ANALISIS KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT DI SEKITAR … · DAFTAR TABEL 1 Jenis dan cara pengumpulan...

39
ANALISIS KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT DI SEKITAR WADUK CIRATA, KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR WAHYU RIZKY KARTIKASARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of ANALISIS KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT DI SEKITAR … · DAFTAR TABEL 1 Jenis dan cara pengumpulan...

ANALISIS KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT DI

SEKITAR WADUK CIRATA, KECAMATAN CIRANJANG,

KABUPATEN CIANJUR

WAHYU RIZKY KARTIKASARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebiasaan

Makan Masyarakat di Sekitar Waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten

Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Wahyu Rizky Kartikasari

NIM I14100143

ABSTRAK

WAHYU RIZKY KARTIKASARI. Analisis Kebiasaan Makan Masyarakat di Sekitar

Waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh CLARA

MELIYANTI KUSHARTO dan KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebiasaan makan masyarakat di

sekitar waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Penelitian ini dilakukan

di sekitar waduk Cirata dengan total contoh sebanyak 57 orang. Data dikumpulkan melalui

kuesioner. Sebagian besar contoh (77.2%) merupakan keluarga kecil dengan jenjang

pendidikan contoh (66.6%) adalah sekolah dasar dan mayoritas pekerjaan kepala keluarga

(50.8%) yaitu budidaya ikan dengan kategori pendapatan rendah dan tinggi (63.2% dan

36.8%). Sebanyak 54.4% contoh berstatus gizi normal, 42.1% gizi lebih dan 3.5% gizi

kurang. Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0.05) antara jenjang

pendidikan dan pengetahuan gizi. Frekuensi makan kedua kelompok adalah dua hingga

tiga kali sehari. Sebagian besar contoh tidak begitu memperhatikan prioritas makan dalam

keluarga. Pangan pokok yang dominan adalah nasi. Konsumsi ikan pada suku Bugis

sebagai lauk pauk relatif tinggi jika dibandingkan dengan jenis lauk pauk lainnya.

Frekuensi konsumsi sayur dan buah suku Sunda lebih tinggi dibandingkan suku Bugis,

namun untuk beberapa pangan sumber lemak, suku Bugis lebih tinggi. Sebagian

masyarakat masih menyakini makanan pantangan. Terdapat 12 makanan pantangan bagi

wanita hamil, diantaranya nanas, salak, minuman dingin, durian, nangka, tape, cumi, cabai,

jantung pisang, kopi, petai dan jengkol serta 5 makanan pantangan bagi wanita menyusui

diantaranya daun kacang, makanan pedas, makanan asam, ikan dan tape.

Kata Kunci : kebiasaan makan, Suku Sunda, Suku Bugis, makanan pantangan

ABSTRACT

WAHYU RIZKY KARTIKASARI. Analysis of food habits surrounded Cirata watershed,

Ciranjang, Cianjur District. Supervised by CLARA MELIYANTI KUSHARTO and

KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI.

This research was aimed to analyzed the food habits of community living at

Ciranjang, Cianjur district. This research was conducted at Sindanglaya hamlet around

waduk Cirata, Cianjur. There were 57 subjects actively participated in this study. The data

was collected using structured questionnaire. Most subjects (77.2%) had small family

member with level of education only 66.6% finished elementary school and most of head

of family are working as fishery with low and high income category (63.2% and 36.8%).

In terms of nutritional status about 54.4% belong to normal status, 42.1% overnourished

and 3.5% undernourished. The result of correlation test showed a significant relationship

between level of education and nutrition knowledge (p<0.05). The eating frequency of both

groups are twice to three times a day and most of them have no eating priority in the family.

The dominant staple food was rice. Fish consumption in Bugis tribe as a side dish was

relatively high as compared to other types of dishes. Consumption of vegetables and fruits

of Sundanese was higher than the Bugis tribe, but for some food source of fat, the Bugis

tribe was higher than Sundanese. Some people still believe in food taboos. There were 12

taboo foods for pregnant women which were pineapple, salak, cold drink, durian, jackfruit,

tapai, squid, chili, banana bud, coffee, petai and jengkol and 5 taboo foods for lactating

mother which were bean leaves, fish, spicy food, sour food, and petai.

Key words : food habits, Sundanese, Bugis tribe, food taboo

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

ANALISIS KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT DI

SEKITAR WADUK CIRATA, KECAMATAN CIRANJANG,

KABUPATEN CIANJUR

WAHYU RIZKY KARTIKASARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha

Kuasa dengan rahmat-Nya dan karunia-Nya, skripsi yang diberi judul “Analisis

Kebiasaan Makan Masyarakat di Sekitar Waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang,

Kabupaten Cianjur” dapat diselesaikan.

Skripsi ini dibuat sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof Dr drh Clara M. Kusharto, M Sc dan dr Karina Rahmadia Ekawidyani,

M Sc selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan

masukan yang bermanfaat sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

2. Dr Ir Ikeu Ekayanti, M Kes selaku pemandu seminar dan penguji atas saran

dan masukan sehingga penulisan skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Leader team dari Universitas Kochi di Jepang yang telah mengizinkan

untuk menggunakan data primer pada studi “Household and Livelihood

Survey” untuk karya ilmiah ini serta mengizinkan menjadi enumerator pada

penelitian tersebut.

4. Orang tua serta adik atas semua semangat, dukungan dan kasih sayang yang

diberikan.

5. Sahabat serta rekan angkatan 2010 atas motivasi, semangat, masukan, dan

dukungan yang telah diberikan.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan

saran sangat diperlukan untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini

dapat mencapai tujuan dengan maksimal dan memberikan manfaat bagi banyak

pihak.

Bogor, September 2014

Wahyu Rizky Kartikasari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

KERANGKA PEMIKIRAN 2

METODE 4

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 4

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 4

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 4

Pengolahan dan Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 7

Karakteristik Contoh 8

Keadaan Sosial Ekonomi 9

Pengetahuan Gizi 10

Pola Makan 11

Frekuensi Konsumsi Pangan 16

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi 19

Makanan Pantangan 20

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

RIWAYAT HIDUP 27

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 5

2 Cara pengkategorian variabel penelitian 6 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, usia dan status gizi 8 4 Sebaran keadaan sosial ekonomi 9 5 Sebaran pengetahuan gizi contoh 10 6 Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan mengenai pola makan 12

7 Sebaran kebiasaan makan cemilan berdasarkan status gizi 13 8 Sebaran kebiasaan makan malam berdasarkan status gizi 13 9 Sebaran kebiasaan makan/memesan makanan dari luar rumah

berdasarkan status gizi 13

10 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan, kebiasaan sarapan,

kebiasaan makan bersama dan prioritas makan 15 11 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan (kali per minggu) 18

12 Rata-rata asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat 19 13 Tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat 19 14 Tingkat kecukupan lemak 20 15 Makanan pantangan bagi wanita hamil 21

16 Makanan pantangan bagi wanita menyusui 22

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 3

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2013), Indonesia merupakan negara yang

mempunyai luas wilayah total sebesar 1 890 754 m2 dengan jumlah penduduk

sebanyak 237.6 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk yang tidak terkontrol

ini tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Ketidaktersediaan

lapangan kerja yang memadai membuat tingkat pengangguran di Indonesia terus

meningkat. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran terbuka

terhitung Februari 2013 berjumlah 7 170 523 orang.

Jumlah pengangguran yang terus bertambah membuat tingkat kesejahteraan

penduduk di suatu negara menjadi menurun. Tingkat kesejahteraan penduduk

diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Skor IPM ditentukan

berdasarkan aspek ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Indikator yang sering

digunakan untuk mengukur derajat kesehatan adalah angka kesakitan, kematian,

status gizi dan angka harapan hidup. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2012 adalah 73.29. Nilai IPM ini menjadikan

Indonesia naik ke peringkat 121 dari 124 pada tahun 2011, dari 187 negara.

Peringkat Indonesia masih jauh di bawah beberapa Negara anggota ASEAN,

termasuk Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina.

Singapura menduduki peringkat 18, Brunei Darussalam peringkat 30, Malaysia

peringkat 64, Thailand dan Filipina masing-masing di peringkat 103 dan 114

(UNDP 2013).

Cianjur merupakan daerah yang terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian

besar merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran

yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan persawahan. Namun, tidak banyak

penduduk yang bekerja pada sektor perkebunan dan persawahan tersebut.

Berdasarkan data dari Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2013, penduduk yang

bekerja di sektor pertanian hanya sekitar 82 023 orang, 152 799 orang berusaha

sendiri/wiraswasta, 152 732 orang bekerja sebagai pegawai/karyawan, 109 315

orang bekerja sebagai buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, 57 712 orang bekerja

di sektor non pertanian, 29 431 orang sebagi buruh tetap dan 21 199 orang sebagai

pekerja tak dibayar. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa cukup

banyak penduduk bekerja sebagai buruh tidak tetap atau tidak dibayar. Hal ini tentu

akan berdampak pada minimnya pendapatan penduduk.

Menurut Berg (1986) dalam Saleha (2005) keadaan tersebut akan

berpengaruh terhadap kebiasaan makan penduduk. Kebiasaan makan adalah suatu

istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku terkait

dengan makanan dan makan, seperti tata cara makan, frekuensi makan, pola

makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (pantangan), distribusi

makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (misalnya suka

atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan yang akan dimakan (Suhardjo

1989). Mayoritas penduduk di sekitar waduk Cirata adalah suku Sunda. Selain itu

terdapat juga suku lainnya seperti suku Jawa, Batak, Madura, Manado, Ambon dan

Bugis. Suku Bugis merupakan suku terbanyak yang mendiami daerah di sekitar

waduk Cirata. Berdasarkan hal tersebut maka penulis terdorong untuk meneliti

2

mengenai analisis kebiasaan makan masyarakat antara suku Sunda dan suku Bugis

di sekitar waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa

Barat.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini sesuai dengan pertanyaan berikut.

1. Bagaimana status sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar waduk

Cirata?

2. Bagaimana kebiasaan makan masyarakat di sekitar waduk Cirata?

3. Bagaimana pengetahuan gizi dan makanan pantangan yang terjadi pada

masyarakat di sekitar waduk cirata?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan

umum dari penelitian ini adalah menganalisis kebiasaan makan masyarakat di

sekitar waduk Cirata, kecamatan Ciranjang, kabupaten Cianjur, provinsi Jawa Barat.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi umur, jenis kelamin, dan status gizi.

2. Mengidentifikasi status sosial ekonomi meliputi jenjang pendidikan,

pekerjaan, pendapatan dan besar keluarga.

3. Mengidentifikasi budaya (asal/suku) dan tingkat pengetahuan gizi

masyarakat.

4. Mengidentifikasi kebiasaan makan masyarakat meliputi frekuensi, prioritas

makan, makanan pantangan, asupan, dan tingkat kecukupan gizi.

Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca

mengenai kebiasaan makan masyarakat di sekitar waduk Cirata, Kabupaten Cianjur.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada Departemen

terkait sebagai masukan dalam pembuatan program gizi.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebiasaan makan adalah cara seseorang dalam memilih makanan yang akan

membentuk pola perilaku makan (Baliwati et al. 2004). Terdapat berbagai faktor

yang mempengaruhi kebiasaan makan seseorang, diantaranya adalah faktor sosial

ekonomi yang meliputi jenjang pendidikan, pekerjaan, pendapatan, besar keluarga,

faktor budaya dan pengetahuan gizi. Kebiasaan makan dapat berubah namun

membutuhkan waktu yang cukup lama. Perubahan kebiasaan makan dapat

3

disebabkan oleh faktor pendidikan gizi yang didapatkan dari berbagai media

sehingga pengetahuan gizinya menjadi lebih baik ataupun keadaan lingkungan

sekitar. Seseorang yang jenjang pendidikannya tinggi akan mudah menyerap dan

memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Pengetahuan gizi tersebut akan

memudahkan seseorang dalam memilih makanan yang baik untuk tubuhnya sesuai

dengan pedoman gizi seimbang. Lingkungan sekitar memiliki peran yang cukup

besar dalam perubahan kebiasaan makan. Seseorang dituntut untuk beradaptasi

dengan lingkungan tempat tinggalnya agar dapat bertahan hidup. Budaya memiliki

peran terhadap kebiasaan makan masyarakat seperti menyakini adanya makanan

yang menjadi pantangan untuk beberapa golongan diantaranya wanita hamil,

wanita menyusui, bayi atau balita dan lain sebagainya.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Hubungan yang dianalisis

: Hubungan yang tidak dianalisis

Budaya (Suku) Faktor lain:

Perilaku

KEBIASAAN MAKAN

Frekuensi makan

Prioritas makan

Makanan pantangan

Asupan dan tingkat

kecukupan gizi

Status Sosial Ekonomi:

Pendidikan

Pekerjaan

Pendapatan

Besar Keluarga

Karakteristik Individu:

Umur

Jenis Kelamin

Status gizi

Agama

Pengetahuan Gizi

4

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai analisis kebiasaan makan masyarakat ini menggunakan

desain cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di sekitar waduk Cirata, dusun

Sindanglaya, kecamatan Ciranjang, kabupaten Cianjur. Pengambilan data

dilakukan pada bulan Februari dan Juni 2014. Pada saat pengambilan data pada

bulan Februari, peneliti mengambil data kebiasaan makan keluarga, namun

instrumen tidak dapat digunakan untuk skala keluarga. Sehingga pada bulan Juni

dilakukan pengambilan data kembali, namun untuk skala individu.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh penelitian merupakan 30 warga suku Sunda di sekitar waduk Cirata

dan 30 warga suku Bugis yang menetap di rumah apung yang didirikan diatas

permukaaan waduk Cirata, ditentukan secara purposive sampling dengan kriteria

inklusi yaitu terdaftar sebagai warga dusun Sindanglaya, telah menetap minimal

selama satu bulan, dan bersedia mengikuti kegiatan penelitian. Contoh merupakan

ibu rumah tangga atau anggota keluarga yang mengetahui kebiasaan makan

keluarga. Pada akhir penelitian hanya didapatkan 57 contoh dikarenakan dua orang

tidak bersedia diwawancarai dan satu orang lagi sedang tidak berada di rumah saat

penelitian berlangsung.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui wawancara, penyebaran kuesioner dan pengukuran

langsung. Data primer ini meliputi data antropometri (berat badan dan tinggi badan),

budaya/suku, pengetahuan gizi, dan kebiasaan makan. Data sekunder didapatkan

dari penelitian sebelumnya (Household Livelihood Survey) yang meliputi daftar

nama warga untuk dilakukan pengambilan contoh. Pada bulan Februari data yang

diambil adalah data status sosial ekonomi (jenjang pendidikan, pekerjaan,

pendapatan dan besar keluarga), antropometri (berat badan dan tinggi badan),

makanan pantangan, dan pengetahuan gizi. Pada bulan Juni dilakukan pengambilan

data kedua meliputi data pola makan dimana pertanyaan yang diajukan merupakan

pertanyaan yang diadaptasi dari Wellness Institute Northwestern Memorial

Hospital, recall 1 x 24 jam selama empat hari (dua hari biasa dan dua hari libur),

dan Semi-quantitative Food Frequency Questionnaires (SQ-FFQ) satu bulan

terakhir. Jenis data dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.

5

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Data Jenis data Cara pengumpulan

data

Alat

Karakteristik contoh

Nama

Jenis Kelamin

Umur

Primer/

Sekunder

Wawancara Kuesioner

Status sosial ekonomi

Besar keluarga

Jenjang pendidikan

Pekerjaan

Pendapatan

Primer Wawancara Kuesioner

Antropometri

Berat Badan

Tinggi Badan

Primer Pengukuran Timbangan injak

dan stature

meter/meteran

Kebiasaan makan

Frekuensi makan

Prioritas makan

Makanan pantangan

Asupan dan tingkat

kecukupan gizi

Primer Wawancara Kuesioner pola

makan, FFQ dan

recall

Pengetahuan gizi Primer Wawancara Kuesioner

Pengolahan dan Analisis Data

Tahapan pengolahan data, yaitu pengkodean (coding), pemasukan data

(entry), pengecekan ulang (cleaning), dan analisis data. Tahapan terakhir adalah

analisis data diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2013,

Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 16.0 dan NutriSurvey versi

Indonesia, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui hubungan

antara variabel digunakan uji korelasi Spearman, sedangkan untuk uji beda

menggunakan Mann-Whitney dan t-test.

Besar keluarga dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4

orang), keluarga sedang (5–6 orang) dan keluarga besar (≥ 7 orang) (BKKBN 1998).

Jenjang pendidikan dikelompokan menjadi beberapa kategori yaitu: tidak sekolah,

SD, SMP, SMA sederajat, dan Akademi/Perguruan tinggi. Data pekerjaan

dikelompokan menjadi: tidak bekerja, buruh, jasa (ojek/supir), petani,

PNS/TNI/POLRI, pegawai swasta, dagang/wiraswasta, dan lain-lain. Data

pendapatan akan dikelompokan menjadi rendah dan tinggi setelah dibandingkan

dengan garis kemiskinan perdesaan Jawa Barat 2014 sebesar Rp277 645.

Pengetahuan gizi ibu dikategorikan menjadi tiga yaitu kurang (skor total < 60%),

sedang (skor total 60%–80%) dan baik (skor total > 80%) (Khomsan 2000). Asupan

zat gizi (energi, protein, lemak dan karbohidrat) diperoleh melalui rata-rata recall

24 jam. Berdasarkan Depkes RI (2013), kebutuhan lemak orang dewasa yaitu 20–

25% dari kebutuhan energi total. Pengkategorian kecukupan lemak dibagi menjadi

tiga, yaitu kurang (<20% kebutuhan energi), cukup (20–25% kebutuhan energi),

dan lebih (>25% kebutuhan energi).

6

Tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan membandingkan antara konsumsi

zat gizi aktual contoh dengan angka kebutuhan yang dianjurkan (AKG). AKG yang

digunakan adalah AKG 2013. Selama berat badan dalam kisaran normal, angka

kebutuhan energi dan protein harus dikoreksi dengan berat badan (Hardinsyah et al

2002). Untuk contoh yang memiliki status gizi kurang atau lebih menggunakan

berat badan ideal dalam perhitungannya. Tingkat kecukupan gizi dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut (Supariasa 2002):

AKG Individu =Berat Badan Aktual

Berat Badan Standar (AKG) 𝑥 𝐴𝐾𝐺

Angka kecukupan gizi kemudian digunakan untuk menghitung tingkat

kecukupan zat gizi dengan menggunakan rumus (Supariasa 2002):

TKG =Konsumsi zat gizi aktual

Angka Kecukupan Gizi 𝑥 100%

Cara pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian

Variabel Kategori Pengukuran

Status Gizi Dewasa (Depkes RI

2003)

1. Kurus sekali (< 17.0)

2. Kurus (17.0–18.4)

3. Normal (18.5–25.0)

4. Gemuk (25.1–27.0)

5. Gemuk sekali (>27.0)

Status Sosial Ekonomi

Besar keluarga (BKKBN

1998)

1. Keluarga kecil (≤ 4 orang)

2. Keluarga sedang (5–6 orang)

3. Keluarga besar (≥ 7 orang)

Jenjang Pendidikan 1. Tidak sekolah

2. SD

3. SMP

4. SMA sederajat

5. Akademi/Perguruan tinggi

Pekerjaan 1. Tidak bekerja

2. Buruh

3. Jasa (ojek/supir)

4. Petani

5. PNS/TNI/POLRI

6. Pegawai swasta

7. Dagang/wiraswasta

8. Lainnya

Pendapatan (Garis

kemiskinan perdesaan Jawa

Barat 2014)

1. Rendah

2. Tinggi

Faktor lain

Budaya/suku 1. Suku Sunda

2. Suku Bugis

Pengetahuan gizi (Khomsan

2000)

1. Kurang (<60%)

2. Sedang (60%-80%)

3. Baik (>80%)

7

Variabel Kategori Pengukuran

Tingkat kecukupan energi, protein

dan karbohidrat (Gibson 2005)

1. Defisit tingkat berat (<70%)

2. Defisit tingkat sedang (70–79%)

3. Defisit tingkat ringan (80–89%)

4. Normal (90–119%)

5. Kelebihan (≥ 120%)

Tingkat kecukupan lemak (Depkes

RI 2013)

1. Kurang (<20%)

2. Cukup (20–25%)

3. Lebih (>25%)

Definisi Operasional

Contoh adalah ibu rumah tangga atau anggota keluarga yang mengetahui kebiasaan

makan keluarga.

Status sosial ekonomi keluarga adalah karakteristik rumah tangga yang meliputi

besar keluarga, pekerjaan, pendapatan dan pendidikan.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tangga yang

meliputi ayah, ibu dan anak serta orang lain yang menjadi tanggungan

kepala keluarga.

Pendapatan adalah penghasilan rata-rata per bulan yang dihasilkan kepala rumah

tangga dan anggota keluarga lainnya.

Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kepala keluarga.

Jenjang Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh contoh.

Pengetahuan gizi adalah kemampuan pemahaman seorang ibu mengenai gizi.

Makanan pantangan adalah makanan yang tidak dianjurkan untuk dimakan

disebabkan budaya atau kepercayaan bukan akibat pantangan karena

penyakit atau anjuran dokter.

Budaya adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan yang dilakukan secara berulang

dan diikuti masyarakat di suatu daerah.

Kebiasaan makan adalah perilaku dalam memilih makanan dan menjadi pola

makan yang meliputi frekuensi pangan, prioritas makan, makanan

pantangan, asupan dan tingkat kecukupan gizi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Dusun Sindanglaya terletak di wilayah desa Sindangjaya, Kecamatan

Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Wilayah desa Sindangjaya berada pada

ketinggian 118 meter hingga 270 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah

379 654 Ha, yang terdiri dari luas tanah darat 211 076 Ha dan luas tanah sawah 168

578 Ha. Menurut batas wilayah desa Sindangjaya, sebelah utara berbatasan dengan

desa Cikidang Bayangbang, sebelah timur berbatasan dengan desa Kertajaya,

sebelah selatan berbatasan dengan desa Karangwangi, dan sebelah barat berbatasan

dengan desa Sindangsari. Desa Sindangjaya terbagi atas tiga Dusun, yaitu: Dusun

Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian (lanjutan)

8

Sindangasih terdiri dari 2 RW dan 10 RT, Dusun Sindangkerta terdiri dari 3 RW

dan 11 RT, dan Dusun Sindanglaya terdiri dari 3 RW dan 13 RT. Penduduk Dusun

Sindanglaya mayoritas adalah suku Sunda, namun terdapat juga suku lain seperti

suku Bugis yang bertempat tinggal di waduk Cirata. Waduk Cirata terbentuk dari

adanya genangan air seluas 66 km2 akibat pembangunan waduk yang membendung

sungai Citarum yang kemudian dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata dan

kegiatan budidaya perikanan dimana penduduk yang melakukan kegiatan budidaya

tersebut melakukan segala kegiatan di rumah terapung yang dibuatnya (Aksomo

2007). Mayoritas penduduk yang bertempat tinggal di waduk Cirata berasal dari

Sulawesi Selatan (suku Bugis). Suku Bugis yang menetap pada kawasan waduk

memiliki keramba jaring apung yang digunakan untuk budidaya ikan nila dan ikan

mas. Perahu digunakan sebagai alat transportasi antar waduk dan daratan.

Karakteristik Contoh

Contoh merupakan ibu rumah tangga atau anggota keluarga yang

mengetahui kebiasaan makan keluarga. Pada Tabel 3 disajikan sebaran contoh

berdasarkan jenis kelamin, usia dan status gizi.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, usia dan status gizi

Variabel Bugis Sunda Total

n % n % n %

Jenis Kelamin

Perempuan

Laki-laki

27

1

96.4

3.6

29

0

100

0.0

56

1

98.2

1.8

Total 28 100 29 100 57 100.0

Usia

< 20

20–40

41–65

> 65

0

15

13

0

0.0

53.6

46.4

0.0

1

14

13

1

3.4

48.3

44.8

3.4

1

29

26

1

1.8

50.9

45.6

1.8

Total 28 100 29 100 57 100.0

Status gizi

Kurus (17.0–18.4)

Normal (18.5–25.0)

Gemuk (25.1–27.0)

1

13

5

3.6

46.4

17.9

1

18

5

3.4

62.1

17.2

2

31

10

3.5

54.4

17.5

Gemuk sekali (˃27.0) 9 32.1 5 17.2 14 24.6

Total 28 100 29 100 57 100

Sebagian besar contoh adalah perempuan (98.2%). Laki-laki yang

diwawancarai merupakan anggota keluarga contoh yang merupakan kepala rumah

tangga. Seluruh responden beragama Islam. Rentang usia contoh adalah 19 hingga

80 tahun. Sebagian besar contoh (54.4%) berstatus gizi normal. Namun, terdapat

sedikitnya 50% suku Bugis dan 34.4% suku Sunda yang status gizinya melebihi

normal. Berdasarkan uji Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan (p=0.182) untuk status gizi antara kedua kelompok. Beberapa

faktor penyebab kegemukan diantaranya konsumsi makanan terutama makanan

yang mengandung tinggi lemak dan gula, aktivitas fisik yang kurang serta faktor

genetik (Roemling dan Qaim 2012). Menurut Farooqi (2006), faktor genetik

9

menyumbang 40% hingga 70% penyebab perbedaan status gizi setiap individu.

Seseorang dengan keturunan obesitas memiliki kecenderungan menjadi obesitas

yang lebih besar karena terjadi gangguan makan yang melibatkan genetik. Begitu

pula sebaliknya, seseorang dengan keturunan kurus memiliki kebiasaan makan

dengan porsi sedang hingga berlebih namun kenaikan indeks massa tubuh sangat

kecil (Santrock 1996).

Keadaan Sosial Ekonomi

Mayoritas keluarga suku Bugis (71.4%) tergolong keluarga kecil, sama

halnya dengan suku Sunda (82.8%). Uji beda Mann Whitney pada besar keluarga

menunjukan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.312) antara kedua kelompok.

Sebagian besar ibu pada suku Bugis (50%) dan suku Sunda (82.8%) berpendidikan

sekolah dasar (SD). Uji beda Mann Whitney pada jenjang pendidikan menunjukan

terdapat perbedaan yang nyata (p=0.004). Jenjang pendidikan suku Bugis lebih

tinggi daripada suku Sunda karena terdapat contoh yang berpendidikan SMA dan

Perguruan Tinggi (PT).

Pekerjaan kepala keluarga contoh bervariasi seperti buruh, jasa (supir/ojek),

petani, pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, wiraswasta/dagang, dan lain-

lain. Mayoritas pekerjaan kepala keluarga suku Bugis adalah bekerja sebagai

wiraswasta yaitu budidaya ikan (92.9%), sedangkan kepala keluarga suku Sunda

sebagian besar bekerja sebagai buruh bangunan (69.0%).

Peningkatan pendapatan cenderung diikuti dengan peningkatan pengeluaran

yang dapat mengubah gaya hidup seseorang maupun keluarga (Rudjito 1987).

Setelah dibandingkan dengan garis kemiskinan perdesaan Jawa Barat 2014,

sebagian besar suku Bugis (75%) memiliki pendapatan per kapita yang tergolong

rendah, sementara pendapatan per kapita suku Sunda yang tergolong rendah

(51.7%) dan tinggi (48.3%) hampir sama. Namun, uji beda yang dilakukan tidak

menunjukan perbedaan yang nyata (p=0.071). Pendapatan rata-rata per kapita suku

Bugis sebesar Rp265 547, sedangkan suku Sunda Rp336 839. Rata-rata pendapatan

per kapita suku Bugis sedikit lebih rendah dibandingkan dengan suku Sunda

dikarenakan penghasilan dari penjualan ikan hanya jika ikan siap untuk dipanen

yaitu sekitar 3–5 bulan sekali.

Tabel 4 Sebaran keadaan sosial ekonomi contoh

Variabel Bugis Sunda Total

n % n % n %

Besar Keluarga

Kecil (<4)

Sedang (5–6)

Besar (>7)

20

8

0

71.4

28.6

0.0

24

5

0

82.8

17.2

0.0

44

13

0

77.2

22.8

0.00

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Jenjang Pendidikan

Tidak sekolah

SD

SMP

SMA sederajat

PT

1

14

9

3

1

3.6

50.0

32.1

10.7

3.6

1

24

4

0

0

3.4

82.8

13.8

0.0

0.0

2

38

13

3

1

3.5

66.6

22.8

5.3

1.8

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

10

Variabel Bugis Sunda Total

n % n % n %

Pekerjaan Kepala Keluarga

Tidak Bekerja

Buruh

Jasa (ojek/supir)

Petani

PNS/TNI/POLRI

Wiraswasta

Lainnya

0

0

0

0

0

26

2

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

92.9

7.1

1

20

1

2

1

3

1

3.4

69.0

3.4

6.9

3.4

10.3

3.4

1

20

1

2

1

29

3

1.8

35.1

1.8

3.5

1.8

50.8

5.2

Total 28 100.0 29 100.0 57 100

Pendapatan per kapita

Rendah (≤ Rp277 645/bln)

Tinggi (> Rp277 645/bln)

21

7

75.0

25.0

15

14

51.7

48.3

36

21

63.2

36.8

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Pengetahuan gizi

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,

sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi agar tidak

menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam

makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Kurang

dari separuh pengetahuan gizi suku Bugis baik (39.2%), sedangkan 55.2%

pengetahuan gizi suku Sunda dalam kategori sedang. Setelah dilakukan uji beda

Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.399) antara kedua

kelompok tersebut.

Tabel 5 Sebaran pengetahuan gizi contoh

Kategori Bugis Sunda Total

n % n % n %

Kurang (skor<60%) 9 32.1 8 27.6 17 29.8

Sedang (skor 60–80%) 8 28.6 16 55.2 24 42.1

Baik (skor>80%) 11 39.3 5 17.2 16 28.1

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Uji korelasi menggunakan korelasi Spearman, didapatkan hubungan yang

signifikan (p=0.001) antara jenjang pendidikan dengan pengetahuan gizi contoh.

Uji tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang,

semakin baik pula pengetahuan yang dimiliki. Jenjang pendidikan suku Bugis lebih

tinggi dibandingkan dengan suku Sunda karena didapatkan contoh yang

berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi (PT) sehingga pengetahuan gizi contoh

suku Bugis tergolong baik. Pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh terhadap

keadaan gizi keluarga (Suhardjo 1989). Menurut Contento (2007), semakin tinggi

jenjang pendidikan seseorang, maka akan lebih baik dalam menerima, memproses,

menginterpretasikan, dan menggunakan informasi.

Tabel 4 Sebaran keadaan sosial ekonomi contoh (lanjutan)

11

Pola Makan

Sebagian besar suku Bugis (78.6%) dan suku Sunda (82.8%) tidak mengikuti

diet tertentu. Tabel 6 menyajikan sejumlah pertanyaan yang diajukan yang salah

satunya mengenai program diet yang sedang diikuti disertai enam pilihan jawaban.

Terdapat pilihan lainnya dimana tiga contoh yang menjawab (satu merupakan suku

Bugis dan dua merupakan suku Sunda) sedang menjalani diet asam urat atau

mengurangi konsumsi sayuran hijau. Minuman yang biasanya diminum sebagian

besar contoh dalam sehari yaitu air putih dan teh (47.7%) dengan jumlah rata-rata

tujuh gelas air putih per hari dan tiga gelas teh per hari. Cemilan biasanya

didefinisikan sebagai kesempatan makan yang berbeda dengan makanan utama

(Popkin dan Piernas 2010). Sebanyak 92.9% suku Bugis dan 82.8% suku Sunda

biasa mengkonsumsi cemilan. Cemilan yang biasanya dimakan adalah biskuit,

kacang sukro, gorengan, keripik pisang dan keripik singkong.

Tingginya angka kegemukan suku Bugis (50%) berkaitan dengan tingginya

kebiasaan makan cemilan (92.9%), memesan makanan dari luar rumah atau makan

diluar (42.9%) dan kebiasaan makan malam (92.9%). Hal ini sesuai dengan

Guerrero et al. (2008) bahwa mengemil berasosiasi dengan kejadian obesitas pada

perempuan, namun, tidak ada kaitan antara obesitas dan makan diluar rumah. Lain

halnya dengan Kant dan Graubard (2004) yang menyebutkan bahwa beberapa studi

menunjukkan hubungan antara berat badan dan frekuensi konsumsi makanan di

restoran terutama fast food. Alasan yang diberikan karena tingginya energi dari

porsi lebih besar, atau densitas energi yang tinggi dari sejumlah makanan yang

disajikan di banyak restoran. Terdapat 21.4% suku Bugis dan 34.5% suku Sunda

yang tidak memiliki kebiasaan makan malam. Alasan contoh tidak makan malam

salah satunya karena makan malam dapat menyebabkan kegemukan. Asumsi

tersebut ternyata bertentangan dengan penelitian Guerrero et al. (2008) yang

menyatakan bahwa pada studi saat ini, perempuan yang tidak makan malam

cenderung akan mengalami obesitas. Namun, hal tersebut diatas tidak sejalan

dengan uji yang dilakukan terhadap status gizi dan kebiasaan makan cemilan,

kebiasaan makan malam dan kebiasaan makan/memesan makanan dari luar rumah.

Tabel 7 dan 8 menunjukan bahwa contoh suku Bugis dengan status gizi

normal memiliki persentase kebiasaan makan cemilan dan kebiasaan makan malam

yang lebih tinggi daripada contoh suku Bugis dengan status gizi lebih. Tabel 9

menunjukan bahwa suku Bugis dengan status gizi lebih memiliki persentase

kebiasaan makan atau memesan makanan dari luar rumah yang lebih tinggi

dibandingkan dengan contoh dengan status gizi normal. Namun hal sebaliknya

terjadi pada suku Sunda. Uji chi square menunjukan bahwa tidak terdapat

hubungan antara status gizi dengan kebiasaan makan cemilan (p=0.782), kebiasaan

makan/memesan makanan dari luar rumah (p=0.305) dan kebiasaan makan malam

(p=0.733).

Sebanyak 42.9% suku Bugis pernah makan diluar atau memesan makanan ke

rumah. Sekitar 21.4% suku Bugis tersebut makan diluar atau memesan makanan ke

rumah setiap minggu, sebagian lagi (21.4%) setiap bulan. Sebesar 13.8% suku

Sunda pernah makan diluar atau memesan makanan ke rumah setiap minggu (6.9%)

adapula yang setiap bulan (6.9%). Jenis tempat makan yang biasa dikunjungi

Warteg, Rumah Makan Padang, dan lainnya.

12

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan mengenai pola makan

Pola makan Bugis Sunda Total

n % n % n %

Apakah mengikuti diet tertentu?

Tidak

Rendah lemak

Diabetes

Rendah garam

Vegetarian

22

0

4

1

0

78.6

0.0

14.3

3.6

0.0

24

0

0

3

0

82.8

0.0

0.0

10.3

0.0

46

0

4

4

0

80.7

0.0

7.0

7.0

0.0

Lainnya 1 3.6 2 6.9 3 5.3

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Makanan mana yang teratur dimakan?

Sarapan

Makan Siang

Makan malam

Sarapan dan makan siang

12

7

1

0

42.9

25.0

3.6

0.0

10

3

3

1

34.5

10.3

10.3

3.4

22

10

4

1

38.6

17.5

7.0

1.8

Sarapan dan makan malam

Makan siang dan makan malam

Sarapan, makan siang, makan

malam

2

3

3

7.1

10.7

10.7

1

2

9

3.4

6.9

31.0

3

5

12

5.3

8.8

21.0

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Biasa mengkonsumsi cemilan?

Tidak

Iya

2

26

7.1

92.9

5

24

17.2

82.8

7

50

12.3

87.7

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Waktu mengkonsumsi cemilan?

Pagi

Siang

Sore

Malam

Pagi dan Siang

Siang dan Sore

5

14

5

0

2

0

17.9

50.0

17.9

0.0

7.1

0.0

2

6

3

10

0

3

6.9

20.7

10.3

34.5

0.0

10.3

7

20

8

10

2

3

12.3

35.1

14.0

17.5

3.5

5.3

Total 26 92.9 24 82.8 50 87.7

Apakah pernah makan diluar atau

memesan makanan ke rumah?

Iya

Tidak

12

16

42.9

57.1

4

25

13.8

86.2

16

41

28.1

71.9

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Apakah meminum suplemen selama satu

bulan ini?

Tidak

Iya

26

2

92.9

7.1

28

1

96.6

3.4

54

3

94.7

5.3

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Apakah memiliki kebiasaan makan

malam?

Iya

Tidak

22

6

78.6

21.4

19

10

65.5

34.5

41

16

71.9

28.1

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

13

Tabel 7 Sebaran kebiasaan makan cemilan berdasarkan status gizi

Status

Gizi

Bugis Sunda

Iya Tidak Iya Tidak

n % n % n % n %

Kurus 1 100.0 0 0.0 1 100.0 0 0.0

Normal 13 100.0 0 0.0 15 83.3 3 16.7

Lebih 12 85.7 2 14.3 8 80.0 2 20.0

Total 26 92.9 2 7.1 24 82.8 5 17.2

Tabel 8 Sebaran kebiasaan makan malam berdasarkan status gizi

Status

Gizi

Bugis Sunda

Iya Tidak Iya Tidak

n % n % n % n %

Kurus 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1 100.0

Normal 11 84.6 2 15.4 12 66.7 6 33.3

Lebih 10 71.4 4 28.6 7 70.0 3 30.0

Total 22 78.6 6 21.4 19 65.5 10 34.5

Tabel 9 Sebaran kebiasaan makan/memesan makanan dari luar rumah berdasarkan

status gizi

Status

Gizi

Bugis Sunda

Iya Tidak Iya Tidak

n % n % n % n %

Kurus 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1 100.0

Normal 4 30.8 9 69.2 3 16.7 15 83.3

Lebih 7 50.0 7 50.0 1 10.0 9 90.0

Total 12 42.9 16 57.1 4 13.8 25 86.2

Suplemen adalah produk yang dimaksudkan untuk menambah nilai gizi dan

berfungsi sebagai pelengkap kekurangan zat gizi dalam tubuh (FDA 2012).

Berdasarkan wawancara kepada responden, hanya sedikit yang mengkonsumsi

suplemen. Suplemen yang dikonsumsi sebagian kecil contoh (5.3%) adalah zat besi.

Perubahan kebiasaan makan

Model multidimensional adalah suatu pendekatan untuk menerangkan pola

pangan penduduk. Pendekatan tersebut mencakup deskripsi atau penjelasan tentang

kebiasaan makan dari empat komponen, yaitu konsumsi pangan, preferensi pangan,

ideologi pangan dan sosial budaya pangan (Sanjur 1982 dalam Suhardjo 1989).

Makassar merupakan wilayah yang terletak di pesisir pantai Sulawesi Selatan, yang

didominasi oleh suku Bugis (Ciptakarya 2004). Makanan kesukaan suku Bugis

adalah ikan yang diolah dengan cara dibakar. Kesukaan suku Bugis akan ikan

didukung dengan letak wilayahnya yang berada di pesisir pantai.

Ketika masyarakat dari suatu suku berpindah ke area dengan perbedaan nilai

budaya, adaptasi terhadap masyarakat yang baru dimulai. Proses ini disebut

akulturasi. Kebiasaan makan berbasis budaya sering menjadi salah satu praktik

terakhir yang diubah oleh masyarakat melalui akulturasi. Tidak seperti berbicara

ataupun mengenakan pakaian tradisional, makan biasanya dilakukan secara privasi

14

di dalam rumah, tersembunyi dari pengamatan mayoritas anggota masyarakat.

(Kittler dan Sucher 2008). Berdasarkan wawancara 28 rumah tangga suku bugis

yang bertempat tinggal rumah apung di waduk Cirata, 67.9% alasan kepindahan

suku bugis tersebut adalah untuk mengadu nasib, 21.4% dikarenakan ikut sanak

saudara, dan 10.7% mengembangkan usaha. Lama tinggal suku Bugis yang

menetap di waduk Cirata yaitu mulai dari kisaran waktu 2 bulan hingga 20 tahun

lebih. Sebanyak 89.3% contoh mengaku tidak terjadi perubahan terhadap cara

mengolah makanan, porsi makan dan frekuensi makan, sedangkan 10.7% contoh

mengalami perubahan dalam cara mengolah makanan yang sebelumnya dibakar

menjadi digoreng. Hal tersebut dikarenakan di tempat tinggalnya saat ini sulit

mendapatkan arang.

Biasanya pola makan penduduk berkembang dari makanan yang tersedia di

sekitar untuk jangka waktu yang panjang. Kelangkaan makanan berpengaruh pula

terhadap pola makan (Suhardjo 1989). Beberapa dari suku Bugis mengaku bahwa

sulit sekali mencari ikan laut di daerah tempat tinggalnya saat ini, padahal sewaktu

masih di Sulawesi ikan laut begitu mudah didapat. Menurut Hurif (1990), berbagai

jenis ikan laut, beberapa jenis ikan air tawar dan udang merupakan makanan sumber

protein hewani yang paling sering dikonsumsi suku Bugis setiap hari. Jenis ikan

laut yang banyak dikonsumsi kebanyakan suku Bugis adalah ikan bandeng, tongkol,

teri, cumi, kembung dan baronang serta ikan air tawar seperti ikan gabus.

Tekstur dan aroma ikan laut dengan ikan air tawar menurut contoh berbeda.

Ikan laut memiliki daging ikan yang keras dan tidak begitu amis sedangkan ikan air

tawar memiliki daging yang cenderung lembek dan amis. Hal ini sesuai dengan

Pusluh (2011), bahwa perbedaan yang mendasar antara ikan air tawar dan ikan air

laut terletak pada tekstur dagingnya. Tekstur daging ikan air tawar lebih lembek

daripada ikan air laut. Namun, kebanyakan suku bugis yang telah lama menetap

sudah bisa beradaptasi dengan olahan ikan air tawar terutama ikan nila. Dapat

terlihat bahwa faktor lingkungan berpengaruh terhadap pemilihan makan suku

Bugis. Akibat tempat tinggalnya saat ini tidak berada di sekitar laut, sehingga

kebiasaan makan ikan air laut berubah menjadi ikan air tawar yang merupakan hasil

budidaya suku Bugis sendiri di sekitar waduk Cirata. Hal ini disebut sebagai food

coping strategy yaitu respon terhadap menurunnya akses terhadap pangan.

Frekuensi Makan Sehari, Kebiasaan Sarapan dan Prioritas Makan

Makanan pokok seluruh warga suku Bugis yang diwawancarai adalah nasi.

Frekuensi makan makanan pokok dalam sehari seluruh contoh dari rentang satu kali

hingga lebih dari tiga kali, 64.9% memiliki frekuensi makan tiga kali sehari dan

35.1% memiliki frekuensi makan dua kali sehari. Menurut Khomsan (2002)

frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari. Frekuensi makan ≥ 3 kali dalam

sehari merupakan pola makan yang baik, karena dengan demikian kebutuhan akan

zat gizi dapat terpenuhi (Megiyawati 2004). Kebiasaan sarapan setiap anggota

keluarga berbeda-beda, ada yang selalu sarapan, sering, jarang dan tidak sarapan

sama sekali. Pada Tabel 10 disajikan kebiasaan sarapan suku Bugis dan suku Sunda.

Didapatkan bahwa 71.4% suku Bugis dan 82.2% suku Sunda selalu melakukan

sarapan. Jenis sarapan yang biasa dikonsumsi contoh adalah gorengan, nasi goreng,

roti dan biskuit. Menurut Hurif (1990), jenis sarapan yang biasa dikonsumsi suku

15

Bugis yaitu nasi, dan juga terbiasa hanya minum kopi serta pisang goreng. Menu

sarapan tersebut belum memenuhi konsep gizi seimbang karena susunan makanan

yang belum beraneka ragam dalam jumlah dan proporsinya. Kurang beragamnya

menu sarapan yang dikonsumsi diduga disebabkan oleh rendahnya pendapatan

yang berkaitan dengan daya beli terhadap bahan pangan yang akan diolah dan

dikonsumsi (Megiyawati 2004).

Pada dasarnya makanan memiliki dua peranan dalam masyarakat, yaitu

berperan dalam kesehatan dan memiliki peran sosial dalam masyarakat (Den

Hartog 2006). Peran sosial diantaranya adalah sebagai media komunikasi dan

identitas budaya. Hal tersebut dapat terlihat dari kebiasaan suku Sunda maupun

Bugis yang membagi-bagikan makanan saat ada perayaan atau syukuran. Selain itu

kebiasaan meliwet di suku Sunda masih terlihat pada saat penelitian dimana

komunikasi antar warga sekitar berlangsung.

Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 14.3% suku Bugis dan 27.6% suku

Sunda tidak lagi melakukan kegiatan makan bersama. Menurut Putnam (2000), hal

ini terjadi karena begitu cepat perubahan yang terjadi pada hubungan sosial seperti

biaya hidup yang tinggi membuat suami dan istri harus bekerja lebih lama sehingga

semakin kekurangan waktu untuk melakukan kegiatan makan bersama. Pada Tabel

10 disajikan sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan, kebiasaan sarapan,

kebiasaan makan bersama, dan prioritas makan.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan, kebiasaan sarapan pagi,

kebiasaan makan bersama dan prioritas makan

Kebiasaan Makan Bugis Sunda Total

n % n % n %

Frekuensi Makan sehari

1 kali

2 kali

3 kali

> 3 kali

0

10

18

0

0.0

35.7

64.3

0.0

0

10

19

0.0

0.0

34.5

65.5

0.0

0

20

37

0

0.0

35.1

64.9

0.0

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Kebiasaan sarapan

Selalu (7 kali/minggu)

Sering (5-6 kali/minggu)

Jarang (1-4 kali/minggu)

Tidak pernah

20

2

5

1

71.4

7.1

17.9

3.6

24

0

4

1

82.8

0.0

13.8

3.4

44

2

9

2

77.2

3.5

15.8

3.5

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Kebiasaan makan bersama

Tidak ada

Ada

4

24

14.3

85.7

8

21

27.6

72.4

12

45

21.1

78.9

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Prioritas Makan

Tidak ada

Suami

Istri

Anak

17

4

4

3

60.7

14.3

14.3

10.7

13

5

9

2

44.8

17.2

31.0

6.9

30

9

13

5

52.6

15.8

22.8

8.8

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Dalam sebuah keluarga biasanya ada yang diprioritaskan dalam

pendistribusian makan, bisa suami, istri ataupun anak. Pada Tabel 10, didapatkan

16

hasil bahwa 60.7% suku Bugis dan 44.8% suku Sunda tidak begitu memperhatikan

prioritas dalam pembagian makan dan sebanyak 14.3% suku Bugis

memprioritaskan suami/istri dan 31% suku Sunda memprioritaskan istri dalam

prioritas makan dalam keluarga. Menurut Hurif (1990), sebagian besar suku Bugis

tidak memberi prioritas distribusi makanan dalam keluarga. Menurut Khomsan et

al. (2006) pada penelitiannya di Jawa Barat, mengungkapkan bahwa suami lebih

diprioritaskan daripada anggota rumah tangga lainnya, namun hal ini tidak sejalan

dengan hasil penelitian kali ini.

Frekuensi Konsumsi Pangan

Pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama

sehari-hari. Pangan pokok yang cukup dominan dikonsumsi contoh adalah nasi,

sedangkan frekuensi pangan pokok lainnya seperti mie, singkong, roti, jagung, ubi

jalar, dan kentang tidak sesering nasi. Konsumsi nasi suku Bugis lebih rendah

dibandingkan suku Sunda, namun konsumsi mie instan suku Bugis lebih tinggi

dibandingkan suku Sunda. Berdasarkan Purwantini (2012), konsumsi beras Jawa

Barat tahun 2010 adalah 100%, sedangkan Sulawesi Selatan adalah 98%. Konsumsi

mie instan Sulawesi Selatan adalah 68%, sedangkan Jawa Barat adalah 62.7%.

Menurut Suryana (2003) dalam Sianipar (2013), pola makan orang Indonesia tetap

didominasi oleh beras sebagai bahan makanan pokok yang terlihat dari tingkat

konsumsi di Indonesia yang masih diatas 95%. Kebanyakan orang Indonesia

mengaku belum makan jika belum mengkonsumsi nasi. Hal ini disebut faddisme

yaitu kesukaan berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu yang

mengakibatkan kurang bervariasinya makanan. Sejak kecil masyarakat telah lebih

dahulu dikenalkan dengan nasi sebagai makanan pokok dibandingkan dengan

jagung, ubi, singkong dan makanan pokok lainnya, sehingga menyebabkan

kebiasaan makan nasi sangat sulit untuk berubah. Kebiasaan yang dipelajari lebih

awal akan lebih tahan lama dalam kehidupan selanjutnya dan lebih resisten untuk

berubah. Selain itu nasi dianggap memiliki fungsi status ekonomi yang tinggi

daripada jagung dan umbi-umbian.

Lauk pauk yang biasa dikonsumsi contoh adalah telur ayam, ikan nila, ikan

asin, tahu dan tempe. Secara umum, biasanya konsumsi ikan suku Bugis adalah dua

kali sehari. Berdasarkan hasil penelitian, suku Bugis memiliki kebiasaan makan

ikan nila yang lebih sering dibandingkan dengan suku Sunda, yaitu sekitar 1–2 kali

sehari. Hal ini dikarenakan suku Bugis memiliki kolam ikan, sehingga ikan nila

mudah diperoleh. Selain itu kesukaan suku Bugis akan ikan menjadi faktor yang

berpengaruh terhadap pemilihan konsumsi pangan sumber protein suku Bugis.

Walaupun contoh suku Bugis memiliki kolam ikan air tawar, tidak lantas dalam

setiap kali makan mengkonsumsi ikan secara terus menerus. Terdapat 14.3% dari

suku Bugis yang mengkonsumsi ikan nila 3 kali sehari, 35.7% mengkonsumsi ikan

nila 2 kali sehari, 25% mengkonsumsi ikan nila 1 kali sehari dan 25% kurang dari

1 kali sehari. Beberapa alasan yang mengemuka adalah tekstur dari ikan air tawar

lebih lunak dan berbau amis, berbeda dengan ikan laut yang teksturnya lebih padat.

Sehingga suku Bugis yang terbiasa mengkonsumsi ikan laut lebih memilih

mengkonsumsi ikan nila dibandingkan ikan mas dikarenakan tekstur ikan nila

sedikit lebih padat dibandingkan ikan mas. Namun untuk konsumsi ikan asin, tahu

17

dan tempe, suku Sunda memiliki frekuensi lebih sering dibandingkan dengan suku

Bugis. Orang Sunda dikenal menyukai ikan asin dan hidangan laut. Berbagai

hidangan ikan laut yang diasinkan seperti ikan asin bulu ayam, teri, cumi-cumi,

jambal, ikan peda asin, dan ikan pari asin lazim ditemukan dalam hidangan Sunda

(UNKRIS 2014).

Tabel 11 menunjukan bahwa suku Sunda yang lebih sering dalam konsumsi

sayuran seperti bayam, wortel, kangkung, dan daun singkong. Makanan Sunda yang

dikenal dengan lalap yang disantap dengan sambal dan juga karedok menunjukkan

kesukaan orang Sunda terhadap jenis sayuran mentah segar (UNKRIS 2014). Ikan

segar sering dikonsumsi suku Bugis, namun konsumsi sayur dan buah masih kurang

dibandingkan dengan suku Sunda (Khomsan 2008). Kebiasaan suku Bugis tersebut

masih melekat walaupun telah menetap di Jawa Barat. Konsumsi sayur-sayuran

masih sangat kurang, padahal di Jawa Barat terkenal dengan tingginya konsumsi

sayur-sayuran. Salah satu faktor penghambat terjadinya perubahan adalah

kurangnya hubungan dengan masyarakat sekitar membuat warga Bugis merasa

puas dengan keadaan saat ini sehingga tidak terdapat kontak dengan budaya makan

masyarakat sekitar khususnya suku Sunda. Menurut He et al. (2004) tingginya

konsumsi buah dan sayur berhubungan signifikan dengan rendahnya risiko obesitas.

Seseorang yang mengkonsumsi buah dan sayur memiliki risiko 25% lebih rendah

menjadi obesitas.

Frekuensi konsumsi buah pisang untuk suku Bugis dan suku Sunda lebih

tinggi dari buah jeruk, mangga, dan pepaya. Hal ini dikarenakan buah pisang tidak

tergantung musim dan relatif selalu tersedia di lokasi. Konsumsi jeruk, mangga dan

pepaya suku Bugis umumnya kurang dari satu kali per minggu, sedangkan

konsumsi buah suku Sunda yang kurang dari satu kali per minggu adalah buah

mangga. Berdasarkan pola diet, umumnya diasumsikan bahwa suku Sunda lebih

banyak mengkonsumsi sayur atau buah segar atau daging tanpa lemak daripada

suku non Sunda (Budiningsih et al 1999). Menurut Tetens dan Alinia (2009), buah

memiliki densitas energi yang rendah dan tinggi kandungan serat serta terbukti

memiliki peran dalam mencegah kegemukan.

Rata-rata frekuensi konsumsi susu, mentega dan santan suku Bugis lebih

tinggi dibandingkan dengan suku Sunda, namun untuk penggunaan minyak, suku

Sunda lebih tinggi dibandingkan dengan suku Bugis. Berdasarkan Purwantini

(2012), konsumsi minyak goreng Jawa Barat tahun 2010 adalah 96.7%, sedangkan

Sulawesi Selatan adalah 92%. Budaya makan suku Sunda yaitu sedikit

mengkonsumsi lemak dan banyak makan sayur-sayuran (Efendi dan Makhfudli

2009). Makanan khas suku Bugis Makassar yang umum dijumpai diantaranya coto

makassar, jalangkote, kue tori, palubutung, pisang ijo, sop saudara dan sop konro

yang identik dengan kandungan lemak dan gula yang tinggi. Hal tersebut sejalan

dengan Burhan et al. (2013) bahwa di Jeneponto Sulawesi Selatan, faktor-faktor

yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral yaitu asupan gula

sukrosa yang tinggi, asupan lemak tinggi dan asupan sayur dan buah yang rendah.

Terdapat beberapa jenis pangan lainnya yang meliputi minuman bersoda,

gorengan, teh dan kopi. Frekuensi minuman bersoda, gorengan dan kopi suku

Sunda lebih tinggi, namun untuk teh suku Bugis lebih tinggi dibandingkan dengan

suku Sunda. Di Jawa Barat minum teh merupakan budaya, karena setiap restoran

dan rumah makan serta warung makan menyajikan minuman teh tanpa gula sebagai

minuman pengganti air putih (Adam 2006). Pada Tabel 11 terlihat bahwa konsumsi

18

teh suku Bugis lebih tinggi dibandingkan konsumsi teh suku Sunda. Terdapat

perbedaan dalam hal penyajian teh antara keduanya. Suku Bugis terbiasa minum

teh dengan menambahkan gula, sedangkan suku Sunda terbiasa minum teh tawar

atau tanpa gula. Hal ini dikarenakan suku Bugis lebih menyukai makanan atau

minuman yang manis. Konsumsi kopi suku Sunda lebih tinggi dibandingkan

dengan suku Bugis. Pada tahun 2000, produksi kopi Jawa Barat 7.48% lebih tinggi

daripada Sulawesi selatan. Hal tersebut diduga berkaitan dengan tingginya

konsumsi kopi suku Sunda (Indocommercial 2000). Pada Tabel 11 disajikan rata-

rata frekuensi konsumsi pangan.

Tabel 11 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan (kali per minggu)

Jenis Pangan Bugis Sunda

Pangan Pokok

Nasi 16.5 18.3

Mie 2.9 2.7

Roti 2.4 2.5

Singkong 0.2 1.3

Kentang 0.7 0.7

Jagung 0.5 0.6

Ubi jalar 0.5 0.3

Lauk Pauk

Ikan Asin 1.6 6.8

Tempe 4.0 5.1

Tahu 3.9 5.1

Telur ayam 4.4 4.2

Ikan Nila 10.0 1.2

Cumi 1.0 0.8

Ikan Mas 0.1 0.5

Udang 0.2 0.2

Sayur-sayuran

Wortel 1.4 2.1

Kangkung 1.3 2.0

Daun Singkong 0.5 1.6

Bayam 1.1 1.5

Buah

Pisang 2.2 3.4

Pepaya 0.6 1.8

Jeruk 0.5 1.6

Mangga 0.3 0.2

Sumber Lemak

Minyak 13.1 16.9

Susu 1.5 0.6

Santan 1.3 0.6

Mentega 1.5 0.4

Lainnya

Teh 9.2 8.3

Gorengan 5.8 8.3

Kopi 3.5 4.5

Minuman bersoda 0.3 0.8

19

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi

Asupan dan tingkat kecukupan gizi contoh diperoleh berdasarkan hasil recall.

Pada Tabel 12 disajikan rata-rata asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat.

Tabel 12 Rata-rata asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat

Zat Gizi Bugis Sunda

Energi (kkal) 1894 1736

Protein (gram) 69.7 51.9

Lemak (gram) 46.1 51.1

Karbohidrat (gram) 278.4 260.8

Asupan energi, protein dan karbohidrat suku Bugis lebih tinggi dibandingkan

dengan suku Sunda, namun asupan lemak lebih tinggi suku Sunda. Berdasarkan uji

beda t-test diketahui tidak terdapat perbedaan signifikan untuk asupan energi

(p=0.149), lemak (p=0.348) dan karbohidrat (p=0.363), namun terdapat perbedaan

yang signifikan untuk asupan protein (p=0.000). Perbedaan ini terjadi karena ikan

nila yang sehari-hari dikonsumsi suku Bugis memiliki nilai protein yang lebih

tinggi dibandingkan jenis ikan asin dan teri yang dikonsumsi suku Sunda. Asupan

tinggi protein dapat memberikan kontribusi jumlah kalori dalam sehari (Sartika

2011). Hal tersebut merupakan salah satu faktor tingginya angka kegemukan pada

suku Bugis. Pada Tabel 13 disajikan tingkat kecukupan energi, protein, dan

karbohidrat.

Tabel 13 Tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat

Zat Gizi Kategori Bugis Sunda Total

n % n % n %

Energi Defisit tingkat berat 5 17.9 12 41.4 17 29.8

Defisit tingkat sedang 5 17.9 2 6.9 7 12.3

Defisit tingkat ringan 7 25.0 7 24.1 14 24.6

Normal 10 35.7 7 24.1 17 29.8

Kelebihan 1 3.6 1 3.4 2 3.5

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Protein Defisit tingkat berat 1 3.6 8 27.6 9 15.8

Defisit tingkat sedang 1 3.6 5 17.2 6 10.5

Defisit tingkat ringan 4 14.3 3 10.3 7 12.3

Normal 8 28.6 9 31.0 17 29.8

Kelebihan 14 50.0 4 13.8 18 31.6

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Karbohidrat Defisit tingkat berat

Defisit tingkat sedang

Defisit tingkat ringan

Normal

7

6

1

13

25.0

21.4

3.6

46.4

7

7

7

6

24.1

24.1

24.1

20.7

14

13

8

19

24.6

22.8

14.0

33.3

Kelebihan 1 3.6 2 6.9 3 5.3

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Tingkat kecukupan energi (29.8%), protein (29.8%), dan karbohidrat (33.3%)

contoh tergolong normal. Jika dibandingkan dengan suku Bugis, tingkat kecukupan

energi, protein dan karbohidrat suku Sunda lebih banyak yang tergolong defisit

berat. Sebagian contoh suku Bugis (50%) memiliki tingkat kecukupan protein yang

20

tergolong lebih. Kontribusi terbesar protein tersebut berasal dari ikan nila yang

hampir setiap hari dikonsumsi oleh suku Bugis.

Kecukupan lemak dibagi menjadi tiga kategori yaitu kurang, cukup, dan lebih,

sedangkan kategori kecukupan energi, protein dan karbohidrat dibagi menjadi lima

kategori, sehingga tabel tingkat kecukupan lemak dibedakan dengan tabel tingkat

kecukupan energi, protein dan karbohidrat. Pada Tabel 14 disajikan tingkat

kecukupan lemak.

Tabel 14 Tingkat kecukupan lemak

Zat Gizi Kategori Bugis Sunda Total

n % n % n %

Lemak Kurang (<20%) 11 39.3 9 31.0 20 35.1

Cukup (20–25%) 9 32.1 8 27.6 17 29.8

Lebih (>25%) 8 28.6 12 41.4 20 35.1

Total 28 100.0 29 100.0 57 100.0

Lemak merupakan sumber energi bagi tubuh. Bila cadangan lemak berlebihan,

maka seseorang mempunyai kecenderungan mengalami kegemukan (Suhardjo dan

Kusharto 1992). Angka kegemukan pada suku Bugis yang mencapai 50% tidak

tergambarkan dari tingkat kecukupan lemak contoh pada Tabel 14. Kemungkinan

hal tersebut terjadi karena pada saat recall, contoh suku Bugis tidak banyak

mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak, sebab recall hanya

menggambarkan konsumsi contoh selama beberapa hari. Pada suku Sunda

kecukupan lemak lebih tinggi juga dimungkinkan karena frekuensi konsumsi

minyak lebih tinggi dan frekuensi konsumsi gorengan lebih tinggi (Tabel 11)

dibandingkan dengan suku Bugis.

Makanan Pantangan

Makanan pantangan merupakan salah satu komponen kebiasaan makan

model multidimensional yaitu ideologi makanan (Sanjur 1982). Makanan

pantangan merupakan suatu larangan dalam mengkonsumsi makanan tertentu,

karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap barang siapa yang

melanggarnya (Suhardjo 1989). Makanan Pantangan yang sering dijumpai di lokasi

penelitian mengindikasikan masih rendahnya pemahaman gizi masyarakat

(Sukandar 2006).

Bayi/Balita. Beberapa suku Bugis meyakini bahwa bayi/balita tidak boleh

diberikan ikan asin. Alasan dari pernyataan tersebut karena dapat menyebabkan

kulit bayi/balita menjadi korengan. Menurut Hurif (1990), anak kecil di suku Bugis

tidak dianjurkan makan ikan karena akan menyebabkan cacingan. Pada suku Sunda,

memberikan makanan pedas kepada bayi/balita tidak dianjurkan karena akan

menyebabkan sakit perut atau mencret. Hal ini sejalan dengan Sukandar (2006)

yang menyebutkan bahwa salah satu makanan pantangan bagi balita adalah

makanan pedas karena akan menyebabkan pilek dan mencret.

Wanita dewasa. Makanan yang menjadi pantangan bagi suku Bugis untuk

wanita dewasa diantaranya adalah pisang ambon dan timun dikarenakan akan

menyebabkan keputihan. Suku Sunda percaya jika wanita dewasa tidak dianjurkan

untuk memakan petai, jengkol muda dan nanas dengan alasan yang sama seperti

21

suku Bugis yaitu akan menyebabkan keputihan. Hal ini sedikit berbeda dengan

penelitian Sukandar (2006) dari segi alasan yang dikemukakan. Sukandar (2006)

menyebutkan bahwa makanan yang menjadi pantangan untuk wanita dewasa adalah

nanas dengan alasan akan menyebabkan alergi dan sakit perut serta jengkol dengan

alasan akan menyebabkan maag.

Wanita hamil. Bagi suku Bugis, wanita hamil tidak dianjurkan untuk makan

durian, nanas, nangka, cumi, cabai, minuman dingin, tape, jantung pisang, dan

makanan pedas. Tidak dianjurkan makan durian, nanas, nangka dan tape

dikarenakan akan mengalami keguguran. Alasan tidak dianjurkan makan cumi,

cabe, minuman dingin, jantung pisang berturut-turut adalah ditakutkan anak yang

lahir jalannya mundur, cengeng, anaknya besar, dan nantinya anak yang dilahirkan

tidak punya teman. Makanan yang menurut suku Bugis menjadi pantangan bagi

wanita hamil sama seperti Sukandar (2007), namun dalam segi alasan terdapat

perbedaan. Menurut Sukandar (2007), wanita hamil tidak dianjurkan

mengkonsumsi cumi dengan alasan anak akan berkulit hitam, tidak dianjurkan

minum minuman dingin dengan alasan bayi akan terkena flu, dan anaknya nanti

besar, tidak dianjurkan mengkonsumsi jantung pisang dengan alasan badan anak

akan sakit, takut anaknya hangus, takut ari-ari mengumpul seperti jantung pisang,

jika lahir anak akan sakit dan bayi sulit keluar saat melahirkan. Suku Sunda percaya

bahwa nanas, durian, salak, kopi, petai dan jengkol tidak dianjurkan untuk dimakan

saat hamil karena dapat menyebabkan keguguran, jalan lahir sempit, sulit

melahirkan, dan darah menjadi tidak sedap. Hal ini sesuai dengan penelitian

Sukandar (2006) terhadap ibu-ibu di Banjar, provinsi Jawa Barat bahwa wanita

yang sedang hamil dilarang untuk mengkonsumsi makanan seperti nanas dengan

alasan takut keguguran dan petai dengan alasan darah menjadi bau.

Tabel 15 Makanan Pantangan bagi wanita hamil

Suku Makanan Alasan

Bugis Durian

Nanas

Nangka

Tape

Cumi

Cabai

Minuman dingin (es)

Jantung pisang

Takut keguguran

Anak jalannya mundur

Anaknya cengeng

Anaknya besar

Anaknya tidak punya teman

Sunda Nanas

Durian

Salak

Kopi

Petai

Jengkol

Takut Keguguran

Jalan lahir sempit

Sulit melahirkan

Darah bau

Wanita menyusui. Makanan pantangan untuk wanita yang sedang menyusui

antara lain menurut suku Bugis adalah makanan yang asam dan pedas, daun kacang,

tape, dan ikan karena akan menyebabkan anak diare atau mencret, ASI yang

dihasilkan sedikit, bayi panas dan kulit anak menjadi gatal. Menurut Sukandar

(2007), salah satu makanan yang menjadi pantangan bagi ibu menyusui adalah cabe

rawit dengan alasan anak mencret, pedasnya menular ke anak dan pantat anak

22

merah. Makanan yang dipantang menurut suku Sunda hampir sama yaitu daun

kacang, makanan pedas dan ikan dengan alasan yang sama. Hal ini sesuai dengan

penelitian Media et al. (2005) terhadap ibu-ibu yang sedang menyusui di Karawang,

bahwa makanan seperti telur, ikan, makanan pedas, buah yang asam dan minum es

menjadi pantangan bagi ibu menyusui. Disebutkan bahwa makanan yang pedas-

pedas seperti sambal dilarang dengan maksud agar anak tidak mencret.

Tabel 16 Makanan pantangan bagi wanita menyusui

Suku Makanan Alasan

Bugis Makanan asam

Makanan pedas

Daun kacang

Tape

Ikan

Anak diare/mencret

ASI sedikit

Bayi panas

Kulit bayi gatal-gatal

Sunda Makanan pedas

Daun kacang

Ikan

Anak diare

ASI sedikit

Kulit bayi gatal-gatal

Walaupun suku Bugis telah menetap di Cianjur, Jawa Barat, makanan

pantangan yang dipercaya belum mengalami perubahan. Hal tersebut dikarenakan

suku Bugis yang tinggal di area waduk Cirata, lebih banyak berinteraksi dengan

sesama suku Bugis. Interaksi antara suku Bugis dan suku Sunda tidak banyak terjadi

karena suku Bugis lebih banyak menghabiskan waktu di area waduk dibandingkan

kegiatan di daratan yang didominasi oleh suku Sunda.

Di dalam masyarakat Bugis dikenal beberapa makanan pantangan tertentu

yang merupakan warisan kepercayaan turun temurun, namun sudah banyak

masyarakat yang tidak patuh terhadap makanan pantangan tersebut, sehingga

terdapat beberapa suku Bugis tetap makan makanan yang tidak dianjurkan.

Berbagai jenis makanan yang menjadi pantangan memiliki sumber zat gizi tertentu

yang dibutuhkan oleh tubuh. Adanya larangan atau pantangan akan mempengaruhi

konsumsi pangan yang akan berdampak pada status gizi (Megiyawati 2004).

Menurut Oni dan Tukur (2012), selama kehamilan, ibu usia remaja menghindari

makanan yang menjadi pantangan. Hal ini dimungkinkan karena ibu usia remaja

tersebut telah dipengaruhi oleh ibu mertua, suami dan tokoh masyarakat yang terus

menerus menghidupkan nilai budaya. Setelah dilakukan uji korelasi Spearman,

tidak terdapat hubungan yang nyata (p=0.606) antara usia terhadap kepercayaan

makanan pantangan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sebagian besar contoh adalah perempuan dengan rentang usia contoh adalah

19 hingga 80 tahun. Sebagian besar contoh (54.4%) berstatus gizi normal. Namun,

terdapat sedikitnya 50% suku Bugis dan 34.4% suku Sunda yang status gizinya

melebihi normal. Jenjang pendidikan suku Bugis (50%) dan suku Sunda (82.8%)

23

adalah sekolah dasar (SD). Mayoritas pekerjaan kepala keluarga suku Bugis

(92.9%) adalah bekerja sebagai wiraswasta yang melakukan budidaya ikan di

waduk Cirata, sedangkan pekerjaan kepala keluarga suku sunda (69.0%) adalah

buruh. Pendapatan suku Bugis (63.2%) dan suku Sunda (36.8%) tergolong dalam

kategori rendah berdasarkan garis kemiskinan perdesaan Jawa Barat 2014. Kurang

dari separuh pengetahuan gizi suku Bugis baik (39.2%), sedangkan 55.2%

pengetahuan gizi suku sunda dalam kategori sedang.

Asupan energi, protein dan karbohidrat suku Bugis lebih tinggi dibandingkan

dengan suku Sunda, namun asupan lemak suku Sunda lebih tinggi jika

dibandingkan dengan suku Bugis. Tingkat kecukupan energi (29.8%), protein

(29.8%), dan karbohidrat (33.3%) contoh tergolong normal. Tingkat kecukupan

lemak contoh tergolong lebih (35.1%) dan 29.8% tergolong cukup. Frekuensi

makan sehari suku Bugis (64.3%) dan suku Sunda (65.5%) adalah tiga kali sehari.

Sebagian besar suku Bugis (60.7%) dan suku Sunda (44.8%) tidak lagi

memperhatikan prioritas makan.

Uji beda dilakukan terhadap variabel status gizi, besar keluarga, pendapatan,

jenjang pendidikan, pengetahuan gizi, dan asupan energi, protein, lemak, serta

karbohidrat. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk variabel status gizi

(p>0.05), besar keluarga (p>0.05), pendapatan (p>0.05), pengetahuan gizi (p>0.05),

asupan energi (p>0.05), asupan lemak (p>0.05), dan asupan karbohidrat (p>0.05)

antara kedua kelompok, namun terdapat perbedaan yang signifikan untuk variabel

pendidikan (p<0.05) dan asupan protein (p<0.05). Berdasarkan hasil uji korelasi

didapatkan hubungan yang signifikan (p<0.05) antara jenjang pendidikan dengan

pengetahuan gizi. Makanan pantangan juga masih diyakini sebagian contoh suku

Bugis maupun suku Sunda. Terdapat 12 makanan pantangan bagi wanita hamil,

diantaranya nanas, salak, minuman dingin, durian, nangka, tape, cumi, cabai,

jantung pisang, kopi, petai dan jengkol serta 5 makanan pantangan bagi wanita

menyusui diantaranya daun kacang, makanan pedas, makanan asam, ikan dan tape.

Saran

Konsumsi sayur dan buah warga masih tergolong kurang, sehingga

diharapkan warga dapat meningkatkan konsumsi sayur dan buah di setiap

kesempatan makan. Kecenderungan konsumsi protein nabati suku Sunda masih

dominan, akan lebih baik jika suku Sunda meningkatkan konsumsi protein hewani

sehingga makanan yang dikonsumsi lebih bervariasi. Dalam menilai kebiasaan

makan, diperlukan wawancara mendalam (in-depth interview) agar dapat

mendeskripsikan kebiasaan penduduk dengan lebih luas. Dinas pendidikan

setempat diharapkan dapat membuat program peningkatan pendidikan dan

keterampilan karena sebagian besar masyarakat hanya lulusan Sekolah Dasar (SD).

Pada lokasi penelitian terdapat berbagai macam suku bangsa dan agama sehingga

disarankan agar contoh penelitian dapat mewakili berbagai suku dan agama

tersebut.

24

DAFTAR PUSTAKA

Adam RP. 2006. Pengaruh Faktor Internal Konsumen dan Kinerja Bauran

Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Komoditas Teh oleh Konsumen

Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bandung (ID):

Universitas Padjadjaran.

Aksomo R. 2007. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Waduk Cirata untuk Perikanan dan

Wisata Tirta di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Baliwati YF, Khomsan A, dan Dwiriani CM. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Berg (1986) dalam Saleha Q. 2005. Kajian Pola dan Kebiasaan Makan Masyarakat

Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi, Kabupaten

Bandung. EPP. (2): 22-28.

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 1998. Buku

Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID):

BKKBN

Budiningsih et al. 1999. Breast Cancer Risk Factors among Sundanese and Other

Ethnic Groups in Indonesia. Med J Indones. 8132

Burhan Z, Sirajuddin S, Rahayu I. 2013. Pola Konsumsi Terhadap Kejadian

Obesitas Sentral pada Pegawai Pemerintahan di Kantor Bupati Kabupaten

Jeneponto [Internet]. [diunduh 2014 Juli 06]. Tersedia pada:

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5440

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2012

[Internet]. [diunduh 2014 Feb 13]. Tersedia pada:

http://cianjurkab.bps.go.id/flipping_book/index.html.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi dan

Nasional 1996-2012 [Internet]. [diunduh 2014 Feb 13]. Tersedia pada:

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26

&notab=2.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik [Internet]. [diunduh 2014

Agustus 20]. Tersedia pada: http://jabar .bps.go.id

Ciptakarya. 2004. Profil Kabupaten/Kota [Internet]. [diunduh 2014 sept 11].

Tersedia pada:

http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/timur/sulsel/makassar.pdf

Contento IR. 2007. Nutritional Education: Linking Research, Theory, and Practice.

Canada (US): Jones and Bartlett Publisher.

Den Hartog AP, Van Staveren WA, Brouwer ID. 2006. Food Habis and

Consumption in Developing Countries. Netherlands (NLD): Wageningen

Academic Publishers.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Saku Asuhan

Di Puskesmas [Internet]. [diunduh 2014 Sept 11]. Tersedia pada:

http://www.edukia.org/web/wp-content/uploads/2013/11/Buku-Saku-

Asuhan-Gizi-di-Puskesmas-complete1.pdf

Efendi F, Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik

dalam Keperawatan. Jakarta (ID): Salemba Medika.

25

Farooqi S, O’Rahilly S. 2006. Genetics of Obesity in Humans. The Endocrine

Society. 27(7): 710-718.

[FDA] Food and Drug Administration. 2012. What is a dietary supplement

[Internet]. [diunduh 2014 September 10]. Tersedia pada:

http://www.fda.gov/aboutfda/transparency/basics/ucm195635.htm

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment Second Edition. New

Zealand (USA): University Press.

Gibson (2005) dalam Pitriani A. 2012. Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Gizi

dengan Tingkat Kebugaran Atlet Taekwondo Remaja di Pemusatan Latihan

Nasional Cipayung, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Guerrero M, Gutierrez Fisac JL, Guallar Castillon P, Banegas JR, Rodriguez

Artalejo F. 2008. Eating Behaviours and Obesity in the Adult Population

of Spain. British Journal of Nutrition. 100: 1142-1148

Hardinsyah et al. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Pusat

Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan,

Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

He et al. 2004. Changes in Intake of Fruits and Vegetables in Relation to Risk of

Obesity and Weight Gain among Middle-Aged Women. International

Journal of Obesity. 28: 1569-1574.

Hurif H. 1990. Laporan Penelitian Kebiasaan Pangan Suku Bugis, Kabupaten Barru,

Provinsi Sulawesi Selatan [Internet]. [diunduh 2014 Juli 06]. Tersedia pada:

http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/14638

Indocommercial (2000) dalam Sianturi S. 2004. Analisis Ekuitas Merek Produk

Kopi Bubuk di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kant, Graubard. 2004. Eating Out in America, 1987-2000: Trends and Nutritional

Correlates. Prev Med 38, 243-249.

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

__________ . 2002. Pangan dan Gizi Kesehatan. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Khomsan A, Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, Musdjajanto ES. 2006. Studi Tentang

Pengetahuan Gizi Ibu dan Kebiasaan Makan pada Rumah Tangga di Daerah

Dataran Tinggi dan Pantai. Jurnal Pangan dan Gizi. 1(1): 23-28.

Khomsan A, Anwar F. 2008. Sehat itu Mudah, Wujudkan Sehat dengan Makanan

Tepat. Bandung (ID): Mizan Media Utama.

Kittler, Sucher. 2008. Food and Culture. California (USA): Thomson Higher

Education.

Media Y, Kasnodihardjo, Prasodjo RS, Manalu H. 2005. Faktor-Faktor Sosial

Budaya yang Melatar Belakangi Pemberian ASI Ekslusif. Jurnal Ekologi

Kesehatan. 4(2): 241-246

Megiyawati S. 2004. Pola Makan dan Status Gizi Anak Usia 1-6 Tahun di Kampung

Naga Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka

Cipta.

Oni, Tukur. 2012. Identifying Pregnant Woman Who Would Adhere to Food

Taboos in a Rural Community: a community-based study. African Journal

Reproductive Health. 16(3): 67.

26

Papalia, Olds (1981) dalam Puspitawati et al (2008) dalam Rahayu. 2013.

Pemanfaatan Tumbuhan Pangan dan Obat oleh Masyarakat kampong

Sinarwangi di Sekitar Hutan Gunung Salak Kabupaten Bogor [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Piernas C, Popkin BM. 2010. Snacking Increased among U.S. Adults between 1977

and 2006. The Journal of Nutrition.

Purwanti. 2012. Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah

Tangga Petani Padi [Internet]. [diunduh 2014 Juli 06]. Tersedia pada:

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_03D_MP_Tribastuti

.pdf

Putnam RD. 2000. Bowling Alone. New York (US): Simon and Schuster

Paperbacks.

[PUSLUH] Pusat Penyuluhan. 2011. Potensi dan Distribusi Ikan Nila [Internet].

[diunduh 2014 Juli 06]. Tersedia pada:

www.pusluh.kkp.go.id/index.php/arsip/file/71/1-ikan-gurami.pdf

Rudjito. 1987. Sinopsis dan Suntingan Perencanaan Gizi. Jakarta (ID): PT Media

Swara.

Roemling C, Qaim M. 2012. Obesity Trends and Determinants in Indonesia.

Appetite: 58: 1005-1013.

Sanjur (1982) dalam Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Santrock JW. 1996. Perkembangan Remaja. Adelar SB, Saragih S, penerjemah:

Kristiaji WC, Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari:

Adolescence, 6th Edition.

Sartika. 2011. Faktor Risiko Obesitas pada Anak 5-15 Tahun di Indonesia. Makara,

Kesehatan. 15(1): 37-43.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suhardjo dan Kusharto. 1992. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Sukandar. 2006. Makanan Tabu di Banjar Jawa Barat. Jurnal Gizi dan Pangan.

1(1): 51-56

Sukandar. 2007. Makanan Tabu di Jeneponto Sulawesi Selatan. Jurnal Gizi dan

Pangan. 2(1): 42-46

Suryana (2003) dalam Sianipar AP. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Beras di Desa Pematang Cengal

Kabupaten Langkat [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara.

Tetens dan Alinia. 2009. The Role of Fruit Consumption in the Prevention of

Obesity. Journal of Horticultural Science & Biotechnology.

[UNDP] United Nations Development Programme. 2013. Human Development

Report 2013 [Internet]. [diunduh 2014 Feb 13]. Tersedia pada:

http://hdr.undp.org.

[UNKRIS] Universitas Krisnadwipayana. 2014. Masakan Sunda [Internet].

[diunduh 2014 July 18]. Tersedia pada: http://universitas-pgri-

yogyakarta.kpt.co.id/_b.php?_b=info&id=24435

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 08 Februari 1992 dari ayahanda

Suraji dan ibunda Kunaryati Kartini. Penulis merupakan putri pertama dari dua

bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari TK Negeri Pembina Jayapura

tahun 1997-1998, kemudian melanjutkan sekolah dasar di SDN Kotaraja tahun

1998-2000 dan pindah ke Bandung lalu melanjutkan sekolah dasar di SDN ASMI

IV hingga tahun 2004. Tahun 2004-2007 penulis bersekolah di SMPN 11 Bandung

dan tahun 2007-2010 di SMAN 11 Bandung. Setelah lulus SMA, penulis

melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Gizi

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi

yaitu Ecoagrifarma, Klub Kulinari dan Rotaract. Selain itu, penulis juga mengikuti

kegiatan magang di majalah Food Review dan menjadi pengajar tutorial kimia

mahasiswa TPB. Pada bulan Juni-Agustus 2013, penulis melaksanakan Kuliah

Kerja Profesi di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor dan

pada bulan Maret 2014 penulis mengikuti Internship Dietetic (ID) di RSUD

Cibinong.