ANALISIS PENGARUH FINANCING TO DEPOSIT RATIO...
-
Upload
phamnguyet -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of ANALISIS PENGARUH FINANCING TO DEPOSIT RATIO...
ANALISIS PENGARUH FINANCING TO DEPOSIT RATIO (FDR), NILAI
TUKAR RUPIAH (KURS), INFLASI, DAN BI RATE TERHADAP NON
PERFORMING FINANCING (NPF) SEKTOR UKM PADA PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA
(Periode Tahun 2012-2015)
Oleh :
Henry Fajarianto
NIM :109081000157
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(Curriculum Vitae)
Data Pribadi
Nama Lengkap : Henry Fajarianto
Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 1 November 1991
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat :
Telepon : 087885044520
Email : [email protected]
Pendidikan Formal
1997-2003 : SD Swasta Pelita
2003-2006 : SMP Negeri 41 Jakarta
2006-2009 : SMA Negeri 55 Jakarta
2009-2016 :
Pengalaman Organisasi
1. Anggota Kuliah Kerja Nyata Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Anggota Basket Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Anggota Basket SMAN 55 Jakarta
4. Anggota Basket SMAN 41 Jakarta
5. Anggota Pramuka SD Swasta Pelita Jakarta
Keahlian
Komputer : Microsoft Office, Adobe, Internet
Bahasa : Inggris
Jl. Musyawarah No.25 RT.02 RW.01
Kelurahan Ragunan. Kecamatan Pasar Minggu.
Jakarta Selatan. 12550
Program Sarjana (S-1) Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
ABSTRACT
This study aimed to analyze the influence of variables FDR (Financing to
Deposit Ratio), exchange rate (exchange rate), inflation, and the BI Rate to financing
problems (NPF) SME sector in Islamic banking in Indonesia. By using time series
data for each month of the year January 2012 to December 2015. The analysis method
used in this research is multiple linear regression with SPSS version 23 software
applications and Microsoft Office Excel 2010 with statistical science approach to
financing problems of SME sector in Islamic banking the period 2012 to 2015.
The results showed that the variables FDR, exchange rates, inflation and the
central bank jointly Rates significant effect on the financing problems in the SME
sector. Partially exchange rates had no significant effect, while FDR, inflation, and Bi
Rate significant negative effect on financing problems of SME sector in Islamic
banking in Indonesia.
Keywords: FDR, Exchange Rate, Inflation, BI Rate, NPF SME sector
vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari variabel FDR
(Financing to Deposit Ratio), nilai tukar rupiah (kurs), inflasi, dan BI Rate terhadap
pembiayaan bermasalah (NPF) sektor UKM di perbankan syariah di Indonesia.
Dengan mengunakan data time series pada setiap bulannya dari tahun Januari 2012
sampai Desember 2015. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
regresi linier berganda dengan aplikasi software SPSS versi 23 dan Microsoft Office
Excel 2010 dengan pendekatan ilmu statistik terhadap pembiayaan bermasalah sektor
UKM pada perbankan syariah periode 2012 sampai dengan 2015.
Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel FDR, kurs, inflasi dan BI Rates
secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah di
sektor UKM. Secara parsial kurs tidak berpengaruh signifikan, sedangkan FDR, inflasi,
dan Bi Rate berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor
UKM pada perbankan syariah di Indonesia.
Kata Kunci : FDR, Kurs, Inflasi, BI Rate, NPF Sektor UKM
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah banyak memberikan anugerah dan nikmatnya pada diri ini sehingga dalam
menjalani aktivitas dapat berjalan sesuai apa yang diharapkan dan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Dan dengan kekuatan doa dan ijin dari Allah SWT,
akhirnya skripsi ini diberi kemudahan dan kelancaran dalam menyusunnya. Tak lupa
Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw berserta
keluarga dan seluruh pengikutnya sepanjang masa.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Bisnis di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
menyadari sepenuhnya penyusunan skripsi ini bukan merupakan satu hasil dari usaha
beberapa orang, karena manusia adalah makhluk sosial dimana keberhasilan manusia
tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Oleh karena itu dengan ketulusan dan
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberikan
masukan yang berarti dalam proses penelitian, penyusunan, dan penyelesaian skripsi
ini. Untuk itu ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada:
1. Teristimewa untuk kedua orang tua saya, Mommy Damayanti dan almarhum Papi
Steve Rompies, yang selalu mengawasi, mendukung, menjaga, menasehati,
menemani, menyayangi, merawat dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang
tanpa kenal lelah dari saya lahir sampai sekarang ini, setiap hari doa-doanya selalu
ix
mengiri langkah saya untuk meraih cita-cita yang saya impikan terimakasih
Mommy Papiku tersayang .
2. Kakak-kakaku yang tersayang, Mbok Indri Putrianti dan BigBro Bayu Adrianto,
almarhum eyang kakung, eyang uti, Caci, om Kris, mba Uwi, mas Guguh, mas
Aries, mba Ning, mas Toing, Rina, dan saudara-saudaraku tersayang lainnya yang
selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan yang selalu menghibur,
menyemangati, menasehati, menjaga, mendukung, dan membantu saya selama ini.
3. Bapak Dr. M. Arif Mufraini, Lc., MA selaku dekan fakultas ekonomi dan bisnis,
Bapak Dr. Amilin, SE.Ak., M.Si selaku wakil dekan I fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid, MH selaku wakil Dekan II fakultas
ekonomi dan bisnis, dan bapak Dr. Desmadi Saharuddin, Lc., MA selaku wakil
dekan III fakultas ekonomi dan bisnis, yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Pak Prof. Dr. Ahmad Rodoni selaku pembimbing I sebelumnya, saya akan ingat
terus perkataan bapak ketika sedang bimbingan skripsi selama ini. Mudah-
mudahan saya dapat mengamalkan sehingga ilmu tersebut dapat bermanfaat
selama hidup saya.
5. Bapak Adhitya Ginanjar, selaku pembimbing II dulu dan sebagai pembimbing I
saya sekarang yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian, pengarahan,
motivasi, ilmu, serta saran dengan meluangkan waktu dan pikirannya untuk
mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Titi Warninda SE, M.Si selaku ketua jurusan manajemen, dan ibu Ir Ela
Patriana, MM selaku sekretaris jurusan manajemen, dan yang selalu
menyemangati dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
x
7. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan waktu dan
ilmunya yang bermanfaat bagi saya. Dan juga seluruh staff dan karyawan UIN
terutama jurusan ekonomi dan bisnis yang telah memberikan pelayanan yang
terbaik bagi setiap mahasiswa.
8. Terimakasih untuk teman – teman manajemen D yang telah memberikan semangat,
dukungan, bantuan, keceriaan, dan rasa persaudaraan yang indah, banyak
kenangan-kenangan bersama kalian yang tidak bisa saya lupakan.
9. Sahabat- sahabat seperjuangan saya sesama jurusan perbankan yang tidak dapat
satu persatu saya sebutkan namanya, namun tidak mengurangi rasa sayang dan
terima kasih saya.
10. Seluruh keluarga besar angkatan 2009, kenangan selama ini tidak akan terlupakan
oleh saya. Baik didalam kelas, saling bertukar pikiran dan saling mengeluarkan
pendapat suka maupun duka telah kita rasakan bersama dalam selama kuliah di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Ekonomi dan Bisnis. Penulis memohon
maaf sebesar-besarnya atas kesalahan penulis selama ini dan mengucapkan
terimakasih banyak kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan oleh
penulis.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ......................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ............................. ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ...................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... . xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... . xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. . xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... . xvi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 16
1. Tujuan Penelitian ................................................................. 16
2. Manfaat Penelitian .............................................................. 17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UKM........................................................................................... 18
1. Pengertian UKM................................................................... 18
2. Kriteria UKM........................................................................ 19
3. Karateristik UKM................................................................. 20
B. Bank Syariah............................................................................... 22
1. Pengertian Bank Syariah ...................................................... 22
2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah............................................ 23
C. Manajemen Risiko Pembiayaan.................................................. 27
1. Konsep dan Definisi.............................................................. 27
2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan................ 30
xii
3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan ............................. 29
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan................ 31
5. Fungsi Manajemen Risiko................................................... 32
D. Pembiayaan Bermasalah............................................................ 32
1. Konsep Pembiayaan Bermasalah ........................................ 32
2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah...................................... 34
3. Dampak Pembiayaan Bermasalah ....................................... 35
E. Financing to Deposit Ratio ....................................................... 35
1. Definisi FDR........................................................................ 35
2. Penilaian Tingkat FDR......................................................... 35
3. Hubungan antara FDR terhadap NPF Perbankan
Syariah.................................................................................. 38
F. Nilai Tukar (Kurs)...................................................................... 39
1. Definisi................................................................................. 39
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs.............................. 40
3. Hubungan Kurs dengan NPF Perbankan Syariah................. 42
G. Inflasi.......................................................................................... 43
1. Pengertian Inflasi................................................................. 43
2. Jenis-jenis Inflasi.................................................................. 44
3. Efek Buruk Inflasi................................................................ 45
4. Hubungan Inflasi dengan NPF............................................. 46
H. Tingkat Suku Bunga................................................................... 47
1. Konsep Tingkat Suku Bunga ............................................... 47
2. Faktor yang Mempengaruhi Kurs ........................................ 48
3. Hubungan BI Rate Terhadap Pembiayaan
Bermasalah........................................................................... 51
I. Penelitian Terdahulu .................................................................. 52
J. Kerangka Pemikiran ................................................................. 54
K. Hipotesis .................................................................................... 59
xiii
BAB III. METODELOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 62
B. Metode Penentuan Sampel ....................................................... 62
C. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 63
1. Data Sekunder .................................................................... 63
2. Metode Studi Pustaka ........................................................ 63
3. Internet .............................................................................. 63
D. Metode Analisis Data .............................................................. 64
E. Pengujian Hipotesis .................................................................. 69
1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) ................................ 70
2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) .................................... 71
3. Koefisien Determinasi ........................................................ 72
F. Definisi Operasional Variabel ................................................... 72
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ............................. 74
1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di
Indonesia.............................................................................. 74
B. Analisis dan Pembahasan .......................................................... 78
1. Analisis Deskriptif .............................................................. 78
2. Analisis Pengujian Statistik ................................................ 94
3. Pengujian Hipotesis ............................................................ 100
C. Intepretasi ................................................................................. 105
BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan .............................................................................. 109
B. Implikasi .................................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 113
LAMPIRAN ............................................................................................. 116
xiv
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
1.1 Data Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia................................ 3
1.2 Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia
Periode 2012-2015 (dalam miliar rupiah) ................................................. 4
1.3 Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan........ 9
1.4 Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan
Pembiayaan ............................................................................................... 11
1.5 Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non
Performing Financing................................................................................. 14
1.6 Tingkat Loan to Deposit Ratio................................................................... 37
2.1 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 52
4.1 Perkembangan Financing to Deposit Ratio Periode 2012-2015................ 79
4.2 Perkembangan Tingkat Kurs Indonesia Periode 2012-2015...................... 80
4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2012-2015............... 83
4.4 Perkembangan BI Rate Periode 2012-2015............................................... 86
4.5 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah
Indonesia Periode 2012-2015.................................................................... 90
4.6 Uji Kolmogorov-Smirnov ......................................................................... 94
4.7 Uji Multikolineritas.................................................................................... 95
4.8 Uji Durbin-Watson .................................................................................... 96
4.9 Uji Park ..................................................................................................... 99
4.10 Uji F ........................................................................................................... 101
4.11 Uji t ............................................................................................................ 102
4.12 Uji Adjusted R Square................................................................................. 105
xv
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
1.1 Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah .......................................... 6
2.1 Kerangka Pemikiran ................................................................................. 58
4.6 Histogram ................................................................................................. 92
4.7 Grafik p plot ............................................................................................. 93
4.8 Uji Heterokedatisitas ................................................................................ 98
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data-data variabel penelitian dari tahun 2012-2015 ....................... 121
Lampiran 2 Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien .................................. 123
Lampiran 3 Uji Normalitas ................................................................................. 124
Lampiran 4 Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi ........................................... 126
Lampiran 5 Uji Heterokedatisitas ....................................................................... 127
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bencana yang menimpa Indonesia tahun 1998, telah menghancurkan
kehidupan perekonomian di Indonesia. Tidak terkecuali negara-negara di kawasan
Asia Tenggara yang tidak luput dari krisis ekonomi dan moneter. Namun negara
Indonesia yang paling lama melaksanakan proses pemulihan ekonomi. Hal ini
antara lain disebabkan oleh parahnya tingkat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN), sehingga perbaikan ekonomi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Krisis
ekonomi juga menyebabkan terjadinya krisis-krisis lain yang bersifat multi
dimensional, berupa krisis yang mengarah pada krisis kepercayaan dan krisis moral.
Perbankan juga tidak luput dari krisis, yakni ditandai dengan banyaknya
bank-bank yang dilikuidasi, dibekukan, ataupun digabung dengan bank-bank lain
(merger). Hal ini lebih disebabkan oleh adanya praktik perbankan yang sangat
kurang menerapkan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking principle)
dalam mengelola kegiatan usaha, khususnya dalam hal penyaluran dana kepada
masyarakat dalam bentuk kredit. Lemahnya analis kredit pada perbankan ikut andil
dalam menyebabkan terjadinya krisis dimaksud.
Memburuknya situasi perekonomian Indonesia akibat kebijakan suku bunga
tinggi dan depresiasi nilai tukar mata uang rupiah ternyata justru membawa akibat
yang sangat buruk pada dunia perbankan (Riawan, 2003) dan salah satu
permasalahan utama yang dialami ialah NPL (Non Performing Loan). Masalah ini
muncul sebagai akibat terjadinya kontraksi output disatu pihak dan meningkatnya
beban utang perusahaan karena meningkatnya suku bunga di lain pihak. Dengan
2
demikian, maka kemampuan perusahaan membayar kredit menjadi berkurang.
Konsekuensinya, bank menanggung jumlah NPL yang lebih besar.
Dan pembiayaan atau kredit bermasalah adalah masalah utama yang paling
dihindari oleh semua bank. Akan tetapi bank tidak bisa terlepas dari kredit macet
yang selalu terjadi. Menurut Rose (2002:326) risiko kredit berupa pembiayaan
bermasalah berbahaya bagi eksistensi suatu bank dalam menepati kewajibannya,
mengurangi profitabilitas dan membahayakan kelangsungan hidupnya. Kredit
macet merupakan risiko bisnis yang mau tidak mau harus ditanggung oleh
perusahaan yang bergerak dalam bidang perkreditan atau pembiayaan. Hal inilah
yang juga melanda sektor perbankan syariah di Indonesia sejak pertama kali
kemunculannya.
Perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan dan terus-menerus
mengalami perkembangan sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang
perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yakni bank konvesional yang mendasarkan pada
prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim
dikenal dengan bank syariah (dual banking system). Di dalam undang-undang
tersebut telah diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang
dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Masyarakat dan pihak penyelenggara kegiatan bank memberikan respon
yang positif yang membuat berbagai bank baik BUMN maupun swasta sering
mmengadakan kegiatan jasa perbankan dengan sistem syariah. Disertai dari pihak
masyarakat yang menunjukan minat yang besar terhadap bank syariah karena
suatu implikasi dari bukti nyata ketahanan perbankan syariah terhadap dampak
langsung krisis keuangan global sudah terbukti. Unsur spekulatif yang tidak ada
3
pada produk-produknya, dan bank syariah juga belum terlalu masuk dalam pasar
keuangan global yang menyebabkan tidak terlalu menerima dampak langsung dari
krisis global merupakan sumber dari minat masyarakat terhadap bank syariah.
Bertambahnya jumlah bank syariah, unit usaha syariah, dan bank umum syariah
menjadi suatu indikasi dari perkembangan bank syariah di Indonesia.
Perkembangan dari perbankan syariah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.1. Data Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Jenis Bank 2012 2013 2014 2015
Bank Umum Syariah 11 11 12 12
Unit Usaha Syariah 24 23 22 22
BPRS 158 163 163 163
Sumber: Laporan Statistik Perbankan Syariah 2015
Tabel di atas menjelaskan dari tahun 2012 hingga Desember 2015 jumlah
bank umum syariah adalah 12 bank, bank konvensional yang memiliki unit usaha
syariah sebanyak 22 bank. Dan jumlah BPRS juga mengalami sedikit penurunan
dari tahun sebelumnya menjadi 163 bank di Desember 2015.
Ditambah dengan meningkatnya minat dari masyarakat terhadap perbankan
syariah membuat semakin besar dana yang terkumpul dari pihak ketiga. Dari data
Bank Indonesia perbankan syariah di Indonesia mempunyai dana pihak ketiga
sebesar Rp 4.801.888.000.000. World Bank (2012) mengungkapkan bahwa 30
persen nasabah bank syariah lebih mementingkan faktor Islami guna mengatur
keuangannya dan sektor UKM juga lebih banyak memilih perbankan syariah dalam
kegiatan bisnisnya dikarenakan kebijakan dan administrasi daripada manajemen
dari regulator pemerintah yang selalu mendukung UKM. Ghozali (2012:48) juga
mengungkapkan penyebab utama masyarakat memilih bank syariah dikarenakan
pelayanan yang diberikan dan kepercayaan terhadap bank syariah, dan menurut
4
Antonio (2012:7) pesatnya pertumbuhan perbankan syariah disebabkan karena
kesesuaian dengan ajaran mayoritas penduduk Indonesia. Berikut ini merupakan
tabel perkembangan aset dan dana pihak ketiga perbankan syariah di Indonesia.
Tabel 1.2. Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode Tahun
2012-2015 (dalam miliar rupiah) Indikator 2012 2013 2014 2015
Aset 195.018 242.276 272.343 272.389
DPK 147.512 183.534 217.858 215.339
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia 2015
Tabel di atas menggambarkan, total aset dan dana pihak ketiga yang berhasil
dihimpun oleh perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya, seperti periode 2012 hingga 2013 posisi aset mengalami
peningkatan sebesar 24,23% dan 24,41% di segi dana pihak ketiga , meskipun pada
tahun 2014 hingga Juni 2015 dari segi aset tidak terlalu mengalami kenaikan dan
terjadi sedikit penurunan di segi dana pihak ketiga yang terhimpun sebesar 1%,
dana pihak ketiga yang terkumpul harus segera disalurkan dananya guna
memperoleh kesempatan mendapat keuntungan untuk perbankan syariah melalui
prinsip bagi hasil maupun jual beli. Agar bank tidak terkena biaya dana yang besar
dikarenakan uang yang mengendap dari dana pihak ketiga. Hal tersebut
menyebabkan bank-bank syariah di Indonesia menyalurkan dana pihak ketiga yang
terkumpul melalui produk-produk pembiayaan yang mereka tawarkan kepada
para nasabahnya.
Perbankan syariah memiliki fungsi menyalurkan dana kepada nasabahnya
(intermediasi) yang berjalan dengan sangat baik. Hal ini dapat dilihat oleh
tingginya presentase Loan to Deposite Ratio (LDR) atau dalam terminologi
perbankan syariah disebut Financing to Deposite Ratio (FDR). Pada tahun 2012,
5
rasio FDR perbankan syariah di Indonesia mencapai 100%. Di tahun 2013 berhasil
mencapai 100,32%, dan mengalami kenaikan di tahun 2014 yang mencapai 91,5%,
di akhir Desember 2015 FDR perbankan syariah mengalami sedikit penurunan ke
88,03%
Gambar 1.1. Tingkat Perkembangan FDR Perbankan Syariah di Indonesia
Sumber:
Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia, data diolah dengan excel
Perbankan syariah mengeluarkan pembiayaan kepada sektor-sektor bisnis di
Indonesia yang salah satunya adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu
pemimpin penggerakan ekonomi riil dengan berbasis pada ekonomi kerakyataan.
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam
membangun perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di Indonesia.
Kredit atau pembiayaan UKM adalah pembiayaan kepada debitur usaha
mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil
dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UKM.
Berdasarkan UU tersebut, UKM adalah usaha produktif yang memenuhi kriteria
usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan.
70.00%
75.00%
80.00%
85.00%
90.00%
95.00%
100.00%
105.00%
110.00%
2012 2013 2014 2015
100% 100,32%
91,5%
88,03%
6
Perkembangan potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia tidak
terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan
kepada UKM. Setiap tahun pembiayaan kepada UKM mengalami pertumbuhan
dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total pembiayaan
perbankan.
Usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu prioritas dalam agenda
pembangunan di Indonesia hal ini terbukti dari bertahannya sektor UKM saat
terjadi krisis hebat tahun 1998 dan tahun 2008 silam, bila dibandingkan dengan
sektor lain yang lebih besar justru tidak mampu bertahan dengan adanya krisis.
Kuncoro (2008:75) mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan
mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak
banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga,
menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor.
Di sinilah peran besar perbankan syariah dalam menjalankan fungsi
intermediasi sesungguhnya yang menyentuh sektor ekonomi akar rumput. Dilihat
dari berbagai skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah hanya
menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. Pembiayaan melalui akad murabah,
salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan apabila ada barang atau jasa (sektor riil)
yang bisa dibiayai. Bahkan terbentuk korelasi sempurna antara biaya modal
dengan pengembalian atas modal pada pembiyaan dengan akad musyarakah dan
mudharabah.
Jika dibandingkan dengan perbankan konvesional akan tampak perbedaan
yang jelas. Penyaluran pembiayaan atau kredit dari dana pihak ketiga banyak yang
masuk pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh dengan ketidakpastian
7
dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan
konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal tersebut merupakan
dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko seperti Sertifikat Bank
Indonesia. Dan yang lebih memperparah kinerja perbankan konvensional adalah
besarnya dana yang disalurkan ke pasar uang dengan dasar spekulasi. Mubyarto
(2004:6), seorang tokoh ekonomi kerakyatan, meragukan peranan perbankan
sebagai agent of development dalam pengentasan kemiskinan melalui senjata kredit.
Beliau mengkritik beberapa bank daerah yang lebih suka mengirim dana ke pusat
untuk diinvestasikan di surat hutang yang lebih aman seperti SBI. Padahal harapan
UKM terhadap terhadap peranan bank sangat tinggi, namun sayang mereka tidak
dianggap “bankable”. Fenomena itu terjadi pada level bank daerah, yang memang
fungsi utamanya memajukan ekonomi daerah.
Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana
yang diterapkan perbankan konvensional. Sebaliknya perbankan syariah
merupakan real sector based banking yang menjalankan pembiayaan pada sektor
riil dan salah satunya adalah sektor UKM. Perbankan syariah memiliki peran yang
cukup besar dalam mengembangkan ekonomi riil di Indonesia berpadu dengan
potensi ekonomi kerakyatan dan UKM. Produk-produk pembiyaan dengan skim
profit and lost sharing dengan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat untuk
mengembangkan usaha mikro masyarakat. Dengan pendekatan pembiayaan
lembaga keuangan mikro sebagai kepanjangan tangan dari bank-bank syariah
diharapkan upaya untuk menjangkau UKM bisa dioptimalkan.
Perbankan syariah bisa lebih aktif menjalin kerjasama dengan UKM yang
berada ditengah-tengah masyarakat. UKM-UKM tersebut dapat dirangkul sebagai
8
mitra kerja potensial untuk membangkitkan kembali perekonomian masyarakat.
Stigma bahwa sektor UKM sangat beresiko merupakan argumentasi yang tidak
beralasan. Bertahannya Bank BRI yang bergerak di sektor tersebut pada krisis
tahun 1998 membuktikan bahwa risiko pada sektor UKM lebih terdiversifikasi
(Antonio 2009:7).
Penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor UKM dari tahun 2012
hingga akhir tahun 2015 tergolong tinggi. Dan selalu mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Berikut ini tabel lengkap komposisi pembiayaan perbankan
syariah di Indonesia berdasarkan golongan pembiayaan.
Tabel 1.3. Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan Tahun 2012-
2015 (Dalam Miliar Rupiah)
Golongan 2012 2013 2014 2015
UKM 90.860 110.086 59.806 51.603
Selain UKM 56.645 74.034 139.524 152.291
Total 147.505 184.120 199.330 203.894
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia 2015
Pada tahun 2012 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah pada
sektor UKM adalah sebesar Rp 90.860.000.000.000 Dan meningkat sebesar 21,16%
atau sebesar Rp 110.086.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun
2015 dana yang disalurkan melalui pembiayaan ke sektor UKM oleh perbankan
syariah di Indonesia telah mencapai Rp 51.603.000.000.000. Keputusan
menyalurkan besarnya pembiayaan ke berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi
sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai resiko yang harus ditanggung
oleh perbankan. Salah satunya adalah resiko kredit yang tercermin oleh rasio
kredit bermasalah.
9
Besarnya pertumbuhan aset dan penyaluran pembiyaan perbankan syariah
di Indonesia dari tahun 2012 sampai tahun 2015 ternyata tidak diikuti dengan
kualitas pembiayaan yang baik. Terjaganya fungsi intermediasi perbankan syariah
ternyata juga dibarengi dengan memburuknya kualitas pembiayaan. Hal tersebut
ditunjukan dengan meningkatnya angka pembiayaan bermasalah atau Non
performing Loan yang dalam terminologi perbankan syariah disebut Non
Performing Finance (NPF ).
NPL menimbulkan permasalahan bagi pemilik bank dan pemilik deposito.
Pertama bagi pemilik bank, dengan semakin tinggi NPL mereka tidak menerima
return pasar dari modal mereka. Kedua untuk pemilik deposito tidak menerima
return pasar dari deposito atau tabungan mereka. Bank membagi kegagalan kredit
atau pembiayaan mereka kepada pemilik deposito dengan cara menekan tingkat
suku bunga atau tingkat bagi hasil. (Nasution, 2007:1) Dalam kasus yang lebih
buruk, jika bank mengalami kebangkrutan deposan akan kehilangan aset atau
dihadapkan dengan jaminan yang tidak seimbang. Bank juga membagi risiko
kerugian mereka kepada debitur lain dengan cara menetapkan suku bunga
pinjaman, margin, tingkat bagi hasil yang tinggi. Non performing loan akan
mengakibatkan jatuhnya sistem perbankan, mengkerutnya pasar saham dan
bahkan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian.
Tabel 1.4. Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan
Tahun 2012-2015 (Dalam Miliar Rupiah)
Golongan 2012 2013 2014 2015
UKM 2060 2879 3875 4150
Non UKM 1209 1950 4757 5557
Total 3269 4828 8632 9707
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
10
Pada tahun 2012 NPF perbankan syariah adalah sebesar Rp
2.060.000.000.000. Dan meningkat sebesar 39% atau sebesar Rp
2.879.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada tahun 2015 yang merupakan
akhir periode pengamatan, jumlah NPF perbankan syariah di Indonesia meningkat
menjadi Rp 4.150.000.000.000.
UKM di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan
Produk Domestik Bruto. Namun demikian hal tersebut tidak mampu
mencerminkan kelancaran debitur-debitur dalam melakukan pembayaran atas
pembiayaan yang diberikan.
Selain Produk Domestik Bruto, salah satu variabel yang memengaruhi tingkat
non performing finance adalah ekuivalen tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga
merupakan hal yang diperhatikan oleh debitur dalam menerima suatu
pembiayaan. Meskipun perbankan syariah tidak mengenal sistem bunga, kinerja
pembiayaan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat
suku bunga yang diberikan bank sentral, maka dapat mempengaruhi tingkat bagi
hasil yang diminta oleh bank sehingga tingkat non performing financing akan
semakin meningkat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi NPF pada perbankan syariah salah satunya
ialah financing to deposit ratio (FDR).FDR adalah rasio antara jumlah kredit yang
diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR ditentukkan oleh
perbandingan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan dana masyarakat yang
dihimpun yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan. FDR
tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali
penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang
11
diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin besar kredit maka pendapatan
yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan
mengalami kenaikan. (IlmuPerbankan, 2010:03).
Faktor penyebab berikutnya dari non performing loan atau non performing
financing adalah inflasi. Jakubik (2010) melakukan penelitian di Ceko menemukan
jika inflasi berpengaruh terhadap resiko kredit. Hogart (2007), yang melakukan
penelitian di Inggris raya menemukan pengaruh yang signifikan antara inflasi
dengan pembiayaan bermasalah yang diproksikan dengan peningkatan jumlah
penghapusan pinjaman.
Faktor lainya yang juga memengaruhi tingkat NPF adalah tingkat suku bunga
atau dalam perbankan syariah ditunjukan dengan tingkat bagi hasil dan margin.
Saba (2012) menemukan terdapat pengaruh negatif yang signifikan tingkat suku
bunga terhadap tingkat NPL, beberapa literatur menunjukan adanya pengaruh yang
ditimbulkan dari tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah. Hakan (2011)
melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap perbankan
syariah Turki. Hasil penilitian menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan yang
dihasilkan dari tingkat suku bunga terhadap kinerja perbankan syariah.
Di negara dengan dual banking system seperti Indonesia, tidak dapat
dipungkiri bahwa kinerja bank syariah selain dipengaruhi oleh faktor internal
manajemen bank syariah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti
Ekonomi Makro. Faktor eksternal dari makro ekonomi adalah tingkat suku bunga,
nilai tukar, PDB, jumlah uang beredar, dan inflasi (Hakan, 2011).
Pada teori bejana yang berhubungan Karim (2004:254), mengungkapkan
bahwa kebijakan moneter konvensional akan mempunyai pengaruh terhadap
perbankan syariah seperti misalnya tingkat suku bunga. Kebijkan monenter
12
mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional (suku bunga kredit,
suku bunga deposito, dan sekuritas yang dimiliki). Pada umumnya mekanisme
tersebut ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Di pihak lain, perbankan syariah
yang notabene tidak mengenal bunga dalam praktek operasionalnya juga
terpengaruh oleh kebijakan moneter tersebut (Adi, 2012:14). Pengaruh tersebut
terlihat pada kondisi neraca bank syariah. Yakni pada tingkat nisbah bagi hasil
deposito investasi mudharabah. Sementara pengaruh suku bunga SBI terhadap
nisbah pembiayaan bank syariah ditransmisikan melalui suku bunga kredit.
Tabel 1.5. Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing Financing
Tahun FDR
(%)
Kurs BI Inflasi
(%)
BI Rate
(%)
Total Pembiayaan
(Miliar Rupiah)
2012 100 10.194 4,30 5,75 3.269
2013 100,32 10.934 8,38 7,50 4.828
2014 91,5 10.164 8,36 7,75 8.632
2015 96,52 10.010 3,35 7,50 9.707
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia dan bi.go.id
Berdasarkan data non performing financing, keragaman argumentasi
(research gap) penelitian yang ada, ditambah dengan tingkat financing to deposit
rate (FDR), inflasi, BI Rate, dan total pembiayaan yang disinyalir memiliki pengaruh
terhadap pembiayaan bermasalah (NPF), Membuat penulis ingin meneliti lebih
lanjut dengan membuat penelitian berjudul : “Analisis Pengaruh Financing to
Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar Rupiah (KURS), Inflasi, dan BI Rate Terhadap
Pembiayaan Bermasalah (NPF) di Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Kredit macet atau pembiayaan bermasalah dalam dunia perbankan syariah
(NPF) ialah masalah yang muncul sebagai akibat terjadinya konstraksi output
disatu pihak. NPF ini juga lebih disebabkan oleh pengelolaan perbankan yang
13
kurang dalam mengaplikasikan prinsip kehati-hatian (prudential banking
principles), padahal bank merupakan institusi keuangan yang sarat dengan batasan
dan perturan (the most regulated industry in the world). Di samping itu juga,
kurang ditaatinya Kode Etik Bankir Indonesia yang diharapkan dapat menjadi
pedoman moral bagi para bankir dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Sementara di sisi lain, kalangan usaha kecil dan menengah ternyata lebih
mampu bertahan menghadapi krisis. Hal ini lebih disebabkan karena mereka
bergerak di sektor riil, sehingga mereka mempunyai ketergantungan kepada
perbankan yang renda, dan pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah ke
sektor UKM sangat besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal tersebut
tentunya membuat risiko kegagalan bayar pembiayaan sektor UKM menjadi tinggi.
Dari latar belakang masalah menjelaskan bahwa kondisi ekonomi negara dan
spefikasi bank berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya non performing
finance pada perbankan syariah.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Apakah financing to deposit ratio berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM
secara parsial ?
2. Apakah nilai tukar rupiah (KURS) berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM
secara parsial ?
3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ?
4. Apakah BI Rate berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ?
5. Apakah FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate berpengaruh terhadap NPF di sektor
UKM secara simultan ?
6. Variabel bebas apa yang paling berpengaruh terhadap tingkat NPF ?
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh FDR, Kurs, inflasi,dan BI Rate dari masing-masing
variabel terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) pada sektor UKM perbankan
syariah di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate secara bersamaan dari
setiap variabel terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) pada sektor UKM
perbankan syariah di Indonesia.
3. Serta menganalisis variabel apa yang paling memiliki pengaruh terhadap
pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia.
2. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan, yaitu:
1. Memberikan ilmu pengetahuan dan masukan tentang permasalahan yang
dihadapi oleh praktisi perbankan syariah di Indonesia dalam mengambil
keputusan berkaitan risiko dalam pembiayaan agar bisa meminimalisir potensi
kredit atau pembiayaan bermasalah.
2. Dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah
dipelajari dengan membandingkannya dalam praktik perbankan khususnya
berkenaan dengan tema perbankan syariah dan non performing financing
3. Diharapkan penelitian ini berguna bagi penelitian kedepannya berkenaan
dengan topik penelitian ini.
15
4. Memberikan suatu pandangan bagi masyarakat dalam menilai kondisi
perbankan konvensional dan perbankan syariah yang baik yang tercermin dari
potensi risiko kredit masing-masing bank.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. UKM
1. Pengertian UKM
Usaha kecil di Indonesia belum pasti dan masih sangat beragam
pengertiannya, sebelum dikeluarkannya UU No 9/1995 terdapat lima instansi yang
merumuskan usaha kecil dengan caranya masing-masing, kelima instansi tersebut
adalah Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Bank Indonesia,
Departemen Perdagangan dan Kamar dagang dan Industri. (Adi 2012:48)
Departemen Perindustrian dan Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil
berdasarkan nilai asetnya. Menurut kedua instansi ini yang dimaksud dengan usaha
kecil adalah usaha yang assetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai
kurang dari Rp 600 juta. Departemen perdagangan membatasi usaha kecil
berdasarkan modal kerjanya, yakni usaha (dagang) yang modal kerjanya bernilai
kurang dari Rp 25 juta.
Sedangkan KADIN membedakan usaha kecil menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah yang bergerak dalam bidang perdagangan, pertanian dan
industri. Kelompok kedua adalah yang bergerak dalam bidang konstruksi. Menurut
Kadin yang dimaskud dengan usaha kecil untuk kelompok pertama adalah yang
memiliki modal kerja kurang dari Rp 150 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari
Rp 600 juta.
Adapun untuk kelompok kedua yang dimaksud dengan usaha kecil adalah
yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 250 juta dan memiliki nilai usaha
kurang dari Rp 1 milyar. Berbeda dari keempat instansi tersebut BPS
17
mengemukakannya untuk usaha kecil sektor industri. Menurut BPS yang dimaksud
dengan industri kecil adalah usaha industri yang melibatkan tenaga kerja antara
lima sampai 19 orang. Sedangkan yang dimaksud dengan industri rumah tangga
adalah usaha industri yang memperkerjakan kurang dari lima orang.
2. Kriteria UKM
Berdasarkan kelima batasan tersebut dapat kita katakan betapa sangat
beragamnya pengertian usaha kecil yang berlaku di Indonesia. Tetapi diluar kelima
pengertian tersebut pemerintah telah menetapkannya dalam rumusan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 . Menurut UU ini yang
dimaksud dengan usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, diantaranya:
a. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
b. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah).
c. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
18
1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
3. Karakteristik UKM
Dari definisi-definisi tersebut dapat digambarkan bahwa UKM bisa menjadi
sebuah lokomotif penting dalam pertumbuhan ekonomi bangsa, menurut
(Tambunan, 2009:40) UKM sangat penting karena karakteristik-karekteristik utama
mereka yang berbeda dengan usaha besar, diantaranya:
a. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah usaha besar) terutama
dari kategori usaha mikro dan usaha kecil. Dan hal ini juga didasarkan pada
karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar diseluruh pelosok pedesaan
termasuk diwilayah-wilayah yang relatif terisolasi.
b. Karena sangat padat karya,berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan
kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan
sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakn nasional untuk
meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi
masyarakat miskin.
c. Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya dari
berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah mendukung
UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung, tetapi efektif untuk
mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi disektor pertanian.
19
d. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap proporsi-
proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di negara
sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja
berpendidikan rendah yang berlimpah.
e. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan
pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997/1998.
f. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan mereka
mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Dalam hal ini, UMKM
bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi tabungan/investasi di
perdesaan dan disisi lain bisa meningkatkan kemampuan berwirausaha dari
orang-orang desa.
g. Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu
sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan, yang
kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud yang tidak produktif.
h. Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk masyarakat
kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi
UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana dengan harga relatif
murah seperti pakaian jadi,mebel dari kayu,alas kaki dan lainnya yang
memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan
rendah.
i. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu
meningkatakan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi
j. Seperti sering dikatakan dalam literature, satu keunggulan dari UMKM adalah
tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya (usaha besar).
20
Kelompok usaha ini dilihat sangat penting di industri-industri yang tidak
stabil atau ekonomi-ekonomi yang menghadapi perubahan-perubahan kondisi pasar
yang cepat, seperti krisis ekonomi 1997/98 yang dialami oleh beberapa negara di
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu dengan menyadari betapa
pentingnya UMKM secara potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut tidak
heran kenapa pemerintah-pemerintah dihampir semua negara berkembang termasuk
Indonesia sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skim-
skim kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting untuk mendukung
perkembangan dan pertumbuhan UMKM (Tambunan, 2009:50).
B. Bank Syariah
1. Pengertian Bank Syariah
Perbankan adalah lembaga yang mempunyai peran utama dalam pembangunan
suatu negara. Peran ini terwujud dalam fungsi bank sebagai lembaga intermediasi
keuangan (financial intermediary institution), yakni menghimpuin dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam
bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat. (Khotibul 2016)
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berdasarkan prinsip
operasionalnya bank dibedakan menjadi dua, yakni bank konvesional yang
mendasarkan pada prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang
kemudian lazim dikenal dengan bank syariah.Bank syariah terdiri dari Bank Umum
Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau yang saat ini disebut sebagai
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
21
Perbankan syariah merupakan institusi yang memberikan layanan jasa
perbankan prinsip syariah. Dalam UU No. UU No. 21 Tahun 2008 prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah. Prinsip ini menggantikan prinsip bunga yang terdapat dalam sistem
perbankan konvensional.
Konsekuensi hukum dari penggunaan prinsip syariah dalam operasional
perbankan adalah bahwa produk perbankan syariah lebih bervariasi dibanding
produk perbankan konvensional. Bahwa produk perbankan konvensional,
khususnya produk penghimpunan dana dan penyaluran dana hanya mendasarkan
pada sistem bunga sebagai bentuk prestasi dan kontraprestasi atas penggunaan dana,
sedangkan pada perbankan syariah mendasarkan pada akad-akad tradisional Islam
yang mana keberadaannya sangat tergantung pada kebutuhan riil nasabah.
2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah
a. Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan muncul akibat adanya kegagalan counterpary dalam
memenuhi kewajibannya. Karim (2007: 260) membagi jenis-jenis resiko pada
bank syariah menjadi risiko terkait produk dan risiko terkait korporasi. Risiko
yang terkait dengan produk ditimbulkan oleh jenis produk pada perbankan
syariah yang mempunyai karakteristik yang khas yakni pembiayaan Natural
Certainty Contracts (seperti akad murabahah, ijarah, salam, istishna) dan
Natural Uncertainty Contracts (mudharabah dan musyarakah).
Sementara itu pada risiko terkait pembiayaan korporasi muncul sebagai
akibat dari perubahan kondisi bisnis setelah pembiayaan, komitmen modal
yang terlalu berlebihan, dan lemahnya analisis bank.
22
b. Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang
dimiliki oleh bank, penyebabnya adalah karena terjadi pergerakan variabel
pasar berupa suku bunga dan nilai tukar. Menurut Karim (2007:272) risiko
pasar terdiri dari empat hal, yaitu risiko tingkat suku bunga, risiko pertukaran
mata uang risiko harga dan risiko likuiditas.
1) Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang harus dihadapi bank
dikarenakan terjadinya fluktuasi tingkat suku bunga. Dalam hal ini,
meskipun bank syariah tidak menetapkan suku bunga pada sisi pendanaan
dan pembiayaan, namun bank syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko
tingkat suku bunga. Hal ini disebabkan pangsa pasar yang disasar oleh
bank syariah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal penuh terhadap
sistem syariah.
2) Risiko Pertukaran Mata Uang (Foreign Exchange Rate)
Risiko ini merupakan suatu konsekuensi yang berkaitan dengan adanya
pergerakan nilai tukar terhadap rugi laba bank. Meskipun aktivitas-
aktivitas pendanaan bank syariah tidak terpengaruhi fluktuasi kurs secara
langsung karena tidak dibolehkan melakukan transaksi yang bersifat
spekulasi, namun bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi
dalam valuta asing.
Mengingat bank syariah tidak berkenan berspekulasi, maka transaksi
seperti forward, margin trading, option, dan swap tidak boleh dijalankan.
Yang diperkenankan adalah untuk kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga dan
23
transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai atau spot. Seperti pembayaran
dengan cek, pemindahbukuan, transfer, dan sarana pembayaran tunai lainnya.
c. Risiko Likuiditas
Menurut Arifin (2009:245) risiko likuiditas adalah risiko yang muncul
manakala bank tidak mampu memenuhi kebetuhan dana (cash flow) dengan
segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan
transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak.
Menurutnya, besar-kecilnya risiko ini ditentukan oleh:
1) Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow)
berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana,
termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana (volatility of funds).
2) Ketepatan dalam mengatur struktur dana, termasuk kecukupan dana-dana
non profit and loss sharing.
3) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas.
4) Kemampuan menciptakan aset ke pasar antarbank atau sumber dana
lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.
d. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh
ketidakcukupan proses internal, human error, kegagalan sistem atau adanya
problem eksternal yang mempengaruhi operasi bank (Greuning, 2008:174).
Menurut Greuning, terdapat beberapa hal yang dapat memicu
peningkatan risiko operasional pada bank Islam, diantaranya adalah:
1) Risiko pembatalan perjanjian pada pembiayaan yang tidak mengikat
seperti murabahah (partenership) dan istishna (manufacturing).
24
2) Kegagalan sistem pengendali internal dalam mendeteksi dan mengelola
masalah potensial pada proses operasional.
3) Potensi menghadapi kesulitan dalam penguatan akad atau kontrak pada
lingkungan legal yang lebih lebih luas.
4) Kebutuhan untuk memelihara dan mengelola komoditas yang
diinventorisasikan pada pasar yang tidak likuid.
5) Kegagalan mematuhi persyaratan syariah.
Menurut Arifin (2008:271) terdapat empat risiko yang berkaitan dengan
risiko operasional diantaranya adalah:
1) Risiko Reputasi: adalah risiko yang disebabkan oleh adanya publikasi
negatif terkait dengan kegiatan bank.
2) Risiko Kepatuhan: adalah risiko yang muncul akibat dari ketidakpatuhan
ketentuan-ketentuan internal dan eksternal seperti GWM, batas pemberian
pembiayaan, ketentuan dalam akad, fatwa Dewan Syariah Nasional dan
lain sebagainya.
3) Risiko Strategi: risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penetapan
dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan
yang salah, atau bank tidak mematuhi perubahan perundang-undangan dan
ketentulan lain.
4) Risiko Hukum: risiko ini muncul sebagai akibat dari adanya kelemahan
aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan undang-
undang yang mendukung suatu kebijakan dan kegiatan pembiayaan.
C. Manajemen Risiko Pembiayaan
1. Konsep dan Definisi
25
Dalam menjalankan fungsinya yakni memberikan pembiayaan kepada
masyarakat oleh bank syariah selalu berdampingan dengan risiko. Dijelaskan dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan bahwa:
Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank
mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan
asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat.
Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah adalam arti keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengukuran
terhadap risiko perbankan. Hal-hal seperti jumlah pembiayaan yang diberikan,
kuantitas dan kualitas risiko. Secara keseluruhan risiko pembiayaan merupakan hal
yang penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya, karena
ketidakmampuan nasabah memenuhi kewajiban pembiayaannya dapat
mengakibatkan bank merugi dan mengikis permodalan bank yang berujung pada
kebangkrutan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah upaya manajerial terhadap risiko yang
muncul akibat dari penyaluran pembiayaan. Hal ini dimaksudkan agar kualitas
pembiayaan senantiasa dalam keadaan lancar. Senada dengan hal yang dinyatakan
oleh Tampubolon (2004:35) dalam bukunya dijelaskan bahwa:
Manajemen risiko merupakan sejumlah kegiatan yang bersifat proaktif dan
terarah yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu
atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Karena itu manajemen risiko
26
haruslah dinamis tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan
risiko usaha.
Resiko kredit atau pembiayaan berbahaya bagi kelangsungan hidup bank
karena dapat menyebabkan bank gagal memenuhi kewajibannya dan menggerus
profitabilitas bank (Rose, 2002:326). Risiko kredit adalah risiko yang timbul
sebagai akibat kegagalan pihak lawan memenuhi kewajibannya. Risiko ini dapat
timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang
buruk ini dapat berupa ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau
seluruh isi perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Bank Indonesia mendefininisikan manajemen risiko sebagai serangkaian
prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.
2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan
Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses yang diawali
dengan proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengelolaan terhadap
risiko-risiko portofolio. Dengan demikian pengelola bank dapat selalu memantau
agar risiko tidak mempengaruhi tingkat likuiditas bank itu sendiri.
Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi, bank selalu
dihadapkan pada risiko – risiko bisnis. Risiko bisnis yang dihadapi mencakup
diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko
legal. Untuk menjaga dan mengurangi risiko kerugian, bank wajib melaksanakan
transaksi yang berpedoman pada kebijakan dan penerapan manajemen risiko yang
telah ditetapkan pemerintah yang berlandaskan pada prinsip kehati – hatian. Bank
Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 mengidentifikasikan
empat aspek pokok yang sekurangnya tercakup dalam manajemen risiko, yaitu
27
diantaranya, pertama adalah pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi. Kedua
adalah kebijakan, prosedur dan penetapan limit. Ketiga adalah proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, sistem informasi manajemen risiko kredit. Keempat
adalah Pengendalian Risiko Kredit.
3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei 2003 tentang
“Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum”, merupakan wujud keseriusan
Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko perbankan. Keseriusan tersebut
dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No.
7/25/PBI/2005 pada Agustus tahun 2005 tentang “Sertifikasi Manajemen Risiko
Bagi Pengurus Dan Pajabat Bank Umum”, yang mengharuskan seluruh pejabat
bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen
risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya.
Tujuan dari manajemen risiko menurut Tampubolon (2004 :34) adalah
pengelolaan risiko yang mencakup atas prosedur dan metodologi yang digunakan
sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali pada batas / limit yang dapat
diterima serta menguntungkan bank. Penerapan manajemen risiko tersebut akan
memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan bank.
Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder
value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan
kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan yang
sistematis yang didasarkan atas ketersedian informasi, digunakan sebagai dasar
pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank dan untuk menilai risiko yang
melekat pada instrument atau kegiatan usaha bank yang relatif kompleks, serta
28
menciptakan infrastruktur infrastruktur yang kokoh dalam rangka meningkatkan
daya saing bank.
Dalam proses penerapan manajemen risiko, bank dapat menggunakan
berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan metode standar yang
direkomendasikan oleh Basel Committee on Banking Supervison. Kesepakatan
Basel mencetuskan 2 kesepakatan (Basel I dan Basel II). Dalam kesepakatan Basel
I hanya mencakup risiko kredit, modal yang disediakan hanya dikaitkan dengan
risiko kredit, dan dalam mengukur kecukupan modal menurut risiko kredit didasari
oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari bobot risiko aktiva dan bobot risiko,
penyetaraan dengan risiko kredit, target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal
yang memenuhi syarat, kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat,
struktur modal (El Tiby, 2011:102).
Dalam kesepakatan Basel II digunakan pendekatan baru dalam hal
pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga konsep yang
dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar tersebut diantaranya adalah pilar 1 yaitu
Kewajiban penyediaan modal minimum. Pilar 2 yaitu tinjauan berdasar regulasi
dari kecukupan modal dari masing – masing bank dan proses penilaian internal.
Dan pilar 3 yaitu disiplin pasar yang efektif sebagai pengungkit untuk memperkuat
keterbukaan dan mendorong agar bank lebih aman dalam prakteknya (El Tiby,
2011:107).
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan
Agar efektif, dalam proses manajemen risiko perlu adanya kerangka kerja,
diantaranya. Memahami rantai risiko, dengan pehaman ini satuan kerja manajemen
risiko wajib terlebih dahulu melakukan analisis lingkungan untuk menetapkan
29
masalah atau peluang, cakupan dan konteks serta isu yang berhubungan dengan
risiko, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Menurut
Tampubolon (2004:41) bkerangka kerja manajemen risiko pembiayaan atau kredit
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik saham)
untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan perilaku dari para
stakeholder.
b. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan yang dapat
mendatangkan kerugian.
c. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada. Menyusun
tanggapan atas risiko yang ada.
d. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko.
e. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. Melakukan pemantauan
terhadap risiko dan pengelolaanya.
5. Fungsi Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah sebuah pola pikir, oleh karena itu semua pejabat
bank bisa atau mampu mewaspadai risiko dan menerapkan manajemen risiko
dengan baik. Fungsi manajemen risiko tidak hanya sekedar memelihara tingkat
profitabilitas dan kesehatan bank, namun juga untuk memelihara integritas dan
stabilitas sistem keuangan yang kritis terhadap kesehatan perekonomian nasional.
Secara garis besar, menurut Tampubolon (2004:45) manajemen risiko berfungsi
untuk:
a. Menunjang ketepatan proses perencanaan dan pengambilan keputusan
b. Menunjang efektifitas perumusan kebijakan sistem manajemen dan bisnis.
c. Menciptakan Early Warning System untuk meminimumkan risiko.
30
d. Menunjang kualitas pengelolaan dan pengendalian pemenuhan tingkat
kesehatan bank.
e. Menunjang penciptaan/pengembangan keunggulan kompetitif.
f. Memaksimalisasi kualitas portofolio perkreditan bank.
D. Pembiayaan Bermasalah (NPF)
1. Konsep Pembiayaan Bermasalah
Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu
mengahadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit atau
pembiayaan didefinisikan sebagai risiko yang muncul jika bank tidak bisa
memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari pinjaman yang diberikan atau
investasi yang sedang dilakukannya (Arifin, 2008:263).
Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah
tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam terminologi bank
syariah disebut non perfoming financing (NPF).
Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang
bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.
berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang
termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet.
Dalam peraturan bank indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
tentang Penilaian Kualitas Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam
bentuk pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar (L), dalam perhatian
khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), macet (M).
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 tentang
akuntansi perbankan butir 24 menyebutkan bahwa:
31
“Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran
angsuran pokok dan/atau bunganya telah terlewat sembilan puluh hari atau lebih
setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat
diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai
kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.”
Sedangkan Sutojo (2008:13) menyatakan jika “pengertian kredit bermasalah
adalah suatu keadaan di mana debitur mengingkari janji mereka membayar bunga
dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan
pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran”.
Dari kelima kualitas pembiayaan yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang
lancar, diragukan, dan macet, yang tergolong dalam pembiayaan bermasalah atau
non performing financing adalah pembiayaan dengan kualitas kurang lancar,
diragukan dan macet.
Berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor7/56/DPbS tanggal 9
Desember 2005, pedoman untuk perhitungan rasio non performing finance (NPF)
dihitung dengan cara sebagai berikut:
NPF = X 100%
Rasio ini menunjukan kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan.
Semakin tinggi rasio NPF maka kualitas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan
syariah semakin memburuk. Kelancaran kegiatan usaha bank syariah dapat
terganggu apabila rasio semakin meningkat dan dapat berakibat pada tingkat
kesehatan bank itu sendiri.
Pembiayaan yang bermasalah
Total Pembiayaan Disalurkan
32
Bank Indonesia sebagai regulator yang turut mengatur perbankan syariah di
Indonesia menetapkan bahwa batas maksimum tingkat pembiayaan yang bermasalah
sebesar 5% dari total pembiayaan yang diberikan.
2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank. Adanya
pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Sutojo (2008:18)
menuturkan terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor
diantaranya:
a. Faktor Internal:
1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis
kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon debitur.
2) Lemahnya sistem administrasi kredit atau pembiayaan serta sistem
administrasi bank.
3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham
4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna
b. Faktor debitur
1) Salah urus atau mismanagement
2) Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam bidang
usaha yang dijalani.
3) Penipuan
c. Faktor Eksternal
1) Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang merugikan.
2) Bencana alam
3) Regulasi pemerintah
3. Dampak Pembiayaan Bermasalah
33
Adanya pembiayaan bermasalah ini akan memberikan dampak negatif
kepada beberapa pihak, Sutojo (2008:25) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
dampak yang ditimbulkan dari pembiayaan bermasalah diantaranya adalah:
a. Bank yang bersangkutan akan mengalami gangguan profitablitias untuk
menutupi cadangan pembiayaan bermasalah.
b. Jumlah modal bank akan terkikis dan menurunkan rasio kecukupan modal
bank.
c. Nasabah sendiri akan kehilangan kepercayaan pihak luar dan relasi bisnis,
serta citra dan nama baik yang rusak. Sementara nasabah lainnya akan
kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank yang bersangkutan.
d. Perputaran dana bank di masyarakat akan terhenti.
e. Pengusaha di dalam negeri akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
pembiayaan untuk ekspansi usahanya.
E. Financing to Deposit Ratio (FDR)
1. Definisi FDR
Perbankan syariah tidak mengenal kredit (loan) dalam penyaluran dananya,
karena itu aktifitas penyaluran dana yang dilakukan bank syariah lebih mengarah
kepada pembiayaan. FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan
oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank.
(Muhammad, 2005:55)
FDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang
digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit.
Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank yang berasal dari kegiatan ini.
Deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi
semakin besarnya resiko yang ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Tinggi
34
rendahnya rasio ini menunjukan tingkat likuiditas bank tersebut. Berdasarkan surat
edaran bank Indonesia No 26/5/BPPP tanggal 29 mei 1993, besarnya FDR telah
ditentukan oleh bank Indonesia tidak boleh melebihi 110%. Yang berarti bank
boleh memberikan kredit atau pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga yang
berhasil dihimpun asalkan tidak melebihi 100% (Muhammad, 2005:56)
2. Penilaian Tingkat Financing to Deposit Ratio
Secara sistematis financing to Deposit Ratio (FDR) dapat dirumuskan
sebagai berikut: (Sesuai SE No.6/23/DPNP Tanggal 31 Mei 2004)
Tujuan penting dari perhitungan FDR adalah untuk mengetahui serta
menilaisampai berapa jauh bank memliki kondisi sehat dalam menjalankan
operasiatau kegiatan usahanya. Dengan kata lain FDR digunakan sebagai suatu
indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank. Menurut Surat Edaran
Bank Indonesia tanggal 29 Mei 1993, termasuk dalam dana yang diterima bank
adalah sebagai berikut:
1. KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) (jika ada).
2. Giro, deposito, dan tabungan masyarakat.
3.Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan,tidak
termasuk pinjaman subordinasi.
4. Deposito dan pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga
bulan.
5. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari
tiga bulan
6. Modal pinjaman.
7. Modal inti.
35
Batas aman tingkat LDR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar
110%. Tolok ukur untuk tingkat LDR atau istilah perbankan syariah FDR yang baik
menurut BI tampak pada tabel :
Tabel 1.6
Tingkat Loan to Deposit Ratio
Sumber : www.bi.go.id
Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan
yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan
sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula
kemampuan likuiditas bank (Dendawijaya, 2004:97). Rasio yang tinggi
menunjukkan bahwa bank meminjamkan seluruh dananya atau relatif tidak likuid.
Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan
kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. Oleh karena itu, rasio ini juga dapat
untuk member isyarat apakah suatu pinjaman masih dapat mengalami ekspansi atau
sebaliknya dibatasi. Jika bank syariah memiliki FDR yang terlalu kecil maka bank
akan kesulitan untuk menutup simpanan nasabah dengan jumlah pembiayaan yang
ada, Jika bank mempunyai FDR yang sangat tinggi, maka bank akan mempunyai
risiko tidak tertagihnya pinjaman yang tinggi pada titik tertentu bank akan
mengalami kerugian (Susilo, 1999:24).
36
Selanjutnya FDR dapat pula digunakan untuk menilai strategi manajemen
suatu bank. Manajemen bank konservatif biasanya cenderung memiliki FDR yang
relatif rendah. Sebaliknya bila FDR melebihi batas toleransi dapat dikatakan
manajemen bank yang bersangkutan sangat expansif atau agresif. (Siamat, 2001:32)
3. Hubungan antara Financing Deposit to Rasio (FDR) terhadap Non Performing
Financing Perbankan Syariah
FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank
syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad,
2005:55). Hubungan antara financing deposit to rasio (FDR) terhadap non
performing financing (NPF), FDR adalah rasio dana pihak ketiga terhadap
pembiayaan, FDR ada karena ada aktifitas dana pihak ketiga, ketika dana pihak
ketiga (DPK) tinggi maka secara teori pembiayaan pun akan ikut meningkat, karena
DPK yang ada akan disalurkan pada sector riil, namun ketika rasio pembiayaan
(FDR) yang cukup tinggi, akan muncul permasalahan pokok utama bank syariah
adalah meningkatnya NPF atau pembiayaan non lancar karena dalam menjalankan
bisnis perbankan yang penuh dengan resiko, bank syariah juga tidak terlepas dari
resiko pembiayaan bermasalah karena pembiayaan bermasalah tidak akan terjadi
tanpa adanya aktivitas pembiayaan yang disalurkan sehingga bank syariah perlu
mengatur strategi agar tingkat NPF di bank syariah tidak dalam kondisi yang
menghawatirkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Maryanto (2010) yaitu meneliti tentang
pengaruh FDR terhadap non performing financing perbankan syariah dengan
menggunakan model regresi linier berganda menunjukan bahwa variabel FDR
secara simultan terdapat pengaruh yang nyata terhadap non performing financing
37
perbankan syariah dan FDR secara parsial mempunyai pengaruh signifikan dan
berkoefisien negatif.
F. Nilai Tukar (Kurs)
1. Definisi Nilai Tukar
Kurs (exchange rate) atau nilai tukar sering didefinisikan sebagai harga suatu
mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Nilai tukar valuta asing
adalah harga satuan mata uang dalam satuan mata uang lain. Nilai tukar valuta
asing ditentukan dalam pasar valuta asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang
yang berbeda diperdagangkan (Samuelson dan Nordhaus, 2004:604).
Kurs dibagi menjadi dua, yaitu: kurs nominal dan kurs riil, berikut pengertian
kurs menurut para ahli :
Nominal exchange rate and real exchange rate. The nominal exchange rate is
the relative price of two different kinds money, as set in the foreign exchange maket
( DeLong, 2002:29) Exchange rate changes have their own terminology.
Depreciation of a curerency refers to the fact that one currency has become
cheaper in terms of another currency. (Schiller, 2003:441). The other side of
defreciation is appreciation, an in crease in value of one currency as expressed in
another country”s currency. Whenever one currency depreciates, another
currency must appreciate. When the exchange rate changed from 2 euros = $1 to 1
euro=$1, not oly did the euro of a dollar fall, the dollar price of a euro rise. Hence,
the euro appreciated as the dollar depreciated. (Schiller, 2003:442)
Kurs valuta asing diklasifikasikan kedalam kurs jual, kurs beli, dan kurs
tengah, untuk melihat pengertian dari kurs jual dan kurs beli maka lihatlah dari
sudut pandang bank. Kurs jual adalah yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau
money changer menjual valuta asing atau apabila kita akan menukarkan rupiah
38
dengan valuta asing yang kita butuhkan (masyarakat membeli mata uang asing).
Begitu pula sebaliknya dengan kurs beli, kurs beli yaitu kurs yang digunakan
apabila bank atau money changer membeli valuta asing atau apabila kita akan
menukarkan valuta asing yang kita miliki dengan rupiah. (masyarakat menjual uang
asing). Kurs tengah yaitu kurs antara kurs jual dan kurs beli (penjumlahan kurs beli
dan kurs jual yang dibagi dua) (www.mypanjimshs. blogspot.com).
Menurut Kuncoro (2008:42) kurs rupiah adalah nilai tukar sejumlah rupiah
yang diperlukan untuk membeli satu US$ (US dollar). Nilai tukar tersebut
ditentukan oleh kekuatan dan penawaran pasar atau istilah lainnya adalah
mekanisme pasar. Kurs adalah harga dari asset domestic (deposito bank, obligasi,
saham, dan lain-lain yang didenominasikan dalam mata uang domestik) dinyatakan
dalam asset luar negeri (asset serupa yang dengan didedominasi dalam mata uang
asing). (Miskhin, 2008:116)
2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kurs Valuta Asing
Menurut Sukirno (2004:402) perubahan dalam permintaan dan penawaran
suatu valuta asing yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta
asing, disebabkan oleh banyak faktor. Yang terpenting diantaranya adalah seperti
sebagai berikut:
a. Perubahan dalam cita rasa masyarakat.
Citarasa masyarakat mempengaruhi corak ekonomi mereka. Maka perubahan
cita rasa masyarakat akan mengubah corak konsumsi mereka atas barang-barang
yang diproduksi didalam negri maupun yang diimpor.Jika kualitas barang impor
lebih berkualitas daripada barang-barang yang diproduksi dalam negri akan
menyebabkan keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi barang-barang impor
bertambah besar sehingga permintaan barang impor akan bertambah besar,
39
perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta
asing.
b. Perubahan harga-harga barang ekspor dan impor.
Harga suatu barang merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah suatu
barang akan diimpor atau diekspor. Barang-barang dalam negeri yang dapat
dijual dengan harga yang relatif lebih murah akan menaikan ekspor dan apabila
haragnya naik maka ekspor akan berkurang. Pengurangan harga barang impor
akan menambah jumlah impor. Dan sebaliknya, impor akan menyebabkan
perubahan dalam penawaran dan permintaan uang negara tersebut.
c. Kenaikan-kenaikan harga umum (inflasi)
Inflasi sangat besar pengaruhnya kepada kurs pertukaran valuta asing. Inflasi
yang berlaku pada umumnya cenderung untuk menurunkan nilai suatu valuta
asing. Kecendrungan seperti ini disebabkan efek inflasi yang berikut: inflasi
menyebabkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal. Oleh karena itu,
inflasi berkecendrungan mengurangi ekspor, keadaan ini menyebabkan
permintaan valuta asing bertambah dan akhirnya harga valuta asing akan
bertambah.
d. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.
Suku bunga dan tingkat pengembalian sangat penting dalam mempengaruhi
aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian yang sangat rendah
cenderung akan menyebabkan modal dalam negeri akan mengalir keluar negeri.
Begitupun sebaliknya, suku bunga dan pengembalian investasi yang tinggi akan
menyebabkan modal luar negeri masuk kenegera tersebut. Apabila lebih banyak
modal mengalir kesuatu negara, permintaan keatas maka uangnya bertambah
maka nilai mata uang tersebut akan bertambah.
40
e. Pertumbuhan ekonomi
Efek yang akan diakibatkan oleh suatu kemajuan ekonomi yang berlaku. Apabila
kemajuan itu ternyata diakibatkan oleh perkembangan ekspor, maka permintaan
keatas maka uang negara tersebut bertambah lebih cepat dari penawarannya dan
oleh karenanya nilai mata uang negara bersangkutan akan meningkat.
3. Hubungan Kurs dengan Non Performing Financing Perbankan Syariah
Kurs (exchange rate) atau nilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap
mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Hubungan kurs dengan non performing
financing dapat dilihat dari kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing, ketika
terjadi perubahan kurs rupiah terhadap asing sangat berpengaruh kepada kelancaran
usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asing dan jika
usaha tersebut dijalankan menggunakan bahan impor, maka akan memukul usaha
nasabah sebagai kreditur, sehingga mempersulit mereka untuk mengembalikan
kredit yang telah diberikan oleh bank dan mendongkrak nilai NPF perbankan
syariah. Penelitian yang dilakukan Taufan Verdino (2009:100) tentang nilai kurs
terhadap non performing loan perbankan Indonesia, hasil dari penelitian
menunjukan bahwa nilai kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap Non
performing loan.
G. Inflasi
1. Pengertian Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga
secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya
nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359). Inflasi adalah proses dari
suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga
yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi
41
jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
pengaruh-mempengaruhi.
Manurung lebih lanjut menggambarkan inflasi sebagai salah satu dari
persoalan politik yang sering diangkat menjadi komoditas politik. Sebuah
pemerintahan dianggap gagal bila tidak bisa mengatasi masalah inflasi.
Setidaknya terdapat dua efek utama yang disebabkan oleh inflasi, yaitu
redistribusi dan distorsi. Inflasi mengakibatkan efek distribusi pendapatan dan
kemakmuran karena terjadinya perbedaan pada aset dan utang yang dipegang
masyarakat. Inflasi mengakibatkan efek distorsi karena perekonomian
mengalami masalah efisiensi dan masalah penilaian total output. Masalah
efisiensi ekonomi terjadi karena adanya distorsi pada harga dan penggunaan
uang, sedangkan masalah penilaian total output terjadi karena adanya inflasi
mendorong pelaku ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan
adanya penyesuaian itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
2. Jenis-jenis Inflasi
Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis:
a. Penggolongan inflasi didasarkan sifatnya, inflasi dibagi menjadi tiga kategori
utama yaitu (Putong, 2002:260)
1) Inflasi Merayap (creeping Inflation)
Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu kurang dari 10% per
tahun.
2) Inflasi Menengah (galloping inflation)
Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan kondisi tersebut
berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi,
42
yang artinya harga pada bulan/minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu
sebelumnya.
3) Inflasi Tinggi (hyper inflation)
Inflasi jenis ini sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga barang meningkat
sampai dengan lima atau enam kali, sehingga nilai uang turun secara tajam.
Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang panas
(over heated), artinya permintaan atas produk melebihi kapasitas penawaran
produknya.
b. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi dua, yaitu:
(Sukirno, 2006:333).
1) Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan terlalu kuatnya
peningkatan agregat permintaan terhadap komoditi-komoditi di pasar barang.
2) Cost low inflation, yaitu inflasi yang dissebabkan bergesernya kurva agregat
penawaran ke arah kiri atas. Penyebabnya adalah meningkatnya harga-harga
faktor produksi sehingga menaikan harga komoditi di pasar.
3. Efek Buruk Inflasi
Ledakan inflasi telah membuat rumit perekonomian dan meningkatkan angka
kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh melambungnya harga minyak dunia
telah terbukti menjadi peristiwa yang banyak mengacaukan perekonomian dunia
selama beberapa dekade terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan
dampak inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar
dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiai nilai
kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi penurunan daya beli.
Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh biaya – biaya produksi dan
pemasaran yang makin naik. Sehingga pendapatan perusahaan makin menurun.
43
Manurung (2008:371) mengungkapkan setidaknya ada tiga biaya sosial yang
harus ditanggung dari tingginya angka inflasi. Dampak sosial tersebut ialah
menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya distribusi pendapatan, dan
terganggunnya stabilitas ekonomi.
Inflasi dapat menimbulkan beberapa efek buruk terhadap kegiatan ekonomi
dan kemakmuran individu dan masyarakat (Sukirno 2006:338).
a. Efek Buruk Inflasi terhadap Perkembangan Ekonomi
Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak
menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya
untuk tujuan spekulasi. Kegiatan ekonomi semacam ini dapat menyebabkan
produktivitas dan berakibat pada peningkatan pengangguran. Naiknya harga barang
lokal menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing diluar negeri sehingga
ekspor akan menurun.
b. Efek Buruk Inflasi terhadap Kemakmuran Masyarakat
Inflasi dapat menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan
tetap. Selain itu inflasi dapat mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang.
Sebaliknya harta-harta tetap seperti rumah dan tanah akan terus mengalami
kenaikan harga. Hal demikian dapat menyebabkan tidak meratanya kekayaan di
masyarakat.
4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM
Dalam perekonomian, inflasi merupakan hal yang wajar. Kehadirannya bisa
menggairahkan perekonomian atau justru menghancurkannya. Kenaikan harga-
harga yang disebabkan oleh inflasi juga akan dirasakan oleh para pengusaha,
terutama dalam memperoleh bahan baku untuk usaha. Inflasi mendorong pelaku
ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu
44
membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Manurung, 2008:260). Selain itu inflasi
juga mengharuskan pengusaha untuk menaikan gaji para pegawainya. Kedua hal
tersebut dapat berdampak pada kegiatan usaha yang dilakukan. Selain dapat
menurunkan keuntungan perusahaan, inflasi juga dapat mengurangi kemampuan
pengusaha untuk melunasi pembiayaan yang telah diberikan. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan kenaikan tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh
perbankan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoggart et al. (2005)
peningkatan penghapusan pinjaman meningkat setelah terjadi kenaikan inflasi
harga eceran. Sementara Babouček dan Jančar (2005) mengukur efek dari
guncangan makroekonomi pada kualitas kredit dari sektor perbankan Ceko untuk
periode 1993-2006 menemukan bukti laporan korelasi positif dari non-performing
loan dengan Tingkat pengangguran dan inflasi harga konsumen.
H. Tingkat Suku Bunga
1. Konsep Tingkat Suku Bunga
Sebagai lembaga perantara keuangan akan memperoleh keuntungan dari
selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga yang diterima dari
peminjam. Keuntungan tersebut disebut dengan spread based. Selain itu bank
memperoleh dari jasa-jasa bank lainnya yang disebut fee based. Kegiatan utama
bank sebagai lembaga intermediasi keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan
dana, maka menurut Kasmir (2003: 134) bunga merupakan komponen biaya dan
pendapatan bagi bank.
Kasmir (2003: 133) menyatakan bunga bank merupakan balas jasa yang
diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang
membeli atau menjual produknya. Atau bisa diartikan sebagai harga yang harus
45
dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar
oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memiliki pinjaman).
Adapun beberapa macam teori mengenai tingkat bunga yang dikemukakan
oleh para ahli, antara lain (Amalia, 2010:75):
a. Teori Keynes
Menurut keynes tingkat bunga merupakan hasil interaksi antara tabungan
dan investasi. Tingkat bunga menurut Keynes merupakan suatu fenomena
moneter artinya tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan
uang. Menurut Keynes uang merupakan salah satu bentuk kekayaan yang
dipunya seseorang (portofolio) seperti halnya kekayaan dalam bentuk tabungan
di bank, saham atau surat berharga lainnya dengan memperoleh keuntungan.
Apabila suku bunga naik maka harga surat berharga akan turun, sehingga
menyebabkan orang tertarik untuk membeli surat berharga.
b. Teori Klasik
Pendapat kaum klasik mengenai harga, bahwa fluktuasi bunga dapat
mempengaruhi perilaku penabung maupun investor. Bunga adalah ”harga” dari
penggunaan (loanable funds) atau ”dana yang tersedia untuk dipinjamkan”,
sebab menurut teori klasik bunga adalah ”harga” yang terjadi di ”pasar” dana
investasi.
Harapan tingkat suku bunga di masa yang akan datang mempengaruhi
seseorang untuk memanfaatkan uangnya. Namun dalam jangka panjang
pendapatanlah yang mempengaruhi kegiatan seseorang dalam perekonomian.
Untuk menentukan besar kecilnya tingkat bunga simpanan dan pinjaman
sangat dipengaruhi oleh keduanya. Artinya baik bunga simpanan maupun
pinjaman saling mempengaruhi disamping pengaruh faktor-faktor lainnya.
46
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga
Menurut Kasmir dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,
edisi keenam (2002:122) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya tingkat suku bunga, antara lain :
a. Kebutuhan dana
Apabila bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman
meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat
tepenuhi dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Peningkatan suku
bunga simpanan secara otomatis akan meningkatkan bunga pinjaman.
b. Persaingan
Dalam memperebutkan dan simpanan, maka disamping faktor
promosi, yang paling utama pihak perbankan harus memperhatikan
pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16%, maka jika
hendak membutuhkan dana dengan cepat sebaiknya bunga simpanan
dinaikkan diatas bunga pesaing misalnya 16%. Namun sebaliknya untuk
bunga pinjaman harus dibawah bunga pesaing.
c. Kebijakan Pemerintah
Dalam arti baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman tidak
boleh melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
d. Target Laba yang diinginkan
Sesuai dengan target laba yang diinginkan, jika laba yang diinginkan
besar maka bunga pinjaman ikut besar dan sebaliknya.
e. Jangka waktu
Semakin panjang jangka waktu pinjaman, maka akan semakin tinggi
bungannya, hal ini disebabkan besarnya kemungkinan resiko dimasa
47
mendatang. Demikian pula sebaliknya jika pinjaman berjangka pendek,
maka bunganya relatif rendah.
f. Kualitas jaminan
Semakin likuid jaminan yang diberikan, maka semakin rendah bunga
kredit yang dibebankan dan sebaliknya.
g. Reputasi perusahaan
Bonfiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat
menentukan tingkat suku bunga yang akan dibebankan nantinya, karena
biasanya perusahaan yang bonafit kemungkinan risiko kredit macet relatif
kecil dan sebaliknya.
h. Produk yang kompetitif
Maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran.
Untuk produk yang kompetitif, bungan kredit yang diberikan relatif rendah
jika dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif.
i. Hubungan baik
Biasanya bank menggolongkan nasabahnya antara nasabah utama
(primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan
kepada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap bank.
j. Jaminan pihak ketiga
Dalam hal ini pihak yang membarikan jaminan kepada penerima
kredit. Biasanya pihak yang memberikan jaminan bonafit, baik dari segi
kemampuan membayar, nama baik maupun loyalitasnya tehadap bank,
maka bunga yang dibeban pun juga berbeda.
Sementara itu dalam situs resminya Bank Indonesia mendefinisikan Tingkat
Suku Bunga Bank Indonesia sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan
48
sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan
diumumkan kepada publik.
BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat
Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang
dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management)
di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan
suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku
bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga
deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian,
Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank
Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan
berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
3. Hubungan BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah
Dalam penelitiannya yang dilakukan oleh Haron dan Shanmugam (1997)
menemukan bahwa suku bunga berpengaruh bagi perbankan syariah baik pada sisi
pengumpulan dana maupun pembiayaan. Meskipun Perbankan syariah tidak
menetapkan tingkat bunga baik pada sisi pembiayaan maupun pendanaan, tetapi
dalam dual banking system, bank syariah tidak bisa lepas dari risiko tingkat bunga.
Pasar yang dijangkau oleh perbankan syariah bukan hanya yang loyal terhadap
syariah, melainkan menjangkau pula pihak yang mengharap keuntungan dari bank
syariah. Karim (2007: 272) menjelaskan apabila terjadi bagi hasil pendanaan
syariah lebih kecil dari tingkat bunga maka nasabah akan berpindah ke bank
49
konvensional, sebaliknya pada sisi pembiayaan, apabila margin yang dikenakan
lebih besar dari tingkat bunga maka nasabah akan beralih ke bank konvensional.
Oleh sebab itu agar bank syariah lebih kompetitif, maka suku bunga acuan atau BI
Rate biasa digunakan sebagai benchmark dalam penentuan tingkat pengembalian
dan yang utama adalah margin keuntungan murabahah. Apabila tingkat
pengembalian tinggi maka kemungkinan terjadi default juga akan meningkat.
I. Penelitian terdahulu
Berikut studi-studi yang dilakukan untuk meneliti mengenai pembiayaan
bermasalah perbankan di suatu negara. Variabel-variabel tersebut seperti Inflasi,
nilai Kurs, GDP, tingkat suku bunga negara, pengangguran, FDR, dan pertumbuhan
pembiayaan. Tabel di bawah akan mencakup penjelasannya :
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
N
o.
Nama
dan Tahun
Variabel
yang digunakan
Metode
Analisis
Hasil
1 Vighnes
wara Swamy
(2012)) Impact
of
macroeconomic
and endogenous
factors
on non
performing bank
assets
(Jurnal
Asing)
Variabel
Independent
Inflasi,
pertumbuhan
kredit, asset bank,
dll dependen:
NPL
Regresi
Linear Berganda
Inflasi tidak
berpengaruh
terhadap NPL,
Pertumbuhan
kredit dan bank
size berpengaruh
negatif signifikan
terhadap NPL
50
N
o.
Nama
dan Tahun
Variabel
yang digunakan
Metode
Analisis
Hasil
2 Irum
Saba, Rehana
Kouser, dan
Muhammad
Azeem (2012)
“Determinants
of Non
Performing
Loans: Case of
US Banking
Sector”(Jurnal
Asing)
GDP, Total
Loans, dan
Interest Rate
Ordinary
least square
Regression
Terdapat
pengaruh yang
signifikan antara
NPL sebagai
variabel dependent
dengan GDP,
Total pinjaman,
dan tingkat suku
bunga sebagai
variabel
independent.
3 Etem
Hakan, Ergec,
dan Bengul
Gulumser
(2011)
Variabel
Independen:
Interest Rate
Variabel
Dependen:
Deposits
and Loan in
Islamic bankin
Vector
Error Correction
(VEC)
methodology
Kinerja
bank syariah di
Turki di sisi
pendanaan dan
pembiayaan
dipengaruhi oleh
tingkat suku bunga
4 Saiful
Anwar (2010)
Bursa efek
Jakarta, Inflasi,
Kurs, tingkat
bunga SBI, dan
jumlah uang
beredar
Variabel
Dependen :
Pengembalian
Bank dari rasio
NPF
Artificial
Netral Networks
(ANN)
Melihat
ramalan untuk
masa akan datang,
nilai tukar dan
Jumlah uang
beredar tingkat
pertama
mempengaruhi,
suku bunga SBI,
bursa efek Jakarta
dan inflasi tingkat
2 terhadap kredit
perbankan
5 Rahmaw
ulan (2008)
GDP,
Inflasi, Sertifikat
Bank Indonesia,
Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia
(SWBI). LDR
atau FDR
Variabel
Dependen : NPL
dan NPF
perbankan
konvensional dan
Vector
Autoregression :
Impulse Response
Membandi
ngkan variabel
dependen terhadap
kredit macet bank
syariah dan
konvensional
dengan NPF/NPL,
pembiayaan tidak
berpengaruh
terhadap kredit
bermasalah, GDP,
dan Inflasi, tapi
51
Syariah. berpengaruh
terhadap NPL dan
NPF. SBI
berpengaruh
positif terhadap
NPL.
N
o.
Nama
dan Tahun
Variabel
yang digunakan
Metode
Analisis
Hasil
6 Khemraj
dan Pasha
(2006),
melakukan
penelitian yang
berjudul “The
determinants of
non-performing
loans: an
econometric
case study of
Guyana”.
(Jurnal Asing)
Variabel
independen:
GDP, Interest
Rate, dan
pertumbuhan
kredit.
Variabel
dependen: NPL
Panel data
regresi Secara
parsial GDP
berpengaruh
negatif signifikan
terhadap NPL,
interest rate
berpengaruh
positif terhadap
NPL, dan
pertumbuhan
kredit berpengaruh
negatif.
7 Muham
mad Imaduddin
(2006)
“Determinants
of banking
credit default in
Indonesia: a
comparative
analiysis”
(Jurnal
Indonesia)
NPL, Bank Size,
Total Loan, GDP,
dan Indeks
industrial
Ordinary
least square
Regression
Secara simultan
berpengaruh
signifikan positif
terhadap NPF.
Secara parsial
Bank size
berpengaruh
signifikan positif,
Total loan negatif
signifikan, dan
GDP berpengaruh
positif.
8 Tarron
Khemraj dan
Sukrishnalall
Pasha (2004)
The
determinants of
non-performing
loans: an
econometric
case study of
Guyana.
Variabel
Independen:
Inflasi, Bank size,
dan pertumbuhan
kredit
Variabel
Independen: NPL
Regresi
Linear Berganda
Inflasi tidak
signifikan terhadap
NPL,
Pertumbuhan
kredit berpengaruh
signifikan negatif
terhadap NPL,
Bank size tidak
berpengaruh
terhadap NPL.
52
(Jurnal Asing)
J. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang tertuang
dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari
kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian
masalah yang ditetapkan (Rodoni, 2010:15)
Financing deposit to rasio (FDR) adalah perbandingan antara pembiayaan
yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil
dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2002:55) rasio ini menggambarkan alokasi
dana pihak ketiga terhadap pembiayaan yang dilakukan oleh bank, berdasarkan
bank indonesia FDR perbankan syariah mencapai >100% yang berarti bank syariah
sebagai lembaga intermediasi baik dalam menjalankan operasionalnya dalam sector
riil. Tingginya FDR bank syariah ini tidak terlepas dari karakteristik utama bank
syariah yang senantiasa mengaitkan kegiatan perbankan dengan aktivitas sector rill,
hal ini didasari pada prinsip-prinsip perbankan syariah yang dalam kegiatan
operasionalnya tidak dibenarkan melakukan pembiayaan (investasi) pada jenis
usaha yang dapat menimbulkan kemudharatan, seperti melakukan maghrib yakni
maysir, gharar, riba, dan bathil serta ikhtikar (spekulasi) dll.
Sebagai akibat dari pertumbuhan pembiayaan FDR yang cukup tinggi, maka
yang menjadi permasalahan pokok utama bank syariah adalah meningkatnya NPF
53
atau pembiayaan non lancar karena dalam menjalankan bisnis perbankan yang
penuh dengan resiko, bank syariah juga tidak terlepas dari resiko pembiayaan
bermasalah karena pembiayaan bermasalah tidak akan terjadi tanpa adanya
aktivitas pembiayaan yang disalurkan sehingga bank syariah perlu mengatur
strategi agar tingkat NPF di bank syariah tidak dalam kondisi yang menghawatirkan.
Variabel berikutnya yang turut mempengaruhi pembiayaan bermasalah ialah
kurs. Kurs adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore,
1997:9). Nilai tukar valuta asing adalah harga satu satuan mata uang dalam satuan
mata uang lain. Nilai tukar valuta asing ditentukan dalam pasar valuta asing yaitu
pasar tempat berbagai mata uang yang berbeda diperdagangkan (Samuelson dan
Nordhaus, 2004:604)
Perubahan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing sangat
berpengaruh kepada kelancaran usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan
dengan valuta asing dan jika usaha tersebut dijalankan menngunakan bahan impor,
maka akan memukul usaha nasabah sebagai kreditur, sehingga mempersulit mereka
untuk mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank dan mendongkrak nilai
NPL perbankan.
Variabel berikutnya yang turut mempengaruhi pembiayaan bermasalah ialah
inflasi. Inflasi merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi yang
berkepanjangan yang melanda suatu negara. Inflasi dapat diartikan sebagai suatu
proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung,
2008:359).
Pada tahun 2012 yang merupakan awal periode penelitian ini Inflasi IHK
mencapai 2,78% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi yang
54
ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Penyebabnya adalah
penurunan harga komoditas global, terutama harga energi, telah membuka peluang
bagi Pemerintah untuk menurunkan harga BBM yang diikuti dengan penurunan
tarif angkutan masing-masing 14,1% dan 12,1%.
Inflasi dapat menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat sehingga
menyebabkan penurunan permintaan barang yang ditawarkan produsen. Inflasi juga
mengharuskan pengusaha untuk menyesuaikan gaji pegawainya karena naiknya
harga-harga bahan kebutuhan. Hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnnya
keuntungan usaha, sehingga risiko pembiayaan bermasalah menjadi meningkat.
Variabel berikutnya yang turut mempengaruhi pembiayaan bermasalah ialah
tingkat suku bunga acuan atau BI Rate. Meskipun perbankan syariah tidak
menggunakan variabel tingkat suku bunga dalam aktivitas pengumpulan dan
pembiayaan. Namun secara tidak langsung, para pelaku perbankan syariah
menjadikan BI Rate sebagai benchmark dalam menentukan ekuivalen tingkat bagi
hasil maupun margin pada akad jual beli.
Digunakannya BI Rate sebagai acuan dalam penentuan ekuivalen nisbah bagi
hasil, menyebabkan perubahan tingkat suku bunga atau BI Rate turut memengaruhi
tingkat pembiayaan bermasalah. Tingginya ekuivalen bagi hasil maupun margin
pembiayaan dapat menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar atau default pada
pembiayaan.
Penulis membuat penelitian ini didasarkan atas penelitian-penelitian
sebelumnya dengan penambahan beberapa variabel dan metode penelitan yang
berbeda. Setelah peneliti mengumpulkan beberapa buku, jurnal, tesis, dan skripsi
peneliti mengambil beberapa variabel dari penelitian terdahulu kemudian membuat
55
paradigma penelitian yang berbeda dimana penelitaian ini menggunakan Ordinary
least square dan dengan menggunakan bantuan alat SPSS versi 23.
Berikut ini adalah kerangka pemikiran yang peneliti gambarkan secara
sederhana untuk menjelaskan proses penelitian ini.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Perbankan Syariah Indonesia
Variabel Makro Ekonomi
Inflasi FDR Kurs Tingkat Suku Bunga
Non Performing Financing Sektor UKM
Analisis
Uji F Uji Adjusted R2 Uji T
Uji statistik regresi berganda
Uji signifikasi model
Uji asumsi klasik regresi linear
berganda
Kesimpulan
1. Normalitas 2. Multikolinearitas 3. Heterokedatisitas 4. Autokorelasi
56
K. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu persoalan yang masih
perlu dibuktikan kebenarannya dan harus bersifat logis, jelas, dan dapat diuji.
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah disajikan, hipotesis yang dikemukakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara FDR, Kurs, Inflasi, dan Tingkat Suku
Bunga secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada
perbankan syariah.
H02 : Terdapat pengaruh antara FDR, Kurs, Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga
secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada
perbankan syariah.
2. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara FDR terhadap Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
H02 : Terdapat pengaruh antara FDR terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor
UKM pada perbankan syariah secara parsial.
3. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara Kurs terhadap Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
H02 : Terdapat pengaruh antara Kurs terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor
UKM pada perbankan syariah secara parsial.
4. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
H02 : Terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
5. H01 : Tidak terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap
Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
57
H02 : Terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap Pembiayaan
Bermasalah Sektor UKM pada perbankan syariah secara parsial.
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, penelitian ini berobyek kepada
Perbankan Syariah di Indonesia yang terdiri dari Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah dan dibatasi selama periode tahun 2012-2015. Dengan
menggunakan data time series yang diperoleh dari Bank Indonesia dan Badan
Pusat Statistik (BPS).
Penelitian ini menggunakan variabel terikat (dependent variables) yaitu
pembiayaan bermasalah sektor UKM di perbankan syariah. Sedangkan variabel
bebasnya (independent variables) yaitu FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate.
B. Metode penentuan sampel
Sugiyono (2008:61, 62) mengungkapkan bahwa populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karaketristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulan. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut.
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bank umum Syariah dan
Unit usaha syariah yang beroperasi di Indonesia yang telah memperoleh ijin resmi
dari Bank Indonesia pada periode Januari 2012 sampai Desember 2015. BUS dan
UUS dipilih karena sesuai dengan undang-undang.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sample data dalam rentang waktu
48 bulan. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 2012-2015 karena pada masa
59
tersebut berada di dalam siklus pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang
setelah tahun 2009 yang mengalami krisis ekonomi di dunia dan Indonesia.
C. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti melalui
pihak kedua atau tangan kedua (Usman, 2006:20). Peneliti menggunakan data
sekunder berupa data runtun waktu (time series) dengan skala bulanan yang
dihimpun oleh Bank Indonesia pada laporan statistik perbankan syariah dari bulan
Januari 2012 sampai dengan Desember 2015 yang diperoleh dari www.ojk.go.id
dan www.bi.go.id.
2. Metode Studi Pustaka
Yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi, dan mengkaji berbagai
literatur pustaka seperti berbagai majalah, jurnal, dan sumber-sumber yang
berkaitan dengan penelitian.
3. Internet
Yaitu mengumpulkan data dengan cara mencatat dan mengumpulkan
dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdapat dalam publikasi
Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Bank syariah yang termasuk dalam
sampel dalam situs-situs internet masing-masing lembaga.
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini sangat
bergantung pada sumber-sumber berikut:
a. Laporan tahunan perbankan tahun 2012-2015 yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia (BI).
b. Beberapa laporan statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
60
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode analisi Regresi Linier Berganda Sederhana (Ordinary Least Square).
Dalam melakukan analisis regresi linier berganda, metode ini mensyaratkan untuk
melakukan uji asumsi klasik agar mendapatkan hasil regresi yang baik (Ghozali,
2005:94 ).
1. Uji asumsi Klasik
Dalam menganalisis model regresi linear berganda agar menghasilkan
estimator yang baik, yaitu linier tidak bias dengan varian yang minimum
(bestlinier unbiased estimator = blue) adalah terpenuhinya asumsi dasar regresi
yaitu dengan melakkukan serangkaian uji asumsi klasik sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
variable pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti
diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti
distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak
valid untuk jumlah sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah
residual berdistribusi normal atau tidak (Ghozali, 2005:147), yaitu:
1. Analisis Grafik
Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat histogram yang
membandingkan antara observasi dengan distribusi yang mendekati normal
yaitu simetris dan tidak menceng ke kanan atau ke kiri. Atau dengan melihat
grafik normal probability plot, jika data menyebar disekitar garis diagonal
dan mengikuti arah garis diagonal menunjukkan pola distribusi normal,
maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Bila data menyebar jauh
61
dari garis diagonalnya dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka
model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
2. Uji Statistik Normalitas
Untuk mendeteksi normalitas data dengan cara uji statistik penelitian
ini menggunakan analisis statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov
test (K-S) Uji K-S dilakukan dengan membuat hipotesis:
Ho = data residual terdistribusi normal
Ha = data residual tidak terdistribusi normal
Dasar pengambilan keputusan dalam uji K-S adalah sebagai berikut:
a) Apabila probabilitas uji K-S signifikan secara statistik (p<0,05) maka Ho
ditolak, yang berarti data terdistribusi tidak normal
b) Apabila probabilitas uji K-S tidak signifikan statistik(p>0.05) maka Ho
diterima, yang berarti data terdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antara variabel independen. Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk mendeteksi
ada dan tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut
(Gujarati 2007, 205) :
1) Nilai r2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat
tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang
tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
2) Menganalisis matrik korelasi variabel – variabel independen. Jika antara
variabel independen ada korelasi cukup tinggi (umumnya diatas 0,80) maka
hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
62
3) Pengujian korelasi parsial
4) Regresi subsider atau tambahan. Mengingat multikolinieritas muncul karena
salah satu atau lebih variabel penjelas adalah kombinasi pasti linear, salah
satu cara untuk mengetahui variabel bebas mana yang sangat kolinear
dengan variabel bebas lainnya adalah dengan meregresikan masing-masing
variabel bebas terhadap variabel bebas lainnya untuk mengetahui R2 terkait.
5) Multikolinieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan (2) variance
inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel
independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya.
Tolerance mengukur variabel independen yang terpilih yang tidak dapat
dijelaskan oleh variabel independen lainnya, jadi nilai tolerance yang
rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai
cutoff yang yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya
multikolonieritas adalah nilai tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥
10.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi
antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada
periode t-1 (sebelumnya). Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah
ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut
waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah satu penyebab munculnya
masalah autokorelasi adalah adanya kelembaman (inertia) artinya kemungkinan
besar akan mengandung saling ketergantungan pada data data observasi
sebelumnya dan periode sekarang.
63
Salah satu metode analisis untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi
adalah dengan melakukan pengujian nilai durbin watson (DW test) (Ghozali,
2005:100). Hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 = tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha = ada autokorelasi (r ≠ 0)
Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai berikut:
Hipotesis nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif
Tolak 0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif
Tanpa keputusan dl ≤ d ≤ du
Tidak ada korelasi negatif
Tolak 4 – dl < d < 4
Tidak ada korelasi negatif
Tanpa keputusan 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl
Tidak ada autokorelasi positif atau negatif
Terima du < d < 4 – du
Sumber: Gujarati, Damodar N (United States Military Academy, West Point).
Essentials of Econometrics. Third Edition. McGraw-Hill International Edition. 2006.
d. Uji Heteroskedaskitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model
regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas.
1) Analisis Grafik
Untuk mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas dalam penelitian ini
dilakukan dengan analisis grafik, yaitu melihat grafik scartter plot antara
nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID,
dimana sumbu y adalah y yang telah diprediksi, dan sumbu x adalah
residual (y prediksi – y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Deteksi
64
ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan sebagai berikut: (Ghozali,
2005: 126)
a) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola
tertentu yang teratur, maka mengidentifikasikan telah terjadi
heterokedastisitas.
b) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan
dibawah angka 0 pada sumbu y, maka tidak terjadi heterokedastisitas.
2) Metode Park
Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai residual
(Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1, LnX2, LnX3, dan
LnX4). Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi tersebut
signifikan secara statistik, hal ini menunjukan bahwa dalam data model
empiris yang diestimasi terdapat heterokedastisitas, dan sebaliknya jika
parameter beta tidak signifikan secara statistik, maka asumsi
homokedastisitas pada data model tersebut tidak dapat ditolak (Ghozali,
2005:128)
Setelah melakukan serangkaian uji asumsi klasik diatas, maka data
yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode
regresi linier berganda. Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
NPF = α + b1FDR + b2Kurs + b3Inflasi + b4BIRate +
Keterangan NPF : Non Performing Financing
FDR : Finance to Deposit Ratio
Kurs : Nilai Mata Uang Rupiah Dollar
Inflasi : Nilai Inflasi
65
BIRate : Tingkat Suku Bunga Riil
α : Konstanta Regresi
b1 b2 b3 b4 : Koefisien Regresi
: Variabel yang berpengaruh di luar
variabel yang tidak dimasukan di
atas
E. Pengujian Hipotesis
Untuk menguji bisa atau tidaknya model regresi tersebut digunakan dan untuk
menguji kebenaran hipotesis yang dilakukan, maka diperlukan pengujian statistik,
yaitu:
1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F)
Uji F untuk menguji asumsi mengenai tepatnya model regresi untuk
diterapkan terhadap data empiris atau hasil observasi. Uji statistik F pada
dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan
dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau simultan terhadap
variabel dependen (Ghozali, 2005:88).
Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F Statistik
dengan F Tabel. F Hitung dapat diperoleh dengan rumus:
F Hitung =
Keterangan R2 = Koefisien determinasi
k = Jumlah variabel independen
n = Jumlah sampel
Langkah langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah:
R2/(k-1)
1-R2/(n-k)
66
a. Menyusun hipotesis nol H0 dan Hipotesis alternatif (Ha):
1) H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = 0 : artinya secara bersama-sama variabel
indepeden tidak berpengaruh terhadap variabel independen
2) Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, artinya secara bersama-sama variabel
independen berpengaruh terhadap variabel independen
b. Menetukan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0,05 (α)
c. Membandingkan f-hitung dengan f-tabel
1) Bila fhitung < ftabel maka H0 diterima dan ditolak Ha, artinya bahwa secara
bersama-sama variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel
dependen
2) Bila fhitung > ftabel, maka H0 ditolak dan menerima Ha artinya bahwa secara
bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen
d. Berdasarkan probabilitas
Ha akan diterima jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 (α).
2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t)
Uji t merupakan pengujian terhadap variabel independen secara parsial
(individu) dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel
independen secara individual terhadap variabel dependen.
Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t Statistik
dengan t Tabel. t Hitung dapat diperoleh dengan rumus:
t =
Dimana b adalah nilai parameter dan Sb adalah standar error dari b.
Standar error dari masing-masing parameter dihitung dari akar varians masing-
masing.
b
Sb
67
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah (Ghozali,
2005:88):
a. Menyusun hipotesis nol dan hipotesis alternatif:
1) Ho : b1 = 0: artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen
2) Ha : b1 ≠ 0 : artinya bahwa variabel independen berpengaruh terhadap
variabel dependen
b. Menentukan tingkat signifikansi α sebesar 0,05
c. Membandingkan thitung dengan ttabel
1) Jika thitung < ttabel atau -thitung > -ttabel maka H0 diterima atau menolak Ha,
artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh terhadap variabel
dependen.
2) Jika thitung > ttabel atau -thitung < -ttabel maka H0 ditolak atau meneria Ha,
artinya bahwa variabel independent berpengaruh terhadap variabel
dependen.
d. Berdasarkan probabilitas
Ha akan diterima jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (α)
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti
kemampuan variabel - variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel
dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005:87).
68
F. Definisi Operasional Variabel
Operasional variabel merupakan definisi dari serangkaian variabel yang
digunakan dalam penulisan (Hamid, 2010:20). Pengertian operasional variabel
adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat yang diamati. Dari definisi
operasional tersebut dapat ditentukan alat pengambilan data yang cocok
dipergunakan. Berikut ini mengenai definisi operasional variabel yang akan
digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Rasio Non Perfoming Financing
Variabel non performing financing (NPF) menggambarkan pembiayaan
bermasalah pada bank syariah yang meliputi pembiayaan kurang lancar (KL),
diragukan (D), dan macet (M). Rasio NPF diperoleh dengan rumus berikut:
NPF= x 100 %
Dalam penelitian ini rasio NPF merupakan variabel dependen yaitu
variabel yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh sejumlah variabel
independen. Variabel ini dinotasikan dengan notasi NPF.
2. Financing to Deposit Ratio (FDR)
FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank
syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank.
(Muhammad, 2002:55) Data FDR di peroleh dari bank yang bersangkutan
yang akan diteliti dengan satuan persen. (www.bi.go.id)
3. Kurs
Kurs (Nilai Tukar Mata Uang) adalah perbandingan nilai mata uang
suatu negara dengan mata uang negara lainnya (Sukirno, 2004:397). Pada
Pembiayaan yang bermasalah
Total Pembiayaan Disalurkan
69
penelitian ini yang digunakan adalah nilai tukar Rupiah terhadap US$.
menurut Bank Indonesia dengan memakai kurs tengah (kurs BI) dengan
memakai skala pengukuran nominal pada setiap tahun yang diperoleh dari
website Bank Indonesia dengan menggunakan data kurs tengah
(www.bi.go.id).
4. Inflasi
Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga
secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu
peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang
dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika
proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
mempengaruhi. (Adi 2012:74)
5. Tingkat Suku Bunga
Menurut Bank Indonesia, BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang
mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh
bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Sasaran operasional
kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang
Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini
diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan
pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
70
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
undang-undang sebelumnya yang dimana berdasarkan prinsip operasionalnya
bank dibedakan menjadi dua, yakni bank konvesional yang mendasarkan pada
prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim
dikenal dengan bank syariah. Bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah dan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau yang saat ini disebut sebagai Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah. (Khotibul 2016:1) Sebelumnya sistem perbankan
syariah sudah mulai dikenal luas di Indonesia pada tahun 1992 dengan momen
dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang memungkinkan bank-bank di
Indonesia menjalankan kegiatan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil.
Menurut Siregar (2002:2) upaya pengembangan perbankan syariah di
Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998
dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan
sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian
nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan
bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah
gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut
ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba),
transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir).
Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan
71
dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada
gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di
masa mendatang. Ketahanan ekonomi nasional yang sedemikian rupa dapat
menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu perekonomian yang
pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor riil.
Pada tahap awal, landasan hukum bagi pengembangan perbankan syariah
adalah UU No. 7 tahun 1992 yang mengizinkan bank untuk memberikan
pinjaman kepada nasabah dengan prinsip bagi hasil. Sejak tahun 1992-1998
dapat dikatakan tidak banyak kemajuan dalam perkembangan perbankan
syariah di Indonesia terutama karena belum ada landasan hukum yang jelas
mengenai keberadaan bank syariah. Dengan lahirnya UU No. 10 tahun 1998
dan UU No. 23 tahun 1999 keberadaan bank syariah diakui secara eksplisit dan
memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Bank Indonesia dalam
pengembangan perbankan syariah. (Adi 2013:77)
Tahun 1992 merupakan tahun yang menggembirakan dalam sejarah
perkembangan bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya bank
syariah pertama yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (BMI). Siregar
(2002:4) berpendapat bahwa dalam periode 1992-1998 tidak terdapat hal berarti
dalam perkembangan bank syariah yang disebabkan oleh beberapa hal:
a. Rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank
syariah.
b. Belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah.
c. Terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah.
72
d. Kurangnya sumber daya insani (SDI) yang memiliki keahlian perbankan
syariah.
Bank Muamalat Indonesia, adalah bank umum pertama di Indonesia yang
menerapkan prinsip Syariah Islam dalam menjalankan operasionalnya. Didirikan
pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Pemerintah Indonesia. Mulai beroperasi pada tahun 1992, yang didukung oleh
cendekiawan Muslim dan pengusaha, serta masyarakat luas. Pada tahun 1994,
telah menjadi bank devisa. Produk pendanaan yang ad menggunakan
prinsip Wadiah(titipan) dan Mudharabah (bagi-hasil). Sedangkan penanaman
dananya menggunakan prinsip jual beli, bagi-hasil, dan sewa.
Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen
terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan
operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut,
Bank Indonesia mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap
pengembangan perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999 membentuk
satuan kerja khusus yang menangani penelitian dan pengembangan bank syariah
(Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian
dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal Biro Perbankan Syariah
yang dibentuk pada 31 Mei 2001. Sebagai hasil dari upaya pengembangan
perbankan syariah yang dilaksanakan secara intensif sejak dikeluarkannya UU
No. 10 tahun 1998 maka pertumbuhan perbankan syariah relatif pesat sejak
tahun 1999. Pada awal tahun 1999 jumlah bank syariah baru terdapat 1 bank
umum syariah dengan 9 kantor cabang serta 76 BPRS.
Sementara itu pada tahun 2012 yang merupakan periode awal penelitian
ini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tiga
73
belas tahun sejak amandemen UU No. 10/1998, jumlah bank syariah di
Indonesia meningkat menjadi 11 bank sedangkan jumlah unit usaha syariah
sebanyak 24 bank. Membaiknya perekonomian dunia pasca krisis di tahun 2009
membuat optimisme menghampiri perkembangan perbankan syariah di tanah air.
Seperti digambarkan pada bab 1, dijelaskan bahwa jumlah Bank Umum
Syariah adalah sebanyak 12 bank dan Unit Usaha Syariah sebanyak 22 unit di
Juni 2015. Meskipun dalam perkembangannya perbankan syariah selalu
“diintai” oleh siklus krisis ekonomi baik di dalam maupun luar negeri namun
perbankan syariah justru mengalami perkembangan yang baik, bahkan industri
perbankan syariah sering disebut sebagai ”the fastest growing industry” yang
sempat menyentuh angka pertumbuhan aset di atas 20% setiap tahunnya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang notabene masih
tergolong masa awal perkembangan cenderung belum memiliki tingkat integrasi
dengan sistem keuangan global dan eksposur valas yang dimiliki oleh perbankan
syariah di Indonesia pun masih belum signifikan. Hal tersebut berdampak pada
terhindarnya dari dampak langsung krisis global yang terjadi.
Penelitian ini berobjek pada bank umum syariah dan unit usaha syariah
yang memperoleh ijin operasional dari Bank Indonesia yaitu sebanyak 12 bank
umum syariah dan 22 unit usaha syariah.
B. Anaslisis dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
bantuan pengolahan data SPSS 23 dan Microsoft Excel 2010. Variabel-variabel
yang diteliti yaitu terdiri dari variabel independent; FDR, Kurs, Inflasi, dan BI
74
Rate. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat Non Performing
Financing Sektor UKM. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Financing to Deposit Ratio (FDR)
FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank
syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank.
(Muhammad, 2002:55) Tujuan penting dari perhitungan FDR adalah untuk
mengetahui serta menilai sampai berapa jauh bank memliki kondisi sehat
dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya. Dengan kata lain FDR
digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu
bank syariah.
Besarnya FDR telah ditentukan oleh bank Indonesia tidak boleh
melebihi 110%. Yang berarti bank boleh memberikan kredit atau pembiayaan
melebihi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun asalkan tidak
melebihi 100% (Muhammad, 2005:55). Perkembangan FDR Januari 2012
sampai Desember 2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.1
Perkembangan Financing to Deposit Ratio Terhadap Perbankan Syariah di
Indonesia Periode 2012-2015
Bulan FDR (%)
2012 2013 2014 2015
Januari 87,27 100,63 100,07 88,85
Febuari 90,49 102,17 102,03 89,37
Maret 87,13 102,62 102,22 89,15
April 95,39 103,08 95,50 89,57
Mei 97,95 102,08 99,43 90,05
Juni 98,59 104,43 100,80 92,56
July 99,91 104,83 99,89 90,13
Agustu
s
101,03 102,53 98,99 90,72
Septem
ber
102,10 103,27 99,71 90,82
Oktobe
r
100,84 103,03 98,99 90,67
75
Novem
ber
101,19 102,58 94,62 90,26
Desem
ber
100,00 100,32 91,50 88,03
Sumber : Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.1 dapat dilihat perkembangan FDR di Indonesia pada tahun
2012 hingga tahun 2015 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun pengamatan
tingkat FDR tertinggi pada Juli 2013 yaitu FDR perbankan syariah menempati
104,83% melewati batas aman bank indonesia yaitu dibawah 93.75%, dengan
rasio NPF 4.76% hampir mendekati batas aman kesehatan bank syariah 5%,
yang artinya bank syariah harus lebih berhati-hati dalam penempatan dana pada
sektor riil, karena resiko yang besar. FDR terendah terjadi pada November 2012
tingkat FDR pada 87,13% yang artinya bank syariah lebih berhati-hati dalam
pembiayaan sekor riil dan lebih memilih instrument moneter yaitu sebagai
wadah over likuiditas yang mana resiko SBIS lebih kecil dibanding resiko
pembiyaan riil. Tingkat FDR dari tahun Januari 2012-Desember 2015 dalam
rata-rata 87-105 %.
b. Kurs (Rupiah/US$)
Nilai tukar berarti nilai pada tingkat mana dua mata uang yang berbeda
diperdagangkan satu sama lainnya. Pasar valuta asing adalah pasar dimana mata
uang asing diperdagangkan pada tingkat harga yang dinyatakan dalam nilai tukar.
(Rizhard Lipsey, 1995:413). Perkembangan nilai tukar rupiah (kurs
Rupiah/US$) periode 2005- 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2
Perkembangan Kurs Indonesia Periode 2012-2015
Bulan Kurs
2012 2013 2014 2015
Januari 9622 9753 10238 9778 Febuari 9790 9890 10457 9957
76
Maret 9810 9978 10627 10057 April 9975 10023 10834 10278 Mei 9236 10149 10760 10075 Juni 9754 10165 11321 10271 July 9974 10210 10968 9903
Agustu
s 9643 10175 11016 10009 Septem
ber 9821 10132 10710 10322 Oktobe
r 9632 10097 10717 9736 Novem
ber 9523 10075 10445 9886 Desem
ber 9897 10178 10164 10010
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa angka nilai tukar rupiah
(kurs) tertinggi terjadi pada bulan Juni 2014 yaitu sebesar Rp.11.321,26 dan nilai
tukar rupiah terendah terjadi pada bulan Mei 2012 yaitu sebesar Rp. 9.236,68
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah (kurs Rupiah/US$)
berfluktuasi.
Pada tahun 2014 hingga Desember 2015 kurs Rupiah/US$ kembali stabil
dan gambar di atas menunjukkan bahwa pergerakan yang stabil sepanjang tahun
tersebut karena berada pada kisaran Rp.10.000,00. Pada tahun 2013 hingga 2014
kurs Rupiah/US$ cenderung melemah dengan rata-rata diatas Rp.10.200,00.
Kecenderungan melemahnya nilai tukar Rupiah tersebut terkait dengan kondisi
sosial politik yang bergejolak. Dan pada pertengahan 2014 kurs
Rupiah/US$ kembali menguat hingga mencapai kisaran Rp. 10.164,00. dan dari
pertengahan 2014 sampai akhir 2015 rupiah stabil dan menguat cukup signifikan
sesuai pada gambar 4.2 yang menunjukkan bahwa pergerakan yang stabil
sepanjang tahun tersebut karena berada pada kisaran Rp.10.000,00 sampai
Rp.10.200,00.
77
Selama tahun 2015 penguatan nilai tukar rupiah tidak terlepas dari prospek
dolar AS yang sedang mengalami depresiasi. Dari sisi domestik, solidnya
fundamental ekonomi dan prospek pencapaian Investment Grade Indonesia yang
membaik menjadi faktor penarik bagi aliran modal masuk. Sehingga, nilai tukar
rupiah ini yang menguat cukup signifikan terutama disebabkan oleh derasnya
aliran masuk modal asing yang ditopang oleh keseimbangan interaksi
permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik serta fundamental
perekonomian domestik yang kuat. (www.bi.go.id)
c. Inflasi
Menurut Miskhin (2008:13) inflasi yaitu kegiatan kenaikan harga-harga
secara terus menerus, mempengaruhi individu, pengusaha dan
pemerintah.Dalam ilmu ekonomi, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus menerus. Dengan kata lain, inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah
proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi rendahnya tingkat harga. Artinya
tingkat harga yang dianggap tinggi belum dianggap inflasi. Inflasi dianggap
terjadi apabila proses kenaikan harga berlangsung secara terus menerus dan
saling mempengaruhi. (Sukirno, 2004:27)
Angka inflasi sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi selalu
menjadi pusat perhatian. Inflasi dapat dikaitkan dengan gejolak ekonomi yang
selalu mengitu perjalanan perekonomian suatu negara yang dinamis. Tekanan
inflasi menjadi tinggi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi
berbagai subsidi guna mendorong pembentukan harga berdasarkan mekanisme
pasar.
78
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan,
sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga
berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%-30% setahun;
inflasi berat antara 30%-100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tidak
terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkembangan
inflasi per bulan periode Januari 2012 hingga Desember 2015. Data tersebut
diperoleh dari situs www.bi.go.id.
Tabel 4.3. Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2012-2015
Bulan Inflasi (%)
2012
2013
2014
2015
Januari 3,65 4,57 8,22 6,96 Februari 3,56 5,31 7,55 6,29 Maret 3,97 5,90 7,32 6,38 April 4,50 5,57 7,25 6,79 Mei 4,45 5,47 7,32 7,15 Juni 4,53 5,90 6,70 7,26 Juli 4,56 8,61 4,53 7,26 Agustus 4,58 8,79 3,99 7,18 September 4,31 8,40 4,53 6,83 Oktober 4,61 8,32 4,83 6,25 November 4,32 8,37 6,23 4,89 Desember 4,30 8,38 8,36 3,35
Sumber: Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.2 dapat dilihat perkembangan inflasi di Indonesia pada tahun
2012 hingga tahun 2015 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun 2012, inflasi
meningkat secara signifikan, inflasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan
tingkat inflasi sebesar 4,61% Penyebab awalnya adalah faktor non fundamental
seperti anomali cuaca baik lokal maupun global yang menyebabkan harga
pangan melonjak. Komoditas bahan pokok seperti beras dan bumbu-bumbuan
79
memberi kontribusi kenaikan harga yang sangat besar pada inflasi volatile food
selama tahun 2012. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga barang atau
jasa yang bersifat strategis seperti tarif dasar listrik kelompok rumah tangga ikut
memengaruhi tingkat inflasi.
Pada tahun 2013 inflasi mencapai angka tertinggi pada bulan Agustus
yakni sebesar 8,79% dan inflasi terendah terjadi pada bulan Januari sebesar
4,57% dan jauh dari sasaran inflasi pemerintah yaitu 4,5% Inflasi terutama
dipicu oleh kawasan Sumatera yang dipengaruhi oleh tingginya inflasi
volatile food dan inflasi administered price, dan berakibat pada tertahannya
tren perbaikan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di tahun 2013.
Pada tahun 2014 dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 7,5% sepanjang
Januari sampai Desember, tingkat BI Rate ini dipandang masih konsisten
dengan upaya mencapai sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5%. Di bulan
November 2014 pemerintah menyikapi kebijakan kenaikan BBM bersubsidi,
BI menaikkan BI Rate menjadi 7,75%. Kenaikan ini ditempuh untuk
mematahkan risiko kenaikan ekspetasi inflasi dan memastikan bahwa tekanan
inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan
dapat segera kembali pada lintasan sasarannya.
Dan pada tahun 2015 inflasi tercatat sebesar 3,35% dan berada dalam
kisaran sasaran inflasi 2015. Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh faktor
global dan domestik. Di sisi global menurunnya harga minyak dunia
memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menurunkan harga BBM
domestik dan harga LPG 12 kg serta menyesuaikan tarif tenaga listrik.
Penurunan tersebut dimungkinkan sejalan dengan reformasi energi yang
mengatur penentuan harga energi berdasarkan harga keekonomiannya.
80
Penurunan harga komoditas global, termasuk harga pangan, menyebabkan
inflasi volatile food yang relatif terkendali.
(Laporan Perekonomian Indonesia Tahunan Periode 2012-2015)
d. BI Rate
BI Rate merupakan suku bunga dengan tenor 1 bulan yang diumumkan
oleh bank Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan
moneter. Secara sederhana, BI rate merupakan indikasi dari suku bunga
jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia dalam upaya untuk mencapai
target inflasi. (Adi 2012:89)
BI rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk
mengarahkkan agar suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar
terbuka berada disekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga BI rate diharapkan
mempengaruhi PUAB, suku bunga simpanan, dan suku bunga lainnya dalam
jangka panjang.
Sasaran akhir suatu kebijakan moneter dalam arti luas mencakup
stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja,
keseimbangan neraca pembayaran, stabilitas pasar uang, dan stabilitas pasar
valuta asing.
Data dari perhitungan tingkat suku bunga bank Indonesia diambil setiap
akhir bulan mulai dari bulan Januari tahun 2012 sampai dengan bulan
Desember tahun 2015, data diperoleh dari laporan moneter Bank Indonesia.
81
Tabel 4.4. Perkembangan BI Rate Periode 2012-2015
Bulan BI Rate (%)
2012
2013
2014
2015
Januari 6,00 5,75 7,50 7,75
Februari 5,75 5,75 7,50 7,50
Maret 5,75 5,75 7,50 7,50
April 5,75 5,75 7,50 7,50
Mei 5,75 5,75 7,50 7,50
Juni 5,75 6,00 7,50 7,50
Juli 5,75 6,50 7,50 7,50
Agustus 5,75 7,00 7,50 7,50
September 5,75 7,25 7,50 7,50
Oktober 5,75 7,25 7,50 7,50
November 5,75 7,50 7,75 7,50
Desember 5,75 7,50 7,75 7,50
Sumber: Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.4 dapat dilihat perkembangan BI Rate di Indonesia pada tahun
2012 hingga tahun 2015 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun 2012 hingga
tahun 2015 terus mengalami peningkatan. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 12 Januari 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate
pada level 6,0%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih sejalan dengan
pencapaian sasaran inflasi ke depan, upaya menjaga stabilitas sistem keuangan
serta tetap kondusif dalam mendukung ekspansi ekonomi domestik di tengah
ketidakpastian perekonomian global. Selama tahun 2012, perekonomian
Indonesia menunjukkan kinerja yang menggembirakan dengan tingkat inflasi
yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, nilai tukar Rupiah yang
stabil, dan stabilitas sistem keuangan yang terjaga. Pencapaian tersebut tidak
terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko memburuknya
perekonomian global.
82
Di sisi kebijakan, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran
kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan
Pemerintah. Dewan Gubernur meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan
moneter dan makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan
dalam pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa
inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5%±1% pada tahun 2012 dan 2013.
Pada tahun 2014 Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada
11 Desember 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar
7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit
Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Tingkat suku
bunga tersebut masih konsisten untuk memastikan tekanan inflasi jangka pendek
pasca kebijakan realokasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah akan tetap
terkendali dan temporer sehingga akan kembali menuju ke sasaran 4±1% pada
2015. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang
ditempuh selama ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat
yang lebih sehat.
Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter
yang cenderung ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit
transaksi berjalan, sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif
ditempuh agar pengetatan moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap
stabilitas sistem keuangan. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk
mendukung penyaluran program sosial Pemerintah dan memperluas Gerakan
Nasional Non-Tunai (GNNT).
83
Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah
juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya
dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi subsidi BBM
dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi struktural
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Dan pada Desember 2015 Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 17 Desember 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI
Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,50% dan
Lending Facility pada level 8,00%. Bank Indonesia memandang bahwa ruang
bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya
stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi akhir tahun 2015 yang akan berada
di bawah 3% dan defisit transaksi berjalan yang akan berada pada kisaran 2%
dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia akan mencermati
perkembangan pasar keuangan global pascakenaikan suku bunga Bank Sentral
AS (Fed Fund Rate) dan kondisi ekonomi domestik dalam jangka pendek ke
depan.
Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah
dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi
struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dengan stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan yang tetap terjaga.
(Laporan Perekonomian Indonesia Periode 2012-2015)
e. Pembiayan Bermasalah (NPF) UKM
Kredit atau pembiayaan yang disalurkan dikatakan bermasalah menurut
Manurung dan Rahardja (2004:196) jika pengembaliannya terlambat dibanding
jadwal yang direncanakan, bahkan tidak dikembalikan sama sekali. Dalam
84
konteks Indonesia, kredit atau pembiayaan bermasalah dapat dikelompokan
menjadi kredit tak lancar dan macet.
Kredit tak lancar adalah kredit yang masih dilakukan pembayarannya,
tetapi lebih lambat dari jadwal yang seharusnya. Kredit tak lancar dapat
dikelompokan menjadi tiga yaitu: kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.
Data NPF yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat NPF
bulanan pada sektor ukm perbankan syariah Indonesia periode Januari 2012
hingga Desember 2015. NPF tersebut diperoleh dari total pembiayaan non lancar
sektor UKM dibagi dengan total pembiayaan yang disalurkan yang tercatat
dalam Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasi dalam situs www.bi.go.id.
Tabel 4.5 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia Periode
2012-2015
Bulan Rasio Pembiayaan Bermasalah (%)
2012 2013 2014 2015 Januari 2.722 3.725 5.455 9.608
Februari 2.930 4.197 6.425 10.081
Maret 3.011 4.434 5.953 9.650
April 3.098 4.664 6.554 9.312
Mei 3.304 4.883 7.624 9.707
Juni 3.384 4.518 7.542 9.755
Juli 3.533 4.798 8.354 10.010
Agustus 3.468 5.249 8.890 10.007
September 3.575 4.962 9.175 9.851
Oktober 3.499 5.302 9.341 9.852
November 3.506 5.561 9.642 9.752
Desember 3.269 4.828 8.632 9.248
Sumber: Bank Indonesia dan Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa rasio pembiayaan bermasalah atau NPF
pada tahun 2012 hingga tahun 2015 mengalami peningkatan yang cukup besar.
Hingga akhir tahun 2015 yang merupakan batas tahun penelitian, Rasio
pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah Indonesia
cenderung meningkat yakni dengan rata-rata NPF sebesar 9,73 % dengan jumlah
85
pembiayaan yang bermasalah sebesar Rp 4.728.410.000.000,- (Statistik
Perbankan Syariah, data diolah).
Pada tahun 2012 sampai 2015 terjadi penurunan kinerja perbankan syariah
secara signifikan yang tercermin pada meningkatnya pembiayaan bermasalah.
Dengan mengacu perkembangan pada rasio non performing financing (NPF)
yang meningkat menjadi sebesar 10%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa
perbankan syariah sedang mengalami kendala di bagian pembiayaan yang terus
meningkat setiap tahunnya.
Akan tetapi pada akhir tahun 2015 terjadi penurunan dari total pembiayaan
bermasalah pada sektor UKM menjadi 9,2% di bulan Desember 2015, kondisi
ini memperlihatkan bahwa bank syariah semakin berhati-hati dalam
menyalurkan pembiayaannya dan dan kemampuan pengelolaan risiko
perbankan syariah.
2. Analisis Pengujian Statistik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas dan
variabel terikat mempunyai distribusi normal. Maksud dari distribusi
normal adalah data akan mengikuti garis diagonal dan menyebar disekitar
garis diagonal. Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai
residual yang telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal
atau tidak. Nilai residual dikatakan berdistribusi normal jika nilai residual
terstandarisasi tersebut sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan uji normalitas dengan analisis grafik
dan uji Kolmogorov-Smirnov.
86
1) Analisis Grafik Histogram
Gambar 4.6. Histogram
Berdasarkan grafik histogram pada gambar 4.6. tampak bahwa
residual terdistribusi secara normal dan berbentuk simetri tidak
menceng ke kanan atau ke kiri atau dapat dikatakan histogramnya
menunjukan pola distribusi normal.
87
2) Analisis Grafik dengan Normal Probability Plot
Gambar 4.7. Grafik P-Plot
Hasil uji normalitas data di atas, menunjukan bahwa data
menyebar dan mengikuti arah garis diagonal. Maka, dapat disimpulkan
bahwa model yang digunakan dalam analisis ini telah memenuhi asumsi
normalitas data.
88
3) Uji Kolmogorv-Smirnov
Tabel 4.6. Uji Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 48
Normal Parametersa,b
Mean ,0000000
Std. Deviation 1160,28981093
Most Extreme Differences Absolute ,099
Positive ,064
Negative -,099
Test Statistic ,099
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, maka dapat disimpulkan data
dalam penelitian ini berdistribusi normal dilihat dari nilai Sig > α atau
0,200> 0,05.
b. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas diperlukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen
lain dalam suatu model. Kemiripan antar variabel independen dalam suatu
model menyebabkan terjadinya korelasi yang sangat kuat antara satu
variabel independen dengan satu variabel yang lain. Selain itu, deteksi
terhadap uji multikolieneritas juga bertujuan untuk menghindari kebiasan
dalam proses pengambilan kesimpulan mengenai pengaruh pada uji parsial
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
89
Mengukur multikolinieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan
Variance InflationFactor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel
independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai
VIF tinggi karena VIF=1/tolerance. Nilai cut off yang umum dipakai untuk
menunjukan adanya multikolinieritas adalah nilai tolerance<0,010 atau
sama dengan VIF< 10. Berikut ini adalah hasil dari uji Multikolinieritas:
Tabel 4.7. Uji Multikolineritas dengan Nilai Tolerance dan VIF
(Variance Inflation Factor)
Coefficientsa
Model
Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
FDR ,455 2,200
Kurs ,415 2,412
Inflasi ,445 2,246
BiRate ,225 4,436
a. Dependent Variable: NPF
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, nilai Tolerance variabel bebas FDR =
0,455, Kurs = 0,415, Inflasi = 0,455, dan BI Rate = 0,225. Sedangkan nilai
VIF variabel bebas FDR= 2,200, Kurs = 2,412, Inflasi = 2,246, dan BI
Rate = 4,436. Dapat disimpulkan bahwa model regresi dinyatakan bebas
dari multikolineritas karena nilai tolerance > 0,01 dan nilai VIF < 10.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi
antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu
(time series) atau ruang (cross section). Salah satu penyebab munculnya
masalah otokorelasi adalah adanya kelembaman (inertia) yang artinya
90
kemungkinan besar akan mengandung saling ketergantungan
(interdependence) pada data observasi periode sebelumnya dan periode
sekarang.Salah satu ukuran dalam menentukan ada tidaknya masalah
otokorelasi adalah dengan menguji Durbin-Watson (DW). Berikut ini
adalah hasil uji aotokorelasi dengan metode Durbin-Watson (DW) pada
tabel di bawah ini:
Tabel 4.8. Uji Durbin-Watson (DW)
Berdasarkan
pada tabel 4.7. di atas, nilai Durbin-Watson (DW) sebesar 0,261 dan dari
tabel Durbin-Watson test 5% significance level dengan jumlah sampel 48
dan jumlah variabel 5, didapat dL=1,36192 dan dU=1,72061 berikut
penjabarannya.
Uji autokorelasi positif, jika 0< d < dL maka terjadi autokorelasi
positif dan hasil :
0 < d = 0,261 < dL=1,36192
Uji autokorelasi negatif, jika (4-d) > dL dan (4-d) > dU maka tidak
terdapat autokorelasi negatif dan hasil :
4-d = 3,739 > dL=1,36192
4-d = 3,739 > dU=1,72061
M
odel
Durbin-
Watson
1 0,261
91
Maka pada model regresi ini terdapat autokorelasi positif dan tidak
terdapat autokorelasi negatif, dan dapat disimpulkan analisis regresi ini
terdapat autokorelasi positif.
d. Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas yaitu kondisi di mana semua residual atau error
mempunyai varian yang berubah-ubah atau tidak konstan. Untuk
mengetahui apakah suatu data bersifat heterokedastisitas atau tidak, maka
perlu pengujian. Pengujian heterokedastisitas dalam pada penelitian ini
menggunakan metode analisis grafik scatterplot dan metode park. Berikut
hasil dari metode yang dilakukan:
1) Grafik Scatterplot
Ada atau tidaknya heterokedatisitas pada suatu model dapat
dilihat dari pola gambar scatterplot model tersebut. Analisis pada
gambar scatterplot yang menyatakan model regresi linear berganda
tidak terdapat heterokedatisitas jika:
a) Titik-titik menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0.
b) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja.
c) Penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk pola
bergelombang melebar kemudian menyempit dan melebar
kembali.
d) Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola.
92
Gambar 4.8 Hasil Uji Heterokedatisitas
Gambar 4.8. menunjukan bahwa titik-titik data menyebar di atas,
di bawah, dan disekitar angka nol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
model regresi berganda ini terbebas dari asumsi klasik
heterokedatisitas dan layak digunakan dalam penelitian.
2) Uji Park
Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai
residual (LRES_2) dengan masing-masing variabel dependen (Lnx1,
Lnx2, Lnx3, dan Lnx4). Kriteria pengujian dengan menggunakan metode
park adalah sebagai berikut:
Ho : tidak ada gejala heteroskedastisitas
Ha : ada gejala heteroskedastisitas
Ho diterima bila –t tabel < t hitung < t tabel berarti tidak
terdapat heteroskedastisitas dan Ho ditolak bila t hitung > t tabel atau
-t hitung < -t tabel yang berarti terdapat heteroskedastisitas. Berikut
ini adalah hasil uji heterokedatisitas dengan menggunakan metode park.
93
Tabel 4.9. Tabel Uji Park
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 18,380 95,376 ,193 ,848
Lnx1 -17,235 8,446 -,416 -2,041 ,047
Lnx2 8,428 12,858 ,141 ,656 ,516
Lnx3 4,152 1,813 ,473 2,291 ,027
Lnx4 -6,220 5,508 -,327 -1,129 ,265
a. Dependent Variable: LNRES_2
Berdasarkan tabel 4.8 di atas, dapat dilihat bahwa nilai t hitung
FDR (Lnx1) = -2,041, Kurs (Lnx2) = 0,656, Inflasi (Lnx3) = 2,291, dan BI
Rate (Lnx4) = -1,129. Sedangkan nilai t tabel dapat dicari pada tabel t
dengan df = n-2 atau 48-2 = 46 dengan signifikansi 0,05 maka di dapat
nilai t tabel sebesar 2,329. Karena nilai t hitung masing-masing variabel
bebas berada pada –t tabel < t hitung < t tabel, maka Ho diterima artinya
pengujian dengan menggunakan metode park disimpulkan tidak ada
gejala heteroskedastisitas. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak
ditemukannya masalah heteroskedastisitas pada model regresi ini.
94
3. Pengujian Hipotesis
a. Uji F
Uji Fhitung digunakan untuk menguji pengaruh secara simultan
variabel bebas terhadap variabel terikatnya untuk menguji ketepatan model
(goddes of fit). Jika variabel bebas memiliki pengaruh secara simultan
(bersama-sama) terhadap variabel terikat maka model persamaan regresi
masuk dalam kriteria cocok atau fit. Sebaliknya, jika tidak terdapat
pengaruh secara simultan maka model masuk dalam kategori tidak cocok
atau not fit.
Adapun cara untuk melakukan pengujian uji F ini, dengan
menggunakan tabel ANOVA (Analysis of Variance) dengan melihat nilai
signifikasi (Sig < 0,05 atau 5%). Jika nilai signifikasi >0,05 maka H1
ditolak, sebalikya jika nilai signifikasi <0,05 maka H1 diterima. Berikut
adalah tabel ANOVA pada tabel 4.9 di bawah ini:
Tabel 4.10.
Uji F
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 269893899,069 4 67473474,767 45,853 ,000b
Residual 63274804,931 43 1471507,091
Total 333168704,000 47
a. Dependent Variable: NPF
b. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
Berdasarkan tabel 4.9. di atas nilai Fhitung diperoleh 45,853 α 5%.
Numerator adalah (jumlah variabel – 1) atau 5-1 = 4 dan Denumerator
adalah (jumlah kasus – jumlah variabel bebas) atau 48-4 = 44 maka Ftabel
95
adalah 2,59. Sementara nilai sig sebesar <0,05 (0,000< 0,05) maka Ho
ditolak, sehingga hipotesis yang menyatakan Tidak ada pengaruh antara
FDR, Kurs , Inflasi, dan BI Rate terhadap NPF Sektor UKM Perbankan
Syariah Indonesia ditolak. Dengan demikian terbukti bahwa terdapat
pengaruh antara FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate terhadap NPF Sektor UKM
Perbankan Syariah Indonesia.
b. Uji t
Setelah melakukan uji koefiensi regresi secara keseluruhan, maka
langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu
atau uji t. Uji t digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh masing-
masing variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen yang
diuji pada tingkat signifikasi 0,05 maka variabel independen berpengaruh
terhadap variabel dependen.
Tabel 4.11. Hasil Uji t
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 2533,399 4966,408 -,510 ,613
FDR -91,886 46,831 -,193 -1,962 ,049
Kurs ,034 ,658 ,005 ,052 ,958
Inflasi -319,355 164,653 -,193 -1,940 ,043
BiRate 2842,818 442,118 ,900 6,430 ,000
a. Dependent Variable: NPF
Berdasarkan tabel di atas, besarnya pengaruh masing-masing
variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen
dapat dijelaskan sebagai berikut: FDR, dari pengujian hipotesis
96
menunjukan bahwa t hitung < t tabel (-1,962 < 2,024) dan tingkat
signifikasinya sebesar 0,049 lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05)
(sig < α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H01 ditolak dan H02
diterima. Artinya, FDR mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
rasio pembiayaan bermasalah. Dan koefisien regresi sebesar -91,886
menunjukan hubungan yang negatif. Artinya jika terjadi kenaikan FDR
sebesar 1% maka NPF sektor UKM akan mengalami penurunan sebesar
91,886%.
Pada tabel 4.10. di atas diketahui bahwa Kurs menunjukan bahwa t
hitung < t tabel (0,052 < 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,958
lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian,
secara parsial hipotesis H01 diterima dan H02 ditolak. Artinya, Kurs tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan
bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar 0,034
menunjukan hubungan yang positif.
Variabel inflasi menunjukan bahwa t hitung < t tabel (-1,940 <
2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,043 lebih besar dari taraf
signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis
H01 ditolak dan H02 diterima. Artinya, inflasi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan
koefisien regresi sebesar -319,335 menunjukan hubungan yang negatif.
Artinya jika terjadi kenaikan inflasi sebesar 1% maka rasio pembiayaan
bermasalah sektor UKM akan mengalami penurunan sebesar 319,335%.
Sementara itu pada tabel 4.10. di atas menjelaskan bahwa variabel BI
Rate menunjukan t hitung > t tabel (6,430 > 2,024) dan tingkat
97
signifikasinya sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05)
(sig< α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H01 ditolak dan H02
diterima. Artinya, BI Rate mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar
2842,818 menunjukan hubungan yang positif.
Konstanta sebesar 2533,399 menyatakan bahwa jika variabel
independen yaitu: FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate bernilai tetap atau
konstan, maka nilai variabel dependen yaitu rasio pembiayaan bermasalah
sektor UKM adalah 2533,399.
c. Uji Adjusted R Square (R2 adj)
Koefisien determinasi atau R Square (R2) merupakan besarnya
kontribusi variabel bebas terhadap terikatnya. Semakin tinggi koefisien
determinasi, semakin tinggi kemampuan variabel bebas dalam
menjelaskan variasi perubahan pada variabel terikatnya. Koefisien
determinasi memiliki kelemahan, yaitu bias terhadap jumlah variabel
bebas yang dimasukkan dalam model regresi di mana setiap penambahan
satu variabel bebas dan jumlah pengamatan dalam model akan
meningkatkan nilai R2 meskipun variabel yang dimasukkan tersebut tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Untuk
mengurangi kelemahaan tersebut maka digunakan koefisien determinasi
yang telah disesuaikan, Adjusted R Square (R2
adj).
Koefisien determinasi yang telah disesuaikan berarti bahwa koefisien
tersebut telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah variabel dan ukuran
sampel yang digunakan. Dengan menggunakan koefisien determinasi yang
disesuaikan maka nilai koefisien determinasi yang disesuaikan itu dapat
98
naik atau turun oleh adanya penambahan variabel baru dalam model.
Selengkapnya mengenai hasil uji Adj R2
dapat dilihat pada tabel 4.11 di
bawah ini.
Tabel 4.12. Uji Adjusted R Square (R2
adj)
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,900a ,810 ,792 1213,057
a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
b. Dependent Variable: NPF
Besarnya angka Adjusted R Square adalah 0,792 atau sebesar 79,2%.
Dapat disimpulkan bahwa pengaruh FDR, Kurs, Inflasi dan BI Rate
terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM perbankan syariah
Indonesia adalah 79,2% , sedangkan sisanya sebesar 20,8% dipengaruhi
oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam penelitian ini.
Adapun angka koefisien korelasi (R) menunjukan nilai sebesar 0,900 yang
menandakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau 0,900 > 0,5.
C. Interpretasi
Berdasarkan tabel 4.10 hasil uji t. di atas, maka dapat disusun persamaan
regresi untuk penelitan ini adalah sebagai berikut.
Y = 2533,4 - 91,9 X1 - 319,3 X3 + 2842,8 X4
99
Dimana:
Y = Rasio Pembiayaan Bermasalah sektor UKM (dalam persentase)
X1 = Tingkat FDR Bulanan (dalam persentase)
X2 = Tingkat Kurs Bulanan (dalam persentase)
X3 = Tingkat Inflasi (dalam persentase)
X4 = Tingkat Suku Bunga Bulanan (dalam persentase)
Persamaan regresi diatas didapat dari hasil variable NPF sebagai variable
dependen dan test variable konstanta dengan Y = 2533,4 didapat dari hasil regresi
NPF dengan menggunakan data tingkat pembiayaan bermasalah periode Januari
2012 sampai Desember 2015 di tabel 4.4 yang berarti setiap 1 % kenaikan dalam
tingkat NPF akan menambah NPF sebesar 2533,4 miliar dalam setiap periodenya ,
variable yang mempengaruhi Y sebagai pembiayaan bermasalah dikarenakan
tingkat signifikasinya <0,05 ialah X1= -91,9 sig= 0,049 sebagai regresi dari tingkat
FDR tabel 4.1, X3= -319,3 sig= 0,043 sebagai regresi dari tingkat inflasi tabel 4.2
dan X4= 2842,8 sig= 0,000 sebagai regresi tingkat suku bunga bulanan. Variabel
yang tidak mempengaruhi Y dikarenakan tingkat signifikasinya >0,05 ialah X2 =
0,034 sig= 0,958 sebagai regresi tingkat kurs bulanan.
Berikut interpretasi penulis terhadap hasil penelitian ini :
1. Pengaruh FDR terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Koefisien regresi dari FDR sebesar -91,9 dan berdasarkan pada tabel 4.10,
variabel FDR mempunyai nilai signifikasi 0,049 < 0,05.Hal ini berarti menerima
H1, sehingga dapat disimpulkan bahwa FDR berpengaruh signifikan terhadap
NPF sektor UKM di perbankan syariah Indonesia. Hubungan FDR dan NPF
bersifat negatif yaitu Y= 2533,4 - 91,9 X1, dengan melihat FDR (X1) sebagai
100
variabel yang berpengaruh, dapat disimpulkan bahwa setiap 1% kenaikan tingkat
FDR akan mengurangi pembiayaan bermasalah sebesar 91,9 miliar rupiah.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khodijah (2010), Wulandari (2012), dan Halim (2007) yang menyimpulkan
bahwa tingkat FDR berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM.
2. Pengaruh Kurs terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.10. di atas, variabel Kurs mempunyai nilai
signifikasi 0,958 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat
disimpulkan bahwa Kurs tidak berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah
sektor UKM.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mutamimah (2012), Siti Nurzaidah (2012), Verdino (2009) menyimpulkan
bahwa pembiayaan bermasalah sektor UKM tidak bergantung pada nilai mata
uang atau Kurs.
3. Pengaruh Inflasi terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.10. di atas, dan menggunakan data tingkat Inflasi
dari periode Januari 2012 sampai Desember 2015 koefisien regresi Inflasi -319,3
sebagai variable X3 dalam persamaan regresi di atas,dan variabel inflasi
mempunyai nilai signifikasi 0,043 < 0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga
dapat disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap NPF (2533,4)
sektor UKM. Hubungan inflasi dan NPF sektor UKM bersifat negatif yaitu Y=
2533,4 – 319,3 X3, dengan melihat inflasi (X3) sebagai variabel yang
berpengaruh terhadap tingkat NPF dapat disimpulkan bahwa setiap 1 %
kenaikan dalam tingkat inflasi akan mengurangi pembiayaan bermasalah sebesar
319,3 miliar rupiah.
101
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hogart et al (2005), Khemraj dan Pasha (2006), Tanujaya (2006), Cahyo (2011),
dan Swamy (2012) menyimpulkan bahwa inflasi mempunyai pengaruh negatif
terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM.
4. Pengaruh BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.10. di atas, dan dengan menggunakan data
tingkat variabel BI Rate periode Januari 2012 sampai Desember 2015. Dengan
koefisien regresi 2842,8 nilai signifikasi 0,000 < 0,05. Hal ini berarti menerima
H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa BI Rate berpengaruh signifikan terhadap
NPF sebesar 2533,4 sektor UKM.
Hubungan antara BI Rate dan pembiayaan bermasalah sektor UKM
bersifat positif yaitu Y= 2533,4 + 2842,8 X4 dengan BI Rate sebagai salah satu
variabel yang mempengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah, maka dapat
disimpulkan setiap kenaikan 1% dalam tingkat suku bunga akan meningkatkan
NPF sebesar 2842,8 miliar rupiah.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Badrudin (2008), Arifah (2011), dan Mahmud (2006) yang menyimpulkan
bahwa tingkat suku bunga akan meningkatkan pembiayaan bermasalah sektor
UKM.
102
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh dari financing to
deposit ratio, nilai tukar rupiah atau kurs, tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga atau
BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah atau NPF dengan menggunakan data time
series pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia periode Januari 2012 sampai
dengan Desember 2015. Dari pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Secara parsial dari perumusan permasalahan sebelumnya, menghasilkan
bahwa hasil dari uji F yang telah dilakukan menunjukkan variabel FDR,
Kurs, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh secara simultan dan signifikan
terhadap pembiayaan bermasalah di sektor UKM di sektor UKM perbankan
syariah Indonesia periode 2012-2015.
2. Secara parsial hasil dari uji t juga menunjukkan variabel FDR, Inflasi, dan BI
Rate berpengaruh secara signifikan terhadap pembiayaan bermasalah yang
dimiliki oleh sektor UKM pada perbankan syariah Indonesia periode 2012-
2015, dan juga hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak berpengaruhnya
tingkat perubahan dari Kurs terhadap tingkat perubahan NPF sektor UKM,
terdapatnya hubungan yang negatif dari variabel FDR dan variabel Inflasi,
dan hubungan positif dari variavel BI Rate terhadap NPF dari sektor UKM
pada perbankan syariah di Indonesia.
3. Nilai Adjusted R Square dari hasil sebelumnya dalam penelitian ini adalah
sebesar 0,792 artinya sebesar 79,2% dari variasi pembiayaan bermasalah
yaitu FDR, Kurs, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh terhadap NPF sektor
103
UKM perbankan syariah Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 20,8%
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam
penelitian ini. Adapun angka koefisien korelasi (R) menunjukan nilai sebesar
0,900 yang menandakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau dari
hasil adalah 0,900 > 0,5.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa implikasi
yang harus diperhatikan, karenanya peneliti mencoba mengemukakan implikasi yang
mungkin bermanfaat kedepannya, di antarnya:
1. Perbankan Syariah
Dari adanya temuan, bahwa FDR, Inflasi, dan BI Rate berpengaruh
signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Sementara itu,
Kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor
UKM dengan tingkat kontribusi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini
dapat bermanfaat untuk evaluasi pertumbuhan pembiayaan di sistem
Perbankan Syariah. Ukuran aset bank dapat meningkatkan pengawasan
terhadap rasio NPF di perbankan syariah dengan manajemen risiko secara
efisien. Sehingga semakin besar suatu bank dapat memanfaatkan aset yang
dimilikinya untuk mengunakan, mengawasi, dan mengontrol pembiayaan
yang disalurkan bank tersebut. Penulis menyarankan agar pihak perbankan
syariah terus meningkatkan fungsi manajemen pembiayaannya dengan bijak
kedepannya. Baik sebelum maupun sesudah pembiayaan disalurkan pada
sektor UKM dengan memanfaatkan sistem informasi yang memadai. Di
samping itu dalam menjalankan manajemen risikonya, perbankan syariah
104
juga disarankan untuk ikut serta memperhatikan kondisi pasar dengan
merespon kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral agar bank-bank
syariah dapat terus bersaing di tengah konsumen dan nasabahnya yang
beraneka ragam.
2. Bagi Nasabah Debitur
Implikasi bagi debitur sektor UKM khususnya dalam pembiayaan
perbankan syariah agar debitur sektor UKM harus lebih memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran bisnis yang dijalankan guna
memenuhi kewajibannya untuk membayarkan angsuran dari pembiayaan
yang telah disalurkan. Dan disarankan agar menjauhi perilaku moral hazard
yang dapat berpotensi besar merugikan pihak perbankan syariah selaku
pemberi pembiayaannya. Disarankan pula bagi pihak debitur agar memilih
pembiayaan yang tepat dan sesuai dengan karateristik bisnis yang dijalankan
dan sesuai dengan kapasitas kemampuannya dalam mengelola sumber dana
agar tidak terjadi default atau pembiayaan yang tergolong bermasalah.
3. Bagi Akademisi
Penelitian ini akan menambah jumlah pustaka ilmu perekonomian di
bidang manajemen khususnya bidang perbankan syariah dan dapat dijadikan
bahan bacaan dan referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan,
khususnya tentang manajemen risiko dan manajemen pembiayaan yang
terdapat pada perbankan syariah. Untuk peneliti selanjutnya, para peneliti
sebaiknya memperbanyak jumlah variabel moneter, misalnya: trend
perekonomian terbaru, stock dan harga minyak dunia, PDB dan lainnya.
Selain itu bisa dengan menambah variabel spesifikasi bank seperti biaya
105
operasional, profitabilitas, pertumbuhan pembiayaan, struktur kepemilikan,
kebijakan jenis pembiayaan, indikasi moral hazard dan lainnya.
106
DAFTAR PUSTAKA
Maryanto, Supriyono. “buku Pintar Perbankan ”, Andi Yogyakarta Publisher, 2011.
Kasmir, “Manajemen Perbanakan edisi revisi”, Rajawali Pers, Jakarta, 2015.
Khotibul, Umam, “Perbankan Syariah”, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016.
Arifin, Zainul. “Dasar Dasar Manajemen Bank Syariah”, Azkia Publisher, Jakarta,
2009.
Boediono, “Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, 1989.
El Tiby, Amr Mohammed. “Islamic Banking: How to Manage Risk and Improve
profitability”, Willey Finance, New Jersey, 2011.
Ghozali, Imam, “Aplikasi Analysis Multivariate dengan program IBM SPSS 19”,
Edisi ke 5, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
Greuning, Hennie Van, dan Zamir Iqbal. “Risk Analysis for Islamic Banks”, The
World Bank, Washington DC, 2008.
Gujarati, Damodar. “Ekonometrika Dasar”, Erlangga, Jakarta, 2006.
Hakan, Etem, Ergec, dan Bangil Gulumser. “Impact of Interest Rate on Islamic and
Conventional Banks: The Case of Turkey”, MPRA Paper No. 29848, Turkey,
2012.
Hogart, Glenn. Steffen Sorensen, dan Lea Zicchino. “Stress tests of UK banks using a
VAR approach”, Working Paper no. 282, ISSN 1368-5562, England, 2005.
Imaduddin, Muhammad. “Determinants of Banking Credit Default in Indonesia: a
Comparative Analysis”, Journal of Markfield Institute of Higher Education
(Loughborough University) United Kingdom, 2006.
Jakubik, Petr. “Macroeconomic Environment and Credit Risk”, Jurnal. Czech
National Bank, and the Institute of Economic Studies of Charles University,
Prague, 2007.
Karim, Adiwarman A. “Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan”, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007.
Kasmir. “ Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
Khemraj, Tarron dan Sukrishnalall Pasha. “The determinants of non-performing loans:
an econometric case study of Guyana”, Jurnal. Guyana, 2006.
Maski, Ghozali. “Analisis Keputusan Nasabah Menabung: Pendekatan Komponen
dan Model Logistik Studi pada Bank Syariah di Malang”, Jurnal. Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya, 2012.
107
Minnan, Ahmad Abdul Jalil “Pengaruh Makro Ekonomi terhadap Kinerja Keuangan
PT Bank Muamalat Indonesia”. Tesis (Magister) program Pasca Sarjana Timur
Tengah dan Islam FE UII, 2008.
Miskhin, Frederic. S. “Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan”, Edisi 8,
Salemba 4, Jakarta, 2008
Nopirin. “Ekonomi Moneter Buku II”, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1990.
Putong, Iskandar. “Ekonomi Mikro dan Makro “, Edisi kedua. Penerbit Ghala
Indonesia, Jakarta, 2002.
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. “Pengantar Ilmu Ekonomi”, LPFEUI,
Jakarta, 2008.
Rajan, Rajiv dan Sarat Chandra Dhal. “Non Performing Loans and Terms of Credit
Public Sector Banks in India: an Empirical Assesment”, Reserve Bank of India
Occasional Papers Vol. 24, No. 3, India, 2003.
Rose, Peter S. “Commercial Bank Management”, Mc Graw Hill, New York , 2002.
Saba, Irum, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem, “Determinants of Non
Performing Loans: Case of US Banking Sector”, The Romanian Economic
Journal. Year XV no. 44. Rumania. 2012.
Siamat, Dahlan. “Manajemen Lembaga Keuangan”, Edisi ke 5, Lembaga Penerbit
FEUI, Jakarta, 2005.
Singgih, Santoso. “Buku Latihan SPSS Parametrik”, Elex Media Komputindo, Jakarta,
2000.
Siregar, Mulya. “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung
Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek, dan Arah
Kebijakan”, IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol. 3, No. 1, Jakarta,
2002.
Sugiyono, “Statistika untuk penelitian”, CV Alfabeta, Bandung, 2008
Sukirno, Sadono. “Pengantar Teori Ekonomi Makro”, Rajawali Press, Jakarta 2004.
Sutojo, Siswanto. “Menangani Kredit Bermaslah Konsep dan Kasus”, PT Damar
Mulia Pustaka, Jakarta, 2008.
Swamy, Vighneswara. “Impact of macroeconomic and endogenous factors on non
performing bank assets”, International Journal of Banking and Finance Volume 9
Issue 1, India, 2012.
Tampubolon, Robert. “Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank
Komersial”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004.
108
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. “Pengantar Statistika”, Bumi Aksara, Jakarta,
2006.
“Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2012”. OJK, Jakarta, 2012.
“Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2013”. OJK, Jakarta, 2013.
“Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2014”. OJK, Jakarta, 2014.
“Statistik Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2015”. OJK, Jakarta, 2015.
“Laporan Perekonomian Indonesia Periode 2012-2015”. Bank Indonesia, Jakarta,
2015.
http//: www.bi.go.id/statistikkeuangan
http//: www.bps.go.id
http//: www.ojk.go.id
http//: www.karimconsulting.com
http//: www.ilmuperbankan.blogspot.co.id
http//: en.wikipedia.org
109
Lampiran 1: Data-data variabel penelitian dari tahun 2012-2015
No Waktu NPF UKM FDR Kurs Inflasi BI Rate
Y (%) X
1 (%)
X2(Rp
)
X
3 (%)
X4 (%)
1 Jan-12
2.722
8
7,27 9622 3,65 6,00
2 Feb-12
2.930
9
0,49 9790 3,56 5,75
3 Mar-12
3.011
8
7,13 9810 3,97 5,75
4 Apr-12
3.098
9
5,39 9975 4,50 5,75
5 Mei-12
3.304
9
7,95 9236 4,45 5,75
6 Jun-12
3.384
9
8,59 9754 4,53 5,75
7 Jul-12
3.533
9
9,91 9974 4,56 5,75
8 Agt-12
3.468
1
01,03 9643 4,58 5,75
9 Sept-12
3.575
1
02,10 9821 4,31 5,75
1
0
Okt-12
3.499
1
00,84 9632 4,61 5,75
1
1
Nov-12
3.506
1
01,19 9523 4,32 5,75
1
2
Des-12
3.269
1
00,00 9897 4,30 5,75
1
3
Jan-13
3.725
1
00,63 9753 4,57 5,75
1
4
Feb-13
4.197
1
02,17 9890 5,31 5,75
1
5
Mar-13
4.434
1
02,62 9978 5,90 5,75
1
6
Apr-13
4.664
1
03,08 10023 5,57 5,75
1
7
Mei-13
4.883
1
02,08 10149 5,47 5,75
1
8
Jun-13
4.518
1
04,43 10165 5,90 6,00
1
9
Jul-13
4.798
1
04,83 10210 8,61 6,50
2
0
Agt-13
5.249
1
02,53 10175 8,79 7,00
2 Sept-13 4.962 1 10132 8,40 7,25
110
1 03,27
2
2
Okt-13
5.302
1
03,03 10097 8,32 7,25
2
3
Nov-13
5.561
1
02,58 10075 8,37 7,50
2
4
Des-13
4.828
1
00,32 10178 8,38 7,50
2
5
Jan-14
5.455
1
00,07 10238 8,22 7,50
2
6
Feb-14
6.425
1
02,03 10457 7,55 7,50
2
7
Mar-14
5.953
1
02,22 10627 7,32 7,50
2
8
Apr-14
6.554
9
5,50 10834 7,25 7,50
2
9
Mei-14
7.624
9
9,43 10760 7,32 7,50
3
0
Jun-14
7.542
1
00,80 11321 6,70 7,50
3
1
Jul-14
8.354
9
9,89 10968 4,53 7,50
3
2
Agt-14
8.890
9
8,99 11016 3,99 7,50
3
3
Sept-14
9.175
9
9,71 10710 4,53 7,50
3
4
Okt-14
9.341
9
8,99 10717 4,83 7,50
3
5
Nov-14
9.642
9
4,62 10445 6,23 7,75
3
6
Des-14
8.632
9
1,50 10164 8,36 7,75
3
7
Jan-15
9.608
8
8,85 9778 6,96 7,75
3
8
Feb-15
10.081
8
9,37 9957 6,29 7,50
3
9
Mar-15
9.650
8
9,15 10057 6,38 7,50
4
0
Apr-15
9.312
8
9,57 10278 6,79
7,50
4
1
Mei-15
9.707
9
0,05 10075 7,15 7,50
4
2
Jun-15
9.755
9
2,56 10271 7,26 7,50
4
3
Jul-15
10.010
9
0,13 9903 7,26
7,50
4
4
Agt-15
10.007
9
0,72 10009 7,18 7,50
111
4
5
Sept-15
9.851
9
0,82 10322 6,83
7,50
4
6
Okt-15
9.852
9
0,67 9736 6,25 7,50
4
7
Nov-15
9.752
9
0,26 9886 4,89
7,50
4
8
Des-15
9.248
8
8,03 10010 3,35
7,50
112
Lampiran 2: Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,900a ,810 ,792 1213,057
a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
b. Dependent Variable: NPF
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 269893899,069 4 67473474,767 45,853 ,000b
Residual 63274804,931 43 1471507,091
Total 333168704,000 47
a. Dependent Variable: NPF
b. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 2533,399 4966,408 -,510 ,613
FDR -91,886 46,831 -,193 -1,962 ,049
Kurs ,034 ,658 ,005 ,052 ,958
Inflasi -319,355 164,653 -,193 -1,940 ,043
BiRate 2842,818 442,118 ,900 6,430 ,000
a. Dependent Variable: NPF
113
Lampiran 3: Uji Normalitas
114
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 48
Normal Parametersa,b
Mean ,0000000
Std. Deviation 1160,28981093
Most Extreme Differences Absolute ,099
Positive ,064
Negative -,099
Test Statistic ,099
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
115
Lampiran 4: Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi
Uji Tolerance & VIF
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 2533,399 4966,408 -,510 ,613
FDR -91,886 46,831 -,193 -1,962 ,049 ,455 2,200
Kurs ,034 ,658 ,005 ,052 ,958 ,415 2,412
Inflasi -319,355 164,653 -,193 -1,940 ,043 ,445 2,246
BiRate 2842,818 442,118 ,900 6,430 ,000 ,225 4,436
a. Dependent Variable: NPF
Uji DW
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 ,900a ,810 ,792 1213,057 ,261
a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs
b. Dependent Variable: NPF
116
Lampiran 5: Uji Heterokedatisitas
Uji Park
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 18,380 95,376 ,193 ,848
Lnx1 -17,235 8,446 -,416 -2,041 ,047
Lnx2 8,428 12,858 ,141 ,656 ,516
Lnx3 4,152 1,813 ,473 2,291 ,027
Lnx4 -6,220 5,508 -,327 -1,129 ,265
a. Dependent Variable: LNRES_2