Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)
-
Upload
universitas-palangka-raya -
Category
Science
-
view
126 -
download
5
Transcript of Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)
![Page 1: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/1.jpg)
TUGAS KELOMPOK 7
(SOSIOLOGI KELAS A)
SOSIOLOGI KONFLIK DAN REKONSILIASI
ANALISIS PENAHAPAN KONFLIK KERUSUHAN DAYAK-MADURA
ANGGOTA KELOMPOK :
1. YULIANTI LESTARI NIM : GAA 112 062
2. AGUSTINE CAROLINA NIM : GAA 110 063
3. DWI INGGAR WATI NIM : GAA 112 065
4. YOSSY ASDIANTY PUTRI NIM : GAA 112 066
5. SITI ALMISBAH NIM : GAA 112 068
6. SANTA B. SILALAHI NIM : GAA 112 069
![Page 2: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/2.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awal tahun 2001, Kota Palangka Raya pernah dilanda konflik berdarah antara
masyarakat lokal yang didominasi oleh Suku Dayak dengan warga pendatang yang berasal dari
Suku Madura. Pemicu awal dari kerusuhan tersebut adalah karena penusukan yang dilakukan
oleh salah satu warga Madura kepada salah seorang pemuda Dayak di wilayah Bereng Bengkel
yang menyebabkan pemuda Dayak tersebut meninggal dunia. Kejadian penusukan tersebut
terjadi karena pemuda Dayak tersebut sebenarnya ingin melerai perkelahian antara dua orang
pemuda dari etnis Madura yang sedang ingin melakukan ‘duel carok’ ditengah jalan desa, namun
karena salah seorang pemuda Madura tersebut sedang dalam pengaruh minuman keras maka
pemuda tersebut malah langsung mengarahkan cluritnya ke pemuda Dayak secara beruntun. Lalu
pemuda Dayak yang bersimbah darah tersebut berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan
pergi ke desanya untuk meminta pertolongan. Namun ketika pemuda tersebut sampai di desanya
dan mendapatkan pertolongan dari warga desanya, dia hanya bisa menyebutkan kata ‘Madura’
sebelum meninggal. Hal itulah yang memicu kemarahan warga Dayak terhadap orang Madura.
Selain itu, perilaku sebagian warga Madura yang terkesan kurang bisa berakulturasi dan
membaur dengan masyarakat lokal karena sebagian warga Madura tersebut malah membuat
keributan dengan masyarakat lokal.
Tingkah polah sebagian warga Madura tersebutlah yang selalu menimbulkan konflik dengan
masyarakat lokal, Padahal, jika ditinjau hubungan antara masyarakat lokal dengan warga
pendatang lainnya diluar suku Madura (Jawa, Banjar, Bugis, Papua, dan lain-lain) hubungan
keduanya terbilang akur karena warga pendatang diluar suku Madura tersebut lebih pandai untuk
beradaptasi dan membaur dengan masyarakat lokal. Jika dilihat dari segi asumsi teori
kesalahpahaman antar budaya, teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi antara Dayak dan
Madura disebabkan oleh ketidakcocokan dalam komunikasi dan cara berkomunikasi diantara
kedua etnis tersebut. Seperti diketahui, orang-orang Dayak masih tergolong masyarakat yang
masih sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan sesuku sehingga ketika ada salah seorang
Dayak yang dilecehkan apalagi di bunuh oleh suku lain, maka orang-orang Dayak akan menuntut
pertanggung jawaban orang yang melecehkan atau membunuh tersebut.
![Page 3: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/3.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
Kelompok kami menggunakan alat bantu analisis yaitu analisis menggunakan penahapan
konflik. Teknik penahapan konflik merupakan suatu cara menganalisis konflik dalam bentuk
sebuah grafik yang menunjukkan fluktuasi (peningkatan dan penurunan) intensitas konflik yang
dilukiskan dalam skala waktu tertentu. Tujuannya yakni: pertama, untuk melihat tahap-tahap dan
siklus peningkatan dan penurunan konflik; kedua, untuk membahas pada tahap situasinya
sekarang berada; ketiga, untuk berusaha meramalkan pola-pola intensitas konflik di masa depan
dengan tujuan untuk menghindari pola-pola itu terjadi; dan keempat, untuk mengidentifikasi
periode waktu yang dianalisis dengan menggunakan alat-alat bantu lain.
Analisis dasar dengan teknik penahapan konflik terdiri dari lima tahap berikut ini:
1. Tahap Prakonflik. Ini merupkan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran di
antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari
pandangan umum, meskipun satu pihak atau, lebih mungkin mengetahui potensi
terjadinya konfrontasi.
2. Tahap Konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang
merasa bersalah, mungkin para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya
terjadi di antara kedua pihak.
3. Tahap Krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan
terjadi paling hebat. Dalam skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-
orang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak
kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menentang pihak-pihak
lainnya.
4. Tahap Akibat Konflik. Suatu krisis akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak
mungkin menaklukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang
terjadi). Suatu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain.
5. Tahap Pascakonflik. Akhirnya, situasi diselenggarakan dengan cara mengakhiri
berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih
normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul
![Page 4: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/4.jpg)
karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini
sering kembali menjadi situasi pra-konflik.
Adapun teknik penahapan konflik biasanya digunakan di awal proses analisis untuk
mengidentifikasi pola-pola dalam konflik. Selain itu, digunakan pula diakhir proses untuk
membantu menyusun strategi.
Dari permasalahan konflik antara Dayak dan Madura tersebut, kami membaginya kedalam
beberapa tahap sesuai dengan tahapan-tahapan yang ada dalam analisis penahapan konflik yaitu:
1. Tahap Prakonflik : Konflik tersebut dimulai dari adanya penusukan pemuda
Dayak oleh pemuda Madura di wilayah Bereng Bengkel yang menyebabkan si
pemuda Dayak meninggal dunia. Kabar tentang meninggalnya pemuda Dayak akibat
ditusuk oleh pemuda Madura menyebar keseluruh wilayah di Bereng Bengkel.
2. Tahap Konfrontasi : Akibat dari kejadian tersebut, para pemuda Dayak di
wilayah Bereng Bengkel tersebut kemudian mencari pemuda Madura itu untuk
diminta pertanggung jawabannya karena telah membunuh pemuda Dayak tersebut.
Namun, tidak ketemu. Lalu ada kabar yang mengatakan bahwa pemuda Madura
tersebut telah melarikan diri untuk pulang kembali ke Pulau Madura yang
menyebabkan masyarakat lokal di Bereng Bengkel tersebut menjadi sangat marah
karena ‘tindakan pengecut’ yang dilakukan oleh pemuda Madura tersebut telah
melecehkan harga diri (self-esteem) orang Dayak. Kabar tentang pembunuhan pemuda
Dayak oleh orang Madura serta tindakan pengecut yang dilakukan oleh pemuda
Madura ini pun mulai menyebar ke seluruh Kalimantan Tengah. Masyarakat lokal lalu
mulai melampiaskan kemarahan mereka kepada orang-orang Madura lainnya.
3. Tahap Krisis : Karena Orang Dayak memiliki rasa solidaritas yang kuat,
akhirnya pada awal tahun 2001 perang antara suku Dayak dan Madura pun tidak bisa
dihindarkan lagi. Sekolah-sekolah diliburkan, kantor-kantor ditutup, rumah-rumah
orang Madura dihancurkan. Ratusan nyawa orang Madura melayang karena perang
ini. Suasana Kota Palangka Raya, Sampit, Kuala Kapuas, dan lain-lain menjadi sangat
mencekam karena hampir setiap hari dijalanan kota kepala-kepala orang Madura
tersebut diarak berkeliling kota, darah berceceran disepanjang jalan, bahkan tubuh-
tubuh orang Madura dibiarkan tergeletak dijalanan tanpa kepala.
![Page 5: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/5.jpg)
4. Tahap Akibat Konflik : Karena jumlah etnis Madura kalah jauh dibandingkan
dengan jumlah etnis asli masyarakat lokal (Dayak), maka sisa warga-warga Madura
yang masih bertahan hidup disuruh pergi secara paksa dari tanah Kalimantan Tengah
dan kembali ke Pulau Madura. Tahun itu, Presiden Megawati menyediakan kapal-
kapal bantuan untuk mengevakuasi warga Madura yang masih tersisa di Kalimantan
Tengah untuk dipulangkan kembali ke Pulau Madura.
5. Tahap Pasca Konflik : Melihat kondisi yang ditimbulkan tersebut, akhirnya
warga etnis Madura mengadakan perjanjian damai dengan masyarakat lokal dengan
membuat pernyataan bahwa mereka tidak akan menggangu masyarakat lokal. Sebagai
wujud dari perjanjian damai tersebut, dibangunlah sebuah monument peringatan
kerusuhan Dayak-Madura di Sampit dan Pangkalan Bun.
Berdasarkan analisis penahapan konflik yang kelompok kami lakukan, kami melihat bahwa
penyebab utama terjadinya konflik antara masyarakat lokal (Suku Dayak) dengan warga
pendatang etnis Madura tersebut adalah karena warga-warga etnis Madura tersebut memiliki
ketidakcocokan dalam komunikasi dan cara berkomunikasi dengan masyarakat lokal diantara
berbagai kelompok budaya yang berbeda yang ada di Kalimantan Tengah tersebut. Warga etnis
Madura termasuk kelompok yang paling susah untuk membaur dengan adat istiadat dan prinsip
masyarakat lokal sekitar. Hal itu disebabkan karena pada saat orang-orang etnis Madura tersebut
tinggal dan mencari nafkah di kota orang lain, mereka selalu saja membentuk komunitas yang
bersifat in-group yang mana dalam komunitas tersebut hanya terdapat orang-orang Madura saja.
Di samping itu, ada kecenderungan orang-orang Dayak merasa bahwa orang-orang Madura tidak
menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga
memandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan
moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara
berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan ekonomi, jasa,
dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumber-sumber daya alam yang ada) dengan cara-cara
curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta
pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat
setempat karena cara-cara tersebut secara umum adalah salah dan secara hukum juga melanggar
ketentuan hukum.
![Page 6: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/6.jpg)
Jarak keyakinan, corak kebudayaan, dan karakteristik masing-masing yang sangat jauh itu
ditambah dengan stereotipe dari masing-masing suku terhadap satu dengan yang lain menjadi
penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak ketika terjadi peristiwa-
peristiwa tertentu yang dinilai mengusik sentimentalisme etnisitas mereka. Kenyataan itulah
yang sesungguhnya menjadi akar masalah dalam kerusuhan demi kerusuhan dan konflik demi
konflik antara etnik Dayak dengan etnis Madura di Kalteng. Agaknya karena begitu kuatnya citra
negatif terhadap Suku Madura oleh Suku Dayak, telah membangkitkan rasa nasionalisme
etnisitas masyarakat lokal untuk mengusir orang-orang etnis Madura dari bumi Kalimantan
Tengah. Pasca tragedi Sampit, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMDD-KT (Lembaga
Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kali-mantan Tengah), masyarakat Suku Dayak
hampir tak memberikan sedikit pun peluang bagi orang-orang etnik Madura untuk kembali ke
Kalteng. Kalau pun diperkenankan kembali, maka syarat-syarat yang ditentukan sangatlah berat.
Dalam konteks stereotip etnis dan berbagai kekecewaan lainnya (misalnya di bidang
ekonomi) dari orang-orang Dayak terhadap orang-orang Madura, maka hanya dengan latar
pemicu yang sepele saja meledaklah kerusuhan dalam wajah konflik etnis Dayak-Madura di
Sampit, Palangkaraya, dan Pangkalan Bun, Kalteng pada awal 2001 itu, yang membawa ribuan
korban nyawa dan terbanyak berada di pihak etnis Madura. Orang-orang Madura yang masih
hidup baik yang tinggal di kota maupun yang tersebar di banyak desa di bumi Borneo itu
terpaksa memilih lari keluar beramai-ramai karena jiwanya terancam, dan warga-warga Madura
yang terusir dari Kalteng itulah yang saat ini menjadi pengungsi di Pulau Madura.
![Page 7: Analisis penahapan konflik kasus madura dan dayak (sos rekonsiliasi)](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022013111/55c158b8bb61eb76758b4807/html5/thumbnails/7.jpg)
BAB III
PENUTUP
Jadi, dapat kami simpulkan bahwa bibit konflik antara masyarakat lokal (Suku Dayak) dengan
warga pendatang dari Suku Madura berada dalam hubungan antar kedua etnik. Warga-warga
etnis Madura tersebut memiliki ketidakcocokan dalam komunikasi dan cara berkomunikasi
dengan masyarakat lokal diantara berbagai kelompok budaya yang berbeda yang ada di
Kalimantan Tengah tersebut. Warga etnis Madura tersebut lebih sering membentuk komunitas
secara in-group dan kurang mau membaur dengan kebudayaan masyarakat lokal. Selain itu,
orang-orang Madura telah menguasai perekonomian di dalam masyarakat lokal tersebut dengan
cara-cara yang curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan
serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga
masyarakat setempat karena cara-cara tersebut secara umum adalah salah dan secara hukum juga
melanggar ketentuan hukum.
Adapun saran dari kelompok kami mengenai penyelesaian masalah tersebut adalah kedua
belah pihak harus melakukan perdamaian dan mulai berpikir untuk saling menghargai satu sama
lainnya karena kedua suku tersebut sama-sama tinggal di Indonesia yang merupakan negara
majemuk karena terdiri dari beragam suku, selain itu orang-orang etnis Madura sebagai
pendatang dihimbau juga untuk bisa bertoleran dengan kebudayaan dan prinsip yang telah ada di
dalam masyarakat lokal.