta, bertugas

memimpin dan berkoordinasi dengan sejumlah Kantor Lapangan WWF Indonesia

yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Sekertariat Nasional ini juga bertugas

memastikan agar upaya dan proyek WWF Indonesia sejalan dengan Global WWF

Network. Sementara Kantor Lapangan bertugas melakukan upaya pelestarian dan

perlindungan lingkungan di tingkat lokal, dengan bekerja sama dengan

pemerintah lokal melalui kegiatan proyek praktis di lapangan, penelitian ilmiah,

memberi masukan untuk kebijakan lingkungan, mempromosikan pendidikan

lingkungan, memperkuat komunitas, dan meningkatkan kesadaran publik terhadap

isu lingkungan.24

1.2. Permasalahan

Bagaimana WWF melakukan perannya dalam sertifikasi kayu dari hutan

Kalimantan untuk mengatasi pembalakan liar pada tahun 2003-2009?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah; (1) untuk menjelaskan dan memahami

adanya permasalahan hutan di Indonesia, khususnya hutan di Kalimantan; (2)

untuk mengeksplorasi peran dari ICSO dalam membantu mengatasi permasalahan

hutan di Kalimantan; dan (3) untuk mengesplorasi dan menganalisis cara kerja

WWF dalam merealisasikan sertifikasi kayu hasil Hutan Kalimantan.

Selain itu, ada beberapa manfaat dari penelitian ini, yaitu secara teoritis

dan praktis. Manfaat penelitian secara teoritis adalah dapat memberikan

sumbangan bagi kajian studi ilmu hubungan internasional, terutama kajian

masyarakat transnasional mengenai masalah lingkungan hidup. Manfaat penelitian

secara teoritis lainnya adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih baik

23

WWF Indonesia, Tentang WWF, diakses dari www.wwf.or.id/tentang_wwf/, diakses pada 8

Oktober 2009, pukul 21.45. 24

Ibid.

Page 11: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

11

mengenai konsep dalam kajian masyarakat transnasional, seperi ICSO. Sedangkan,

manfaat penelitian secara praktis adalah dapat memberikan gambaran yang lebih

jelas bagi pembaca yang lebih jelas bagi tim peneliti dan pembaca mengenai

upaya konkret dari WWF dalam merealisasikan sertifikasi kayu hasil Hutan

Kalimantan.

1.4. Tinjauan Pustaka

1. Permasalahan hutan adalah permasalahan lintas batas negara. Ini

dikarenakan posisi hutan berada di wilayah yang tidak mengenal

pembatasan wilayah yang diciptakan secara politik dalam hubungan

antarnegara. Sebagai contoh, hutan yang berada di sekitar sungai

Amazon di Amerika Selatan tidak dipangkas dan digunduli sesuai dengan

batas-batas wilayah, apakah itu termasuk wilayah Brasil, Kolombia, Peru,

ataukah Bolivia. Begitupula hutan yang berada di pulau Kalimantan.

Apakah hutan yang berada di Kalimantan harus dipagari dan dibendung

berdasarkan batas-batas imajiner tiga negara yang berada di kawasan itu;

Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia? Tentunya, permasalahan

ini akan semakin kompleks jika ternyata keberadaan hutan juga memiliki

efek yang global. Ini berarti, keberadaan hutan di suatu negara juga

memiliki efek bagi seluruh wilayah, seluruh negara yang ada di seluruh

dunia. Reduction Emission on Deforestation and Degradation (REDD)

misalnya, bertujuan untuk membuat hutan tetap lestari dengan

menyewakan lahan hutan alami bagi negara yang mempunyai kelebihan

kapital di negara yang kekurangan kapital untuk mengelola hutan di

negara kekurangan kapital dengan lebih efektif, walaupun pada akhirnya

program REDD mendapatkan banyak kritikan karena kurang tepat dan

efektif dalam menangani permasalahan hutan lestari. Ternyata diperlukan

suatu strategi baru di luar konsep yang selama ini diajarkan mengenai

pembatasan wilayah kerja pada isu wilayah imajiner karena ternyata

terdapat banyak isu di luar konteks tersebut. Isu ini tentunya

membutuhkan cara pandang yang berbeda. Untuk itulah dibutuhkan unit

analisis yang memiliki cara pandang berbeda tersebut dan concern

Page 12: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

12

terhadap permasalahan ini secara utuh. Penulis mengambil aktor

transnasional yang dalam hal ini adalah organisasi masyarakat sipil

internasional (OMSI dalam bahasa Indonesia atau International Civil

Society Organization disingkat ICSO dalam bahasa Inggris) yang

memiliki fokus terhadap isu lingkungan khususnya isu pemberdayaan

hutan lestari yaitu WWF.

2. WWF menginginkan agar isu-isu lingkungan juga diperhatikan di dalam

hubungan internasional. Buktinya, proyek-proyek organisasi yang semula

berasal dari Eropa Barat ini ternyata juga tidak hanya dilakukan di Eropa

Barat, namun juga di luar Eropa Barat, bahkan hingga ke Kalimantan

pada tahun 2003. Salah satu isu yang sedang mereka perjuangkan

sekarang terkait dengan pelestarian lingkungan adalah program sertifikasi

kayu yang mereka coba terapkan di seluruh dunia terutama di kawasan-

kawasan hutan dunia yang memang rentan terhadap pengrusakan. Salah

satu alasan utama pengrusakan hutan adalah pembiaran terhadap

penebangan liar atau ilegal. Sertifikasi kayu terkait dengan usaha untuk

mempertemukan tiga titik utama penyebab kerusakan hutan; (a)

kegagalan manajemen hutan oleh pemerintah, (b) kegagalan manajemen

hutan oleh masyarakat melalui perusahaan dan masyarakat sendiri

dengan menebang hutan secara ilegal, dan (c) kegagalan organisasi

pemberdayaan masyarakat untuk memberdayakan masyarakat akan

pentingnya perjuangan isu pelestarian hutan. Dengan sertifikasi kayu,

diharapkan masing-masing elemen dapat dengan lebih gencar

memperjuangkan isunya masing-masing. Namun, benarkah demikian?

Bagaimana WWF menghadapi pertanyaan ini terkait dengan sertifikasi

kayu dan ide-nya untuk mempertemukan tiga kepentingan yang ada?

3. Selain di Kalimantan, program serupa yang dilakukan oleh WWF juga

terjadi di banyak negara karena mengingat masalah hutan adalah masalah

transnasional. Sebagai contoh, dalam buku yang dirilis oleh WWF

sendiri—yaitu oleh divisi khusus WWF yang menangani proyek ini,

Global Forest and Trade Network (GFTN)—mereka menyebutkan secara

implisit wilayah-wilayah hutan di negara mana yang akan mereka

Page 13: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

13

jalinkan hubungan antara negara, perusahaan, dan konsumen untuk

diberikan informasi pentingnya melaksanakan sertifikasi hutan karena

memang menguntungkan. Dalam gambaran tabel yang berisikan daftar

negara-negara yang merupakan sumber dari kayu ilegal25

, dijelaskan

mengenai negara-negara mana saja yang menjadi sumber dari produksi

kayu ilegal dengan memaparkan prosentasi terhadap produksi kayu yang

berasal dari negara masing-masing. Dimulai dari kawasan Eropa Timur:

Estonia, Latvia, dan Rusia; Afrika: Kamerun, Guinea Ekuatorial, Gabon,

Ghana, Liberia; Asia Pasifik: Cina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini;

Amerika Latin: Brasil, Ekuador, Peru; walaupun tentu saja data-data ini

belum mencakup semua negara-negara termasuk dari wilayah asal WWF.

Namun, informasi terbaru yang penulis peroleh dari WWF GFTN

menyebutkan bahwa GFTN telah berkembang di lebih dari 30 negara di

dunia;26

(1) Afrika: negara-negara di Afrika Tengah (Kamerun dan

Republik KoICSO), dan Ghana; (2) Asia Pasifik: Australia, Cina,

Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Vietnam; (3) Eropa: Austria, Belanda,

Belgia, Bulgaria, Inggris, Jerman, Perancis, Portugal, Rumania, Rusia,

Spanyol, Swedia, dan Swiss; (4) Amerika Latin dan Karibia: Bolivia,

Brasil, Peru, dan negara-negara Amerika Tengah dan Karibia (Belize, El

Salvador, Guatemala, Honduras, Kosta Rika, Nikaragua, Panama, Puerto

Riko, dan Republik Dominika); (5) Amerika Utara: (disebutkan berbagai

perusahaan). Ternyata, program serupa juga terjadi di Brasil, negara

dengan daerah hutan hujan tropis terbesar di dunia. Permasalahannya pun

sama dengan Indonesia, hutan hujan di Brasil juga mengalir dan banyak

mengalami kerusakan di wilayah sekitar sungai Amazon yang berada di

lintas batas negara dengan laju pengrusakan yang tidak kalah cepat. Di

sekitar daerah aliran sungai Amazon, terdapat sekitar 22 juta warga

Brasil yang menggantungkan hidup dari hutan yang menunjukkan bahwa

permasalahan hutan di Brasil adalah permasalahan sosial dengan

25

Frank Miller, Rodney Tailor, dan George White, Keep It Legal, (WWF, Juli 2006), hlm. 6. 26

Diakses dari http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/, diakses pada Minggu, 11 Oktober 2009,

pukul 18.40.

Page 14: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

14

kepelikkan yang besar.27

Oleh karenanya, hutan di sekitar kawasan

Amazon haruslah dikelola secara lestari. Di Brasil, GFTN WWF juga

menerapkan hutan lestari dengan menggunakan sertifikasi kayu.

Tujuannya sama, untuk mencegah terjadinya penebangan ilegal. GFTN

WWF memberikan penyuluhan dan bekerjasama dengan institusi

pemerintah yang juga sudah memiliki program sertifikasi kayu sendiri

dan elemen-elemen penting dalam produksi dan konsumsi kayu agar

menggunakan kayu yang berasal dari penebangan yang legal dan

berkelanjutan. GFTN WWF Brasil tentunya menjadi semacam pengawas

internasional yang bertujuan untuk menekankan kembali pentingnya

penerapan sertifikasi hutan di hutan Brasil. Beberapa data mutakhir

menunjukkan sudah ada tujuh perusahaan dan 30 perusahaan keluarga

yang berhasil menyelamatkan hutan seluas 16.122 hektar dengan kayu

yang diperdagangkan mencapai 3% dari keseluruhan kayu nasional

dengan nilai mencapai US$ 46 juta.28

WWF ternyata memang memiliki

fokus yang besar bagi perjuangan isu pelestarian hutan di seluruh dunia.

5. Di wilayah ini, ternyata tidak hanya WWF yang berkeja, namun banyak

sekali OMSI yang juga melakukan kerjanya di sini. Hutan Kalimantan

sangat penting sehingga menarik beberapa OMSI besar seperti

Greenpeace. Greenpeace memiliki program pengawasan pengelolaan

hutan. Program mereka lebih bersifat kampanye yang dilakukan dan

ditujukan kepada masyarakat. Salah satu program kampanye mereka

adalah ―Melindungi Hutan Alam Terakhir di Dunia (MHATD)‖. Sebagai

contoh kasus, pembukaan hutan untuk menggantinya dengan pohon

kelapa sawit dengan menggunakan cara-cara dan ketentuan yang telah

distandarkan (melalui sertifikasi) telah lama ditentang oleh Greenpeace.

Greenpeace bukan menentang keberadaan sertifikasi kayu tersebut,

namun Greenpeace menentang keberadaan sertifikasi kayu yang hanya

27

Diakses dari

http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:w5VXJkts7a8J:assets.panda.org/downloads/gftn_bra

zil_factsheet_aug2009.pdf+gftn+brazil&hl=id&sig=AFQjCNGGLloJ-A2gjTkVcQrhdGNzy-hJIw,

diakses pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 19.00. 28

Diakses dari

http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=Brazil&countryi

d=30, diakses pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 18.34.

Page 15: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

15

digunakan sebagai tameng untuk memperoleh pasar. Sebagai contoh,

pasar Eropa yang merupakan salah satu tujuan utama ekspor kelapa sawit

Indonesia, yang sudah menerapkan penerimaan impor hanya jika sudah

memiliki sertifikat kayu yang baik dan benar. Pada kasus pencegatan

kapal yang akan bergerak dari Dumai menuju Rotterdam yang akan

membawa kelapa sawit dari perusahaan Sinar Mas, Greenpeace

mencurigai bahwa kelapa sawit yang dibawa adalah sebenarnya bukan

melalui sertifikasi kayu yang seharusnya.29

Perusahaan yang

memproduksi 10% dari produksi kelapa sawit nasional Indonesia itu

dituduh telah melakukan deforestasi besar-besaran di Kalimantan dan

Sumatera dengan tujuan untuk membuka lahan bagi perkebunan sawit.

Mereka menyerang dan memperingatkan kepada perusahaan dan

pemerintah untuk mengelola hutan secara lestari, bukannya melalui cara-

cara yang mereka anggap tidak memenuhi kelayakkan sertifikasi kayu.

6. Dari sisi sertifikasi kayu itu sendiri, seberapa pentingkah sertifikasi kayu

dalam proses penyelematan hutan dan membangun hutan lestari? Salah

satu penggagas dan perintis utama dari sertifikasi kayu adalah OMSI

yang bernama Foreign Stewardship Council (FSC) yang didirikan

semenjak pertemuan Konferensi Dunia yang membahas Pembangunan

Berkelanjutan di Rio De Janeiro, Brasil pada tahun 1992.30

FSC sendiri

didirikan pada Oktober 1993 di Toronto, Kanada, dengan dihadiri lebih

dari 130 partisipan dari 26 negara. Hingga kini (Juli 2009), semenjak

perumusan prinsip-prinsip sertifikasi kayu, sudah lebih dari 100 juta

hektar hutan di seluruh dunia yang menganut prinsip-prinsipnya. Ini

berarti, dengan luas yang sama ternyata hutan-hutan dapat dikelola secara

lestari di sekitar 82 negara. Sayangnya, hutan Kalimantan belum masuk

dalam wilayah kerja FSC. Dengan belum masuknya hutan Kalimantan,

sebenarnya studi terhadap bagaimana hutan lestari dikelola di

29

Diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/greenpeace-menantang-

rspo-untu, diakses pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 19.20. 30

Diakses dari http://www.fsc.org/history.html?&L=tР―Р‡Р’С—Р’Р…arget%3D_self, diakses

pada Minggu, 10 Oktober 2009, pukul 20.10.

Page 16: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

16

Kalimantan terutama dengan menggunakan sertifikasi kayu dari WWF

masih perlu diperdalam.

1.5. Kerangka Konsep

Karena tulisan ini akan membahas tentang peran ICSO yaitu WWF

dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Maka penulis harus menerangkan

terlebih dahulu ICSO sebagai International Civil Society Organization (mungkin

lebih sering dikenal sebagai INGO atau International Non-Governmental

Organization) atau transnational actor. Istilah ini dipakai untuk menghindari

pandangan bahwa hanya negara aktor legal di dunia ini, sedangkan yang lain

adalah aktor ilegal. Arti dari transnational actor sendiri adalah aktor yang berada

di luar lingkup negara dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi peluang

dan kemungkinan kebijakan yang diambil oleh negara tersebut.

Ada beberapa kategori sehingga aktor pantas disebut sebagai

transnational actor. Pertama, aktor tersebut harus dapat menjalankan fungsi

penting dan berkelanjutan, terutama memiliki pengaruh dalam hubungan antar

negara. Kedua, aktor tersebut harus dipandang berpengaruh, baik besar maupun

kecil, oleh pengambil keputusan luar negeri dan turut mempengaruhi kebijakan

luar negeri negara yang bersangkutan, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Ketiga, aktor tersebut memiliki derajat kemandirian atau otonomi dalam

merumuskan dan menentukan kebijakan dan keputusannya.31

Transnational

actors kemudian dibagi lagi ke dalam dua kategori yaitu International

Governmental Organization (IGO) dan International Non-Governmental

Organization (IICSO). IGO kemudian mewakili kepentingan dan kebijakan

negara-negara yang menjadi anggota secara formal, sedangkan IICSO (atau ICSO)

merupakan perwakilan kelompok-kelompok non-pemerintah. IICSO atau ICSO

kemudian dapat dibagi lagi kedalam beberapa bagian, diantaranya Non-Profit

Organizations (NPO), Private Voluntary Organizations (PVO), Voluntary

31

Curul Ann Cusgrove dan Kenneth J. Twitchett, The New International Actors: The UN and the

EEC, (London: Macmillan, 1970).

Page 17: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

17

Organizations (VA), Peoples Organizations (PO), Grassroots Support

Organizations (GSO), dan Membership Support Organizations (MSO).32

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi keikutsertaan IICSO dalam

politik lingkungan global. Pertama, keahlian anggota IICSO dalam pengetahuan

dan pemikiran inovatif tentang isu-isu lingkungan global yang diperoleh dari

spesialisasi isu berdasarkan negosiasi. Kedua, dedikasi mereka terhadap tujuan

yang melebihi keterbatasan negara atau kepentingan sektoral. Ketiga, perwakilan

dalam undang-undang yang substansial dalam negara mereka yang menarik

perhatian dan terkadang mempengaruhi sistem pemilihan umum di negara

tersebut.33

Pada negara-negara industri, mayoritas ICSO yang berperan secara

aktif dalam politik lingkungan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu organisasi yang

berafiliansi dengan ICSO Internasional yang memiliki cabang ke beberapa negara;

organisasi nasional besar yang secara khusus memfokuskan pada isu lingkungan

domestik; institusi penelitian yang memiliki pengaruh dari studi-studi yang

dipublikasikan dan proposal-proposal isu yang ingin ditindaklanjuti.34

Ketika sudah dijelaskan dan diakui bahwa ICSO adalah salah satu aktor

legal di dunia ini, maka konsep yang harus dibahas selanjutnya adalah hubungan

di antara negara (public sector), pasar (bussines) dan ICSO (civil society). Ros

Tennyson dan Luke Wilde menjelaskan bahwa partnership (kerjasama) menjadi

jalan yang baik bagi ketiganya untuk saling berhubungan, dimana setiap aktor

kemudian mempunyai peran berbeda-beda yang saling melengkapi satu sama lain.

Dengan bekerja sama, keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pihak

justru bisa lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerjasama, selain itu

setiap pihak pasti mendapatkan keuntungan (dua arah/win-win solution).35

Partnership yang dimaksud oleh Tennyson dan Wilde disini adalah

aliansi dua atau lebih aktor yang saling berkomitmen untuk bekerjasama untuk

melaksanakan sebuah proyek pembangunan berkesinambungan (sustainable

32

Daniel S. Papp. Contemporary International Relations, 5th

Edition. New York: McMillan

Publishing Company, 1984, hlm. 86-87. 33

Peter Willets, ―Transnational Actors and International Organizations in World Politics‖, dalam

John Bayts dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction Relations,

(Oxford: Oxford University Press, 1997). 34

Ibid. 35

Ros Tennyson dan Luke Wilde, The Guiding Hand – Brokering Partnership for Sustainable

Development, The United Nations Staff College & The Prince of Wales Business Leaders Forum,

2000, hlm. 7-14.

Page 18: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

18

development) dimana masing-masing anggotanya saling berbagi resiko dan

keuntungan, meninjau hubungannya secara berkala dan merevisi hubungan

partnership jika memang diperlukan. Kerjasama ini dapat terjadi baik dalam level

lokal maupun global (ICSO). Lantas bagaimana partnership yang sukses dapat

tercipta? Terdapat 4 karakteristik kunci dalam dalam menciptakan partnership

yang sukses dan efektif, yaitu memegang prinsip keterbukaan dan kesetaraan;

saling berbagi resiko dan keuntungan; beradaptasi dengan baik terhadap

perubahan; dan bekerja menuju empowerment.

Konsep berikutnya yang juga perlu diterangkan adalah penebangan atau

pembalakan liar. Penebangan liar dijelaskan ke dalam beberapa definisi:

1. Menebang tanpa otoritas dari taman nasional atau konservasi

perlindungan.

2. Menebang tanpa otoritas.

3. Menebang karena kelebihan otoritas.

4. Kegagalan dalam melaporkan aktivitas penebangan untuk menghindari

pembayaran royalti atau pajak.

5. Kesalahan klasifikasi dari spesies atau menaksir di bawah harga dengan

sengaja (deliberate undervaluation).

6. Penyimpangan terhadap perjanjian perdagangan internasional seperti

Convention on International Trade and Endangered Species (CITES).36

Food and Agricultural Organization (FAO) Persatuan Bangsa-Bangsa

mendefinisikan penebangan liar sebagai ―Aktivitas penebangan kayu yang gagal

bertanggung jawab terhadap hukum-hukum dan norma-norma nasional dan

subnasional yang mengatur masalah penebangan tersebut.‖37

Laporan dari FAO

ini kemudian disimpulkan menjadi definisi dari penebangan liar yaitu

penebangan baik tanpa maupun kelebihan otoritas atau dengan tujuan

menghindari pembayaran penuh dari royalti, pajak, atau biaya.

Penebangan liar mempunyai dampak lingkungan, sosial dan ekonomi,

seperti:

36

Overview of Pembalakan liar, Jaakko Pöyry Consulting, hlm. 1. 37

Guertin, Pembalakan liar: Overview and Possible Issues in the UNECE Region, diakses dari

http://www.unece.org/trade/timber/docs/sem/2004-1/qweb.pdf.

Page 19: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

19

1. Penebangan liar yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan hutan,

biodiversitas dan ekosistem serta merusak kestabilan pendapatan

masyarakat lokal.

2. Produk-produk illegal dalam pasar menyebabkan kompetisi tidak jujur

bagi mereka yang menaati dan tunduk pada hukum.

3. Penebangan liar yang tidak terkontrol menyebabkan praktek-praktek

korupsi yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan.38

Konsep terakhir yang akan dijelaskan adalah mengenai sertifikasi kayu.

Sertifikasi kayu merupakan salah satu solusi yang dipikirkan oleh ICSO

lingkungan untuk mempertemukan penggunaan hutan bagi kesejahteraan umat

manusia dengan keberadaan hutan sebagai penyangga lingkungan. Pembalakan

liar dipandang sebagai salah satu penyebab terbesar terjadinya deforestasi hutan

yang membahayakan keberadaan hutan itu sendiri. Walaupun memang benar

hutan yang dideforestasi menandakan adanya penggunaan hutan bagi perjuangan

kesejahteraan manusia, namun deforestasi yang tidak wajar lambat laun juga akan

memberikan ketidakberlanjutan hutan itu sendiri sebagai tempat manusia untuk

memperoleh kesejahteraannya. Ditambah nilai yang tidak dapat tidak dipedulikan

begitu saja yaitu rusaknya lingkungan yang tentunya akan semakin memperburuk

kualitas hidup manusia dan makhluk hidup lain di muka bumi.

Pada awalnya para ICSO lingkungan ini menunjukan perlawanannya

terhadap perdagangan kayu internasional karena dinilai bertanggung jawab atas

terjadinya pengurangan jumlah hutan alami di dunia. Kampanye dilakukan dengan

cara melarang atau memboikot kayu-kayu tersebut. Lama kelamaan mereka

menyadari bahwa perdagangan kayu tidak akan menjadi berbahaya atau justru

membahayakn bagi peningkatan kesejahteraan manusia jika dilarang tanpa alasan

yang jelas asalkan kayu yang diperoleh dengan jaminan berasal dari hutan-hutan

yang dikelola secara berkelanjutan (sustainably managed forests). Fokus pun

berubah menjadi pembentukan sistem sertifikasi kayu yang akan membantu pasar

mengerti akan tambahan indikator mengenai perlunya mengelola hutan secara

berkelanjutan (sustainably managed forests) terutama yang berhubungan dengan

38

Loc. Cit, Overview of Pembalakan liar, hlm. 1.

Page 20: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

20

penggunaan kayu. Tujuannya adalah untuk menggunakan insentif dari pasar

(market-based incentives) dan kerelaan untuk patuh (voluntary compliance).39

Sertifikasi kayu kemudian diartikan sebagai sebuah proses yang hasilnya

terkandung dalam sebuah pernyataan tertulis untuk menjadi bukti asal dari bahan

baku kayu tersebut serta status/kualifikasinya, terkadang diikuti dengan validasi

oleh sebuah pihak ketiga yang bersifat independen (independent third party).

Sertifikasi didesain untuk memperkenankan pesertanya untuk mengukur praktek

pengelolaan hutan mereka terhadap standar yang ada serta untuk menunjukkan

kepatuhan terhadap standar tersebut. Sertifikasi hutan juga dapat digunakan untuk

memvalidasi tipe apapun dari klaim lingkungan yang dibuat oleh seorang

produsen, atau untuk memberikan pernyataan fakta yang objektif tentang produk

kayu dan hutan asalnya yang secara normal tidak diperlihatkan oleh produsen atau

perusahaan manufaktur.40

Natural Resources Defense Council mengartikan

sertifikasi kayu sebagai usaha untuk melindungi hutan dari praktek-praktek

penebangan yang sifatnya merusak. Sertifikasi kayu ditujukan sebagai segel/cap

atas penerimaan, maksudnya adalah untuk memberitahukan konsumen bahwa

produk kayu tersebut berasal dari hutan yang dikelola sesuai dengan standar

lingkungan dan sosial.41

Penyadaran atau pemberian informasi dilakukan terlebih

dahulu dari sisi permintaan karena terdapat beberapa asumsi yang mengatakan

bahwa produsen amat sangat tergantung dengan tren penggunaan yang sedang

berkembang dari sisi konsumen.

Sertifikasi kayu pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama:

sertifikasi kemampuan manajemen hutan (certification of sustainability of forest

management) dan sertifikasi produk. Sertifikasi manajemen hutan meliputi

inventarisasi hutan (forest inventory), manajemen penanaman (management

planning), silviculture, penebangan (harvesting), konstruksi jalan, dan aktivitas

terkait lainnya, termasuk dampak-dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari

aktivitas hutan. Dalam sertifikasi produk kayu-kayu gelondongan dan produk-

39

Ghazali Baharuddin, Timber Certification: An Overview, diakses dari

http://www.fao.org/docrep/v7850e/V7850e04.htm#Timber%20certification:%20an%20overview

pada hari Senin, 19 Oktober 2009 pukul 15.09 WIB. 40

Ibid. 41

Natural Resources Defense Council, Good Wood: How Forest Certification Helps the

Environment, diakses dari http://www.nrdc.org/land/forests/qcert.asp#7 pada hari Rabu, 21

Oktober 2009 pukul 13.57 WIB.

Page 21: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

21

produk kayu olahan dilacak lewat fase yang berurutan dari rantai produksi (supply

chain). Sertifikasi manajemen kemudian mengambil tempat di dalam negara asal,

sedangkan sertifikasi produk mengambil tempat meliputi rantai produksi domestik

dan pasar ekspor.42

Biaya untuk sertifikasi secara teoritis dapat dibagi ke dalam

dua kategori umum. Pertama, biaya tambahan untuk meningkatkan manajemen

hutan melalui pelatihan dalam level unit manajemen untuk mencapai standar

sertifikasi. Kedua, biaya dari sertifikasi itu sendiri termasuk latihan manajemen

untuk penaksiran atau pemeriksaan keuangan, serta biaya untuk mengidentifikasi

dan mengawasi rantai pengamanan (chain of custody).43

Biaya dimungkinkan

akan menjadi salah satu penghambat bagi pelaksanaan sertifikasi kayu ini

terutama oleh perusahaan yang hanya mengutamakan kepentingan profit daripada

kepentingan keberlanjutan usahanya karena kayu yang diperoleh dari penebangan

liar akan memudahkan hutan cepat habis dan membuat usaha bisnis mereka

menjadi cepat selesai. Untuk membantu meringankan biaya, biasanya ICSO yang

bergerak memperjuangkan sertifikasi kayu akan menggunakan strategi mengelola

keuangan dunia dimana dia akan menghimpun dana dari bagian lain dunia yang

lebih kaya untuk dijadikan dana bantuan bagi proses sosialisasi dalam bentuk

pemberian manajemen sertifikasi kayu kepada perusahaan secara gratis melalui

pelatihan dan workshop. Mereka juga dapat menekan pemerintah untuk kembali

menggunakan pajak untuk kayu-kayu yang terdaftar bagi peningkatan kualitas

manajemen perusahaan kayu yang pada akhirnya akan semakin memperkecil

pengeluaran perusahaan pada proses sertifikasi kayu.

1.6. Asumsi

Asumsi merupakan seperangkat kondisi yang melingkupi batasan-

batasan dari cakupan permasalahan dan hipotesis, dan merupakan titik awal untuk

melakukan analisa yang keberlakuannya tidak akan diuji dalam tulisan ini.

42

Loc. Cit, Timber Certification: An Overview dan Timber Certification Defined, diakses dari

http://www.rainforestinfo.org.au/good_wood/tcrt_def.htm pada hari Senin, 19 Oktober 2009 pukul

15.12 WIB. 43

Loc. Cit.

Page 22: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

22

1. Degradasi lingkungan berupa pembalakan liar merupakan salah satu

ancaman yang melewati batas-batas negara dan mengancam integritas

ekonomi dan sosial.

2. Hutan Kalimantan merupakan salah satu entitas lingkungan yang terkena

degradasi terburuk yang diakibatkan oleh kepentingan ekonomi dan

politik, aktor negara dan korporasi.

3. Karena aktor negara dan korporasi cenderung mengutamakan

kepentingan ekonomi dan politik dengan mengeksploitasi sumber daya

alam, maka diperlukan solusi global yang dapat mempertemukan

kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan ekonomi dan politik,

yaitu sertifikiasi.

4. Aktor negara berperan dalam membuat kebijakan yang dapat mengikat.

Korporasi berperan dalam memanfaatkan lingkungan sebagai roda

penggerak perekonomian. Tetapi sampai pada level tertentu dibutuhkan

aktor IICSO untuk mendukung negara dan mengawasi korporasi dalam

penanganan persoalan lingkungan global.

5. Semua komponen yang ada, baik negara, korporasi, ICSO internasional,

maupun ICSO lokal, harus dapat merasakan permasalahan yang sama

agar dapat terbentuk kerjasama untuk dapat mencapai tujuan, yaitu

pemanfaatan lingkungan yang bersifat jangka panjang dengan

memperhatikan pemberdayaannya.

1.7. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan kunjungan dan wawancara secara langsung

dengan anggota atau pengurus WWF dan Departemen Kehutanan sebagai sumber

primer. Studi pustaka (buku dan internet) sebagi sumber sekunder, contohnya

dokumen-dokumen mengenai penebangan kayu di hutan Kalimantan. Makalah ini

dikerjakan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif eksploratif. Adapun

penggunaan metode kualitatif ini didasarkan pada penggunaan teknik wawancara

langsung sebagai sumber utama dan memadukannya dengan triangulasi dengan

studi pustaka untuk menambah keabsahan dari data primer. Sedangkan untk

Page 23: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

23

menjawab permasalahan menggunakan teknik eksploratif, yang didasarkan

dengan penggunaan kata tanya bagaimana.

1.8. Sistematika Penulisan

Bab I pada makalah ini akan membahas mengenai latar belakang masalah,

yang lalu dibagi menjadi pembahasan mengenai permasalahan hutan di tingkat

global, keadaan hutan di Indonesia, kemunculan aktor Non-Governmental

Organization (ICSO) atau Civil Society Organization (CSO) Internasional dalam

permasalahan lingkungan global, serta pembahasan mengenai kerusakan hutan di

Kalimantan.

Bab II, yaitu bab Pembahasan, akan membahas mengenai peran IICSO

WWF dalam merealisasikan sertifikasi hutan di Kalimantan. Pada bab ini, penulis

akan memaparkan usaha-usaha dan langkah-langkah yang telah ditempuh WWF

sehubungan dengan realisasi sertifikasi hutan Kalimantan, dalam berhadapan

dengan pihak pemerintah dan korporasi.

Pada Bab III, yaitu bab Penyajian Data, penulis akan mencoba

menjelaskan signifikansi langkah WWF dengan memaparkan data-data kondisi

hutan Kalimantan sebelum dan sesudah realisasi sertifikasi hutan.

Bab IV, merupakan bab Kesimpulan, di mana penulis akan mencoba

merangkum dan menegaskan kembali peran WWF sebagai IICSO lingkungan

dalam memperjuangkan pentingnya isu social development—dalam hal ini isu

lingkungan—dalam perkembangan hubungan internasional.

Page 24: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

24

BAB II

PEMBAHASAN STRATEGI WWF

2.1. Gambaran Umum Strategi WWF dalam GFTN

Melalui mekanisme Global Forest and Trade Network (GFTN) yang

dilakukannya, WWF bekerja dengan melakukan lobbying terhadap para pemegang

kekuasaan (key stakeholders) mengenai perubahan-perubahan yang harus

dilakukan untuk mengurangi penebangan ilegal dan deforestasi.44

Selain bekerja

dengan melobi pemerintah, WWF juga melakukan lobbying dengan kalangan

bisnis sebagai usahanya mempromosikan produk kayu bersertifikasi demi

mengutangi praktik penebangan kayu ilegal. Adapun, WWF lebih sering

melakukan lobbying dengan kalangan bisnis dibanding dengan pemerintah. Hal

tersebut dikarenakan mekanisme GFTN (yang menitikberatkan pada

pembangunan jaringan perdagangan bagi produk kayu bersertifikasi) lebih

44

WWF, UK-FTN, Abouth the UK-FTN.

http://www.wwf.org.uk/what_we_do/safeguarding_the_natural_world/

forests/forest_trade_network/about_the_uk_ftn.cfm, diakses pada 21 November 2009, pukul

06.03.

Page 25: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

25

mengacu ke arah perdagangan, ranah yang lebih diminati bagi kalangan bisnis.

Selain melakukan lobbying, WWF juga mengembangkan strategi networking yang

bertujuan untuk memperkuat jaringan sertifikasi kayu global.

Adapun cara kerja lobbying dan networking dalam meningkatkan

sertifikasi hutan dapat dijelaskan dalam bagan di atas.45

Cara kerja ini dibagi ke

dalam empat langkah penting. Pertama, dengan pemberian bantuan teknis dan

peningkatan kesadaran yang dilakukan oleh ICSO, baik lokal maupun

internasional; pemerintah, baik melalui Departemen Kehutanan, departemen

lainnya, maupun oleh pemerintah daerah, dan oleh pihak pemberi sertifikat seperti

Smartwood dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) terhadap masyarakat, industri,

dan pemerintah. Kedua, melalui perluasan pasar, investasi, dan berbagai insentif

lainnya dimana pasar, investasi, dan insentif yang ada mendukung terlaksananya

sertifikasi kayu sehingga memaksa produsen kayu di Indonesia dan pembeli kayu

dari luar Indonesia untuk menerima konsep sertifikasi kayu. Langkah kedua ini

diperoleh setelah langkah pertama dilaksanakan dimana langkah pertama akan

menumbuhkan perilaku untuk menerima sertifikasi kayu di pasar. Adapun

langkah ketiga yaitu pembeli kayu dari negara-negara yang menjalin dagang

dengan Indonesia mengubah kebiasaannya untuk menerapkan sertifikasi kayu

dalam perilaku dagang mereka. Para pembeli ini pada akhirnya diharapkan hanya

mau menerima kayu yang bersertifikat. Diharapkan, negara-negara inilah yang

kemudian akan terjalin masuk ke dalam jaringan negara-negara bersertifikat kayu

internasional yang di WWF disebut sebagai GFTN. Ketiga langkah ini pada

akhirnya akan memaksa produsen kayu di Indonesia untuk mengubah langkahnya

untuk memproduksi kayu dengan menggunakan sertifikat kayu. Langkah

keempat adalah dengan selalu mengembangkan cara yang inovatif untuk

mengelola bagaimana sertifikasi kayu ini dilaksanakan misalnya dengan

menambahkan indikator transparansi baik pada saat melakukan tracking jejak

perdagangan kayu, pengelolaan dana, dsb., yang diimplementasikan pada langkah

pertama dan penekanan langsung pada produsen kayu negara asal, Indonesia

misalnya.

45

E. Meijaard, et.all, Panduan bagi Praktisi; Mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di

Indonesia, Studi Kasus di Kalimantan Timur. (Samarinda, Indonesia: The Nature Conservancy,

2006), hal. 20.

Page 26: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

26

WWF juga menerapkan strategi yang sama dengan yang dipaparkan

melalui GFTN. Strategi WWF dalam makalah ini akan dibahas dalam dua strategi

besar yaitu lobbying (melobi) dan networking (membuat jejaring). Dalam langkah

pertama disebutkan bahwa diberikan penyuluhan dan peningkatan pemahaman

kepada produsen kayu di Indonesia dan kepada pasar internasional mengenai

perlunya penerapan sertifikasi kayu dalam aktivitas penggunaan kayu dari hutan.

Proses ini akan disebut sebagai proses lobbying dimana WWF akan terus

menggunakan strategi ini untuk menyadarkan dan meningkatkan pemahaman

mereka pada sertifikasi kayu kepada para stakeholder seperti pemerintah,

perusahaan, dan masyarakat dan networking dimana WWF akan terus berusaha

membangun jaringan yang akan semakin memperkuat keberadaan isu sertifikasi

kayu yang mereka perjuangkan juga kepada para stakeholder yaitu pemerintah,

perusahaan, dan masyarakat. Jika dianalogikan secara sederhana dan hitam putih,

lobbying akan seperti bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman akan

sertifikasi kayu, dan networking bertujuan untuk meningkatkan kuantitas

pengguna sertifikasi kayu. Baik lobbying dan networking dalam sertifikasi kayu

adalah suara-suara yang sebenarnya menyuarakan sebuah isu yang sengaja

diadakan oleh WWF agar para stakeholder mau memperhatikan pengelolaan

hutan secara lestari. Walaupun isu ini sengaja diadakan (karena WWF sendiri

memiliki status sebagai organisasi pemberdayaan lingkungan), isu ini memang

benar-benar ada dan perhatian terhadap isu ini harus lebih diadakan. Hutan lestari

adalah suatu konsep yang sangat mendesak untuk direalisasikan karena

keberadaannya yang amat memiliki dampak positif bagi kelestarian dan

keseimbangan alam.

2.2. WWF Melobi

2.2.1. Strategi WWF dalam Lobbying dengan Pemerintah

Hutan Kalimantan berada di wilayah yang secara politis diisi oleh tiga

negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia. Tingkat pengawasan

termasuk pelaksanaan sertifikasi yang lemah oleh ketiga negara yang seharusnya

bertanggung jawab menyebabkan hutan Kalimantan mengalami tingkat

deforestasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Untuk melaksanakan program

Page 27: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

27

penyelamatan hutannya, WWF mengembangkan strategi untuk melobi pemerintah

ketiga negara secara nasional dan pemerintah lokal atau daerah agar lebih

memperhatikan hal-hal yang dianggap kecil dan sepele seperti pengawasan dan

pelaksanaan sertifikasi yang sudah seharusnya dilaksanakan dengan lebih ketat.

a. Strategi WWF Melobi Pemerintah Nasional

Dari ketiga negara yang memiliki wilayah hutan di Kalimantan, hanya

Brunei Darussalam yang memiliki porsi wilayah hutan yang kecil. Brunei

Darussalam juga dalam beberapa data yang penulis temukan tidak memiliki

cabang WWF yang mengurusi mengenai GFTN yang mengindikasikan bahwa

WWF belum memiliki fokus yang besar terhadap pengelolaan hutan di Brunei

Darussalam dan lebih memilih untuk menempatkan cabangnya yang sama-sama

mengurusi kepengurusan hutan di Kalimantan di dua negara yang memiliki

jumlah kawasan hutan terbesar, Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian, ada

beberapa rekam jejak perjalanan WWF dalam melobi pemerintah ketiga negara

untuk benar-benar melakukan tanggung jawab mereka secara optimal kepada

hutan Kalimantan.

Menurut dara dari Global Forest Watch (GFW), Kalimantan mengalami

tingkat deforestasi hutan hujan tropis terburuk nomor tiga di Indonesia setelah

Sulawesi dan Sumatera pada periode tahun 1985-1997 dengan tingkat deforestasi

sebanyak 25% bila dibandingkan dengan Sulawesi sebanyak 29% dan Sumatera

28%.46

Namun bila dihitung dari segi luas wilayah hutan yang hilang, Kalimantan

menduduki posisi pertama dengan jumlah lahan yang mengalami deforestasi

sekitar sepuluh juta hektar dimana kini hutan kalimantan (Indonesia) hanya tersisa

55% dari keseluruhan total wilayah.47

Bila menggunakan prediksi dari GFW

bahwa hutan Indonesia mengalami deforestasi sebanyak dua juta hektar per tahun,

tidak dipungkiri memang sesuai dengan pendapat dari Bank Dunia bahwa pada

tahun 2010 hutan di Kalimantan akan lenyap.48

Sebelum itu terjadi, tiga negara di

kawasan ini dengan difasilitasi oleh WWF pada tahun 2007 mencanangkan

program besar bernama Heart of Borneo (HoB) untuk’menyisakan’ hutan di

46

Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Keadaan Hutan Indonesia, (Bogor: Forest

Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, 2001), hlm. 12. 47

Ibid. 48

Ibid., hlm. 10.

Page 28: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

28

Kalimantan sebanyak 22 juta hektar dengan 12,6 juta hektar (57%) berada di

wilayah Indonesia.49

Tampaknya akan lebih menarik jika membahas mengenai HoB ini karena

walaupun ketiga pemerintahan masing-masing negara sama-sama memiliki

komitmen setelah ditandatanganinya proyek itu untuk melindungi hutan

Kalimantan, namun terdapat suatu pertanyaan besar bagi penulis mengenai

perbedaan kelakuan masing-masing pemerintahan. Satu hal yang perlu dikritisi

adalah sikap Pemerintah Indonesia yang justru hanya menjadi satu-satunya

pemerintahan dari ketiga negara yang membiarkan hutan Kalimantan tergerus

secara besar-besaran hingga tercapainya kawasan HoB di tahun 2020. Bayangkan

saja, dari total hutan Indonesia di Kalimantan pada tahun 2005 sebanyak 20 juta

hektar (data WWF), akan direncanakan ada sekitar 7,4 juta hektar hutan

Kalimantan yang akan hilang kembali hingga tahun 2020. Keadaan ini akan

terlihat kontras dengan keadaan komitmen Pemerintah Brunei Darussalam dan

Malaysia yang justru mengurangi sangat sedikit wilayah hutannya yang akan

hilang hingga tahun 2020 (kembali lihat gambar 1 mengenai realisasi dan prediksi

pengrusakan hutan di Kalimantan 1900-2020). WWF sebenarnya sudah

menyadari adanya kejanggalan ini. Walaupun demikian, WWF tidak hanya tetap

melobi Pemerintah Indonesia saja, namun juga kedua pemerintahan lain yaitu

Pemerintah Brunei Darussalam dan Pemerintah Malaysia karena melihat

kenyataan bahwa alur perdagangan kayu ilegal di Kalimantan masih terjadi di

dalam lingkup tiga negara terutama antara Indonesia dan Malaysia.

Salah satu pertemuan yang penting yang diadakan oleh WWF untuk

memfasilitasi ketiga negara membicarakan masalah HoB dan pengembangan

solusi pencapaian HoB ini adalah Pertemuan Ilmiah mengenai Heart of Borneo

yang diadakan di Brunei Darussalam dengan tajuk Three Countries One

Conservation Vision pada 5-6 April 2005.50

Pertemuan ini dihadiri oleh 150

perwakilan baik dari pemerintah maupun institusi nonpemerintah dan perwakilan

diplomatik dari Association of South East Asian Nations (ASEAN), United

49

Ambrosius Harto, ―70 Persen Heart of Borneo Kaltim Hutan Produksi‖, dalam Kompas, Kamis,

04 Oktober 2007, diakses dari http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0710/04/170054.htm,

pada Sabtu, 30 Mei 2009. 50

WWF, Heart of Borneo: Three Countries One Conservation Vision. (WWF: Brunei Darussalam,

dapat diakses di www.wwf.org).

Page 29: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

29

Nations Educational, Scientifical, and Cultural Organization (UNESCO), Wildlife

Conservation Society (WSC), the Nature Conservancy (NC), International

Tropical Timber Organization (ITTO), the International Union for the

Conservation of the Nature and Natural Resources (IUCN), the Wildlife Trade

Monitoring Network (TRAFFIC), dan sebagainya. Dalam pertemuan itu masing-

masing perwakilan ketiga negara menyampaikan pernyataannya mengenai

perlindungan bersama hutan di Kalimantan. Pemerintah Brunei Darussalam

misalnya, melalui pernyataan Menteri Industri dan Sumber Daya Alam Primer

Brunei Darussalam memprioritaskan untuk mewujudkan one vision yang

dimaksudkan harus adanya perhatian pada peran tiga aktor yaitu masyarakat,

perusahaan, dan pemerintah itu sendiri pada HoB.51

Fokus ini dapat dituangkan

dalam berbagai strategi riil yang mampu mengarahkan fokus untuk lebih

memperhatikan kelestarian hutan yang bertujuan untuk benar-benar

merealisasikan HoB dimana Brunei Darussalam condong untuk lebih

menerapakan ekoturisme bagi pemanfaatan HoB dengan mendukung pelestarian

terhadap keberadaan HoB,52

yang mana mengenai ekoturisme ini tidak akan

dibahas lebih lanjut pada makalah ini. Pemerintah Indonesia sendiri masih

dikhawatirkan keberlanjutannya untuk dapat merealisasikan proyek konservasi ini

karena keberadaan tanda tanya besar pada otorisasi pengelolan hutan di kawasan

Kalimantan. Menurut akademisi dari Universitas Mulawarman dalam pertemuan

itu, lahan-lahan yang telah habis dibabat setelah adanya otonomi daerah mulai

banyak dilirik untuk dijadikan kawasan hutan kelapa sawit.53

Betapa ironis di

tengah semakin canggihnya peradaban manusia yang dapat mengembangkan

teknologi biologis untuk memulihkan ekosistem yang telah rusak dengan lebih

cepat dan aliran dana dari institusi internasional yang demikian melimpah untuk

mengembangkannya. Perwakilan Pemerintah Malaysia yang diwakili oleh

Departemen Kehutanan Negara Bagian Sabah mengatakan bahwa untuk

mengurangi laju deforestasi akibat pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan

diperlukan suatu bentuk pencegahan penyebaran agar hutan yang tidak terkelola

secara berkelanjutan secara minimal tidak menyentuh kawasan konservasi yang

51

Ibid., hlm. 9. 52

Ibid., hlm. 10. 53

Ibid., hlm. 17.

Page 30: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

30

telah direncanakan bersama, HoB.54

Perwakilan Malaysia tersebut mencontohkan

dengan mengelola hutan memakai sertifikat kayu seperti pada 55.000 hektar

kawasan hutan di Deramakot. Dalam pertemuan tersebut, WWF sendiri

menawarkan solusi sertifikasi kayu dan mengajak para stakeholder terutama

pemerintah ketiga negara untuk lebih menunjukkan komitmennya dalam

mengkoordinasikan para stakeholder di negara masing-masing misalnya dalam

ikut serta program sertifikasi kayu GFTN WWF.

Lebih lanjut mengenai lobi yang dilakukan WWF ini ternyata

memberikan beberapa keberhasilan seperti dengan dikeluarkannya sebuah sistem

sertifikasi independen bagi semua produk kayu ekspor oleh Departemen

Kehutanan Indonesia. Sejak September 2009, semua produk kayu yang diekspor

ke luar negeri haruslah disertifikasi oleh badan usaha independen dan representatif

ICSO.55

Adapun keberadaan sertifikasi produk kayu Indonesia ini dimaksudkan

agar produk kayu Indonesia dapat bersaing secara kompetitif dengan produk kayu

negara lain, sekaligus untuk mengurangi praktik penebangan kayu ilegal di

Indonesia yang ternyata sangat disadari merugikan keuangan pemerintah.

Dari peran pemerintah negara lain di luar kawasan hutan Kalimantan

sendiri ternyata sangat efektif dalam membantu WWF untuk lebih leluasa melobi

pemerintah yang memiliki kawasan hutan Kalimantan untuk melakukan sertifikasi

hutan. Lobi terhadap pemerintah negara-negara di luar kawasan hutan Kalimantan

seperti dari negara-negara yang sudah mulai menyadari pentingnya penggunaan

sertifikasi kayu bagi kelestarian lingkungan adalah dari Uni Eropa, Jepang, dan

mulai berkembangnya isu ini di Amerika Serikat dan Cina dimana negara-negara

tersebut memiliki aktivitas perdagangan kayu terbesar dengan Indonesia; ternyata

juga tidak terlepas dari adanya aktivitas lobi organisasi serupa misalnya dari

WWF terhadap pemerintah di negara-negara tersebut. Buktinya, di wilayah-

wilayah negara tersebut sudah terdapat cabang WWF yang mengurusi GFTN

terutama di hampir seluruh negara-negara Uni Eropa selain tentunya di Jepang,

Amerika Serikat, dan Cina. Ditambah lagi dengan baru saja munculnya regulasi

54

Ibid., hlm. 28. 55

Malam Sambat Kaban yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan Indonesia

menyampaikan hal tersebut, lihat ―Indonesia to Clean Up Timber Exports‖, http://www.illegal-

logging.info/ item_single.php?it_id=3522&it=news, 21-11-2009, 07.57

Page 31: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

31

dari Pemerintah Amerika Serikat pada bulan Mei 2009 yang memberlakukan

Undang-Undang Lacey Act dan parlemen Uni Eropa yang telah membahas

pemberlakuan regulasi serupa; keampuhan strategi lobbying WWF di negara-

negara tersebut terutama dari Amerika Serikat telah membantu untuk lebih

mengampuhkan strategi lobbying WWF terhadap pemerintah negara-negara yang

memiliki hutan di pulau Kalimantan. Regulasi dari Amerika Serikat dan Uni

Eropa itu sendiri mensyaratkan produk-produk perkayuan yang memasuki negara-

negara tersebut harus dapat membuktikan legalitas asal-usulnya melalui

sertifikasi,56

yang tentunya akan menjadi ancaman bagi industri kayu di negara-

negara yang tidak melaksanakan sertifikasi kayu namun mengekspornya ke

Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya.

Selain itu, akibat beberapa lobi ini, Pemerintah Indonesia sebagai contoh

melakukan perundingan bilateral mengenai masalah kehutanan dengan negara-

negara yang menjadi mitra dagang kayunya yang terbesar, diantaranya,57

1. Perundingan Bilateral Indonesia – Inggris

Pada tahun 2002 Pemerintah Indonesia dan Inggris menandatangani

Memorandum of Understanding (MoU) yang didasarkan pada komitmen

sebelumnya di perundingan negara-negara G8 mengenai perdagangan

kayu ilegal dan pembalakkan liar dunia untuk kemudian melalui MoU

tersebut kedua negara berkomitmen untuk mengimplementasikan

kesepakatan:

a. kedua pemerintah harus mengidentifikasikan secara jelas

permasalahan pembalakkan liar dan perdagangan yang melibatkan

kayu-kayu hasil pembalakkan liar tersebut dalam setiap langkah untuk

mereformasi pengelolaan hutan termasuk dalam menerapkan

manajemen pengelolaan hutan yang lebih baik.

b. kedua pemerintah harus mengembangkan sistem pengecekkan

verifikasi dan jalur perdagangan kayu ilegal tersebut dalam rangka

membasmi pembalakkan liar dengan fokus utama di Indonesia.

56

―RI Diminta Antisipasi Lacey Act‖, diakses dari

http://www.indonesia.go.id/id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=8861, pada

tanggal 19 November 2009, pukul 21.41 WIB. 57

Arnoldo Contreras-Hermosilla, Current State of Discussion and Implementation Related to

Pembalakan liar and Trade in Forest Products, (Roma: FAO), hlm. 27-31.

Page 32: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

32

c. Pemerintah Inggris akan membantu menyediakan dukungan teknis

dan dana dalam melaksanakan proses identifikasi dan pengecekkan

verifikasi dan jalur perdagangan kayu ilegal.

d. kedua pemerintah akan bekerjasama untuk mendukung keberadaan

dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengelolaan manajemen hutan

lestari yang dimaksudkan.

e. adanya data yang dikembangkan bersama-sama dimana masing-

masing negara bersedia untuk saling tukar-menukar data aktivitas

perdagangan kayu diantaranya untuk membuka informasi dalam

memantau aktivitas perdagangan kayu.

f. mengimplementasikan kesepakatan ini ke dalam tubuh hukum

nasional masing-masing negara dengan menyediakan wadah

koordinasi mengenai pengembangan lebih lanjut kesepakatan agar

dapat lebih memperhatikan ruang prasyarat hukum nasional yang

diajukan.

g. kedua negara harus memberikan penyuluhan kepada industri kayu

untuk menggunakan dan meICSOlah kayu secara legal.

2. Perundingan Bilateral Indonesia – Norwegia

Pada bulan Agustus 2002, Indonesia dan Norwegia juga sepakat untuk

mewujudkan pengelolaan hutan Indonesia dengan lebih lestari dimana

Norwegia secara tentatif bersedia untuk memberikan bantuan

pengembangan dan penerapan reformasi kebijakan, hukum, dan regulasi

Indonesia dalam rangka memberangus pembalakkan liar.

3. Perundingan Bilateral Indonesia – Jepang

Pada bulan Juni 2003 Indonesia dan Jepang menandatangani kesepakatan

untuk memberangus keberadaan pembalakkan liar dengan termasuk tidak

melakukan perdagangan yang di dalamnya terdapat kayu hasil

pembalakkan liar. Kedua belah pihak sama-sama membangun beberapa

rencana aksi yang memiliki poin,

a. untuk memberantas pembalakkan liar terutama dalam menghasilkan

kayu baik yang dilegalisasi maupun tidak perlu dikembangkan di baik

Indonesia maupun Jepang suatu sistem verifikasi yang lebih baik.

Page 33: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

33

b. merangsang keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penciptaan

hutan lestari terutama dalam mencegah terjadinya pembalakkan liar

dan untuk ikut serta dalam memonitor implementasi dari sistem

verifikasi yang telah dikembangkan oleh kedua negara.

c. adanya pembukaan data perdagangan oleh kedua belah pihak untuk

dapat lebih memantau dan mengendalikan aktivitas dagang yang

melibatkan kayu hasil pembalakkan liar.

d. adanya tindakan kolaboratif dari dua negara untuk dapat terus

memperbaiki kerjasama dan kesepakatan agar dapat terus

mengaplikasikan kesepakatan ini dengan dinamika yang ada dan

tentunya dapat diterapkan dalam hukum nasional.

e. diperlukan adanya pembangunan sumber daya manusia di kedua

negara agar terjadi proses implementasi sistem yang lebih baik.

4. Perundingan Bilateral Indonesia – Cina

Pada akhir tahun 2002, Indonesia membangun kesepakatan dengan Cina

melalui MoU dimana Cina merupakan importir terbesar kayu dari

Indonesia. Mereka sepakat untuk memerangi pembalakkan liar dengan

meningkatkan kesepakatan dan kesepahaman dalam pengembangan

hukum perdagangan yang lebih sesuai dengan keinginan untuk

memerangi pembalakkan liar. Beberapa poin dalam pembahasan MoU

adalah,

a. memerangi perdagangan ilegal yang membawa kayu hasil

pembalakkan liar termasuk di dalamnya yang membawa spesies flora

dan fauna langka dengan berdasarkan kepada kesalingpenghormatan,

kesetaraan dan keuntungan mutual, dan terutama untuk menjaga

keberlanjutan sumber daya hutan.

b. meningkatkan penggunaan hukum dalam memberantas pembalakkan

liar.

c. meningkatkan kesadaran di antara kedua belah pihak mengenai

pentingnya untuk menjaga hutan secara lestari terutama jika dikaitkan

dengan masa depan lingkungan dan kebajikan dari kehidupan sosial

dan ekonomi.

Page 34: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

34

d. membuat dan mendukung praktik kehutanan yang adaptif terhadap

pengelolaan hutan secara lestari.

5. Perundingan Bilateral Indonesia – Amerika Serikat

Pada 28 Juli 2003, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan the

President’s Initiative agaisnt Pembalakan liar yang memfokuskan

pembalakkan liar di tiga wilayah; (a) Basin KoICSO, (b) Basin Amazon

dan Amerika Tengah, dan (c) Asia Selatan dan Asia Tenggara. Inisiatif

ini diadakan dengan didasarkan pada empat pilar; (a) good governance,

membangun kapasitas negara untuk lebih memperhatikan manajemen

hutan lestari termasuk dalam perangkat hukum, (b) community-based

action dimana dalam manajemen hutan harus melibatkan peran

masyarakat sipil, (c) tehnology transfer, adanya aliran teknologi untuk

lebih meningkatkan kemampuan dalam peICSOntrolan dan pemantauan,

dan (d) harnessing market forces dimana diperlukan bangunan pasar

yang transparan, adanya praktik bisnis yang baik, perdagangan yang legal,

dan kapasitas negara dalam mengimplementasikan untuk ikut mengawasi

proses yang ada termasuk dalam mengimplementasikan kesepakatan

antarnegara yang telah dicapai sebelumnya ke dalam aktivitas

perdagangan riil di lapangan. Inisiatif ini juga bekerja di Indonesia dalam

bentuk kerjasama bilateral antara Amerika Serikat dengan Indonesia.

Misalnya, Indonesia mendapatkan bantuan keungan dalam kegiatan

internal Indonesia untuk mendukung empat pilar yang disuarakan oleh

Amerika Serikat ini.

b. Strategi WWF Melobi Pemerintah Lokal atau Daerah di Kalimantan

Selain pemerintah pusat, WWF juga melobi pemerintah daerah yang di

Indonesia memiliki kekuasaan yang cukup penting dalam melakukan otorisasi

kebijakan akibat adanya otonomi daerah. WWF melobi semua pemerintah

provinsi yang ada di keempat provinsi di Kalimantan. WWF juga mengadakan

berbagai workshop bagi pemerintah daerah di kawasan ini mengenai manajemen

hutan yang berkesinambungan, keuntungan dari sertifikasi, dan berbagai aspek

sosial dari sertifikasi. Strategi lobi yang dilakukan oleh WWF terhadap

pemerintah daerah Indonesia di wilayah Kalimantan ada yang menunjukkan

Page 35: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

35

respon positif seperti yang terjadi pada Pemerintah Daerah Kalimantan Timur.

Keberhasilan lobi WWF ini ditunjukkan dengan ditandatanganinya

Memorandums of Understanding (MoU) untuk meningkatkan kesadaran

lingkungan melalui perencanaan eko-regional.58

Penandatangan MoU ini

menunjukkan intensi pemerintah daerah untuk mendukung usaha WWF dalam

memerangi praktik penebangan ilegal melalui penggunaan sertifikasi kayu dalam

mekanisme GFTN. WWF juga membantu pemerintah daerah Kalimantan Timur

dalam sebuah usaha capacity-building dengan menyediakan Geographic

Information System, sebuah sistem pelatihan bagi para perencana kehutanan pada

tingkat distrik dan provinsi.59

Selain itu workshop yang Sosialisasi Program Sertifikasi Pengelolaan

Hutan Produksi Lestari juga dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Barat.

Workshop ini menarik untuk dicermati karena diselenggarakan tidak hanya oleh

WWF tetapi juga bekerjasama dengan Dinas Kehutanan RI dan Asosiasi

Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Kalimantan Barat. Workshop ini

merupakan salah satu strategi lobbying WWF yang bertujuan untuk menekankan

kembali komitmen propinsi Kalimantan Barat dalam sertifikasi kayu. Di dalam

workshop ini dipaparkan data mengenai krisis ekonomi yang saat ini melanda

negara-negara tujuan ekspor. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan

permintaan terhadap produk kayu. Di Indonesia, volume kayu pada bulan Januari

2008 tercatat sebesar 127.477 m3, sedangkan pada Januari 2009 ekspor kayu

Indonesia hanya 54.571 m3.60

2.2.2. Strategi WWF dalam Lobbying dengan Kalangan Bisnis

Dalam usahanya melobi kalangan bisnis, WWF bekerja sama dengan The

Nature Conservancy (TNC) untuk membentuk Alliance to Promote Certification

and Combat Pembalakan liar (yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai

58

Lusa Tacconi, et.all, Learning Lessons to Promote Forest Certification and Control Pembalakan

liar in Indonesia. (Indonesia: Center for International Forestry Research, 2004), hal.30. 59

Ibid, hal.29. 60

Departemen Kehutanan, ―Ekspor dan Impor Komoditi Kehutanan‖, diakses dari

http://www.dephut.go.id/files/Exim_2008.pdf, pada tanggal 19 November 2009, pukul 20.29 WIB.

Page 36: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

36

Aliansi). Aliansi adalah sebuah inisiatif berjangka waktu tiga tahun yang

bertujuan untuk61

:

1. Memperluas pasar penjualan produk kayu bersertifikat

2. Meningkatkan persediaan produk kayu Indonesia yang bersertifikasi

3. Mewujudkan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest)

4. Mengurangi investasi pada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam

penebangan kayu ilegal di Indonesia

5. Meningkatkan kemampuan industri kayu Indonesia untuk

mengimplementasikan solusi praktis dalam melawan praktik penebangan

ilegal dan dalam pencapaian manajemen keberlangsungan hutan (sustainable

forest management).

Adapun usaha lobbying WWF dengan kalangan bisnis tidak lepas dari

usaha WWF mewujudkan tujuan-tujuan Aliansi. Tulisan ini akan membahas

lobbying WWF dengan kalangan bisnis pada tiga tujuan utama Aliansi. Pertama,

usaha lobbying WWF melalui perluasan pasar penjualan produk kayu bersertifikat.

Kedua, lobbying WWF dengan kalangan bisnis untuk meningkatkan persediaan

produk kayu Indonesia bersertifikasi. Ketiga, lobbying WWF dengan kalangan

bisnis untuk mewujudkan hutan bernilai konservasi tinggi.

1. Perluasan Pasar bagi Produk Kayu Bersertifikasi melalui GFTN

Usaha lobbying juga dilakukan WWF dengan para pengusaha, terutama

yang berkaitan dengan usaha hasil-hasil hutan seperti misalnya pengusaha

furnitur. WWF memberika pengetahuan dasar mengenai sertifikasi kayu dan

manfaatnya kepada perusahaan-perusahaan ini. Usaha lobbying terhadap

perusahaan tidak terlepas juga dari usaha pembangunan jaringan yang akan

dibahas dalam subbab berikutnya karena jaringan yang ada misalnya yang

tergabung dalam GFTN WWF akan memberikan semacam insentif kepada

perusahaan untuk lebih menunjukkan komitmennya mensertifikasikan kayu

mereka.

Beberapa poin dasar mengenai kesepakatan dan prasyarat yang harus

dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang mau mensertifikasi kayunya

sudah dibahas dalam Bab I Pendahuluan mengenai sertifikasi kayu seperti

61

Ibid, hal.19.

Page 37: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

37

dengan memiliki dua komponen utama: sertifikasi kemampuan manajemen

hutan dan sertifikasi produk. Dengan memberikan pengetahuan dasar

misalnya mengenai dua komponen utama sertifikasi kayu melalui beberapa

pelatihan dan edukasi kepada perusahaan, akan banyak perusahaan yang

diharapkan mampu menerapkan pengetahuan yang telah diberikan. Pelatihan

ini tentunya dikenakan biaya dan tentunya biaya untuk melakukan sertifikasi

kayu. Inilah mengapa, untuk mengajak perusahaan bergabung menggunakan

sertifikasi kayu harus diadakan adanya paksaan seperti mengajak unsur yang

dapat memaksa seperti pemerintah dan masyarakat yang pada akhirnya

mampu membuat perusahaan ikut tunduk pada aktivitas sertifikasi kayu.

Perluasan pasar juga dilakukan WWF dengan memfasilitasi hubungan

perdagangan antara perusahaan-perusahaan yang berkomitmen untuk

mendukung terciptanya hutan yang lebih baik. Melalui GFTN, WWF

menciptakan kondisi pasar yang membantu melindungi hutan-hutan dunia,

sambil menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial bagi para pengusaha

yang terlibat di dalamnya.62

Melalui GFTN, WWF mengadakan semacam

pasar untuk jual-beli produk kayu bersertifikat. Adapun pasar ini kini telah

mencakup berbagai belahan dunia, mulai dari Uni Eropa, Amerika Serikat,

Cina, sampai Jepang—empat negara tujuan utama ekspor produk kayu

Indonesia. Adanya pasar kayu bersertifikasi ini menjadi insentif bagi para

eksportir kayu untuk terlibat dalam proses sertifikasi kayu. Pasar ini

sebenarnya semacam jaringan internasional yang akan dibahas lebih lanjut

dalam subbab berikutnya. Penjelasan di dalam subbab ini dimaksudkan untuk

menjadikan jaringan ini sebagai insentif kepada perusahaan dalam strategi

lobbying yang dilakukan oleh WWF.

Pada akhirnya, pengetahuan dan insentif yang diberikan akan membuat

mereka (perusahaan) menolak untuk membeli produk kayu yang tidak

bersertifikasi. Pada sepuluh tahun terakhir, permintaan konsumen akan

produk kayu asal hutan yang dikelola secara berkelanjutan dengan dampak

terbatas terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat asli yang hidup di

62

WWF, About GFTN. http://gftn.panda.org/, diakses pada 21 November 2009, pukul 06.34.

Page 38: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

38

dalam dan di sekitar hutan telah meningkat.63

Permintaan pada produk kayu

bersertifikasi ini lantas menjadi insentif bagi industri kayu untuk melakukan

penebangan secara legal agar produk kayu mereka dapat disertifikasi. Ini juga

terjadi pada para pedagang produk kayu di Indonesia, seperti yang

disampaikan Ambar Tjahyono sebagai Ketua Indonesian Furniture and

Handicraft Association (Asmindo) yang berpendapat sertifikasi merupakan

hal yang penting untuk membuat produk kayu Indonesia menjadi kompetitif

di pasar global64

, karena produk kayu bersertifikasilah yang banyak diminta

di pasar global. Adanya peningkatan permintaan pada produk kayu

bersertifikasi inilah yang, lanjut Ambar, menyebabkan peningkatan jumlah

eksportir produk kayu yang kini menggunakan sertifikasi, yaitu sejumlah

2000 eksportir.65

Peningkatan jumlah eksportir produk kayu bersertifikasi ini

merupakan bukti hasil kerja WWF melalui mekanisme GFTN yang

dijalankannya. Dalam Kalimantan sendiri, Aliansi telah memfasilitasi

hubungan perdagangan antara salah satu eksportir produk kayu bersertifikasi

di Kalimantan, PT Sumalindo Lestari Jaya dan PT Suka Jaya Makmur dengan

sebuah industri furniture terkemuka di Amerika Serikat66

, Home Depot.

2. Peningkatan Persediaan Produk Kayu Bersertifikasi dengan Melibatkan

Kalangan Bisnis

Dalam meningkatkan persediaan produk kayu bersertifikasi, WWF

melibatkan kalangan bisnis, terutama dari industri-industri kayu. Adapun

peningkatan persediaan kayu bersertifikasi ini dilakukan WWF dengan

memberikan bantuan-bantuan teknis pada industri kayu yang tertarik untuk

terlibat dalam proses sertifikasi kayu ini. WWF telah berhasil melobi

berbagai industri kayu untuk memproduksi kayu bersertifikasi dengan cara

melakukan penebangan secara legal dengan tetap memperhatikan unsur

keseimbangan alam. Salah satu industri yang menjadi tujuan usaha lobbying

WWF dan kini telah menjadi salah satu industri kayu bersertifikasi adalah PT.

Suka Jaya Makmur yang merupakan bagian dari Grup Alas Kusuma,

63

E. Meijaard, et.all, op.cit., hal. 17. 64

Jakarta Post, Furniture Companies Seek Wood Certification. http://www.illegal-logging.info/

item_single.php?it_id=2530&it=news, diakses pada 21 November 2009, pukul 08.13. 65

Ibid. 66

Luca Tacconi, op.cit., hal.29.

Page 39: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

39

perusahaan ini memiliki plymill dan konsesi di Ketapang, sebuah daerah di

Kalimantan Barat. WWF Indonesia telah berhasil melobi PT Suka Jaya

Makmur untuk memproduksi produk kayu bersertifikasi sebagai usaha untuk

mengatasi masalah kehutanan di Indonesia. Kini, produk kayu dari PT Suka

Jaya Makmur telah diekspor ke berbagai belahan dunia, salah satunya adalah

ekspor kayu meranti dari perusahaan ini ke Amerika Serikat.67

Dalam

usahanya melobi PT Suka Jaya Makmur, WWF bekerja sama dengan

Tropical Forest Foundation (TFF) dalam menyediakan bantuan perencanaan

penebangan pohon bagi PT Suka Jaya Makmur. Selain memberikan bantuan

perencanaan bagi PT Suka Jaya Makmur, Aliansi juga bekerja sama dengan

LATIN dan Smartwood untuk memberikan training bagi industri yang

terlibat dalam usaha sertifikasi produk kayu, misalnya ketika Aliansi

membantu PT Gunung Gajah Abadi dan PT Sumalindo Lestari Jaya68

—dua

industri produk kayu di Kalimantan—dalam pencapaian sertifikasi produk

kayu mereka.

3. Perwujudan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi dengan Melibatkan Kalangan

Bisnis

Dalam usahanya mendorong produser-produser kayu untuk melakukan

sertifikasi terhadap produk kayunya, WWF Indonesia mendirikan kumpulan

produsen Forest Trade and Network yang dinamakan Nusa Hijau (Green

Archipelago).69

Adapun tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperluas

keanggotaannya untuk meningkatkan persediaan kayu bersertifikasi di

Indonesia. Aktivitas Nusa Hijau ini antara lain berperan dalam perwujudan

hutan bernilai konservasi tinggi dengan membangun jaringan unit eko-

regional pada wilayah yang ditargetkan menjadi wilayah konservasi.

Di Kalimantan sendiri, tepatnya di Kalimantan Timur, hingga kini hanya

terdapat satu hutan bernilai konservasi tinggi yang resmi yaitu konsesi hutan

pada daerah atas Mahakam seluas 50.000 hektar yang dilakukan oleh PT

Sumalindo Lestari Jaya70

, sementara daerah lainnya masih sedang berkutat

67

Down to Earth, Stepwise Approach to Certification Raises Questions.

http://dte.gn.apc.org/59crt.htm, diakses pada 21 November 2009, pukul 06.19 68

Luca Tacconi, loc.cit., hal. 29. 69

Ibid, hal.23. 70

Ibid, hal.42.

Page 40: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

40

dengan legalisasi hutan bernilai konservasi tinggi. Adapun, industri-industri

yang sedang mengajukan permohonan konsesi hutan bernilai konservasi

tinggi di Kalimantan Timur adalah PT Intracawood dan PT Gunung Gajah

Abadi. Adanya permohonan konsesi hutan bernilai konservasi tinggi ini tidak

lepas dari peran WWF melalui Nusa Hijau-nya dalam melobi para industri

kayu untuk ikut berperan dalam penyediaan produk kayu bersertifikasi di

Indonesia. Permohonan konsesi hutan bernilai konservasi tinggi ini juga

membuktikan keberhasilan WWF dalam mengubah persepsi kegunaan hutan

bagi kalangan bisnis, di mana awalnya hutan hanya mempunyai manfaat

konversi menjadi juga memiliki manfaat konservasi.

Pada saat krisis ekonomi ini, penggunaan sertifikasi ekolabel

menguntungkan bagi produsen produk kayu dalam memberikan nilai tambah pada

produknya sehingga mampu menghadapi persaingan memperebutkan pasar yang

semakin terbatas. Contoh konkretnya adalah PT Sari Bumi Kusuma yang

menyatakan bahwa konsesi yang berlokasi di Kalimantan Barat dan telah

memperoleh sertifikat kayu terbukti memberikan keuntungan bagi perusahaan

yang berkomitmen tinggi dalam mewujudkan hutan lestari dimana perusahaan

tersebut tidak mengalami penurunan permintaan di masa krisis seperti ini.71

Dengan bukti ini dan sosialisasi yang dilakukan oleh WWF Indonesia, ICSO ini

berusaha untuk melobi dan meyakinkan perusahaan-perusahaan produk kayu hasil

Hutan Kalimantan agar ikut menjalankan sertifikasi kayu yang mampu membantu

menyelamatkan hutan Kalimantan.

Bisnis kehutanan yang berkelanjutan berawal dari adanya pengelolaan

hutan yang lestari. Sertifikasi kayu merupakan salah satu alat dalam menjaga

kelestarian hutan. Oleh karena itu, perolehan sertifikasi kayu menjadi indikasi

penting sehatnya pengelolaan hutan dan bisnis kehutanan. Pengelolaan hutan

haruslah melibatkan banyak pihak baik dari pemerintah, sektor swasta, lembaga

ilmiah, perguruan tinggi dan masyarakat. Mekanisme kerjasama perlu dibangun

secara sinergis agar hubungan antar pihak dapat tercipta secara positif demi

mencapai tujuan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.

71

―Komitmen Kalimantan Barat Meningkatkan Daya Saing dengan Sertifikasi‖, diakses dari

http://www.wwf.or.id/berita_fakta/pressrelease/?8762/Komitmen-Kalimantan-Barat-

Meningkatkan-Daya-Saing-dengan-Sertifikasi, pada tanggal 18 Oktober 2009, pukul 11.45 WIB.

Page 41: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

41

GFTN juga menawarkan asistensi teknis mengenai proses sertifikasi serta

memberikan peluang pemasaran yang memberikan keuntungan bagi perusahaan

dan masyarakat yang bergantung pada penjualan hasil hutan. Maka, secara umum

GFTN merupakan salah satu inisiatif WWF yang ditujukan untuk menghilangkan

pembalakan liar dan mengelola hutan berkelanjutan melalui proses sertifikasi.72

WWF pun mengembangkan aliansi dengan The Nature Conservancy (TNC) untuk

melobi dan mempromosikan sertifikasi dan memerangi penebangan liar. WWF

pun melakukan inisiatif untuk melobi pasar sehingga dapat memperluas sertifikasi

dan mengurangi penebangan liar dan berusaha untuk meningkatkan pasokan kayu

Indonesia yang telah bersertifikat. Untuk mewujudkan peningkatan permintaan

dan pangsa pasar bagi kayu-kayu yang bersertifikat, maka WWF melakukan

strategi dan pendekatan lobbying terhadap pasar internasional. Cara melobi pasar

adalah dengan meningkatkan kesadaran akan adanya keuntungan lingkungan dari

sertifikasi dan dengan menawarkan produsen dan pembeli untuk bergabung dalam

Jaringan Hutan dan Perdagangan Global (GFTN: Global Forest and Trade

Network).73

2.2.3. Strategi WWF dalam Lobbying dengan Masyarakat

Masyarakat adalah salah satu kelompok dalam organisasi kehidupan

manusia yang memiliki fokus pada isu-isu pembangunan masyarakat. Isu-isu

pembangunan masyarakat ini dianggap lebih memuaskan masyarakat itu sendiri

sebagai kalangan mayoritas dalam organisasi kehidupan manusia daripada

perjuangan isu kapital dan isu kekuasaan yang lebih memuaskan kalangan

minoritas di dalam masyarakat. Oleh karenya, masyarakat yang berdaya akan

sangat memiliki kemampuan untuk dapat menekan praktik-praktik dari kalangan

pengusaha dan pemerintah yang tidak bersahabat dengan alam. Salah satu isu

pemberdayaan masyarakat itu sendiri adalah isu untuk melestarikan lingkungan

alam yang menjadi tempat tinggal dari masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan

72

―GFTN-Indonesia‖, diakses dari

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/kehutanan_spesies/whatwedo/gftnindonesia/inde

x.cfm, pada tanggal 19 November 2009, pukul 21.52 WIB. 73

Luca Tacconi, et.al., ―Proses Pembelajaran (Learning Lessons) Promosi Sertifikasi Hutan dan

Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia‖, diakses dari

www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BTacconi0402.pdf, pada tanggal 20 November

2009, pukul 19.02 WIB.

Page 42: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

42

masyarakat yang diartikan sebagai proses untuk mencerdaskan masyarakat untuk

lebih mengetahui bagaimana seharusnya lingkungan dikelola terutama dalam

mengelola hutan dengan cara lebih lestari sangat dibutuhkan agar masyarakat

tidak ikut kepada suatu tatanan yang dibentuk secara semena-mena oleh

pemerintah dan kalangan pengusaha untuk memuaskan kepentingan minoritas

mereka dan menjadi kalangan elit atau kalangan menengah ke atas.

Namun sayangnya, kebanyakkan masyarakat di kawasan hutan

Kalimantan belumlah berdaya atau sudah berdaya namun belum memiliki suara

yang kuat untuk membentuk organisasi kehidupan manusia yang lebih terhubung

antara masyarakat dan pemerintahnya. Untuk itulah, WWF hadir di sini untuk

melobi masyarakat lokal dan masyarakat di luar kawasan hutan Kalimantan untuk

lebih tanggap terhadap permasalahan hutan Kalimantan dan ikut menerapkan

solusi sertifikasi kayu sebagai salah satu cara utama dalam mengelola hutan secara

lestari di Kalimantan. Bahkan, lobi-lobi yang dilakukan oleh WWF juga banyak

mendapatkan informasi pengetahuan dari aktivitas pengelolaan hutan lestari yang

sudah lebih dahulu diterapkan oleh masyarakat lokal seperti masyarakat Dayak

Kanyah di Kalimantan Timur.

Ada banyak program yang dilakukan WWF baik di rumah pembalakkan

liar itu sendiri maupun di negara lain yang menggunakan hasil pembalakkan liar

untuk melobi masyarakat agar menjadi masyarakat yang tahu, masyarakat yang

berdaya. Salah satu program itu di Indonesia adalah lomba penulisan dan analisis

proyek GFTN WWF yang dilakukan di pulau Kalimantan yang mana lomba ini

dilaksanakan pada tahun 2008. Hadiah lomba ini adalah berkunjung ke kawasan

HoB yang diharapkan dapat menjadi edukasi langsung mengenai pelestarian

lingkungan dengan mendekatkan langsung masyarakat yang sebelumnya awam

tentang pelestarian lingkungan untuk menjadi tahu dan berdaya mengenai

pelestarian lingkungan terutama mengenai usaha-usaha pelestarian hutan

Kalimantan. Selain itu, GFTN juga mengadakan seminar mengenai desain hijau di

Bandung pada 26-29 Juni 2008 lalu untuk meningkatkan pemahaman masyarakat

Indonesia mengenai pentingnya mendesain aktivitas kehidupan manusia yang

hijau dan ramah lingkungan khususnya dalam mendesai rumah dengan

Page 43: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

43

menggunakan kayu yang bersertifikasi.74

Diadakannya seminar ini tidak

dipungkiri dari kenyataan bahwa Indonesia masih membutuhkan pendirian sekitar

1,2 juta rumah baru per tahunnya dan diprediksikan akan terus meningkat dari

tahun ke tahun. WWF juga mengadakan semacam diskusi dengan masyarakat

internasional di diskusi meja bundar mengenai produk kayu yang sudah menjadi

bubur kertas di New York yang banyak mendapatkan masukan dan kritikan yang

sangat membangun persepsi dan pemahaman semua stakeholder (masyarakat juga

terdapat di dalamnya) mengenai hutan lestari dan sertifikasi kayu sebagai salah

satu solusi untuk mewujudkannya.75

WWF menekankan kepada masyarakat di AS

melalui beberapa pelatihan dan workshop edukasi mengenai pentingnya untuk

lterlibat lebih aktif dalam program GFTN terutama mengingat peran AS sebagai

salah satu penyumbang terbesar konsumsi kayu ilegal dunia yang terutama berasal

dari Indonesia, Cina, dan Brasil.76

Jadi, konsumsi kayu AS yang dapat berbentuk kayu dan kertas sangat

kritis dan berpotensi besar untuk mengurangi terjadinya pembalakan liar di

Indonesia, khususnya Kalimantan. Salah satu bentuk komitmen keberhasilan yang

dicapai adalah mulai bergabungnya Perusahaan Wal Mart sebagaimana yang

dijelaskan oleh wakil presiden senior bidang kesinambungan perusahaan itu, ―One

of our goals at Wal-Mart is to sell products that sustain and protect our resources.

By joining the GFTN we can further this goal by providing our customers with a

reliable supply of wood products that come from responsibly managed forests‖.77

Lebih lanjut dia mengatakan komitmennya, ―This is just one way Wal-Mart is

helping our customers save money and live better‖. WWF untuk lebih

merealisasikan keinginan ini bekerjasama dengan organisasi publik seperti

USAID untuk lebih mempromosikan penggunaan kayu bersertifikat kepada

masyarakat AS dimana mereka sama-sama menginginkan agar masyarakat AS

lebih menggunakan barang dan jasa dengan memikirkan nilai-nilai sosial,

74

WWF, GFTN Newsletter October 2008, (diakses dari

http://assets.panda.org/downloads/0975_gftn_newsletter_oct_08_final_1_.pdf, diakses pada

Minggu 22 November 2009 pukul 15.34), hlm. 2. 75

Ibid., hlm. 4. 76

WWF, ―Wal-Mart Joins WWF's Global Forest & Trade Network‖, diakses dari

http://www.illegal-logging.info/item_single.php?it_id=2795&it=news, diakses pada Kamis, 3

Desember 2009. 77

Ibid.

Page 44: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

44

konservasi lingkungan, dan keuntungan ekonomi jangka panjang. Dengan

bergabungnya Wal-Mart dalam misi ini dapat dipastikan akan lebih

memperlihatkan komitmen AS dalam pencegahan penggunaan lebih lanjut

pembalakan liar. Organisasi publik seperti USAID sendiri mengatakan bahwa hal

ini (kerjasama antara organisasi lingkungan, perusahaan, dan kesadaran publik),

―Today's development assistance is about mobilizing the ideas, efforts and

resources of governments, businesses and civil society by forging public-private

alliances that stimulate economic growth, develop businesses opportunities and

address environmental issues.‖78

2.3. WWF Menjaring

Salah satu strategi lain yang dikembangkan oleh WWF untuk

menyelamatkan hutan Kalimantan adalah dengan membangun jejaring global

untuk mendukung program Global Forest Trade Network (GFTN) atau sertifikasi

kayu-nya dari hutan Kalimantan. Pada pertengahan tahun 2007, luas lahan yang

digunakan untuk sertifikasi kayu mencapai 292 juta hektar.79

Dari beberapa mitra

dagang Indonesia dalam aktivitas perdagangan kayu, terdapat empat negara dan

kelompok negara yang menjadi mitra dagang terbesar yaitu: Uni Eropa, Jepang,

Amerika Serikat, dan Cina. Cina sendiri menjadi mitra dagang kayu Indonesia

terbesar. Jika melihat beberapa data yang disuguhkan dari masing-masing negara

yang memiliki jumlah aktivitas perdagangan kayu besar seperti Cina, akan banyak

ditemui beberapa fakta yang semakin mengukuhkan data yang dipaparkan di atas.

Impor kayu Cina sendiri pada tahun 2006 misalnya, sebanyak seperempat yang

dilakukan berasal dari negara-negara pemilik hutan hujan tropis.80

Salah satu

negara pemilik hutan hujan tropis terbesar di dunia adalah Indonesia yang kini

menurun peringkatnya menjadi peringkat ketiga terbesar setelah Brasil, dan

KoICSO akibat laju deforestasi yang demikian besar. Program Heart of Borneo

yang ditawarkan dan diinisiasi oleh WWF sendiri merupakan kerja keras untuk

mempertahankan luas minimal hutan di Kalimantan yang harus dapat

78

Ibid. 79

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Forest Product Annual Market Review: 2006-2007, (New York:

Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2007), hlm. 1. 80

Ibid., hlm. 15.

Page 45: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

45

dipertahankan di tahun 2020 (dapat melihat peta ketersediaan hutan di pulau

Kalimantan pada gambar 1 mengenai realisasi dan prediksi pengrusakan hutan di

Kalimantan 1900-2020), yang tentunya strategi utama untuk mewujudkan impian

ini adalah mempertemukan tiga kepentingan besar tiga aktor: pemerintah,

perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil dengan melakukan sertifikasi kayu

dari hutan-hutan yang tersisa di Kalimantan.

WWF memiliki GFTN yang merupakan perwujudan dari sertifikasi kayu

dengan campuran berbagai strategi untuk mewujudkan sertifikasi kayu. WWF

telah berusaha membangun jejaring global untuk merangsang penggunaan dan

penghadiran sertifikasi kayu ke dalam aktivitas peICSOlahan hutan untuk

mencukupi kebutuhan hidup manusia dari kayu. Kekuatan jaringan diasumsikan

menjadi kekuatan penopang dari terlaksananya ide sertifikasi kayu terhadap hutan

Kalimantan. Beberapa tujuan dari GFTN yang dipromosikan untuk dilakukan

terhadap hutan Kalimantan adalah,

1. mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan

2. usaha memenuhi permintaan kayu lestari dari Indonesia

3. memediasi kesempatan kerjasama produsen dan pembeli yang

berkomitmen tinggi dalam mencapai dan mendukung kegiatan kehutanan

yang bertanggung jawab dalam jaringan pasar global

4. memfasilitasi tercapainya lebih banyak produsen dan manufaktur hasil

hutan tersertifikasi di Indonesia

GFTN mampu menjembatani usaha pelestarian hutan sekaligus

menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial bagi kalangan bisnis serta

masyarakat yang bergantung pada hutan tersebut. GFTN juga mempromosikan

kerjasama antara organisasi non-pemerintah (ICSO) dengan para perusahaan

untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan. GFTN mampu memfasilitasi

perusahaan-perusahaan dalam mengevaluasi pembelian dan pengimplementasian

action plan untuk menjamin bahan baku yang lestari.

Ada beberapa keuntungan dari keikutsertaan suatu perusahaan di dalam GFTN:81

1. Mendapatkan keuntungan substansial, yaitu dari ketersediaan akses

sumber kayu yang terpercaya dan bertanggung jawab

81

―The benefits of GFTN Participation‖, http://gftn.panda.org/about_gftn/benefits/, pada tanggal

18 Oktober 2009, pukul 11.48 WIB.

Page 46: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

46

2. Meningkatkan penerimaan dari para pembeli kayu sehingga perusahaan

tersebut dapat menjual lebih banyak

3. Mendapatkan informasi dan bantuan teknis dalam proses mendapatkan

sertifikasi yang kredibel dan bertanggung jawab

4. Mendapatkan kontak dan jaringan yang membantu perusahaan,

masyarakat, LSM, dan pengusaha memasuki pasar yang baru.

Hal ini dapat dilakukan tidak terlepas dari kuatnya jaringan yang berhasil

dibangun WWF melalui GFTN. Jaringan GFTN ini tersebar di berbagai wilayah

di muka bumi terutama di wilayah yang memiliki kontak langsung dengan

pengrusakan hutan akibat pembalakkan liar dan kontak tidak langsung dengan

menerima hasil pembalakkan liar melalui perdagangan. Sebagaimana sudah

disebutkan di Bab I Pendahuluan dalam informasi terbaru yang penulis peroleh

dari WWF, jaringan GFTN WWF telah berkembang di lebih dari 30 negara di

dunia;82

(1) Afrika: negara-negara di Afrika Tengah (Kamerun dan Republik

KoICSO), dan Ghana; (2) Asia Pasifik: Australia, Cina, Indonesia, Jepang,

Malaysia, dan Vietnam; (3) Eropa: Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Inggris,

Jerman, Perancis, Portugal, Rumania, Rusia, Spanyol, Swedia, dan Swiss; (4)

Amerika Latin dan Karibia: Bolivia, Brasil, Peru, dan negara-negara Amerika

Tengah dan Karibia (Belize, El Salvador, Guatemala, Honduras, Kosta Rika,

Nikaragua, Panama, Puerto Riko, dan Republik Dominika); (5) Amerika Utara:

(disebutkan berbagai perusahaan di Kanada dan Amerika Serikat).

Untuk membahas lebih lanjut mengenai jaringan ini, penulis akan

memaparkan proses singkat GFTN yang dilakukan WWF di salah satu negara

yang mulai aktif mempromosikan penggunaan kayu bersertifikat, Inggris. WWF

Inggris sebenarnya juga berperan sebagai pemimpin utama dalam struktur

pemerintahan di GFTN, bersama dengan negara-negara lain yang bertujuan untuk

mewujudkan penggunaan produk hutan yang lebih bertanggung jawab,

mengurangi penebangan ilegal, dan meningkatkan manajemen hutan di dunia.83

Dalam GFTN, anggota yang tergabung di dalamnya selain berkomitmen untuk

melindungi hutan melalui manajemen hutan dan produk-produk hutan secara

bertanggung jawab, mereka juga berkomitmen untuk melakukan pembelian

82

Diakses dari http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/, op.cit. 83

Ibid.

Page 47: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

47

produk kayu secara bertanggung jawab, yaitu dengan memperhatikan asal kayu

(apakah kayu yang dibeli didapatkan secara legal dan didapatkan dengan

memperhatikan unsur sustainability dari hutan, atau tidak). Di Inggris sendiri,

GFTN telah memiliki lebih dari 40 anggota, mulai dari high street retailers seperti

B&Q, Homebase, dan Sainsburys; perusahaan konstruksi seperti Bovis Lend

Lease dan Redrow Group plc; sampai pada para eksportir kayu seperti Jewson’s

Travis Perkins dan Timbmet.84

Dapat dibayangkan saja ketika GFTN yang mulai

menguat di Inggris ini juga terjadi di seluruh negara yang dibuatkan jaringan oleh

WWF melalui GFTN ini. Program sertifikasi kayu tentunya diharapkan akan

dapat terus berkembang dan terealisasikan ke depannya.

Jaringan GFTN yang diinisiasi dan dikembangkan oleh WWF memiliki

beberapa keunggulan karena menguasai sekitar 53% dari permintaan kayu

bersertifikat di dunia, sementara itu sisanya diperdagangkan oleh perusahaan non–

GFTN (32%), lembaga publik (14%), and pihak lain (1%).85

Keunggulan ini akan

semakin meningkatkan ketertarikan negara-negara terutama perusahaan dan

industri kayu untuk terus meningkatkan program sertifikasi kayunya yang ternyata

mulai menjadi trend di tingkat global dengan WWF menguasai pangsa

pelaksanaannya yang mungkin akan dijadikan semacam cambukan paksaan bagi

stakeholder untuk melakukan sertifikasi kayu. Dengan semakin meluasnya

penggunaan sertifikasi kayu akibat menguatnya jaringan GFTN WWF, sertifikasi

kayu akan menjadi trend global yang tidak dapat dihindari oleh stakeholder yang

menginginkan keuntungan dari penggunaan dan peICSOlahan kayu dunia baik

dari aktivitas kontak langsung dengan hutan maupun aktivitas kontak tidak

langsung.

Hingga kini, telah ada 18 jaringan pembeli kayu hasil Hutan Indonesia,

khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu, terdapat juga jaringan

pembeli di Jepang dan Hong Kong. Sejauh ini, GFTN Indonesia tercatat

mempunyai 38 anggota (27 perusahaan manufaktur hasil hutan dan 11 Unit

84

WWF, Invisible Consequences.

http://www.wwf.org.uk/what_we_do/campaigning/one_planet_homes/

invisible_consequences/, diakses pada 21 November 2009, pukul 06.01. 85

Luca Tacconi, et.al, Loc.Cit.

Page 48: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

48

Manajemen Hutan).86

Pada prinsipnya, setiap anggota GFTN ini diharuskan

membuat rencana aksi untuk menghilangkan kayu dari sumber ilegal dari rantai

perdagangannya dan untuk meningkatkan prosentase kayu yang bersertifikat.

Sejumlah kelompok produsen berada dalam berbagai tahap pengembangan di

Amerika Selatan, Afrika Barat dan Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Pada

saat ini, terdapat sekitar 500 perusahaan yang berpartisipasi dalam jaringan ini.

Perhatian juga diberikan pada pembentukan Forest Trade Network (FTN)

produsen untuk menjamin bahwa pasokan kayu bersertifikat dan kayu legal

bersesuaian dengan permintaan. Jaringan GFTN di Indonesia mengkhususkan diri

pada hutan Kalimantan yang terancam kelestariannya. Mulai meningkatnya

penggunaan sertifikat kayu yang dipromosikan oleh WWF Indonesia melalui

keanggotaan dalam GFTN Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya potensi

keuntungan dari akses yang lebih mudah ke pasar internasional.

Beberapa contoh aktivitas yang dilakukan WWF wilayah kerja Indonesia

terhadap negara lain untuk semakin mendukung penggunaan kayu bersertifikat

dari hutan Indonesia terutama hutan Kalimantan adalah bekerjasama dengan

WWF wilayah kerja Belanda misalnya untuk mempromosikan penggunaan kayu

bersertifikat di negara tersebut. WWF Indonesia dan Belanda melobi dan

mengajak beberapa asosiasi perumahan dari Belanda untuk berkomitmen

menggunakan kayu dari Borneo (Kalimantan) yang bersertifikasi Forest

Stewardship Council (FSC), organisasi internasional yang memberikan label

sertifikat pada kayu, untuk membangun 100.000 rumah di Belanda dalam lima

tahun kedepan.87

Komitmen tersebut dijadikan sebagai bentuk kepedulian yang

besar dari pelaku usaha perumahan di Belanda terhadap pengelolaan hutan

berkelanjutan di Indonesia, khususnya di Kalimantan. Seratus ribu rumah yang

akan dibangun dengan kayu bersertifikasi FSC tersebut mencakup 25 persen dari

total jumlah rumah yang akan dibangun di negeri kincir tersebut. Komitmen ini

dituangkan dalam sebuah deklarasi yang ditandatangi dan diumumkan dalam

86

―GFTN Participants-Indonesia‖, diakses dari

http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=Indonesia&coun

tryid=9, pada tanggal 19 November 2009, pukul 22.10 WIB. 87

―Asosiasi Perumahan Belanda hanya Gunakan Kayu Indonesia Bersertifikat‖, diakses dari

http://www.kompas/202.146.5.33/ver1/Iptek/0703/27/000009.htm, pada tanggal 20 November

2009, pukul 19.04 WIB.

Page 49: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

49

acara Konferensi Jakarta yang diselenggarakan WWF-Indonesia bekerjasama

dengan FSC Belanda. Hingga kini, sedikitnya 38 perusahaan perumahan Belanda

telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi tersebut.88

Pembelian kayu dari hutan-hutan yang dikelola secara berkelanjutan

merupakan sebuah cara membantu mengatasi masalah deforestasi dan degradasi

hutan. Deklarasi yang ditandatangani oleh para pengusaha perumahan dari

Belanda menunjukkan bahwa pasar bagi kayu-kayu bersertifikasi ada dan akan

terus mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini membuktikan

keberhasilan dari promosi dan lobbying yang dilakukan oleh WWF yang pada

akhirnya justru membuat jaringan penggunaan sertifikasi kayu semakin kuat dan

menjadi alat pemaksa bagi industri kayu pada khususnya menggunakan sertifikasi

kayu karena beberapa alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya seperti

menjembatani dan memberikan kesempatan bagi perusahaan peICSOlah dan

produsen kayu dari Indonesia untuk bertemu secara langsung dengan para pelaku

usaha perumahan, industri konstruksi dan peICSOlah kayu, serta ritel pedagang

dari Belanda. Hal ini penting dan berguna untuk menjalin hubungan bisnis

(ekspor-impor kayu) dan mendorong pembelian kayu dari sumber hutan Indonesia,

khususnya Kalimantan yang legal dan lestari. Selain itu, Konferensi Jakarta ini

juga merupakan bagian dari progam kampanye "Building and Borneo", yang

diusung oleh WWF Belanda, FSC Belanda, dan sejumlah pelaku usaha yang

bergerak dalam sektor perumahan di Belanda dengan mottonya adalah renewal

here must not lead to destruction elsewhere (pembangunan di Belanda harusnya

tidak menyebabkan kerusakan di tempat lain).89

Kampanye tersebut bertujuan

untuk memastikan bahwa semua pelaku usaha perumahan sejak sekarang dan

seterusnya akan memilih untuk menggunakan kayu dan produk-produk kayu yang

berasal dari hutan-hutan yang dikelola dengan lestari, seperti yang diusahakan

dalam sertifikasi kayu hasil Hutan Kalimantan.

Konferensi Jakarta ini juga adalah satu dari beberapa acara yang

difasilitasi oleh Program Nusa Hijau WWF-Indonesia atau yang juga dikenal

sebagai Indonesian Forest and Trade Network (IFTN) melalui kerjasama dengan

beberapa mitra lainnya. IFTN adalah bagian dari Global Forest and Trade

88

―Asosiasi Perumahan Belanda hanya Gunakan Kayu Indonesia Bersertifikat‖, Loc.Cit. 89

Ibid.

Page 50: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

50

Network (GFTN), sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mengeliminasi

pembalakan liar dan meningkatkan pengelolaan hutan-hutan yang bernilai tinggi

tetapi sedang terancam kondisinya, seperti Hutan Kalimantan. WWF-Indonesia

bekerja dengan mitra-mitranya untuk meningkatkan pengelolaan hutan yang

lestari di Borneo dan daerah lainnya di Indonesia, yaitu dengan membantu dunia

industri agar mendapatkan sertifikasi hutan yang kredibel. Komitmen dari pelaku

usaha perumahan dari Belanda untuk membeli kayu bersertifikasi FSC dari

Indonesia sejalan dengan upaya IFTN dalam meningkatkan pengelolaan hutan

yang lestari di Indonesia.

2.4. Data Kondisi Hutan Kalimantan Wilayah Indonesia Sebelum dan

Sesudah Realisasi Sertifikasi Kayu Tahun 2003.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dalam

Statistik Kehutanan 2007 disebutkan bahwa luas daratan kawasan hutan di

Kalimantan Barat pada tahun 2007 adalah sebesar 9.101.760 hektar, Kalimantan

Tengah 15.300.000 hektar, Kalimantan Timur 14.651.053 hektar, dan Kalimantan

Selatan 1.839.494 hektar.90

Sedangkan Kementrian Negara Lingkungan Hidup

menunjukkan presentase tutupan lahan hutan dan non-hutan pada tahun 2008,

yang ditunjukkan oleh data di bawah.91

Tabel 1.1

Persentase Tutupan Lahan Hutan dan Non-Hutan 2008 90

Data diperoleh dari Statistik Kehutanan 2007, diakses dari

http://www.dephut.go.id/files/Stat_2007.pdf pada hari Sabtu, 21 November 2009 pukul 14.39 WIB,

hal. 20. Lihat gambar 1 mengenai realisasi dan prediksi pengrusakan hutan di Kalimantan 1900-

2020. 91

Data diperoleh dari Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2008, diakses dari

http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/4_lahandanhutan.pdf pada hari Sabtu, 21 November 2009

pukul 15.01 WIB, hal. 48.

Page 51: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

51

Dari data ini dapat dilihat bahwa presentase tutupan lahan non-hutan di

Kalimantan sekarang sekarang sudah melebihi tutupan lahan hutan disana. Hal ini

membuktikan bahwa di hutan-hutan di Kalimantan semakin berkurang

(deforestasi hutan), tentu saja hal ini bisa dikarenakan beberapa hal. Pertama,

pembukaan hutan sebagai lahan pertanian. Kedua, pembukaan hutan untuk

dibangun rumah sebagai tempat tinggal manusia maupun berbagai prasarana

umum lainnya seperti jalan dan sekolah. Ketiga, kebakaran hutan yang melanda

hutan-hutan di Kalimantan. Terakhir, yang adalah hal paling buruk yang selama

ini diduga menjadi penyebab utama berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan

adalah penebangan kayu liar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.92

Di bawah dilampirkan juga data mengenai klasifikasi dan luas kawasan hutan di

Indonesia dan persentase luas kawasan hutan per pulau di Indonesia tahun 2007

yang diambil dari Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia yang dikeluarkan

oleh Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup tahun 2008.

92

Ibid., hal. 56-57.

Page 52: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

52

Grafik 1.1

Klarifikasi dan Luas Kawasan Hutan di Indonesia93

93

Ibid., hal. 49.

Page 53: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

53

Tabel 1.2

Persentase Luas Kawasan Hutan Per Pulau di Indonesia 200794

Lantas, bagaimana dengan laju deforestasi di Kalimantan? Terdapat dua sumber

data yang diperoleh disini. Pertama, data dari Departemen Kehutanan dari periode

2000-2001 hingga periode 2004-2005. Kedua, data dari Kementerian Negara

Lingkungan Hidup selama periode 2003-2006. Kedua data ini kemudian akan

bersifat melengkapi satu sama lain.

Tabel 1.3

Deforestasi 7 Pulau Besar (termasuk Kalimantan) 2000-200595

94

Ibid., hal 50. 95

Op. Cit., Statistik Kehutanan 2007, hal. 26.

Page 54: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

54

Grafik 1.2

Deforestasi 7 Pulau Besar (termasuk Kalimantan) 2000-200596

Tabel 1.4

Deforestasi di Kalimantan Periode 2003-200697

Keterangan

KSA-KPA : Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

HL : Hutan Lindung

96

Data diperoleh dari Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2007, diakses dari

http://www.menlh.go.id/slhi/slh2007/slhi2007/SLHI_2007_05_lahan&hutan.pdf pada hari Sabtu,

21 November 2009 pukul 15.03 WIB, hal. 111. 97

Op. Cit., Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, hal. 53.

Page 55: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

55

HPT : Hutan Produksi Terbatas

HP : Hutan Produksi

HPK : Hutan Produksi Konversi

APL : Area Penggunaan Lain

Berdasarkan data tersebut, kita dapat membandingkan laju deforestasi sebelum

dan sesudah sertifikasi kayu. Pada periode 2000-2003, yaitu sebelum program

sertifikasi kayu dilakukan, deforestasi di Kalimantan berjumlah 822.100 hektar

dengan rata-rata 274.033,33 hektar/tahun. Sedangkan pada periode 2003-2006,

yaitu sesudah sertifikasi kayu dilakukan, deforestasi di Kalimantan (kawasan

hutan saja) rata-rata 239.045,4 ribu hektar/tahun, dengan total kerusakan sebesar

717.136,2 hektar. Hal ini berarti sesudah diterapkan program sertifikasi kayu,

deforestasi di Kalimantan ternyata berkurang. Namun, apakah benar laju

deforestasi berkurang karena adanya sertifikasi kayu yang bertujuan mengurangi

penebangan kayu liar? Karena bisa saja deforestasi berkurang dikarenakan

berkurangnya populasi yang berakibat pada penurunan permintaan lahan pertanian

dan tempat tinggal. Selain itu deforestasi juga bisa berkurang akibat menurunnya

tingkat kebakaran hutan. Oleh karena itu, kita perlu melihat lebih detail apakah

sertifikasi kayu berdampak pada berkurangnya penebangan liar di Kalimantan.

Tabel 1.5

Penebangan Liar di Kalimantan 2002-200398

98

Statistik Kehutanan 2003, diakses dari

http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/Stat2003/PKA/III4103.pdf pada hari Minggu, 22

November 2009 pukul 08.57 WIB.

Page 56: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

56

Tabel 1.7

Penebangan Liar Tahun 2006-200799

Berdasarkan data diatas, kita dapat membandingkan penebangan liar yang terjadi

di Kalimantan pada periode 2002-2003 yaitu sebelum sertifikasi kayu

diberlakukan dan pada tahun 2006-2007 yaitu data terakhir dimana sertifikasi

kayu sudah mulai dilakukan. Secara keseluruhan dapat terlihat bahwa penebangan

liar yang terjadi di Kalimantan berkurang. Hal ini membuktikan bahwa program

sertifikasi kayu di Kalimantan berhasil mengurangi penebangan liar yang terjadi

di Kalimantan.

99

Statistik Kehutanan 2007 hal. 65 dan Status Lingkungan Hidup 2008 hal. 57.

Page 57: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

57

BAB III

KESIMPULAN

Kalimantan memiliki masalah kehutanan yang cukup parah dengan

menjadi kawasan yang memiliki luas wilayah hutan yang terdegradasi terbesar di

Indonesia untuk kawasan hutan Kalimantan di Indonesia. Tingkat deforestasi di

Kalimantan wilayah bagian Indonesia mulai mengikuti tingkat deforestasi di

pulau Sumatera dan Sulawesi. Banyak alasan yang menyebabkan terjadinya

pengrusakan di wilayah Kalimantan ini terutama karena adanya pembalakkan liar.

Wilayah Asia Tenggara sendiri merupakan salah satu wilayah yang memiliki

kawasan hutan hujan tropis terbesar di dunia, namun belum memiliki kemauan

untuk menekan laju deforestasi terutama dari pembalakan liar. Kawasan ini juga

ternyata belum memiliki inisiatif untuk melaksanakan program sertifikasi hutan

yang disadari memiliki banyak manfaat dan kegunaan terutama untuk mencegah

terjadinya pembalakkan liar. Oleh karenanya, program GFTN WWF diterapkan

pertama kali ke wilayah ini sebagai proyek rintisan untuk melakukan sertifikasi

kayu.

Program sertifikasi kayu terhadap hutan Kalimantan dirasakan sangat

penting dan mendesak untuk segera dilakukan dengan lebih masif karena tanpa

adanya pengelolaan hutan secara lestari, seluruh stakeholders yang sama-sama

terlibat dalam pengelolaan hutan akan mengalami kerugian di masa depan. Tanpa

pengelolaan hutan secara berkelanjutan, pohon yang ada di hutan akan semakin

cepat berkurang dan habis. Hal ini tentunya akan memberikan dampak, pertama,

semakin langkanya kayu yang dapat diperoleh masyarakat. Kedua, masyarakat

belum dapat menemukan substitusi pengganti dari penggunaan kayu dalam

kehidupan sehar-harinya seperti menjadi beberapa elemen penting pembangunan

rumah dan berbagai infrastruktur lain hingga dalam hal menggunakan kertas.

Ketiga, semakin langkanya kayu akan semakin menyebabkan harga kayu semakin

mahal. Mahalnya harga kayu akan menyebabkan selain kayu yang sulit dicari bagi

penopang aktivitas masyarakat yang disebutkan dalam poin kedua, beberapa

aktivitas ekonomi lanjutan dari pengelolaan kayu seperti industri percetakan

hinggan industri distribusi kayu akan mengalami kerugian yang besar karena

Page 58: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

58

anjloknya permintaan mereka akan produk mereka. Keempat, bagi industri hulu

pembuatan kayu yang bersinggungan langsung dengan hutan tentunya dalam

tahap awal pelaksanaan pembalakan liar akan merasa sangat diuntungkan. Namun,

industri mereka akan tidak berjalan dengan lama. Hutan habis, kayu habis,

aktivitas mereka tentunya akan berhenti seketika. Kelima, bagi pemerintah dimana

pemerintah akan kehilangan sumber pajak yang dapat digunakan untuk terus

membangun kegiatan bernegara seperti membiayai beberapa proyek pemerintahan

dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Jika sumber ini

hilang, pemerintah akan semakin sulit untuk mencari pembiayaan dari sumber lain

yang akan semakin memberikan kesulitan bagi pelaksanaan pembangunan.

Dampaknya, pemerintah akan secara politik mendapatkan legitimasi yang kurang

dari warga negara khususnya bagi para politisi seperti presiden hingga legislator.

Mungkin, dampak-dampak yang disinggung dari pembalakan liar dan

pengelolaan hutan secara tidak lestari terkesan hanya menghasilkan dampak

secara domestik. Namun, isu pembangunan berkelanjutan seperti dengan

mengelola hutan secara lestari adalah isu yang bersifat internasional yang berarti

merupakan isu bersama yang dialami oleh semua negara. Memang mungkin tidak

akan terlihat jika manusia masih memakai perspektif berpikir mereka untuk

melihat permasalahan secara domestik dan lebih mementingkan aspek kedaulatan

negara. Di luar batas-batas imajiner negara, manusia tinggal di suatu benda secara

bersama-sama yang bernama bumi. Bumi jika dilihat secara holistik memiliki

segala penyokong yang salah satunya adalah keseimbangan elemen-elemen yang

ada untuk terus dapat menopang kehidupan. Hutan adalah bagian dari penyokong

itu yang melalui pohon-pohonnya dapat memberikan kehidupan kepada manusia

berupa udara yang tidak mematikan, panas yang juga tidak mematikan, dan

sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghidupi aktivitasnya mencari

makanan. Kalimantan adalah salah surga yang menyokong aktivitas itu dimana

hutan hujan tropis ternyata lebih besar dalam membantu menyeimbangkan alam

daripada hutan berjenis lainnya di muka bumi. Aktivitas perdagangan kayu

internasional juga tentunya akan terganggu jika dari sisi penawaran tidak lagi

memberikan penawaran yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan karena

pengelolaan kayu tidak dilakukan dengan berkesinambungan. Ini belum

Page 59: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

59

dipandang dari sisi yang lebih luas yaitu perubahan iklim dan hilangnya

keanekaragaman hayati dunia mengingat hutan hujan tropis menopang sebagian

besar aktivitas ini. Oleh karenanya, hutan terutama hutan Kalimantan memang

pantas untuk disebut penting dan mendesak agar dikelola secara lestari.

Sertifikasi kayu sendiri dilakukan dengan menggunakan dua langkah; (a)

sertifikasi manajemen hutan yang dilakukan di daerah asal terutama berkaitan

dengan bagaimana hutan ditebang dan diolah untuk menjadi kayu, dan (b)

sertifikasi kayu dimana dilakukan di daerah setelah daerah asal terutama berkaitan

dengan aliran perdagangan kayu untuk memonitor dan mengawasi kayu apakah

benar-benar memiliki legalitas. Selain itu, dalam program GFTN diberikan

semacam solusi lanjutan terhadap kritikan akan adanya aliran hanya melalui

proses prosedurisasi legalisasi. Solusi lanjutan ini berupa bentuk pengawasan

yang komprehensif dari awal ketika pohon ditebang untuk menjadi kayu dengan

memenuhi syarat dan prosedur yang telah diterapkan sesuai dengan standar yang

ada hingga ke hilir dimana kayu ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia seperti untuk membangun rumah.

Strategi yang dilakukan oleh WWF untuk merangkul semua aktor yang

terlibat dalam penggunaan kayu agar menggunakan sertifikasi kayu adalah

melalui dua cara; (a) lobbying dan (b) networking. Terdapat empat langkah yang

dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan strategi untuk menggunakan

sertifikasi kayu yang dilakukan dalam tingkat global menurut Meijiaraad. Pertama,

dengan pemberian bantuan teknis dan peningkatan kesadaran yang dilakukan oleh

ICSO, baik lokal maupun internasional; pemerintah, baik melalui Departemen

Kehutanan, departemen lainnya, maupun oleh pemerintah daerah, dan oleh pihak

pemberi sertifikat seperti Smartwood dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

terhadap masyarakat, industri, dan pemerintah. Kedua, melalui perluasan pasar,

investasi, dan berbagai insentif lainnya dimana pasar, investasi, dan insentif yang

ada mendukung terlaksananya sertifikasi kayu sehingga memaksa produsen kayu

di Indonesia dan pembeli kayu dari luar Indonesia untuk menerima konsep

sertifikasi kayu. Langkah kedua ini diperoleh setelah langkah pertama

dilaksanakan dimana langkah pertama akan menumbuhkan perilaku untuk

menerima sertifikasi kayu di pasar. Adapun langkah ketiga yaitu pembeli kayu

Page 60: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

60

dari negara-negara yang menjalin dagang dengan Indonesia mengubah

kebiasaannya untuk menerapkan sertifikasi kayu dalam perilaku dagang mereka.

Para pembeli ini pada akhirnya diharapkan hanya mau menerima kayu yang

bersertifikat. Diharapkan, negara-negara inilah yang kemudian akan terjalin

masuk ke dalam jaringan negara-negara bersertifikat kayu internasional yang di

WWF disebut sebagai GFTN. Ketiga langkah ini pada akhirnya akan memaksa

produsen kayu di Indonesia untuk mengubah langkahnya untuk memproduksi

kayu dengan menggunakan sertifikat kayu. Langkah keempat adalah dengan

selalu mengembangkan cara yang inovatif untuk mengelola bagaimana sertifikasi

kayu ini dilaksanakan misalnya dengan menambahkan indikator transparansi baik

pada saat melakukan tracking jejak perdagangan kayu, pengelolaan dana, dsb.,

yang diimplementasikan pada langkah pertama dan penekanan langsung pada

produsen kayu negara asal, Indonesia misalnya. Strategi WWF yang

dikelompokkan dalam lobbying dan networking mencakup analisis yang

dijelaskan secara umum oleh Meijaraad.

Analisis strategi ini terhadap WWF adalah dalam langkah pertama

disebutkan bahwa diberikan penyuluhan dan peningkatan pemahaman kepada

produsen kayu di Indonesia dan kepada pasar internasional mengenai perlunya

penerapan sertifikasi kayu dalam aktivitas penggunaan kayu dari hutan. Proses ini

akan disebut sebagai proses lobbying dimana WWF akan terus menggunakan

strategi ini untuk menyadarkan dan meningkatkan pemahaman mereka pada

sertifikasi kayu kepada para stakeholder seperti pemerintah, perusahaan, dan

masyarakat dan networking dimana WWF akan terus berusaha membangun

jaringan yang akan semakin memperkuat keberadaan isu sertifikasi kayu yang

mereka perjuangkan juga kepada para stakeholder yaitu pemerintah, perusahaan,

dan masyarakat. Jika dianalogikan secara sederhana dan hitam putih, lobbying

akan seperti bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman akan sertifikasi

kayu, dan networking bertujuan untuk meningkatkan kuantitas pengguna

sertifikasi kayu. Baik lobbying dan networking dalam sertifikasi kayu adalah

suara-suara yang sebenarnya menyuarakan sebuah isu yang sengaja diadakan oleh

WWF agar para stakeholder mau memperhatikan pengelolaan hutan secara lestari.

Kedua strategi ini dilakukan pada tiga elemen sekaligus, yaitu pada pemerintah

Page 61: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

61

(baik lokal maupun nasional), pada kalangan bisnis (eksportir kayu, industri kayu,

dan pemilik usaha yang berhubungan dengan praktik penebangan kayu), serta

pada masyarakat (baik masyarakat lokal tempat penebangan kayu terjadi maupun

masyarakat lain secara keseluruhan). Baik lobbying maupun networking

dilakukan secara dua arah pelaksanaannya dimana penguatan jaringan yang

sebenarnya ditopang oleh lobbying akan membuat proses lobbying menjadi lebih

bekerja. Penggunaan strategi dengan tidak hanya melibatkan pemerintah sebagai

pengambil keputusan, tapi juga dengan melibatkan kalangan bisnis yang turut

berperan dalam meningkatkan praktik penebangan liar di hutan Kalimantan, serta

dengan melibatkan masyarakat yang mengalami kerugian akibat praktik

penebangan liar tersebut, menurut penulis, merupakan langkah yang efektif dalam

memerangi praktik penebangan liar di hutan Kalimantan.

Strategi pertama, melobi, dilakukan WWF pada pemerintah, kalangan bisnis, dan

masyarakat. Pada pemerintah lokal, WWF memberikan berbagai workshop

mengenai manajemen hutan yang berkesinambungan dan keuntungan dari

sertifikasi. WWF juga memberikan sistem pelatihan berupa Geographic

Information System (GIS) bagi para perencana kehutanan pada tingkat distrik dan

propinsi. Tidak hanya itu, untuk semakin mempertegas komitmen pemerintah

daerah dalam mendukung usaha WWF untuk memerangi praktik penebangan liar

melalui penggunaan sertifikasi kayu dalam mekanisme Global Forest Trade

Network (GFTN), WWF juga melakukan penandatangan Memorandums of

Understanding (MoU) dengan pemerintah-pemerintah daerah Kalimantan.

Pada kalangan bisnis, usaha lobbying WWF dilakukan dengan memberikan

insentif pada para pengusaha kayu Kalimantan berupa perluasan akses pada pasar

produk kayu bersertifikasi melalui GFTN. Adapun pasar ini kini telah mencakup

berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Jepang

dan Cina yang kesemuanya tergabung dalam GFTN. Tidak hanya memberikan

insentif berupa akses pada pasar produk kayu bersertifikat, WWF juga

memberikan pengetahuan pada industri-industri kayu di Kalimantan yang tertarik

untuk menerapkan sertifikasi kayu. Adapun pengetahuan yang diberikan adalah

bantuan perencanaan penebangan pohon, pemberian asistensi teknis, dan berbagai

bantuan lainnya sehubungan pelaksanaan penebangan kayu legal di hutan

Page 62: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

62

Kalimantan.

WWF juga melakukan usaha lobbying pada masyarakat. Usaha lobbying

ini dilakukan dengan melakukan lobi terhadap masyarakat dalam Kalimantan dan

masyarakat di luar Kalimantan. Salah satu contoh menarik dilakukan lobi

terhadap masyarakat lokal di dalam Kalimantan adalah mempelajari mengenai

kebudayaan asli Dayak dan memberikan laporannya kepada publik bahwa

ternyata masyarakat ini telah memiliki norma-norma dan peraturan adat yang

sesungguhnya dapat dimasukkan dalam kegiatan pengelolaan hutan secara

berkesinambungan. Selain itu, masyarakat di luar Kalimantan dilakukan dengan

cara memberikan beberapa pelatihan dan edukasi workshop misalnya di Bandung

mengenai cara mendesai rumah hijau dan di New York mengenai pemanfaatan

berkesinambungan kayu yang mereka impor kebanyakan dari daerah yang

mengalami pembalakan liar seperti Indonesia terutama dari Kalimantan. WWF

juga menjalin kerjasama dengan berbagai institusi publik seperti USAID untuk di

AS sendiri untuk membantu memberikan edukasi kepada masyarakat di sana

mengenai pentingnya menggunakan kayu yang bersertifikat dalam rangka

mencapai tujuan bersama akan masa depan lingkungan yang lebih baik.

Strategi kedua, networking, dilakukan WWF melalui usahanya

membangun jejaring global untuk mendukung program GFTN, yang kini sudah

tersebar di berbagai wilayah dunia terutama di wilayah yang memiliki kontak

langsung dengan pengrusakkan hutan akibat pembalakan liar dan kontak tidak

langsung dengan menerima hasil pembalakan liar melalui perdagangan kayu

ilegal. Jaringan GFTN ini sendiri kini sudah tersebar sedikitnya di 30 negara

dunia, mulai dari Benua Afrika, Asia, Eropa, sampai Amerika Latin dan Amerika

Utara (termasuk di dalamnya Amerika Serikat sebagai importir utama kayu-kayu

Indonesia). Dalam GFTN, anggota yang tergabung di dalamnya berkomitmen

untuk melakukan pembelian produk kayu secara bertanggung jawab, yaitu dengan

memperhatikan asal kayu yang dibelinya (apakah kayu tersebut didapatkan secara

legal dengan memperhatikan unsur sustainability hutan atau tidak). Jaringan

GFTN yang diinisiasi oleh WWF ini telah berhasil menguasai pemenuhan

mayoritas permintaan produk kayu bersertifikat di dunia, keberhasilan yang

signifikan dalam usahanya memerangi praktik penebangan kayu ilegal di dunia

Page 63: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

63

pada umumnya, dan di hutan Kalimantan pada khususnya. Strategi lobbying dan

networking yang kemudian gencar dilakukan WWF pada akhirnya mampu

mengurangi praktik penebangan liar di hutan Kalimantan, keberhasilan yang

positif menuju terciptanya hutan Kalimantan yang lestari.

Page 64: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

64

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

________Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Keadaan Hutan

Indonesia. 2001. Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.:

Global Forest Watch.

Ballam, David N. dan Michael Vesseth. 1996. Introduction to International

Political Economy. New York: Prentice Hall International Inc.

Baylis, John dan E.J. Rengger, ed. 1992. Dilemmas of World Politics:

International Issues in a Changing World. Oxford: Clarendon Press.

Contreras-Hermosilla, Arnoldo. Current State of Discussion and Implementation

Related to Pembalakan liar and Trade in Forest Products. Roma: FAO.

Cusgrove, Curul Ann dan Kenneth J. Twitchett. 1970. The New International

Actors: The UN and the EEC.

Meijaard, E. et.all. 2006. Panduan bagi Praktisi; Mengelola Hutan Bernilai

Konservasi Tinggi di Indonesia, Studi Kasus di Kalimantan Timur.

Samarinda, Indonesia: The Nature Conservancy.

Miller, Frank, Rodney Tailor, dan George White.2006. Keep It Legal. WWF, Juli.

Papp, Daniel S. 1984. Contemporary International Relations, 5th Edition. New

York: McMillan Publishing Company.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2007. Forest Product Annual Market Review: 2006-

2007. New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tacconi, Lusa, et.all. 2004. Learning Lessons to Promote Forest Certification and

Control Pembalakan liar in Indonesia. Indonesia: Center for International

Forestry Research.

Tennyson, Ros dan Luke Wilde. 2000. The Guiding Hand – Brokering Partnership

for Sustainable Development. The United Nations Staff College & The

Prince of Wales Business Leaders Forum.

ARTIKEL

Page 65: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

65

________ Pemanfaatan Hutan Tropis yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia.

1991. dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Jakarta: Departemen

Kehutanan.

Myers, N. 1991. ―Tropical Forests and Climate‖, dalam jurnal Climate Change,

Vol. 19, No. 1/2, September.

Nota Informasi FAO: Situasi Sumber Daya Hutan Dunia Dewasa ini. 1990.

Jakarta: Departemen Kehutanan.

Statistik Kehutanan 2007 hal. 65 dan Status Lingkungan Hidup 2008 hal. 57.

Willets, Peter. 1997. ―Transnational Actors and International Organizations in

World Politics‖. dalam John Bayts dan Steve Smith. The Globalization of

World Politics: An Introduction Relations. Oxford: Oxford University Press.

INTERNET

WWF. ―Wal-Mart Joins WWF's Global Forest & Trade Network‖. Diakses dari

http://www.illegal-logging.info/item_single.php?it_id=2795&it=news.

Diakses pada Kamis, 3 Desember 2009.

http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BTacconi0402.pdf.

http://assets.panda.org/downloads/0975_gftn_newsletter_oct_08_final_1_.pdf.

http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:w5VXJkts7a8J:assets.panda.org/do

wnloads/gftn_brazil_factsheet_aug2009.pdf+gftn+brazil&hl=id&sig=AFQj

CNGGLloJ-A2gjTkVcQrhdGNzy-hJIw.

http://dte.gn.apc.org/59crt.htm.

http://gftn.panda.org/.

http://gftn.panda.org/about_gftn/benefits/.

http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=

Brazil&countryid=30.

http://gftn.panda.org/about_gftn/current_participants/gftn_members.cfm?country=

Indonesia&countryid=9.

http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/.

http://gftn.panda.org/gftn_worldwide/.

http://saveourborneo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=109&It

emid=29

Page 66: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

66

http://www.dephut.go.id/files/Exim_2008.pdf.

http://www.dephut.go.id/files/Stat_2007.pdf.

http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/Stat2003/PKA/III4103.pdf.

http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah

Lingkungan.

http://www.fao.org/docrep/v7850e/V7850e04.htm#Timber%20certification:%20a

n%20overview.

http://www.fsc.org/history.html?&L=tР―Р‡Р’С—Р’Р…arget%3D_self.

http://www.gftn.panda.org/gftn_worldwide/asia/indonesia_ftn/indonesia_profile.

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/greenpeace-menantang-

rspo-untu.

http://www.hulusungaitengahkab.go.id/versi3/index.php?option=com_content&vi

ew=article&id=432:awas-luas-hutan-di-kalimantan-cuma-tersisa-

separo&catid=18:pariwisata&Itemid=64.

http://www.illegal-logging.info/ item_single.php?it_id=2530&it=news.

http://www.indonesia.go.id/id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=8

861.

http://www.isai.or.id/?q=node/10.

http://www.kompas/202.146.5.33/ver1/Iptek/0703/27/000009.htm.

http://www.menlh.go.id/slhi/slh2007/slhi2007/SLHI_2007_05_lahan&hutan.pdf.

http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/4_lahandanhutan.pdf.

http://www.nrdc.org/land/forests/qcert.asp#7.

http://www.panda.org/who_we_are/.

http://www.panda.org/wwf_quick_facts.cfm.

http://www.rainforestinfo.org.au/good_wood/tcrt_def.htm.

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/02/21/Utama/ut01.htm.

http://www.unece.org/trade/timber/docs/sem/2004-1/qweb.pdf.

http://www.wwf.or.id/berita_fakta/pressrelease/?8762/Komitmen-Kalimantan-

Barat-Meningkatkan-Daya-Saing-dengan-Sertifikasi.

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/kehutanan_spesies/whatwedo/gft

nindonesia/index.cfm.

http://www.wwf.org.

Page 67: Analisis Peran Wwf Dalam Sertifikasi Kayu Hutan Kalimantan Periode 2003-2009

67

http://www.wwf.org.uk/what_we_do/campaigning/one_planet_homes/

invisible_consequences/.

http://www.wwf.org.uk/what_we_do/safeguarding_the_natural_world/

forests/forest_trade_network/about_the_uk_ftn.cfm.

http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0710/04/170054.htm.

www.wwf.or.id/tentang_wwf/.

http://www.docstoc.com/docs/2949246/Chapter-1-Geologi-dan-Masalah-

Lingkungan.