ANALISIS KINERJA DAN EFISIENSI ENERGI PROTOTIPE … · penelitian ini adalah bahan bakar biomassa...

137
ANALISIS KINERJA DAN EFISIENSI ENERGI PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN UNTUK INDUSTRI KECIL MINYAK NILAM Oleh: FINA UZWATANIA F 34104074 2009 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Transcript of ANALISIS KINERJA DAN EFISIENSI ENERGI PROTOTIPE … · penelitian ini adalah bahan bakar biomassa...

ANALISIS KINERJA DAN EFISIENSI ENERGI

PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN UNTUK

INDUSTRI KECIL MINYAK NILAM

Oleh:

FINA UZWATANIA

F 34104074

2009

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FINA UZWATANIA. F 34104074. Analisis Kinerja dan Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan untuk Industri Kecil Minyak Nilam. Dibawah bimbingan : Meika Syahbana Rusli dan Ade Iskandar. 2009.

RINGKASAN

Minyak nilam adalah salah satu komoditi minyak atsiri andalan Indonesia yang diperoleh dari tanaman nilam (Pogostemon cablin benth) dengan cara penyulingan. Minyak nilam memiliki kegunaan yang luas sebagai minyak atsiri. Sampai saat ini, minyak nilam adalah komoditi ekspor yang memiliki prospek yang baik untuk memenuhi kebutuhan dunia dalam berbagai industri seperti industri parfum, kosmetik, farmasi dan lainnya. Minyak nilam mempunyai peluang pasar dunia yang cukup besar meskipun menghadapi persaingan dan fluktuasi harga yang cukup tajam. Hal ini menuntut dilakukannya strategi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi agroindustri minyak nilam.

Proses penyulingan minyak nilam pada skala kecil yang dilakukan oleh rakyat masih menggunakan teknologi yang sederhana dan penggunaan alat yang terbuat dari bahan-bahan yang bersifat korosif. Metode penyulingan yang digunakan umumnya dengan cara uap dan air (kukus) yang berdasarkan dari pengalaman saja sehingga kurang efektif dan efisien. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai kinerja dan efisiensi energi penyulingan minyak nilam dengan metode uap dan air dengan sistem kohobasi dan non kohobasi untuk mengetahui sistem yang akan menghasilkan efisiensi energi yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja prototipe peralatan yang digunakan dalam penyulingan minyak nilam dan menganalisis efisiensi energi prototipe peralatan penyulingan minyak nilam.

Penyulingan daun dan ranting nilam dengan bobot rata – rata 37,5 kg dilakukan dengan metode uap dan air (water and steam destilation) dengan sistem kohobasi dan non kohobasi selama 8 jam. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya adalah ketel yang dilengkapi dengan tungku pembakaran, kondensor dan separator. Bahan bakar yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan bakar biomassa yaitu kayu.

Kinerja tungku pembakaran didasarkan atas beberapa parameter seperti luas permukaan pindah panas, kesempurnaan proses pembakaran kayu, dan jumlah bahan bakar. Luas permukaan pindah panas pada ketel suling adalah 1,70 m2. Kayu bakar kering yang digunakan pada penyulingan kohobasi sebanyak 143,32 kg dan pada penyulingan non kohobasi sebanyak 138,2 kg. Energi yang dihasilkan oleh kayu bakar akan digunakan untuk penguapan air di dalam ketel.

Berdasarkan hasil analisa didapatkan energi rata – rata yang digunakan untuk mengubah air menjadi uap sebesar 644,77 MJ dan energi rata – rata yang dihasilkan bahan bakar adalah 2.579,85 MJ pada penyulingan kohobasi. Maka dengan perbandingan antara energi penguapan air dengan energi bahan bakar menghasilkan efisiensi ketel suling sebesar 25 %. Pada penyulingan non kohobasi energi rata – rata yang digunakan untuk mengubah air menjadi uap sebesar 572,36

MJ dan energi rata – rata yang dihasilkan bahan bakar adalah 2.487,6 MJ menghasilkan efisiensi ketel suling sebesar 23 %.

Kinerja ketel suling dapat dinilai dari beberapa parameter seperti kepadatan bahan, laju destilat, dan penetrasi uap di dalam ketel suling. Kepadatan bahan pada penyulingan kohobasi sebesar 0,90 kg/l dan pada penyulingan non kohobasi sebesar 0,96 kg/l. Laju destilasi penyulingan kohobasi sebesar 0,74 l/jam dan pada penyulingan non kohobasi sebesar 0,63 l/jam.

Penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan efisiensi kondensor sebesar 79 % untuk penyulingan kohobasi dan 99,26 % untuk penyulingan non kohobasi. Perbedaan efisiensi antara penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi dipengaruhi oleh penggunaan air pendingin. Pada penyulingan non kohobasi air pendingin dialirkan secara terus – menerus sedangkan pada penyulingan kohobasi tidak. Penyulingan kohobasi menghasilakn suhu destilat rata - rata 31,56 °C dan penyulingan non kohobasi menghasilkan suhu destilat rata - rata 30,35 °C.

Penyulingan dengan sistem kohobasi menghasilkan rendemen sebesar 2,29 % (basis kering) sedangkan pada penyulingan non kohobasi rendemen yang dihasilkan sebesar 2,2 % (basis kering). Mutu minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan kohobasi dan non kohobasi memiliki nilai bobot jenis 0,9583 untuk penyulingan kohobasi dan 0,9582 untuk penyulingan non kohobasi. Nilai indeks bias 1,5075 untuk penyulingan kohobasi dan 1,5073 untuk penyulingan non kohobasi, putaran optik rata – rata (-) 64,5 untuk penyulingan kohobasi dan (-) 62,47 untuk penyulingan non kohobasi. Bilangan asam 3,18 untuk penyulingan kohobasi dan 3,19 untuk penyulingan non kohobasi serta nilai bilangan ester 8,75 untuk penyulingan kohobasi dan 5,55 untuk penyulingan non kohobasi. Seluruh minyak nilam yang dihasilkan dapat larut dengan baik dalam alkohol 90 % dengan kelarutan 1:1 sampai 1:7. Semakin lama waktu penyulingan meningkatkan nilai bobot jenis, indeks bias, putaran optik, bilangan ester dan bilangan asam. Secara keseluruhan minyak nilam hasil penyulingan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 2385 – 2006.

FINA UZWATANIA. F 34104074. Performance and Energy Efficiency Analysis of Distillation Equipments Prototype for Patchouli Oil Small Scale Industry. Supervised by : Meika Syahbana Rusli and Ade Iskandar. 2009.

SUMMARY

Patchouli oil is high value essential oil of Indonesia that is produced by the steam distillation process from patchouli plants (Pogostemon cablin benth). As an export commodity, patchouli oil is quite substantial to fulfill the world demand in perfumery, cosmetic and pharmacy industries. Patchouli oil has always been possessed an increasing world market in spite of facing hard competition and non-tariff barrier in the world trade. Therefore it needs to increase continuously the productivity and efficiency of essential-oil agroindustries. Distillation process for patchouli oil in small scale in general still represent simple technology process with equipments which are made from corrosive material. The most common method of essential oil production is water and steam distillation and conducted only based on experience so that the efficiency is usually low. Therefore this research evaluate aimed to the efficiency both kohobasi system and non kohobasi system. The objective of this research were to study and examine the performance of distillation equipment, analyze energy efficiency of distillation system prototype and analyze the quality of patchouli oil. The distillation method of 37,5 kg of patchouli plants was water and steam distillation with kohobasi system and non kohobasi system for 8 hours period. The distillation equipment to produced patchouli oil were retort with furnace, condenser and separator. This research used biomass energy such as fire woods as fuel. Furnace performance analysis based on several parameters which were surface area of heat transfer, woods burning process and the usage of fuels. The wide surface of heat transfer on retort is 1,70 m2. Distillation process with kohobasi system used dry fire woods of 143,32 kg and non kohobasi system used 138,2 kg of dry firewoods. The energy from firewoods used for boiling dan vaporize water in retort.

According to the result, in kohobasi system the energy is needed to boiling and vaporize the water into steam is 644,51 MJ and the energy from firewoods is 2.579,85 MJ. The retort efficiency at that condition is 25 %. In non kohobasi system the energy is needed to boiling and vaporize the water into steam is 572,24 MJ and the energy from the fuel is 2487,6 MJ. The retort efficiency at that condition is 22,99 %.

Retort performance bases on several parameters like bulk density, distillation rate and steam penetration. Bulk density for kohobasi system was 0,09 kg/l and 0,096 for non kohobasi system. Distillation rate for kohobasi system was 0,74 l/hour and 0,63 for non kohobasi system.

Condenser efficiency for kohobasi system is 79 % and 99,26 % for non kohobasi sytem. The difference efficiency between kohobasi sytem and non kohobasi system is influenced by cold water flows. Cold water flows continuously in non kohobasi system result in higher efficiency than in kohobasi system.

Average distillate temperature for kohobasi system was 31,56 °C and 30,35 °C for non kohobasi system.

The yield of patchouli oil for kohobasi system was 2,29 % (dry basis) and 2,2 % (dry basis) for non kohobai system. The quality of patchouli oil produced by kohobasi system and non kohobasi system is quite comparable, the oil has specific gravity 0,9583 for kohobasi system and 0,9582 for non kohobasi system. Refractive index of the oil for kohobasi system was 1,5075 and for non kohobasi system was 1,5073. Optical rotation for kohobasi system was (-) 64,5 and for non kohobasi system was (-) 62,47. The acid number for kohobasi system was 3,18 and for non kohobasi system was 3,19. Ester value for kohobasi system was 8,75 and for non kohobasi system was 5,55. Solubility in alcohol 90 % 1 : 1 until 1 : 7. The increase of distillation period results the increase of specific gravity, refractive index, optical rotation, acid value and ester value.

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul :

”Analisis Kinerja dan Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan untuk

Industri Kecil Minyak Nilam” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan

dosen pembimbing akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Januari 2009

Yang memberi pernyataan

Nama : Fina Uzwatania

NRP : F 34104074

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil”alamin. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT

karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan Minyak Nilam dengan

Metode Uap dan Air”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian.

Suatu kehormatan tersendiri bagi penulis, selama penelitian dan

penyusunan skripsi ini banyak mendapat arahan dan bantuan dari berbagai pihak.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc sebagai dosen pembimbing pertama

yang telah memberikan arahan dan nasehat selama penelitian dan

penulisan skripsi ini.

2. Ir. Ade Iskandar, M.Si sebagai dosen pembimbing kedua yang telah

memberikan arahan dan nasehat selama penelitian dan penulisan skripsi

ini.

3. Moch. Syamsul Arifin Zein, Ratna Dyah Mutiarani, Bhaktia Adityatama

dan Bernaseta Trias Hutami yang telah memberikan semangat, dukungan,

doa dan kasih sayang.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Saran dan

kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya. Terima

kasih.

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Bogor, Januari 2009

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya kegiatan penelitian dan skripsi ini, tidak lupa saya

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Moch. Syamsul Arifin Zein, Ratna Dyah Mutiarani, Bhaktia Adityatama

dan Bernaseta Trias Hutami yang telah memberikan semangat, dukungan,

doa dan kasih sayang.

2. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc sebagai dosen pembimbing pertama

yang telah memberikan arahan dan nasehat selama selama masa

perkuliahan hingga akhir penyelesaian tugas akhir.

3. Ir. Ade Iskandar, M.Si sebagai dosen pembimbing kedua yang telah

memberikan arahan dan nasehat selama penelitian dan penulisan skripsi

ini.

4. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan

untuk menyempurnakan penelitian dan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Anom sebagai narasumber pada penyulingan rakyat di Kabupaten

Pakpak Bharat yang telah memberikan informasi yang berharga untuk

penelitian dan penulisan skripsi ini.

6. Kak Harry, Mbak Yus, Bu Rini, Bu Ega serta para laboran Departemen

Teknologi Industri Pertanian.

7. Para Teknisi di Leuwikopo atas bantuan dan kerjasamanya selama

penelitian berlangsung.

8. Irsan Supardiyono atas semua perhatian, kesabaran, ketulusan serta doa

yang selalu memberikan semangat bagi penulis.

9. Hindarsih Widyastuti dan Linda Purwaningrat untuk persahabatan yang

selalu ada saat suka maupun duka serta yang selalu memberikan dukungan

dan motivasi.

10. Rekan penelitian Ivon, Danar, mba Tuti dan Bu Ros atas kerjasama selama

penelitian dan penulisan skripsi ini.

11. Ika, Dedeh, Niken, Benk, Darto, Ardi, Kukun, Darto, Nardi, Hidea, Listya,

Bobi, Renal, Fajri, Mira, Alto, Muli, Mirsa, Tutu, Dodol, Shinta, Usuy,

Ami, Satria, Aang, Lala, Ayi, Zuni, Rey, Yuyun, Dicka, Haekal, Asif,

Nova, Erpi, Dnur atas dukungan serta kebersamaannya selama ini di lab,

sapta dan segala penjuru Fateta .

12. Seluruh teman-teman TIN 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas

kebersamaannya selama ini.

13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala

bantuan, saran dan dorongannya hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan sebagai

pembelajaran di masa depan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2009 Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL .................................................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... x

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1

B. TUJUAN ................................................................................................ 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK NILAM ................................................................................. 3

B. PENYULINGAN MINYAK ATSIRI .................................................... 5

1. Perlakuan Pendahuluan .................................................................... 5

2. Proses Penyulingan ........................................................................... 6

C. PERALATAN PENYULINGAN .......................................................... 8

1. Ketel Suling ...................................................................................... 9

2. Kondensor ........................................................................................ 10

3. Separator .......................................................................................... 11

D. KEHILANGAN ENERGI ..................................................................... 11

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 13

1. Bahan .............................................................................................. 13

2. Alat ................................................................................................. 13

B. METODE PENELITIAN ..................................................................... 20

1. Persiapan Bahan .............................................................................. 20

2. Proses Penyulingan ......................................................................... 20

3. Analisa mutu minyak nilam ............................................................ 23

4. Analisis Kinerja Peralatan Penyulingan.......................................... 23

C. STUDI BANDING KINERJA ALAT .................................................. 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. RENDEMEN MINYAK NILAM ......................................................... 33

B. KINERJA ALAT PENYULINGAN ...................................................... 36

1. Tungku Pembakaran ......................................................................... 36

2. Ketel Suling ...................................................................................... 40

3. Kondensor ........................................................................................ 44

4. Separator .......................................................................................... 47

C. EFISIENSI ENERGI ............................................................................. 50

1. Kehilangan panas ............................................................................. 50

2. Efisiensi Ketel Suling ....................................................................... 54

3. Efisiensi Kondensor ......................................................................... 56

4. Efisiensi Penyulingan ....................................................................... 58

D. ANALISA MUTU ................................................................................. 61

1. Penampakan Warna ......................................................................... 61

2. Bobot Jenis ...................................................................................... 62

3. Indeks Bias ...................................................................................... 64

4. Putaran Optik ................................................................................... 65

5. Bilangan Asam ................................................................................ 66

6. Bilangan Ester .................................................................................. 68

7. Kelarutan ......................................................................................... 69

E. PENYULINGAN RAKYAT ................................................................. 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ...................................................................................... 75

B. SARAN .................................................................................................. 76

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 77

LAMPIRAN ........................................................................................................... 79

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Spesifikasi persyarataan mutu minyak nilam ........................................... 5

Tabel 2. Jumlah minyak tersuling .......................................................................... 34

Tabel 3. Perbandingan kinerja tungku pembakaran ............................................... 37

Tabel 4. Perbandingan kinerja tungku pembakaran setiap kg bahan ...................... 39

Tabel 5. Perbandingan kinerja ketel suling ............................................................. 40

Tabel 6. Perbandingan suhu rata – rata ................................................................... 46

Tabel 7. Perbandingan kinerja di separator ............................................................ 48

Tabel 8. Suhu rata – rata alat penyulingan ............................................................. 50

Tabel 9. Perbandingan kehilangan energi alat penyulingan ................................... 53

Tabel 10. Luas permukaan pindah panas alat penyulingan...................................... 54

Tabel 11. Perbandingan efisiensi ketel.................................................................... 55

Tabel 12. Perbandingan efisiensi kondensor ......................................................... 56

Tabel 13. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan ............................ 61

Tabel 14. Kelarutan minyak nilam dalam alkohol 90 % ........................................ 69

Tabel 15. Suhu di kondensor penyulingan rakyat ................................................. 72

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman nilam ........................................................................................ 3

Gambar 2. Nilam kering dan kayu bakar .................................................................. 13

Gambar 3. Skema peralatan penyulingan minyak nilam ........................................... 14

Gambar 4. Ketel suling dengan tungku pembakaran ................................................. 15

Gambar 5. Kondensor ................................................................................................ 17

Gambar 6. Separator .................................................................................................. 18

Gambar 7. Diagram alir kegiatan penelitian ............................................................. 22

Gambar 8. Grafik profil minyak hasil penyulingan .................................................. 35

Gambar 9. Grafik laju destilat ................................................................................... 37

Gambar 10. Perbandingan suhu di kondensor pada penyulingan kohobasi ............. 44

Gambar 11. Perbandingan suhu di kondensor pada penyulingan non kohobasi ....... 45

Gambar 12. Grafik perkembangan waktu tinggal di separator ................................. 49

Gambar 13. Grafik kehilangan panas dinding ketel .................................................. 51

Gambar 14. Grafik kehilangan panas tutup ketel ...................................................... 51

Gambar 15. Grafik kehilangan panas pipa penghubung ketel dengan kondensor .... 52

Gambar 16. Grafik kehilangan panas dinding tungku ............................................... 52

Gambar 17. Neraca energi penyulingan kohobasi .................................................... 59

Gambar 18. Neraca energi penyulingan non kohobasi ............................................. 60

Gambar 19. Minyak hasil penyulingan ..................................................................... 62

Gambar 20. Grafik perbandingan nilai bobot jenis ................................................... 63

Gambar 21. Grafik perbandingan nilai indeks bias ................................................... 64

Gambar 22. Grafik perbandingan nilai putaran optik ............................................... 66

Gambar 23. Grafik perbandingan nilai bilangan asam .............................................. 67

Gambar 24. Grafik perbandingan nilai bilangan ester ............................................... 68

Gambar 25. Sketsa penyulingan rakyat .................................................................... 71

Gambar 26. Laju destilat penyulingan rakyat ........................................................... 72

Gambar 28. Grafik suhu di kondensor pada penyulingan rakyat .............................. 72

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur analisa karakterisasi minyak nilam ..................................... 80

Lampiran 2. Kehilangan panas ............................................................................... 87

Lampiran 3. Efisiensi ketel ..................................................................................... 102

Lampiran 4. Efisiensi kondensor ............................................................................ 108

Lampiran 5. Laju dan suhu ..................................................................................... 114

Lampiran 6. Kadar air dan kadar minyak ............................................................... 115

Lampiran 7. Hasil analisa mutu minyak nilam ...................................................... 120

Lampiran 8. Gambar minyak hasil penyulingan ..................................................... 123

Lampiran 9. Gambar alat penyulingan prototipe .................................................... 124

Lampiran 10. Gambar alat penyulingan rakyat ...................................................... 125

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Minyak nilam adalah salah satu komoditi minyak atsiri andalan

Indonesia yang diperoleh dari tanaman nilam dengan cara penyulingan.

Minyak nilam memiliki kegunaan yang luas sebagai minyak atsiri. Sampai

saat ini, minyak nilam adalah komoditi ekspor yang memiliki prospek

yang baik untuk memenuhi kebutuhan dunia dalam berbagai industri

seperti industri parfum, kosmetik, sabun, farmasi dan lainnya. Indonesia

merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan 90 %.

Ekspor minyak nilam pada tahun 2006 sebesar 1.300 ton dengan nilai US

$ 18,865 juta (BPS, 2007).

Minyak nilam sebagai komoditi ekspor mempunyai peluang pasar

dunia yang cukup besar meskipun menghadapi persaingan dan fluktuasi

harga yang cukup tajam. Hal ini menuntut dilakukannya strategi untuk

meningkatkan produktivitas dan efisiensi agroindustri minyak nilam.

Penyulingan minyak nilam di Indonesia dilakukan oleh industri kecil

(rakyat) dan industri menengah/besar. Proses penyulingan minyak nilam

pada skala kecil yang dilakukan oleh rakyat masih menggunakan teknologi

yang sederhana dan penggunaan alat yang terbuat dari bahan-bahan yang

bersifat korosif. Sentra penyulingan nilam rakyat di Indonesia diantaranya

terdapat di kabupaten Pakpak Bharat, Kuningan, Purwokerto dan lain

sebagainya.

Metode penyulingan yang digunakan umumnya digunakan pada

penyulingan rakyat adalah dengan cara uap dan air (kukus) yang

berdasarkan dari pengalaman saja sehingga kurang efektif dan efisien.

Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai analisis kinerja dan

efisiensi energi penyulingan minyak nilam dengan metode uap dan air

dengan sistem kohobasi dan non kohobasi untuk mengetahui sistem yang

akan menghasilkan efisiensi energi yang lebih baik serta dilakukan

perbandingan dengan penyulingan rakyat yang sudah ada. Bahan bakar

yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan bakar biomassa yaitu

kayu. Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar.

Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk

energi tertua yang peranannya sangat besar. Dengan meningkatnya harga

bahan bakar minyak dan gas menjadikan biomassa sebagai alternatif.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Menganalisis kinerja prototipe peralatan penyulingan skala industri

kecil minyak nilam.

2. Menganalisis efisiensi energi prototipe peralatan penyulingan skala

industri kecil minyak nilam serta membandingkan efisiensi energi

penyulingan kohobasi dan non kohobasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK NILAM

Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap pada suhu

kamar tanpa mengalami dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau wangi

sesuai bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik dan

tidak larut dalam air. Minyak atsiri dapat dihasilkan dari bagian jaringan

tanaman tertentu seperti akar, batang, kulit, bunga, buah dan biji (Ketaren,

1985).

Minyak nilam adalah minyak atsiri yang diperoleh dari tanaman nilam

(Pogostemon cablin Benth) dengan cara penyulingan. Pada tanaman nilam,

minyak atsiri terkandung dalam semua bagian tanaman seperti akar, batang

dan daun. Walaupun tidak banyak digunkan di dalam negeri, minyak nilam

merupakan salah satu komoditi minyak atsiri andalan Indonesia (Sudaryani

dan Sugiharti, 1998).

Gambar 1. Tanaman Nilam

Tanaman nilam merupakan famili Labiatae yaitu tanaman yang perdu

atau semak dengan tinggi antara 0,3 - 1,3 meter yang memiliki aroma khas

(Ketaren, 1985). Tanaman ini merupakan jenis tanaman berakar serabut,

berdaun bulat dan lonjong berwarna hijau dan berbulu di permukaan bagian

atasnya dengan batang berkayu (Sudaryani dan Sugiharti, 1989). Tanaman

nilam di kabupaten Kuningan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 1.

Beberapa jenis nilam yang dikenal adalah Pogestemon cablin Benth

(nilam aceh), Pogestemon hortensis Benth (nilam jawa atau dikenal juga

dengan nilam sabun) dan Pogestemon heyneasus Benth (nilam kembang).

Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh adalah nilam yang memiliki

kadar minyak yang tinggi yakni sekitar 2,5 - 5% dan juga memiliki komposisi

minyak yang baik. Nilam jawa dikenal juga dengan nilam sabun karena

seringkali digunakan untuk proses pembuatan sabun. Kadar minyak nilam

jawa tergolong rendah yaitu sekitar 0,5 - 1,5%, selain itu komposisi

kandungan minyaknya juga tidak baik (Santoso, 1990).

Tanaman nilam yang tumbuh dan terpelihara dengan baik, sudah dapat

dipanen pada umur 6 sampai 8 bulan setelah penanaman. Pemanenan

dilakukan dengan memengkas atau memotong cabang-cabang, ranting-ranting

dan daun-daun tanaman nilam (Sudaryani dan Sugiharti, 1998).

Minyak nilam merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang dikenal

sebagai fiksatif yaitu zat yang mampu mengikat bau wangi sekaligus dapat

membentuk bau yang harmonis dalam suatu campuran. Minyak nilam

memiliki sifat-sifat antara lain sulit tercuci, sukar menguap dibandingkan

minyak atsiri lainnya, dapat larut dengan baik dalam alkohol dan mudah

dicampurkan dengan minyak atsiri lainnya. Sifat-sifat ini yang menyebabkan

minyak nilam digunakan sebagai fiksatif dalam berbagi industri wewangian,

kosmetik, sabun dan farmasi (Ketaren, 1985).

Minyak nilam dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh

panas, oksigen bebas, cahaya, air serta katalisator. Oleh sebab itu, minyak

nilam harus disimpan dengan baik dalam kemasan yang baik. Kemasan

minyak nilam yang baik sebaiknya terbuat dari kaca.

Mutu minyak nilam dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor

tersebut antara lain adalah jenis atau variasi tanaman nilam, umur tanaman

nilam sebelum dipanen, perlakuan pendahuluan sebelum penyulingan, alat-alat

yang digunakan, cara penyulingan, perlakuan terhadap minyak nilam setelah

penyulingan dan penyimpanan minyak. Standar mutu minyak nilam menurut

Titik Sudaryani dan Endang Sugiarti (1998), masih belum seragam di seluruh

dunia. Masing-masing negara baik penghasil maupun pengimpor menentukan

standar mutu minyak nilam sendiri. Standar minyak nilam Indonesia disusun

dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2385-2006. Parameter mutu

minyak nilam berdasarkan berbagai standar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu minyak nilam

No. Karakterisasi Satuan Standar 1. Warna

- Kuning muda - coklat kemerahan

2. Bobot jenis 25°C/25°C - 0,950 - 0,975 3. Indeks bias (nD20) - 1,507 – 1,515 4. Kelarutan dalam etanol 90 %

pada suhu 20 °C ± 3 °C - Larutan jernih atau opalensi ringan dengan perbandingan volume 1 : 10

5. Bilangan asam - Maksimal 8 6. Bilangan ester - Maksimal 20 7. Putaran optik - (-) 48° - (-) 65° 8. Patchouli alcohol (C15H26O) % Minimal 30 9. Alpha copaene (C15H24) % Maksimal 0,5 10. Kandungan besi (Fe) mg/kg Maksimal 25 Sumber : SNI 06 – 2385 – 2006

B. PENYULINGAN MINYAK ATSIRI

1. Perlakuan Pendahuluan

Hasil panen berupa nilam basah yang terdiri dari daun, ranting, dan

batang sebaiknya dijemur dibawah sinar matahari sekitar 4 jam sehari

selama 2 – 3 hari. Panjemuran daun nilam dilakukan dengan meletakkan

daun di atas gelaran tikar atau lantai semen yang bersih. Penjemuran

sebaiknya dilakukan pada lahan terbuka agar memperoleh sinar matahari

secara langsung. Daun nilam dijemur sambil diangin-anginkan dengan

ketebalan lapisan maksimal 20 cm. Lapisan daun harus dibolak-balik

sebanyak 2 – 3 kali sehari hingga diperoleh kadar air sebesar 15 %. Kadar

air yang terkandung dalam daun ini harus dipertahankan sampai proses

penyulingan berlangsung. Setelah itu, daun dan ranting dipotong /dirajang

sepanjang 10 – 15 cm yang dapat dilakukan secara manual atau

menggunakan mesin perajang (Mangun, 2002).

2. Proses Penyulingan

Penyulingan dapat didefinisikan sebagai proses pemisahan

komponen-komponen suatu campuran yang terdiri atas dua cairan atau

lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap atau berdasarkan perbedaan titik

didih komponen-komponen senyawa tersebut. Titik didih didefinisikan

sebagai suhu pada tekanan atmosfer atau pada tekanan tertentu dimana

suatu cairan berubah menjadi uap. Suatu cairan yang terdiri dari beberapa

senyawa atau komponen maka masing-masing memiliki titik didih yang

berbeda, maka cairan tersebut memiliki kisaran titik didih. Proses

penyulingan sangat penting diketahui oleh penyuling minyak atsiri. Pada

dasarnya terdapat dua jenis penyulingan, yaitu :

• Penyulingan suatu campuran yang berwujud cairan yang tidak saling

bercampur, hingga membentuk dua fasa atau dua lapisan. Keadaan ini

terjadi pada pemisahan minyak atsiri dengan uap air yang sering

disebut juga hirdrodestilasi.

• Penyulingan suatu cairan yang tercampur sempurna hingga hanya

membentuk satu fasa. Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri

menjadi beberapa komponennya, sering disebut fraksinasi tanpa

menggunakan uap air (Sastrohamidjojo, 2004).

Terdapat tiga macam cara penyulingan yang dapat digunakan untuk

memperoleh minyak nilam yaitu penyulingan dengan air (water

distillation), penyulingan uap dan air (water and steam distillation) dan

penyulian uap langsung (steam distillation).

a. Penyulingan Air

Penyulingan dengan air merupakan penyulingan yang paling

sederhana dibandingkan dengan cara penyulingan yang lain.

Pengolahan dilakukan dengan memasak bahan dalam air hingga

mendidih dalam satu tangki atau ketel penyuling. Komposisi air dan

bahan yang disuling dibuat hampir berimbang, tergantung kapasitas

muat ketel. Proses penyulingan dengan cara ini membutuhkan waktu

lama karena bahan yang disuling tercampur menjadi satu dengan air

sehingga proses pergerakan uap air bergerak lambat (Mangun, 2002).

Penyulingan air mempunyai beberapa keuntungan yaitu alatnya

yang cukup praktis dan dapat mengeksraksi minyak dari bahan yang

berbentuk bubuk dan bahan yang mudah menggumpal. Selain itu

penyulingan dengan air juga mempunyai kelemahan yaitu ekstraksi

tidak dapat berlangsung sempurna walaupun dirajang dan komponen

minyak yang bertitik didih tinggi dan bersifat larut dalam air tidak

dapat menguap secara sempurna, sehingga minyak yang tersuling

mengandung komponen tidak lengkap (Guenther, 1947).

b. Penyulingan Uap dan Air

Menurut Tan (1962), penyulingan minyak atsiri untuk jenis

tanaman semak dan daun sebaiknya dilakukan dengan metode

penyulingan uap dan air (water and steam distillation). Cara

penyulingan uap dan air merupakan penyulingan dengan tekanan uap

rendah yang tidak menghasilkan uap dengan cepat sehingga

panjangnya waktu penyulingan menjadi hal yang sangat penting,

artinya hal tersebut baik jika ditinjau dari mutu dan rendemen minyak

yang dihasilkan.

Mekanisme penyulingannya yaitu bahan yang akan disuling

ditempatkan dalam ketel suling beberapa sentimeter diatas air dan

dipisahkan dengan air menggunakan saringan sehingga bahan dengan

air tidak berhubungan langsung. Penggunaan cara penyulingan uap dan

air mempunyai kelebihan tersendiri yaitu suhu yang dihasilkan tidak

terlalu panas sehingga kegosongan minyak dapat dikurangi. Namun,

tekanan uap yang dihasilkan relatif rendah sehingga belum dapat

menghasilkan minyak dengan waktu yang cepat (Mangun, 2002).

Pada penyulingan dengan uap dan air akan dihasilkan uap

dalam keadaan basah. Ketel suling harus selalu terisi oleh air, maka

uap yang dihasilkan tidak mungkin berupa uap kering, tetapi

merupakan uap jenuh atau basah. Air akan tercampur dalam uap pada

keadaan perbandingan tertentu, sehingga terbentuk suatu campuran

antara uap dan air yang disebut uap basah (Kulshrestha, 1989).

Untuk instalasi skala kecil penggunaan metode penyulingan air

dan uap lebih menguntungkan karena peralatannya lebih sederhana

dibandingkan dengan penyulingan uap. Sedangkan untuk instalansi

skala besar (skala industri) penerapan metode penyulingan uap lebih

menguntungkan, terutama untuk penyulingan minyak bertitik didih

tinggi (Guenther, 1947).

c. Penyulingan Uap

Prinsip dasar sistem penyulingan dengan uap adalah

penggunaan uap bertekanan tinggi yang dihasilkan dari ketel uap yang

letaknya terpisah dari ketel suling (Mangun, 2002). Sistem

penyulingan ini baik digunakan untuk menyuling minyak atsiri dari

biji-bijian, akar dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung

komponen minyak yang bertitik didih tinggi.

Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan tekanan uap

rendah kemudian secara bertahap tekanan uap dinaikkan. Jika

permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi maka komponen

kimia dalam minyak akan mengalami dekomposisi sehingga akan

menghasilkan mutu minyak yang kurang baik. Penyulingan uap pada

suhu tinggi tidak selamanya menghasilkan minyak dengan mutu yang

lebih baik walaupun lama penyulingannya lebih singkat (Ketaren,

1985).

C. PERALATAN PENYULINGAN

Cara penyulingan dan penanganan bahan baku dapat mempengaruhi

rendemen dan mutu minyak nilam yang dihasilkan. Namun demikian bahan

yang digunakan dalam pembuatan peralatan-peralatan penyulingan juga

mempunyai peranan dalam mempengaruhi mutu minyak hasil sulingan. Hal-

hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan peralatan penyulingan adalah

logam yang digunakan untuk tempat bahan dan pipa pendingin (Harris, 1993).

Logam yang digunakan untuk bahan peralatan penyulingan harus tidak

bereaksi dengan uap air dan uap minyak. Bila bereaksi atau bersenyawa, hasil

minyak akan rusak dan tidak laku dijual. Logam yang terbukti tidak bereaksi

atau bersenyawa dengan minyak atsiri adalah baja tahan karat (stainless steel)

dan kaca tahan panas. Logam-logam lainnya seperti : alumunium, tembaga,

timah putih, besi biasa, dan seng ada yang bereaksi dengan minyak atsiri

tertentu, ada yang tidak, bergantung pada jenis minyak yang disuling (Harris,

1993). Menurut Rusli (2003), bahan konstruksi alat suling akan

mempengaruhi mutu minyak terutama dalam karakteristik warnanya.alat

penyulingan dari bahan plat besi tanpa galvanis akan menghasilkan minyak

yang berwarna gelap dan keruh karena karat.

Menurut Ketaren (1985), peralatan yang biasanya digunakan dalam

penyulingan terdiri atas : ketel uap, ketel suling, bak pendingin (kondensor)

dan labu pemisah minyak (florentine flask). Penyulingan dengan sistem uap

dan air tidak menggunakan ketel uap. Peralatan-peralatan inilah yang menjadi

salah satu faktor penentu rendemen minyak atsiri yang dihasilkan.

1. Ketel Suling

Ketel penyulingan berfungsi sebagai wadah atau bejana untuk

menempatkan bahan tanaman yang akan disuling. Dalam ketel tersebut

terdapat air atau uap yang berhubungan dengan bahan tanaman dan

menguapkan minyak atsiri yang terkandung didalamnya. Ketel suling

berbentuk silinder yang memiliki diameter yang hampir sama atau sedikit

lebih kecil dari tingginya (Sastrohamidjojo, 2004). Pada penyulingan

dengan air dan uap, sebaiknya ukuran diameter sama dengan ukuran

tingginya. Hubungan antara tinggi dan diameter ketel yang digunakan

tergantung dari sifat porositas bahan yang diolah. Ketel yang berukuran

tinggi baik untuk bahan yang bersifat kamba, sedangkan ketel yang lebih

rendah baik untuk bahan yang bersifat kompak

Ketel suling dilengkapi dengan penutup yang dapat ditutup rapat dan

saringan atau dasar semu diatas dasar ketel suling untuk penyulingan

dengan uap dan air. Pada tutup dipasang pipa untuk mengalirkan uap ke

kondensor (Ketaren, 1985).

2. Pendingin (Kondensor)

Kondensor adalah peralatan pindah panas yang digunakan untuk

mengubah uap menjadi fase cair dengan menghilangkan panas laten yang

dimiliki uap. Proses pendinginan dilakukan dengan menggunakan zat cair

yang lebih dingin yang disebut pendingin (McCabe, 1986). Kondensor

adalah alat yang berupa bak atau tabung silinder dan di dalamnya terdapat

pipa lurus atau berbentuk spiral yang berfungsi untuk menguapkan uap

menjadi bentuk cair. Kondensor terdiri atas beberapa tipe yaitu : lingkaran

(coil), segi empat, zigzag, dan banyak pipa (multitubular) (Rusli, 2003).

Menurut Bernasconi et al dalam Fatahna (2005), perpindahan

panas yang baik pada alat-alat penukar panas dapat dicapai dengan

mengatur perbedaan suhu yang besar antara bahan dan media pendingin,

laju alir yang besar dari bahan dan media pendingin, permukaan penukar

panas yang bersih dan luas permukaan perpindahan panas yang besar serta

dinding yang tipis.

Besarnya energi panas yang dapat dibebaskan oleh uap sewaktu

mengembun dapat dinyatakan sebagai berikut :

� � � � ∆���

Dimana :

Q = Energi yang dilepakan oleh uap air, (J)

U = konstanta Pindah Panas Kondensor (W/m2.°K)

A = Luas area pindah panas kondensor, (m2)

∆TLMTD = selisih suhu rataan logaritmik (°K)

Harga U tergantung dari bentuk pipa. Jika pipa berbentuk coil maka

nilai U-nya = 40. Bila berbentuk tubular maka nilai U-nya = 200 (Ketaren,

1985).

Cara pengembunan uap yang paling sempurna adalah dengan

mengalirkan air pendingin berlawanan arah dengan aliran uap minyak. Hal

tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan air pendingin dari bagian

bawah kondensor dan dikeluarkan dari bagian atas dengan demikian

destilat yang keluar benar-benar berbentuk cairan (Harris, 1993).

3. Pemisah Minyak (Separator)

Menurut Lutony dan Rahmawati (1994), penampung hasil kondensasi

adalah alat untuk menampung distilat yang keluar dari kondensor lalu

memisahkan minyak dari air suling. Jumlah air suling selalu lebih besar

dari jumlah minyak, dalam hal ini diperlukan agar air suling tersebut

terpisah dengan baik dari minyak atsiri.

Pemisahan minyak dan air dapat terjadi karena perbedaan bobot jenis.

Jika bobot jenis minyak lebih kecil dari satu, maka minyak akan berada di

atas lapisan air sedangkan apabila bobot jenis minyak lebih dari satu, maka

minyak akan berada pada bagian dasar separator. Dengan demikian perlu

direkayasa alat pemisah untuk menampung hasil minyak atsiri yang lebih

berat atau lebih ringan dari air. Pada penyulingan air serta penyulingan uap

dan air maka air suling yang telah dipisahkan dari separator dapat

dikembalikan ke dalam ketel suling untuk digunakan pada proses

berikutnya. Proses penyulingan yang berksinambungan ini disebut

kohobasi (Sastrohamidjojo, 2004).

D. KEHILANGAN ENERGI PADA PROSES PENYULINGAN

Energi dikenal dalam berbagai bentuk, beberapa diantaranya yang

dijumpai dalam bidang teknik kimia adalah : energi dalam, energi kinetik,

energi potensial, energi mekanis, dan panas. Hampir semua operasi yang

dijalankan untuk proses penyulingan melibatkan pembangkitan, penyerapan,

dan kehilangan energi dalam bentuk panas. Energi berupa panas dapat

berpindah dari dari suatu sistem ke lingkungannya atau sebaliknya. Ilmu

perpindahan panas adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang

mempelajari bagaimana energi dalam bentuk panas berpindah dari suatu zat ke

zat lain yang suhunya lebih rendah (Kamil dan Pawito, 1983). Terdapat 3 tipe

perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi dan radiasi.

1. Konduksi

Perpindahan energi panas secara konduksi adalah perpindahan energi

panas melewati massa yang tidak bergerak. Elektron-elektron bebas dari

atom-atom benda yang dilaluinya memegang peranan penting dalam

perpindahan energi panas secara konduksi. Molekul-molekul zat yang

dilewati energi panas secara konduksi tidak berpindah, maka perpindahan

energi panas secara konduksi hanya terjadi dalam zat padat. Zat-zat yang

banyak mengandung elektron bebas mudah dialiri panas seperti tembaga,

alumunium, besi baja dan lain sebagainya (Kamil dan Pawito,1983).

2. Konveksi

Aliran energi panas secara konveksi disertai oleh perpindahan massa

zat yang dilaluinya. Perpindahan panas secara konveksi terjadi pada zat

cair dan gas. Perpindahan panas secara konveksi merupakan gabungan

antara perpindahan panas secara konduksi dan perpindahan massa. Cara

energi panas berpindah dinamakan konveksi bebas atau sering disebut juga

konveksi alami tetapi jika perpindahan panas tersebut berlangsung karena

paksaan suatu alat seperti blower, kipas, pompa dan lain sebagainya,

perpindahan energi panas tersebut dinamakan konveksi paksa (Kamil dan

Pawito, 1983).

3. Radiasi

Pancaran (radiasi) adalah perpindahan kalor melalui gelombang dari

suatu zat ke zat lain. Perpindahan kalor radiasi terjadi dengan perantara

foton dan juga gelombang elektromagnet. Apabila sejumlah energi kalor

menimpa suatu permukaan, sebagian akan dipantulkan, sebagian akan

diserap kedalam bahan dan sebagian akan menembus bahan. Setiap benda

diatas temperatur nol absolut memancarkan energi dalam bentuk radiasi.

Tingkat radiasi yang dipancarkan tergantung pada suhu benda tersebut.

Konstanta ε menggambarkan kapasitas suatu benda mengabsorbsi dan

memancarkan radiasi (Kamil dan Pawito, 1983).

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

A. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku

utama dan bahan pendukung. Bahan utama yang digunakan adalah

tanaman nilam (Pogostemon cablin benth, L) yang berasal dari

perkebunan nilam rakyat di Kuningan, Jawa Barat. Sedangkan bahan

pendukung yang digunakan antara lain kayu bakar sebagai sumber energi,

aquades, natrium sulfat anhidrat, alkohol 90%, indikator phenolphtalein,

KOH 0,1 N dan 0,5 N, dan HCL 0,5 N.

Gambar 2. Nilam Kering dan Kayu Bakar

B. Alat Penyulingan

Penelitian ini menggunakan sistem penyulingan uap dan air (water

and steam distillation) yang terdiri dari beberapa alat diantaranya : ketel

suling dengan tungku pembakaran, pipa kohobasi, kondensor, dan

separator. skema sistem peralatan penyulingan metode uap dan air yang

digunakan dalam penelitian ini dpat dilihat pada Gambar 3. Titik-titik

pengukuran pada alat penyulingan adalah pengukuran suhu pada dinding

ketel suling, dinding tungku, tutup ketel suling, pipa penghubung ketel

dengan kondensor, suhu destilat yang keluar dari kondensor serta suhu air

pendingin masuk dan suhu air pendingin keluar di kondensor. Pengukuran

laju destilat dan laju air pendingin dilakukan di kondensor.

Gambar 3. Skema peralatan penyulingan minyak nilam : (A) Ketel

suling, (B) Separator dan (C) kondensor

a. Ketel Suling

Ketel suling yang digunakan terbuat dari stainless steel berbentuk

silinder dengan diameter 76 cm dan tinggi 122 cm, dengan volume

keseluruhan 551,8 liter. Volume yang dapat diisikan bahan adalah

417,14 liter dan volume yang dapat diisikan air adalah 180 liter. Selain

itu ketel suling ini dilengkapi dengan tutup ketel yang dilengkapi

dengan 12 buah mur dan baut serta karet pada bagian atas ketel untuk

mencegah kebocoran saat penyulingan berlangsung. Tutup ketel

mempunyai penyangga yang disambungkan pada dinding ketel Selain

itu didalam ketel suling dipasang suatu saringan yang berada 45 cm

diatas dasar ketel suling yang berfungsi sebagai tempat untuk

meletakkan bahan yang akan disuling sehingga air yang mendidih

tidak kontak dengan bahan yang disuling. Saringan bersifat tidak

permanen sehingga bisa dilepaskan dari ketel suling untuk

mempermudah pembersihan ketel suling. Saringan terbuat dari plat

stainless steel yang berlubang, pada bagian tengah terdapat bagian

yang menjadi tumpuan untuk mengangkat rak yang terbuat dari kawat.

A

C

B

Selain itu ketel suling dilengkapi dengan water level untuk mengetahui

banyaknya air di dalam ketel.

Pipa penghubung antara ketel dan pendingin diletakkan pada

bagian samping atas dinding ketel. Peletakan pipa disamping bukan

diatas tutup ketel dimaksudkan untuk mempermudah dalam

penanganan bahan baku sehingga tutup ketel tidak perlu dilepas

terlebih dahulu jika ingin memasukkan dan mengeluarkan bahan. Pipa

yang menghubungkan ketel dan kondensor terbuat dari stainless steel

dengan panjang 2,15 m dan diameter 0.06 m. Sketsa ketel suling

dengan tungku pembakarannya dapat dilihat pada Gambar 4 dan foto

ketel suling terdapat pada Lampiran 7.

Gambar 4. Ketel suling dengan tungku pembakaran

Keterangan :

A : Cerobong E : Ketel suling

B : Tutup ketel F : Saringan

C : Pipa penghubung G : Pipa kohobasi

D : Kunci pengaman H : Pipa udara panas

I : Tungku pembakaran

b. Tungku Pembakaran

Tungku pembakaran merupakan tempat terjadinya proses

pembakaran selama penyulingan berangsung dengan menggunakan

bahan bakar biomassa yaitu kayu. Tungku ini terbuat dari plat besi

pada bagian luarnya dan dilapisi oleh batu bata pada bagian dalam

dengan ketebalan 6 cm. Diameter dalam tungku adalah 88 cm

sedangkan diameter luarnya adalah 93 cm. Pada bagian depan tungku

terdapat lubang berbentuk persegi dengan panjang 40 cm dan lebar 38

cm sebagai tempat memasukkan kayu bakar selain itu pada bagian

belakang juga terdapat lubang dengan panjang 11 cm dan lebar 31 cm.

Lubang tersebut juga berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara.

Tungku pembakaran dapat dilihat pada Gambar 4 dan foto tungku

pembakaran terdapat pada Lampiran 7.

c. Kondensor

Kondensor yang digunakan adalah jenis penukar panas tipe coil

berbentuk persegi panjang dengan air sebagai media pendingin.

Kondensor ini terdiri dari pipa dan bak kondensor. Pipa pada

kondensor terdiri dari 2 pipa dengan ukuran yang berbeda. Pipa

pertama mempunyai diameter 31,75 mm dengan panjang 7,05 meter

dan pipa kedua mempunyai diameter 25,4 mm dengan panjang 11,73

meter. Pipa kondensor terbuat dari stainless steel sedangkan bak

kondensor terbuat dari besi dengan volume bak kondensor 511,09 liter.

Kondensor yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada

Gambar 5 dan foto kondensor terdapat pada Lampiran 7.

Gambar 5. Kondensor

Keterangan :

A : Pipa Destilat D : Pipa Kondensor

B : Pipa Uap E : Pipa Air Pendingin Keluar

C : Bak Kondensor

d. Pipa Kohobasi

Alat kohobasi ini memiliki sambungan langsung dengan ketel

suling sehingga air kondensat dapat dialirkan kembali kedalam ketel

setelah dipisahkan antara minyak dan air di separator untuk

menghemat penggunaan air selama proses penyulingan. Pada

penyulingan non kohobasi air ditambahkan melalui pipa kohobasi

selama penyulingan berlangsung. Secara keseluruhan panjang alat

kohobasi yang digunakan adalah 150 cm dan diameter 2,54 cm. Selain

itu pipa kohobasi ini dilengkapi dengan kran untuk mengeluarkan air

dari dalam ketel setelah penyulingan selesai tetapi karena letaknya

tidak didasar ketel maka tidak dapat membuang semua air yang

terdapat di dalam ketel dan menyulitkan ketika akan dilakukan

pembersihan. Skema pipa kohobasi dapat dilihat pada Gambar 4 dan

foto pipa kohobasi terdapat pada Lampiran 7.

e. Separator

Separator berfungsi untuk memisahkan minyak yang dihasilkan

dari air. Prinsip kerja dari separator adalah adanya perbedaan berat

jenis antara minyak dan air sehingga keduanya dapat terpisah. Minyak

yang memiliki berat yang lebih rendah akan berada diatas sedangkan

air berada pada bagian bawah. Minyak nilam mempunyai bobot jenis

lebih kecil dibandingkan dengan bobot jenis air sehingga minyak akan

berada diatas air. Separator terbuat dari stainless steel dengan kapasitas

25 liter destilat. Sketsa separator dapat dilihat pada Gambar 6 dan foto

separator terdapat pada Lampiran 7.

Gambar 6. Separator

Keterangan :

A : Corong E : Pipa air

B : Pipa destilat F : Kran air

C : Pipa minyak

D : Kran minyak

3. Alat Ukur

Alat-alat yang digunakan dalam pengujian antara lain :

3.1 Alat Ukur Proses

a. Termometer raksa dan alkohol digunakan untuk mengukur suhu

destilat

b. Termometer digital digunakan untuk mengukur suhu air pendingin

masuk dan air pendingin keluar

c. Termometer infra red digunakan untuk mengukur suhu dinding

ketel, tutup ketel, dinding tungku, dan pipa ketel ke kondensor

d. Timbangan analitik digunakan untuk menimbang bobot minyak

nilam hasil penyulingan

e. Timbangan kapasitas 50 kg digunakan untuk menimbang bobot

nilam kering

f. Alat pengukur waktu (stopwatch)

3.2 Alat Ukur Analisa

a. Alat pengukur kadar air (aufhausher) digunakan untuk mengetahui

kadar air bahan

b. Alat pengukur kadar minyak (clavenger) digunakan untuk

mengetahui kandungan minyak dalam bahan

c. Oven digunakan untuk mengukur kadar air kayu bakar

d. Refraktometer digunakan untuk menentukan nilai indeks bias

minyak nilam hasil penyulingan

e. Polarimeter digunakan untuk menentukan nilai putaran optik

minyak nilam hasil penyulingan

f. Piknometer dgunakan untuk menentukan bobot jenis minyak nilam

hasil penyulingan

g. Peralatan gelas seperti gelas piala, erlenmeyer, buret, gelas ukur,

corong, pipet dan labu distilasi digunakan untuk analisa minyak

nilam.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu :

1. Persiapan Bahan

Bahan yang akan disuling diukur terlebih dahulu kadar air dan kadar

minyak atsiri yang terkandung didalamnya.

1.1 Pengukuran kadar air

Pengukuran kadar air dilakukan sebelum penyulingan dengan

metode Bidwell and Sterling yaitu penyuligan dengan aufhauser

menggunakan cairan yang tidak larut dalam air (toluen) untuk

mengetahui kandungan air yang terdapat dalam bahan. Prosedur kadar

air dapat dilihat pada Lampiran 1.

1.2 Pengukuran kadar minyak

Pengukuran kadar minyak dilakukan sebelum penyulingan dengan

menggunakan clavenger untuk mengetahui kandungan minyak yang

terdapat dalam bahan. Kadar minyak diukur dengan menggunakan

sistem penyulingan air dengan skala laboratorium. Prosedur kadar

minyak dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Proses Penyulingan

Penyulingan daun dan ranting nilam dilakukan dengan metode uap

dan air (water and steam destilation) selama 8 jam serta membandingkan

sistem kohobasi dan non kohobasi. Penyulingan kohobasi menggunakan

air pengisi ketel yang berasal dari air di separator yang telah dipisahkan

dari minyak nilam sedangkan penyulingan non kohobasi air pengisi ketel

berasal dari sumber lain. Diagram alir penelitian ini disajikan pada

Gambar 5. Selama proses penyulingan berlangsung dilakukan pengukuran-

pengukuran dengan parameter yang diuraikan dibawah ini :

2.1 Parameter yang diukur

Parameter yang akan diukur dalam proses penyulingan yaitu :

1. Lama penyulingan, ditentukan dengan melihat perolehan minyak

selama penyulingan berlangsung.

2. Bobot bahan sebelum penyulingan, penghitungan bobot bahan

dilakukan sebelum bahan disuling dan setelah bahan dikeringkan

dan dirajang.

3. Volume dan bobot minyak atsiri hasil penyulingan, volume minyak

atsiri ini diukur setelah proses penyulingan. Pengukuran volume

minyak atsiri menggunakan gelas ukur yang telah dikeringkan.

Kemudian minyak atsiri ditimbang bila telah diukur volumenya.

4. Volume air ketel awal dan akhir, pengukuran ini dilakukan dengan

mengukur volume air dalam ketel sebelum dan setelah

penyulingan.

5. Debit air pendingin, pengukuran debit air pendingin ini dilakukan

dengan cara mengisi gelas piala dengan air pendingin yang keluar

dari kondensor. Saat mengisi gelas piala dengan air pendingin,

waktu pengisian dihitung dengan menggunakan stopwatch.

6. Konsumsi air pendingin, penghitungan konsumsi air pendingin

dilakukan dengan mengalikan rata-rata debit air pendingin dengan

lama penyulingan.

7. Konsumsi bahan bakar, untuk menentukan jumlah bahan bakar

yang dipakai selama penyulingan, maka dilakukan pengukuran

sebelum dan sesudah pembakaran dilakukan.

8. Laju destilat, penghitungan laju destilat dilakukan dengan

menggunakan gelas ukur dan waktunya dihitung dengan

stopwatch.

9. Suhu, suhu yang akan diukur meliputi suhu udara lingkungan, suhu

air pendingin yang masuk ke dalam kondensor, suhu air yang

keluar dari kondensor, suhu air ketel, suhu destilat yang keluar dari

kondensor, suhu dinding luar ketel suling, suhu dinding luar tungku

pembakaran, suhu pipa penghubung ketel dengan kondensor dan

suhu tutup ketel bagian luar.

Gambar 7. Diagram Alir Kegiatan Penelitian

Na2SO4 anhidrat

Minyak Nilam Kasar

Penyaringan

Minyak Nilam

Analisa Mutu

Na2SO4 dan Air

Ampas

Analisa Kadar Minyak dan Kadar Air

Analisa Kadar Minyak dan Kadar Air

Tanaman Nilam

Pengeringan

Perajangan

Nilam Kering

Penyulingan

3. Analisa Mutu Minyak Nilam

Bila penyulingan telah selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah

memisahkan minyak atsiri yang dihasilkan dengan air yang tercampur.

Setelah dilakukan pemisahan, minyak atsiri dianalisis karakteristiknya

sesuai dengan SNI 06-2385-2006. Karakteristik yang dilakukan analisis

antara lain : rendemen minyak, warna, bobot jenis, indeks bias, putaran

optik, bilangan asam, bilangan ester dan kelarutan minyak atsiri dalam

etanol 90 %. Prosedur analisis terdapat dalam Lampiran 1.

4. Analisis Efisiensi Energi Peralatan Penyulingan

Analisis energi selama proses penyulingan meliputi kehilangan energi

konveksi alamiah, kehilangan energi radiasi, efisiensi energi ketel suling

dan efisiensi kondensor yaitu sebagai berikut :

1. Kehilangan Energi Konveksi Alamiah

Energi yang dihasilkan kayu bakar tidak seluruhnya digunakan

untuk penyulingan, tetapi ada sebagian panas yang hilang ke

lingkungan melalui dinding ketel suling, pipa ketel ke kondensor,

dinding tungku dan tutup ketel suling.

a. Kehilangan energi melaui dinding ketel suling

Kehilangan energi melalui dinding ketel suling dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan berikut ini :

�� � ������ � ��� ............................................................ (1)

Dimana :

Qk = Panas yang hilang melalui dinding ketel suling, kJ

h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K

Ak = Luas permukaan dinding ketel, m2

Tok = Suhu dinding luar dinding ketel, K

Tu = Suhu udara lingkungan, K

Nilai h dapat dicari dengan persamaan :

� ��� �

�� ............................................................................ (2)

Dimana :

NNu = Angka Nusselt

k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK

Lk = Tinggi ketel suling, m

Menurut McCabe (1986), NNu pada silinder tegak dapat dicari dengan

persamaan :

��� � 0,59 ���������, ! ....................................................... (3)

Untuk jangkauan 104<NGrNPr<109, atau

��� � 0,13���������,$$$ ....................................................... (4)

Untuk jangkauan 109< NGrNPr <1012

Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :

��� � �% &' ( ) ∆

*' ............................................................................ (5)

Dimana :

L3 = Tinggi dinding ketel suling, m

ρ2 = Densitas udara, kg/m3

β = Koefisien ekspansi termal, 1/K

g = Percepatan gravitasi, m/s

∆T = Perbedaan suhu permukaan dinding ketel suling dan udara, K

µ2 = viskositas udara, kg/m s

Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :

�+, � -. /

0 ................................................................................. (6)

Dimana :

Cp = Kalor spesifik udara, Joule/kg °C

µ = Viskositas udara, kg/m s

k = Konduktifitas panas udara lingkungan, W/mK

b. Kehilangan energi melalui pipa penghubung ketel dengan

kondensor

• Bagian vertikal

Kehilangan energi panas melalui pipa vertikal penghubung ketel

dengan kondensor dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :

�1 � �1 ���1 � ��� ........................................................... (7)

Dimana :

Qp = Panas yang hilang melalui pipa, kj

h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K

Ap = Luas permukaan luar pipa, m2

Top = Suhu dinding luar pipa, K

Tu = suhu udara lingkungan, K

Nilai h dapat dicari dengan persamaan :

� ��� �

�23 ............................................................................ (8)

Dimana :

NNu = Angka Nusselt

k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK

Lop = Panjang pipa uap, m

Menurut McCabe (1986), NNu pada silinder tegak dapat dicari dengan

persamaan :

��� � 0,59 ���������, ! ...................................................... (9)

Untuk jangkauan 104<NGrNPr<109, atau

��� � 0,13���������,$$$ .................................................... (10)

Untuk jangkauan 109< NGrNPr <1012

Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :

��� � �% &' ( ) ∆

*' ...................................................................... (11)

Dimana :

L3 = Panjang pipa uap, m

ρ2 = Densitas udara, kg/m3

β = Koefisien ekspansi termal, 1/K

g = Percepatan gravitasi, m/s

∆T = Perbedaan suhu permukaan pipa dan udara, K

µ2 = viskositas udara, kg/m s

Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :

��� � 43 *

� ................................................................................. (12)

Dimana :

Cp = Kalor spesifik udara, Joule/kg °C

µ = Viskositas udara, kg/m s

k = Konduktifitas panas udara lingkungan, W/mK

• Bagian Horizontal

Kehilangan energi panas melalui pipa horizontal penghubung ketel

dengan kondensor dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :

�1 � �1 ���1 � ��� ......................................................... (13)

Dimana :

Qp = Panas yang hilang melalui pipa, kj

h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K

Ap = Luas permukaan luar pipa, m2

Top = Suhu dinding luar pipa, K

Tu = suhu udara lingkungan, K

Nilai h dapat dicari dengan persamaan :

� ��� �

�23 ......................................................................... (14)

Dimana :

NNu = Angka Nusselt

k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK

Dop = Diameter pipa uap, m

Menurut McCabe (1986), NNu pada silinder tunggal horizontal dengan

nilai NGrNPr = 104 atau lebih dapat dicari dengan persamaan :

��� � 0,53 ���������, ! ..................................................... (15)

Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :

�5, � 63 72 9 : ∆�

/2 ...................................................................... (16)

Dimana :

D3 = Diameter pipa uap (m)

ρ2 = Densitas udara (kg/m3)

β = Koefisien ekspansi termal (1/K)

g = Percepatan gravitasi (m/s)

∆T = Perbedaan suhu permukaan pipa dan udara (K)

µ2 = viskositas udara (kg/m s)

Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :

�+, � -. /

0 .................................................................................. (17)

Dimana :

Cp = Kalor spesifik udara (Joule/kg °C)

µ = Viskositas udara (kg/m s)

k = Konduktifitas panas udara lingkungan (W/mK)

c. Kehilangan energi melalui tutup ketel suling

Kehilangan energi melalui tutup ketel suling dapat dihitung dengan

persamaan berikut ini:

�; � �; ���; � ��� ................................................................... (18)

Dimana :

Qt = Panas yang hilang melalui pipa, kj

h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K

At = Luas permukaan luar pipa, m2

Tot = Suhu dinding luar pipa, K

Tu = suhu udara lingkungan, K

Nilai h dapat dicari dengan persamaan :

� ��� �

�23 ........................................................................... (19)

Dimana :

NNu = Angka Nusselt

k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK

Dop = Diameter tutup ketel suling, m

Menurut McCabe (1986), NNu pada plat horizontal yang dipanaskan

menghadap ke atas dapat dicari dengan persamaan :

��� � 0,54 ���������, ! .................................................... (20)

Untuk jangkauan 105<NGrNPr<2x107

��� � 0,14 ���������,$$$ .................................................... (21)

Untuk jangkauan 2x107<NGrNPr<3x1010

Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :

�5, � 63 72 9 : ∆�

/2 .......................................................................... (22)

Dimana :

D3 = Diameter tutup ketel (m)

ρ2 = Densitas udara (kg/m3)

β = Koefisien ekspansi termal (1/K)

g = Percepatan gravitasi (m/s)

∆T = Perbedaan suhu permukaan tutup ketel dan udara (K)

µ2 = viskositas udara (kg/m s)

Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :

�+, � -. /

0 .................................................................................... (23)

Dimana :

Cp = Kalor spesifik udara (Joule/kg °C)

µ = Viskositas udara (kg/m s)

k = Konduktifitas panas udara lingkungan (W/mK)

d. Kehilangan energi dinding tungku

Kehilangan energi melalui tungku pembakaran dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan berikut ini :

�; � �; ���; � ��� ........................................................... (24)

Dimana :

Qd = Panas yang hilang melalui dinding ketel suling, kJ

h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K

Ad = Luas permukaan dinding ketel, m2

Tod = Suhu dinding luar tungku, K

Tu = Suhu udara lingkungan, K

Nilai h dapat dicari dengan persamaan :

� ��� �

�= ......................................................................... (25)

Dimana :

NNu = Angka Nusselt

k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK

Ld = Tinggi tungku, m

Menurut McCabe (1986), NNu pada dinding tungku yang berbentuk

silinder dapat dicari dengan persamaan :

��� � 0,59 ���������, ! ...................................................... (26)

Untuk jangkauan 104<NGrNPr<109, atau

��� � 0,13 ���������,$$$............................................................ (27)

Untuk jangkauan 109< NGrNPr <1012

Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :

�5, � >3 72 9 : ∆�

/2 …................................................................... (28)

Dimana :

L3 = Tinggi dinding tungku pembakaran (m)

ρ2 = Densitas udara (kg/m3)

β = Koefisien ekspansi termal (1/K)

g = Percepatan gravitasi (m/s)

∆T = Perbedaan suhu permukaan dinding tungku dan udara (K)

µ2 = viskositas udara (kg/m s)

Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :

�+, � -. /

0 …............................................................................. (29)

Dimana :

Cp = Kalor spesifik udara (Joule/kg °C)

µ = Viskositas udara (kg/m s)

k = Konduktifitas panas udara lingkungan (W/mK)

2. Kehilangan Energi Radiasi

Kehilangan energi radiasi pada alat penyulingan dihitung dengan

persamaan dibawah ini.

�,?@ � A B � ��1C � �D

C� …................................................... (30) Dimana:

Q = Energi yang dipancarkan permukaan, (W)

ε = Emisivitas permukaan

σ = Konstanta Stefan-Boltzman 5.672 x 10-8 W/m2 ∆°K

A = Luas permukaan (m2)

Tp = suhu permukaan (°K)

Tl = suhu lingkungan (°K) (Zemansky,1994 )

3. Efisiensi Ketel suling

Efisiensi ketel suling dapat dihitung dengan persamaan :

EFGHGIJHG KILIM NOMGJ: � P�

PQ R 100 %..................................... (31)

Energi yang digunakan untuk menguapkan air dapat dihitung dengan

persamaan :

HmTTcpmQ uadcu ×+−×= )( ................................................... (32)

Dimana :

Qu = Energi untuk menguapkan air, kj

Cp = Panas jenis air, kj/kgoC

Td = Titik didih air, oC

Ta = Suhu air awal, oC

mu = Jumlah air yang diuapkan, lt

mc = Jumlah uap yang dihasilkan, lt

H = Panas laten penguapan, kj/kg

Energi yang dihasilkan oleh bahan bakar dapat dihitung dengan

persamaan :

UmQ tb ×= ........................................................................ (33)

Dimana :

Qb = Energi yang dihasilkan bahan bakar, kJ

mt = Jumlah pemakaian bahan bakar, kg

U = Nilai panas bahan bakar, kJ/kg

4. Efisiensi kondensor

Efisiensi kondensor dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan :

EFGHGIJHG KTJ@IJHT, � UVU�)W XYV) ZW[U�Y1 YW� 1UVZWV)WV

UVU�)W XYV) ZWDU1Y[ �Y1 YW� R 100 % .. (34)

Energi yang dilepas oleh uap dapat dihitung dengan persamaan :

� � �O?. � �.G.? …………………………………………… (35) Dimana : Q = Energi yang dilepaskan uap air (KJ)

Quap = Energi yang keluar dari ketel suling (KJ)

Qpipa = Kehilangan panas di pipa penghubung ketel dengan

kondensor (KJ)

Sedangkan energi yang diserap air pendingin adalah :

� � � � ∆��� ………………………………………….… (36)

Dimana :

Q = Energi yang dilepakan oleh uap air, (J)

U = konstanta Pindah Panas Kondensor (W/m2.°K)

A = Luas area pindah panas kondensor, (m2)

∆TLMTD = selisih suhu rataan logaritmik (°K)

C. STUDI BANDING KINERJA ALAT

Studi banding ini dilakukan setelah penelitian utama selesai dilaksanakan.

Studi banding dilakukan terhadap sistem penyulingan yang sejenis pada

tempat penyulingan rakyat minyak nilam di Kabupaten Pakpak Bharat,

Sumatera Utara. Hal-hal yang dibandingkan antara lain kapasitas, rendemen,

dan kinerja alat prototipe dengan penyulingan rakyat. Data-data penyulingan

rakyat diperoleh berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan sumber

yang berkaitan dengan penyulingan rakyat di kabupaten Pakpak Bharat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. RENDEMEN MINYAK NILAM

Rendemen penyulingan minyak nilam merupakan perbandingan antara

bobot minyak nilam yang diperoleh dengan bobot bahan baku nilam

digunakan. Rendemen yang dihasilkan dengan penyulingan kohobasi

menghasilkan rendemen sebesar 2,29 % (basis kering) sedangkan rendemen

yang dihasilkan penyulingan non kohobasi sebesar 2,2 % (basis kering).

Rendemen yang dihasilkan penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan

dengan penyulingan non kohobasi. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada

air kohobasi masih terdapat minyak yang tersisa dan teruapkan kembali ketika

masuk ke dalam ketel suling sehingga dapat meningkatkan rendemen.

Semakin besarnya nyala api maka kecepatan penyulingan bertambah besar

sehingga jumlah uap air yang berkontak dengan bahan akan lebih besar dan

memungkinkan penguapan minyak yang lebih banyak. Besarnya nyala api

dapat diketahui dari laju destilat selama penyulingan berlangsung.

penyulingan kohobasi memiliki laju destilat yang lebih besar dibandingkan

dengan penyulingan non kohobasi.

Rendemen hasil penyulingan lebih rendah dibandingkan dengan rendemen

hasil pengujian kadar minyak atsiri menggunakan clavenger. Perbedaan ini

dapat dikarenakan perbandingan antara daun dan batang yang berbeda karena

pengambilan bahan untuk penyulingan dilakukan secara acak dan

kemungkinan masih adanya minyak yang tertinggal pada bahan yang disuling.

Hal tersebut terbukti dengan masih terdapatnya minyak nilam pada ampas

hasil penyulingan dengan pengukuran kadar minyak menggunakan clavenger.

Pada penelitian Panjaitan (1993), penyulingan minyak nilam dengan

metode uap dan air selama 4 jam menghasilkan rendemen sebesar 1,72 % -

1,95 % (basis kering). Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada

penyulingan dengan metode uap dan air lama penyulingan berpengaruh

terhadap rendemen yang dihasilkan. Semakin lama waktu penyulingan maka

semakin tinggi rendemen yang dihasilkan dan semakin besar penguapan fraksi

minyak yang bertitik didih tinggi. Sedangkan penyulingan nilam dengan

metode uap (Steam Distillation) pada penelitian Widiahtuti (2009)

menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 2,55 % (basis kering) selama

6 jam. Penyulingan dengan uap dapat menghasilkan rendemen yang lebih

tinggi dan dengan waktu yang lebih singkat. Hal tersebut disebabkan karena

pada penyulingan dengan uap digunakan tekanan secara bertahap dari tekanan

yang rendah hingga tekanan lebih besar dari 1 atm sehingga uap akan

berpenetrasi ke dalam bahan lebih efektif dan menghasilkan rendemen yang

lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.

Tabel 2. Jumlah minyak tersuling

Jam ke - Jumlah Minyak (gram) Penyulingan

Kohobasi Penyulingan

Non Kohobasi 1 436.95 404.20

2 132.38 142.74

3 59.57 72.28

4 45.44 54.45

5 23.32 42.73

6 22.08 29.48

7 36.57 32.10

8 19.79 15.11

Total 776.07 793.08

Pengukuran minyak yang tersuling dilakukan setiap satu jam sekali dari

jam pertama penyulingan hingga jam kedelapan. Jumlah minyak tersuling

setiap jam dapat dilihat pada Tabel 2. Pada awal penylingan minyak yang

tersuling cukup tinggi yaitu 436,95 gram pada penyulingan kohobasi dan

404,2 gram pada penyulingan non kohobasi. Pada jam-jam berikutnya jumlah

minyak semakin menurun hingga pada akhir penyulingan diperoleh total

minyak untuk penyulingan kohobasi sebanyak 776,07 gram dan pada

penyulingan non kohobasi 793,08 gram. Laju penyulingan merupakan jumlah

minyak yang tersuling selama periode waktu tertentu. Pengukuran bobot

minyak nilam tersuling dilakukan setiap satu jam sekali. Pada awal

penyulingan laju minyak yang tersuling sangat tinggi selanjutnya menurun

dengan semakin lamanya waktu penyulingan. Hal tersebut dapat dilihat pada

Gambar 8.

Gambar 8. Grafik profil minyak hasil penyulingan

Jumlah minyak tersuling pada jam pertama mencapai 50% dari total

minyak yang diperoleh selama penyulingan. Tingginya laju penyulingan pada

waktu-waktu awal karena pada tahap awal penyulingan minyak di sekitar

permukaan nilam yang akan tersuling. Selain itu pada tahap awal penyulingan,

minyak yang mempunyai titik didih rendah akan tersuling lebih dahulu serta

dapat pula disebabkan karena besarnya jumah minyak yang bertitik didih

rendah. Selanjutnya laju penyulingan akan menurun secara tajam, karena laju

difusi minyak dari bagian dalam semakin sulit dan juga karena jumlah minyak

yang tersedia di dalam bahan semakin kecil dan minyak dengan bobot molekul

yang tinggi lebih sulit diperoleh. Dengan demikian semakin lama waktu

penyulingan maka jumlah minyak nilam yang dihasilkan semakin sedikit baik

pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi.

B. KINERJA ALAT PENYULINGAN

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

1 2 3 4 5 6 7 8

Bo

bo

t m

iny

ak

(g

ram

)

Jam ke-

Kohobasi

Non Kohobasi

Penyulingan minyak atsiri pada penelitian ini menggunakan bahan baku

nilam kering dengan kadar air berkisar antara 8 – 10 % dan kadar minyak

berkisar antara 2,37 – 2,87 % (Basis Kering). Menurut Ketaren (1985) kadar

air yang diharapkan untuk memperolah minyak nilam dengan rendemen yang

tinggi dan proses penyulingan yang efektif berkisar antara 12 – 15 %.

Rendahnya kadar air pada penyulingan ini dikarenakan tanaman nilam telah

mengalami penyimpanan selama 1 – 4 minggu. Alat penyulingan pada

penelitian ini meliputi tungku pembakaran, ketel suling, kondensor dan

separator. Kinerja alat penyulingan ditentukan berdasarkan kondisi proses

selama penyulingan berlangsung. Hal tersebut yang nantinya akan

menentukan efisiensi energi pada sistem penyulingan yaitu efisiensi ketel dan

efisiensi kondensor.

1. Tungku Pembakaran

Tungku pembakaran merupakan tempat terjadinya proses

pembakaran bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan pada penyulingan

ini adalah kayu bakar. Proses pembakaran adalah salah satu tahapan

terpenting karena memberikan suplai energi yang dibutuhkan untuk

menghasilkan uap air selama penyulingan berlangsung. Energi yang

dihasilkan oleh kayu bakar akan digunakan untuk menguapkan air yang

terdapat dalam ketel dengan pemanasan langsung karena tungku

pembakaran langsung berhubungan dengan ketel suling. Permukaan

pemanasan terdapat pada bagian dasar ketel, ketel bagian samping yang

menyatu dengan tungku pembakaran dan 3 buah pipa yang terdapat di

dalam ketel suling untuk memperluas permukaan pemanasan. Total luas

permukaan pemanasan adalah 1,70 m2. Sehingga diharapkan tidak

membutuhkan waktu yang lama untuk menguapkan air. Rata-rata waktu

yang dibutuhkan untuk menghasilkan destilat adalah 45 menit. Pada

kenyataannya luas permukaan pindah panas pada ketel suling tidak dapat

dimanfaatkan seluruhnya karena kurangnya aliran udara panas yang

menuju 3 buah pipa yang terdapat di ketel suling. Hal tersebut disebabkan

karena lubang yang berfungsi sebagai tempat masuknya udara panas

terhalang oleh dinding batu bata pada tungku pembakaran. Sehingga

proses pindah panas hanya terjadi pada bagian dasar ketel suling.

Tabel 3. Perbandingan kinerja tungku pembakaran

No. Keterangan Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non Kohobasi

1. Jumlah rata-rata kayu (Kg) 186,7 158,15

2. Kadar air kayu rata-rata (%) 22,91 12,5

3. Jumlah rata-rata kayu kering (Kg) 143,32 138,2

4. Energi total yang dihasilkan kayu (MJ) 2579,85 2487,6

5. Jumlah air yang diuapkan (L) 237,54 213,53

6. Energi penguapan air (MJ) 644,77 572,46

7. Lama waktu penyulingan (Jam) 8 8

Pemanfaatan kayu atau biomassa sebagai sumber energi

merupakan salah satu usaha mencari pengganti sumber daya fosil yang

jumlahnya semakin menipis dengan harga yang semakin mahal. Energi

panas yang dilepaskan pada proses pembakaran diukur sebagai nilai kalor.

Menurut Achmadi (1990), nilai rata-rata kalor kayu sebesar 18.000 KJ

setiap kg kayu kering mutlak. Nilai kalor aktual dari kayu tergantung pada

kadar air dan kandungan abu. Umumnya kandungan abu yang rendah

membuat kayu dapat menghasilkan pembakaran yang baik. Penelitian ini

menggunakan berbagai macam jenis kayu sehingga digunakan nilai rata-

rata kalor kayu kering mutlak dengan mengoreksi kadar air kayu.

Energi yang dihasilkan selama proses pembakaran dipengaruhi

pula oleh ketersediaan oksigen. Sempurna atau tidaknya proses

pembakaran yang berlangsung sangat tergantung adanya oksigen. Tungku

yang digunakan pada penelitian ini tidak menggunakan blower dalam

membantu sirkulasi udara. Blower hanya digunakan pada awal

pembakaran untuk memudahkan penyalaan api. Oleh karena itu sirkulasi

udara berjalan secara alamiah masuk dan keluar melalui lubang pada

bagian depan dan belakang tungku. Besar atau kecilnya api yang

dihasilkan selama proses pembakaran akan mempengaruhi proses

penguapan air. Semakin besar api maka semakin banyak jumlah uap air

yang akan kontak dengan bahan dan semakin banyak minyak nilam yang

dapat di ekstrak.

Kadar air kayu yang digunakan pada penelitian ini berkisar antara

10 – 28 %. Nilai kadar air kayu sangat menentukan baik atau tidaknya

proses pembakaran dan berpengaruh terhadap nilai kalor kayu. Semakin

tinggi nilai kadar air kayu maka kayu bakar menjadi lebih sulit terbakar

dan panas yang dihasilkan tidak sebaik kayu bakar dengan kadar air yang

rendah. Selain itu dengan semakin tingginya kadar air kayu maka

kebutuhan kayu bakar selama penyulingan menjadi meningkat

dibandingkan dengan penggunaan kayu yang kering.

Pada penyulingan kohobasi dibutuhkan kayu bakar sebanyak 186,7

kg dengan kadar air kayu rata-rata sebesar 22,91 % sehingga kayu kering

yang digunakan selama penyulingan adalah 143,32 kg, sedangkan untuk

penyulingan non kohobasi kebutuhan kayu bakar selama penyulingan

sebanyak 158,15 kg dengan kadar air kayu sebesar 12,5 % sehingga kayu

kering yang digunakan selama penyulingan adalah 138,2 kg. Jumlah kayu

yang digunakan setiap penyulingan berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan

penambahan jumlah kayu bakar ke dalam tungku pembakaran tergantung

pada banyaknya kayu yang masih terdapat di dalam tungku pembakaran

dan disesuaikan dengan kebutuhan kayu pada proses penyulingan. Selain

itu kayu yang digunakan pada penyulingan tidak sama dan merupakan

campuran dari berbagai macam kayu bakar.

Setiap kg kayu kering yang digunakan akan menghasilkan energi

sebesar 18 MJ, jadi energi yang dihasilkan oleh kayu bakar pada

penyulingan kohobasi sebesar 2579,85 MJ digunakan untuk menguapkan

237,54 liter air di dalam ketel dan energi yang dihasilkan kayu bakar pada

penyulingan non kohobasi sebesar 2487,6 digunakan untuk menguapkan

213,53 liter air di dalam ketel.

Nyala api yang dihasilkan pada proses pembakaran berwarna

kuning karena udara tidak dapat mengalir cukup cepat untuk membuat

kayu terbakar seluruhnya menjadi karbon dan air selain itu juga terdapat

bahan-bahan pengotor yaitu partikel-partikel karbon yang merupakan sisa

pembakaran yang tidak sempurna. Proses pembakaran dengan

menggunakan bahan bakar kayu menghasilkan nyala api yang cenderung

tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan nyala api yang dihasilkan sangat

tergantung dengan kayu bakar yang ditambahkan selama penyulingan

berlangsung. Dengan demikian hal tersebut berpengaruh terhadap jumlah

uap air yang dihasilkan dan terlihat dari fluktuasi laju destilat setiap waktu.

Perbandingan kinerja tungku setiap kg kayu ditunjukkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan kinerja tungku setiap kg bahan

No. Keterangan Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non Kohobasi

1. Jumlah rata-rata kayu (Kg/kg bahan) 4,98 3,95

2. Jumlah rata-rata kayu kering (Kg

kayu/kg bahan)

3,82 3,45

3. Energi total yang dihasilkan kayu

(MJ/kg bahan)

68,8 62,19

4. Jumlah air yang diuapkan (L/kg bahan) 6,33 5,34

5. Energi penguapan air (MJ/kg bahan) 17,19 14,31

Jumlah kayu bakar yang digunakan untuk setiap kg bahan pada

penyulingan kohobasi lebih besar dibandingkan dengan penyulingan non

kohobasi begitu pula dengan energi yang dihasilkan kayu bakar, jumlah air

yang diuapkan dan energi yang digunakan untuk penguapan air lebih besar

pada penyulingan kohobasi dibandingkan dengan penyulingan non

kohobasi untuk setiap kg bahan baku nilam kering yang digunakan.

Tungku pembakaran pada alat penyulingan ini tidak dilengkapi

dengan penutup sehingga seringkali pada saat proses pembakaran

berlangsung api menjalar hingga keluar tungku. Hal tersebut dapat

mengakibatkan banyaknya energi yang terbuang ke lingkungan.

Kelengkapan yang terdapat pada tungku adalah cerobong yang berfungsi

sebagai tempat keluarnya asap pembakaran tetapi pada kenyataannya

cerobong ini kurang berfungsi. Asap lebih banyak keluar dari lubang

bagian depan sehingga dapat mengganggu operator ketika akan

memasukkan kayu bakar.

2. Ketel Suling

Ketel suling yang digunakan pada penelitian ini merupakan ketel

suling dengan metode penyulingan uap dan air dimana tempat

menguapkan air menyatu dengan tempat penyulingan dan dipisahkan oleh

sebuah saringan. Ketel suling berfungsi sebagai tempat menguapkan air,

uap air mengadakan kontak dengan bahan serta untuk menguapkan minyak

nilam.

Tekanan pada ketel suling adalah 1 atm dengan suhu sekitar 100

°C. Tekanan yang rendah tentunya akan sulit untuk mengekstrak

komponen-komponen bertitik didih tinggi dalam minyak nilam. Oleh

karena itu, penyulingan di dengan metode uap dan air ini memerlukan

waktu yang lama yaitu 8 jam. Pada awal penyulingan bagian bawah bahan

mempunyai suhu tertinggi dan bagian atas mempunyai suhu terendah.

Secara bertahap suhu uap akan menjadi sama pada seluruh bahan.

Peningkatan suhu berlangsung dari bagian bawah ketel hingga ke bagian

atas. Proses peningkatan suhu ini dapat berlangsung karena adanya uap

yang mengalir melalui tumpukan bahan dan menyerahkan panas kepada

bahan yang dilalui kemudian panas tersebut akan menaikkan suhu bahan

dan menjadi sumber panas penguapan yang dibutuhkan oleh minyak.

Perbandingan kinerja ketel suling pada penyulingan kohobasi dan non

kohobasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan kinerja ketel suling

No Keterangan Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non Kohobasi

1. Bobot bahan rata-rata (Kg) 37,5 40

2. Kepadatan bahan (Kg/L) 0,09 0,096

3. Kebutuhan air (L) 134,66 209,67

4. Laju destilat (L/jam/kg bahan) 0,74 0,63

5. Laju destilat (L/jam/kg bahan/kg kayu) 0,00516 0,00456

Minyak atsiri terdapat di dalam kelenjar minyak atau kantung-

kantung minyak. Bila bahan dibiarkan utuh, proses hidrodifusi akan

berjalan lambat jadi sebaiknya tanaman nilam dirajang terlebih dahulu

menjadi potongan-potongan kecil sepanjang 5 – 10 cm. Pada bahan yang

dirajang, sebagian minyak nilam keluar ke permukaan bahan dan akan

segera menguap oleh uap panas. Selanjutnya minyak yang keluar melalui

proses difusi. Suhu tinggi dan pergerakan uap dalam ketel penyuling akan

mempercepat proses difusi.

Pada penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini bobot bahan

rata-rata pada penyulingan kohobasi adalah 37,5 kg dengan kerapatan

bahan 0,09 kg/liter sedangkan pada penyulingan non kohobasi bobot

bahan rata-rata sebanyak 40 kg dengan kepadatan bahan 0,096 kg/liter.

Pengisian bahan didalam ketel harus dilakukan dengan baik dan

disesuaikan dengan kapasitas ketel. Selain itu pengisian bahan harus padat

serta menyebar rata pada seluruh bagian ketel agar uap air di dalam ketel

dapat menyebar dengan merata. Jika bahan tidak merata dapat

menyebabkan adanya jalur uap (rat hole) yang dapat menurunkan

rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi kerapatan bahan dan pengisian

yang terlalu padat mengakibatkan uap tertahan dan sulit untuk menembus

bahan. Uap yang telah melewati bahan dalam ketel umumnya mengandung

minyak. Bila jalan uap yang mengandung minyak tersebut terhambat maka

rendemen yang diperoleh akan menurun akibat uap terkondensasi lebih

awal. Menurut penelitian Panjaitan (1993) dan Rusli dan Hasanah (1977),

dengan penyulingan metode uap dan air semakin tinggi kepadatan bahan

di dalam ketel mengakibatkan rendemen menjadi semakin rendah karena

semakin tinggi kepadatan bahan dalam ketel, maka kecepatan penyulingan

semakin rendah sehingga proses hidrodifusi berjalan lambat.

Disamping itu harus diperhatikan pula agar tumpukan bahan tidak

melewati lubang pipa uap yang menghubungkan ketel dengan kondensor

agar keseluruhan bahan dalam ketel suling dapat dilewati oleh uap

termasuk yang berada pada bagian tumpukan paling atas dan mencegah

lubang uap tersebut tertutupi oleh bahan.

Laju destilat yang dihasilkan pada penyulingan kohobasi sebesar

0,74 liter/jam/kg bahan sedangkan pada penyulingan non kohobasi sebesar

0,63 liter.jam/kg bahan. Perbedaan laju destilat pada penyulingan kohobasi

dan non kohobasi dipengaruhi oleh jumlah kayu bakar yang digunakan dan

kepadatan bahan didalam ketel.

Gambar 9. Grafik laju destilat

Gambar 9 menunjukkan bahwa laju destilat mengalami fluktuasi

setiap waktunya. Pada awal penyulingan laju destilat yang dihasilkan

cukup tinggi dan cenderung menurun dengan semakin lamanya waktu

penyulingan. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada awal penyulingan

kayu bakar yang digunakan lebih banyak sehingga api dapat menghasilkan

api yang besar. Penggunaan api yang besar pada awal penyulingan

dilakukan untuk mempercepat proses pemanasan air sehingga semakin

singkat waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan destilat. Laju destilat

yang semakin menurun pada jam-jam berikutnya dikarenakan nyala api

yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan pada awal penyulingan.

Fluktuasi laju destilat yang dihasilkan dipengaruhi oleh penambahan kayu

bakar ke dalam tungku pembakaran. Jika kayu bakar masih tersedia cukup

banyak di dalam tungku dan pembakaran berjalan dengan baik maka laju

destilat menjadi tinggi. Sedangkan apabila pasokan kayu bakar berkurang

dan kayu bakar yang terdapat di dalam tungku tidak terbakar dengan baik

akan menyebabkan laju destilat menjadi menurun.

Selama proses penyulingan, adanya penggantian air yang telah

diuapkan sangat penting untuk menguapkan seluruh minyak atsiri yang

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

0 60 120 180 240 300 360 420 480

Laju

De

stil

at

lite

r/ja

m/k

g b

ah

an

Menit ke-

Kohobasi

Non Kohobasi

terdapat dalam bahan. Pada penyulingan dengan sistem kohobasi, air yang

ditambahakan merupakan air suling yang berasal dari separator yang telah

terpisah dari minyak nilam sedangkan pada penyulingan non kohobasi

dilakukan penambahan air dari luar. Penambahan air dari luar pada

penyulingan non kohobasi dilakukan sedikit demi sedikit secara kontinu ke

dalam ketel suling selama penyulingan berlangsung. Apabila air

ditambahkan dalam jumlah besar dalam satu waktu maka dapat

menurunkan suhu air yang sedang diuapkan di dalam ketel dan air destilat

tidak akan keluar pada beberapa waktu lamanya karena berkurangnya uap

di dalam ketel akibat penurunan suhu air ketel.

Penyulingan dengan sistem kohobasi dapat menghemat penggunaan

air dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi karena air terus

mengalami perputaran selama penyulingan sehingga penyulingan dengan

sistem kohobasi ini akan lebih ekonomis. Pada penyulingan dengan sistem

kohobasi jumlah air ketel awal sebanyak 134,66 liter dan secara terus

menerus mengalami perputaran selama penyulingan berlangsung

sedangkan pada penyulingan non kohobasi kebutuhan air rata-rata

sebanyak 209,67 liter. Hal tersebut membuktikan bahwa penyulingan

kohobasi mampu menghemat penggunaan air hingga 35 % dibandingkan

dengan penyulingan non kohobasi. Kebutuhan air yang lebih banyak pada

penyulingan non kohobasi karena air suling yang berasal dari separator

langsung dibuang sehingga air harus selalu ditambahkan untuk mencegah

kekurangan air di dalam ketel yang dapat membahayakan. Jumlah air di

dalam ketel dapat diketahui melalui alat water level yang terpasang pada

ketel suling. Selain itu pada air suling yang berasal dari separator masih

mengandung sejumlah kecil minyak sehingga ketika dikembalikan ke

dalam ketel akan megalami penguapan kembali.

3. Kondensor

Kondensor yang digunakan pada penyulingan ini adalah kondensor

berpilin (coil condenser) berbentuk persegi panjang yang dimasukkan ke

dalam bak berisi air pendingin dengan arah aliran air pendingin

berlawanan dengan arah uap campuran air dan minyak. Air pendingin

masuk dari bagian bawah dan keluar pada bagian atas sedangkan aliran

uap sebaliknya yaitu masuk melalui pipa uap pada bagian atas dan keluar

dari bagian bawah, sehingga destilat yang keluar dari kondensor

diharapkan akan mempunyai suhu yang hampir sama dengan suhu air

pendingin masuk. Perkembangan suhu air pendingin yang keluar

kondensor selama penyulingan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar

11.

Gambar 10. Perbandingan Suhu di Kondensor pada Penyulingan Kohobasi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 60 120 180 240 300 360 420 480

Su

hu

(°C

)

Menit ke-

Suhu Air Pendingin

masuk

Suhu Air Pendingin

Keluar

Suhu Destilat

Gambar 11. Perbandingan Suhu di Kondensor pada Penyulingan

Non Kohobasi

Suhu destilat sangat ditentukan oleh kemampuan kondensor dalam

mendinginkan uap yang dihasilkan dari proses penyulingan. Pengaturan

suhu destilat disesuaikan dengan laju air pendingin yang digunakan

kondensor untuk mendinginkan dan laju destilat dari ketel suling ke

kondensor. Media yang digunakan sebagai pendingin adalah air dengan

permukaan pindah panas pada kondensor sebesar 1,62 m2. Aliran air

pendingin yang lebih cepat menyebabkan pendinginan yang lebih efisien

karena mampu menyerap energi panas lebih baik.

Gambar 9 dan 10 menyajikan perkembangan suhu di kondensor

yaitu suhu air pendingin masuk, suhu air pendingin keluar dan suhu

destilat. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan suhu air

pendingin keluar diiringi pula dengan peningkatan suhu destilat. Jika suhu

air pendingin tinggi maka suhu destilat menjadi tinggi pula. Hal tersebut

disebabkan ketika suhu air pendingin keluar tinggi maka kemampuannya

untuk mendinginkan uap menjadi berkurang dan destilat yang dihasilkan

dapat terkondensasi pada suhu yang tinggi pula. Sedangkan apabila suhu

air pendingin rendah maka air pendingin tersebut dapat menyerap panas

yang dilepaskan oleh uap lebih baik sehingga akan dihasilkan suhu destilat

yang rendah. Perbedaan suhu air yang keluar kondensor pada penyulingan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 60 120 180 240 300 360 420 480

Su

hu

(°C

)

Menit ke-

Suhu Air Pendingin

Masuk

Suhu Air Pendingin

Keluar

Suhu Destilat

kohobasi dan non kohobasi dikarenakan perbedaan suhu air pendingin

yang masuk ke kondensor dan laju alir air pendingin yang berbeda.

Pada awal penyulingan suhu air pendingin keluar dan suhu destilat

masih rendah kemudian dengan semakin lamanya waktu penyulingan

memperlihatkan peningkatan dan penurunan suhu air pendingin dan suhu

destilat yang dipengaruhi oleh laju air pendingin dan laju destilat.

Data suhu rata-rata destilat, suhu rata-rata air pendingin masuk,

suhu rata-rata air pendingin keluar, laju destilat dan laju air pendingin

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan suhu rata-rata

Keterangan Penyulingan

Kohobasi Penyulingan

Non Kohobasi

Suhu destilat rata-rata (oC) 31,56 30,35

Suhu air pendingin masuk rata-rata (°C) 27,35 28

Suhu air pendingin keluar rata-rata(°C) 74,7 66,32

Laju destilat rata-rata (L/jam/kg bahan) 0,74 0,63

Laju air pendingin rata-rata (L/jam) 224 199

Laju destilat dan laju air pendingin berpengaruh terhadap suhu

destilat. Hal tersebut dikarenakan jumlah masa yang melewati kondensor

dan jumlah air pendingin sangat berpengaruh terhadap energi panas yang

harus didinginkan oleh kondensor. Suhu destilat pada penyulingan

kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi

karena pada penyulingan kohobasi laju destilatnya yang lebih tinggi dan

masih disesuaikannya laju air pendingin. Semakin besar laju destilasi

maka energi panas yang dilepas uap air akan semakin besar. Suhu destilat

dapat diatur dengan mengatur debit air pendingin, semakin besar debit air

pendingin yang masuk ke kondensor maka proses pendinginan dapat

berjalan lebih baik.

Pada penyulingan kohobasi bukaan kran air pendingin masuk

hanya dilakukan selama 4 jam 55 menit sedangkan pada penyulingan non

kohobasi selama 7 jam 45 menit. Jumlah air pendingin yang dibutuhkan

pada penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi berturut – turut

adalah sebanyak 1307,75 liter dan 2104,45 liter. Hal tersebut yang

menyebabkan suhu air pendingin keluar dan suhu destilat pada

penyulingan kohobasi menjadi lebih tinggi.

3. Separator

Minyak nilam dan air dapat memisah karena perbedaan bobot jenis

sehingga minyak yang bobot jenisnya kurang dari 1 akan berada diatas air.

Separator ini merupakan separator yang dapat digunakan untuk

memisahkan minyak dengan fraksi ringan maupun fraksi berat. Separator

berbentuk silinder yang terbuat dari stainless steel, pada bagian atasnya

semakin mengecil dan terdapat tabung kecil yang terbuat dari gelas untuk

menampung minyak dengan bobot jenis yang lebih ringan sedangkan pada

bagian bawah terdapat pula tabung kecil yang terbuat dari gelas untuk

memisahkan minyak dengan bobot jenis yang lebih besar dari satu.

Destilat yang keluar dari kondensor akan masuk ke dalam separator

melalui corong dan keluar melalui pipa destilat dengan demikian aliran

destilat dari kondensor tidak mengganggu lapisan minyak yang sudah

terbentuk pada bagian atas. Minyak nilam yang telah terpisah dari air akan

keluar melalui pipa minyak yang berada pada bagian tengah separator dan

terhubung dengan kran minyak bagian atas untuk mengeluarkan minyak.

Sedangkan air suling akan keluar melalui pipa air pada bagian samping

separator. Pada penyulingan dengan kohobasi air suling yang berasal dari

separator dikembalikan ke ketel suling untuk disuling kembali.

Menurut Ketaren (1985), air suling yang keluar dari separator masih

mengandung sejumlah kecil minyak atsiri baik dalam bentuk terlarut

maupun suspensi. Komponen yang larut dalam air sebagian besar terdiri

dari senyawa oxygenated yang mempunyai bobot jenis lebih besar dari

senyawa non-oxygenated. Warna air suling yang keruh menunjukkan

masih adanya minyak dalam air tersebut. Sedangkan pada penyulingan

non kohobasi air suling tersebut langsung dibuang. Kran pada bagian

bawah separator digunakan untuk mengeluarkan minyak fraksi berat.

Minyak nilam yang tersuling pada penelitian ini tidak mengandung fraksi

berat dengan bobot jenis lebih besar dari satu sehingga kran tersebut hanya

digunakan untuk mengeluarkan air suling terdapat dalam separator pada

saat penyulingan telah selesai. Perbandingan kinerja separator dapat dilihat

pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbanding kinerja di separator

No. Keterangan Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non Kohobasi

1. Suhu destilat rata-rata (°C) 31,56 30,35

2. Waktu tinggal rata-rata (Menit) 67,2 66,42

3. Jumlah destilat (L) 237,54 213,53

4. Jumlah air (L) 236,73 212,7

5. Jumlah minyak (L) 0,81 0,83

Perbandingan antara jumlah air dengan minyak nilam dalam

destilat yang dihasilkan cukup tinggi. Jumlah volume air suling lebih besar

dibandingkan dengan jumlah minyak. Berdasarkan hasil penelitian destilat

yang dihasilkan pada penyulingan kohobasi sebanyak 237,54 liter yang

terdiri dari 236,73 liter dan minyak nilam sebanyak 0,81 liter. Pada

penyulingan non kohobasi destilat yang dihasilkan sebanyak 213,53 liter

yang terdiri dari 212,7 liter air dan 0,83 liter minyak nilam.

Pemisahan minyak nilam dengan air memerlukan perbedaan bobot

jenis yang besar. Oleh karena itu minyak yang mempunyai perbedaan

bobot jenis sedikit lebih rendah dari bobot jenis air tidak dapat langsung

terpisah pada suhu ruang. Hal tersebut dapat dihindari yaitu dengan suhu

destilat yang agak hangat karena pada suhu tersebut bobot jenis minyak

relatif turun. Tetapi tidak membiarkan suhu destilat menjadi tinggi untuk

mencegah penguapan dan kehilangan minyak. Suhu destilat yang terukur

selama penyulingan berlangsung berkisar antara 27 °C hingga 38 °C. Suhu

destilat yang rendah akan mengakibatkan minyak tidak segera terpisah dari

air tetapi membentuk suspensi atau emulsi. Hal tersebut dapat dihindari

dengan membuat suhu destilat cukup hangat sehingga proses pemisahan

minyak dengan air menjadi lebih baik.

Gambar 12. Grafik perkembangan waktu tinggal di separator

Waktu tinggal destilat di dalam separator merupakan perbandingan

antara laju destilat dengan volume separator. Volume separator yang

digunakan pada penelitian ini adalah 25 liter. Lamanya waktu tinggal

bervariasi tergantung pada laju destilat. Waktu tinggal rata-rata pada

penyulingan kohobasi adalah 67,2 menit dan pada penyulingan non

kohobasi adalah 66,42 menit. Grafik perkembangan waktu tinggal destilat

di separator dapat dilihat pada Gambar 12.

Pada awal penyulingan waktu tinggal destilat dalam separator lebih

singkat. Hal tersebut dikarenakan tingginya laju destilat pada awal

penyulingan. Oleh sebab itu minyak yang telah terpisah harus segera

dikeluarkan dari separator karena minyak yang tersuling pada awal

penyulingan cukup banyak dan untuk mencegah minyak nilam bercampur

kembali dengan air. Mendekati akhir penyulingan waktu tinggal destilat di

separator semakin lama seiring dengan semakin menurunnya laju destilat.

Semakin cepat laju destilat maka waktu tinggalnya di dalam separator

semakin singkat sedangkan semakin lambat laju destilat maka waktu

tinggalnya semakin lama. Laju destilat sebaiknya tidak mengalir terlalu

cepat, jika laju destilat tinggi maka sebaiknya separator harus cukup besar

untuk menampung destilat agar minyak dapat memisah dari air secara

sempurna sehingga minyak tidak terbawa oleh air.

0

20

40

60

80

100

120

140

0 60 120 180 240 300 360 420 480

Wa

ktu

tin

gg

al

(me

nit

)

Menit ke-

Kohobasi

Non Kohobasi

C. EFISIENSI ENERGI

1. Kehilangan Energi

Energi yang dihasilkan bahan bakar tidak seluruhnya digunakan

untuk proses penyulingan. Energi ini sebagian besar hilang ke lingkungan

secara langsung dan hilang melalui dinding tungku, dinding ketel suling,

tutup ketel suling dan pipa dari ketel ke kondensor. Kehilangan energi

yang terjadi pada proses penyulingan terdiri dari kehilangan energi karena

perpindahan energi secara konveksi alami dan perpindahan energi secara

radiasi yang terjadi pada permukaan alat penyulingan.

Selama penyulingan berlangsung dilakukan pengukuran suhu

secara periodik pada titik-titik tertentu di dinding tungku, dinding luar

ketel suling, tutup ketel dan pipa penghubung ketel dengan kondensor.

Dari data suhu rata-rata yang diperoleh dapat dilihat kecenderungan dari

suhu-suhu setiap titik sehingga didapatkan perubahan suhu setiap 30 menit

dan digunakan untuk menghitung kehilangan energi pada bagian dinding

tungku, dinding ketel, tutup ketel dan pipa penghubung ketel dengan

kondensor. Suhu rata-rata pada alat penyulingan dapat dilihat pada Tabel

8.

Tabel 8. Suhu rata-rata alat penyulingan

No. Pengukuran Suhu Suhu Rata-rata (°C) Penyulingan

Kohobasi Penyulingan

Non Kohobasi

1. Dinding Tungku 78,8 76,5

2. Dinding Ketel 60,7 63,7

3. Tutup Ketel 57,7 58,1

4. Pipa Penghubung Ketel dengan

Kondensor 54,6 54,9

Perubahan kehilangan energi setiap waktu di dinding ketel, tutup

ketel, pipa penghubung ketel dengan kondensor dan dinding tungku pada

penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi dapat dilihat pada

Gambar 13 sampai dengan Gambar 16.

Gambar 13. Kehilangan panas dinding ketel

Gambar 14. Kehilangan panas tutup ketel

0

100

200

300

400

500

600

700

800E

ne

rgi

(KJ)

Menit ke-

Konveksi Kohobasi

Radiasi Kohobasi

Konveksi Non

Kohobasi

0

20

40

60

80

100

120

140

En

erg

i (K

J)

Menit ke-

Konveksi Kohobasi

Radiasi Kohobasi

Konveksi Non

Kohobasi

Gambar 15. Kehilangan panas pipa penghubung ketel dengan kondensor

Gambar 16. Kehilangan panas dinding tungku

Grafik diatas menunjukkan kehilangan energi pada awal

penyulingan rendah kemudian meningkat dengan semakin lamanya

penyulingan dan kembali menurun pada akhir penyulingan, hal ini

disebabkan pada awal penyulingan belum sempurnanya distribusi uap

karena uap membutuhkan waktu untuk menembus bahan dan memanaskan

ketel dan secara berangsur-angsur suhu menjadi lebih tinggi dan

kehilangan panas yang lebih besar pada jam-jam berikutnya. Sedangkan

pada akhir penyulingan suplai kayu bakar sudah berkurang sehingga

0

20

40

60

80

100

120

140

En

erg

i (K

J)

Menit ke-

Konveksi kohobasi

Radiasi Kohobasi

Konveksi Non

Kohobasi

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

En

erg

i (K

J)

Menit ke-

Konveksi

Kohobasi

Radiasi Kohobasi

energi berupa panas yang dihasilkan oleh bahan bakar semakin berkurang

yang ditandai dengan penurunan suhu dan penurunan kehilangan panas.

Pada dinding ketel, tutup ketel dan pipa penghubung ketel dengan

kondensor kehilangan energi secara konveksi lebih besar dibandingkan

dengan kehilangan energi radiasi sedangkan pada dinding tungku

kehilangan energi radiasi lebih besar dibandingkan dengan kehilangan

energi konveksi. Pada kehilangan panas radiasi besarnya tingkat pancaran

radiasi suatu benda dipengaruhi oleh nilai emisivitas. Nilai emisivitas

relatif suatu benda, besarnya berkisar antara 0 dan 1, benda dengan warna

hitam mutlak mempunyai nilai emisivitas 1. Tingginya kehilangan energi

radiasi pada dinding tungku disebabkan karena dinding tungku yang

terbuat dari plat besi yang dicat mempunyai nilai emisivitas yang tinggi

yaitu 0,9 sedangkan stainless steel nilai emisivitasnya berkisar antara 0,11

– 0,12 sehingga dapat dikatakan bahwa dinding tungku mampu menyerap

dan memantulkan radiasi yang lebih besar dibandingkan stailess steel.

Perbandingan kehilangan energi pada setiap bagian alat

penyulingan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perbandingan kehilangan energi alat penyulingan

No. Bagian Alat Jumlah Energi yang Hilang (MJ)

Kontribusi kehilagan Energi (%)

Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non

kohobasi

Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non

Kohobasi 1. Dinding

Tungku 40,6 39,8 70 67,6

2. Dinding Ketel 13,2 14,8 22,76 25,1

3. Tutup Ketel 2,1 2,2 3,6 3,7

4. Pipa

Penghubung

Ketel dengan

Kondensor

2,1 2,1 3,6 3,6

5. Total 58 58,9 100 100

Pada kehilangan panas secara konveksi dan radiasi besarnya suhu

permukaan alat penyulingan sangat berpengaruh. Semakin tinggi suhu

maka akan semakin tinggi pula kehilangan panasnya. Permukaan dinding

tungku memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu alat

penyulingan yang lainnya oleh sebab itu kehilangan panasnya lebih besar.

Tabel 10. Luas permukaan pindah panas alat penyulingan

No. Bagian alat penyulingan Luas permukaan pindah

panas (m2)

1. Tungku pembakaran 2,38

2. Dinding ketel 2,91

3. Tutup Ketel 0,54

4. Pipa penghubung ketel dengan kondensor 0,41

Selain suhu yang berpengaruh pada kehilangan panas adalah luas

permukaan. Luas permukaan pindah panas alat penyulingan dapat dilihat

pada Tabel 10. Semakin besar luas permukaan maka akan semakin besar

pula nilai kehilangan panasnya. Dinding ketel yang mempunyai luas

permukaan lebih luas dibandingkan dengan tutup ketel dan pipa

penghubung ketel dengan kondensor nilai kehilangan panasnya lebih besar

sedangkan tutup ketel dan pipa yang mempunyai luas permukaan lebih

kecil nilai kehilangan panasnya lebih kecil dibandingkan dengan dinding

ketel. Kehilangan energi dapat dikurangi dengan pemberian isolasi pada

alat penyulingan.

2. Efisiensi Ketel Suling

Efisiensi ketel suling merupakan perbandingan antara energi yang

digunakan untuk menguapkan air dalam ketel dengan energi yang

dihasilkan oleh kayu bakar dengan asumsi jumlah air yang menguap sama

dengan jumlah uap yang berkondensasi. Perbandingan efisiensi ketel

suling antara penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi

disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perbandingan Efisiensi Ketel

Keterangan Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non Kohobasi

Energi penguapan air (MJ) 644,77 572,46

Energi bahan bakar (MJ) 2.579,85 2.487,6

Efisiensi (%) 25 23

Pada penyulingan kohobasi energi rata-rata yang digunakan untuk

mengubah air menjadi uap sebesar 644,77 MJ dan energi rata-rata yang

dihasilkan bahan bakar kayu selama penyulingan berlangsung adalah

2.579,85 MJ, maka dengan perbandingan antara energi penguapan air

dengan energi bahan bakar menghasilkan efisiensi ketel sebesar 25 %.

Pada penyulingan non kohobasi energi rata-rata yang digunakan untuk

mengubah air menjadi uap sebesar 572,46 MJ dan energi rata-rata yang

dihasilkan bahan bakar adalah 2.487,6 MJ sehingga menghasilkan efisiensi

ketel sebesar 23 %. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa penyulingan

dengan sistem kohobasi menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi. Hal tersebut dapat

disebabkan karena suhu air pengisi ketel pada penyulingan kohobasi lebih

tinggi yaitu 31,56 °C sedangkan suhu air pengisi ketel pada penyulingan

non kohobasi lebih rendah yaitu sebesar 28,17 °C.

Pada penelitian Panjaitan (1993), efisiensi ketel suling penyulingan

minyak nilam dengan metode uap dan air sebesar 27,56 % dengan laju

penguapan air 0,6 liter/jam dan menggunakan gas LPG sebagai bahan

bakar. Sedangkan penelitian Sugiarto (1993), efisiensi ketel suling

penyulingan minyak akar wangi dengan metode uap dan air sebesar 22 %

dengan laju penguapan air 0,35 liter/jam dan menggunakan gas LPG

sebagai bahan bakar. Perhitungan efisiensi yang dilakukan Panjaitan dan

Sugiarto (1993) memperhitungkan energi yang digunakan untuk

menaikkan suhu nilam dari keadaan awal sampai suhu akhir.

Nilai efisiensi ketel suling pada penyulingan ini menunjukkan

bahwa energi yang dihasilkan kayu bakar banyak yang terbuang ke

lingkungan. Pada alat penyulingan, tungku pembakaran tidak dilengkapi

dengan tutup sehingga seringkali ketika penyulingan berlangsung api dari

dalam tungku menjalar hingga keluar. Hal tersebut mengakibatkan

banyaknya energi yang hilang. Kehilangan energi juga terjadi pada

dinding tungku sebesar 40,6 MJ pada penyulingan kohobasi dan 39,8 MJ

pada penyulingan non kohobasi, kehilangan energi pada dinding ketel

sebesar 13,2 MJ pada penyulingan kohobasi dan 14,8 MJ pada

penyulingan non kohobasi, kehilangan energi pada pipa uap 2,1 pada

penyulingan kohobasi dan non kohobasi serta kehilangan pada tutup ketel

2,1 MJ pada penyulingan kohobasi dan 2,2 MJ pada penyulingan non

kohobasi. Selain itu cerobong pada ketel suling tidak berfungsi dengan

baik sehingga asap hasil pembakaran lebih banyak yang keluar melalui

lubang bagian depan tungku dibandingkan yang keluar melalui cerobong.

Peningkatan efisiensi ketel suling dapat dilakukan dengan pemberian

isolasi pada peralatan penyulingan dan penggunaan pintu pada tungku

pembakaran untuk mengurangi kehilangan energi pada tungku.

3. Efisiensi Kondensor

Efisiensi kondensor merupakan perbandingan antara energi panas

yang diserap air pendingin dengan energi panas yang dilepaskan uap air.

Efisiensi kondensor dipengaruhi oleh luas penampang pindah panas dan

laju destilat. Selain itu koefisien pindah panas keseluruhan juga

berpengaruh terhadap efisiensi kondensor. Menurut Ketaren (1985),

koefisien pidah panas untuk kondensor jenis berpilin (coil) adalah 40

Btu/ft2 jam oF. Nilai efisiensi kondensor dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perbandingan efisiensi kondensor

Keterangan Penyulingan Kohobasi

Penyulingan Non Kohobasi

Energi yang dilepaskan uap (MJ) 642,68 570,37

Energi yang diserap air pendingin (MJ) 502,71 566,04

Efisiensi (%) 79 99,23

Penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan

efisiensi kondensor sebesar 79 % untuk penyulingan kohobasi dengan

energi yang lepaskan uap air sebesar 642,68 MJ dan energi yang diserap

air pendingin sebesar 502,71 MJ. Efisiensi kondensor pada penyulingan

non kohobasi sebesar 99,26 % dengan energi yang dilepaskan uap air

sebesar 570,37 MJ dan energi yang diserap air pendingin sebesar 566,04

MJ. Air pengisi ketel yang berupa air kohobasi maupun air non kohobasi

tidak berpengaruh terhadap efisiensi kondensor karena yang berpengaruh

terhadap efisiensi kondensor adalah laju destilat dan penggunaan air

pendingin. Air pengisi ketel hanya akan mempengaruhi energi yang

digunakan untuk menguapkan air di ketel suling.

Semakin besar laju destilat maka efisiensinya semakin rendah. Laju

destilat pada penyulingan kohobasi lebih besar dibandingkan dengan

penyulingan non kohobasi yaitu sebesar 0,74 liter/jam/kg bahan sedangkan

pada penyulingan non kohobasi sebesar 0,63 liter/jam/kg bahan. Laju

destilat yang semakin besar akan melepaskan energi panas yang semakin

besar. Energi panas dari uap air tidak dapat diserap oleh air pendingin

secara maksimal selain itu kontak antara uap dan air pendingin terjadi

lebih singkat. Kemampuan air pendingin untuk menyerap panas menurun

ketika suhu air pendingin meningkat. Selain itu air pendingin yang

digunakan pada penyulingan non kohobasi dialirkan lebih lama

dibandingkan dengan penyulingan kohobasi sehingga pada penyulingan

kohobasi kemampuan air pendingin menyerap panas lebih rendah. Energi

yang diserap air pendingin jauh lebih kecil dibandingkan dengan energi

yang dilepas oleh uap air, sehingga efisiensinya kecil.

Pada penelitian Fatahna (2005), efisiensi kondensor tipe shell and

tube penyulingan minyak nilam sebesar 94,51 % sedangkan penelitian

Sugiarto (1993) didapatkan efisiensi kondensor sebesar 97,35 %. Efisiensi

kondensor pada penyulingan minyak atsiri umumnya cukup baik karena

kondensor yang digunakan dapat mengubah uap minyak dan air menjadi

fase cair.

4. Efisiensi Energi Penyulingan

Efisiensi energi penyulingan merupakan nilai perbandingan antara

energi yang keluar dari sistem dengan energi yang masuk ke dalam sistem.

Energi yang masuk ke dalam sisitem merupakan energi yang berasal dari

bahan bakar sedangkan energi yang keluar dari sistem adalah energi yang

diserap oleh air pendingin di kondensor.

Nilai efisiensi energi penyulingan kohobasi sebesar 19,48 %

dengan energi yang berasal dari bahan bakar sebesar 2579,85 MJ dan

energi yang diserap air pendingin sebesar 502,7 MJ. Sedangkan efisiensi

penyulingan non kohobasi sebesar 22,75 % dengan energi yang dihasilkan

bahan bakar sebesar 2487,6 MJ dan energi yang diserap air pendingin

sebesar 566,04 MJ. Nilai efisiensi penyulingan tersebut menunjukkan

bahwa pada sistem penyulingan minyak nilam dengan metode uap dan air

ini energi yang dihasilkan oleh bahan bakar lebih banyak yang hilang ke

lingkungan dibandingkan dengan yang digunakan dalam proses

penyulingan. Pada penyulingan kohobasi kehilangan energi keseluruhan

sebesar 2077,15 MJ dan pada penyulingan non kohobasi kehilangan energi

keseluruhan sebesar 1921,56 MJ. Kehilangan energi tersebut merupakan

kehilangan energi di tungku pembakaran, ketel suling, tutup ketel, pipa

penghubung ketel dengan kondensor dan kondensor.

Pada penelitian Fatahna (2005), efisiensi energi penyulingan nilam

sebesar 67,87 % dan pada penelitian Sunanto (1992) efisiensi energi

penyulingan sereh wangi sebesar 45,81 %. Perbedaan efisiensi energi

penyulingan tersebut dapat disebabkan karena sistem penyulingan yang

berbeda. Penelitian yang dilakukan Fatahna (2005) dan Sunanto (1992)

menggunakan sistem penyulingan uap langsung dengan penghasil uap air

berasal dari ketel uap dan menggunakan bahan bakar yang berbeda.

Neraca energi penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi

disajikan pada Gambar 17 dan gambar 18.

Gambar 17. Neraca Energi Penyulingan Kohobasi

Ketel Suling dengan Tungku Pembakaran

ξ = 25 % Tair awal = 23,5 °C Tsteam = 100 °C Tekanan = 1 atm

Energi Kayu Bakar 2579,85 MJ

Loss Energi Ketel 1935,34 MJ

Energi Penguapan Air 644,77 MJ

Loss Energi Pipa Ketel - Kondensor 2,1 MJ

Energi yang Dilepaskan Uap 642,68 MJ

Kondensor ξ = 79 %

Tsteam = 100 °C Tdestilat = 31,56 °C

Loss Energi Kondensor 139,71 MJ

Energi yang Diserap Air Pendingin 502,7 MJ

Gambar 18. Neraca Energi Penyulingan Non Kohobasi

Ketel Suling dengan Tungku Pembakaran

ξ = 22,99 % Tair awal = 25 °C Tsteam = 100 °C Tekanan = 1 atm

Energi Kayu Bakar 2487,6 MJ

Loss Energi Ketel 1936,43 MJ

Energi Penguapan Air 572,46 MJ

Loss Energi Pipa Ketel - Kondensor 2,1 MJ

Energi yang Dilepaskan Uap 570,37 MJ

Kondensor ξ = 99,26 %

Tsteam = 100 °C Tdestilat = 30,35 °C

Loss Energi Kondensor 4,2 MJ

Energi yang Diserap Air Pendingin 566,04 MJ

D. ANALISA MUTU

Setelah proses penyulingan, dilakukan pengujian mutu terhadap

minyak nilam yang dihasilkan sesuai dengan prosedur Standar nasional

Indonesia. Parameter yang diukur antara lain bobot jenis, indeks bias, bilangan

asam, bilangan ester dan kelarutan dalam alkohol. Perbandingan mutu minyak

nilam hasil penyulingan metode kohobasi dan non kohobasi dengan spesifikasi

mutu minyak nilam berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2385-

2006 disajikan dalam Tabel 13. Mutu minyak nilam hasil penyulingan dapat

dikatakan baik karena hasil perhitungan menunjukkan setiap parameter uji

masuk dalam SNI 06-2385-2006.

Tabel 13. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan

No. Parameter Kohobasi Non

Kohobasi SNI 06-2385-2006

1. Penampakan warna minyak

nilam

Kuning

kecokelatan

Kuning

muda

Kuning muda-

cokelat kemerahan

2. Bobot jenis (t = 25 °C) 0,9583 0,9582 0,950 – 0,975

3. Indeks bias (nD20) 1,5075 1,5073 1,507-1,515

4. Putaran optik (-) 64,5 (-) 62,47 (-) 48° - (-) 65°

5. Bilangan asam 3,18 3,19 Maksimal 8

6. Bilangan ester 8,75 5,55 Maksimal 20

7. Kelarutan dalam etanol 90 % 1 : 7 – 1 : 1 1 : 7 – 1 : 1 Maksimal 1 : 10

1. Penampakan Warna

Parameter warna ditentukan secara visual terhadap minyak nilam

yang hasil penyulingan menurut. Pada umumnya warna minyak yang lebih

muda lebih disukai daripada warna minyak yang gelap. Gambar 18

menunjukkan minyak hasil penyulingan dengan sistem kohobasi dan non

kohobasi.

Penyulingan Kohobasi Penyulingan Non Kohobasi

Gambar 19. Minyak nilam hasil penyulingan dari kiri ke kanan minyak

jam pertama hingga jam kedelapan

Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2385-2006 untuk warna

minyak nilam yang memenuhi syarat yaitu kuning muda sampai coklat

kemerahan. Warna kuning pada minyak nilam merupakan warna alami

pada minyak nilam. Secara visual dapat dilihat bahwa penyulingan dengan

sistem kohobasi menghasilkan minyak dengan warna yang lebih gelap

dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dari penyulingan non-

kohobasi. Selain itu dengan semakin bertambahnya waktu penyulingan

warna minyak menjadi semakin gelap. Hal ini disebabkan adanya

perbedaan kadar dan jumlah komponen dalam minyak tersebut. Pada

penyulingan kohobasi warna yang gelap dapat dikarenakan penggunaan air

pengisi ketel secara berulang-ulang. Selain itu semakin lama waktu

penyulingan maka semakin banyak komponen fraksi berat seperti

patchouli alkohol sehingga warnanya lebih gelap.

2. Bobot Jenis

Bobot jenis

pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama. Nilai

jenis ditentukan oleh komponen

didalam minyak nilam

Gambar 20. Grafik perbandingan nilai bobot

Pada G

hasil penelitian cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu

penyulingan baik pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi. Hal

ini disebabkan dengan semakin lamanya penyulingan maka

banyak fraksi berat yang tersuling. Semakin tinggi kadar fraksi berat dan

komponen yang ada dalam minyak maka nilai bobot jenis semakin tinggi.

Menurut Standar Nasional Indonesia nilai bobot jenis minyak nilam berada

pada rentang nilai 0,950

Minyak nilam hasil penyulingan hanya min

yang sesuai dengan standar baik pada penyulingan dengan kohobasi

maupun penyulingan non kohobasi. Minyak nilam hasil penyulingan jam

pertama lebih rendah dibandingkan dengan

nilam jam ketiga hingga jam kedelapan nilainya lebih besar dari standar.

Selain itu dapat dilihat bahwa nilai bobot jenis minyak nilam dengan

penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non

kohobasi. Secara k

0.9

0.91

0.92

0.93

0.94

0.95

0.96

0.97

0.98

0.99

1

1.01B

ob

ot

Jen

is

Bobot jenis didefinisikan sebagai perbandingan massa suatu bahan

pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama. Nilai

ditentukan oleh komponen-komponen kimia yang terkandung

minyak nilam.

Gambar 20. Grafik perbandingan nilai bobot jenis

Gambar 20 dapat dilihat bahwa bobot jenis minyak nilam

hasil penelitian cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu

penyulingan baik pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi. Hal

ini disebabkan dengan semakin lamanya penyulingan maka

banyak fraksi berat yang tersuling. Semakin tinggi kadar fraksi berat dan

komponen yang ada dalam minyak maka nilai bobot jenis semakin tinggi.

Menurut Standar Nasional Indonesia nilai bobot jenis minyak nilam berada

pada rentang nilai 0,950 – 0,975 pada suhu 25oC.

Minyak nilam hasil penyulingan hanya minyak pada jam kedua

yang sesuai dengan standar baik pada penyulingan dengan kohobasi

maupun penyulingan non kohobasi. Minyak nilam hasil penyulingan jam

pertama lebih rendah dibandingkan dengan standar sedangkan minyak

nilam jam ketiga hingga jam kedelapan nilainya lebih besar dari standar.

Selain itu dapat dilihat bahwa nilai bobot jenis minyak nilam dengan

penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non

Secara keseluruhan minyak nilam yang dihasilkan dengan

Jam ke-

didefinisikan sebagai perbandingan massa suatu bahan

pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama. Nilai bobot

komponen kimia yang terkandung

jenis

dapat dilihat bahwa bobot jenis minyak nilam

hasil penelitian cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu

penyulingan baik pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi. Hal

ini disebabkan dengan semakin lamanya penyulingan maka akan semakin

banyak fraksi berat yang tersuling. Semakin tinggi kadar fraksi berat dan

komponen yang ada dalam minyak maka nilai bobot jenis semakin tinggi.

Menurut Standar Nasional Indonesia nilai bobot jenis minyak nilam berada

k pada jam kedua

yang sesuai dengan standar baik pada penyulingan dengan kohobasi

maupun penyulingan non kohobasi. Minyak nilam hasil penyulingan jam

standar sedangkan minyak

nilam jam ketiga hingga jam kedelapan nilainya lebih besar dari standar.

Selain itu dapat dilihat bahwa nilai bobot jenis minyak nilam dengan

penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non

eseluruhan minyak nilam yang dihasilkan dengan

Kohobasi

Non Kohobasi

penyulingan kohobasi maupun non kohobasi sesuai dengan Standar

Nasional Indonesia.

3. Indeks Bias

Nilai indeks bias minyak nilam berhubungan dengan perbandingan

komponen minyak hasil penyulingan. Indeks bias dit

rantai karbon yang menyusun suatu senyawa. Semakin panjang rantai

karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya

yang datang. Hal ini menyebabkan nilai indeks bias menjadi besar.

hubungan antara nilai indeks

lama penyulingan disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21

Menurut Standar Nasional Indonesia nilai indeks bias minyak nilam

berada pada rentang nilai 1,507

untuk minyak nilam hasil penyulingan dengan kohobasi maupun non

kohobasi memenuhi standar. Nilai indeks bias penyulingan kohobasi

berkisar antara 1,5050

penyulingan non kohobasi berkisar antara 1,5046

20oC. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin lama waktu

penyulingan semakin meningkat pula nilai indeks bias. Hal tersebut terjadi

1.5

1.502

1.504

1.506

1.508

1.51

1.512

1.514

Ind

ek

s B

ias

penyulingan kohobasi maupun non kohobasi sesuai dengan Standar

Nasional Indonesia.

Nilai indeks bias minyak nilam berhubungan dengan perbandingan

komponen minyak hasil penyulingan. Indeks bias ditentukan oleh panjang

rantai karbon yang menyusun suatu senyawa. Semakin panjang rantai

karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya

yang datang. Hal ini menyebabkan nilai indeks bias menjadi besar.

hubungan antara nilai indeks bias minyak nilam hasil penyulingan dengan

lama penyulingan disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik perbandingan nilai indeks bias

Menurut Standar Nasional Indonesia nilai indeks bias minyak nilam

berada pada rentang nilai 1,507 – 1,515 pada suhu 20oC. Nilai indeks bias

untuk minyak nilam hasil penyulingan dengan kohobasi maupun non

kohobasi memenuhi standar. Nilai indeks bias penyulingan kohobasi

berkisar antara 1,5050 – 1,5120 pada suhu 20oC sedangkan

penyulingan non kohobasi berkisar antara 1,5046 – 1,5121 pada suhu

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin lama waktu

penyulingan semakin meningkat pula nilai indeks bias. Hal tersebut terjadi

Jam ke-

penyulingan kohobasi maupun non kohobasi sesuai dengan Standar

Nilai indeks bias minyak nilam berhubungan dengan perbandingan

entukan oleh panjang

rantai karbon yang menyusun suatu senyawa. Semakin panjang rantai

karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya

yang datang. Hal ini menyebabkan nilai indeks bias menjadi besar. Grafik

bias minyak nilam hasil penyulingan dengan

indeks bias

Menurut Standar Nasional Indonesia nilai indeks bias minyak nilam

C. Nilai indeks bias

untuk minyak nilam hasil penyulingan dengan kohobasi maupun non

kohobasi memenuhi standar. Nilai indeks bias penyulingan kohobasi

sedangkan pada

1,5121 pada suhu

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin lama waktu

penyulingan semakin meningkat pula nilai indeks bias. Hal tersebut terjadi

Kohobasi

Non Kohobasi

karena pada awal penyulingan minyak nilam mengandung fraksi ringan

dengan semakin lama penyulingan maka minyak dengan fraksi berat

semakin banyak yang tersuling. Sepeti halnya nilai bobot jenis, nilai

indeks bias dipengaruhi oleh perbandingan-perbandingan komponen-

komponen yang terkandung di dalamnya.

Besar kecilnya nilai indeks bias berhubungan dengan perbandingan

komponen-komponen dan senyawa yang terkandung di dalamnya. Indeks

bias dipegaruhi oleh panjangnya rantai karbon dan banyaknya ikatan

rangkap. Banyaknya fraksi ringan dalam minyak akan menurunkan

kerapatan minyak, sehingga indeks bias menjadi kecil. Jika kerapatan

minyak semakin kecil maka akan mudah membiaskan cahaya yang datang

sehingga nilai indeks biasnya kecil. Semakin panjang rantai karbon,

semakin besar kerapatannya dan semakin banyak minyak mengandung

senyawa dengan ikatan rangkap atau fraksi-fraksi berat, maka kerapatan

minyak akan semakin besar. Jika kerapatan minyak semakin besar, maka

akan sulit membiaskan cahaya yang datang dan akan menyebabkan nilai

indeks bias menjadi lebih besar.

4. Putaran Optik

Kisaran nilai yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia

(SNI) 06-2385-2006 untuk nilai putaran optik minyak nilam adalah (-) 48o

– (-) 65o. Nilai putaran optik pada minyak nilam yang dihasilkan hanya

minyak pada jam pertama dan kedua saja yang sesuai dengan standar

sedangkan untuk minyak jam ketiga sampai kedelapan tidak sesuai dengan

standar tetapi secara kseluruhan minyak nilam hasil penyulingan sesuai

dengan standar. Minyak nilam ada pula yang tidak memutar bidang

polarisasi, tetapi seluruh minyak nilam hasil penelitian ini memutar bidang

polarisasi ke arah kiri (levo rotary) dengan tanda negatif (-).

Gambar 2

Gambar

hasil penelitian

sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya

optik aktif ke kiri (

semakin meningkat dengan semakin lamaya waktu pen

tersebut disebabkan karena semakin lama penyulingan maka semakin

banyak kandungan patchouli alkohol dalam minyak sehingga kemampuan

minyak untuk memutar bidang polarisasi ke kiri semakin besar.

5. Bilangan Asam

Sebagian besar minyak atsiri men

bebas yang terbentuk secara alami atau yang dihasilkan dari proses

oksidasi dan hidrolisa ester.

terhadap bilangan asam minyak nilam dapat dilihat pada Gambar 2

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Pu

tara

n O

pti

k

Gambar 22. Grafik perbandingan nilai putaran optik

ambar 22 menunjukkan grafik nilai putaran optik minyak nilam

enelitian setiap jam. Kecenderungan minyak nilam memutar ke

sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya

optik aktif ke kiri (-) yang cukup besar. Nilai putaran otik minyak nilam

semakin meningkat dengan semakin lamaya waktu pen

tersebut disebabkan karena semakin lama penyulingan maka semakin

banyak kandungan patchouli alkohol dalam minyak sehingga kemampuan

minyak untuk memutar bidang polarisasi ke kiri semakin besar.

Bilangan Asam

Sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah asam organik

bebas yang terbentuk secara alami atau yang dihasilkan dari proses

oksidasi dan hidrolisa ester. Grafik hubungan antara lama penyulingan

terhadap bilangan asam minyak nilam dapat dilihat pada Gambar 2

Jam ke-

putaran optik

nilai putaran optik minyak nilam

Kecenderungan minyak nilam memutar ke

sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya

Nilai putaran otik minyak nilam

semakin meningkat dengan semakin lamaya waktu penyulingan. Hal

tersebut disebabkan karena semakin lama penyulingan maka semakin

banyak kandungan patchouli alkohol dalam minyak sehingga kemampuan

minyak untuk memutar bidang polarisasi ke kiri semakin besar.

gandung sejumlah asam organik

bebas yang terbentuk secara alami atau yang dihasilkan dari proses

hubungan antara lama penyulingan

terhadap bilangan asam minyak nilam dapat dilihat pada Gambar 23.

Kohobasi

Non Kohobasi

Gambar 23. Grafik

Nilai maksimal bilangan

8. Nilai bilangan asam minyak nilam yang dihasilkan pada penyulingan

kohobasi maupun non kohobasi pada jam pertama hingga jam kelima

masuk ke dalam standar sedangkan minyak nilam untuk jam ke enam

sampai kedelapan tidak masuk ke dalam standar. Dari

dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan maka semakin tinggi nilai

bilangan asamnya. Dengan semakin lamanya waktu penyulingan dapat

dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak nilam dengan penyulingan

kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan pe

tersebut dapat disebabkan karena pada penyulingan dengan kohobasi

semakin banyak uap yang bersentuhan dengan minyak sehingga

kemungkinan proses hidrolisa akan lebih besar.

Selain itu apabila bahan yang digunakan telah mengalami

pengeringan dan penyimpanan yang terlalu lama, maka dapat

menyebabkan bilangan asamnya semakin tinggi karena diduga selama

bahan dikeringkan dan disimpan terjadi proses oksidasi dan hidrolisis

ester.

6. Bilangan Ester

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Bil

an

ga

n A

sam

Gambar 23. Grafik perbandingan nilai bilangan asam

Nilai maksimal bilangan asam menurut (SNI) 06-2385

Nilai bilangan asam minyak nilam yang dihasilkan pada penyulingan

kohobasi maupun non kohobasi pada jam pertama hingga jam kelima

masuk ke dalam standar sedangkan minyak nilam untuk jam ke enam

sampai kedelapan tidak masuk ke dalam standar. Dari grafik

dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan maka semakin tinggi nilai

bilangan asamnya. Dengan semakin lamanya waktu penyulingan dapat

dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak nilam dengan penyulingan

kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi. Hal

tersebut dapat disebabkan karena pada penyulingan dengan kohobasi

semakin banyak uap yang bersentuhan dengan minyak sehingga

kemungkinan proses hidrolisa akan lebih besar.

Selain itu apabila bahan yang digunakan telah mengalami

pengeringan dan penyimpanan yang terlalu lama, maka dapat

menyebabkan bilangan asamnya semakin tinggi karena diduga selama

bahan dikeringkan dan disimpan terjadi proses oksidasi dan hidrolisis

Bilangan Ester

Jam ke-

bilangan asam

2385-2006 adalah

Nilai bilangan asam minyak nilam yang dihasilkan pada penyulingan

kohobasi maupun non kohobasi pada jam pertama hingga jam kelima

masuk ke dalam standar sedangkan minyak nilam untuk jam ke enam

grafik diatas dapat

dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan maka semakin tinggi nilai

bilangan asamnya. Dengan semakin lamanya waktu penyulingan dapat

dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak nilam dengan penyulingan

nyulingan non kohobasi. Hal

tersebut dapat disebabkan karena pada penyulingan dengan kohobasi

semakin banyak uap yang bersentuhan dengan minyak sehingga

Selain itu apabila bahan yang digunakan telah mengalami proses

pengeringan dan penyimpanan yang terlalu lama, maka dapat

menyebabkan bilangan asamnya semakin tinggi karena diduga selama

bahan dikeringkan dan disimpan terjadi proses oksidasi dan hidrolisis

Kohobasi

Non Kohobasi

Bilangan ester cukup penting peranannya dalam minyak atsiri,

terutama yang berkaitan dengan aroma.

ester yang ditetapkan oleh Standar Nasio

2006 adalah 20.

minyak nilam

Gambar 2

Berdasarkan

memperlihatkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya waktu

penyulingan. Minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan non

kohobasi seluruhnya sesuai dengan standar sedangkan untuk minyak nilam

dengan penyul

melebihi standar.

Lama penyulingan mem

ester terdapat dalam fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Semakin

lama penyulingan dan suhu semakin tinggi unt

berat dan bilangan ester semakin tinggi.

Komponen penentu aroma minyak adalah benzaldehid, sinnamaldehid

dan eugenol yang memilliki titik didih tinggi dan merupakan fraksi berat.

Semakin lama waktu penyulingan komponen tersebut sem

yang tersuling sehingga bilangan ester semakin tinggi.

senyawa ester dalam minyak akan semakin baik aroma minyak tersebut.

0

5

10

15

20

25

Bil

an

ga

n E

ste

r

Bilangan ester cukup penting peranannya dalam minyak atsiri,

terutama yang berkaitan dengan aroma. Besar nilai maksimal

ester yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) 06

2006 adalah 20. Berikut ini adalah grafik hubungan nilai bi

minyak nilam dengan lama penyulingan.

Gambar 24. Grafik perbandingan nilai bilangan ester

Berdasarkan Gambar 24 dapat dilihat bahwa nilai bilangan ester

memperlihatkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya waktu

penyulingan. Minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan non

kohobasi seluruhnya sesuai dengan standar sedangkan untuk minyak nilam

dengan penyulingan kohobasi pada minyak nilam jam kedelapan nilainya

melebihi standar.

Lama penyulingan mempengaruhi besarnya bilangan ester. Kandungan

ester terdapat dalam fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Semakin

lama penyulingan dan suhu semakin tinggi untuk menyuling maka fraksi

berat dan bilangan ester semakin tinggi.

Komponen penentu aroma minyak adalah benzaldehid, sinnamaldehid

dan eugenol yang memilliki titik didih tinggi dan merupakan fraksi berat.

Semakin lama waktu penyulingan komponen tersebut sem

yang tersuling sehingga bilangan ester semakin tinggi. S

senyawa ester dalam minyak akan semakin baik aroma minyak tersebut.

Jam ke-

Bilangan ester cukup penting peranannya dalam minyak atsiri,

maksimal bilangan

nal Indonesia (SNI) 06-2385-

nilai bilangan ester

bilangan ester

dapat dilihat bahwa nilai bilangan ester

memperlihatkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya waktu

penyulingan. Minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan non

kohobasi seluruhnya sesuai dengan standar sedangkan untuk minyak nilam

ingan kohobasi pada minyak nilam jam kedelapan nilainya

pengaruhi besarnya bilangan ester. Kandungan

ester terdapat dalam fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Semakin

uk menyuling maka fraksi

Komponen penentu aroma minyak adalah benzaldehid, sinnamaldehid

dan eugenol yang memilliki titik didih tinggi dan merupakan fraksi berat.

Semakin lama waktu penyulingan komponen tersebut semakin banyak

Semakin banyak

senyawa ester dalam minyak akan semakin baik aroma minyak tersebut.

Kohobasi

Non Kohobasi

7. Kelarutan dalam alkohol 90 %

Minyak atsiri larut dalam alkohol dan jarang sekali larut dalam air,

oleh karena itu nilai kelarutannya diketahui dengan melarutkan dalam

alkohol 90 %. Semakin banyak jumlah alkohol yang ditambahkan maka

semakin sukar minyak tersebut larut dalam alkohol. Minyak yang banyak

mengandung komponen oxygenated hidrocarbon mudah larut dalam

alkohol dibandingkan dengan minyak yang banyak mengandung terpen.

Minyak nilam mudah larut dalam alkohol karena komponen utama

dalam minyak nilam adalah patchouli alkohol yang termasuk golongan

terpen-O. Kelarutan minyak hasil penyulingan dalam alkohol 90 % dapat

dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Kelarutan minyak nilam dalam alkohol 90 %

Jam

ke-

Kelarutan

Penyulingan

Kohobasi

Penyulingan Non

Kohobasi

1 1 : 7 1 : 7

2 1 : 1 1 : 4

3 1 : 1 1 : 1

4 1 : 1 1 : 1

5 1 : 1 1 : 1

6 1 : 1 1 : 1

7 1 : 1 1 : 1

8 1 : 1 1 : 1

9 1 : 1 1 : 1

Guenther (1947), bahwa komponen kimia yang terkandung dalam

minyak atsiri menentukan kelarutan minyak tersebut dalam etanol.

Biasanya minyak dengan kandungan oxygenated hydrocarbon tinggi akan

lebih mudah larut dalam etanol dibandingkan dengan minyak atsiri dengan

kandungan senyawa terpen tinggi. Salah satu komponen yang termasuk

dalam golongan oxygenated hydrocarbon adalah patchouli alkohol dengan

gugus fungsi -COH (alkohol), yang artinya memiliki kepolaran yang

hampir sama dengan pelarut alkohol (etanol).

Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa dengan semakin lamanya

waktu penyulingan akan meningkatkan kelarutan minyak nilam dalam

alkohol. Minyak nilam pada jam pertama sulit larut dengan alkohol

sedangkan pada jam berikutnya lebih mudah larut dalam alkohol. Hal

tersebut dapat disebabkan karena dengan semakin lamanya waktu

penyulingan maka akan meningkatkan kandungan patchouli alkohol dalam

minyak nilam dan senyawa-senyawa oxygenated hydrocarbon lainnya.

E. PENYULINGAN RAKYAT

Alat penyulingan yang digunakan pada penyulingan minyak nilam di

Pakpak Barat, Sumatera Utara pada umumnya masih menggunakan teknologi

yang sederhana. Metode penyulingan yang dilakukan adalah metode

penyulingan uap dan air dengan sistem non kohobasi. Pengisian air dilakukan

secara terus menerus selama proses penyulingan berlangsung dengan

memperhitungkan uap air yang keluar (biasanya dengan aliran yang sangat

kecil). Bahan baku yang digunakan adalah tanaman nilam Aceh (Pogostemon

cablin benth) yang dikeringkan selama 2 hari dengan kadar air 10 % - 14 %.

Sketsa penyulingan rakyat dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25. Sketsa Unit pengolahan Hasil (UPH) Tradisional

Keterangan :

A : Ketel air D : Kondensor

B : Ketel suling E : Separator

C : Pipa penghubung

Peralatan penyulingan yang digunakan adalah tungku, ketel air, ketel

suling, pipa uap, kondensor dan separator. Ketel air ditempatkan dibawah

tanah dan pada bagian atas ketel air terdapat pipa uap untuk mengalirkan uap

ke ketel suling yang berada diatasnya. Luas permukaan pindah panas pada

ketel air sebesar 0,78 m2 dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk

menghasilkan destilat adalah 1 jam. Ketel suling dan ketel air yang digunakan

terbuat dari drum berplat besi dengan diameter 57 cm dan tinggi 87,5 cm.

Ketel yang terbuat dari besi dapat dengan mudah membentuk organologam

pada saat penyulingan, hal itu dikarenakan penyulingan membutuhkan suhu

yang tinggi. Pada suhu yang tinggi, organologam akan mudah sekali

terbentuk. Organologam pada minyak nilam dapat mempengaruhi warna

minyak kasar yang dihasilkan. Minyak nilam yang mengandung organologam

akan berwarna kecokelatan, gelap, sampai hitam pekat, hingga mutu minyak

tersebut akan menurun dan mengakibatkan harga jual minyak tersebut akan

A

D

B

E

C

turun. Kapasitas ketel suling yaitu 30 kg daun dan ranting nilam kering dengan

kepadatan bahan 0,13 kg/liter. Bahan bakar yang digunakan pada penyulingan

rakyat ini adalah kayu bakar sebanyak 2 m3.

Rata-rata laju destilat selama penyulingan berlangsung yaitu 0,9 L/jam/kg

bahan. Grafik laju destilat setiap jam dapat dilihat pada Gambar 26. Grafik

tersebut menunjukkan laju destilat yang tidak stabil. Pada jam kedua laju

destilat mengalami penurunan kemudian naik pada jam ketiga dan turun

kembali hingga akhir penyulingan. Ketidakstabilan laju detilat dapat

disebabkan karena penggunaan kayu bakar selama penyulingan. Penurunan

laju destilat dapat terjadi karena kurangnya pasokan kayu bakar.

Gambar 26. Laju destilat penyulingan rakyat

Pipa uap yang digunakan berbahan dasar alumunium dengan panjang 6

meter sampai 18 meter. Kondensor pada penyulingan rakyat ini menggunakan

pipa kondensor yang berbahan dasar alumunium dengan bak kondensor yang

digunakan berbentuk tebuka pada bagian atasnya dan dinding bak kondensor

terbuat dari papan atau tanah sepanjang 6 meter sampai 10 meter. Tipe

kondensor yang digunakan berupa kondensor dengan pipa yang panjang dan

lurus yang terendam dalam bak kondensor. Air pendingin kondensor dialirkan

secara terus menerus selama penyulingan dengan arah sama dengan aliran uap

minyak dalam pipa.

Tabel 15. Perbandingan suhu rata-rata di kondensor pada penyulingan rakyat

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 2 3 4 5

Laju

L/j

am

/kg

ba

ha

n

Jam ke-

No. Keterangan Suhu (°C)

1. Destilat 35.8

2. Air pendingin masuk 24

3. Air pendingin keluar 44,2

Rata-rata suhu destilat selama penyulingan adalah 35,8 °C sedangkan rata-

rata suhu air pendingin keluar adalah 44,2 °C dan suhu air pendingin masuk

24 °C. Suhu destilat dan suhu air pendingin semakin meningkat dengan

semakin lamanya penyulingan. Grafik perubahan suhu destilat dan suhu air

pendingin selama proses penyulingan disajikan pada Gambar 27. Aliran

searah yang digunakan pada penyulingan rakyat mengakibatkan suhu destilat

menjadi semakin tinggi dan mencapai 39 °C pada akhir penyulingan. Hal

tersebut dapat disebabkan karena pada aliran searah tidak akan dapat membuat

suhu destilat mendekati suhu air pendingin yang masuk dan panas yang

dipindahkan akan kurang dari yang dapat dipindahkan jika alirannya

berlawanan arah.

Gambar 27. Grafik suhu di kondensor pada penyulingan rakyat

Separator yang digunakan berbentuk tabung yang terbuat dari

alumunium. Proses pemisahan minyak terjadi karena adanya perbedaan bobot

jenis kemudian minyak yang berada pada bagian atas dipisahkan secara

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5

Su

hu

Jam ke-

Suhu destilat

Suhu air pendingin

masuk

Suhu air pendingin

keluar

manual dari air dengan menggunakan sendok sayur dan air berlebih dari

separator langsung di buang.

Rendemen minyak nilam yang dihasilkan berkisar antara 2 % - 3,3 %

selama 5 - 6 jam penyulingan. Tingginya rendemen yang dihasilkan karena

bahan baku yang digunakan yaitu 80 % daun dan 20 % ranting muda. Menurut

penelitian Purwaningrat (2008), berdasarkan bagian tanaman nilam, rendemen

paling tinggi dihasilkan oleh bagian pucuk (ruas ke- 1 sampai ruas ke- 5) dan

semakin menurun dari bagian pucuk ke bagian akar tanaman. Daun

mempunyai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tanaman

lainnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Prototipe alat penyulingan pada penelitian ini belum sempurna terutama

pada bagian tungku pembakaran karena udara panas di tungku belum dapat

mengalir dengan baik. Namun demikian, prototipe alat penyulingan memiliki

kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan penyulingan rakyat. Hal tersebut

dapat dilihat pada prototipe alat penyulingan memiliki luas permukaan pindah

panas pada ketel dan kondensor yang lebih besar, kapasitas yang lebih besar

sehingga dapat menghasilkan minyak yang lebih banyak, separator yang dapat

memisahkan minyak lebih baik tanpa menggunakan alat bantu lain seperti

sendok sayur, kondensor yang dapat menghasilkan suhu destilat lebih rendah

dan mutu yang lebih baik karena menggunakan alat penyulingan yang

berbahan stainless steel.

Rendemen yang dihasilkan pada penyulingan kohobasi dan non kohobasi

tidak berbeda jauh yaitu sebesar 2,29 % (db) dan 2,2 % (db). Mutu minyak

nilam yang dihasilkan dengan penyulingan kohobasi dan non kohobasi sesuai

dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 2385 - 2006 . Bertambahnya

waktu penyulingan cenderung meningkatkan nilai bobot jenis, indeks bias,

putaran optik, bilangan ester dan bilangan asam. Seluruh minyak nilam yang

dihasilkan dapat larut dengan baik dalam alkohol 90 % dengan kelarutan 1:1

sampai 1:7.

Penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi memliki efisiensi

energi yang tidak berbeda jauh yaitu sebesar 25 % dan 23 % dikarenakan suhu

air pengisi ketel pada penyulingan kohobasi hanya sedikit lebih tinggi.

Penyulingan kohobasi memiliki kelebihan dibandingkan penyulingan non

kohobasi yaitu dapat menghemat penggunaan air hingga 35 % sehingga

penyulingan kohobasi dapat diterapkan pada daerah yang memiliki

keterbatasan air dan memiliki suhu air rendah. Efisiensi kondensor pada

penyulingan non kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non

kohobasi karena pada penyulingan non kohobasi bukaan kran air pendingin

masuk lebih lama jika dibandingkan dengan penyulingan kohobasi.

B. SARAN

1. Memanfaatkan air pendingin keluar sebagai air pengisi ketel pada

penyulingan non kohobasi sehingga dapat meningkatkan efisiensi ketel

suling

2. Memberikan pintu, meninggikan cerobong dan memperbesar ruang

pembakaran pada tungku sehingga dapat mengurangi kehilangan energi

pada tungku pembakaran dan meningkatkan efisiensi ketel suling

VI. DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1990. Kimia Kayu. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Semangat Ketaren. 1987.

Direktorat Jenderal Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Harris, Ruslan. 1993. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta. Kamil, Sulaiman dan Pawito. 1983. Termodinamika dan Perpindahan Panas.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. Kulshrestha, S. K. 1989. Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas.

Universita Indonesia (UI Press), Jakarta. Lutony, T. L dan Y. Rahmawati. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri.

Penebar Swadaya, Jakarta. Mangun, Muhammad Syarifudin H. 2005. Nilam. Penebar Swadaya, Jakarta. McCabe, Warren L., Julian C. Smith dan Peter Harriot. 1986. Operasi Teknik

Kimia Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Panjaitan, Leonard. 1993. Kajian Tahanan Gesekan Tumpukan Nilam Terhadap

Aliran Udara serta Profil Suhu Tumpukan Pada Penyulingan dengan Metoda Air dan Uap. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.

Perry, Robert H. 1999. Perry’s Chemical Engineer’s Handbook. The McGraw-Hill

Companies, Inc. Purwaningrat, Linda. 2008. Kajian Pengaruh Umur dan Bagian Tanaman Nilam

(Pogostemon cablin benth) yang Disuling Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam yang Dihasilkan. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.

Rusli, S. 1974. Pengaruh Kepadatan dan Lama Penyulingan Terhadap Rendemen

dan Mutu Minyak Nilam. Pemberitaan LPTI 17 : 52 - 60. Rusli, Sofyan. 2003. Nilam, Teknologi Penyulingan dan Penanganan Minyak

Bermutu Tinggi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Rusli, S. dan Hasanah, M. 1977. Cara Penyulingan Daun Nilam Mempengaruhi

Rendemen dan Mutu Minyaknya. Pemberitaan LPTI 24 : 1 – 7. Santoso, H. R. 1990. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewangian. Penerbit

Kanisius, Bandung.

Sastrohamidjojo, H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gajah Mada University Press,

Yogyakarta. Sudaryani, T. dan Sugiharti, E. 1998. Budidaya dan Penyulingan Nilam. Penebar

Swadaya, Jakarta. Sugiharto, Jeanny. 1993. Penyulingan Akar Wangi tanpa Dikeringkan dan Akar

Wangi yang Dikeringkan dengan Penyulingan Tipe Uap dan Air. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor.

Sunanto, Ato. 1992. Uji Performansi Alat Penyulingan Minyak Atsiri dengan

menggunakan Metode uap Langsung Pada Penyulingan Biji Lada dan Daun Sereh Wangi. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor

Tan Hong Sieng. 1962. Minyak Atsiri. Balai Penelitian Kimia PNPR. Penerbit

Kantor dan Penyuluhan Deperinda, Bogor. Widiahtuti, Ivon. 2009. Uji Kinerja dan Efisiensi Energi Prototipe Alat-alat

Penyulingan Minyak Nilam. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor. Yuhono, J.T dan Sintha Suhirman. 2007. Strategi Peningkatan Rendemen dan

Mutu Minyak dalam Agribisnis Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat Aromatik, Bogor.

Zemansky, S. 1994. Fisika untuk Universitas 1 Mekanika, Panas, Bunyi. Bina

Cipta, Jakarta.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakterisasi Minyak Atsiri

1. Kadar Air Kayu Bakar berdasarkan ASTM ( American Society for Testing

and Material ) D2016

Sampel kayu bakar diiris kecil-kecil dan tipis sebanyak 5 gram. Kemudian

dimasukkan ke dalam wadah alumunium foil yang telah ditimbang sebagai

pengganti cawan alumunium. Lalu bobot sampel kayu bakar dan wadah

alumunium foil ditimbang dan dicatat.

Setelah dilakukan penimbangan awal, sampel kayu bakar beserta

wadahnya dimasukkan ke dalam oven selama 5 jam pada suhu 103 °C ± 2 °C.

Lalu didinginkan selama 15 menit di dalam desikator. Kemudian ditimbang

bobot akhir secara keseluruhan. Pemanasan sampel dan wadahnya dilakukan

di dalam oven lagi selama 30 menit dan didinginkan kembali dalam desikator.

Setelah itu bobot sampel dan wadah ditimbang kembali. Prosedur tersebut

dilakukan berulang kali sampai bobot sampel dan wadah konstan.

Perhitungan kadar air kayu bakar ini dapat menggunakan rumus :

Kadar air (% b/b) = m1 - m2 x 100%

m1

Keterangan : m1 = bobot awal sampel + bobot wadah

m2 = bobot akhir sampel + bobot wadah

2. Kadar Air Nilam Kering

Prinsip :

Air dalam jaringan tanaman diekstrak dengan cairan yang saling tidak

melarut sehingga membentuk dua fasa.

Prosedur :

Metode pengukuran kadar air yang digunakan adalah Bidwell-Sterling.

Sebanyak 10 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 500 ml, dan

ditambahkan 200 ml toluen sampai bahan terendam. Lalu labu dipasangkan

pada aufhauser yang dilengkapi dengan pendingin tegak (kondensor) dan

dididihkan selama 1 jam sampai semua air dalam bahan tersuling. Jika jumlah

air tidak bertambah lagi, maka penyulingan dihentikan. Volume air yang

tersuling dapat dibaca pada skala yang terdapat pada aufhauser.

Perhitungan :

( ) ( )( ) %100% ×=grcontohBobot

mlairvolumewbairKadar

3. Rendemen

Prinsip :

Rendemen minyak dihitung berdasarkan perbandingan antara volume

minyak yang dihasilkan dari penyulingan dengan berat bahan yang disuling

dan dinyatakan dalam satuan persen.

Perhitungan :

( ) ( )( ) %100

min%minRe ×=

grbahanbobot

gryakbobotwbyakndemen

4. Kadar Minyak

Prinsip :

Penentuan kadar minyak nilam dalam bahan dilakukan dengan menyuling

nilam kering dengan mnggunakan alat penyulingan air skala laboratorium.

Prosedur :

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 1 liter,

kemudian ditambahkan air sebanyak 3 – 6 kali bobot bahan (sampai seluruh

contoh terendam). Selanjutnya labu dipasangkan pada clavenger yang

dilengkapi dengan pendingin (kondensor).

Penyulingan dilakukan selama 6 jam. Setelah penyulingan selesai,

dibiarkan beberapa saat supaya air dan minyak terpisah, lalu dilakukan

pengukuran volume minyak yang tersuling. Perhitungan kadar minyak adalah

sebagai berikut :

Kadar minyak (% db) = bk

v x 100%

Keterangan :

v = volume minyak atsiri (ml)

Bk = bobot contoh (1 – kadar air (% wb)

5. Penentuan Warna (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan

indera penglihatan (mata) langsung terhadap contoh minyak nilam.

Prosedur :

Pipet 10 ml contoh minyak nilam. Masukkan ke dalam tabung reaksi dan

hindari adanya gelembung udara. Sandarkan tabung reaksi berisi contoh

minyak nilam pada kertas atau karton berwarna putih. Amati warnanya dengna

mata langsung dengan jarak pandang antara mata dan contoh ± 30 cm.

6. Bobot Jenis (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Nilai bobot jenis suatu minyak atsiri dihitung berdasarkan perbandingan

antara berat minyak atsiri dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.

Prosedur :

Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dibilas dengan etanol atau

dietil eter. Bagian dalam piknometer dikeringkan dengan arus udara kering

dan tutupnya disisipkan. Piknometer diletakkan di dalam lemari timbangan

selama 30 menit dan ditimbang (m). Piknometer diisi dengan air suling

terlebih dahulu, lalu dididihkan dan didinginkan sampai suhu 25 ºC, sambil

menghindari adanya gelembung-gelembung. Piknometer dicelupkan ke dalam

penangas air pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC selama 30 menit dan atur permukaan

air suling sampai garis tanda. Piknometer dibiarkan di dalam timbangan

selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya (m1). Setelah itu, piknometer

dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietil eter, lalu dikeringkan dengan

arus udara kering. Piknometer diisi dengan contoh minyak dan hindari adanya

gelembung-gelembung udara. Piknometer dicelupkan kembali ke dalam

penangas air pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC selama 30 menit dan permukaan

minyak diatur sampai garis tanda. Piknometer dikeringkan dan tutupnya

disisipkan. Piknometer dibiarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit

dan ditimbang (m2).

Perhitungannya :

mm

mmdjenisBobot

−−

=1

22525

Keterangan :

m adalah bobot piknometer kosong

m1 adalah bobot piknometer berisi air pada suhu 25 ºC

m2 adalah bobot piknometer berisi minyak atsiri pada suhu 25 ºC

7. Indeks Bias (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Jika sinar monokromatis melewati suatu media (A) ke media lain yang

lebih padat (B), maka akan terjadi perubahan kecepatan dan pembiasan sinar

tersebut mendekati garis normal atau sudut sinar datang (iA) lebih besar dari

sudut sinar bias (iB). Perbandingan sinus sudut sinar datang dengan sinus sudut

sinar bias ini disebut indeks bias.

Prosedur :

Sebelum digunakan, prisma refraktometer dibersihkan terlebih dahulu

dengan menggunakan alkohol. Contoh minyak diteteskan di atas prisma

refraktometer, prisma dirapatkan dan dibiarkan beberapa menit agar suhu

minyak merata. Sebelum ditaruh didalam alat, minyak harus berada pada suhu

yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan. Dengan

mengatur slide maka akan diperoleh batas terang dan gelap yang jelas dan jika

garis ini berhimpit dengan titik potong dua garis yang bersilang, maka indeks

bias telah dapat dibaca pada skala.

Perhitungan :

( )ttnnbiasIndeks tD

tD −+= 10004.01

Keterangan :

1tDn = pembacaan dilakukan pada suhu pengerjaan t1

0.0004 = faktor koreksi untuk indeks bias minyak nilam setiap derajat

8. Putaran Optik (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Metode putaran optik didasarkan pada pengukuran sudut sinar terpolarisasi

yang diputar oleh contoh minyak atsiri sepanjang 10 cm.

Prosedur :

Sumber cahaya dinyalakan dan ditunggu sampai diperoleh kilauan

maksimum sebelum alat digunakan. Ditentukan titik nol pembacaan skala

dengan tabung berisi air suling pada suhu 20 ºC. Tabung polarimeter diisi

dengan cairan contoh yang bersuhu 20 ºC hingga penuh, hindari terbentuknya

gelembung udara dalam tabung. Tabung yang berisi contoh diletakkan ke

dalam alat polarimeter, baca putaran optik pada cakam skala.

Perhitungan :

Perhitungan puaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai

mendekati 0,01 º. Putaran optik dekstro harus diberi tanda positif (+) dan

putaran levo harus diberi tanda negatif (-). Bila tabung yang digunakan

berukuran panjang 200 mm, maka hasil pembacaan adalah separuh dari angka

yang dibaca. Bagian dari satu derajat dinyatakan dengan desimal (30 menit =

0,5 derajat; 30 detik = 0,5 menit).

9. Bilangan Asam (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Jumlah miligram kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk

menetralkan asam – asam bebas yang terdapat dalam satu gram minyak nilam.

Prosedur :

Minyak ditimbang sebanyak 4 ± 0,05 gram dalam erlenmeyer 500 ml

dilarutkan dalam 5 ml etanol netral. Indikator PP ditambahkan sebanyak 5

tetes. Kemudian dititrasi dengan larutan KOH alkohol 0,1 N dalam etanol

sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda.

Perhitungan :

( )gramcontohBobot

KOHNKOHmlasamBilangan

1,56××=

10. Bilangan Ester (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Penyabunan ester-ester dengan larutan alkali dan menitrasi kembali

kelebihan alkali-alkali tersebut.

Prosedur :

a. Pengujian blanko

Labu penyabuanan diisi dengan beberapa potong labu didih. Lalu

ditambahkan 5 ml etanol dan 25 ml larutan KOH 0,5 N dalam alkohol.

Kemudian labu tersebut direfluks di atas penangas air selama satu jam.

Setelah larutan dingin ditambahkan 5 tetes larutan PP kemudian

dinetralkan dengan HCL 0,5 N.

b. Pengujian contoh

Pada kondisi yang sama contoh sebanyak 4 ± 0,05 gram

dimasukkan ke dalam labu lalu ditambahkan 25 ml larutan KOH 0,5 N

dalam alkohol dan beberapa batu didih. Kemudian dipanaskan di atas

penangas air selama satu jam. Lalu larutan dibiarkan menjadi dingin.

Larutan indikator PP dalam etanol ditambahkan sebanyak 5 tetes dan

netralkan dengan HCL 0,5 N.

Perhitungan :

( )( )gramcontohBobot

HCLNabesterBilangan

1,56××−=

11. Kelarutan dalam Etanol 90 % (SNI 06-2385-2006)

Prinsip :

Kelarutan menunjukkan kemampuan dua atau lebih senyawa untuk saling

melarutkan satusama lain tanpa adanya reaksi kimia yang membentuk suatu

larutan. Suatu senyawa akan larut dalam suatu pelarut pada perbandingan

tertentu jika polaritasnya sama atau mendekati polaritas pelarut.

Prosedur :

Sebanyak 1 ml contoh minyak dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 ml.

Kemudian ditambahkan etanol 90 % setetes demi setetes dari buret hingga

rata. Setiap penambahan 0,5 etanol 90 % dari buret dikocok hingga rata

sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkinpada suhu 20oC. Setiap

penambahan etanol 90 % diamati sifat kelarutannya apakah larut jernih atau

keruh. Batas jumlah penambahan etanol sampai 10 ml.

Cara menyatakan hasil :

Kelarutan dalam x % (v/v) etanol = 1 volume dalam y volume, menjadi

keruh dalam z volume.

Lampiran 2. Kehilangan Energi

A. Dinding Ketel

1. Penyulingan 1 Kohobasi

Kehilangan energi konveksi

a. Data pada menit ke - 0

Suhu dinding luar ketel (tok) 59,17 °C

Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C

b. Mencari nilai h

Tf = ((tok + tu)/2)+273 316,58 K

β = (1/Tf) 0,003159 K

Lk 1,22 m

Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001864 J/kg K

µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001863 kg/m s

k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02755 J/m2sK

ρ 1,1160 kg/m3

Menghitung NGr = ((Lk3)(gβρ2/µ2)(∆T) 6283796501

Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71

Menghitung NNu = (0,54(NGrNPr)0,25) 152,33

Menghitung nilai h = (NNu k/Lk) 3,44 J/m2sK

c. Menghitung nilai Q konveksi

Ak 2,91 m2

Q = (h Ak (Tok-Tu) × 1800 561,83 KJ

Kehilangan energi radiasi

a. Data

Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4

ε (dari tabel emisivitas) 0,14

b. Menghitung Q radiasi

Q = (σ ε Ak (tok4 - tu

4) × 1800 163,65 KJ

Kehilangan energi keseluruhan

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 59,17 561,83 163,65

30 60,33 587,98 173,59 60 60,67 595,49 176,49 90 62,17 629,50 189,85

120 64,17 675,39 208,50 150 63,50 660,03 202,18 180 65,00 694,67 216,55 210 67,67 757,05 243,47 240 64,83 690,81 214,93 270 65,67 710,18 223,12 300 67,00 741,36 236,57 330 67,33 749,20 240,01 360 66,50 729,64 231,48 390 67,33 749,20 240,01 420 68,50 776,74 252,24 450 68,17 768,85 248,71 480 64,67 686,95 213,31

Total Kehilangan Panas (KJ) 11764,87 3674,64 Total Kehilangan Panas (MJ) 11,76 3,67

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang

lain :

2. Penyulingan 2 Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 49,50 354,53 92,78054

30 50,50 375,12 99,19373 60 57,17 517,53 147,3162 90 57,00 513,87 145,9959

120 56,33 499,27 140,7762 150 55,50 481,14 134,3891 180 59,33 565,55 165,0469 210 59,83 576,75 169,2897 240 59,17 561,83 163,6453 270 57,17 517,53 147,3162 300 58,17 539,59 155,3683 330 57,33 521,19 148,6427 360 56,00 492,00 138,2031 390 58,00 535,90 154,0107 420 56,50 502,91 142,0719 450 56,50 502,91 142,0719 480 56,67 506,56 143,3738

Total Kehilangan Panas (KJ) 8564,18 2429,492 Total Kehilangan Panas (MJ) 8,564 2,43

3. Penyulingan 3 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 60,17 584,23 172,15

30 61,33 610,56 182,36 60 61,17 606,79 180,89 90 63,17 652,37 199,06

120 63,50 660,03 202,18 150 64,17 675,39 208,50 180 66,17 721,84 228,11 210 67,00 741,36 236,57 240 65,67 710,18 223,12 270 66,00 717,95 226,44 300 64,83 690,81 214,93 330 64,17 675,39 208,50 360 64,50 683,09 211,70 390 64,00 671,54 206,91 420 64,33 679,24 210,10 450 64,83 690,81 214,93 480 64,67 686,95 213,31

Total Kehilangan Panas (KJ) 11458,52 3539,75 Total Kehilangan Panas (MJ) 11,46 35,4

4. Penyulingan 4 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 59,67 573,01 167,87

30 61,33 610,56 182,36 60 61,33 610,56 182,36 90 63,67 663,86 203,75

120 64,00 671,54 206,91 150 64,67 686,95 213,31 180 63,33 656,20 200,61 210 64,17 675,39 208,50 240 65,33 702,42 219,82 270 64,00 671,54 206,91 300 64,50 683,09 211,70 330 64,50 683,09 211,70 360 63,83 667,70 205,33 390 63,83 667,70 205,33 420 63,17 652,37 199,06 450 63,50 660,03 202,18 480 62,50 637,11 192,89

Total Kehilangan Panas (KJ) 11173,11 3420,59 Total Kehilangan Panas (MJ) 11,73 3,42

B. Tutup Ketel

1. Penyulingan 1 Kohobasi

Kehilangan energi konveksi

a. Data pada menit ke - 0

Suhu dinding luar ketel (tot) 50,67 °C

Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C

b. Mencari nilai h

Tf = ((tok + tu)/2)+273 312,33 K

β = (1/Tf) 0,003202 K

D 0,82 m

Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001847 J/kg K

µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001848 kg/m s

k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02723 J/m2sK

ρ 1,0706 kg/m3

Menghitung NGr = ((D3)(gβρ2/µ2)(∆T) 1470073164

Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71

Menghitung NNu = (0,59(NGrNPr)0,25) 97,03

Menghitung nilai h = (NNu k/D) 3,22 J/m2sK

c. Menghitung nilai Q konveksi

At 0,54 m2

Q = (h At (Tot-Tu) × 1800 70,83 KJ

Kehilangan energi radiasi

a. Data

Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4

ε (dari tabel emisivitas) 0,12

b. Menghitung Q radiasi

Q = (σ ε At (tot4 - tu

4) × 1800 163,65 KJ

Kehilangan energi keseluruhan

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 50,67 70,83 18,56

30 53,33 81,31 21,93 60 56,67 94,78 26,54 90 57,00 96,15 27,02

120 63,67 124,21 37,71 150 61,00 112,83 33,21 180 61,33 114,24 33,76 210 61,33 114,24 33,76 240 61,00 112,83 33,21 270 61,00 112,83 33,21 300 59,33 105,82 30,55 330 60,00 108,61 31,60 360 58,00 100,27 28,51 390 57,67 98,89 28,01 420 61,00 112,83 33,21 450 60,33 110,01 32,13 480 57,00 96,15 27,02

Total Kehilangan Panas (KJ) 1766,83 509,94 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,77 0,51

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang

lain :

2. Penyulingan 2 Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 48,33 61,89 15,84

30 51,67 74,73 19,79 60 59,33 105,82 30,55 90 53,00 79,99 21,50

120 56,67 94,78 26,54 150 57,67 98,89 28,01 180 60,33 110,01 32,13 210 58,00 100,27 28,51 240 56,33 93,42 26,06 270 58,67 103,04 29,52 300 57,00 96,15 27,02 330 57,67 98,89 28,01 360 58,00 100,27 28,51 390 57,00 96,15 27,02 420 59,00 104,43 30,03 450 57,00 96,15 27,02 480 55,67 90,70 25,11

Total Kehilangan Panas (KJ) 1605,57 451,17 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,6 0,45

3. Penyulingan 3 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 45,33 50,76 12,63

30 52,33 77,35 20,64 60 52,33 77,35 20,64 90 52,33 77,35 20,64

120 56,33 93,42 26,06 150 60,00 108,61 31,60 180 59,33 105,82 30,55 210 62,00 117,07 34,86 240 61,67 115,65 34,31 270 60,67 111,42 32,67 300 62,67 119,92 35,99 330 61,00 112,83 33,21 360 60,67 111,42 32,67 390 58,67 103,04 29,52 420 60,00 108,61 31,60 450 59,33 105,82 30,55 480 58,67 103,04 29,52

Total Kehilangan Panas (KJ) 1699,48 487,63 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,7 0,49

4. Penyulingan 4 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 50,33 69,54 18,16

30 54,33 85,31 23,27 60 56,00 92,06 25,58 90 57,00 96,15 27,02

120 57,67 98,89 28,01 150 58,00 100,27 28,51 180 59,33 105,82 30,55 210 60,00 108,61 31,60 240 59,33 105,82 30,55 270 59,33 105,82 30,55 300 62,33 118,49 35,42 330 60,33 110,01 32,13 360 61,00 112,83 33,21 390 57,33 97,52 27,51 420 59,67 107,21 31,07 450 60,33 110,01 32,13 480 59,00 104,43 30,03

Total Kehilangan Panas (KJ) 1728,79 495,31 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,73 0,49

C. Pipa Horizontal

1. Penyulingan 1 Kohobasi

Kehilangan energi konveksi

a. Data pada menit ke - 0

Suhu dinding luar ketel (tok) 50 °C

Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C

b. Mencari nilai h

Tf = ((tok + tu)/2)+273 312 K

β = (1/Tf) 0,003205 K

Dop 0,06 m

Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001846 J/kg K

µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001846 kg/m s

k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,0272 J/m2sK

ρ 1,1324 kg/m3

Menghitung NGr = ((Dop3)(gβρ2/µ2)(∆T) 562361,47

Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71

Menghitung NNu = (0,53(NGrNPr)0,25) 13,32

Menghitung nilai h = (NNu k/Dop) 6,03 J/m2sK

c. Menghitung nilai Q konveksi

Ap 0,25 m2

Q = (h Ap (Top-Tu) × 1800 59,01 KJ

Kehilangan energi radiasi

a. Data

Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4

ε (dari tabel emisivitas) 0,12

b. Menghitung Q radiasi

Q = (σ ε Ap (top4 - tu

4) × 1800 8,14 KJ

Kehilangan energi keseluruhan

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 50,00 59,01 8,138865

30 51,33 63,48 8,879553 60 54,33 73,76 10,66119 90 55,67 78,42 11,50536

120 56,67 81,94 12,16007 150 57,33 84,31 12,60695 180 59,67 92,69 14,2376 210 59,00 90,28 13,76103 240 58,67 89,08 13,52597 270 59,33 91,49 13,99824 300 59,00 90,28 13,76103 330 58,33 87,89 13,29303 360 56,67 81,94 12,16007 390 58,67 89,08 13,52597 420 56,00 79,59 11,72152 450 56,33 80,77 11,93976 480 57,67 85,50 12,83353

Total Kehilangan Panas (KJ) 1399,53 208,7097 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,4 0,21

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang

lain :

2. Penyulingan 2 Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 49,00 55,70 7,60

30 55,33 77,25 11,29 60 53,33 70,30 10,05 90 56,33 80,77 11,94

120 55,33 77,25 11,29 150 57,00 83,13 12,38 180 59,00 90,28 13,76 210 52,33 66,88 9,46 240 52,00 65,74 9,26 270 58,33 87,89 13,29 300 55,00 76,08 11,08 330 56,33 80,77 11,94 360 57,00 83,13 12,38 390 55,33 77,25 11,29 420 58,00 86,69 13,06 450 54,67 74,92 10,87 480 50,33 60,12 8,32

Total Kehilangan Panas (KJ) 1294,13 189,27 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,3 0,19

3. Penyulingan 3 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52,67 68,03 9,65

30 53,67 71,47 10,25 60 52,33 66,85 9,46 90 55,67 78,47 11,51

120 57,00 83,22 12,38 150 56,67 82,00 12,16 180 56,33 80,74 11,94 210 55,67 78,39 11,51 240 57,33 84,34 12,61 270 58,00 86,75 13,06 300 57,33 84,35 12,61 330 58,67 89,18 13,53 360 59,00 90,38 13,76 390 59,33 91,60 14,00 420 55,33 77,19 11,29 450 54,67 74,85 10,87 480 54,33 73,72 10,66

Total Kehilangan Panas (KJ) 1361,54 201,23 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,37 0,2

4. Penyulingan 4 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52,33 66,88 9,46

30 53,33 70,30 10,05 60 53,33 70,30 10,05 90 54,00 72,60 10,46

120 55,00 76,08 11,08 150 54,33 73,76 10,66 180 55,33 77,25 11,29 210 54,67 74,92 10,87 240 55,00 76,08 11,08 270 54,67 74,92 10,87 300 57,00 83,13 12,38 330 54,67 74,92 10,87 360 57,00 83,13 12,38 390 56,00 79,59 11,72 420 53,67 71,45 10,25 450 56,00 79,59 11,72 480 55,67 78,42 11,51

Total Kehilangan Panas (KJ) 1283,31 186,69 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,28 0,19

D. Pipa Vertikal

1. Penyulingan 1 Kohobasi

Kehilangan energi konveksi

a. Data pada menit ke - 0

Suhu dinding luar ketel (top) 52 °C

Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C

b. Mencari nilai h

Tf = ((top + tu)/2)+273 313 K

β = (1/Tf) 0,003195 K

Lop 0,84 m

Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001850 J/kg K

µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001850 kg/m s

k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02728 J/m2sK

ρ 1,1288 kg/m3

Menghitung NGr = ((Lop3)(gβρ2/µ2)(∆T) 1658090534

Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71

Menghitung NNu = (0,53(NGrNPr)0,25) 109,24

Menghitung nilai h = (NNu k/Lop) 3,55 J/m2sK

c. Menghitung nilai Q konveksi

Ap 0,16 m2

Q = (h Ap (Top-Tu) × 1800 24,26 KJ

Kehilangan energi radiasi

a. Data

Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4

ε (dari tabel emisivitas) 0,12

b. Menghitung Q radiasi

Q = (σ ε Ap (top4 - tu

4) × 1800 5,94 KJ

Kehilangan energi keseluruhan

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52 24,26 5,94

30 54,8 27,82 7,02 60 51 23,01 5,57 90 55,4 28,60 7,27

120 56,2 29,63 7,60 150 57 30,68 7,94 180 54 26,80 6,70 210 52 24,26 5,94 240 54,8 27,82 7,02 270 55,6 28,85 7,35 300 56,6 30,16 7,77 330 55 28,08 7,10 360 54,2 27,05 6,78 390 54,8 27,82 7,02 420 54,2 27,05 6,78 450 54,6 27,56 6,94 480 53 25,52 6,32

Total Kehilangan Panas (KJ) 464,99 117,08 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,46 0,12

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang

lain :

2. Penyulingan 2 Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 46,8 17,92 4,16

30 48,4 19,83 4,67 60 47,4 18,63 4,35 90 50,4 22,27 5,36

120 52,6 25,02 6,16 150 53,4 26,03 6,47 180 53,6 26,29 6,55 210 53,6 26,29 6,55 240 53 25,52 6,32 270 54,4 27,31 6,86 300 53,4 26,03 6,47 330 54 26,80 6,70 360 54 26,80 6,70 390 52,6 25,02 6,16 420 53,2 25,78 6,39 450 53 25,52 6,32 480 52,6 25,02 6,16

Total Kehilangan Panas (KJ) 416,06 102,36 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,42 0,10

3. Penyulingan 3 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52 24,26 5,94

30 53 25,52 6,32 60 53,2 25,78 6,39 90 53,8 26,54 6,63

120 54,2 27,05 6,78 150 55 28,08 7,10 180 57 30,68 7,94 210 56,6 30,16 7,77 240 56,4 29,89 7,68 270 56,2 29,63 7,60 300 56,2 29,63 7,60 330 55,8 29,11 7,43 360 56,2 29,63 7,60 390 56 29,37 7,52 420 57,4 31,20 8,11 450 57 30,68 7,94 480 55,8 29,11 7,43

Total Kehilangan Panas (KJ) 486,35 123,79 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,49 0,12

4. Penyulingan 4 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 49,4 21,04 5,01

30 50,2 22,03 5,29 60 52,2 24,51 6,01 90 53,2 25,78 6,39

120 52,8 25,27 6,24 150 51,8 24,01 5,86 180 54 26,80 6,70 210 54 26,80 6,70 240 53,4 26,03 6,47 270 53,4 26,03 6,47 300 54,2 27,05 6,78 330 54,8 27,82 7,02 360 54 26,80 6,70 390 54,4 27,31 6,86 420 56,2 29,63 7,60 450 53,2 25,78 6,39 480 54 26,80 6,70

Total Kehilangan Panas (KJ) 439,48 109,23 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,44 0,11

E. Tungku Pembakaran

1. Penyulingan 1 Kohobasi

Kehilangan energi konveksi

a. Data pada menit ke - 0

Suhu dinding luar ketel (tod) 56,33 °C

Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C

b. Mencari nilai h

Tf = ((tod + tu)/2)+273 315,17 K

β = (1/Tf) 0,003173 K

Ld 0,88 m

Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001859 J/kg K

µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001858 kg/m s

k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02744 J/m2sK

ρ 1,1210 kg/m3

Menghitung NGr = ((Ld3)(gβρ2/µ2)(∆T) 2185329664

Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71

Menghitung NNu = (0,54(NGrNPr)0,25) 107,02

Menghitung nilai h = (NNu k/Ld) 3,34 J/m2sK

c. Menghitung nilai Q konveksi

Ad 2,38 m2

Q = (h Ak (Tod-Tu) × 1800 405,72 KJ

Kehilangan energi radiasi

a. Data

Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4

ε (dari tabel emisivitas) 0,90

b. Menghitung Q radiasi

Q = (σ ε Ad (tod4 - tu

4) × 1800 778,39 KJ

Kehilangan energi keseluruhan

Waktu Suhu rata-rata QKonveksi Q Radiasi 0 56,33 405,72 778,40

30 63,50 536,35 1010,02 60 74,17 741,88 1383,25 90 75,50 768,38 1432,40

120 77,83 815,14 1519,76 150 78,67 831,96 1551,39 180 88,33 1031,23 1935,05 210 83,67 934,10 1745,94 240 84,67 954,77 1785,84 270 86,67 996,35 1866,66 300 83,50 930,66 1739,32 330 83,67 934,10 1745,94 360 84,83 958,22 1792,52 390 84,83 958,22 1792,52 420 84,00 940,98 1759,20 450 82,00 899,82 1680,17 480 82,33 906,66 1693,25

Total Kehilangan Panas (KJ) 14544,53 27211,62082 Total Kehilangan Panas (MJ) 14,54 27,21

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang

lain :

2. Penyulingan 2 Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52,00 321,88 645,49

30 66,00 571,64 1094,38 60 67,83 602,04 1157,44 90 75,50 747,75 1432,40

120 80,00 837,27 1602,47 150 80,67 848,66 1628,22 180 83,33 902,59 1732,71 210 83,83 910,45 1752,56 240 86,67 972,67 1866,66 270 82,50 887,74 1699,80 300 81,17 860,80 1647,63 330 80,83 852,57 1634,68 360 82,67 891,43 1706,37 390 80,83 854,43 1634,68 420 80,33 844,41 1615,33 450 80,17 841,43 1608,89 480 79,67 901,40 1589,64

Total Kehilangan Panas (KJ) 13649,16 26049,35 Total Kehilangan Panas (MJ) 13,65 26,05

3. Penyulingan 3 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 63,17 579,57 998,9105

30 66,83 655,16 1122,916 60 72,33 771,54 1316,6 90 74,50 818,30 1395,486

120 74,00 807,46 1377,15 150 77,50 883,83 1507,175 180 81,17 965,10 1647,634 210 83,17 1009,95 1726,11 240 83,50 1017,46 1739,318 270 82,33 991,22 1693,25 300 81,67 976,28 1667,129 330 82,67 998,70 1706,366 360 82,00 983,74 1680,171 390 82,83 1002,45 1712,938 420 80,67 953,94 1628,221 450 81,00 961,38 1641,154 480 79,50 928,00 1583,245

Total Kehilangan Panas (KJ) 15304,08 26143,77 Total Kehilangan Panas (MJ) 15,30 26,14

4. Penyulingan 4 Non Kohobasi

Waktu Suhu rata-rata QKonveksi Q Radiasi 0 56,50 446,79 783,6135

30 65,17 620,59 1066,049 60 64,33 603,44 1037,93 90 69,50 711,16 1215,658

120 71,83 760,82 1298,605 150 75,00 829,16 1413,901 180 73,50 796,66 1358,893 210 75,50 840,04 1432,396 240 80,00 939,10 1602,466 270 79,17 920,61 1570,476 300 78,33 902,19 1538,713 330 81,17 965,10 1647,634 360 80,83 957,66 1634,683 390 80,33 946,52 1615,326 420 80,17 942,81 1608,891 450 80,50 950,23 1621,769 480 80,83 957,66 1634,683

Total Kehilangan Panas (KJ) 14090,53 24081,68643 Total Kehilangan Panas (MJ) 14,09 24,08

Lampiran 3. Efisiensi Ketel Suling

A. Penyulingan 1 Kohobasi

1. Data pada menit ke – 0

Suhu air awal 24 °C

Titik didih air 100 °C

Jumlah air ketel awal 134,66 kg

Panas jenis air pada suhu 24 °C 4,18

KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22

KJ/kg°C

Panas jenis air rata-rata 4,2

KJ/kg°C

Panas laten penguapan 2256 KJ/kg

2. Menghitung energi bahan bakar

Bobot kayu basah 173,2 kg

Kadar air kayu 18,45 %

Bobot kayu kering

= (173,2 – ((18,45/100)×173,2) 141,24 kg

Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg

Energi bahan bakar

Qb = (141,24 × 18000) 2542402,8 KJ

3. Menghitung energi penguapan air

Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 38,25 kg

Energi penguapan air

Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-24)) + (38,25 × 2256) 129275 KJ

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

4. Efisiensi ketel suling

= (716262,9/2542402,8) × 100 % 28,17 %

B. Penyulingan 2 Kohobasi

1. Data pada menit ke – 0

Suhu air awal 23 °C

Titik didih air 100 °C

Jumlah air ketel awal 134,66 kg

Panas jenis air pada suhu 23 °C 4,18

KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22

KJ/kg°C

Panas jenis air rata-rata 4,2

KJ/kg°C

Panas laten penguapan 2256 KJ/kg

Menit Ke- Q 0 129275 30 74040,65 60 48633,23 90 53643,6 120 41136,96 150 46293 180 43502,89 210 38007,05 240 45784,2 270 38188,13 300 31042,33 330 26128,73 360 23140,51 390 18944,59 420 21867,89 450 21197,51 480 15436,65

Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 716262,9

2. Menghitung energi bahan bakar

Bobot kayu basah 200,2 kg

Kadar air kayu 27,37 %

Bobot kayu kering

= (200,2 – ((27,37/100)×200,2) 145,4 kg

Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg

Energi bahan bakar

Qb = (145,4 × 18000) 2617294,68 KJ

3. Menghitung energi penguapan air

Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 17,78 kg

Energi penguapan air

Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-23)) + (17,78 × 2256) 83655,19 KJ

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

4. Efisiensi ketel suling

= (573045,3/2617294,68) × 100 % 21,9 %

Menit Ke- Q 0 83655,19 30 49219,77 60 57161,32 90 25900 120 19828,19 150 43829,97 180 41592,15 210 44654,74 240 30390,29 270 20266,47 300 34970,75 330 20605,47 360 19646,64 390 16054,16 420 20536,05 450 14553,62 480 30419,44

Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 573045,3

C. Penyulingan 3 Kohobasi

1. Data pada menit ke – 0

Suhu air awal 25 °C

Titik didih air 100 °C

Jumlah air ketel awal 134,66 kg

Panas jenis air pada suhu 25 °C 4,18

KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22

KJ/kg°C

Panas jenis air rata-rata 4,2

KJ/kg°C

Panas laten penguapan 2256 KJ/kg

2. Menghitung energi bahan bakar

Bobot kayu basah 167 kg

Kadar air kayu 14,55 %

Bobot kayu kering

= (167– ((14,55/100)×167) 142,7 kg

Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg

Energi bahan bakar

Qb = (142,7× 18000) 2568627 KJ

3. Menghitung energi penguapan air

Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 21,41 kg

Energi penguapan air

Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-25)) + (21,41× 2256) 90713,32 KJ

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

Menit Ke- Q 0 90713,32 30 64173,72 60 47595,71 90 33255,07 120 30566,68 150 24150,15 180 44396,33 210 29034,96 240 29430,92 270 26707,34 300 25733,08 330 23586,64 360 24066,19 390 28695,36 420 25501,77 450 32082,72 480 20923,98

Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 600613,9

4. Efisiensi ketel suling

= (600613,9/2568627) × 100 % 23,38 %

D. Penyulingan 4 Non Kohobasi

1. Data pada menit ke – 0

Suhu air awal 25 °C

Titik didih air 100 °C

Jumlah air ketel awal 134,66 kg

Panas jenis air pada suhu 25 °C 4,18

KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22

KJ/kg°C

Panas jenis air rata-rata 4,2

KJ/kg°C

Panas laten penguapan 2256 KJ/kg

2. Menghitung energi bahan bakar

Bobot kayu basah 149,3 kg

Kadar air kayu 10,45 %

Bobot kayu kering

= (149,3 – ((10,45/100)×149,3) 133,7 kg

Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg

Energi bahan bakar

Qb = (133,7 × 18000) 2406566,7 KJ

3. Menghitung energi penguapan air

Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 16,33 kg

Energi penguapan air

Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-25)) + (16,33 × 2256) 79252,09 KJ

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

4. Efisiensi ketel suling

= (544302,1/2406566,7) × 100 % 22,62 %

Menit Ke- Q 0 79252,09 30 48072,95 60 25552,29 90 40774,93 120 24744,81 150 25744,03 180 16703,05 210 17248,57 240 37004,54 270 35252,54 300 32205,35 330 28601,15 360 21672,5 390 23432,13 420 31149,23 450 33547,3 480 23344,59

Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 544302,1

Lampiran 4. Efisiensi Kondensor

A. Penyulingan 1 Kohobasi

1. Data

Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40 Btu/feet2 °C

817646,8 J/m2°C

Luas permukaan pindah panas 1,62 m2

Suhu destilat menit ke – 0 (td) 28 °C

Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 24 °C

Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 52 °C

2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)

= ((100-24)-(100-52))/ln((100-24)/(100-52)) 60,93 °C

3. Menghitung energi yang diserap air pendingin

Q = (817646,8 × 1,62 × 60,93) 40459,97 KJ

4. Menghitung efisiensi kondensor

Quap 713793,01 KJ

Efisiensi kondensor

= (513367,72/ 714072,57) × 100 % 71,89 %

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

B. Penyulingan 2 Kohobasi

1. Data

Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40

Btu/feet2 °C

817646,8 J/m2

°C

Luas permukaan pindah panas 1,62 m2

Suhu destilat menit ke – 0 (td) 27 °C

Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 23 °C

Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 66 °C

2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)

= ((100-23)-(100-66))/ln((100-23)/(100-66)) 52,6 °C

3. Menghitung energi yang diserap air pendingin

Waktu T Destilat T air masuk T air keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 28 24 52 60,93 40459965,85

30 31 25 72 47,70 31675257,46 60 35 26 80 41,27 27406846,99 90 32 26 80 41,27 27406846,99

120 30 27 74 45,53 30230756,76 150 32 27 81 40,12 26639474,22 180 36 27 80 40,94 27181984,46 210 35 28 80 40,60 26956294,59 240 31 28 64 51,94 34487410,86 270 30 28 56 56,86 37753401,26 300 32 29 74 44,79 29744734,30 330 33 29 76 43,33 28774075,55 360 32 29 79 41,05 27255247,72 390 32 29 78 41,82 27770672,45 420 34 29 72 46,21 30686483,71 450 32 28 78 42,17 28003137,71 480 32 28 72 46,59 30935128,09

513367718,9 513367,72

Q = (817646,8 × 1,62 × 52,6) 34929,6 KJ

4. Menghitung efisiensi kondensor

Quap 571043,43 KJ

Efisiensi kondensor

= (492056,15/ 571282,4) × 100 % 86,13 %

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

C. Penyulingan 3 Non Kohobasi

1. Data

Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40

Btu/feet2 °C

817646,8 J/m2

°C

Luas permukaan pindah panas 1,62 m2

Suhu destilat menit ke – 0 (td) 28 °C

Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 26 °C

Waktu T Destilat T air masuk T air keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 27 23 66 52,60 34929592,54

30 32 24 86 36,65 24336496,10 60 32 25 90 32,26 21421148,89 90 30 26 82 39,61 26303671,23

120 30 26 78 42,87 28465445,70 150 34 27 80 40,94 27181984,46 180 32 27 79 41,74 27713463,84 210 34 28 78 42,17 28003137,71 240 31 28 78 42,17 28003137,71 270 29 28 73 45,88 30465103,29 300 32 29 77 42,58 28276739,64 330 32 29 75 44,07 29263239,68 360 30 29 75 44,07 29263239,68 390 30 29 66 50,25 33367145,89 420 30 29 68 48,94 32495286,25 450 29 28 60 54,44 36150457,72 480 32 28 81 39,78 26416856,92

492056147,2 J 492056,15 KJ

Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 67 °C

2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)

= ((100-26)-(100-67))/ln((100-26)/(100-67)) 50,77 °C

3. Menghitung energi yang diserap air pendingin

Q = (817646,8 × 1,62 × 50,77) 33712,73 KJ

4. Menghitung efisiensi kondensor

Quap 598229,13 KJ

Efisiensi kondensor

= (594184,05/ 598453) × 100 % 99,29 %

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

Waktu T Destilat T air masuk T air keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 28 26 67 50,77 33712731,05

30 38 27 79 41,74 27713463,84 60 30 28 66 50,65 33630162,29 90 30 28 68 49,33 32753676,81

120 30 28 66 50,65 33630162,29 150 30 28 63 52,57 34909336,17 180 30 28 63 52,57 34909336,17 210 32 29 63 52,17 34639646,87 240 32 29 72 46,21 30686483,71 270 30 29 48 61,01 40510548,03 300 31 29 57 55,83 37075598,63 330 30 29 56 56,43 37469183,45 360 29 28 54 58,03 38534960,63 390 30 28 68 49,33 32753676,81 420 30 28 60 54,44 36150457,72 450 30 28 55 57,45 38145745,23 480 28 28 58 55,66 36958884,96

594184054,6 J 594184,05 KJ

D. Penyulingan 4 Non Kohobasi

1. Data

Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40

Btu/feet2 °C

817646,8 J/m2

°C

Luas permukaan pindah panas 1,62 m2

Suhu destilat menit ke – 0 (td) 28 °C

Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 26 °C

Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 44 °C

2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)

= ((100-26)-(100-44))/ln((100-26)/(100-44)) 64,58 °C

3. Menghitung energi yang diserap air pendingin

Q = (817646,8 × 1,62 × 64,58) 42884,29 KJ

4. Menghitung efisiensi kondensor

Quap 542075,16 KJ

Efisiensi kondensor

= (537902,72/ 542283,36) × 100 % 99,19 %

Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan

keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :

Waktu T Destilat T air Masuk T air Keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 28 26 44 64,58 42884287,92

30 30 27 66 51,04 33892107,43 60 28 27 69 49,04 32562635,82 90 30 28 74 45,16 29988219,48

120 29 28 74 45,16 29988219,48 150 30 28 73 45,88 30465103,29 180 30 28 67 49,99 33194435,05 210 30 29 73 45,51 30219012,30 240 33 29 76 43,33 28774075,55 270 31 29 74 44,79 29744734,30 300 32 29 71 46,91 31147521,14 330 32 29 73 45,51 30219012,30 360 30 29 71 46,91 31147521,14 390 30 29 72 46,21 30686483,71 420 30 29 70 47,59 31602464,38 450 31 28 71 47,29 31398669,53 480 30 28 74 45,16 29988219,48

537902722,31 J 537902,72 KJ

Lampiran 5. Data Kadar Air dan Kadar Minyak

1. Kadar Air Nilam Kering No. Keterangan Kadar air

1. Penyulingan 1 Kohobasi 8,48 %

2. Penyulingan 2 Kohobasi 10 %

3. Penyulingan 3 Non Kohobasi 10 %

4. Penyulingan 4 Non Kohobasi 10 %

2. Kadar Minyak Nilam Kering No. Keterangan Kadar Minyak

(wb)

Kadar minyak

(db)

1. Penyulingan 1 Kohobasi 2,47 % 2,7 %

2. Penyulingan 2 Kohobasi 2,58 % 2,87 %

3. Penyulingan 3 Non

Kohobasi

2,14 % 2,38 %

4. Penyulingan 4 Non

Kohobasi

2,56 % 2,84 %

Lampiran 6. Data Suhu Destilat, Suhu Air Pendingin, Laju Destilat dan Laju Air

Pendingin

a. Penyulingan 1 Kohobasi

Waktu Suhu Destilat

(oC)

Laju destilat

(Liter/jam)

Suhu Air Pendingin

Masuk (oC)

Suhu Air Pendingin

Keluar (oC)

Laju Air Pendingin (Liter/jam)

0 28 76,5 24 52 30 31 55,38 25 72 60 35 36 26 80 90 32 43,2 26 80 105,6 120 30 31 27 74 150 150 32 37 27 81 180 36 33,88 27 80 156,86 210 35 29,66 28 80 240 31 37 28 64 520,43 270 30 29,10 28 56 524,25 300 32 23,73 29 74 517,17 330 33 20,16 29 76 360 32 18 29 79 390 32 14,52 29 78 420 34 17,55 29 72 450 32 16,63 28 78 329,05 480 32 11,58 28 72

b. Penyulingan 2 Kohobasi

Waktu Suhu Destilat

(oC)

Laju destilat

(Liter/jam)

Suhu Air Pendingin

Masuk (oC)

Suhu Air Pendingin

Keluar (oC)

Laju Air Pendingin (Liter/jam)

0 27 35,56 23 66 30 32 38,80 24 86 60 32 45,76 25 90 100,71 90 30 17,17 26 82 82,82 120 30 15,34 26 78 98,49 150 34 36,86 27 80 127,53 180 32 32,34 27 79 138,07 210 34 35,49 28 78 84,41 240 31 22,58 28 78 169,19 270 29 15,07 28 73 274,34 300 32 29,01 29 77 66,42 330 32 14,59 29 75 46,52 360 30 15,57 29 75 88,99 390 30 12,20 29 66 67,83 420 30 16,61 29 68 186,86 450 29 10,74 28 60 133,79 480 32 25,55 28 81

c. Penyulingan 3 Non Kohobasi

Waktu Suhu Destilat

(oC)

Laju destilat

(Liter/jam)

Suhu Air Pendingin

Masuk (oC)

Suhu Air Pendingin

Keluar (oC)

Laju Air Pendingin (Liter/jam)

0 28 42,82 26 67 30 38 52,76 26 79 278,22 60 30 38,12 27 66 299,35 90 30 27,17 27 68 358,83 120 30 24,98 28 66 103,79 150 30 19,2 28 63 247,38 180 30 37,42 28 63 234,42 210 32 23,34 28 63 286,99 240 32 23,81 29 72 330,75 270 30 21,63 29 48 490,75 300 31 16,93 29 57 507,88 330 30 18,88 29 56 74,06 360 29 15,47 28 54 260,55 390 30 23,54 28 68 51,97 420 30 20,48 28 60 259,45 450 30 26,29 28 55 271,87 480 28 16,25 27 58 311,77

d. Penyulingan 4 Non Kohobasi

Waktu Suhu Destilat

(oC)

Laju destilat

(Liter/jam)

Suhu Air Pendingin

Masuk (oC)

Suhu Air Pendingin

Keluar (oC)

Laju Air Pendingin (Liter/jam)

0 28 32,65 26 44 115,38 30 30 40,45 27 66 236,06 60 28 20,65 27 69 50,86 90 30 34,07 28 74 138,64 120 29 19,94 28 74 132,35 150 30 20,70 28 73 140,79 180 30 12,89 28 67 119,02 210 30 13,31 29 73 119,45 240 33 27,91 29 76 116,94 270 31 26,15 29 74 112,70 300 32 26,19 29 71 112,84 330 32 23,29 29 73 115,34 360 30 16,91 29 71 118,76 390 30 18,41 29 72 123,39 420 30 25,25 29 70 119,77 450 31 27,85 28 71 135,80 480 30 18,38 28 74 122,69

e. Penyulingan Rakyat

Jam ke-

Suhu Destilat

(oC)

Laju destilat

(Liter/jam)

Suhu Air Pendingin

Masuk (oC)

Suhu Air Pendingin

Keluar (oC) 1 32 27,27 24 37 2 35 22,5 24 42 3 36 30,51 24 46 4 37 27,69 24 47 5 39 26,47 24 49

Lampiran 7. Hasil Analisa Mutu Minyak Nilam

a. Bobot Jenis

Jam

Ke-

Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4

1 0.93545 0.9402 0.94115 0.9332

2 0.9736 0.97355 0.97515 0.95695

3 0.98445 0.9844 0.98285 0.976455

4 0.9946 0.9869 0.9874 0.98615

5 0.995 0.99455 0.9887 0.994

6 0.995 0.9955 0.9928 0.9947

7 0.99755 0.99855 0.995 0.99575

8 1.0003 0.9987 0.9956 0.9967

b. Indeks Bias

Jam

Ke-

Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4

1 1.50453 1.50556 1.50512 1.50409

2 1.50982 1.50926 1.50947 1.50753

3 1.51079 1.51076 1.51044 1.50972

4 1.5116 1.51105 1.51086 1.51074

5 1.51179 1.51195 1.51134 1.51126

6 1.51185 1.51204 1.5115 1.51174

7 1.51186 1.51204 1.51169 1.51184

8 1.51194 1.51212 1.51169 1.51208

c. Putaran Optik

Jam

Ke-

Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4

1 (-) 60.2 (-) 60.55 (-) 56.5 (-) 54.7

2 (-) 64.8 (-) 65.3 (-) 60.45 (-) 58.5

3 (-) 70.3 (-) 69.3 (-) 63.2 (-) 62.5

4 (-) 71.9 (-) 72.95 (-) 64.6 (-) 66.65

5 (-) 73 (-) 73.75 (-) 70.5 (-) 68.8

6 (-) 74.5 (-) 75.8 (-) 71.95 (-) 69

7 (-) 75 (-) 75.85 (-) 72.2 (-) 73.85

8 (-) 75.3 (-) 76.1 (-) 72 (-) 73.9

d. Bilangan Asam

Jam

Ke-

Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4

1 0.42075 1.818703 1.4025 1.82325

2 1.4025 2.518204 2.244 1.958603

3 3.927 4.616708 4.197007 3.357606

4 6.59175 6.715212 6.03075 4.7685

5 7.757037 8.394015 8.114214 6.435411

6 8.931343 11.07975 9.653117 7.134913

7 12.5597 13.29052 11.33192 8.114214

8 14.40973 13.77895 12.76275 9.982707

e. Bilangan Ester

Jam

Ke-

Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4

1 6.31125 7.71375 2.10375 3.488806

2 11.22 4.90875 7.71375 1.399002

3 9.8175 7.0125 7.71375 3.488806

4 8.415 9.093516 8.394015 9.793017

5 12.6225 9.793017 9.093516 11.89152

6 18.93375 13.29052 25.1194 11.19202

7 24.54375 13.99002 16.83 14.68953

8 23.14125 21.73875 21.68454 15.38903

f. Kelarutan

Jam

Ke-

Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan

3

Penyulingan

4

1 1 : 7 1 : 8 1 : 7 1 : 7

2 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 4

3 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1

4 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1

5 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1

6 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1

7 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1

8 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1

Lampiran 8. Gambar Minyak Hasil Penyulingan

Penyulingan 1 Kohobasi Penyulingan 2 Kohobasi

Penyulingan 3 Non Kohobasi Penyulingan 4 Non Kohobasi

Lampiran 9. Gambar Alat Penyulingan Prototipe

Ketel Suling Kondensor

Pipa Kohobasi Separator

Lampiran 10. Gambar Alat Penyulingan Rakyat

Separator Tungku Pembakaran

Kondensor Ketel suling