KARYA SENI PERTUNJUKAN PANDAN SARI DALAM KONTEKS RITUAL SEDEKAH BUMI DI DESA SEPAT LIDAH KULON
ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN … · i ABSTRAK ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN...
Transcript of ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN … · i ABSTRAK ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN...
ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN BARONGSAI
PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA TEBING TINGGI
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
OMEGA PUTRI SILITONGA
140707065
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
2019
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam skripsi ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.
Medan, 17 Januari 2019
Omega Putri Silitonga
NIM 140707065
i
ABSTRAK
ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN BARONGSAI
PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA TEBING TINGGI
Barongsai adalah tarian ritual yang berasal dari Tiongkok yang
menggambarkan tokoh singa, dengan menggunakan dua kostum singa yang
dimainkan oleh dua orang. Barongsai berasal dari dua kata yaitu barong dan sai,
barong adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berarti tarian topeng yang
dimainkan oleh manusia, sedangkan Sai adalah bahasa tiongkok dialek hokkian
yang berarti singa. Masyarakat Tionghoa mempercayai bahwa barongsai ini dapat
membawa kesuksesan dan keberuntungan bagi mereka dan dapat mengusir roh
roh jahat karena suara pukulan keras simbal, gong, dan gendang, yang merupakan
alat musik dalam pertunjukan barongsai. Pertunjukan barongsai dilakukan
masyarakat Tionghoa di kota Tebing Tinggi pada saat hari raya imlek, ritual,
acara adat China, peresmian toko, hiburan, dan sebagai acara hari besar Buddha di
vihara.
Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan teori (Edy Sedyawati,
1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya
selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut
dilaksanakan atau didukung masyarakatnya. Dan menggunakan teori (Nettl,
1964:98) yang memberikan dua pendekatan, yaitu:
1. menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan
2. mendeskripsikan apa yang dilihat dan menulisnya di atas kertas dengan
suatu cara penulisan tertentu. Dengan teori ini akan dapat melihat secara
konseptual pertunjukan yang dibawakan oleh dua pemain barongsai
tersebut dengan musik pengiringnya masing masing.
(Koentjaraningrat, 1977:30) bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku,
dokumen-dokumen, serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari
pemikiran umtuk memperoleh pengertian tentang teori teori yang bersangkutan.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif-kualitatif Bogdan dan Taylor 1975 dalam buku (Moleong, 2004:3)
mengemukakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasikan
data deskriptif berupa kata kata lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat
diamati. Untuk metode tersebut penelitian yang dilakukan penulis adalah : studi
kepustakaan, kerja lapangan, wawancara, kerja laboratorium.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menganalisis
musik dalam pertunjukan barongsai serta sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan bagi pembaca.
Kata kunci : Barongsai, Masyarakat Tionghoa, Pertunjukan, Analisis Musik
ii
KATA PENGANTAR
Haleluya, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus
yang telah memberikan kekuatan, kemampuan, dan berkat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul ANALISIS MUSIK DALAM KONTEKS
PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI
KOTA TEBING TINGGI, yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam menyelesaikan skripsi ini,
penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
keluarga penulis, secara khusus kepada kedua kakak penulis yaitu Ester Pratiwi
Silitonga dan Dwi Handayani Silitonga, yang telah banyak memberikan dukungan
dan semangat yang tidak ada habisnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada adik dan kakak saya David Silitonga dan
kak Meylan yang banyak membantu penulis ketika melakukan penelitian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.
2. Ibu Arifninetrirosa, SST, M.A., selaku ketua Departemen Etnomusikologi.
3. Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si, selaku Sekretaris Departemen
Etnomusikologi.
iii
4. Begitu juga kepada Ibu Dra. Rithaony, M.A, sebagai dosen pembimbing I
yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Ph.D, sebagai dosen pembimbing II
yang juga telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta dosen-dosen lainnya yang
menjadi staff pengajar di departemen Universitas Sumatera Utara
Etnomusikologi yang juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan
mata kuliah selama di perkuliahan.
6. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak- kakak rohani penulis
kak Kristina, kak Novita dan sahabat sahabat saya, kak Devi, Nora, Indah,
May, Melina, dan semua teman teman yang tidak dapat penulis sebut satu
persatu, yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat dan doa
kepada penulis selama masa menyusun skripsi ini.
7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bang Mario dan teman
teman satu stambuk 2014 terkhusus buat Fitri, Lisa, Kiky yang membantu
penulis dalam menyeselesaikan skripsi dan semua satu stambuk penulis
yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
8. Penulis juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Koko
Kumara Chandra sebagai informan pangkal penulis dan adik adik anggota
pemusik barongsai HSS (Hong San See) yang telah bersedia dengan
kemurahan hati membantu penulis dalam mengumpulkan data selama
melakukan penelitian. Penulis telah berusaha memberikan yang terbaik
iv
untuk menyelesaikan tulisan ini, akan tetapi penulis tetap menyadari
bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dalam penyempurnaan tulisan ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kaih dan meminta maaf kepada
pembaca apabila terdapat kesalahaan dalam tulisan yang diluar kesengajaan
penulis.
Medan, 17 Januari 2019
Penulis
Omega Putri Silitonga
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
1.5 Konsep ........................................................................................... 7
1.6 Teori................................................................................................ 9
1.7 Metode Penelitian ........................................................................... 11
1.7.1 Studi Kepustakaan ............................................................... 11
1.7.2 Kerja Lapangan..................................................................... 12
1.7.3 Kerja Laboratorium .............................................................. 13
1.7.4 Lokasi Penelitian .................................................................. 14
BAB II KEBERADAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA
TEBING TINGGI ............................................................................... 15
2.1 Geografis Kota Tebing Tinggi ....................................................... 15
2.2 Demografi ...................................................................................... 17
2.3 Kedatangan Masyarakat Tionghoa Ke Kota Tebing Tinggi .......... 18
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa ................................... 19
2.5 Bahasa ............................................................................................ 21
2.6 Agama dan Kepercayaan.. ............................................................. 23
2.7 Mata Pencaharian .......................................................................... 25
2.8 Kesenian ........................................................................................ 27
BAB III PERTUNJUKAN BARONGSAI DI KOTA TEBING TINGGI ..... 28
3.1 Sejarah Barongsai ......................................................................... 28
3.2 Jenis Barongsai.............................................................................. 31
3.3 Pertunjukan Barongsai .................................................................. 33
3.3.1 Upacara Ritual ...................................................................... 36
3.3.2 Acara Hiburan...................................................................... 38
3.4 Tokoh Musik Barongsai ................................................................ 39
3.5 Persiapan dan Proses Pertunjukan .................................................. 39
3.5.1 Proses Latihan....................................................................... 41
vi
3.6 Pendukung Pertunjukan ................................................................. 42
3.6.1 Alat alat Musik Barongsai ................................................... 42
3.6.2 Pemain Barongsai dan Alat Musik ...................................... 56
3.6.3 Penonton .............................................................................. 57
3.6.4 Panggung ............................................................................. 58
3.6.5 Kostum................................................................................. 58
BAB IV Analisis Musik Barongsai .................................................................. 61
4.1 Analisis Musik Barongsai ............................................................. 61
4.2 Transkripsi ..................................................................................... 62
4.2.1 Analisis Pola Ritem .............................................................. 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 75
5.1 Kesimpulan .................................................................................... 75
5.2 Saran .............................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
DAFTAR INFORMAN ....................................................................................... 80
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Kota
Tebing Tinggi Tahun 2013 .............................................................. 17
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk menurut Kepercayaan di Kota Tebing Tinggi .... 17
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Pertunjukan Barongsai pada acara Hari Ulang Tahun Dewa Seng
Ong Kong .......................................................................................... 36
Gambar 3.2 Barongsai mengeliligi Tandu ............................................................ 37
Gambar 3.3 Alat Musik Tambur ........................................................................... 45
Gambar 3.4 Posisi memainkan alat musik tambur ................................................ 46
Gambar 3.5 Cara memainkan tambur yang disebut Tak ....................................... 46
Gambar 3.6 Cara memainkan tambur yang disebut Ter-Tak ................................. 47
Gambar 3.7 Cara memainkan tambur yang disebut Cik ......................................... 47
Gambar 3.8 Cara memainkan tambur yang disebut Tong ..................................... 48
Gamabar 3.9 Cara memainkan tambur yang disebut Cang. ..................................... 48
Gambar 3.10 Cara memainkan tambur yang disebut Double Trull.......................... 49
Gambar 3.11 Alat musik Simbal ............................................................................. 50
Gambar 3.12 Posisi Siap (Pembukaan) memainkan alat musik simbal ................... 51
Gambar 3.13 Cara memainkan simbal yang disebut Cang ..................................... 51
Gambar 3.14 Cara memainkan simbal yang disebut Cik ........................................ 52
Gambar 3.15 Alat musik Gong ................................................................................ 53
Gambar 3.16 Posisi memainkan alat musik Gong .................................................. 54
Gambar 3.17 Cara memainkan Gong yang disebut Cik .......................................... 54
Gambar 3.18 Cara memainkan Gong yang disebut Cak ......................................... 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tionghoa1 adalah salah satu etnis yang ada di Indonesia dan asal usul
leluhur mereka berasal dari Tiongkok (China). Masyarakat Tionghoa berasal dari
Tiongkok Selatan dan Tiongkok Utara, yang dalam bahasa mandarin orang
Tiongkok Selatan biasa disebut Tangren (Hanzi “orang Tang”). Sedangkan orang
Tiongkok Utara biasa menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: hanyu
pinyin: hanren, “orang Han”). Menurut catatan sejarah, awal mula datangnya
masyarakat Tionghoa ke Indonesia ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM –
220 M). Leluhur Tionghoa berimigrasi ke Indonesia secara bergelombang sejak
ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan berdagang dan kepentingan-kepentingan
lain seperti penyebarluasan agama Budha dan pengetahuan-pengetahuan lain
seperti sastra, membawa serta kebudayaannya dan lain sebagainya. Daerah
pertama yang didatangi adalah Palembang yang pada waktu itu mempakan pusat
perdagangan kerajaan Sriwijaya.
Kedatangan suku Tionghoa ke Indonesia rata rata berminat melakukan
pengembangan usaha dagang. Karena mereka dikenal sebagai orang orang yang
gigih, rajin, dan memiliki etos kerja tinggi yang mengagumkan, dalam hal
berdagang. Dalam perkembangan suku Tionghoa pernah mengalami pasang surut
1 Suku Tionghoa atau biasa disebut China adalah salah satu suku yang sudah banyak masyarakatnya di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa biasa menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Masyarakat Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan.
2
karena banyak nya peraturan-peraturan pemerintah yang mempengaruhi sisi
kehidupan suku Tionghoa, sampai tahun 1968, agama dan adat istiadat Tionghoa
yaitu agama Buddha, Konghucu, Taoisme serta perayaan hari besar seperti Imlek
tidak diberikan izin untuk dilakukan dan tidak diberi kesempatan berkembang
oleh pemerintah. Sehingga pada masa itu masyarakat Tionghoa merasa sedikit
tersisih di pemerintahan dan agama, ditambah lagi pada masa itu masyarakat
Tionghoa juga dilarang untuk menggunakan bahasa Cina dan harus bersekolah di
sekolah pemerintahan.
Seiring berjalannya waktu masyarakat Tionghoa tersebar hampir di
seluruh penjuru dunia. Salah satunya di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia yaitu
Kota Tebing Tinggi2 terdapat banyak masyarakat Tionghoa disana. Mereka
melakukan aktifitas ekonomi dan religi dan menghasilkan pembauran diantara
suku sehingga membentuk komunitas komunitas suku Tionghoa yang didasari
pada persamaan nasib dan suku bangsa. Tebing Tinggi merupakan kota multietnis
yang sangat menghargai keanekaragaman suku bangsa, baik suku asli Sumatera
Utara maupun suku pendatang dari luar Sumatera Utara hingga bangsa asing dari
luar Indonesia yang salah satunya adalah suku Tionghoa. Walaupun sebelumnya
pernah ada terjadi gejolak terkait pembauran dan perbedaan antara suku Tionghoa
dengan masyarakat pribumi yang ada di Kota Tebing Tinggi. Tetapi sejak
reformasi, keberadaan suku Tionghoa dikota Tebing Tinggi telah diakui, dan hal
ini merupakan berita baik bagi seluruh suku Tionghoa yang ada di Indonesia. Hal
ini dimanfaatkan oleh masyarakat Tionghoa yang ada di kota Tebing Tinggi untuk
2 Kota Tebing Tinggi adalah salah satu kota madya dari 33 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, Indonesia.
Berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan (Ibu kota Provinsi Sumatera Utara).
3
berbenah dan memperbaiki nasib mereka hingga sekarang mereka mampu
bersaing dengan pengusaha pribumi bahkan mampu menguasai perekonomian
sektor menengah ke atas di kota Tebing Tinggi. Kebudayaan suku Tionghoa juga
berkembang di Kota Tebing Tinggi, seperti kesenian dan ritual keagamaannya.
Masyarakat Tionghoa memiliki salah satu pertunjukan seni yaitu
barongsai. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17,
ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Barongsai merupakan tarian
singa yang menggunakan dua kostum topeng kepala singa yang disebut Sam Sie.
Dalam penyajian pertunjukan barongsai, penari bergerak sebagaimana layaknya
singa dan dimainkan oleh dua orang. Barongsai3 berasal dari dua kata yaitu
barong dan sai, barong adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berarti tarian
topeng yang dimainkan oleh manusia, sedangkan Sai adalah bahasa tiongkok
dialek hokkian yang berarti singa4. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(2011), barongsai adalah “tarian masyarakat Cina yang memakai kedok dan
kelengkapan sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu
bagian kepala dan satu bagian ekor) dan dipertunjukan pada perayaan Imlek.
Barongsai berasal dari masa periode tiga kerajaan (220-280 M), dan
berkembang modren pada masa dinasti utara dan selatan (420-589 M).
Masyarakat Tionghoa mempercayai bahwa barongsai ini dapat membawa
3 Masyarakat Tionghoa juga menyebut barongsai dengan istilah lain yaitu “ liong samsi “ dan ada juga yang
menyebutnya “ bulangsai “ tergantung sebutan dari setiap tempat yang mungkin memiliki istilah yang
berbeda namun tetap arti yang sama yaitu tarian singa.
4 Masyarakat Tionghoa percaya bahwa singa memiliki kekuatan mistis supaya manusia memperoleh jalan
untuk berhubungan dengan dunia gaib yang dijadikan simbolisme saat melakukan pemujaan pada upacara
yang berhubungan dengan religi. Sebenarnya singa tidak ada di China, tetapi menjadi simbol hewan masyarakat Tionghoa.
4
kesuksesan dan keberuntungan bagi mereka dan dapat mengusir roh roh jahat
karena suara pukulan keras tambur, simbal, dan gong, yang merupakan alat musik
dalam pertunjukan barongsai. Barongsai dimainkan dengan anggota grup yang
terdiri dari 1 orang pemain symbal, 1 orang pemain gong, 1 orang pemain
gendang, dan 6 orang pemain barongsai yang terdiri dari 3 kepala singa
(barongsai) yang masing masing barongsai mempunyai pemain 2 orang.
Musik dalam pertunjukan barongsai tidak mengandung unsur melodi
sedikitpun tetapi sebagai pembawa ritme saja dan musik dalam pertunjukan
barongsai sangatlah penting, karena alat musik simbal, gong, dan gendang yang
digunakan sebagai pengiring barongsai ini dipercaya dapat memperlancar
pagelaran barongsai. Fungsi gendang dan simbal sebagai pengendali irama lagu
dan penyatu tempo dalam gerakan barongsai serta menjadi penyemangat untuk
memeriahkan pertunjukan barongsai. Sedangkan gong berfungsi sebagai ketukan
dasar yang stabil dan menjadi pedoman pukulan dalam memainkan gendang dan
simbal. Dalam pertunjukannya, bukan barongsai yang mengikuti bunyi dari alat
alat musik, tetapi sebaliknya pemain alat musiklah yang mengikuti dan
menyesuaikan setiap gerakan gerakan yang dilakukan barongsai ketika memasuki
arena pertunjukan.
Permainan musik barongsai, dalam kasus ini ritme, memiliki aspek struktur
musikal. Struktur musikal alat musik dalam pertunjukan barongsai tidaklah terus
menerus sama, melainkan memiliki bagian-bagiannya, alias berdiri sendiri. Setiap
pola ritme yang dimainkan sangatlah berpengaruh dan saling mengisi dalam
gerakan atau langkah pemain barongsai (Yudhistira, 2012 : 4-5).
Pertunjukan barongsai dilakukan masyarakat Tionghoa di kota Tebing
Tinggi pada saat acara ritual pada hari raya besar dan tradisi masyarakat
5
Tionghoa, seperti tahun baru China / Imlek, Cap Go Meh, dan Tiong Chiu. Pada
hari besar tersebut kesenian ini akan diarak juga di sepanjang jalan. Barongsai di
Kota Tebing Tinggi yang dipagelarkan pada saat acara hiburan tergantung pada
permintaan masyarakat yang biasanya ditampilkan untuk peresmian toko,
mengarak pengantin saat acara perkawinan, memeriahkan Tahun Baru Imlek5 dan
mengisi acara acara yang ada salah satunya pada acara hari jadi Kota Tebing
Tinggi barongsai selalu dipertunjukkan dan disaksikan setiap tahun oleh
masyarakat dengan cara diarak sepanjang jalan satu hingga dua jam mengelilingi
Kota Tebing Tinggi. Tetapi masyarakat Tionghoa tetap menganggap bahwa
barongsai mempunyai kekuatan supranatural.
Melihat hal-hal di atas, maka penulis tertarik dan juga layak mengkaji
pertunjukan barongsai ini untuk menjadi bahan ilmiah. Perihal tulisan ini
penulis akan melihat keberadaan barongsai dan pemainnya dalam setiap
pertunjukannya serta fungsinya pada masyarakat Tebing Tinggi khususnya suku
Tionghoa. Untuk itu penulis akan meneliti dan mengkaji tulisan ini untuk
dijadikan skripsi dengan judul : “Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukan
Barongsai Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Tebing Tinggi”.
5 Tahun baru Imlek adalah hari besar bagi masyarakat Tionghoa (China). Oleh sebab itu, barongsai selalu
dipertunjukkan setiap Tahun Baru Imlek dengan cara diarak sekitar satu hingga dua jam mengelilingi Kota Tebing Tinggi selama seminggu berturut turut.
6
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimana penyajian pertunjukan barongsai pada masyarakat Tionghoa
di Kota Tebing Tinggi ?
2. Bagaimana analisis pola ritem musik pengiring yang digunakan
mengiringi pertunjukan barongsai di Kota Tebing Tinggi
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami peran musik pengiring yang
digunakan mengiringi pertunjukan barongsai di Kota Tebing Tinggi
2. Untuk mengetahui dan memahami analisis ritme musik pengiring
yang digunakan mengiringi pertunjukan barongsai di Kota Tebing
Tinggi
3. Untuk mengetahui dan memahami penyajian pertunjukan barongsai
pada masyarakat Tionghoa di Kota Tebing Tinggi
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut
1. Menambah refrensi tulisan tentang kesenian, khususnya musik pada
pertunjukan barongsai
7
2. Sebagai bahan untuk memperdalam pengetahuan tentang musik dan
pertunjukan barongsai pada masyarakat Tionghoa dan menambah
referensi dan dokumentasi budaya (khususnya barongsai).
3. Sebagai bahan informasi bagi pembaca dan masyarakat mengenai
kesenian barongsai dan dan penyajian pertunjukan barongsai.
4. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti peneliti lain,
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai materi dasar
atau awal untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Konsep
Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.
R. Merton mendefenisikan sebagai berikut: “Konsep merupakan definisi dari apa
yang perlu diamati. Seterusnya, konsep menentukan antara variabel-variabel mana
kita ingin menentukan hubungan empiris” (Merton, 1963:89).
Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,
perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (KBBI,
Balai Pustaka, 1991). Dengan demikian, kata analisis dalam tulisan ini berarti
hasil penguraian objek penelitian. Musikal merupakan segala hal yang
mengandung unsur musik. Musik menurut (Sylado 1983 : 12) adalah waktu yang
memang untuk didengar.
Pertunjukan juga merupakan sesuatu yang selalu memiliki waktu
pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir,
sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan
8
untuk mempertunjukkannya (Siger, 1996:165). Sedangkan seni pertunjukan
menurut (Mugiarto 1996:165), yaitu seni pertunjukan yang merupakan tontonan
bernilai seni drama, tari, musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan
penonton.
Pengertian masyarakat (society dalam Bahasa Inggris) dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary sixth edition (2000 : 1226) adalah:
1. people in general, living together in communities;
2. a particular community of people who share the same customs, laws, etc;
3. a group of people who join together for a particular purpose;
4. the group of people in a country who are fashionable, rich and powerful;
5. the state of being with other people.(Artinya masyarakat adalah orang-orang
yang secara umum hidup bersama dalam komunitas; sebuah komunitas khusus
oleh orang-orang yang berbagi dalam adat istiadat yang sama, norma-norma
yang sama dan sebagainya; sekelompok orang-orang yang saling terikat untuk
tujuan khusus; sekelompok orang orang dalam satu negara yang modern, kaya
dan berkuasa; tempat di mana tinggal dengan orang lain). Dari beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok
orang-orang yang tergabung dalam satu komunitas yang mempunyai
kebiasaan atau adat istiadat yang sama, norma-norma yang sama, kepentingan
atau tujuan yang sama, dan banyak persamaan lain yang saling terikat satu
dengan yang lain.
Barongsai merupakan salah satu kesenian suku Tionghoa dengan
kostum singa yang memiliki berbagai macam warna dan bentuk yang berbeda dari
9
kepala hingga ekornya. Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis musik pada
pertunjukan yang disajikan oleh tim barongsai yang ada di Kota Tebing Tinggi
yaitu tim HSS (Hong San See). Tim ini akan menunjukkan pagelaran yang
berbeda beda dalam acara ritual dan hiburan, sehingga saya dapat melihat dan
menyimpulkan beberapa aspek yang turut berkembang dengan patokan
pertunjukan yang selayaknya dilakukan dalam setiap pertunjukan barongsai.
Dalam atraksi pertunjukan barongsai ini masyarakat Tionghoa Tebing Tinggi
biasa menggunakan kostum singa berwarna kuning, biru, dan merah.
1.6 Teori
Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta dan
mungkin juga dugaan untuk menerangkan sesuatu. Sebagai landasan cara berpikir
dalam membahas permasalahan penelitian ini. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (Koentjaraningrat 1977:30 ), bahwa
pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, serta
pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran umtuk memperoleh
pengertian tentang teori teori yang bersangkutan. Teori yang digunakan akan
bermanfaat bagi penelitian untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang
diharapkan.
Dalam mendeskripsikan pertunjukan barongsai penulis menggunakan
teori Milton Siger dalam (MSPI, 1996:164-165) juga menjelaskan bahwa
pertunjukan selalu memiliki:
1. Waktu pertunjukan yang terbatas
10
2. Awal dan akhir
3. Acara kegiatan yang terorganisir
4. Sekelompok pemain
5. Sekelompok penonton
6. Tempat pertunjukan dan
7. kesempatan untuk mempertunjukkannya.
Menurut Edy Sedyawati dalam buku (Edy Sedyawati, 1981:48-66) yang
mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan
dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau
didukung masyarakatnya dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap
orang (penyaji dan penyaji), (penyaji dan penonton) diantara variabel-variabel
wilayah yang berbeda.
Untuk mentranskripsi musik pengiringnya, penulis menggunakan teori
Nettl (Nettl, 1964:98) yang memberikan dua pendekatan, yaitu:
1. Menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan
2. Mendeskripsikan apa yang dilihat dan menulisnya di atas kertas dengan
suatu cara penulisan tertentu. Dengan teori ini akan dapat melihat
secara konseptual pertunjukan yang dibawakan oleh dua pemain
barongsai tersebut dengan musik pengiringnya masing masing.
Mengingat musik yang dibawakan mempengaruhi suasana pertunjukan
yang sedang berlangsung.
11
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam melakukan penelitian terhadap
bahan tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
Bogdan dan Taylor 1975 dalam buku (Moleong, 2004:3), metode kualitatif
dijadikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dalam rangka kerja penelitian ini, penulis juga berpedoman pada
disiplin etnomusikologi. Seperti yang dikemukakan Curt Sachs dalam (Nettl,
1962:16) penelitian dalam etnomusikologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kerja
lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan
meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas musikal dalam sebuah
kebudayaan manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi pentranskripsian,
menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data. Dalam
penelitian ini penulis akan menggunakan metode yang diungkapkan oleh Curt
Sach, namun sebelum melakukan kerja lapangan (field work) dan kerja
laboratorium (desk work) penulis akan melakukan studi kepustakaan terlebih
dahulu. Adapun tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mengumpulkan
data-data awal dalam penelitian ini.
1.7.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data atau
sumber bacaan untuk mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa
12
buku-buku, skripsi etnomusikologi, jurnal, thesis, maupun bacaan yang diperlukan
untuk mendukung penelitian. Dalam melakukan penelitian terhadap objek
penelitian, penulis melakukannya agar mendapatkan bahan-bahan tentang
kesenian Tionghoa khususnya pertunjukan barongsai ini. Dan selama studi di
lapangan saya telah mengumpulkan bahan-bahan berupa informasi yang berkaitan
dengan tulisan ini dengan melakukan wawancara dengan pemilik tim barongsai,
Bahan tertulis yang berkaitan dengan objek tulisan ini saya cari dari
tulisan ilmiah yang sudah pernah dibuat juga dalam skripsi sarjana
Etnomusikologi USU, Thesis Penciptaan dan Pengkajian Seni USU, dan beberapa
buku buku salah satunya Bruno Nettle, Etnomusikologi, dan buku tulisan ilmiah
yang berkaitan tentang kebudayaan Tionghoa dan barongsai. Tulisan ilmiah yang
penting mengenai seni pertunjukan barongsai ini adalah skripsi sarjana yang
ditulis oleh sarjana Etnomusikologi Yudhistira Siahaan yang mendeskripsikan
kajian musikal dan fungsi pertunjukan Barongsai pada perayaan Cap Go Meh
masyarakat Tionghoa, dan Thesis Raulina E M Saragih, S.Pd yang
mendeskripsikan kajian struktur dan makna pertunjukan barongsai pada
masyarakat Tionghoa.
1.7.2 Kerja Lapangan
Pengumpulan data di lapangan meliputi observasi, wawancara, dan
merekam pertunjukan barongsai, dan mengambil beberapa foto untuk
dokumentasi. Saya memulai penelitian pada bulan Februari tahun 2018 melalui
observasi yang meliputi peninjauan dan pengamatan lokasi lokasi serta melihat
13
pertunjukan barongsai. Dalam wawancara yang penulis lakukan adalah
wawancara terbuka dan tidak berstruktur. Penulis mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tidak hanya pada satu pokok masalah dan jawaban responden akan
dicatat atau direkam dengan menggunakan alat perekam. Dalam hal ini penulis
menggunakan wawancara terfokus dan wawancara bebas. Wawancara terfokus
pada pokok permasalahan dari pertanyaan yang penulis ajukan yang berhubungan
dengan kebutuhan penelitian. Penulis juga akan mengumpulkan data dari
beberapa pemain barongsai, pemusik dan masyarakat Tionghoa. Sebelum
melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu akan menetapkan informan yang
dapat memberikan informasi yang mendukung tulisan. Dalam penelitian terdapat
dua jenis informan, yaitu informan pangkal dan informan kunci lapangan. Penulis
telah melakukan wawancara dengan mendatangi tim barongsai Hong San See,
yang berada di Jalan Teuku Hasyim gang saudara komplek CPI Vihara
Avalokistevara serta dengan beberapa pemain barongsai lain dan orang-orang
yang terlibat dalam pertunjukan barongsai.
1.7.3 Kerja Laboratorium
Pada tahap akhir penulis melakukan kerja laboratorium, yaitu tahap
penganalisisan data yang telah terkumpul dari hasil pengamatan dan wawancara
untuk mendapat jawaban dari permasalahan yang ada. Semua data yang diperoleh
dikumpulkan dalam kerja laboratorium untuk dianalisis. Penulis juga melihat
beberapa pertunjukan barongsai di tempat lain dan video sebagai data tambahan
agar data yang diperoleh semakin baik. Semua data yang diperoleh
14
diklasifikasikan sesuai dengan jenis dan kebutuhan penulis dengan melihat
relevansi dari data tersebut. Pengklasifikasian bertujuan untuk menghindari data
yang bertumpang tindih dan untuk mempermudah penulis dalam mengolah data.
1.7.4 Lokasi Penelitian
Tempat yang penulis pilih sebagai lokasi penelitian adalah Vihara
Avalokistevara, Kompleks CPI Jl. Tengku Hasyim gang Saudara Kota Tebing
Tinggi, tim barongsai HSS (Hong San See) yang berdiri pada tahun 2015 dan
sudah beberapa kali memenangkan pertunjukan barongsai dan tim ini pernah
menampilkan barongsai hingga ke Malaysia. Alasan penulis memilih Vihara ini
sebagai lokasi penelitian adalah karena Vihara Avalokistevara merupakan tempat
tim barongsai HSS dan merupakan tim barongsai yang terkenal dan sering
diminta oleh masyarakat untuk dipertunjukan dalam acara ritual maupun hiburan
yang ada di Kota Tebing Tinggi. Lokasinya juga yang tidak begitu jauh dari Kota
Medan juga sangat memudahkan penulis dalam menghemat waktu dan biaya serta
transportasi yang tidaklah sulit dijalani oleh penulis.
15
BAB II
KEBERADAAN MASYARAKAT TIONGHOA
DI KOTA TEBING TINGGI
2.1 Geografis Kota Tebing Tinggi
Pada umumnya keadaan alam suatu wilayah ditentukan oleh letak
geografis wilayah tersebut di mana kondisi dan tempat sangat menentukan. Letak
wilayah tersebut dapat mencerminkan budaya yang berlaku di masyarakat
setempat. Untuk dapat mengetahui ataupun mengenal budaya suatu tempat dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi dapat diartikan
sebagai berikut
Etnografi merupakan studi deskriptif tentang masyarakat masyarakat yang
sederhana, serta gambaran dari suku-suku bangsa yang hidup.
Etnografi merupakan ilmu yang melukiskan tentang kebudayaan dari setiap suku
bangsa yang tersebar di muka bumi ini.
Etnografi adalah suatu gambaran tentang suku-suku bangsa dan bahan-bahan
penyelidikannya yang telah dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam suatu
metode ilmiah tertentu dengan cara mempelajari bahan yang terkumpul (Ariyono
Suyono 1985:113). Dengan pendekatan inilah penulis akan membahas bahan
kajiannya dengan metode metode ilmiah yang terdapat dalam disipin
etnomusikologi.
Kota Tebing Tinggi6 merupakan salah satu yang ada di Provinsi Sumatera
Utara yang berkembang pesat dalam bidang perekonomian. Kota ini juga cepat
menjadi maju karena didukung oleh perdagangan, pendidikan, komunikasi dan
sarana yang lengkap.
Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai Padang dan sungai
Bahilang mulai dihuni sebagai tempat tinggal sekitar tahun 1864. Inilah
6 https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tebing_Tinggi#Sejarah
16
pernyataan resmi pertama yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota
Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah
berjudul "Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan
Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi". Makalah ini kemudian
dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing
Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Posisi Kota Tebing Tinggi ada dibagian Utara Provinsi Sumatera Utara
pada ketinggian tempat 26-34 m diatas permukaan laut dan kondisi wilayah relatif
datar. Berjarak sekitar 78 km dari Kota Medan.
Berdasarkan sistem administratif, Letak Tebing Tinggi 3°19ʹ00ʺ 3°21ʹ00 ʺ
Lintang Utara/North Latitude, 98°11ʹ - 98°21ʹ Bujur Timur/East Longitude.
Luas Wilayah/Area 38,438 km2 (termasuk perluasan wilayah sebesar 59,9 Ha di
Kecamatan Rambutan). Ketinggian di atas permukaan laut : 18-34 m.
Berikut batas wilayah Kota Tebing Tinggi secara administrarif :
1. Sebelah Utara : PTPN III Kebun Rambutan Kecamatan Tebing Tinggi,
Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Sebelah Timur : PT. Socfindo Kebun Tanah Bersih Kecamatan Tebing
Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Sebelah Selatan : PTPN III Kebun Pabatu Kecamatan Tebing Tinggi,
Kabupaten Serdang Bedagai.
4. Sebelah Barat : PTPN III Kebun Bandar Bejambu Kecamatan Tebing
Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.
17
Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35 kelurahan dengan
luas wilayah 38.438 km2. Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang
terluas dengan luas 11,441 km2 atau 29,76 persen dari luas Kota Tebing Tinggi.
2.2 Demografi
Kota Tebing Tinggi, didiami oleh berbagai suku bangsa (etnis). Dari
beberapa suku bangsa yang ada, Suku Jawa merupakan suku yang paling besar
jumlahnya 40,14%, Tapanuli/Toba 14,51%, Mandailing 10,47%, Simalungun
7,03%, Minangkabau 8,92%, Melayu 4,35%, Tionghoa 9,48% dan lainnya 5,08%.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan7
Kota Tebing Tinggi
Tahun 2013
Kecamatan Laki- laki Perempuan Jumlah
Padang hulu 13.565 13.925 27.490
Rambutan 15.913 16.467 32.370
Padang Hilir 15.437 15.412 30.849
Tebing Tinggi
Kota
11.862 12.490 24.352
Bajenis 16.903 17.101 34.004
Jumlah 73.680 75.385 149.065
Sumber : BPS, Kota Tebing Tinggi Dalam Angka 2014
Jumlah penduduk menurut kepercayaannya di Kota Tebing Tinggi :
Agama Jumlah penduduk
Islam 101.108 jiwa
7 https://kotatebingtinggi.files.wordpress.com/2015/10/ipm2013-kota-tebing-tinggi.pdf
18
Kristen Protestan 19.383 jiwa
Katolik 4.685 jiwa
Hindu 241 jiwa
Buddha 8.922 jiwa
2.3 Kedatangan Masyarakat Tionghoa Ke Kota Tebing Tinggi
Masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia sekarang, dulunya berasal dari
provinsi-provinsi di Tiongkok Selatan, seperti Kwang Tung, Kwangsi, Swatow,
Hainan, Fukien, Hunnan,Fu Chow dan Amoy adalah kampung halaman etnis
Hakka (Khek), Canton, Hokkien, Hailokhongs, Hainan, Hailam, Teochew,
Luchius, Choachow, Hock dan Macao (Eben, 2009 : 26).
Menurut Reid yang dikutip dari Yudhistira ( Yudhistira, 2012 : 22 ) Tionghoa
merupakan suku minoritas dibandingkan suku suku lain yang ada di Indonesia.
Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika kedatangan
bangsa Mongolia dibawah arahan Kubilai Khan masuk melalui daerah maritim
Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian memperkenalkan
kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup teknologi pembuatan
kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin. Kedatangan mereka
diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yaitu kerajaan Majapahit. Beberapa
sumber mengindikasi bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba didaerah
Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh, namun
kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring berkembangnya
ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit.
Sebelumnya sempat ada terjadi gejolak terkait pembauran dan perbedaan antara
pribumi dan non pribumi, tetapi sejak reformasi keberadaan masyarakat Tionghoa
dikota Tebing Tinggi telah diakui, dan hal ini merupakan berita baik bagi seluruh
masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia. Hal ini dimanfaatkan oleh orang
Tionghoa yang ada di kota Tebing Tinggi untuk berbenah dan memperbaiki nasib
19
mereka. Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat kerja sama dalam bisnis
dengan orang melayu dan jawa ketimbang dengan orang Portugis.
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa
Masyarakat di Indonesia memiliki sistem kekerabatan menurut suku
bangsa masing- masing. Sistem kekerabatan merupakan sistem pertalian keluarga
yang sedarah maupun yang masih memiliki hubungan keluarga. Sistem
kekerabatan sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena selalu diperlukan
dalam segala aktivitas budaya masing-masing. Sama dengan suku bangsa yang
ada di Indonesia, masyarakat Tionghoa juga memiliki sistem kekerabatan. Garis
keturunan masyarakat Tionghoa, atau biasa disebut Klan Tionghoa menarik dari
garis keturunan ayah (patrilinieal) atau biasa disebut dari garis keturunan laki-laki
yang secara otomatis jika anak laki-laki dan perempuan lahir akan mengikuti garis
keturunan ayah. Bentuk rumah tangga suku Tionghoa adalah keluarga luas yang
terbagi dua, yaitu : bentuk keluarga luas viri lokal, keluarga orang tua dengan
anak laki laki tertua serta istri dan anak-anaknya juga saudaranya yang belum
menikah. Bentuk keluarga luas viri lokal, keluarga orang tua dan anak laki-
lakinya serta keluarga batih mereka masing-masing.
Struktur kekerabatan8 dalam komunitas totok mengikuti tradisi patrilineal,
patrilokal, dan patriarkal masyarakat Tionghoa, namun perkembangan telah
memasuki komunitas Tionghoa bahwa masyarakat Tionghoa sudah banyak yang
menikah dengan masyarakat pribumi dan kepada negara negara lain didunia yang
8 https://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_Indonesians
20
disebut “peranakan”. Pola kekerabatan dalam keluarga pribumi telah memasukkan
unsur-unsur matrilocal, matrilineal, dan tradisi matrifocal yang ditemukan dalam
masyarakat Jawa. Dalam komunitas ini, baik laki-laki maupun perempuan dapat
mewarisi kekayaan keluarga. Otoritas politik, sosial, dan ekonomi dalam keluarga
peranakan lebih terdistribusi secara merata baik laki-laki maupun perempuan
dibandingkan dengan keluarga totok. Pengaruh Barat dalam masyarakat
"peranakan" dibuktikan oleh tingginya proporsi pasangan tanpa anak. Dalam
masyarakat peranakan lebih sedikit memiliki anak daripada pasangan totok.
Meskipun mereka putus dari pola kekerabatan tradisional, keluarga peranakan
lebih dekat dengan beberapa nilai tradisional Tionghoa daripada totok. Karena
populasi pribumi telah kehilangan banyak koneksi dirumah leluhur mereka di
provinsi-provinsi pesisir Cina, mereka kurang terpengaruh oleh pola modernisasi
abad ke-20 yang mengubah kawasan. Peranakan memiliki sikap yang lebih ketat
terhadap perceraian, meskipun tingkat pemisahan di antara keluarga di kedua
segmen umumnya lebih rendah daripada kelompok etnis lainnya. Dalam
pernikahan keluarga peranakan, umumnya pernikahan yang bebas memilih
karena relasinya cenderung lebih terbuka. Perbedaan antara totok dan peranakan
yaitu bahwa Tionghoa totok mempercayai ritual mereka kepada leluhur ke tingkat
yang lebih tinggi, sedangkan pemuda Tionghoa peranakan cenderung lebih
religius. Melalui pendidikan yang disediakan oleh sekolah-sekolah Katolik dan
Protestan yang berkualitas tinggi, para pemuda Tionghoa lebih banyak memilih
agama Kristen.
21
Pada abad ke-21, perbedaan konseptual totok dan peranakan Tionghoa
perlahan-lahan menjadi ketinggalan zaman karena beberapa keluarga
menunjukkan campuran karakteristik dari kedua budaya. Perkawinan antar ras dan
asimilasi budaya sering mencegah pembentukan pengertian yang tepat dari orang
Indonesia Tionghoa sejalan dengan kriteria rasial yang sederhana. Penggunaan
nama keluarga Tionghoa, dalam beberapa bentuk atau keadaan, pada umumnya
merupakan tanda identifikasi diri budaya sebagai etnis Tionghoa atau keselarasan
dengan sistem sosial Tionghoa.
2.5 Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia untuk
mengungkapkan dan mengemukakan apa yang dipikirannya terhadap orang lain.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia
menulis “bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan
untuk berkomunikasi satu dengan yang lain” (1986:339). Melalui bahasa juga
kebudayaan tiap bangsa dapat dikembangkan dan diwariskan kepada generasi
yang akan datang. Suatu bahasa menentukan bagaimana ciri dan khas suatu
masyarakat dan khususnya suatu kebudayaan, sehingga dapat dilihat peran bahasa
yang digunakan suatu masyarakat.
Masyarakat Tionghoa memiliki bahasa yang disebut dengan bahasa
mandarin,Pada periode Soeharto semua publikasi berbahasa Mandarin dilarang,
kecuali dari surat kabar harian yang dikendalikan pemerintah Harian Indonesia.
Pencabutan larangan berbahasa Mandarin setelah tahun 1998 mendorong generasi
22
orang Indonesia Tionghoa yang lebih tua untuk mempromosikan penggunaannya
kepada generasi muda; menurut peneliti Malaysia-Cina dari diaspora Cina,
Chang-Yau Hoon, mereka percaya bahwa mereka akan "dipengaruhi oleh
kebajikan budaya Tiongkok dan nilai-nilai Konfusian". Satu perdebatan terjadi di
media pada tahun 2003, membahas bahasa Cina "mu yu" (母語, "bahasa ibu") dan
bahasa Indonesia "guo yu" (國語, "bahasa nasional"). Nostalgia adalah tema
umum dalam pers berbahasa Cina pada periode segera setelah pemerintahan
Soeharto. Munculnya berdiri politik dan ekonomi Tionghoa pada pergantian abad
ke-21 menjadi dorongan untuk upaya mereka untuk menarik pembaca yang lebih
muda yang berusaha untuk menemukan kembali akar budaya mereka.
Banyak orang Indonesia, termasuk etnis Cina, percaya akan adanya
dialek bahasa Melayu, Tionghoa Melayu, yang dikenal secara lokal sebagai
Tionghoa Melayu atau Tionghoa Melayu. Pertumbuhan sastra peranakan pada
paruh kedua abad ke-19 menimbulkan varian seperti itu, dipopulerkan melalui
silat (seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Cina atau ditulis dalam
bahasa Melayu dan Indonesia. Namun, para sarjana berpendapat bahwa itu
berbeda dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu yang dianggap "diucapkan secara
eksklusif oleh etnis Tionghoa"
Kecuali beberapa kata pinjaman dari bahasa Cina, tidak ada satu pun
tentang 'Tionghoa Melayu' yang khas Cina. Bahasa itu hanya rendah, bazaar
Melayu, lidah umum jalan-jalan dan pasar Jawa, terutama kota-kotanya,
diucapkan oleh semua kelompok etnis di lingkungan perkotaan dan multi-etnis.
Karena Cina adalah elemen yang dominan di kota-kota dan pasar, bahasa itu
23
dikaitkan dengan mereka, tetapi pejabat pemerintah, Eurasia, pedagang migran,
atau orang-orang dari daerah bahasa yang berbeda, semuanya menggunakan
bentuk Melayu ini untuk berkomunikasi. - Mary Somers Heidhues, The
Encyclopedia of the Chinese Overseas Literatur akademis yang membahas Bahasa
Melayu Cina umumnya mencatat bahwa etnis Tionghoa tidak berbicara dengan
dialek bahasa Melayu yang sama di seluruh kepulauan. Selanjutnya, meskipun
pemerintah kolonial Belanda pertama kali memperkenalkan ortografi Melayu
pada tahun 1901, surat kabar Cina tidak mengikuti standar ini sampai setelah
kemerdekaan. Karena faktor-faktor ini, etnis Tionghoa memainkan "peran
penting" dalam pengembangan bahasa Indonesia modern sebagai kelompok
terbesar selama periode kolonial untuk berkomunikasi dalam berbagai dialek
Melayu.
Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalah Hokkien, Mandarin,
Hakka dan Kanton, Sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek yang
hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli bahasa
dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada tahun 1982
yakni, 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk didalamnya bahasa
Hokkien dan Tiochiu ); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa
Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000 penutur rumpun bahasa
Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam
bahasa Indonesia (Yudhistira, 2012: 31).
Sedangkan suku suku Tionghoa yang ada di Kota Tebing Tinggi yaitu,
Konghucu, Hokkien, Tiochiu, dan Henny-Hua.
24
2.6 Agama dan Kepercayaan
Ada sedikit karya ilmiah yang ditujukan untuk kehidupan beragama
orang Indonesia Tionghoa. Buku Prancis 1977 Les Chinois de Jakarta: Temples et
Vie Collective ("Orang Tionghoa Jakarta: Temples and Collective Life") adalah
satu-satunya kajian utama untuk menilai kehidupan keagamaan etnis Tionghoa di
Indonesia. Kementerian Agama memberikan status resmi kepada enam agama:
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Undang-undang
pencatatan sipil tahun 2006 tidak mengizinkan orang Indonesia untuk
mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota agama lain di kartu identitas
mereka.
Menurut data sensus, hampir 80 persen orang Indonesia Tionghoa
beragama Buddha atau Katolik. Orang Indonesia Tionghoa cenderung lebih
beragama Kristen dari kelompok etnis Tionghoa lainnya di Asia Tenggara karena
alasan historis yang rumit. Sepanjang abad ke-20 agama dan budaya Tionghoa
dilarang dan dianiaya di Indonesia, memaksa banyak orang Tionghoa untuk
masuk Kristen. Gelombang pertobatan pertama terjadi pada 1950-an dan 1960-
an, dan jumlah umat Kristen Tionghoa selama periode ini meningkat empat kali
lipat. Gelombang kedua diikuti setelah pemerintah menarik status kepercayaan
Konghucu sebagai agama yang diakui pada tahun 1970-an. Soeharto mendukung
kampanye sistematis pemberantasan agama Konghucu. Akibatnya, banyak orang
Tionghoa di Jakarta dan bagian lain di pulau Jawa kebanyakan beragama Kristen,
sementara di kota-kota non-Jawa seperti Medan, Pontianak, dan bagian lain di
Pulau Sumatra dan Kalimantan masih patuh pada ajaran Buddha, dan beberapa
25
dari mereka masih berlatih Taoisme, Konfusianisme dan kepercayaan tradisional
Cina lainnya.
Di negara di mana hampir 90 persen penduduknya beragama Islam, etnis
Tionghoa Muslim membentuk minoritas kecil dari populasi etnis Tionghoa.
Sensus 2010 memperkirakan bahwa 3,6% orang Indonesia Tionghoa mengikuti
agama Islam. Organisasi Muslim Cina Indonesia yaitu Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia (PITI) telah ada pada akhir abad ke-19. PITI didirikan kembali pada
tahun 1963 sebagai organisasi modern, tetapi kadang-kadang mengalami periode
tidak aktif. Dewan Tertinggi untuk Agama Konghucu di Indonesia
memperkirakan sekitar 95% agama Konghucu adalah suku Tionghoa dan
sebagian besar sisanya yaitu 5% adalah suku Jawa yang berpindah ke agama
Konghucu. Meskipun pemerintah telah memulihkan status Konfusianisme sebagai
agama yang diakui, banyak penguasa lokal tidak mematuhinya dan menolak
mengizinkan masyarakat Tionghoa mencantumkannya sebagai agama pada kartu
identitas mereka. Sedangkan masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Tebing
Tinggi mayoritas memeluk agama Buddha, dan minoritas Tionghoa disana
beragama Konghucu, Kristen dan Islam (BPS, 2013).
2.7 Mata Pencaharian
Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu warga yang mempunyai
pengaruh sangat besar dalam bidang perekonomian khususnya perdagangan.
Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia dengan tujuan mencari nasib
peruntungan yang baik karena keadaan ekonomi dan padatnya penduduk di
26
Tiongkok sehingga sedikit memberikan kemungkinan bagi usaha mata
pencaharian mereka. Rata rata mata pencaharian mereka melakukan
pengembangan usaha dagang dan masyarakat ini dikenal sebagai masyarakat yang
tekun, ulet, dan memiliki etos kerja yang tinggi dalam bekerja.
Seperti dikutip dari Breman :
Sebelum matahari terbit, kuli ladang Cina sudah berada di luar untuk merawat
tanaman tembakaunya yang masih muda, menyiram persemaian, mencari ulat
daun tembakau, atau menyimpan lahan untuk ditanami, dia terus bekerja smapai
matahari terbenam, dan hanya beristirahat satu-dua jam pada siang hari. Tidak
jarang pada malam terang bulan, lama sesudah kerja keras di hari kerja biasa,
mereka masih sibuk dengan tembakaunya. Orang Cina biasa saja merupakan
pekerja yang tidak simpatik, karena kesukaanya berteriak dan ribut, tetapi setiap
tuan kebun harus menghormati mereka karena ia memiliko tenaga kerja dan
prestasi kerja yang luar biasa (Breman, 1997:95).
Awalnya masyarakat Tionghoa memulai usaha kecil seperti berdagang keliling,
membuka kios-kios kecil dan bergerak di usaha barang mentah dan industri. Di
pusat Kota Tebing Tinggi masyarakat Tionghoa lebih banyak memiliki bangunan-
bangunan Ruko tersendiri yang merupakan tempat tinggal mereka dan sekaligus
dijadikan sebagai tempat untuk berdagang. Namun tidak semua kebutuhan hidup
yang mereka butuhkan dapat diperoleh dari barang-barang yang mereka
dagangkan karena sebagian dari mereka juga melakukan usaha dagang melalui
berdagang dipasar.
Ada banyak pasar di Kota Tebing Tinggi yang menjadi salah satu sumber mata
pencaharian masyarakat yang ada disana salah satunya Pasar Hongkong yang
merupakan pasar yang menyediakan segala bentuk kebutuhan sehari-hari bagi
masyarakat Tionghoa di kota Tebing Tinggi serta mayoritas penjual dan pembeli
yang lebih mendominasi dipasar Hongkong merupakan masyarakat Tionghoa
(lubis ismalia, 2012: 2-4).
Sekarang mereka mampu bersaing dengan pengusaha pribumi dan bahkan
menguasai perekonomian sektor menengah ke atas di kota Tebing Tinggi.
27
2.8 Kesenian
Kesenian adalah ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam
kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif
(Koentjaraningrat, 1982: 395-397). Seperti masyarakat yang ada di Indonesia,
masyarakat Tionghoa juga memiliki kesenian yaitu : seni musik, tari, rupa, dan
sastra. China pada zaman dahulu tidak ada penggunaan partitur musik di ensambel
musik China pada saat pentas karena biasanya musik telah dihapal oleh
pemusiknya dan dimainkan tanpa alat bantu. Tetapi seiring berjalannya waktu,
jika jumlah pemusik banyak partitur atau konduktor sangat dibutuhkan (Raulina,
2012 : 60-61).
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal dengan
kebudayaan yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni menggunting
kertas, pengobatan, seni bela diri,seni opera atau teater, seni musik tradisional,
hingga tradisi pemujaan leluhur maupun dewa-dewi yang sampai saat ini masih
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa (Karina, 2017 : 20).
Opera Tiongkok yang cukup terkenal yaitu opera beijing yang
merupakan Opera Nasional Tiongkok dan sangat berpengaruh di Tiongkok. Opera
beijing meruapakan opera yang menggabungkan penampilan nyanyian dan seni
bela diri, yang menceritakan tentang cerita rakyat, sejarah, komedi, tragedi, dan
jenaka. Ada beberapa opera lain yang berasal dari Tiongkok yaitu, Opera Yu
(Opera Henan Bangzi), Opera Kun, Opera Qingqiang yang juga menceritakan
tentang cerita rakyat. Opera merupakan kesenian yang menggunakan musik, tari
dan sastra.
28
BAB III
PERTUNJUKAN BARONGSAI DI KOTA TEBING TINGGI
3.1 Sejarah Barongsai
Masyarakat etnis Cina mempunyai suatu kesenian yang terkenal bernama
Barongsai. Kesenian Barongsai diperkirakan masuk sekitar 500 tahun yang silam,
bersamaan dengan masuknya orang-orang Cina untuk berdagang ke Indonesia.
Masyarakat etnis Cina tersebut menyebar ke berbagai provinsi yang ada di
Indonesia, dan kesenian Barongsai pun ikut menyebar sesuai dengan penyebaran
etnis Cina. salah satu provinsi tempat penyebaran masyarakat etnis Cina dari
Tiongkok untuk berdagang adalah provinsi Sumatera Utara, dengan ibukotanya
adalah Medan.
Pada dasarnya singa bukanlah binatang asli China, tetapi digunakan
kaisar sebagai hadiah dari generasi ke generasi. Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan, menurut kepercayaan9 masyarakat Tionghoa pada zaman
dahulu, asal usul dari adanya pertunjukan barongsai ini bermula dari seekor singa
berbulu emas yang dihadiahkan kerajaan Tokhara untuk mendoakan kejayaan
Dinasti Han, dan mempererat kerajaan Tokhara dan Dinasti Han. Karena
masyarakat Tionghoa percaya dan menjadikan singa yang dijuluki raja hutan ini
sebagai simbol keberanian dan kekuatan yang bisa mendatangkan keberuntungan
dan keselamatan bagi mereka. Kerajaan Tokhara juga berharap supaya kerajaan
9 Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, Ada banyak versi yang menceritakan tentang asal usul
kesenian barongsai. Namun, kepercayaan masyarakat Tionghoa tentang barongsai tetap sama bahwa,
keberadaan barongsai dapat memberikan kebahagiaan, kemakmuran, keberuntungan, dan kesuksesan oleh
sebab itulah barongsai terkadang ada dalam acara acara penting seperti pembukaan restoran, memasuki rumah baru dan selalu dipertunjukkan dalam setiap perayaan hari besar Tionghoa
29
Dinasti Han dapat menjinakkan singa tersebut dan tidak mencelakai rakyat untuk
dipertunjukkan di hari Imlek ke-15. Akhirnya, kaisar Dinasti Han pun membuat
pengumuman mencari seorang ksatria yang dapat menjinakkan singa tersebut.
Namun, tidak ada seorang pun yang berhasil menjinakkannya. Lalu, suatu hari
adalah seorang ksatria yang hendak menjinakkan singa tersebut dengan cara
memberikan wahan daging kepadanya tetapi, singa itu malah hendak menerkam
ksatria itu. Oleh karena singa itu hendak memakan ksatria, pengawal Dinasti Han
pun memukuli kepala singa itu sampai mati. Sebagai ganti singa yang sudah mati,
salah satu pengawal pun membuat singa buatan dengan cara menguliti kulit singa
dan memakaikannya untuk diperankan oleh manusia dan dipertunjukkan dihari
imlek ke-15.
Ada versi yang mengatakan bahwa barongsai ada karena ada dalam
salah satu wilayah di China Nian (monster) yang mengganggu penduduk yang
menimbulkan kegelisahan dan ketakutan masyarakat. Lalu, singa datang untuk
mengusir Nian (monster) dan monster itu kalah dan sangat ketakutan melihat
singa tersebut dan pergi. Namun, monster tersebut dendam dan kembali
mengganggu masyarakat. Masyarakat pun mencari cara bagaimana dapat
mengusir kembali monster tersebut, karena masyarakat tidak tahu cara memanggil
singa yang pernah menolong mereka. Masyarakat pun membuat boneka tiruan
yang menyerupai singa yang pernah mengusir monster tersebut. Sehingga
barongsai ada sampai sekarang dan dipercayai dapat mengusir roh-roh jahat.
Asal usul barongsai lain yang dipercayai masyarakat Tionghoa dari sisi
agama yaitu, bahwa ada seekor singa yang ditugaskan oleh Kaisar Langit untuk
30
menjaga bunga keabdian. Namun sang singa tergoda dan akhirnya memakan
bunga tersebut. Kaisar Langit pun mengetahuinya dan ia sangat marah karena ini
bukanlah kecerobohan pertama yang pernah dilakukan oleh singa tersebut.
Kemudian Kaisar memerintahkan agar memotong tanduk sang singa yang
merupakan sumber hidupnya dan mengusirnya dari langit. Tetapi, walaupun
tanduk singa telah dipotong , singa tetap hidup karena telah memakan bunga
keabadian. Dewi Welas Asih, Guan Yin, melihat apa yang terjadi dan merasa
kasihan kepada singa akhirnya Dewi Guan Yin mengikat kembali tanduknya ke
kepala singa dengan pita merah dan dedaunan emas. Sang singa merasa sangat
bersyukur dan menyesali tindakan cerobohnya dan berjanji akan melakukan
perbuatan baik. Oleh karena itu, di tanduk barongsai ada pita merah jika dilihat
dari dekat. Mereka percaya bahwa singa yang telah diperkenalkan kepada bangsa
China sebagai penghargaan kepada kekaisaran kadang-kadang akan dibawa keluar
untuk menjadi tontonan publik. Karena kelangkaan dan kesulitan dalam
penanganannya, dimunculkanlah suatu bentuk tarian atau sandiwara yang
menirukan penampilan singa dan gerakannya, seiring berjalannya waktu, cerita
cerita tentang mitos dan ajaran agama Buddha ditambahkan kedalam cerita
pertunjukan tersebut.
Barongsai merupakan jelmaan dari Dewa yang ditugaskan untuk
melindungi tanaman padi dan kesejahteraan masyarakat Cina pada waktu itu agar
tidak diganggu oleh binatang. Dengan inisiatif dari Dewa tersebut maka manusia
diperbolehkan untuk membuat topeng berkepala singa dan membuat musik pukul
yang dapat membuat telinga binatang buas mendengar keributan. Dengan suara
31
musik tersebut dan juga topeng singa yang menakutkan itu maka harimau itu lari
karena ketakutan dan tidak lagi mengganggu manusia dan tanamannya lagi. Oleh
sebab itu, berdasarkan kesimpulan diatas masyarakat Tionghoa percaya bahwa
kedatangan barongsai dapat membawa kesuksesan, kemakmuran, keberuntungan,
dan dapat mengusir roh roh jahat yang dapat melindungi mereka dari hal-hal
negatif.
Beragam versi tentang asal usul barongsai, salah satu versi yang
berkembang di kalangan masyarakat etnis Cina Medan adalah barongsai itu
merupakan jelmaan dari dewa yang ditugaskan untuk melindungi tanaman padi
dan kesejahteraan masyarakat Cina pada waktu itu agar tidak diganggu oleh
binatang. Dengan inisiatif dari dewa tersebut maka manusia dibenarkan untuk
membuat topeng berkepala singa dan membuat musik pukul yang dapat
membisingkan telinga si binatang buas. Dengan suara musik yang dapat
membisingkan itu, ditambah topeng singa yang menakutkan itu maka harimau itu
lari ketakutan, dan tidak lagi menggangu manusia dan tanamannya.
3.2 Jenis Barongsai
Ada dua jenis tarian singa dari barongsai ini yaitu singa utara dan singa
selatan. Singa utara biasa disebut peking sai yang dimainkan dengan akrobatik
dan atraktif, seperti berjalan di tali, berjalan diatas bola, menggendong, berputar,
dan gerakan-gerakan akrobatis lainnya. Singa utara memiliki bulu yang lebat dan
panjang berwarna kuning dan merah. Biasanya singa utara dimainkan dengan dua
singa dewasa dengan pita warna merah di kepalanya yang menggambarkan singa
32
jantan, dan pita hijau (kadang bulu hijau di kepalanya) untuk menggambarkan
singa betina.
Singa selatan memiliki tiga macam gaya yaitu Fat San singa jantan, Hok
San singa betina, dan Fut Hok merupakan gaya gerakan kungfu atau bela diri.
Jenis singa selatan Fat San dan Hoksan untuk menghidupkan maknanya tercipta
karena menggunakan dua aspek yang berbeda. Aspek yang pertama disebabkan
oleh sistem kepercayaan Tionghoa yaitu Taoisme/Feng-Shui. Sedangkan gaya Fut
Hok merupakan percampuran dari gerakan Fat San dan Hok San, karena gerakan
yang cukup sulit. Banyak dari pemain barosngsai berkata tidak sanggup
memainkan gerakan Fut Hok khususnya di Indonesia. Bahkan Tim HSS Tebing
Tinggi juga tidak memakai gerakan tersebut. Pada kepala singa selatan ada
tonjolan yang disebut dengan Jiao Chi. Jiao berarti tanduk dan Chi berarti kepala.
Ada dua jenis tanduk singa selatan yang paling terkenal yaitu batang bambu di
puncak kepala dengan ujung yang runcing ( biasa dijumpai pada kepala singa Fat
San ). Kemudian ada tanduk yang bentuk ujungnya menyerupai kepalan tangan
(biasa dijumpai pada kepala singa Hok San ). Bambu merupakan simbol panjang
umur, kesopanan, bahkan keberanian saat kesulitan bagi kepercayaan masyarakat
Tionghoa. Pada barongsai juga terdapat pita yang dalam bahasa Tionghoa adalah
dai yang memiliki arti untuk “membawa generasi”. Makna dari pita ini juga
membawa sifat sifat baik dan keberuntungan kepada tiap generasi
Barongsai yang berasal dari Tiongkok Bagian Utara mempunyai tarian
yang bagus dibagian kepala, sedangkan Barongsai yang berasal dari Tiongkok
Bagian Selatan mempunyai tarian bagus dibagian ekornya. Tetapi untuk
33
Barongsai modern antara kepala dan kaki dibuat sedemikian rupa sehingga
memiliki gerakan yang dinamis.
3.3 Pertunjukan Barongsai
Pertunjukan Barongsai dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di
Indonesia, tak lepas dari sejarah politik dan sosial budaya di Indonesia. Setelah
negara Indonesia merdeka, masyarakat Tionghoa yang berkewarganegaraan
Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia,
sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia, sehingga upacara-upacara keagamaannya
sudah bebas untuk dapat dilaksanakan. Walaupun etnis Tionghoa berada di luar
daerah asalnya namun mereka tetap melestarikan kesenian tradisionalnya dengan
cara memperkenalkan kepada masyarakat.
Pertunjukan Barongsai sempat ditiadakan oleh karena pemerintahan
Orde Baru, tetapi masyarakat Tionghoa masih tetap memelihara kesenian
barongsai tersebut sebagai warisan budaya leluhur. Hal ini didukung oleh
pernyataan (Poerwanto 2006:87-88) yang menyatakan bahwa
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan
manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun manusia akan mati, tetapi
kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk keturunannya, demikian
seterusnya. Manusia merupakan pewaris kebudayaan, tidak hanya terjadi secara
vertical atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula dilakukan secara
horizontal atau manusia yang satu data belajar kebudayaan dari manusia lainnya.
Dalam pagelaran barongsai dibutuhkan pemain yang mempunyai fisik
yang kuat untuk mengangkat Sam Sie ( kostum barongsai yang cukup berat )
sehingga pemain satu dengan yang lainnya kelihatan seimbang dan serasi dalam
34
setiap gerakannya, maka diperlukan latihan yang rutin bahkan ada juga penari
yang ikut ambil bagian dalam Wushu. Oleh sebab itu, sekarang ini pemain
barongsai dapat dikatakan sebagai atlet barongsai. Karena, barongsai telah diakui
oleh KONI ( Komite Olahraga Nasional Indonesia ). Bahkan FOBI ( Federasi
Olahraga Barongsai Indonesia ) yang menaungi kesenian Barongsai telah diakui
oleh KONI ( Komite Olahraga Nasional Indonesia ). Barongsai10
di Indonesia
juga sudah diperlombakan satu tim dengan tim yang lainya. Barongsai Indonesia
telah meraih juara pada kejuaraan di dunia. Dimulai dengan barongsai Himpunan
Bersatu Teguh (HBT) dari Padang yang meraih juara 5 pada kejuaraan dunia di
genting - malaysia pada tahun 2000. Hingga kini barongsai Indonesia sudah
banyak mengikuti berbagai kejuaraan-kejuaraan dunia dan meraih banyak
prestasi. Berikut beberapa nama seperti Kong Ha Hong (KHH) - Jakarta, Dragon
Phoenix (DP) - Jakarta, Satya Dharma - Kudus, dan Paguyuban Sosial Marga
Tionghoa Indonesia (PSMTI) - Tarakan
Dalam pertunjukan permainan barongsai ( Wŭ Shì bĭsai ), di mana
permainan barongsai terdiri atas dua bagian yaitu permainan lantai dan permainan
tonggak. Permainan lantai merupakan atraksi pemain dengan menggunakan alat
peraga bantu. Sedangkan permainan tonggak adalah permainan yang
menggunakan alat peraga bantu berupa tonggak-tonggak besi yang dijajarkan.
Dari hasil pengamatan, penulis dapat menguraikan sedikit gerakan
barongsai dalam permainan lantai yaitu, demonstrasi gerak lantai dilakukan
dengan gerak singa berdiri yaitu sebuah atraksi yang dilakukan dengan
10 https://id.wikipedia.org/wiki/Barongsai
35
mengangkat pemain bagian depan yang memegang kepala oleh pemain belakang
yang menjadi badan dan ekor.
Dalam permainan barongsai musik dari iringan gendang, gong, dan simbal
berbunyi. Setiap gerakan dari barongsai diikuti oleh musik, jika barongsai tidak
bergerak atau diam, maka musikpun berhenti. Berdasarkan hasil wawancara,
musik barongsai pada dasarnya semua sama, namun dalam penyajian gerakan
barongsai tersebut musik itu terdengar berbeda pada ketukan dan temponya.
Gerakan berguling ( Gŭn ), yaitu pemain depan dan belakang bersama-sama
kearah yang sama, sehingga terlihat seperti singa yang berguling-guling. Atraksi-
atraksi di lantai sering pula divariasikan dengan gerakan ekspresif seperti
melakukan posisi diam, dan hanya kepala yang sedikit bergerak sambil kelopak
matanya berkedip-kedip serta telinga yang digerak-gerakkan. Penutup pertunjukan
barongsai yang ditampilkan adalah gerakan singa yang berdiri dan berjalan
berkeliling. Di akhir pertunjukan ( penutup ) musik dimainkan semakin cepat
sebagai tanda bahwa pemain barongsai mohon pamit kepada penonton ataupun
sesepuh Klenteng.
36
Gambar 3.1
Pertunjukan barongsai pada acara hari ulang tahun Dewa Seng Ong Kong
Foto : dokumentasi penulis
3.3.1 Upacara Ritual
Pertunjukan barongsai biasa dilaksanakan masyarakat Tionghoa
pada acara ritual keagamaan yaitu seperti : tahun baru China / Imlek, Cap Go
Meh, Tiong Chiu, ulang tahun Dewa dan pada hari besar agama buddha,
Khonghucu, dan Taoisme lainnya.
Sedangkan, pertunjukan barongsai yang ada di Kota Tebing Tinggi
hanya diarak pada acara Imlek dan ulang tahun Dewa saja. Pada hari sebelum
menjelang tahun baru China ( Imlek ), barongsai lebih banyak dipertunjukkan di
Kota Tebing Tinggi sebagai ungkapan kegembiraan mereka menyambut Tahun
Baru Imlek dengan mengadakan pawai/diarak sepanjang jalan mengelilingi Kota
Tebing Tinggi selama seminggu berturut turut. Perayaan Cap Go Meh, barongsai
tidak diarak sepanjang jalan tapi hanya dipertunjukan di Vihara saja saat
37
sembahyang menyambut hari besar tersebut. Sedangkan pada hari raya Tiong
Chiu barongsai tidak dipertunjukkan tetapi mereka hanya mengadakan
sembahyang di Vihara.
Dalam ritual, barongsai dipertunjukkan juga karena kepercayaan
masyarakat Tionghoa bahwa singa merupakan binatang suci. Maka, dengan
menampilkannya mereka dapat bertemu dengan Dewa Dewa untuk memanjatkan
doa doa atau segala permohonan pun akan cepat dikabulkan oleh para Dewa.
Salah satunya, penulis mengikuti acara pertunjukan barongsai pada hari ulang
tahun Dewa Seng Ong Kong. Dewa Seng Ong Kong merupakan Dewa pelindung
masyarakat. Pada hari tersebut, barongsai mengadakan pawai dengan membawa
Tandu yang berisi patung Dewa Seng Ong Kong.
Gambar 3.2
Barongsai mengelilingi Tandu
Foto : dokumentasi penulis
38
3.3.2 Acara Hiburan
Dalam acara hiburan di Kota Tebing Tinggi atraksi barongsai lebih
sering dipertunjukkan dan Tim barongsai HSS terkadang juga mau mengadakan
pawai dalam acara hiburan. Masyarakat Tionghoa maupun Pribumi juga senang
menyaksikan atraksi dan pawai barongsai tersebut. Dalam acara hiburan,
barongsai sering melakukan atraksi dan pawai di lapangan merdeka pada saat hari
jadi Kota Tebing Tinggi, yang selalu diadakan setiap tahun. Barongsai juga
melakukan atraksinya pada saat acara perkawinan, dan terkadang juga barongsai
diminta mengarak pengantin semua tergantung dari permintaan masyarakat.
Masyarakat Tebing Tinggi juga banyak yang percaya bahwa barongsai merupakan
pembawa kesuksesan dan kemakmuran, karena itu barongsai juga sering
dipanggil melakukan atraksinya pada peresmian toko/ pembukaan toko, pada saat
acara hari ulang tahun dan acara hiburan lainnya, semua tergantung permintaan
dari masyarakat.
Barongsai sebagai media hiburan terjadi di masa sekarang. Barongsai
sebagian dari tradisi dan kesenian juga mengalami adaptasi dan perkembangan.
Lambat laun masyarakat etnis Cina mulai diperbolehkan memainkan barongsai
yang akhirnya menjadi sebuah bentuk kesenian. Pemain barongsai tidak semua
dituntut ahli dalam olahraga wushu, tetapi yang sebenarnya yang harus dilatih
yaitu kekuatan tangan dan kaki, serta keseimbangan berat badan. Barongsai
memiliki empat warna dasar yaitu, hitam, merah, kuning, dan putih, namun untuk
keperluan hiburan sering ditambahkan warna-warna lain agar penampilam
barongsai lebih menarik. Barongsai yang dipertunjukan untuk hiburan
39
menonjolkan keterampilan gerakan pemainnya yang secara atraktif dan akrobatik
di lantai maupun di pilar tonggak.
3.4 Tokoh Musik Barongsai
Barongsai singa selatan sebenarnya memiliki tiga aliran musik dan
gerakan yaitu : gerakan Fut-San, Hok-San, dan Fut-Hok. Tiga aliran musik dan
gerakan barongsai tersebut memiliki tokoh musik yang terkenal dan merupakan
pembuat dari aliran tersebut. Berikut tokoh terkenal musik barongsai aliran Fut-
San dan Hok- San :
Master Lim Meng-Kok merupakan tokoh terkenal aliran musik Fut-San.
Master Lim merupakan sifu generasi pertama melatih penari-penari tarian singa di
Meng Kok Lion Dance Association. dan Master Siaw Sefu merupakan tokoh
terkenal aliran musik Hok-San. Kedua master yang dikenal merupakan tokoh
musik barongsai ini diketahui masih aktif sampai sekarang dan mereka bertempat
tinggal di Kuala Lumpur. Tim barongsai yang cukup terkenal secara nasional
yaitu tim Kong Ha Hong sedangkan secara Internasional tim barongsai Kun Seng-
Keng dan Hong Tiek.
3.5 Persiapan dan Proses Pertunjukan
Pada saat acara ritual seperti hari besar tahun baru China dan acara-acara
hiburan lainnya tim barongsai HSS (Hong San See) di Kota Tebing Tinggi sering
mengadakan pawai pertunjukan barongsai yaitu mengelilingi Kota Tebing Tinggi
40
dengan durasi kurang lebih 2 jam yang dimulai dari Vihara Avalokistevara yang
merupakan tempat tim HSS dan tempat penelitian penulis.
Dalam persiapan pertunjukan, tim barongsai tidak cukup hanya berlatih
musik dan gerakan saja tetapi tim juga harus mengadakan sembahyang kepada
Dewa sebelum melakukan atraksinya. Sebelum memulai pawai, terlebih dahulu
barongsai sembahyang kurang lebih 30 menit di Vihara sebagai bentuk izin
kepada Dewa, setelah itu barongsai siap untuk dipertunjukkan.
Dalam proses pertunjukan barongsai ada beberapa langkah langkah yang
dilakukan, pertama-tama barongsai melakukan penghormatan. ketika melakukan
penghormatan, Barongsai akan menekukkan kakinya sebanyak tiga kali. Hal ini
untuk melambangkan surga, bumi, dan manusia. Terdapat beberapa arah
penghormatan dalam pertunjukan Barongsai. Selanjutnya barongsai terus menari
dengan iringan musik. Gerakan tarian yang ditampilkan ini berdasarkan pada
emosi-emosi utama Barongsai, jadi mereka tidak hanya asal memperagakan
gerakan. Pertunjukan Barongsai terbagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama
merupakan pertunjukan yang menampilkan emosi-emosi dasar, seperti bangun
tidur, waspada, bingung, mengamati dengan menampilkan gerakan sederhana dan
tidak terlalu akrobatik diringi musik yang lambat menuju sedang. Dalam sesi
kedua ini mereka melanjutkan pertunjukan dengan menampilkan gerakan-gerakan
yang lebih kompleks dan akrobatik, seperti gerakan marah, mabuk, kaget, dan
gembira.
41
3.5.1 Proses Latihan
Latihan merupakan salah satu persiapan sebelum memulai pertunjukan
barongsai. Persiapan latihan11
musik maupun tari pastinya membutuhkan waktu
di jauh hari bahkan waktu yang cukup lama untuk pemula ( baru masuk tim ). Tim
barongsai HSS biasa melakukan proses latihan selama dua minggu sebelum
memulai pertunjukan barongsai, baik pada acara hiburan maupun ritual. Tetapi di
Kota Tebing Tinggi sendiri barongsai lebih sering dipertunjukkan pada acara
hiburan daripada acara ritual.
Dalam sebuah tim barongsai terbagi dua yaitu pemain musik dan penari
barongsai yang memakai kostum singa dan yang melakukan atraksi. Seorang
pemula atau yang baru masuk tim harus belajar alat musik gendang dan
menghapal setiap ritem gendang terlebih dahulu. Dengan membaca sebuah buku
yang merupakan aturan musik atau not-not musik barongsai aliran Hok-San
karena tim ini menggunakan aliran musik dan gerakan Hok-San. Dan buku ini
hanya dimengerti oleh guru-guru musik barongsai dan tariannya. Lalu setelah itu
lanjut berlatih ke alat musik simbal dan gong. Karena gendang merupakan
ketukan dasar dalam permainan barongsai. Setelah seorang pemula telah belajar
alat musik gendang, symbal, gong, dan telah hapal setiap ritem, barulah seseorang
tersebut dapat menjadi penari atau pemain yang melakukan atraksi barongsai.
Karena dalam pertunjukan barongsai, bukan barongsai yang mengikuti ritem alat
musik melainkan musik yang mengikuti setiap gerakan gerakan barongsai. Jadi,
11
11 Proses latihan merupakan hasil wawancara penulis dengan ketua dari tim barongsai HSS (Hong San See)
Kota Tebing Tinggi.
42
awal permainan atau atraksi barongsai dimulai dari gerakan barongsai terlebih
dahulu.
3.6 Pendukung Pertunjukan
Dalam setiap pertunjukan apapun pastinya ada yang mendukung
pertunjukan tersebut. begitu juga dalam pertunjukan barongsai. berikut
merupakan yang mendukung pertunjukan barongsai dalam acara ritual dan atraksi
barongsai dalam acara hiburan yaitu alat alat musik, pemain barongsai, pemain
musik, penonton, panggung, dan kostum.
3.6.1 Alat alat Musik Barongsai
Dalam setiap petunjukan barongsai, tiga alat musik yaitu Tambur,
simbal, dan gong selalu ada. Menampilkan, satu orang pemain tambur, dua orang
pemain simbal dan satu orang pemain gong. Dalam pertunjukan barongsai,
tambur menjadi komando tempo karena sebagai ketukan dasar dalam permainan
musik barongsai. (Yudhistira, 2012 : 81) Bangsa Tionghoa membagi alat musik
kedalam delapan kategori berdasarkan pembagian oleh Ba Gua, yakni kulit
hewan, Labu bambu, kayu, sutra, tanah liat, besi, batu. Yang mengiringi
pertunjukan barongsai ialah yang termasuk dalam kategori besi, kayu, dan kulit.
Berikut penjelasan lebih lanjut dari ketiga alat musik barongsai :
Ensambel musik merupakan kombinasi beberapa alat musik yang dimainkan
secara bersamaan sehingga menghasilkan suara yang harmonis.
(Pita, 2017 : 71) Kata ansambel berasal dari bahasa prancis yaitu ensambel yang
artinya, bersama-sama atau keseluruhan. Dalam ensembel pertengahan abad ke-18
juga dilambangkan precis dengan kelompok peformed. Pemakaian disesuaikan
43
dengan bahasa lain. Dalam terminologi opera modern, 'ensemble' menunjukkan
sejumlah musik yang melibatkan apa pun dari dua penyanyi untuk seluruh pemain
(dan dalam bahasa Jerman 'das Ensemble' juga berarti personil nyanyian sebuah
gedung opera).
Musik barongsai merupakan kategori ensambel karena tiga alat musik yang
dimainkan secara bersamaan. Alat musik tambur, simbal dan gong yang
merupakan alat musik barongsai memiliki saat memainkannya. Bahwa tiga alat
musik tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam tarian
barongsai juga diiringi beberapa jenis-jenis alat musik diantaranya alat musik
Gendang (Tambur), Simbal (cai-cai), dan Gong (Luo). Alat–alat musik tersebut
sangat berperan penting dalam pertunjukan barongsai. Barongsai adalah salah
satu jenis seni pertunjukan yang terpusat pada olah gerak tubuh (tari dan bela diri
atau akrobatik), menggunakan kostum singa, dan gerakannya mengikuti hentakan
ritme yang dihasilkan oleh pemain musik.
Dalam hal ini, penulis membuat perbandingan dari dua karya ilmiah musik
barongsai dalam skripsi (Yudhistira 2012 : 105) yang mengatakan bahwa : “musik
barongsai pada perayaan Cap Go Meh di Maha Vihara Maitreya dimainkan
dengan durasi 210 menit dan menggunakan birama 4/4. Repertoar musik
barongsai terdiri dari tiga pola ritme, yakni pembuka, isi, dan penutup. Hasil
transkripsi ritmenya, sebanyak 204 birama”.
Sedangkan dalam Thesis (Raulina 2012 : 143) mengatakan bahwa :
“musik barongsai IWLCSCCA dimainkan menggunakan birama 2/4 dengan
ketukan pertama diawali dengan pembukaan dengan melakukan gerakan pembuka
kemudian dilanjutkan gerakan inti dan diakhiri dengan gerakan penutup. Hasil
transkripsi ritmenya, sebanyak 130 birama”.
a. Tambur ( Gendang )
Dalam pertunjukan barongsai, tambur menjadi komando tempo karena
sebagai ketukan dasar dalam permainan musik barongsai. Tambur termasuk
dalam klasifikasi membranofon barrel yaitu alat musik yang berbentuk bulat
44
seperti tong atau tabung yang menggelembung dan sumber bunyinya berasal dari
kulit. Alat musik tambur terbuat dari kulit lembu sedangkan stik (alat pemukul )
terbuat dari kayu fiber. Stik pemukul tambur dengan gong juga berbeda. Diameter
tambur 20 cm dengan tinggi 30 cm dan lebar bagian bawah tambur 16 cm. Dalam
pemakaian, alat musik tambur ini bisa dipakai hingga bertahun tahun lamanya.
Semakin lama alat musik ini ada maka suaranya pun semakin bagus karena kulit
lembu yang semakin mengering. Oleh sebab itu, alat musik ini bisa dipakai hingga
10 tahun lamanya. Walaupun tergantung dari pemakaian dan perawatan dari alat
musik tersebut.
Dalam pertunjukan musiknya, tambur dimainkan oleh satu orang
menggunakan sepasang pemukul/stik dari kayu. Bagian yang dipukul dari
gendang ini adalah bagian atas yang terbuat dari kulit dan juga bagian sisi luar
yang terbuat dari kayu. Rangka utamanya dibuat dari dahan pohon dan
permukaannya ditutupi dengan kulit buaya. Banyak bahan dasar yang bisa
digunakan untuk membuat genderang. Antara lain adalah genderang kain,
tembaga, kayu, batu, dan lain-lain. Sekarang tambur biasanya dibuat dari bahan
kayu. Rangka utamanya dibungkus dengan kulit hewan. Bunyi-bunyian yang
dihasilkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu.
Dalam memainkan setiap alat musik pasti mempunyai langkah-langkah atau
teknik dalam memainkannya. Sama halnya dengan alat musik tambur. Tambur
yang dimainkan dengan tangan kanan dan kiri secara bergantian dipukul dengan
menggunakan dua stik, mempunyai nama tersendiri. Berikut teknik dari
memainkan alat musik tambur :
45
1. Tambur yang dipukul bagian tengah dengan tangan kanan
disebut cang.
2. Tambur yang dipukul bagian tengah dengan tangan kiri
disebut Tong.
3. Tambur yang dipukul bagian tengah dengan tangan kanan
dan kiri secara cepat disebut double trull.
4. Tambur yang dipukul sekali saja dibagian sisi lingkar kanan
dan kiri disebut tak.
5. Tambur yang dipukul dengan cepat secara berulang kali
dibagian sisi lingkar kanan dan kiri disebut ter-tak.
6. Tambur yang dipukul dibagian tengah dengan tangan kanan
dan tangan kiri menahan stik disebut cik.
Gambar 3.3
Alat musik Gendang/ Tambur
46
Gambar 3.4
Posisi memainkan alat musik Tambur
Gambar 3.5
Cara memainkan Tambur yang di sebut Tak
47
Gambar 3.6
Cara memainkan Tambur yang di sebut Ter-Tak
Gambar 3.7
Cara memainkan Tambur yang disebut Cik
48
Gambar 3.8
Cara memainkan Tambur yang disebut Tong
Gambar 3.9
Cara memainkan Tambur yang disebut Cang
49
Gambar 3.10
Cara memainkan Tambur yang disebut Double Trull
b. Simbal ( Cai Cai )
Cai-cai biasanya hanya digunakan sebagai instrumen pelengkap. Cai-cai
terbuat dari lempengan logam yang dibunyikan dengan cara memukulkan kedua
permukaannya. Bunyinya yang nyaring dapat memberi semangat pertunjukan.
Simbal ( cai-cai ), dalam pertunjukan Barongsai yang dimainkan di Vihara
50
Avalokistevara. Simbal dimainkan oleh dua orang yang masing-masing
memainkan sepasang simbal.
Klasifikasi alat musik ini yaitu concussion idiophone yang merupakan
sumber bunyinya berasal dari tubuh instrumen itu sendiri. Concussion idiophone
ialah instrumen yang memiliki bentuk ukuran yang sama terdiri dari dua sisi dan
dipukul dengan cara disatukan secara bersamaan untuk menghasilkan bunyi tanpa
menggunakan tangan atau stik pemukul. Sebagian besar instrumen concussion
idiophone tidak memiliki nada yang jelas, tetapi simbal dapat menghasilkan nada
dasar.
Simbal terbuat dari besi yang mempunyai dua bagian yang sama dan dimainkan
dengan cara disatukan. Diameter alat musik ini 10 cm. Simbal mengikuti dinamik
dari cara bermain tambur. Misalnya, ketika tambur dimainkan dengan pelan dan
lembut maka pemain simbal juga harus mengikutinya. Tambur yang dimainkan
dengan keras dan kuat maka simbal dimainkan dengan suara yang kuat juga.
Gambar 3.11
Alat Musik Simbal/ Cai Cai
51
Tambur yang memiliki teknik dalam memainkannya, seperti yang penulis jelaskan
diatas. Simbal juga mempunyai teknik dalam memainkannya. Walaupun tidak
banyak seperti teknik memainkan tambur. Berikut teknik dalam memainkan alat
musik simbal :
1. Kedua simbal yang dibuka disebut cang
2. Simbal yang ditutup kebawah disebut cik
Gambar 3.12
Posisi siap (pembukaan) memainkan alat musik Simbal
52
Gambar 3.13
Cara memainkan Simbal yang disebut Cang
Gambar 3.14
Cara memainkan Simbal yang disebut Cik
c. Gong ( Luo )
Gong ( Luo ), masuk kedalam kategori alat musik lonceng. Alat ini
sering digunakan untuk menambah suasana pesta dalam hiburan dan perayaan-
53
perayaan rakyat seperti tahun baru Imlek dan lainnya. Pada masa kuno, alat ini
dikenal sebagai jin yang menghasilkan bunyi-bunyian tajam dan renyah, hingga
bisa mencapai jarak jauh. Alat musik ini dimainkan oleh satu orang menggunakan
pemukul/stik.
Gong termasuk kedalam klasifikasi struck idiophone yang berarti alat musik yang
sumber bunyinya berasal dari alat musik itu sendiri tanpa menggunakan senar dan
kulit tetapi dengan memakai pemukul baik itu tangan atau stik. Alat musik ini
berbentuk bulat memiliki diameter 12 cm dan biasanya mempunyai bulatan kecil
ditengah yang disebut dengan pencu. Tetapi, alat musik gong barongsai tidak
memiliki pencu ditengahnya.
Gambar 3.15
Alat Musik Gong / Nong
54
Alat musik ini dimainkan menggunakan satu stik yang terbuat dari kayu.
Gong dimainkan dengan cara dipukul dibagian tengah dengan tangan kanan.
Berikut teknik dari cara memainkan Gong :
1. Gong yang dipukul dengan ujung stik disebut cik.
2. Gong yang dipukul dengan sisi stik disebut cang.
Dalam memainkan alat musik gong, gong mengikuti tempo maupun
dinamik dari tambur yang sama halnya dengan simbal.
Gambar 3.16
Posisi memainkan alat musik Gong
55
Gambar 3.17
Cara memainkan gong yang disebut Cik
Gambar 3.18
Cara memainkan gong yang disebut Cang
Musik yang disajikan dalam barongsai adalah ansambel perkusi,
dimana semua alat musik yang digunakan adalah alat musik perkusi seperti
tambur, simbal, dan gong. Musik barongsai berasal dari aliran Hoksan Sarpin dari
Tiongkok Selatan. Tanpa musik barongsai tidak dapat melakukan gerakan, karena
56
musik dan barongsai merupakan satu kesatuan. Musik mengikuti setiap gerakan
barongsai.
Fu Chunjiang dalam buku Asal Usul Musik Tionghoa yang dikutip oleh
(Sariwati, 2011 : 30) membahas tentang jenis ansambel instrumental Cina yaitu,
musik Sizhu (ansambel senar dan alat musik tiup dari bamboo), musik Chuida
(ansambel alat musik tiup dan pukul), musik Xiansuo (ansambel berbagai jenis
alat musik bersenar), dan musik Luogu (ansambel alat perkusi gendering atau
tambur dan gong atau kenong).
3.6.2 Pemain barongsai dan Alat Musik
Semua pemain barongsai dan alat musik tim HSS yang ada di Kota Tebing Tinggi
berjumlah 12 orang. Dengan jumlah pemain musik 6 orang, pemain gendang 1
orang, pemain symbal 4 orang, dan pemain gong 1 orang. Sedangkan pemain
barongsai berjumlah 8 orang. Tetapi dalam pertunjukan barongsai tim ini biasa
hanya menggunakan 4 orang pemain barongsai dengan 2 kostum singa. 2 orang di
bagian kepala dan 2 orang lagi dibagian kaki singa, yang dipertunjukan pada acara
hiburan ketika atraksi maupun pawai mengelilingi Kota Tebing Tinggi. 12 orang
pemain barongsai tersebut bisa saja berganti ganti menjadi pemain alat musik
maupun penari. Terlebih pada penari barongsai pasti bisa menjadi pemain musik.
Karena, penari dalam barongsai harus menjadi pemain musik gendang, simbal,
gong terlebih dahulu untuk menghafal setiap ritem yang ada barulah bisa diangkat
menjadi penari barongsai.
57
Pemain barongsai dalam Tim HSS juga kebanyakan dari kalangan masih pelajar.
Narasumber berkata agar anak anak sekolah tidak melupakan kebudayaannya (
khususnya barongsai ) dan tidak punah tetapi tetap terus berlanjut dari generasi ke
generasi. Pemain dalam Tim ini bukan hanya orang Tionghoa saja tetapi
masyarakat Pribumi juga ada.
a Pemusik
Penulis meneliti empat orang pemain musik barongsai yaitu satu orang pemain
tambur, dua orang pemain simbal, dan satu orang pemain gong. Pemain musik tim
barongsai HSS yang merupakan tim penelitian dari penulis, mereka adalah anak
anak pelajar yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas (SMA). Serta,
mereka bukan dari suku Tionghoa saja tetapi ada juga dari masyarakat pribumi
yang senang belajar tari dan musik barongsai. Alasan ketua dari tim barongsai
HSS memilih anak anak sekolah adalah :
12“ Alasan pertama, seiring dari perkembangan zaman yang semakin canggih
agar anak anak zaman sekarang tidak melupakan kebudayaannya sendiri, dan
kebudayaan ini terkhususnya barongsai tetap hidup dan ada dari generasi ke
generasi.
Alasan kedua, setelah pulang sekolah anak anak punya kegiatan dengan berlatih
di Vihara. Karena setiap hari mereka selalu berlatih di Vihara kecuali ada
kepentingan mereka tidak latihan”.
3.6.3 Penonton
Masyarakat Tionghoa dan Pribumi yang ada di Kota Tebing Tinggi,
banyak yang gemar menyaksikan pertunjukan barongsai. Mereka antusias pada
pertunjukan barongsai baik itu pawai barongsai maupun pertunjukan yang
12 Merupakan percakapan antara penulis dengan narasumber yang bernama Kumara Chandra
58
dilakukan dipanggung dan atraksi barongsai di tonggak pilar. Masyarakat
Tionghoa juga berpendapat bahwa barongsai sangatlah menghibur,dan bahkan
mereka percaya bahwa barongsai ditampilkan juga menyajikan nilai nilai spritual
dan berfungsi untuk menolak bala dan kesialan bagi mereka. Begitu juga dengan
masyarakat Pribumi yang ada disana. Pribumi Tebing Tinggi juga sangat terhibur
dengan adanya pertunjukan barongsai dan mereka juga selalu ikut menyaksikan
atraksi barongsai. Bahkan, masyarakat Pribumi disana juga ada yang percaya
bahwa barongsai bukan hanya sekedar hiburan semata bagi mereka. Tetapi
mereka juga percaya bahwa barongsai juga bersifat sakral dan mampu
memberikan keuntungan kesuksesan dan menolak bala bagi Pribumi di Tebing
Tinggi.
3.6.4 Panggung
Di Kota Tebing Tinggi, sebenarnya pertunjukan barongsai tidak sering
ditampilkan diatas panggung. Tetapi, disana lebih sering mengadakan pawai / arak
arakan barongsai yang mengelilingi Kota Tebing Tinggi. Namun, barongsai juga
mau diadakan di depan panggung pada saat acara ritual sembahyang Buddha di
vihara dan acara hiburan di rumah rumah sesuai permintaan masyarakat.
3.6.5 Kostum
Dahulu, kostum yang dibuat pada bagian kepala singa ( Sam Sie )
dibuat mengikuti adat istiadat masyarakat Tionghoa dalam bentuk ukirannya.
Warna kostum singa juga dahulu menggunakan beberapa warna saja. Tetapi, pada
59
masa sekarang ini, ukirannya lebih bersifat modern, dan kostum singa sekarang
pun sudah banyak warna yang digunakan mengikuti permintaan masyarakat. Pada
saat hari raya Tahun baru China, biasanya model baru kepala tarian singa
bertambah pada sambutan Tahun Baru Cina. Kepala singa juga terbagi dua jenis
yaitu Fu San (mulut besar) dan He san (mulut muncung seperti itik). Sam Sie
memiliki lingkar kepala 135-140 cm, dengan tinggi kepala 60 cm. Walaupun
ukuran kepala singa berbeda beda, tetapi ukuran panjang ekor kostum singa tetap
sama yaitu dua meter. Tetapi, ada juga kostum singa yang memiliki panjang ekor
hingga tiga meter. Sehingga, panjang kostum singa dari kepala ke ekor mau
mencapai hingga empat meter.
Kostum yang sering digunakan di Indonesia adalah kostum singa selatan yaitu Fat
San dan Hok San. Begitu juga Tim HSS di Kota tebing Tinggi juga menggunakan
kostum singa selatan. Warna kostum yang sering dipakai tim barongsai HSS yaitu
: biru, merah dicampur dengan hitam, kuning, pink, dan putih. (Irawan , 2013:53)
mengatakan bahwa “warna merupakan ungkapan jiwa dan warna berpengaruh
terhadap jiwa”. Warna adalah salah satu unsur seni rupa yang membuat suatu
ciptaan para seniman terasa hidup dan lebih ekspresif.
Singa merupakan hewan yang paling dihormati bagi masyarakat Tionghoa dan
ada lima lambang warna singa yaitu, kuning, hitam, hijau, merah, dan putih yang
merupakan warna kostum barongsai tradisional. Lima warna itu adalah tanda dari
lima arah dalam kompas Tiongkok yang memiliki kontrol dan lima unsur
kehidupan. Kuning adalah bumi (pusat), hitam adalah air (utara), hijau adalah
kayu (timur), merah adalah api (selatan), dan putih adalah logam (barat).
60
Setiap warna kostum barongsai yang digunakan tersebut mencerminkan keadaan
acara apa yang sedang di laksanakan. Pada perkembangan modern kostum
barongsai saat ini, terdapat kostum barongsai dengan warna lain seperti biru,
merah jambu dan lain-lain. kostum barongsai dengan warna baru ini tidak
memiliki makna tertentu, hanya sebagai keindahan dan atas dasar pertimbangan
estetika saja. Beberapa makna lain dari warna kostum singa, yaitu warna kuning
merupakan lambang kebijaksanaan, dan warna Kekaisaran seperti halnya di Cina
hanya digunakan bagi Kaisar. Warna dasar merah yang bercampur dengan warna
hitam melamangakan keberanian, kebajikan dan kesetiaan. Putih yang berarti
suci, bersih, jujur, terang, kebenaran dan murni. Sedangkan warna kostum
barongsai yang digunakan Tim HSS di Kota Tebing Tinggi yaitu, merah, kuning,
biru, putih, dan merah muda.
61
BAB IV
ANALISIS MUSIK BARONGSAI
4.1 Analisis Musik Barongsai
Dalam pertunjukan barongsai di Kota Tebing Tinggi saat melakukan
atraksi, musik mengikuti setiap gerakan dari barongsai/ singa. Seperti gerakan
saat singa diam dengan mengedipkan mata, singa sedang tidur, mabuk, marah,
sedih, senang, melompat, berjalan, minum dan takut. Berikut dinamika
permainan musik barongsai yang mengikuti ekspresi dari singa :
a. Musik barongsai yang dimainkan dengan tempo yang cepat dan
bersemangat merupakan ekspresi singa yang sedang bergembira dengan
cara berjalan dan melompat.
b. Alat musik barongsai yang dipukul dengan pukulan yang kuat dan tempo
yang cepat sehingga menghasilkan suara yang keras merupakan ekspresi
singa yang sedang marah.
c. Musik yang dimainkan dengan tempo yang lambat dengan pukulan yang
lembut merupakan ekspresi singa yang sedang tidur dan minum.
d. Musik yang dimainkan dengan pukulan yang pelan dan tempo yang
lambat merupakan ekspresi singa yang sedang merasa sedih.
e. Sedangkan musik yang dipukul dengan tempo yang lambat dan pelan serta
terkadang ketukan irama yang tersentak sentak merupakan ekspresi singa
yang sedang ketakutan.
62
4.2. Transkripsi
Nettl (1964:98) menyatakan bahwa transkripsi adalah proses penotasian
bunyi yang merupakan suatu usaha mendeskripsikan musik yang memberikan dua
pendekatan, yaitu:
1. menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan
2. mendeskripsikan apa yang dilihat dan menulisnya di atas kertas dengan
suatu cara penulisan tertentu.
Dari kedua hal di atas untuk dapat memvisualisasikan musik iringan pada
pertunjukan barongsai, penulis melakukan transkripsi untuk lebih mudah
menganalisisnya terutama pada ritme dan tempo. Sehingga dengan ini dapat
membantu kita untuk mengkomunikasikan serta menyampaikan kepada pembaca
tentang apa yang kita dengar.
Dalam pentranskripsian penulis menggunakan notasi Barat untuk mempermudah
penulisan. Keberadaan musik pengiring dalam pertunjukan barongsai ini sangat
penting untuk menghitung tempo gerakan penari barongsai. Analisis hanya
dilakukan pada ritme yang dimainkan oleh musik pengiring saja. Akan tetapi, ada
tahap awal yang digunakan untuk latihan sebelum mempelajari musik pengiring
pertunjukan barongsai, yaitu disebut basic ini harus bisa dimainkan oleh semua
pemain musik. Berikut transkripsi basic yang penulis buat dengan menggunakan
notasi barat
63
Ritem Pengiring Barongsai
Transkripsi: Omega Putri Silitonga
64
65
66
67
68
69
70
4.2.1 Analisis Pola Rytem
Keberadaan musik pengiring dalam pertunjukan barongsai ini sangat penting
untuk menghitung tempo gerakan penari barongsai. Analisis hanya dilakukan
pada ritme yang dimainkan oleh musik pengiring saja.
Pawai musik barongsai berikut dimainkan dengan durasi sekitar 120
menit, menggunakan birama 4/4 dan penulis mendapat ritme sebanyak 27 birama
yang terdiri dari delapan pola ritme. Berikut transkripsi yang penulis buat dengan
notasi dari musik barongsai yang digunakan saat pertunjukan barongsai di Kota
Tebing Tinggi :
71
a. Koot Fa Tau
Koot Fa Tau merupakan musik yang dimainkan diawal
pertunjukan barongsai, yaitu barongsai membuat penghormatan kepada
penonton.
b. Mat Dim
Mat Dim merupakan teknik permainan setelah barongsai melakukan
penghormatan. Di bagian ini barongsai melakukan gerakan lompat ditempat
sebanyak 2 kali.
72
c. Soh Dim
Soh Dim merupakan teknik permainan musik saat barongsai melakukan
gerakan melangkah maju kedepan.
d. Tam Bo
Tam Bo merupakan musik yang dimainkan saat barongsai mengedipkan
mata kanan dan kiri untuk melihat makanan yang disebut Cai Jing.
e. Jung Ching
Jung Ching merupakan teknik permainan musik saat barongsai sedang
menggaruk badannya.
73
f. Boon Ching
Boon Ching merupakan teknik permainan musik saat barongsai
melangkahkan kaki maju kedepan sebanyak 7 kali.
g. Ha Ching
Setelah barongsai melangkahkan kaki maju kedepan 7 kali,
barongsai melakukan gerakan melangkahkan kaki ke tonggak pilar dan melihat
Cai Jing (makanan yang dilihat barongsai seperti daging tetapi setelah barongsai
memakan, ia memuntahkannya karena makanan tersebut adalah sayur). Pada saat
barongsai melakukan gerakan ini musik yang dimainkan yaitu Ha Ching.
h. Chik Ching
74
Chik Ching merupakan teknik permainan musik saat barongsai sudah
berada diatas tonggak pilar.
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan dari bab satu sampai
empat, maka ada dua kesimpulan yang didapat oleh penulis, yaitu sebagai berikut.
Barongsai merupakan tarian singa dari kebudayaan masyarakat Tionghoa. Mereka
percaya bahwa barongsai dapat memberi keberuntungan, kesuksesan dan dapat
menolak kesialan dan hawa jahat. Begitu juga dengan kepercayaan masyarakat
Tionghoa yang ada di Kota Tebing Tinggi. Pertunjukan barongsai yang ada di
Kota Tebing Tinggi di pergelarkan pada acara ritual dan hiburan. Tim barongsai
HSS biasa mempertunjukkan barongsai dengan mengadakan pawai yaitu dengan
cara barongsai diarak mengelilingi Kota Tebing Tinggi. Pada acara hari besar
Buddha yang salah satunya Imlek, barongsai yang ada di Kota Tebing Tinggi
lebih banyak dipertunjukkan yaitu selama seminggu berturut-turut dengan
mengadakan pawai dan dipertunjukkan juga di Vihara pada saat melakukan
upacara ritual.
Alat musik yang digunakan mengiringi barongsai adalah tambur, simbal,
dan gong. Tiga alat musik ini yang dapat disebut ensambel musik selalu ada
dalam pertunjukan barongsai dan tidak pernah dan ditambah dengan alat musik
lain. Dalam pertunjukan barongsai, bukan penari barongsai yang mengikuti
musik melainkan pemusik yang mengikuti gerakan dari barongsai. Jadi, ketika
pertunjukan dimulai penari barongsai yang terlebih dahulu menggerakkan
76
tubuhnya setelah melakukan penghormatan lalu pemusik pun mengikutinya.
Musik barongsai dimainkan tergantung kepada penari dan pemain musik. Ritem
dan cara memainkan barongsai pada saat upacara ritual dan hiburan sama saja,
tidak ada perbedaan sama sekali karena hanya berfungsi sebagai musik pengiring
yang pola ritem nya sudah termemori dalam pikiran penari dan pemain musik
karena adanya hubungan emosional musikal.
5.2 Saran
Dari pembahasan dan beberapa kesimpulan yang telah diuraikan, ada saran yang
akan penulis kemukan, mengingat semakin berkembangnya zaman penulis
menyarankan kepada masyarakat khususnya pemuda/pemudi Tionghoa untuk
tetap mencintai budaya dan tradisi yang ada serta memberikan perhatian baik
terhadap kesenian yang ada terkhusus pada pertunjukan barongsai agar tetap
ditampilkan pada saat hari besar Buddha.
Penelitian ini merupakan tahap awal dan masih banyak terdapat kekurangan serta
perlu mendapatkan penyempurnaan. Penelitian ini hanyalah sebahagian kecil
permasalahan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu penulis menyarankan
dan mengharapkan kepada siapa saja yang berminat untuk melanjutkan penelitian
ini untuk lebih mendalam lagi, sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan
Etnomusikologi dan sebagai dokumentasi data mengenai kebudayaan masyarakat
Tionghoa.
Kebudayaan barongsai ini perlu dilestarikan dan dibina serta dikembangkan
sehingga generasi berikutnya dapat mempertahankan keberadaannya di tengah
77
masyarakat. Penulisan tentang musik dalam pertunjukan barongsai ini merupakan
salah satu upaya pelestarian serta kesenian terhadap masyarakat Tionghoa dan
masih diperlukan usaha yang lain sebagai penunjang kreatifitas, sehingga
pelestarian kesenian ini tetap terjaga dan tidak hilang.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat memberikan
kontribusi yang positif terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu
pengetahuan secara umum dan bidang Etnomusikologi secara khusus.
78
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Kota Tebing Tinggi
https://kotatebingtinggi.files.wordpress.com/2015/10/ipm2013-kota-tebing-
tinggi.pdf diakses tanggal 10 Oktober 2018
Breman, Jan. 1997. Menjinakkan SangKuli. Jakarta. Grafiti
Edi, Sedyawati. 1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta, Pustaka Jaya
Irawan, 2013. Dasar-Dasar Desain. Depok: Griya Kreasi.
Jurnal Seni dan Budaya Vol. 1 Nomor 2. 2017. UNIMED
Kusumaningtyas, Diah Ayu 2009. Peran Seni Pertunjukan Barongsai Dalam
Pengembangan Wisata Budaya di Kota Surakarta
Lubis, Ismalia 2012 . Etnik Tionghoa dan Pasar Hongkong di Tebing Tinggo Kota
(1974-2012). Undergraduate thesis, UNIMED.
Mayolla, Siti S A. 2017. Pertunjukan Tari Liong ( Naga) Oleh Grup Naga dan
Barongsai Vihara Setia Buddha Binjai, Medan : Skripsi USU
Merriam, Alan P. 1964 The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern
University Press
Moleong, J. Lexy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Nettl, Bruno. 1964 Theory and Method in Ethnomusicology. New York
The Free Press of Glenco
Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ridna, 2015. Makna Simbolik Seni Pertunjukan Barongsai dalam Kebudayaan
Tionghoa Di Kota Pekan Baru. Pekan Baru, Jurnal UNRI
Saragih, Raulina E M. 2012 Kajian Struktur dan Makna Pertunjukan Barongsai
Pada Masyarakat Tionghoa di Medan, Medan : Thesis USU
Sariwati, 2011. Usik Barongsai dalam Masyarakat Etnis Cina di Vihara Ibu
Agung Bahari Makassar
79
Saputra, Ferry Ferdian. 2015 Komunitas Etnis Tionghoa di Kota Tebing Tinggi,
Medan : Thesis Unimed
Sembiring, Karina. 2017 Altar Sembahyang Untuk Dewi KWAN IM Pada Rumah
Masyrakat Tionghoa Buddha Di Medan: Skripsi USU
Siahaan, Yudhistira. 2012 Kajian Musikal dan Fungsi Pertunjukan barongsai ada
perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya,
Komplek Perumahan Cemara Asri, Medan : Skripsi USU
Silaban, Eben Ezer. 2009. Studi Deskriptif Upacara Sacapme dan Penggunaan
Musik pada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai di Vihara Pekong
Kelurahan Polonia dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Kota Medan. Medan :
Skripsi Sarjana Etnomusikologi USU
Suyono, Aryono. 1985, Kamus Antropologi, Jakarta : Akademi Persindo.
Wikipedia, Encyclopedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_Indonesians diakses tanggal 12 November
2018
Wikipedia, Encyclopedia
https://en.wikipedia.org/wiki/penggunaan_istilah_Cina_China,_dan_Tiongkok#cit
e_note-4 diakses tanggal 13 November 2018
Wikipedia, Encyclopedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Lion_dance diakses tanggal 20 November 2018
Wikipedia. Kota Tebing Tinggi.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tebing_Tinggi#Sejarah diakses tanggal 10
Oktober 2018
80
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Suhu Dharma Surya
Usia : 51 Tahun
Alamat : Jl Tengku Hasyim Gg Saudara No 15, Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Nama : Acek Ameng
Usia : 60 Tahun
Alamat : Jl. Sudirman no 27, Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Wiraswasta
3. Nama : Kumara Chandra
Usia : 23 Tahun
Alamat : Jl Tengku Hasyim Gg Saudara No 15, Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Wiraswasta
4. Nama : Ferdy Chen
Usia : 28 Tahun
Alamat Jl Sudirman no 44, Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Wiraswasta
81
5. Nama : Edi
Usia : 15 Tahun
Alamat : Jl Letjend Suprapto No 22, Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Pelajar
6. Nama : Andi
Usia : 20 Tahun
Alamat : Jl Gatot Subroto No 30A, Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Wiraswasta
7. Nama : Antonio
Usia : 17 Tahun
Alamat : Jl Griya Bulian Permai, blok B Kota Tebing Tinggi
Pekerjaan : Pelajar