Analisis mengenai perkembangan indonesia melalui pendekatan historical guna membangun

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dan lain-lain. Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998 , tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie . Ada beberapa catatan menarik yang mungkin dapat menjadi refleksi dari perjalanan mulia reformasi itu sendiri. Dalam kurun waktu tersebut, cita-cita bersama para penggagas gerakan reformasi untuk dapat memperbaiki kualitas manusia Indonesia dalam kehidupan berkebangsaan terkesan masih jauh panggang dari api. Bahkan agenda reformasi belum bisa direalisasikan secara sempurna. Bisa kita lihat upaya reformasi yang dicanangkan sebelumnya yaitu enam agenda reformasi seperti yang diamanatkan pada tahun 1998, yakni Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI, Penegakkan hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN, Otonomi Daerah, Kebebasan Pers dan Mewujudkan kehidupan demokrasi, nampaknya belum sepenuhnya berhasil.Akan tetapi tujuan dibentuk dan dilaksanakannya reformasi adalah untuk membuat kesejahteraan dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu kami mencoba untuk menganalisis perkembangan reformasi yang terjadi dari masa ke masa, dan mencoba mendapatkan benang merah dari ketidaksempurnaan pelaksanaan reformasi tersebut. 1

Transcript of Analisis mengenai perkembangan indonesia melalui pendekatan historical guna membangun

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada

pada suatu masa.Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan

mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau

era setelah Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama

muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada

abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin,

dan lain-lain. Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada

pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21

Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.

Ada beberapa catatan menarik yang mungkin dapat menjadi refleksi dari

perjalanan mulia reformasi itu sendiri. Dalam kurun waktu tersebut, cita-cita

bersama para penggagas gerakan reformasi untuk dapat memperbaiki kualitas

manusia Indonesia dalam kehidupan berkebangsaan terkesan masih jauh

panggang dari api. Bahkan agenda reformasi belum bisa direalisasikan secara

sempurna. Bisa kita lihat upaya reformasi yang dicanangkan sebelumnya yaitu

enam agenda reformasi seperti yang diamanatkan pada tahun 1998, yakni

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, penghapusan doktrin Dwi Fungsi

ABRI, Penegakkan hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN, Otonomi Daerah,

Kebebasan Pers dan Mewujudkan kehidupan demokrasi, nampaknya belum

sepenuhnya berhasil.Akan tetapi tujuan dibentuk dan dilaksanakannya reformasi

adalah untuk membuat kesejahteraan dapat tercapai dengan baik.

Oleh karena itu kami mencoba untuk menganalisis perkembangan reformasi yang

terjadi dari masa ke masa, dan mencoba mendapatkan benang merah dari

ketidaksempurnaan pelaksanaan reformasi tersebut.

1

1.2 Rumusan Masalah

1. Masa 1945-1965 ( Orde Lama )?

2. Bagaimana sejarah dan perkembangan Negara Indonesia ( Orde Baru

1966-1998 )?

3. Seperti apa akar-akar Negara Kolonial di Indonesia ?

4. Bagaimana bentuk Negara Reformasi ( Kebijakan

Ekonomi,Sosiopolitik,Keamanan ) ?

1.3 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari karya tulis ini adalah untuk mengetahui

bagaimana perkembangan Indonesia masa 1945-1965, masa 1966-199, dasar-

dasar kolonial di indonesia, ,seperti apa aplikasi kebijakan di era reformasi baik

dalam bidang ekonomi,sosiopolitik dan keamanan.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari karya tulis ini adalah membantu pembaca sebagai

bahan analisis dalam menentukan sikap dan mengambil posisi untuk memberikan

keputusan apakah perjuangan untuk mendapatkan reformasi telah sampai pada

tahap yang diharapkan dan membuahkan hasil yang positif. hal ini dimaksudkan

untuk membantu mengumpulkan opini public dalam rangka mencari solusi yang

tepat untuk membentuk Negara yang lebih baik.

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masa 1945-1965 ( Orde Lama )

Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia

yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang

telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda.

Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai

titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah

merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya

negara Republik Indonesia.

Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran

mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku,

etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam

menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia.

Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam

Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan

UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas

dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945

secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus

dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah

memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan

kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme

Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang

berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik,

suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang

3

persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak

pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh

Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa

ampun demi perjuangan tersebut (baca: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”

yang ditulis Bung Karno 1926.).

Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation

Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif

dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa.

Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak

dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau

pandangan yang menyimpulkan bahwa “Indonesië bestaat niet” (Indonesia itu

tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami

kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme

Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau

tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran

nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya

sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.

Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa

menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia

adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut

bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-

nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan,

penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme

Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme --

nasionalisme sempit – yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap

bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan

individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap

bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan

bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya – state building, yang terhambat

dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan

4

pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan

state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan

berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.

2.2 Sejarah Perkembangan Negara Indonesia ( Orde Baru 1966-1998 )

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di

Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era

pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas

penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu

tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan

dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan

antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun

sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada

tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Politik Presiden Soeharto

memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis

mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh

Soekarno pada akhir masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia

menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966

mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama

dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan

menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun

setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde

Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan

terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi

5

kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk

mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan

digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan

aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi

kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan

utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang

didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR

dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih

dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini

mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian

PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus

disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat

dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II

1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.

Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa

tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak

lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta

dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik

dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,

dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,

jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan

1980-an.

6

Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak

tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia

dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung

juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka,

perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski

kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari

komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan

berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan

bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa

Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa

Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan

menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian

Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini

dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski

beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional

Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan

pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika

itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan

akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan

berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu

bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat

mengharamkan perdagangan dilakukan[

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih

untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat

mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio

7

dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu

cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari

daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,

terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak

negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi

terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang

yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program

transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah,

meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain

dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.

Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil

dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh

ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku

tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti

HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia.

Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan

pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat,

memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan

kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan

alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau

dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba

ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika

dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi

kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang

luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi

yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat

mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi

dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.:

8

antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen

dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan

pengrusakan harta benda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara

retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.

Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan

nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan

jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan

bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang

sakit tersebut.

Sedang hujatan-hujatan terhadap “Pusat” tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan

mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah

nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat

harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak

benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan

dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa

menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan

Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala

kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa

memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang

akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa

pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran

kata “pusat” diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah

oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan,

permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin

mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak

kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan

kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.

Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief

Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut,

9

bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum,

demokrasi, humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus

dipandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan

budaya orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi

bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah

membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde

Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.

Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme

dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa

menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis

penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala

seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan

rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak

jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan

bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus – hukum,

keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang

mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya

nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat

dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme

Indonesia yang sedang sakit dewasa ini.

Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa

membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan

tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara

federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling

desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara

bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di

dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republik-otonom, yang

semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara

Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan

10

negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak

dapat dibenarkan.

Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi

pembentukan negara federal di Indonesia:

a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan

dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan

mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi

luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih

menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.

b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru

masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era

kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-

mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap

daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan

Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru

untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki

sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.

Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan

bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul

pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-

gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang

cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa

nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih

teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit

akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara

negara untuk:

11

1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi

daerah secara luas.

2. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang

berkeadilan dan demokratik.

3. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam

masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.

Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses

penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya

gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati

dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah

suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin

mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan

yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun

mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini

pemerintahan Megawati sudah “berhasil” menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di

Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem

laju proses disintegrasi di beberapa daerah, men”stabil”kan ekonomi sudah dapat

dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu

pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa

ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan

terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-

kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru

saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan

Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif

dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus

disesuaikan dengan peta politik dewasa ini.

12

Mau tidak mau PDI Perjuangan harus diakui sebagai benteng pertahanan

nasionalisme (sosio-nasionalisme) yang kini menghadapi lawan politik yang tidak

ringan. Maka perpecahan di dalam partai yang dilanjutkan dengan pembentukan

partai-partai baru oleh beberapa tokoh yang nyempal, dapat disesalkan. Dan lebih

disesalkan lagi “hantaman” dari salah satu keluarga Bung Karno sendiri terhadap

pemerintahan Megawati. Bukankah itu semuanya merupakan tindakan pecah

belah kekuatan nasionalis? Yang seharusnya mereka semua – kaum nasionalis –

menyatukan diri mensukseskan tugas pemerintah untuk memperbaiki kerusakan-

kerusakan akibat kezaliman rezim Orba? Dalam hal ini wajar adanya pertanyaan:

siapa yang diuntungkan? Tentu saja jawabnya: kekuatan Orde Baru. Apakah ini

bukan berarti terperangkap dalam skenario licin, licik dan jijik dari kekuatan Orde

Baru? Mudah-mudahan kekuatan nasionalis menyadari hal tersebut dan bersatu

dalam satu front perjuangan politik demi keselamatan Negara Kesatuan RI,

Pancasila dan UUD 45. Hanya dengan demikian ada harapan besar untuk

suksesnya penegakan ideal nasionalisme Indonesia yang telah dicabik-cabik oleh

kekuasaan fasis Orde Baru.

2.2 Akar-akar Negara Kolonial di Indonesia

Kolonialisme merupakan upaya mempertahankan status kewarganegaraan dalam

suatu koloni, kemudian diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah

dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Bentuk dari penaklukan

tersebut seperti didirikannya pemukiman baru, dengan kompleksitas dan

traumatik antara penduduk asli dan pendatang. Penguasaan ditandai dengan

praktik-praktik pengasingan penduduk asli dari lingkungannya sendiri. Contohnya

dengan memberikan kewajiban-kewajiban bagi penduduk asli dengan

pemungutan pajak atau upeti untuk kemakmuran kerajaan penguasa.

Melalui praktik-praktik penguasaan yang dilakukan baik secara ekonomi, politik,

agama, budaya dan sebaginya, lahirlah perasaan tidak nyaman dari masyarakat

yang terdomisasi. Perasaan tersebut menghendaki adanya persatuan atas keadaaan

nasib karena ditindas. Maka sikap dan tindakan paling tepat, meskipun sadar atau

13

tidak disadari perlu untuk melawan dan memperjuangkan nasib selanjutnya,

dalam membebaskan penuh daulat dan kemerdekaan diri dari jerat rantai

kolonialis.

Di wilayah kolonial Indonesia, kebutuhan akan kemakmuran ekonomis bangsa

Belanda yang kecil di Eropa, dikelilingi oleh para tetangga yang kuat,

diterjemahkan ke dalam pengertian bahwa orang Indonesia bukanlah anggota

masyarakat yang setara, namun dianggap binatang penjaga yang mendukung

“benteng” kolonial Belanda yang tak terkalahkan, tanpa diberi kesempatan untuk

berbagi dalam kemakmuran materi dan budaya. Kekuatan buruh tani Indonesia-

lah yang secara langsung telah mendatangkan kemakmuran bagi benteng Belanda

di negeri tropis dan menjaga kesejahteraan ibu pertiwi di metropolis Eropa.

Tentu saja, orang Belanda tidak sendirian di ladang kolonial Asia. Karenanya,

masuk akal jika kita berpikir dalam kerangka pembandingan, tentang perbedaan

sejarah kolonial bangsa barat lainnya di Asia. Memang, di hampir semua koloni,

dominasi bangsa Eropa di Asia mencampuri lembaga adat dan praktik-praktik

budaya dengan memperkenalkan bentuk baru masyarakat sipil dan meneruskan

politik mempertahankan kelompok ekslusif, seperti pegawai sipil berkulit putih

dan para pembantu dari bangsa pribumi.

Rezim kolonial secara seksama juga memelihara banyak unsur dari masa

prakolonial, tergantung pada kebutuhan mereka. Melalui proses pengabdian

serigala berbulu domba”, meminjam istilah yang begitu tepat, yang dipakai oleh

Nicholas Dirks, kolonialisme menyamarkan intervensinya sendiri baik dengan

menumpulkan atau menyesuaikan kembali makna adat setempat, atau dengan

membalikkan fungsi lembaga pribumi. Sejalan dengan hal itu, peraturan kolonial

menciptakan suatu bentuk budaya “dominasi tanpa hegemoni”. Meskipun hal itu

sepenuhnya merupakan suatu proses yang tidak seimbang dan setengah jadi.

Budaya kolonial mencoba menawarkan pembenaran struktur sosial yang

14

diciptakannya dengan mengabaikan praktik-praktik tertentu atau memaksakan

makna budaya lain dan berhasil menyebutnya sebagai tradisi.

Nasionalisme merupakan salahsatu bentuk pengejawantahan dari belenggu

kolonialisme serta imperialisme. Dimanapun dari setiap wilayah-wilayah ditindas

kemanusiaannya. Seperti penjelasan nasionalisme Indonesia sebagai respon

dengan memutus mata rantai kolonialisme Eropa, berikut petikan penjelasan

sukarno melalui Ruslan Abdulghani. Ruslan Abdulgani (1976), seorang perumus

Pancasila di era Sukarno, mengatakan bahwa “Lima asas (dalam sidang Badan

Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno

adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan

sosial, dan last but not least – terakhir, namun bukan tidak penting ialah

keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa”. Dari segi politik, Pancasila

merupakan lambang rekonsiliasi dan sintesis tiga arus politik utama dalam

kehidupan Indonesia modern, yaitu nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (baca:

sosialisme, agar lebih netral). sentrumnya adalah nasionalisme.

Meskipun persatuan Indonesia telah berakar dalam sejarah bangsa Indonesia sejak

lama, namun semangat kebangsaan secara resmi hadir pada permulaan abad ke-

20. Ia lahir sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Oleh

karena nasionalisme merupakan kelanjutan dari gerak perlawanan terhadap

kolonial VOC dan Belanda, terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-

pemimpin agama Islam. Ikatan kuat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan

nasionalisme ini telah diurai banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam

bukunya Militant Islam (1979). Namun, sebelum menguraikan hubungan ini akan

kita lihat dulu unsur-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan

terhadapnya.

Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia

mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting; pertama, Politik dominasi oleh

15

pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai

aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wacana, pemikiran dan kehidupan

sosial budayanya. Jadi bukan semata-mata dominasi dan hegemoni dalam

kehidupan soial politik; kedua, Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial

berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran

dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan

dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat

system tanam paksa (Culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di

Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang

Diponegoro; ketiga, Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis

menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan

budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan

melakukan penetrasi budaya, terutama melalui sistem pendidikan.

Ashis Nandy, salah seorang perintis studi pascakolonial India, dalam The

Intimidate Enemy (1983) yang menimba analisis Foucault tantang konsep kuasa.

Namun ia melangkah lebih jauh dengan membagi dua tahap kolonialisme.

Pertama, penaklukan sederhana, hanya berupa penguasaan tanah dan teritori.

Kedua, kolonialisme justru lebih tertuju pada penaklukan pikiran dan budaya.

Tahap ini merupakan kerja-kerja para sarjana, kaum rasionalis, modernis dan

liberalis. Menurutnya tahapan kedua inilah merupakan bentuk beroperasinya

pendakwahan Eropa tentang ide-ide “pencerahan”, liberalisme dan modernitas ke

wilayah jajahannya, pada saat yang sama mereka memperkokoh genggaman

kekuasaannya melalui ide-ide “mencerahkan” itu. (Kata melalui ini dimaksudkan

oleh para ahli pascakolonial untuk menentukan sejauhmana hubungan batas-batas

antara ekspresi teritorial dengan invasi pemikiran dan kebudayaan).

Penemuan kalangan liberalis tentang individu tampil misalnya dalam hukum,

kedokteran dan psikologi. Penemuan tersebut kemudian memperlebar jalan bagi

kuasa untuk memasuki individu, baik pikiran maupun kesadarannya. Dalam hal

ini, penguasaan tidak sekadar menguasai tanah, mamun bagaimana

16

“memanusiakan” manusia di tanah jajahan. Ini dilakukan dengan

membebaskannya dari kultur Timur yang dianggap terbelakang menuju kultur

Barat yang modern dengan nilai-nilai liberalistik dan humanistiknya itu.

Karena nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan terhadap

kolonialisme, maka nasionalisme Indonesia dengan sendirinya juga mengandung

tiga aspek penting. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi

politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang

berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang

lain seperti Ruslan Abdulgani). Nasionalisme Indonesia muncul untuk

menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang

bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Nasionalisme Indonesia bertujuan

menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan

perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, namun

menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia

(worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk

mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan

realitas antropologis bangsa Indonesia.

Dalam pidatonya, Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tampil

dalam sejarahnya, ia didorong oleh tiga faktor, yakni; “economische uitbuilding”

(eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme Belanda), “political

frustration” (kekecewaan politik disebabkan dominasi kekuasaan asing, yaitu

kolonial Belanda) dan “hilangnya kebudayaan yang berkepribadian” disebabkan

oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak budaya bagi masyarakat Indonesia

untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaannya. Yang pertama,

menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai tandingan ekonomi kapitalis

yang menimbulkan “le exploitation de l’homme par l‘homme” (penindasan

manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik menghendaki sistem

17

pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi) dan bebas dari

dominasi asing.

Harus ditambahkan di sini bahwa dalam proses perjalanan nasionalisme, maka

komponen pembentuk gerakan kebangsaan di Indonesia menjadi berbeda dengan

komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk

masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa

Indonesia dan faham-faham atau “ideologi Barat”.

Komponen Islam penting dicatat. Semangat kebangsaan mencapai bentuknya

yang tersendiri tidak bisa dilepaskan dari gerak perjuangan islam. Gerakan

perjuangan ini dijiwai oleh ajaran dan semangat Islam tentang pembebasan

manusia dari perbudakan dan eksploitasi. Selain itu juga terdapat komponen

penting lain berupa realitas antropologis masyarakat Indonesia. Indonesia yang

multietnik dan multiagama, serta lahirnya ideologi-ideologi modern

mempengaruhi gerakan kebangsan pada abad ke-10. Misalnya Marxisme dan

sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya.

Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan, bahwa nation dalam

konteks nasionalisme Indonesia merupakan suatu konsep yang ditujukan pada

suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, mencakup berbagai unsure-

unsur berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan,

kebudayaan, bahasa dan bahasa. Kesemuanya terintegrasikan dalam

perkembangan sejarah sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas

yang ditopang oleh kemauan politik bersama.

Politik islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah islam yang multiinterpretatif. Pada

sisi lain, hampir setiap muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip islam

dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat islam yang

multiinterpretatif itu, maka tidak pernah ada pandangan tunggal maengenai

bagaimana seharusnya islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan sejauh yang

dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan

18

praktik politik islam, ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan saling

bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara islam dan politik.

Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan

Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut paham

integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia merupakan

suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Faham integralistik

mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua golongan, tidak memihak

pada mayoritas. Namun dalam kenyataannya, justru inilah yang melahirkan

persoalan, seperti yang terjadi adalah Tirani Minoritas dalam berbagai hal,

termasuk dalam wacana kehidupan berbangsa, pemikiran dan ideologi.

Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi negara yang berasaskan

kekeluargaan, namun dibawah rezim Suharto penafsiran mengenai konsep

kekeluargaan dimonopoli selama lebih 30 tahun.

2.3 Negara Reformasi ( Kebijakan Ekonomi,Sosiopolitik,Keamanan )

Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)

Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru

kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden

Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami

perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil

dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan

dengan keadaan. Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa

reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang

ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas

politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada

tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.

Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus

dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan

ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.

19

Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di

mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang

mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.

Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan

ekonomi antara lain :

a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada

pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar

negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan

negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan

negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban

negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak

kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),

tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal

keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk

menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan

nasional.

Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan

kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan

harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia.

Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan,

serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

20

Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,

yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT

tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai

masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan

perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji

memperbaiki iklim investasi. Summit pada bulan November 2006 lalu yang

mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. masalah

pemanfaatan kekayaan alam, Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi.

Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit

dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai

kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu

“bebas”). Media masa menjadi terbuka. dalam sistem reformasi pemerintahan

tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan

muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme),

tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini. Tampaknya

analisis kebijakan yang di tempuh harus lebih detail dan tajam lagi hal ini

diperlukan untuk menghindari kebijakan yang tidak tepat sasaran,sehingga

diharapkan kedepan tidak ada lagi pemborosan anggaran karena kebijakan yang

keliru.

21

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masa Orde Lama

Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi awal lahirnya

Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno,oleh Bung Karno sekat-sekat ideologi

pun ditebas tanpa ampun demi perjuangan Indonesia. Di masa ini pula Perumusan

teks Proklamasi dan Rancangan UUD 1945 dilakukan yang hingga saat ini menjadi

landasan NKRI.

Masa Orde baru

Lingkungan administrative lebih banyak didominasi pihak militer,pembagian

PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus

disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat

dan daerah.pada titik klimaks nya terjadi lah kerusuhan 1998 yang menjadi

tonggak awal perubahan bangsa Indonesia.

Akar-akar Kolonial

Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting akar colonial yang

diterapkan VOC dan Belanda; pertama, Politik didominasi oleh pemerintahan

asing dan hegemoni pemerintahan asing, kedua, Eksploitasi ekonomi. Setiap

pemerintahan kolonial berusaha mengeksploitasi sumber alam negeri yang

dijajahnya untuk kemakmuran dirinya,seperti yang terlihat di dalam system tanam

paksa (Culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada

awal abad ke-19, ketiga, Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis

menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan, Caranya

dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui sistem pendidikan.

22

Negara Reformasi

Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum

melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Akan

tetapi dibidang Sosiopolitik pada pemerintahan Habibie membuat suatu gebrakan

yang mengejutkan dengan mengadakan jajak pendapat tahun 1999 yang membuat

Timor-timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi,dengan lebih dari 76 % suara

masyarakat timor-timur menginginkan lepas dari Indonesia,hal ini yang

menjadikan kepemimpinan Habibie tidak bertahan lama.

3.2 Saran

Dari uraian di atas penulis dapat memberikan saran atau rekomendasi sebagai

berikut ;

Di dalam setiap perpindahan kepemimpinan yang menjadi hal terpenting adalah

pengambilan kebijakan,pengambilan kebijakan yang bijak adalah dengan

mempertimbangkan aspek sosiologis dan ekonomi serta efektifitas dari keputusan

tersebut,untuk mencapai ke tiga hal tersebut diperlukan adanya analisis yang

fundamental serta kritis,ini dimaksudkan agar keputusan atau kebijakan yang

diambil bukan suatu bentuk kebijakan yang Spontanitas dan “asal-asalan”.jika ini

dapat dipertimbangkan dengan sebenar-benarnya tentu pemerintah tidak perlu

melakukan peninjauan yang sia-sia karena kesalahan keputusan sebelumnya,jika

hal ini dapat dihindari berarti biaya yang diperlukan untuk melakukan peninjauan

dapat dihemat.

23

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi

http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia:_Era_Reformasi

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29

http://www.detiknews.com/read/2010/01/31/133049/1289756/10/sby-minta-tni-

tak-ragukan-janji-modernisasi-alutsista

Pamungkas,Sri.2001.Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi

Total.Jakarta.Erlangga

24