ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN … · Apriani, Asti Yayuk Wahyuni atas semua dukungan,...
Transcript of ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN … · Apriani, Asti Yayuk Wahyuni atas semua dukungan,...
ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET TERHADAP KINERJA USAHATANI DI KECAMATAN JASINGA KAB BOGOR
SKRIPSI
SALLY WULANDARI H34076137
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET TERHADAP KINERJA USAHATANI DI KECAMATAN JASINGA KAB BOGOR
SKRIPSI
SALLY WULANDARI H34076137
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
RINGKASAN SALLY WULANDARI. Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA).
Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimiliki oleh Indonesia adalah tanaman karet. Indonesia merupakan negara dengan luas kebun karet terbesar di dunia, yakni seluas 3.433.000 Ha, dengan rata-rata produktivitas sebesar 1.004 Kg/Ha/Tahun. Salah satu daerah penghasil karet alam di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Kecamatan Jasinga merupakan sentra produksi karet rakyat terbesar di Kabupaten Bogor. Pengolahan bahan olah karet di Kecamatan Jasinga mempunyai potensi untuk terus dikembangkan. Keterbatasan pengetahuan petani dan sarana pasca panen menjadi salah satu kendala dalam pengolahan bahan olah karet yang dihadapi oleh sebagian besar petani karet di Kecamatan Jasinga. Hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya mutu dan kualitas hasil bahan olah karet yang dihasilkan oleh petani karet di Kecamatan Jasinga. Untuk meningkatkan kualitas dan mutu karet yang dihasilkan oleh petani, maka Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Dirjen P2HP), Kementerian Pertanian melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor mengadakan sebuah program, yakni Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Setelah Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet berjalan selama satu tahun, diperlukan evaluasi untuk menilai keberhasilan dari program yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap petani karet di Kecamatan Jasinga.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji gambaran pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet serta untuk mengkaji kinerja usahatani penerima bantuan dibandingkan dengan petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Metode penelitian yang digunakan adalah probability sampling dengan metode pengambilan sampel adalah metode sensus, dengan jumlah responden sebanyak 43 orang. Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden dan pihak instansi terkait dengan menggunakan pedoman kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait. Data yang diperoleh kemudian di tabulasi dan di analisis dengan analisis deskriptif, analisis usahatani untuk mengetahui tingkat pendapatan dari petani penerima bantuan program dan petani non penerima bantuan program.
Hasil penelitian berdasarkan analisis deskriptif bahwa status usahatani karet petani penerima bantuan adalah pekerjaan utama (81,40%) sebagian besar petani penerima bantuan berusia antara 35-44 tahun (58,14%), berpendidikan SD/sederajat (69,77%), mempunyai pengalaman bertani karet 16-20 tahun (25,58%), mempunyai luas lahan karet antara 1-2 Ha (44,19%), dan status kepemilikan lahan adalah milik sendiri (62,79%).
Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga berjalan dengan baik. Penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terdiri dari tiga kelompok tani, yakni kelompok tani Mandiri, Binangkit dan Kuningsari. Masing-masing kelompok tani mendapatkan alat pasca panen berupa hand mangel, timbangan gantung, mangkok lateks, pisau sadap dan loyang. Adanya Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga ini membawa dampak yang sangat positif pada usahatani karet yang ada pada kelompok tani penerima bantuan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan kualitas sheet yang dihasilkan oleh petani, dari sheet asalan menjadi sheet dengan kualitas 3. Peningkatan mutu dan kualitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan pada pendapatan petani penerima bantuan program, yaitu bertambahnya nilai jual sheet yang dihasilkan dari Rp 4.500,- menjadi Rp 7.500,- per kilogram.
Berdasarkan hasil kinerja usahatani, petani karet penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet mampu menghasilkan mutu dan kualitas sheet dengan kualitas 3 yang rata-rata harga jualnya adalah Rp 7.500,- per kilogram. Petani penerima bantuan program pun memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Pendapatan atas biaya tunai dari petani penerima bantuan program adalah sebesar Rp 16.511.500,- dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 16.273.100,-. Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 2,01 dan R/C atas biaya total adalah 1,98.
Berdasarkan analisis tersebut diperoleh beberapa rekomendasi yaitu diperlukan pelatihan dan penelitian mengenai teknik pasca panen karet yang baik. Terutama mengenai proses pembekuan, penggilingan, pencucian dan pengeringan lateks. Diperlukan penerapan teknologi modern misalnya: mekanisasi pertanian, penerapan kawasan agropolitan atau penerapan integrated farming. Petani karet yang belum tergabung dengan kelompok tani diharapkan bisa bergabung dengan kelompok tani. Untuk meningkatkan perkembangan kelompok tani, diperlukan upaya penyuluhan dan pelatihan yang lebih intensif dari pihak BP3K atau BP4K.
ANALISIS KEBERHASILAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET TERHADAP KINERJA USAHATANI DI KECAMATAN JASINGA KAB BOGOR
SKRIPSI
SALLY WULANDARI H 34076137
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Judul Skripsi : Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet Terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan
Jasinga Kab Bogor
Nama : Sally Wulandari
NIM : H34076137
Disetujui, Pembimbing
Dra. Yusalina, M.Si
NIP. 19650115 199003 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Analisis
Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap
Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kab Bogor” adalah karya sendiri dan
belum diajukan berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Sally Wulandari H34076137
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 06 Januari
1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Drs Darmawan Adhi
dan Yanti Heryanti. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di Taman Kanak-
Kanak Perwari Ciamis pada tahun 1990. Pendidikan dasarnya diselesaikan pada
tahun 1998 di Sekolah Dasar (SD) Negeri Galuh II Ciamis. Penulis lalu
melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri
I Ciamis dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2004 penulis menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri I Ciamis dan pada tahun
yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi pada Program Diploma III
Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi pada Program Sarjana Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan
eksternal kampus, yaitu sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Bogor periode tahun 2006-2007, anggota Association bfor Agriculture
and Community Empowerment (ASPECT) dan staf redaksi DETAK Lembaga
Pers Mahasiswa Islam (LAPMI). Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai
Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pertanian dan Kehutanan, Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor.
KATA PENGANTAR
Teriring salam dan doa selalu penulis panjatkan sebagai rasa syukur atas
nikmat dan hidayah yang telah diberikan Allah SWT, karena hanya dengan
rahmat dan kasih saying-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kab Bogor. Penulisan skripsi
ini adalah sebagai suatu syarat untuk memenuhi kelulusan pada Departemen
Agribisnis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji gambaran pelaksanaan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga
Kabupaten Bogor dan dampak terhadap kinerja usahatani yang ada di Kecamatan
Jasinga Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi
masukan bagi pihak-pihak dan instansi yang terkait dengan pelaksanaan program
pengembangan agribisnis komoditi karet di Kabupaten Bogor.
Skripsi ini sangat bermanfaat bagi penulis sebagai salah satu mahasiswa
yang sedang menyelesaikan tugas akhir pada Program Sarjana Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini
merupakan hasil maksimal yang dapat diselesaikan oleh penulis selama mengikuti
pembelajaran dalam kegiatan kuliah maupun tugas akhir ini. Penulis menyadari
bahwa masih terdapat keterbatasan dan kendala yang dihadapi dalam skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memang membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Sally Wulandari H34076137
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, Penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dra Yusalina, M.Si sebagai dosen pembimbing, yang telah memberikan
bimbingan, saran dan pengarahan selama proses penyusunan skripsi ini.
2. Dr.Ir. Anna Farianty, M.Si selaku dosen penguji utama dan dosen evaluator
pada kolokium yang telah memberikan berbagai saran dan masukan untuk
penulis dalam upaya memaksimalkan penulisan skripsi ini.
3. Ir. Netti Tinaprilla, MSi sebagai perwakilan dari komisi akademik yang telah
meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran yang sangat
bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Ayahanda tercinta atas segala didikan dan nasehatnya kepada penulis serta
Ibunda atas perhatian, kepercayaan, kasih sayang dan doa tulus yang selalu
membuat penulis menjadi lebih baik serta adik-adikku untuk doanya.
5. Edwin Ertiansyah sebagai pembahas pada seminar hasil penulis, dengan
segala kritik dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Enjen sebagai ketua kelompok tani penerima bantuan Program untuk
informasi dan bantuan yang diberikan selama penelitian.
7. Ir. Prasetiowati dan Ir. Cahyo Prayitno sebagai Kepala Bidang Perkebunan
dan Kepala Seksi Pengelolaan Hasil dan Pemasaran Distanhut Kab Bogor
yang memberikan banyak informasi serta masukan dalam skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku Ratna Khodijah, Andita Rahmawati, Dwi Novianti
Lestari, Arie Fahmiyati, Annisa Febriani, dan Dwi Antoro atas doa dan
bantuan serta semangat yang begitu besar.
9. Kakak-kakak ku Indri Wulandari, Lenny Sulistianty, Ine Prestiani, Mira
Apriani, Asti Yayuk Wahyuni atas semua dukungan, semangatnya.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Juni 2012
Sally Wulandari
i
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... vi I PENDAHULUAN ................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 7 1.3 Tujuan ................................................................................ 10 1.4 Kegunaan ........................................................................... 10 1.5 Ruang Lingkup ................................................................... 11 II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 11
2.1 Agribisnis Karet di Indonesia ............................................. 11 2.2 Industri Pengolahan Karet Alam Indonesia ........................ 13 2.3 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ...................................... 14 2.4 Pengembangan Ekonomi Lokal ............................................ 15 2.5 Konsep Kelembagaan dan Peran Kelembagaan..................... 17 2.6 Kelompok Tani .................................................................... 19 2.7 Penelitian Terdahulu ............................................................ 20
III KERANGKA PEMIKIRAN .................................................... 23 3.1 Kerangka Teoritis ................................................................ 23
3.1.1 Sumberdaya Ekonomi Lokal ...................................... 23 3.1.2 Sistem Agribisnis .................. .................................... 23 3.1.3 Kelembagaan dalam Agribisnis .................................. 25 3.1.4 Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ... 27
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ......................................... 28
IV METODE PENELITIAN ......................................................... 31 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 31 4.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................... 32 4.3 Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Sampel ............... 32 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................. 34 4.4.1 Analisis Deskriptif ....................................................... 34 4.4.2 Analisis Pendapatan .................................................... 36 4.4.3 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Rasio R/C) .................................................................. 36 4.5 Batasan Operasional ............................................................ 36
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 38 5.1 Gambaran Wilayah Kabupaten Bogor .................................. 38
5.2 Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kecamatan Jasinga .... 41 5.3 Karakteristik Petani Responden .......................................... 44 5.3.1 Status Usahatani Karet ................................................ 45
ii
5.3.2 Usia Petani ................................................................. 46 5.3.3 Pendidikan Petani ....................................................... 46 5.3.4 Pengalaman Bertani Karet ........................................... 47 5.3.5 Luas Lahan Petani Responden ..................................... 48 5.3.6 Status Kepemilikan Lahan Petani . ............................... 49
VI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET ....................................... 50 6.1 Mekanisme Penyaluran Bantuan ......................................... 50 6.2 Tanggapan Petani Penerima Bantuan ................................... 53 VII ANALISIS KINERJA USAHATANI DAN PENDAPATAN PETANI KARET DI KECAMATAN JASINGA .................... 55 7.1 Analisis Kinerja Usahatani ................................................... 55
7.1.1 Penggunaan Input ...................................................... 56 7.1.1.1 Pupuk ............................................................ 57 7.1.1.2 Koagulan (Asam Semut) .................................. 58 7.1.1.3 Tenaga Kerja .................................................. 58
7.2 Analisis Pendapatan Usahatani ............................................ 59 7.2.1 Analisis Usahatani Karet Petani Penerima
Bantuan Program ........................................................ 59 7.2.2 Analisis Usahatani Karet Petani Non Penerima
Bantuan Program ........................................................ 61
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 63 8.1 Kesimpulan ........................................................................ 63 8.2 Saran ................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 65 LAMPIRAN ....................................................................................... 68
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Berlaku (Milyar Rp)
pada Tahun 2005-2009 ............................................................ 1
2. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Konstan Menurut
Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) Tahun 2005-2009 ................ 2
3. Persentase Perkebunan Karet Rakyat di Negara Produsen
Utama Dunia Pada Tahun 2008 ............................................... 3
4. Luas Lahan Perkebunan Karet Rakyat di Indonesia Menurut
Jenis Tanaman Pada Tahun 2005-2009 ..................................... 3
5. Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia menurut Jenis
Tanaman pada Tahun 2005-2009 ............................................. 4
6. Luas Kebun, Produksi dan Konsumsi Karet di Indonesia
Tahun 2001-2008 .................................................................... 4
7. Luas Tanaman Menghasilkan dan Produksi Karet di
Pulau Jawa dan Status Penggunaan Lahan Tahun 2008 ............. 5
8. Perkembangan Jumlah Produksi Sheet Basah yang Dihasilkan
Oleh Petani di Kec Jasinga Kab Bogor Tahun 2009-2010 ........ 9
9. Perbandingan Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) dan
Pembangunan Terpusat serta Kaitannya dengan Kebijakan
Sektor Publik ........................................................................... 16
10. Sebaran Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor menurut
Sensus Penduduk Tahun 2010 .................................................. 39
11. Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ........... 43
12. Jumlah Penduduk Kecamatan Jasinga Berdasarkan Jenis
Mata Pencaharian Tahun 2010 ................................................. 44
13. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria
Status Usahatani Karet Di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ....... 45
14. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Usia di
Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................ 46
15. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Pendidikan di
Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................ 47
iv
16. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Berusahatani
Karet di Kecamatan Jasinga Tahun 2011 .................................. 48
17. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Luas Lahan di
Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................ 48
18. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Lahan di
Kecamatan Jasinga Tahun 2011 ................................................ 49
19. Perbaikan Mutu Sheet dan Harga Jual yang Diterima Petani
Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Program Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet Tahun 2009-2010 ........................... 53
20. Rata-rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar
per Tahun yang dilakukan Petani Penerima Bantuan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga ....... 56
21. Rata-rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar
per Tahun yang dilakukan Petani Non Penerima Bantuan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di
Kec Jasinga ............................................................................. 56
22. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Penerima Bantuan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per
Hektar per Tahun di Kec Jasinga ............................................. 60
23. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Non Penerima Bantuan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per
Hektar per Tahun di Kec Jasinga ............................................. 61
v
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman
1. Produk Hasil Olahan Getah Karet/ Lateks di Indonesia ............ 13
2. Sistem Agribisnis .................................................................... 24
3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Keberhasilan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap Kinerja Usahatani di Kec Jasinga Kab Bogor ........................... 30
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Propinsi Jawa Barat Menurut Komoditas dan Keadaan Tanaman........... 69
2. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Dengan Metode Garis Lurus .................................................... 71
3. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Dengan Metode Garis Lurus .................................................... 72
1
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pertanian dipandang sebagai sektor yang strategis untuk dikembangkan,
karena kondisi alam Indonesia sangat menunjang untuk menghasilkan produk
pertanian. Pertanian merupakan sektor unggulan dan memiliki potensi yang besar
dalam perekonomian nasional Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi
sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan salah
satu indikator ekonomi makro yang ditujukan untuk mengetahui seberapa besar
peranan kontribusi yang diberikan oleh suatu produk terhadap pendapatan
nasional. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar dalam PDB
nasional. (Tabel 1).
Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Berlaku (Milyar Rp) pada Tahun 2005-2009
Tahun Sektor
2005 2006 2007 2008 2009
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
364.169,89 433.233,45 541.593,60 731.291,66 858.252,80
Pertambangan Penggalian
309.014,45 366.521,05 441.007,91 543.364,09 591.531,67
Industri Pengolahan
760.361,67 919.539,64 1.068.654,08 1.380.732,57 1.480.905,94
Listrik, Gas, Air Bersih
26.694,32 30.355,17 34.725,61 40.847,34 46.823,11
Bangunan 195.111,80 251.132,36 305.216,27 419.322,50 554.982,62 Perdagangan, Hotel Restoran
431.620,12 501.542,61 589.352,30 692.119,77 750.605,20
Pengangkutan Komunikasi
180.585,78 231.524,45 264.264,45 312.454,41 352.407,72
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
230.523,16 269.121,81 305.214,78 368.130,03 404.116,54
Jasa – Jasa 276.204,08 336.259,80 399.299,73 483.771,76 573.818,70 Produk Domestik Bruto
2.774.281,76 3.339.216,20 3.949.321,85 4.954.029,41 513.44147
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
Sektor pertanian terbagi ke dalam beberapa subsektor. Salah satunya
adalah subsektor tanaman perkebunan. Komoditas perkebunan mempunyai
potensi yang besar untuk dikembangkan dan banyak diperlukan oleh pasar
domestik dan pasar internasional. Subsektor perkebunan menempati urutan kedua
setelah tanaman pangan dalam kontribusi Produk Domestik Bruto (Tabel 2).
2
Tabel 2. Pendapatan Domestik Bruto Atas Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) Tahun 2005-2009
Tahun Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008* 2009**
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
253.163,68 262.402,81 271.509,43 284.620,87 296.369,03
a. Tanaman Pangan 125.801,85 129.548,26 133.888,45 142.000,64 148.691,86 b. Tanaman Perkebunan 39.810,09 41.318,50 43.199,32 44.785,65 45.887,21 c. Peternakan 32.346,45 33.430,62 34.220,07 35.425,43 36.743,56 d. Kehutanan 17.176,69 16.686,49 16.548,61 16.543,43 16.793,78 e. Perikanan 38.745,66 41.419,81 43.652,68 45.866,92 48.253,72
Keterangan : * Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Subsektor perkebunan umumnya berkembang di wilayah pedesaan,
marginal dan kadang terpencil. Subsektor perkebunan mempunyai peranan yang
strategis dalam pengembangan wilayah di daerah pedesaan dan terpencil tersebut.
Keberadaan subsektor perkebunan telah memberi kontribusi yang signifikan pada
pertumbuhan wilayah, dimana perkebunan tersebut berada. Berkembangnya
berbagai industri pendukung perkebunan, sektor jasa transportasi, konstruksi dan
perdagangan tidak terlepas dari multiplier effect pembangunan perkebunan di
wilayah tersebut. Peranan subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional
adalah melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja
pertumbuhan ekonomi, sumber devisa, pengentasan kemiskinan, konservasi
lingkungan serta penerimaan ekspor dan pajak (Direktorat Jenderal Perkebunan
Departemen Pertanian, 2008).
Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimiliki oleh Indonesia
adalah tanaman karet. Karet merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia
yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa negara. Hal
tersebut didukung dengan data yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan
salah satu negara penghasil karet nomor tiga di dunia setelah Thailand dan
Malaysia (Tabel 3).
3
Tabel 3. Persentase Perkebunan Karet Rakyat di Negara Produsen Utama Dunia Pada Tahun 2008
Negara Luas Kebun Karet (000 Ha)
Pangsa Produksi Dunia (%)
Kebun Karet Rakyat (%)
Produktivitas (Kg/Ha/Tahun)
India 650,50 8,07 89,86 1.896,48 Indonesia 3.433,89 27,89 85,13 1.004,20 Malaysia 1.247,51 10,26 95,15 1.430,31 Thailand 2.675,66 30.66 95,06 1.706,46 Vietnam 619,34 6,06 49,91 1.660,89
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009
Tabel 3 menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan luas
kebun karet terbesar di dunia, yakni seluas 3.433.000 Ha, dengan rata-rata
produktivitas sebesar 1.004 Kg/Ha/Tahun. Produksi karet nasional Indonesia
menempati urutan kedua setelah Thailand, yakni sebesar 27,9 persen dan luas
kebun karet rakyat di Indonesia sebesar 85 persen. Berdasarkan kondisi tersebut,
Indonesia berpeluang untuk menjadi negara penghasil karet terbesar di dunia.
Karet alam (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi
perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan
devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar
perkebunan karet serta pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2009). Luas areal tanaman karet di Indonesia menempati
urutan kedua tertinggi setelah kelapa sawit dibandingkan dengan produk
komoditas perkebunan unggulan lainnya (Tabel 4).
Tabel 4. Luas Lahan Perkebunan Rakyat di Indonesia menurut Jenis Tanaman
pada Tahun 2005-2009 (Ribu Ha) Komoditi Tahun Karet Kelapa Sawit Coklat Kopi Teh
2005 512,40 3.593,43 85,79 52,90 81,71 2006 513,20 3.748,50 101,02 53,67 78,44 2007 514,07 4.101,77 106,25 52,50 77,65 2008 515,80 4.451,85 98,84 58,32 78,90 2009 526,40 4.520,68 102,96 58,98 75,71
Sumber : Badan Pusat Statistik 2010
Tabel 4 menunjukan bahwa luas lahan tanaman karet terus meningkat dari
tahun 2005 sampai dengan 2009. Rata–rata peningkatan luas lahan tanaman karet
adalah sebesar kurang lebih 307.920 Ha setiap tahunnya. Luas lahan yang terus
meningkat tentunya akan berpengaruh terhadap jumlah produksi karet alam
tersebut (Tabel 5).
4
Tabel 5. Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia menurut Jenis Tanaman pada Tahun 2005-2009 (Ton)
Komoditi Tahun Karet Kelapa Sawit Coklat Kopi Teh
2005 432.221 10.119.061 55.127 24.809 128.154 2006 554.634 10.961.756 67.200 28.900 115.436 2007 578.486 11.437.986 68.600 24.100 116.501 2008 586.081 12.477.752 62.913 28.074 114.689 2009 640.787 12.954.662 63,628 28.448 112.761
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi nasional karet meningkat setiap
tahunnya, dengan rata-rata peningkatan sebesar 558,441 Ton. Adanya peningkatan
tersebut didorong oleh semakin luasnya lahan tanaman karet pada Tabel 4.
Peningkatan luas lahan perkebunan karet di Indonesia disebabkan oleh banyaknya
pembukaan lahan baru dan konversi tanaman perkebunan lain menjadi tanaman
karet. Hal ini terjadi pada perkebunan besar dan perkebunan rakyat.
Nilai ekspor karet yang tinggi mempunyai kontribusi besar dalam
perekonomian negara. Permintaan karet dunia yang terus mengalami peningkatan
akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan karet sebagai
komoditi ekspor unggulan (Tabel 6).
Tabel 6. Luas Kebun, Produksi dan Konsumsi Karet di Indonesia Tahun 2001-2008
Tahun Ket
2005
2006
2007
2008
Trend
Luas Areal (000) Ha 3.279,00 3.309,00 3.414,00 3.433,00 0,38 Produksi (000) ton 2.271,00 2.637,00 2.765,00 2.751,00 8,14
Pangsa Pasar Dunia (%) 26,25 27,20 27,85 27,87 3,28
Ekspor (000) ton 2.023,80 2.286,00 2.406,70 2.295,50 6,92
Nilai (Miliar US$) 2.582,50 4320,70 4.868,70 6.056,60 35,05
Produksi Domestik (000) ton 221,00 355,00 391,00 414,00 17,82
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah)
Tabel 6 menjelaskan bahwa nilai ekspor karet cenderung mengalami
kenaikan dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun adalah sebesar 35,05 persen.
Sama halnya dengan pertumbuhan ekspor, produksi karet domestik pun
5
mengalami kenaikan dengan laju pertumbuhan rata-rata adalah sebesar 17,82
persen. Naiknya laju pertumbuhan rata-rata pertumbuhan karet pertahun
mengindikasikan bahwa peluang ekspor karet dalam perdagangan dunia masih
terbuka lebar.
Peluang ekspor karet alam Indonesia pada masa yang akan datang masih
tetap cerah. Indonesia berpotensi untuk menjadi negara pemasok utama karet
dalam perdagangan karet dunia mengingat dua negara pemasok utama lainnya
(Malaysia dan Thailand) sudah tidak mampu lagi meningkatkan produksinya
karena keterbatasan lahan pengembangan (Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, 2010). Berdasarkan posisi yang cukup strategis
tersebut, karet diharapkan menjadi salah satu penggerak kebangkitan ekonomi
melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor karet. Strategi
optimalisasi ekspor karet dinilai tepat, mengingat tingginya harga komoditi karet
di pasar internasional.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil karet, dengan
luas areal sebesar 44.825 Ha tanaman menghasilkan dan produksi rata-rata
sebanyak 65.826 ton (Tabel 7). Jawa Barat mempunyai luas areal paling besar dan
memiliki angka produksi tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya yang ada
di Pulau Jawa. Tabel 7. Luas Tanaman Menghasilkan (TM) dan Produksi Perkebunan Karet di Pulau
Jawa Menurut Provinsi dan Status Penggunaan Lahan Tahun 2008 (*)
Provinsi Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah Total
Luas TM Produksi Luas TM Produksi Luas TM Produksi Luas TM Produksi
Jawa Barat 5,35 4,68 22,35 33,42 17,18 27,74 44,86 65,83
Banten 15,02 10,32 1,09 1,56 3,50 5,20 19,60 17,09
Jawa Tengah 6,67 5,94 18,65 26,24 4,20 6,91 23,51 33,75
Jawa Timur 0 0 13,73 20,72 4,27 6,42 18,00 27,15
Total 27,04 20,94 55,82 81,95 29,09 46,27 105,94 143,81
Keterangan : * Angka Sementara Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009
Karet alam merupakan bahan baku berbagai jenis produk diantaranya
adalah ban, sarung tangan karet, balon dan kasur busa (Tim PS, 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa karet alam merupakan salah satu komoditas penting dalam
perekonomian dunia. Pentingnya karet sebagai komoditas internasional didukung
6
oleh produksi karet yang dilakukan oleh berbagai negara produsen karet alam,
diantaranya adalah Thailand, Indonesia, Malaysia, India, Vietnam, dan China.
Teknik penyadapan dan penanganan pasca panen yang dilakukan akan
berpengaruh pada kualitas dari sheet yang dihasilkan. Hal ini akan memberikan
pengaruh yang baik terhadap harga jual yang diterima oleh petani karet. Sejauh ini
teknik penyadapan, penanganan pasca panen serta pengelolaan hasil dan
pemasaran hasil dari petani karet belum dilakukan secara optimal sehingga harga
jual yang diterima oleh petani sangat rendah.
Salah satu daerah penghasil karet alam di Jawa Barat adalah Kabupaten
Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kecamatan Jasinga merupakan sentra produksi
karet rakyat di Kabupaten Bogor. Pengolahan bahan olah karet di Kecamatan
Jasinga mempunyai potensi untuk terus dikembangkan, baik dalam bentuk lump
ataupun RSS. Keterbatasan pengetahuan petani dan sarana pasca panen menjadi
salah satu kendala dalam pengolahan bahan olah karet yang dihadapi oleh
sebagian besar petani karet di Kecamatan Jasinga. Hal tersebut dibuktikan dengan
rendahnya mutu dan kualitas hasil bahan olah karet yang dihasilkan oleh petani
karet di Kecamatan Jasinga.
Bertani karet merupakan mata pencaharian utama di Kecamatan Jasinga.
Usahatani karet merupakan usaha yang dilakukan turun temurun di Kecamatan
Jasinga. Jumlah kepala keluarga di Kecamatan Jasinga adalah sebanyak 22.138
kk, 4.218 kk diantaranya bermatapencaharian sebagai petani karet. (Statistik
Kecamatan Jasinga, 2009). Luas lahan perkebunan karet rakyat di Kecamatan
Jasinga adalah seluas 735,82 Ha, dengan produksi sebanyak 1318,90 ton bahan
mentah dan 263,78 ton hasil olahan. Rata–rata produktivitas tanaman karet rakyat
di Kecamatan Jasinga adalah 0,55 ton/Ha (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab
Bogor, 2010) .
Untuk meningkatkan kualitas dan mutu karet yang dihasilkan oleh petani,
maka Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Dirjen
P2HP), Kementrian Pertanian melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor
mengadakan sebuah program, yakni Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet.
7
1.2 Perumusan Masalah
Upaya pengembangan potensi sumberdaya ekonomi lokal yang berbasis
komoditi unggulan telah sejak lama dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat lokal, baik dalam bentuk bantuan
dana maupun sarana produksi. Titik berat program tersebut lebih banyak
diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek dari
pemerintah pusat, sehingga pada umumnya program-program tersebut tidak
berkelanjutan setelah masa proyek berakhir (Hariyoga et al, 2006). Oleh karena
itu, diperlukan suatu upaya pemanfaatan sumberdaya dan sumberdana untuk
menggerakkan ekonomi lokal dengan meningkatkan peran swasta, baik dunia
usaha maupun masyarakat terkait dengan agribisnis karet secara utuh dan saling
berhubungan satu sama lain.
Komoditi karet sebagai salah satu produk unggulan dari Kabupaten Bogor
yang mempunyai potensi untuk terus dikembangkan. Kecamatan Jasinga
mempunyai luas lahan pertanian yang relatif luas serta keadaan agroekosistem
yang mendukung untuk pengembangan komoditi karet. Kondisi ini pada dasarnya
menjadi peluang pemerintah maupun masyarakat setempat untuk mengembangkan
sektor pertanian di daerah tersebut. Kecamatan Jasinga merupakan sentra
penghasil karet terbesar di Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Pengusahaan budidaya
karet oleh para petani di Kecamatan Jasinga dilakukan pada lahan yang sempit (1-
2 Hektar) maupun lahan yang luas (≥ 2 Hektar).
Kegiatan usahatani dan pasca panen karet yang dilakukan oleh petani di
Kecamatan Jasinga telah berlangsung secara turun temurun dan menjadi mata
pencaharian utama di Kecamatan Jasinga. Keterbatasan sarana dan prasarana
pasca panen karet menjadi salah satu masalah dalam upaya pengembangan
komoditi ini. Adanya keterbatasan sarana dan prasarana tersebut berakibat pada
mutu dan kualitas hasil yang didapatkan petani dalam melakukan pengolahan
sheet karet.
Kegiatan usahatani karet yang dilakukan adalah menanam dan memelihara
tanaman karet sampai usia tanaman berumur lima tahun. Setelah tanaman berumur
lima tahun, maka petani dapat menyadap getah karet. Penyadapan karet dilakukan
setiap hari pada pagi hari. Alat yang dibutuhkan untuk menyadap karet adalah
8
pisau sadap dan mangkok lateks. Umumnya petani menggunakan batok kelapa
sebagai mangkok penampung lateks. Setelah lateks terkumpul, maka lateks
tesebut dituang ke dalam loyang untuk proses pembekuan. Loyang yang
digunakan petani adalah jerigen air yang dibelah dua sama panjang. Alat-alat
tersebut sebetulnya tidak layak untuk digunakan dalam proses penyadapan dan
pasca panen karet, karena akan mempengaruhi kualitas sheet basah yang
dihasilkan. Untuk memperbaiki hal tersebut, maka Direktorat Jenderal
Pangelolaan Hasil dan Pemasaran Kementerian Pertanian memberikan bantuan
berupa alat pasca panen untuk memperbaiki kualitas hasil yakni Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet.
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet merupakan Program
yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Hasil dan Pemasaran Hasil Pertanian. Program Pengembangan
Agribisnis ini merupakan serangkaian dari kegiatan-kegiatan yang terintegrasi
dari pasca panen hingga pemasaran hasil. Salah satu bentuk kegiatan dari program
Pengembangan Agribisnis adalah Kegiatan Pengembangan Agroindustri
Perdesaan, Sub Kegiatan Pengembangan Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perkebunan yang diwujudkan dalam pemberian bantuan berupa alat pasca
panen karet.
Mekanisme pemberian bantuan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet adalah pemberian bantuan berupa alat pasca panen karet untuk
pengolahan bahan olah karet. Pemberian bantuan alat pasca panen ini diberikan
pada kelompok tani karet yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
Kementrian Pertanian. Tujuan utama dari Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet adalah untuk meningkatkan mutu dan kualitas bahan olah karet
yang dihasilkan oleh anggota kelompok tani penerima bantuan, sehingga
pendapatan anggota kelompok tani penerima bantuan dapat meningkat.
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet merupakan salah satu
program pada bidang pasca panen yang menitikberatkan proses pengolahan bahan
olah karet pada perkebunan karet rakyat. Sejauh ini, bahan olah karet yang
mampu dihasilkan oleh sebagian besar petani karet di Kecamatan Jasinga adalah
dalam bentuk sheet basah. Sheet basah merupakan bahan olah karet yang terbuat
9
dari lateks segar yang telah mengalami proses pembekuan dan diproses melalui
penggilingan oleh hand mangel.
Adapun bantuan yang diberikan pada kelompok petani penerima bantuan
adalah satu unit hand mangel, 43 buah loyang, satu unit timbangan gantung, 43
buah pisau sadap dan 43 buah mangkok lateks. Untuk hand mangel dan
timbangan gantung, penggunaannya secara bersama-sama oleh seluruh anggota
kelompok tani. Untuk pisau sadap, loyang dan mangkok lateks, seluruh anggota
kelompok tani mendapatkannya dan penggunaan bantuan tersebut digunakan
secara pribadi atau masing-masing.
Untuk melihat keberhasilan program tersebut, diperlukan monitoring dan
evaluasi untuk perbaikan dan saran pada tahun yang akan datang. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan program adalah
dengan mengukur kinerja usahatani yang terjadi setelah program berlangsung.
Keberhasilan usahatani tersebut salah satunya bias dilihat dari pendapatan dan
jumlah produksi sheet yang dihasilkan oleh petani karet.
Sejauh ini hasil dari kegiatan usahatani karet yang dilakukan oleh petani di
Kecamatan Jasinga adalah sheet asalan. Sheet asalan adalah sheet yang kurang
memenuhi standar pasar yang dibutuhkan. Harga rata-rata yang diterima oleh
petani untuk sheet asalan ini adalah Rp 4.500,- per Kg. Dari 43 orang penerima
bantuan program diperoleh data rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan oleh
petani sebelum dan sesudah program berlangsung. Tabel 8 menjelaskan
perkembangan jumlah produksi sheet yang ada di Kecamatan Jasinga Kab Bogor
Tabel 8. Perkembangan Jumlah Produksi Sheet basah yang dihasilkan oleh petani di Kec Jasinga Kab Bogor Tahun 2009-2010
Tahun Rata-Rata Jumlah Produksi (Kg) 2009 219.000 2010 328.500
Sumber : Data Kelompok Tani, 2011 (Diolah)
Tabel 8 menjelaskan adanya perkembangan yang cukup signifikan pada
rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani penerima bantuan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Hal tersebut diduga karena dengan
adanya pemberian bantuan Program Pengembangan Agribisnis telah memperbaiki
kualitas hasil sheet yang dihasilkan petani.
10
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam
penelitian ini adalah:
1) Bagaimana gambaran pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor?
2) Bagaimana kinerja usahatani petani penerima bantuan dibandingkan petani non
penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
1) Mengkaji pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di
Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
2) Mengkaji kinerja usahatani petani penerima bantuan dibandingkan dengan
petani non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi
Karet di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan program Pengembangan
Agribisnis, antara lain:
1) Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
kepuasan petani pada dinas terkait sehingga dapat menjadi pertimbangan dinas
pemberi bantuan dalam menentukan kebijakan.
2) Memberikan tambahan literatur berupa sumbangan perbendaharaan ilmu
pengetahuan, khususnya bagi para peneliti yang akan meningkatkan
pengetahuannya dalam bidang Pengembangan Agribisnis, terutama yang
berbasis pada potensi komoditi unggulan agribisnis perkebunan.
3) Bagi penulis, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai media pembelajaran dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh.
11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya mengkaji pada subsistem pasca panen, dimana objek
yang akan diteliti adalah petani yang mengusahakan pengolahan bahan olah karet
sampai produk sheet basah dan yang menerima bantuan program Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet. Hal ini dikarenakan bantuan yang diberikan
pemerintah pada petani karet di Kecamatan Jasinga adalah alat pasca panen karet.
Kajian lain yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah komponen peningkatan
mutu dan kualitas hasil melalui pelaksanaan program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet Kabupaten Bogor di Kecamatan Jasinga, yaitu dengan
menganalisis pelaksanaan program dan kepuasan petani terhadap bantuan
program yang diberikan.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agribisnis Karet di Indonesia
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Brazil. Negara tersebut
mempunyai iklim dan hawa yang sama dengan Indonesia. Tanaman karet
termasuk dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, kelas
dycotyledonae, ordo Euphorbiaceae, genus Hevea. Tanaman karet dapat tumbuh
dengan baik pada ketinggian antara 1-600 meter di atas permukaan laut, dengan
suhu harian antara 25-300C dan pH tanah untuk tanaman karet berkisar antara 5-6.
(Tim Penebar Swadaya, 1994).
Tanaman karet mempunyai tiga fase, yakni tanaman belum menghasilkan
(TBM), Tanaman Menghasilkan (TM ) dan Tanaman Tua Rusak (TTR). Pada fase
TBM, tanaman karet berusia 0-5 tahun, tanaman tersebut belum bisa disadap
getahnya. Fase TM tanaman karet adalah fase produktif tanaman, dimana tanaman
sudah bisa disadap getahnya. Umur tanaman pada fase TM adalah 6-30 tahun.
Setelah karet berusia lebih dari 30 tahun, maka tanaman memasuki fase TTR,
dimana tanaman sudah tidak bisa disadap (sadap mati). Pada fase tersebut
biasanya tanaman ditebang dan diambil kayunya.
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar. Tinggi pohon dewasa dari tanaman karet mencapai 25 meter. Batang
tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di
beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke
arah timur. Hal ini disebabkan oleh perkembangan tanaman karet yang mengikuti
arah sinar matahari. Batang tanaman karet mengandung getah yang dikenal
dengan nama lateks. Semakin rendah letak tanaman karet, maka akan semakin
banyak getah yang dihasilkan. Kondisi tanah yang paling baik untuk tempat hidup
karet adalah tidak berbatu-batu dan terdapat pengaliran air tanah yang baik,
karena air tidak boleh tergenang.
Di Indonesia tanaman karet disadap untuk diambil getahnya. Getah tersebut
kemudian diolah menjadi lembaran atau yang dikenal dengan sheet. Sheet
merupakan bahan baku untuk berbagai industri.
13
2.2 Industri Pengolahan Karet Alam Indonesia
Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor Indonesia masih
terbatas. Umumnya masih didominasi produk primer (raw material) dan produk
setengah jadi. Sebagian besar bahan olah karet (bokar) yang berasal dari
perkebunan diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi SIR
(Standard Indonesian Rubber) yang terdiri dari SIR 5, SIR 10, SIR 20, SIR 3CV,
SIR 3L dan SIR 3F. Selain itu, bokar diolah dalam bentuk lateks pekat dan sheet
yang terdiri dari smoked sheet dan unsmoked sheet. Pada lateks jenis sheet, yang
paling banyak diproduksi adalah jenis smoked sheet dengan kodifikasi RSS
(Ribbed Smoked Sheet). Berbagai produk yang dihasilkan dari karet dapat dilihat
secara rinci pada Gambar 1.
Gambar 1. Produk Hasil Olahan Getah Karet/Lateks di Indonesia Sumber : Ditjen Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2007
Bahan olah
Lateks Pekat Industri Peralatan
Kesehatan
Sheet Unsmoked Sheet
Smoked Sheet
Karet Remah
SIR 5 SIR 10 SIR 20
SIR 3CV
SIR 3L SIR 3F
Industri tas,
sepatu dan alat rumah tangga
Biji Karet
Minyak Biji Karet Industri sabun, minyak cat
Industri Kerajinan Tangan
Getah Karet
(Lateks)
Kayu Karet Industri Furniture, Pulp
14
Apabila diolah lebih lanjut, karet remah dapat dijadikan berbagai produk,
diantaranya adalah ban, sepatu, bola, balon, dot susu, perlak, karpet dan
pelampung. Produk lanjutan dari lateks adalah berbagai alat kesehatan dan
laboratorim, diantaranya adalah pipet, selang, stetoskop, dan sarung tangan. Hasil
sampingan dari tanaman karet adalah kayu yang berasal dari kegiatan peremajaan
kebun karet tua yang sudah tidak menghasilkan karet. Kayu karet dapat
dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang ataupun kayu
gergajian untuk rumah tangga (Furniture) serta bahan baku dalam industri bubur
kertas (Pulp). Hasil sampingan lain dari tanaman karet adalah biji karet yang
dapat diolah menjadi kerajinan tangan, minyak cat dan makanan ternak
(Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementrian Perindustrian dan
Perdagangan, 2007).
2.3 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat terutama di pedesaan tidak cukup hanya
dengan upaya meningkatkan produktivitas atau modal saja, tetapi harus diikuti
pula dengan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat, mendukung
berkembangnya potensi masyarakat melalui peningkatan peran terhadap empat
akses yaitu: akses sumberdaya, akses teknologi, akses pasar dan akses sumber
pembiayaan. Dari empat akses ini, disamping menjadi tanggung jawab pemerintah
untuk memfasilitasinya, juga diperlukan peran aktif dari kelompok-kelompok
masyarakat di desa untuk membentuk usaha bersama atas kepentingan bersama
(Wayan et al, 2000).
Menurut Suharto (2004), pemberdayaan merupakan suatu rangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Pemberdayaan sebagai suatu tujuan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin
dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
15
Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator
keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Konsep pemberdayaan masyarakat secara mendasar berarti menempatkan
masyarakat beserta institusi-institusinya sebagai kekuatan dasar bagi
pengembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Menghidupkan kembali
berbagai pranata ekonomi masyarakat untuk dihimpun dan diperkuat sehingga
dapat berperan sebagai lokomotif bagi kemajuan ekonomi merupakan keharusan
untuk dilakukan. Ekonomi rakyat akan terbangun bila hubungan sinergis dari
berbagai pranata sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat
dikembangkan kearah terbentuknya jaringan ekonomi rakyat. Selain itu juga
diharapkan tidak saja dituntut untuk dapat mendayagunakan dan menghasilkan
potensi sumber daya lokal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, tetapi juga
terlindunginya hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumberdaya lokal sesuai dengan
kepentingan ekonomi dan sosialnya.
2.4 Pengembangan Ekonomi Lokal
Menurut Krisnamurthi (2002), pembangunan ekonomi lokal adalah suatu
proses pembangunan yang dilaksanakan di tingkat lokal untuk kepentingan
masyarakat lokal dan dilakukan terutama oleh anggota masyarakat itu sendiri.
Pembangunan ekonomi lokal menjadi alternatif pilihan kebijakan pembangunan
yang lebih bersifat pembangunan ekonomi lokal. Adapun perbandingan antara
pembangunan ekonomi lokal dan pembangunan ekonomi terpusat dapat dilihat
pada Tabel 9.
16
Tabel 9. Perbandingan Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) dan Pembangunan Terpusat serta Kaitannya dengan Kebijakan Sektor Publik.
No Variabel Pembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi Terpusat
1 Tanggung Jawab
Sektor publik bertanggung jawab dalam memberikan arahan bagi investasi swasta sehingga dapat mendorong perkembangan ekonomi yang diharapkan.
Sektor publik bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan ekonomi dan sosial yang kondusif bagi investasi swasta.
2 Tujuan
Sektor publik ditujukan untuk menciptakan manfaat langsung kepada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
Sektor publik ditujukan untuk mendorong pertumbuhan dan ekspansi pengeluaran publik.
3 Sarana
Sumberdaya sektor publik merupakan sarana untuk memastikan agar perkembangan ekonomi yang spesifik dapat dicapai.
Sumberdaya publik menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan sektor swasta.
4 Target
Target kegiatan publik diarahkan langsung kepada kelompok tertentu yang membutuhkan.
Target kegiatan publik adalah kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal
Target kegiatan pada pertumbuhan sektoral
Target kegiatan sepenuhnya mengikuti kriteria efisiensi
5 Lokasi Kegiatan Desentralisasi kegiatan
Lokasi kegiatan dipilih yang paling ekonomis dengan dukungan sarana yang paling baik
6 Fokus Kegiatan
Menekankan pada penciptaan kesempatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja lokal
Menekankan pada kompetisi kesempatan kerja berdasarkan keahlian dan keterampilan
Sumber: Krisnamurthi, 2002
Pengembangan ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif termasuk dalam menghadapi pasar global adalah kegiatan ekonomi
yang mutlak dikembangkan dengan berbasiskan sumberdaya alam (resource
based economy), terutama yang berbasiskan sumberdaya alam pertanian
(Damanhuri, 2000). Kondisi tersebut diharapkan dapat mendukung
pengembangan agribisnis maupun agroindustri menjadi leading sector (core)
dalam proses pembangunan, termasuk kaitannya dengan pemberdyaan ekonomi
rakyat.
17
Menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmadja (2003), Pengembangan
Ekonomi Lokal (PEL) merupakan kerjasama seluruh komponen masyarakat di
suatu daerah (lokal) untuk mencapai partumbuhan ekonomi berkelanjutan yang
akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kualitas hidup seluruh masyarakat
di dalam komunitas. Keberhasilan program PEL sangat ditentukan oleh motivasi
pemerintah pusat atau daerah dalam merencanakan, memformulasikan dan
mengimplementasikan program-program otonomi daerah. Konsep dasar dari PEL
adalah suatu proses dimana pemerintah setempat (Local governments) mengatur
sumber-sumber daya setempat dan menciptakan pola kemitraan dengan sektor
swasta atau sektor publik untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan
merangsang aktivitas ekonomi pada suatu wilayah ekonomi (Blakely, 1994).
Pengembangan ekonomi lokal erat kaitannya dengan pemberdayaan
sumberdaya manusia, lembaga dan lingkungan sekitarnya. Untuk
mengembangkan ekonomi lokal tidak cukup hanya dengan meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusianya, tetapi juga diperlukan adanya lembaga
yang terlatih untuk mengelola sumberdaya manusia yang sudah maju, dan
memerlukan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan lembaga ekonomi
lokal tersebut berkembang. Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan
lembaga kemitraan semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat)
tentunya membutuhkan kemampuan komunikasi diantara semua lembaga yang
bersangkutan, dalam menjamin kesinambungan mitra kerja dan mitra usaha.
Untuk selanjutnya, komunikasi multi arah menjadi kebutuhan dasar dalam
pengembangan lembaga kemitraan tersebut.
2.5 Konsep Kelembagaan dan Peran Kelembagaan
Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud dengan lembaga adalah
organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal yang mengatur
perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu dalam kegiatan-kegiatan rutin
sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Nasution (2002), kelembagaan mempunyai pengertian sebagai
wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan,
prosedur norma perilaku individual dan sangat penting artinya bagi
18
pengembangan pertanian. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian
yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi
personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki
(Hayami dan Kikuchi, 1987 dalam Baga, 2009). Kelembagaan sebagai aturan
main diartikan sebagai sekumpulan aturan, baik formal maupun informal, tertulis
maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang
menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Kelembagaan sebagai organisasi
biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam
pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya.
Suatu kelembagaan (institution) baik sebagai aturan main maupun
sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama (Pakpahan,
1990 dalam Nasution, 2002) yaitu :
1. Batas Kewenangan (Jurisdictional Boundary)
Batas kewenangan merupakan batas wilayah kekuasaan atau batas
otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya,
factor produksi serta barang dan jasa. Dalam suatu organisasi batas kewenangan
menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi tersebut.
2. Hak kepemilikan (Property Right)
Konsep property right selalu mengandung makna social yang
berimplikasi ekonomi. Konsep property right atau hak kepemilikan muncul dari
konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) dari semua masyarakat peserta
yang diatur oleh suatu peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau
consensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu,
tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan hak milik atau penguasaan bila
tidak ada pengesahan dari masyarakat sekarang. Pengertian tersebut mengandung
dua implikasi, yakni hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan hak yang
tercermin dalam kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk
memperoleh sumberdaya.
3. Aturan Representasi (Rule of Representation)
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya tehadap
performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam
19
proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi ditentukan
oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat
terhadap anggota dalam organisasi tersebut.
Terkait dengan komunitas perdesaan, maka terdapat beberapa unit-unit
sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat
dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan
kelembagaan di tingkat local dapat dilakukan dengan system jejaring kerjasama
yang setara dan saling menguntungkan.
Menurut Sumarti, dkk (2008), kelembagaan di perdesaan dapat dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu : pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa,
BPD, KUD dan lain–lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal.
Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu
sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup
komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas
seperti kebiasaan tolong-menolong, gotong royong, simpan pinjam, arisan,
lumbung paceklik dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan
memiliki fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan
kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, maka lembaga di perdesaan yang saat ini memiliki
kesamaan dalam karakteristik tersebut dapat dikatakan lembaga kelompok tani.
Peran kelembagaan sangat penting dalam mengatur sumberdaya dan
ditribusi manfaat. Untuk itu unsur kelembagan perlu diperhatikan dalam upaya
peningkatan potensi desa guna menunjang pembangunan desa. Dengan adanya
kelembagaan petani dan ekonomi desa sangat terbantu dalam hal mengatur silang
hubungan antar pemilik input dalam menghasilkan output ekonomi desa dan
dalam mengatur distribusi dari output tersebut.
2.6 Kelompok Tani
Menurut Departemen Pertanian (2008), kelompok tani diartikan sebagai
kumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri dari petani dewasa (pria atau
wanita), maupun petani taruna (pemuda atau pemudi) yang terkait secara informal
20
dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama,
kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi,
sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha
anggota.
2.7 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian Lestari (2010), mengemukakan bahwa konsumsi karet
alam dunia terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh
berkembangnya industri-industri yang berbahan baku karet alam. Sama halnya
dengan penelitian Priyohutomo (2010), peneliti mengemukakan bahwa
produktivitas karet alam Indonesia masih rendah yang menyebabkan ekspor karet
alam Indonesia berfluktuasi. Penelitian ini mengkaji tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran ekspor karet ala mini menggunakan alat analisis model
log ganda dan metode OLS. Variabel dependen yang digunakan adalah volume
ekspor karet alam Indonesia serta variabel independennya meliputi volume
produksi karet alam domestik, volume konsumsi karet alam domestik, nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, volume ekspor bulan sebelumnya, harga
karet alam domestik, harga karet alam dunia dan harga karet alam sintesis. Hasil
penelitian dari penelitian tersebut adalah variabel yang berpengaruh signifikan
adalah volume produksi domestik, volume konsumsi domestik dan harga karet
sintesis. Volume produksi domestik menjadi satu-satunya variabel yang bersifat
elastis terhadap volume ekspor karet alam Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2007) dan Pratama (2010),
menunjukkan bahwa tingkat produksi karet alam Indonesia mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Peran penting kebijakan pemerintah dalam input adalah
pemberian subsidi pupuk dan output sangat membantu petani karet alam dalam
meningkatkan daya saing. Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy
Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan. Hasil analisis ini
menujukkan bahwa pengusahaan komoditi tanaman karet mempunyai daya saing.
Dengan adanya daya saing tersebut, menunjukkan bahwa karet alam masih
mempunyai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Ekspor terbanyak
yang dilakukan Indonesia untuk Bahan Olah Karet (Bokar) adalah SIR (Standard
21
Indonesian Rubber) yang merupakan spesifikasi teknis yang dibuat dari
koagulump lateks. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model
Regresi Logistik Biner dan analisis pendapatan usahatani. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
dalam menentukan jenis bahan olah karet secar signifikan adalah jumlah anggota
keluarga petani, luas lahan yang dimiliki, keanggotaan petani dalam kelompok
tani, keberadaan PPL serta variabel harga koagulump yang diterima oleh petani.
Widhyastuti (2006) dan Firwiyanto (2008), menggunakan alat analisis
yang sama dalam penelitiannya yaitu metode Importance Performance Analysis
(IPA). Penelitian yang mengkaji tentang Evaluasi Program Pelaksanaan PIR serta
tingkat pendapatan dan tingkat kepuasan peternak terhadap pelaksanaan kemitraan
ayam broiler. Atribut penetapan denda sortasi merupakan atribut dengan nilai
terendah. Hasil penelitian menunjukan tingkat pendapatan yang diperoleh
peternak mitra lebih kecil dibandingkan dengan peternak mandiri tetapi cukup
sepadan bagi peternak yang tidak memiliki modal. Berdasarkan hasil IPA dan CSI
diketahui nilai sebesar 74 persen. Hal ini menandakan bahwa secara keseluruhan
peternak mitra merasa puas terhadap kinerja atribut kemitraan yang dilaksanakan
perusahaan inti. Penelitian yang dilakukan oleh Syahid (2005), tentang pengembangan
ekonomi lokal melalui pengembangan kelompok tani ternak itik di Kabupaten
Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
diperlukan langkah strategis dalam pengembangan ekonomi lokal melalui
pengembangan kelompok tani ternak itik. Kajian ini juga bertujuan untuk
mengkonstruksikan konsep pemberdayaan yang sesuai bagi seluruh komunitas
dan kelompok tani dalam pengelolaan potensi sumberdaya lokal. Kegiatan dan
proses pemberdayaan yang dilakukan ternyata belum menunjukkan keberdayaan
masyarakat petani. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masalah-masalah
sosial ekonomi yang dihadapi warganya.
Penelitian tentang program pengembangan pertanian (Primatani), dalam
hal ini dilakukan oleh Nur Yulistia (2009), yang menganalisis pendapatan dan
efisiensi produksi usahatani belimbing dewa peserta Primatani Di Kota Depok,
menyatakan bahwa adanya program primatani dalam pengembangan belimbing
22
dewa ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
pendapatan petani peserta primatani. Hal ini terlihat dari pendapatan atas biaya
tunai dan biaya total yang lebih besar diperoleh petani non peserta primatani
dibandingkan petani peserta primatani. Namun demikian, usahatani belimbing
dewa yang dilakukan Di Kota Depok selama ini sudah menguntungkan bagi para
petani, analisis ini terlihat dari nilai R/C rasio pada petani primatani maupun non
primatani yang lebih besar dari satu.
Konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini memiliki persamaan dan
perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Persamaannya
adalah mengkaji suatu program pemerintah, dalam hal ini adalah Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet terhadap masyarakat yang ada di suatu desa yang
berbeda. Perbedaannya adalah penelitian ini mengkaji bagaimana pelaksanaan
program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dengan melihat bagaimana
keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kecamatan
Jasinga Kabupaten Bogor.
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran untuk menguraikan nalar dan pola pikir dalam upaya
menjawab tujuan penelitian. Uraian pemaparan mengenai hal yang berkaitan dan
relevan dengan penelitian. Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini
membahas konsep sumberdaya ekonomi lokal, sistem agribisnis,kelembagaan
dalam agribisnis, pendapatan usahatani dan program pengembangan agribisnis
komoditi karet. Alat hitung yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendapatan usahatani.
3.1.1 Sumberdaya Ekonomi Lokal
Sumberdaya ekonomi lokal yang dimiliki oleh suatu daerah pada dasarnya
merupakan potensi yang dihasilkan dari suatu daerah. Pengembangan potensi
lokal ini menjadi sebuah peluang ketika diterapkannya kebijakan tentang otonomi
daerah. Pengembangan wilayah dalam ruang lingkup otonomi daerah juga harus
didasarkan atas keunggulan komparatif suatu wilayah sesuai dengan potensi dan
kendala bio-fisik (tanah, agroklimat) dan sosial ekonominya. Kecamatan Jasinga
sebagai salah satu daerah penanaman karet memiliki keunggulan tersendiri untuk
terus mengembangkan karet sebagai potensi lokal yang ada di kecamatan tersebut.
Sebagai produk unggulan yang menjadi salah satu pendukung pembangunan
kecamatan, sumberdaya ini menjadi penting untuk terus dikembangkan baik dari
segi produksi maupun kegiatan pemasarannya.
3.1.2 Sistem Agribisnis
Istilah sistem (system) berasal dari bahasa Yunani, systema yang berarti,
yaitu :(1) suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian dan (2)
hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.
Jadi istilah systema mengandung arti sebagai bagian keseluruhan atau komponen
atau himpunan yang saling berhubungan satu sama lain secara teratur menjadi satu
kesatuan menjadi satu kesatuan yang terpadu sesuai dengan mekanismenya
(Rahim dan Diah, 2008).
24
Agribisnis adalah sebagai bentuk modern dari pertanian primer, paling
sedikit mencakup empat subsistem, yakni: susbsistem agribisnis hulu
(upstreamagribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan
perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industri pupuk, obat-
obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain); subsistem usahatani
(on-farm agribusiness); subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness)
(Saragih,2010). Agribisnis ini membentuk suatu sistem yang simultan dan
memiliki keterkaitan yang erat antara keempat subsistem tersebut.
Sektor agribisnsis menurut Saragih (2010) adalah sebagai bentuk modern
dari pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem, yakni: subsistem
agribisnis hulu (upstream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang
menghasilkan dan perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industry
pupuk, obat-obatan,bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain) ;
subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau disebut sebagai sector pertanian
primer; subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), yaitu kegiatan
ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik yang
siap untuk dimasak atau siap untuk disaji atau siap untuk dikonsumsi beserta
kegiatan perdagangannya di pasar domestic dan internasional; dan subsistem jasa
layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi,
penyuluhan dan layan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan,
kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis dan lain-lain. Secara sederhana sistem
agribisnis dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sistem Agribisnis Sumber : Saragih (2010)
Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Pengolahan
Subsistem Jasa dan penunjang
Subsistem Pemasaran
25
Agribisnis ini menunjukkan adanya keterkaitan vertical antar-subsistem
agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan system atau subsistem lain di luar
seperti jasa-jasa (financial dan perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan,
dan lainnya) (Saragih,2010). Sistem agribisnis ini pada dasarnya merupakan
bentuk pertanian, industry dan jasa secara saling terkait (sinergis) dan menyeluruh
(utuh/sebagai suatu sistem).
3.1.3 Kelembagaan dalam Agribisnis
Kelembagaan agribisnis dapat berupa kelompok tani. Kelompok tani ini
yang kemudian menjalin kemitraan dengan pihak luar sebagai badan organisasi
perkumpulan petani. Menurut Keputusan Menteri Pertanian nomor 940 tahun
1997, kemitraan usaha pertanian merupakan suatu bentuk kerjasama usaha
diantara perusahaan dan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.
Kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama yang mengacu pada
terbentuknya keseimbangan, keselarasan dan keterampilan yang didasari oleh
sikap saling percaya antara kedua pihak yang bermitra yaitu perusahaan dan
kelompok, dimana adanya hubungan kemitraan ini akan terwujud hubungan saling
menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kerjasama dalam bentuk kemitraan ini bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, adanya jaminan jumlah suplai,
meningkatkan kualitas produksi, meningkatkan kualitas kelompok mitra,
meningkatkan usaha, menciptakan kelompok mitra yang mandiri.
Kemitraan yang banyak dilakukan oleh petani adalah dengan adanya
bentuk kelembagaan agribisnis. Menurut Baga (2009), pada dasarnya
kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu : kelembagaan sebgai suatu aturan
main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu
organisasi yang memiliki hierarki. Kelembagaan sebagai aturan main diartikan
sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak
tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut
hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya.
Menurut Saptana (2006) membagi proses terbentuknya kelembagaan
menjadi dua, yaitu kelembagaan yang tumbuh secara alamiah dan kelembagaan
yang sengaja dibentuk dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ciri
26
kelembagaan yang tumbuh secara alamiah adalah terbentuk karena adanya
kebutuhan masyarakat, berlangsung dalam kurun waktu yang lama, bersifat in
formal dan umumnya tidak tertulis. Kelembagaan yang sengaja dibentuk memiliki
ciri adanya inisiasi dalam proses pembentukannya, sifatnya lebih formal adan
umumnya bersifat tertulis (rumusan tujuan, tata tertib yang berlaku dan rumusan
kerja sama antara pelaku.
Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki
kemampuan suatu lembaga (institution) dalam menggunakan sumberdaya yang
tersedia, berupa manusia (human) maupun dana (financial) secara efektif.
Keefektifan suatu lembaga tergantung pada lokasi, aktivitas dan teknologi yang
digunakan oleh suatu lembaga. Konsep keefektifan (effectiveness) diartikan
sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan seperangkat standar
dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya (Baga, 2009).
Keberadaan kelembagaan agribisnis dalam bentuk kelompok tani
memberikan peran yang sangat berarti bagi petani. Kelompok tani ini menjadi
organisasi kerjasama petani untuk berhubungan dengan pihak luar misalnya
perusahaan mitra untuk meningkatkan pendapatan. Selain itu, kelompok tani ini
menjadi tempat untuk mengadopsi penerapan teknologi ditingkat petani.
Keberadaan kelembagaan harus memberikan manfaat bagi anggotanya yaitu
melalui kinerjanya. Kinerja dapat diartikan sebagai sesuatu yang dicapai atau
prestasi yang diperlihatkan. Jhon Witmore dalam Coaching for Performance
(1997:104), menyatakan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut
dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum
keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan
dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil
suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau
perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan
operasional.
Menurut Cascio (1992 :267), penilaian kinerja adalah sebuah gambaran
atau deskripsi yang sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari
27
seseorang atau suatu kelompok1. Kinerja mengenai keberadaan kelembagaan
agribisnis ini adalah bentuk manfaat yang diberikan dari kelembagaan tersebut
terhadapa anggotanya, dalam hal ini adalah bentuk kelompok tani yang
keberadaannya seberapa efektif terhadap produkivitas dan pendapatan
anggotannya.
3.1.4 Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet merupakan salah satu
program yang dilakukan oleh Kementrian Pertanian (Kementan) yang baru
dilakukan pada tahun 2009 hingga sekarang. Salah satu tujuan utamanya adalah
meningkatkan penanganan pasca panen, dengan mengurangi tingkat kehilangan
hasil. Penerapan program tersebut, diharapkan petani dapat meningkatkan
kemampuan dan pengetahuannya dalam penanganan pasca panen karet dengan
baik dan benar, yakni sesuai dengan kaidah Good Handling Practise (GHP)
melalui pembinaan yang terarah, intensif dan berkelanjutan (Dirjen P2HP,2008).
Bentuk bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada petani adalah alat
pasca panen karet yang terdiri atas hand mangel, timbangan gantung, mangkok
lateks, loyang, dan pisau sadap. Bantuan tersebut didistribusikan pada beberapa
kelompok, sesuai dengan proposal dan Rencana Usaha Kelompok (RUK) yang
diajukan pada lingkup Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.
Sasaran dari program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah
kelompok tani yang mempunyai usaha pasca panen karet, pengolahan karet dan
atau pemasaran hasil karet, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Mempunyai pengurus aktif (minimal ketua, sekretaris, bendahara) dan aturan
organisasi yang dibuktikan dengan Berita Acara pembentukan kelompok tani,
dengan disetujui oleh anggotanya, dan usahanya telah berjalan.
b. Tidak termasuk dalam daftar kredit macet atau kredit bermasalah serta tidak
termasuk dalam dalam daftar hitam Bank Indonesia
1Anonim. Penilaian Kinerja. www.google.com//search//penilaian kinerja//wikipedia//
html (15 Februari 2010).
28
c. Mengusahakan penanganan pasca panen karet, pengolahan dan atau
pemasaran komoditas strategis yang telah ditetapkan Departemen Pertanian
yang mempunyai potensi dan prospek pasar yang jelas.
d. Mempunyai proposal kegiatan dan rencana penggunaan anggaran untuk
mengembangkan penanganan pasca panen, pengolahan, dan atau pemasaran
karet
e. Lolos seleksi dan disetujui oleh tim teknis Dinas lingkup pertanian
Kabupaten/Kota
f. Bersedia mengikuti petunjuk/pembinaan dari Dinas lingkup pertanian
Kabupaten/Kota
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Kecamatan Jasinga merupakan salah satu sentra pengembangan produksi
karet di Kabupaten Bogor yang mempunyai jumlah produksi dan lahan budidaya
yang lebih banyak dibandingkan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor
(Lampiran 1). Hingga saat ini wilayah Kecamatan Jasinga, sebagai sentra
produksi di Kabupaten Bogor belum mampu memberikan kontribusi untuk
memenuhi permintaan pasar karena masih rendahnya mutu sheet yang dihasilkan
oleh petani. Adanya kemajuan teknologi akan memungkinkan kualitas sheet yang
dihasilkan petani akan meningkat.
Karet merupakan salah satu komoditas yang dikembangkan di Kab Bogor
sebagai potensi lokal pertanian daerah pembudidayaannya masih dinilai sangat
sedikit dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya. Karet memiliki
nilai ekonomis tinggi apabila penanganan pasca panen dilakukan dengan baik dan
mengolahnya menjadi sheet yang memenuhi standar kualifikasi pasar yang
diinginkan. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kab Bogor dalam
mengembangkan komoditi karet sebagai potensi lokal diharapkan meningkatkan
produk unggulan tersebut baik dari segi produksi maupun pemasarannya. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah pemberian bantuan alat pasca panen karet.
Pelaksanaan program melalui pemberian bantuan alat pasca panen
diharapkan dapat meningkatkan kegiatan pasca panen karet yang merupakan salah
satu mata pencaharian utama para petani responden. Secara tidak langsung adanya
29
peningkatan kegiatan produksi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan
para petani karet Dalam pelaksanaannya, pihak pelaksana program juga
melakukan kegiatan monitoring dan penyuluhan kepada para petani karet di
Kecamatan Jasinga. Dalam kegiatan pasca panen ini dianalisis dari berbagai faktor
yang mendukung, terutama penggunaan input seperti peralatan dan tenaga kerja.
Analisis pendapatan usahatani dalam penelitian ini sebagai gambaran
untuk mengukur seberapa besar tingkat keberhasilan program pengembangan
agribisnis komoditi karet di Ketingkat kepuasan penerima bantuan. Dari hasil
analisis ini diharapkan bisa dijadikan sebagai gambaran umum pelaksanaan
program pengembangan agribisnis komoditi karet di Kecamatan Jasinga
Kabupaten Bogor yang bisa dirumuskan menjadi kebijakan yang mungkin
dilakukan oleh pelaksana teknis program tersebut, yaitu Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bogor. Secara sistematis, kerangka berpikir operasional
pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
30
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Keberhasilan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terhadap Kinerja Usahatani di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor.
Kualitas bahan olah karet di Kab Bogor belum optimal
Usaha perbaikan kualitas bahan olah karet sebagai potensi ekonomi lokal
Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kab Bogor
Pemberian bantuan alat pasca panen karet
Analisis pendapatan usahatani sebagai indikator keberhasilan
usahatani
Rekomendasi
Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
Gambaran pelaksanaan program
Mekanisme penyaluran bantuan
Tanggapan petani
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
Pendapatan Usahatani Variabel :
1. Pupuk 2. Koagulan (asam semut) 3. Pajak lahan 4. Tenaga kerja 5. Ember penampung 6. Cincin mangkuk 7. Talang sadap
31
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor Jawa Barat, tepatnya di
Kecamatan Jasinga. Pemilihan lokasi ini dilakukan atas dasar pertimbangan
bahwa Kecamatan Jasinga merupakan salah satu daerah budidaya karet terbesar di
Kabupaten Bogor. Kondisi agroekosistem, infrastruktur serta kondisi perkebunan
karet menjadi salah satu daya dukung Kecamatan Jasinga untuk terus
mengembangkan agribisnis karet. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi
Karet masih berjalan hingga saat ini termasuk untuk wilayah kecamatan lainnya,
baik dalam tahap pembinaan, pemberian bantuan maupun dalam kegiatan
monitoring dan evaluasi.
Program pengembangan agribisnis pada dasarnya merupakan bentuk lain
dari beberapa program pemerintah dalam mengembangkan potensi suatu daerah,
hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam batasan penelitian ini yang hanya
menganalisis pelaksanaan program pengembangan agribisnis karet yang dilakukan
di Kecamatan Jasinga. Sumber dana yang digunakan dalam Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini berasal dari APBN Tahun 2009,
yakni Direktorat Jenderal Pengelolaan Hasil dan Pemasaran-Kementrian Pertanian
melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
Program Pengembangan Agribisnis ini berakhir pada tahun anggaran 2009
dan terus dievaluasi sampai tahun 2010. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
pada tahun 2011, pada saat evaluasi Program Pengembangan Agribisnis Komoditi
Karet telah selesai proses monitoring dan evaluasi. Diharapkan penelitian ini
dapat memberikan gambaran yang baik dan representatif dari program dan lokasi
yang akan diteliti.
32
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua data berdasarkan
sumbernya, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan
cara pengamatan secara langsung di lokasi penelitian serta wawancara yang
dilakukan secara terstruktur dari responden yang menjadi peserta dari program
tersebut, data yang relevan dengan evaluasi Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet, serta hasil wawancara terhadap instansi terkait di Kabupaten
Bogor maupun yang lainnya sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan
sebelumnya. Data primer juga diperoleh melalui hasil pengisisan kuesioner yang
ditujukan kepada petani penerima bantuan.
Data sekunder diperoleh dengan membaca dan menganalisis berbagai
dokumen, arsip, buku maupun bentuk data lainnya yang diperoleh melalui
berbagai sumber yang memang terkait, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan topik penelitian, seperti Direktorat Jenderal Pengelolaan Hasil
dan Pemasaran, Litbang, Dinas Pertanian dan kehutanan Kabupaten Bogor, Biro
Pusat Statistik, artikel, internet, buku dan literatur lainnya yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan.
.
4.3 Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Sampel
Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan instansi terkait, yaitu
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bogor merupakan dinas penyelenggaran Program
Pengembangan Agribisnis di tingkat Kabupaten. Wawancara dengan petani
penerima bantuan program dipandu dengan kuesioner yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan mengenai pelaksanaan
Program Pengembangan Agribisnis di lapangan, dalam hal ini adalah di tingkat
petani, tingkat kepuasan dan kepentingan petani dalam pelaksanan program yang
telah dilakukan.
Petani yang menjadi responden pada penelitian ini adalah petani penerima
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Pemilihan petani
responden ini diperoleh dari daftar nama petani yang merupakan anggota
33
kelompok tani penerima bantuan program. Informasi petani diperoleh dari
kelompok tani maupun instansi terkait.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode sensus atau sampel total,
karena anggota populasi relatif kecil dan seluruh populasi menjadi responden
penelitian. Metode tersebut digunakan atas dasar kondisi para petani responden
yang memperoleh bantuan program, juga berdasarkan pertimbangan syarat yang
harus dipenuhi oleh para petani peserta program dari total petani yang menjadi
sampling frame sebanyak 75 orang. Sampel diambil sebanyak 43 orang petani
yang menjadi peserta program diambil secara sengaja dari sampling frame yang
ada. Jumlah populasi petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis
Karet adalah 43 orang petani. Sebagai pembanding, yaitu petani non penerima
bantuan diambil lima orang. Pengambilan sampel ini dilakukan secara sengaja dan
berdasarkan kemudahan akses para petani responden baik terhadap informasi
pelaksanaan program maupun informasi lainnya dalam kegiatan budidaya karet.
Selain itu, hal ini dilakukan berdasarkan hasil koordinasi dengan pihak kelompok
tani Mandiri yang ada di Kecamatan Jasinga maupun atas dasar kemampuan
petani dalam menyediakan sarana produksi lain yang memang diperlukan.
Berdasarkan metode ini sampel dapat langsung dipilih di lokasi penelitian
saat penelitian dilakukan dengan syarat sampel memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan. Kriteria sampel petani penerima anggota adalah petani yang
mendapatkan bantuan alat pasca panen dari program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet. Analisis data yang lainnya juga digunakan sebagai pendukung
dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari berbagai pihak yang
berkompeten dan berhubungan dengan pelaksanaan program, seperti bagian
penelitian dan evaluasi Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor, maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) pertanian yang ada di
Kecamatan Jasinga. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a) Desk Study; cara ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai
literatur maupun data-data sekunder yang diperlukan dan terkait dengan
maksud penelitian, baik dari laporan-laporan, hasil penelitian, surat kabar,
artikel maupun majalah serta hasil survei awal di lapang yang telah dilakukan.
34
b) Interview (wawancara); cara ini digunakan untuk memperoleh pendapat,
pandangan seseorang maupun informasi secara tertulis dari responden maupun
pihak-pihak terkait lainnya terhadap pelaksanaan program.
c) Observasi (pengamatan langsung); digunakan untuk memperoleh informasi
secara akurat yang dilakukan para petani dalam program pengembangan
agribisnis komoditi karet di lokasi penelitian.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Menurut Nazir (1983), kegiatan menganalisis data merupakan bagian yang
sangat penting dalam metode ilmiah, hal ini karena dengan adanya analisis data.
Data tersebut akan memiliki makna dan arti yang bermanfaat dalam memberikan
informasi maupun dukungan lainnya dalam mencari dan memberikan alternatif
penyelesaian masalah yang di bahas dalam penelitian termasuk dalam menguji
hipotesis. Analisis data yang dikumpulkan dari sampling pada lokasi penelitian
dikelompokkan menjadi dua yaitu data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, data
tersebut selanjutnya disajikan baik dalam bentuk uraian maupun tabulasi.
Data yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif
dan data kuantitatif. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif yang bertujuan
untuk melihat pelaksanaan program pengembangan agribisnis komoditi karet
apakah dapat dilakukan dengan baik dan peningkatan kesejahteraan petani.
Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program Microsoft
Office Excel dan Minitab 14.
4.4.1 Analisis Deskriptif
Dalam menggambarkan pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet digunakan analisis deskriptif yang didukung dengan data-data
kualitatif. Dengan demikian dapat dijelaskan mekanisme pelaksanaan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet pada tingkat kelompok di Kecamatan
Jasinga Kabupaten Bogor.
35
4.4.2 Analisis Pendapatan
Analisis pendapatan dalam kegiatan usahatani ini didukung oleh data
dalam penerimaan usahatani, kemudian dianalisis tingkat pendapatan yang
diperoleh dengan mempertimbangkan besaran penerimaan dan biaya. Penerimaan
usahatani pada dasarnya merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual yang ada, secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut:
TRi = Yi . Pyi=1
Dimana:
TRi : Total Penerimaan Yi : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py : Harga y
Penggunaan biaya dalam suatu kegiatan usahatani akan di analisis melalui
perhitungan biaya yang merupakan hasil perkalian antara jumlah input yang
digunakan dengan harga input yang berlaku. Secara matematik perhitungan biaya
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
TCi = ∑ Xi . Pxi=1
Dimana: TCi : Total Biaya Xi : Input yang digunakan dalam suatu usahatani Px : Harga x
Setelah besarnya penerimaan dan biaya di analisis, maka pada tahap
selanjutnya akan di analisis tingkat pendapatan yang diperoleh. Pendapatan
usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 2002).
Secara matematik analisis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
π = TRi-TCi
Kriteria yang digunakan dalam analisis pendapatan ini adalah:
TR > TC : Usaha yang dijalankan memberikan keuntungan TR = TC : Usaha yang dijalankan impas (Break Event Point) TR < TC : Usaha yang dijalankan mengalami kerugian Menurut Soekartawi (2002), terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh
dari analisis usahatani, diantaranya adalah:
36
a) Data produktivitas dapat dipakai sebagai ukuran apakah produktivitas yang
diperoleh itu sudah cukup tinggi, sedang atau masih rendah.
b) Data pendapatan usahatani dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat apakah
usahatani itu menguntungkan atau merugikan dan sampai seberapa besar
keuntungan atau kerugian tersebut.
c) Data sebaran penggunaan input dapat dipakai untuk memberikan informasi
bagaimana alokasi input dan berapa besar biaya yang di alokasikan pada
masing-masing input.
4.4.3 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Rasio R/C)
Rasio R/C menunjukkan sebeerapa besar penerimaan yang diperoleh dari
setiap biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan uasahatani. Jika nilai rasi R/C >1,
maka penerimaan lebih besar dari setiap unit biaya yang dikeluarkan. Hal ini
berarti usahatani tersebut menguntungkan. Jika nilai rasio R/C <1, maka
penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari unit biaya yang dikeluarkan dan
usahatani yang dilakukan tidak menguntungkan. Secara matematis, rasio R/C
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio R/C = Penerimaan total
Biaya total
4.5 Batasan Operasional
Variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis tingkat produksi
sheet dan pendapatan usahatani karet, baik untuk petani peserta program maupun
non peserta program di wilayah penelitian antara lain adalah:
a. Luas lahan garapan adalah luas areal usahatani karet yang diusahakan dalam
satuan hektar (ha).
b. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan produksi
sheet, baik yang berasal dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga yang
dinyatakan dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK). Biaya tenaga kerja
dianalisis berdasarkan tingkat upah per HOK yang berlaku di wilayah
penelitian.
37
c. Produksi total adalah hasil pengolahan lateks menjadi sheet yang diukur dalam
satuan kilogram (kg).
d. Produktivitas adalah produksi total karet yang dibagi oleh luas lahan (kg/ha).
e. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak tergantung pada banyaknya produksi
komoditi karet yang dihasilkan dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp).
f. Biaya variabel merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pembelian sarana
produksi yang jumlahnya akan berubah sesuai dengan perubahan produksi
usahatani yang dihasilkan dan dinayatakan dalam satuan Rupiah (Rp).
g. Biaya total adalah semua jenis pengeluaran dalam usahatani karet, baik yang
tunai maupun yang diperhitungkan dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp).
h. Biaya penyusutan merupakan biaya yang dikeluarkan karena adanya
penyusutan alat-alat pertanian yang dihitung dengan metode garis lurus dan
diperoleh dari nilai pembelian dibagi periode produksi serta umur ekonomis
alat-alat pertanian dan dihitung dengan menggunakan satuan Rupiah (Rp).
i. Biaya tunai adalah biaya faktor produksi untuk kegiatan usahatani karet yang
dibayarkan petani secara tunai dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp).
j. Biaya diperhitungkan merupakan biaya faktor produksi milik sendiri maupun
dari bantuan program yang digunakan dalam usahatani karet. Biaya ini pada
dasarnya tidak dibayarkan secara tunai, namun hanya diperhitungkan untuk
melihat pendapatan petani bila faktor produksi yang dimiliki sendiri dibayar
dan dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp).
k. Harga produk adalah harga jual rata-rata sheet bogor ditingkat petani dalam
setiap kali panen dan diukur dalam satuan Rupiah per buah (Rp./kg).
l. Penerimaan usahatani karet merupakan nilai produksi total komoditi karet
dalam satu kali panen yang dikalikan dengan harga jual sheet yang diterima
petani dan menggunakan satuan Rupiah (Rp).
m. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan usahatani
dan biaya tunai usahatani karet dalam satuan Rupiah (Rp).
n. Pendapatan atas biaya total merupakan selisih antara penerimaan usahatani
dan biaya total usahatani karet dalam satuan Rupiah (Rp).
38
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang
memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Berdasarkan data geografis,
wilayah Kabupaten Bogor teletak diantara 6°18’0” – 6°47’10” Lintang Selatan
(LS) dan 106°23’45” – 107°13’30” Bujur Timur (BT). Wilayah sebelah utara
Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota Depok,
Kab/Kota Bekasi. Wilayah sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur serta
Kabupaten Purwakarta. Wilayah sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Sukabumi dan Kabupaten Cianjur serta bagian tengah berbatasan dengan Kota
Bogor. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha.
Secara administratif Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 428
desa/kelurahan, 3.768 Rukun Warga dan 14.951 Rukun Tetangga. Jumlah
kecamatan sebanyak 40 kecamatan tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah
adanya hasil pemekaran lima kecamatan pada tahun 2005, yaitu Kecamatan
Leuwisadeng, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Cigombong, Kecamatan
Cijeruk dan Kecamatan Tajurhalang. Keadaan alam di Kabupaten Bogor cukup
potensial untuk pertanian dan pendistribusian hasil pertanian karena wilayahnya
merupakan jalur tranportasi antar kota maupun antar provinsi serta berbatasan
langsung dengan Ibukota Republik Indonesia, Jakarta.
Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi tanah yang bervariasi, dari
dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan.
Sekitar 29,28 persen berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut
(dpl), 42,62 persen berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19,53 persen
berada pada ketinggian 500-1000 meter dpl, 8,43 persen berada pada ketinggian
1000-2000 meter dpl dan 0,22 persen berada pada ketinggian 2000-2500 meter
dpl.
Tabel 10 memaparkan komposisi penduduk di Kabupaten Bogor pada
Tahun 2010 adalah sebanyak 4.763.209 jiwa.
39
Tabel 10. Sebaran Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor menurut Sensus Penduduk Tahun 2010
No Jenis Kelamin Jumlah (orang) 1 Laki-Laki 2.446.251 2 Perempuan 2.316.958
Jumlah 4.763.209 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor dengan 11,07 persen dari jumlah
penduduk di Provinsi Jawa Barat, yaitu 43.021.826 jiwa dan merupakan jumlah
penduduk terbesar diantara kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Jumlah penduduk
Kabupaten Bogor pada tahun 2010 lebih tinggi daripada jumlah penduduk pada
tahun 2009 yaitu sebanyak 4.477.296 jiwa, atau meningkat sebanyak 285.913
jiwa. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami dan
migrasi yang masuk ke Kabupaten Bogor. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk
di Kabupaten Bogor selama 10 tahun terakhir (2000-2010) adalah sebesar 3,13
persen.
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan yang
strategis dalam pembangunan di Kabupaten Bogor. Hal tersebut tertuang dalam
misi kedua Kabupaten Bogor yaitu “Meningkatnya Perekonomian Daerah yang
Berdaya Saing dengan titik berat pada Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan
yang berbasis Perdesaan”. Misi tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan pengembangan agribisnis perdesaan dengan sasaran meningkatnya
produksi, produktivitas, distribusi dan konsumsi pangan daerah serta
berkembangnya agribisnis pertanian, perikanan, peternakan dan agribisnis hasil
perkebunan.
Strategi dan arah kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam
pencapaian tujuan dan sasaran misi tersebut adalah dengan cara meningkatkan
ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis perdesaan beserta sasarannya.
Hal tersebut diwujudkan dengan merancang lima strategi pembangunan yang
menitikberatkan pada pertanian yakni : 1) intensifikasi komoditas pangan daerah;
2) ekstensifikasi komoditas pangan daerah; 3) peningkatan sistem agribisnis dan
aquabisnis; 4) mengembangkan sentra komoditas unggulan; dan 5) meningkatkan
pembangunan infrastruktur perdesaan.
40
Pertanian di Kabupaten Bogor terdiri dari pertanian tanaman pangan,
sayuran, hortikultura serta perkebunan. Tanaman pangan padi menyebar hampir di
semua kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah
menyebar di wilayah tengah dan utara, dimana daerah tersebut sudah tersedia
irigasi yang memadai. Daerah tersebut yakni Kecamatan Rumpin, Cigudeg,
Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur
dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa kecamatan dalam
luasan yang terbatas. Produktivitas tanaman padi sawah berkisar antara 4-5 ton
per Ha, sedangkan produktivitas padi gogo berkisar antara 3-4 ton per Ha.
Produktivitas ini masih bisa ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan
seperti menekan bahaya banjir serta perbaikan manajemen ushatani. Perbaikan
manajemen usahatani dapat dilakukan dengan cara melakukan pemberian pupuk
tepat dosis dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana serta penyediaan
sarana pasca panen yang optimal.
Komoditas tanaman pangan lainnya seperti jagung dan kedelai pun
menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Tanaman jagung terdapat di
Kecamatan Dramaga, Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Kelapanunggal,
Rancabungur, Cibinong, Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Untuk tanaman
kedelai, hanya terdapat di beberapa kecamatan saja diantaranya adalah Kecamatan
Tamansari, Kemang, Rancabungur, dan Megamendung.
Daerah pertanian hortikultur seperti sayur dan buah mengalami hal yang
serupa dengan pertanian tanaman pangan, yang membedakan adalah konsentrasi
komoditas tertentu hanya menyebar pada wilayah tertentu, seperti manggis yang
banyak dikembangkan di wilayah barat, seperti Kecamatan Nanggung,
Leuwiliang, Leuwisadeng, Cigudeg dan Jasinga. Tanaman buah nanas banyak
dikembangkan di wilayah tengah seperti di Kecamatan Caringin, Cijeruk dan
Cigombong. Sayuran banyak dikembangkan di wilayah atas yang memiliki
kondisi bentang alam berupa dataran tinggi, seperti Kecamatan Ciawi,
Megamendung dan Cisarua.
Pertanian hortikultur lainnya yang terus dikembangkan oleh Kabupaten
Bogor adalah pertanian hortikultur tanman hias. Wilayah penghasil tanaman hias
adalah Kecamatan Tamansari, Cijeruk, Ciawi, Megamendung, Tajurhalang,
41
Gunung Sindur dan Bojong Gede. Dengan beragamnya tanaman hias di
Kabupaten Bogor yang menyebar di Kecamatan-Kecamatan tersebut, maka tidak
heran apabila Kabupaten Bogor dijadikan salah satu pusat produksi dan
pemasaran tanaman hias terbesar di Provinsi Jawa Barat.
Tanaman perkebunan relatif terbatas di wilayah Kabupaten Bogor.
Berdasarkan pengelolaan usahanya, perkebunan dibagi menjadi dua, yaitu
perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar dikelola oleh
perusahaan negara ataupun swasta, sedangkan perkebunan rakyat dikelola
sepenuhnya oleh masyarakat tani setempat. Jumlah perkebunan negara di
Kabupaten Bogor berjumlah tiga kebun, yakni Kebun Cikasungka, Kebun
Gunung Mas dan Kebun Cianten dengan komoditas yang ditanami adalah kelapa
sawit, teh dan kina. Perkebunan besar negara dikelola oleh BUMN PT.
Perkebunan Nusantara VIII. Jumlah perkebunan besar swasta di Kabupaten Bogor
berjumlah 18 kebun dengan komoditi yang ditanami antara lain adalah karet, teh,
pala, coklat, kopi dan pinang. Perkebunan rakyat tersebar di seluruh wilayah
Kabupaten Bogor, dengan komoditi yang ditanami antara lain adalah karet, kopi,
cengkeh, kelapa, vanili, aren, pala dan tanaman obat.
Komoditi perkebunan unggulan Kabupaten Bogor adalah pala, cengkeh,
kopi, kelapa dan karet. Secara umum, tanaman perkebunan di Kabupaten Bogor
ditanam pada lahan yang berkategori kelas tiga, dengan kendala utama pada
kelerengan. Kendala tersebut menyebabkan adanya degradasi lahan melalui proses
erosi dan penurunan kesuburan lahan. Berkaitan dengan sisi luasan kawasan yang
dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan relatif tebatas yakni dengan total
luas lahan sekitar 27.000 Ha. Adanya potensi tersebut, pemerintah daerah
setempat menganjurkan bahwa bentuk usaha perkebunan dalam skala besar tidak
dianjurkan. Bentuk usaha ynag dianjurkan adalah skala kecil dan bekerjasama
dengan usaha perkebunan besar yang sudah ada. Tingginya alih fungsi lahan di
Kabupaten Bogor merupakan alasan yang tak kalah penting dalam anjuran
pemerintah daerah Kabupaten Bogor mengenai pembukaan usaha perkebunan
tersebut.
42
5.2 Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kecamatan Jasinga
Kecamatan Jasinga merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor
yang memiliki potensi dalam pengembangan komoditas perkebunan. Luas
Kecamatan Jasinga adalah 10.848 Hektar dengan jumlah penduduk sebanyak
97.235 jiwa. Jarak dengan ibukota kabupaten cukup jauh, yakni 64 kilometer
dengan akses transportasi sudah cukup baik. Kecamatan Jasinga ini merupakan
kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Rangkasbitung Provinsi
Banten. Jarak tempuh ke Kabupaten Rangkasbitung relatif lebih dekat apabila
dibandingkan dengan jarak tempuh ke ibukota kabupaten. Akses transportasi yang
sudah cukup baik dengan wilayah lainnya terutama dengan Kota Bogor dan
Kabupaten Rangkasbitung telah memberikan suatu gambaran yang dapat
mendukung kegiatan perekonomian masyarakat setempat. Kondisi jalan dan
infrastruktur yang ada juga telah mendukung kegiatan sehari-hari dan mobilitas
masyarakat Kecamatan Jasinga.
Kecamatan Jasinga memiliki suhu rata-rata tiap bulan sebesar 260 C
dengan suhu terendah 21,80 C dan suhu tertinggi adalah sebesar 30,40 C.
Kelembaban udara di Kecamatan Jasinga adalah sebesar 70% dengan curah hujan
sebesar 1.561,3 mm/tahun dan jumlah hari hujan sebanyak 125 hari. Hujan dalam
satu tahun. Secara umum kondisi topografi wilayah Kecamatan Jasinga adalah
berbukit-bukit dengan ketinggian 207 meter diatas permukaan laut. Lahan di
wilayah Kecamatan Jasinga sebagian besar didominasi oleh tanaman perkebunan
dan kehutanan seperti karet, manggis atau sengon dan sisanya adalah persawahan
dengan jenis tingkat kelerengan datar, landai dan curam. Tingkat kelerengan yang
datar dan landai ditanami dengan jenis tanaman pertanian dan kebun campuran
seperti padi, sengon, manggis dan karet. Tingkat kelerengan yang curam
digunakan untuk tanaman kopi arabika. Cara penanaman yang umumnya
dilakukan oleh petani di Kecamatan Jasinga adalah polikultur atau tanaman keras
yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim. Kondisi agroekosistem yang
ada di Kecamatan Jasinga memberikan gambaran peluang yang cukup baik dalam
pengembangan usaha perkebunan maupun bentuk usahatani lainnya.
Sebagian besar wilayah yang ada di Kecamatan Jasinga merupakan daerah
perbukitan, wilayah ini memiliki potensi yang cukup baik khususnya dalam
43
pemanfaatan lahan untuk wilayah perkebunan karet, manggis, kopi, maupun
rempah-rempah. Keberadaan lahan untuk wilayah perkebunan ini merupakan
milik Perhutani dan pihak swasta, namun sudah beberapa tahun ini kurang
dimanfaatkan dengan baik, sehingga banyak dimanfaatkan untuk perkebunan
rakyat dengan pemberian hak garap kepada para petani setempat. Wilayah yang
dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat dan swasta sendiri mencapai 3.326 Hektar
atau sekitar 30,66 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa Kecamatan Jasinga
memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang perkebunan, terutama
dalam mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat setempat. Tabel 11
memberikan gambaran secara lengkap pemanfaatan lahan yang ada di Kecamatan
Jasinga, Kabupaten Bogor.
Tabel 11. Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2010
Pemanfaatan Lahan Luas Lahan (Ha) Persentase (%)
Perumahan, pemukiman dan Pekarangan 2.545,56 23,46 Tanah sawah 3.024,63 27,88 Perkebunan rakyat dan swasta 3.326,00 30,66 Kolam 354,61 3,26 Sungai 453,56 4,18 Jalan Kabupaten 1.078,65 9,94 Pemakaman Umum 29,92 0,27 Perkantoran 1,25 0,01 Lapangan Olah Raga 1,89 0,01 Tanah Peribadatan 15,93 0,15 Tanah Bangunan Pendidikan 16,00 0,15
Total 10.848,00 100,00 Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Jasinga, 2011
Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa selain memiliki potensi untuk
pengembangan kegiatan perkebunan rakyat dan swasta, Kecamatan Jasinga juga
memiliki luasan lahan yang banyak dimanfaatkan untuk lahan sawah yang
mencapai 3.024,63 Hektar atau 27,88 persen dari total luas lahan di Kecamatan
Jasinga. Jika dilihat dari jenis mata pencaharian penduduk setempat, sebagian
besar masyarakat Kecamatan Jasinga pencaharian sebagai petani yang mencapai
667 orang atau sekitar 13,74 persen dari seluruh jumlah penduduk Kecamatan
44
Jasinga berdasarkan jenis mata pencaharian. Pekerjaan sebagai petani maupun
peternak pada masyarakat setempat tentunya dipengaruhi oleh kondisi alam
maupun lingkungan sekitar yang memang mendukung kegiatan pertanian dan
peternakan, terutama dalam bidang perkebunan yang selama ini terus
dikembangkan dalam meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat.
Sementara sebagian yang lainnya bermata pencaharian sebagai pedagang maupun
pengrajin dan wiraswasta. Tabel 12 berikut menyajikan secara lengkap jumlah
penduduk Kecamatan Jasinga berdasarkan mata pencaharian masyarakat
setempat.
Tabel 12. Jumlah Penduduk Kecamatan Jasinga Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Tahun 2010
N0. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)
1 Petani dan peternak 667 13,74 2 Pedagang / Warung 571 11,76 3 Pegawai negeri 81 1,67 4 ABRI dan POLRI 3 0,06 5 Pensiunan dan Purnawirawan 7 0,14 6 Pengusaha 6 0,12 7 Wiraswasta 442 9,10 8 Pengrajin 547 11,26 9 Tukang Bangunan /Kayu /Batu 33 0,68
10 Penjahit 22 0,45 11 Tukang Las 2 0,04 12 Tukang Ojek 281 5,79 13 Jasa Bengkel 7 0,14 14 Pengemudi Angkot 47 0,97 15 Seniman 2 0,04 16 Tukang Pangkas Rambut' 2 0,04 17 Buruh / Jasa 1.681 34,62 18 Lainnya 455 9,37
Jumlah 4.856 100,00 Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Jasinga, 2011
5.3 Karakteristik Petani Responden
Responden dalam penelitian ini adalah petani karet yang mendapatkan
bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Beberapa
karakteristik responden yang dianggap penting meliputi usia petani, pendidikan
petani, pengalaman bertani karet, luas lahan yang diusahakan, status kepemilikan
dan status usaha. Karakteristik responden yang dianggap penting tersebut dipilih
45
karena dianggap mempengaruhi dalam pelaksanaan usahatani karet terutama
dalam melakukan teknik pascapanen yang berpengaruh pada pengolahan sheet.
5.3.1 Status Usahatani Karet
Petani responden yang ada di Kecamatan Jasinga sebagian besar
menganggap bahwa usahatani yang selama ini dijalankan merupakan bentuk mata
pencaharian utama, terdapat 81,40 persen atau 35 orang petani responden yang
menganggap bahwa usahatani karet ini merupakan mata pencaharian utama.
Sisanya yang mencapai 18,60 persen atau sekitar delapan orang menganggap
bahwa usahatani karet ini merupakan bentuk usaha sampingan. Petani responden
yang merupakan penerima bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditi
Karet juga menganggap bahwa usahatani karet yang selama ini dijalankan
merupakan mata pencaharian utamanya. Besarnya antusiasme petani dalam
mengembangkan usahatani karet dan menjadikan usaha ini sebagai mata
pencaharian utama, dikarenakan mereka beranggapan bahwa usaha ini telah
dilakukan secara turun-temurun dan menguntungkan bagi mereka, terutama untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tabel 13 menyajikan jumlah petani responden
berdasarkan kriteria status usahatani yang dijalankan.
Tabel 13. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Usahatani Karet, di Kecamatan Jasinga Tahun 2011
Status Usahatani Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Pekerjaan Utama 35 81,40 Pekerjaan Sampingan 8 19,60 Total 43 100.00
Petani responden yang menganggap usahatani karet sebagai mata
pencaharian utama juga memiliki pekerjaan sampingan seperti berdagang, buruh
tani maupun bentuk usaha sampingan lainnya. Hal ini dilakukan sebagai tambahan
pendapatan bagi keperluan keluarga maupun sebagai tambahan untuk membeli
sarana produksi yang dibutuhkan diluar usahatani yang selama ini dijalankan.
Tabel 13 juga menginformasikan bahwa seluruh petani yang menjadi peserta
program menganggap bahwa usahatani karet merupakan mata pencaharian utama,
hal ini juga menjadi pendukung dalam memenuhi salah satu syarat yang memang
telah ditentukan oleh pihak pelaksana program. Bentuk mata pencaharian utama
46
ini diharapkan dapat lebih menstimulus para petani yang menjadi peserta program
untuk terus aktif dalam kegiatan budidaya karet maupun dalam upaya
memperoleh hasil produksi karet yang lebih baik.
5.3.2 Usia Petani
Usia petani dapat berpengaruh pada pola pikir dan kemampuan fisik dalam
bekerja. Umumnya petani yang berusia muda memiliki kemampuan fisik yang
lebih tinggi dan pola pikir yang dinamis dibandingkan dengan petani yang usianya
sudah tua. Berdasarkan kriteria usia petani dari responden yang ada, maka dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu terdiri dari usia 25-34 tahun, 35-44
tahun, 45-54 tahun dan 55-64 tahun. Secara lengkap, jumlah petani responden dari
masing-masing kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Usia di Kecamatan Jasinga Tahun 2011
Kelompok Usia (tahun)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
25-34 9 20,93 35-44 25 58,14 45-44 8 18,60 55-64 1 2,33 Jumlah 43 100,00
Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa sebagian besar petani responden
penerima bantuan program Pengembangan Agribisnis Komoditas Karet sebagian
besar berusia 35-44 tahun, yaitu sebesar 58,14 persen. Kondisi ini
menggambarkan bahwa sebagian besar usia para petani responden merupakaan
usia yang produktif dalam menjalankan kegiatan usahataninya. Usia produktif ini
pada dasarnya mempunyai implikasi yang lebih baik dalam kegiatan usahatani
karet, kondisi tersebut juga didukung oleh adanya bantuan berupa sarana produksi
maupun bentuk monitoring dan penyuluhan yang dilakukan oleh pihak pelaksana
program (Dinas Pertanian dan Kehutanan) baik dalam kegiatan budidaya maupun
dalam kegiatan pengolahan hasil panen.
47
5.3.3 Pendidikan Petani
Pendidikan berpengaruh pada kemampuan petani dalam menerima
pengetahuan dan keterampilan mengelola usahatani karet. Tingkat pendidikan
yang ada pada petani responden akan berpengaruh pada penyerapan teknologi dan
ilmu pengetahuan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan kepada para
petani responden di Kecamatan Jasinga, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
petani responden sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Tabel 15 menyajikan
informasi tingkat pendidikan para petani responden.
Tabel 15. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Pendidikan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011
Tingkat Pendidikan Jumlah Petani Responden (Orang) Persentase (%) <SD 5 11,63 SD / Sederajat 30 69,77 SMP / Sederajat 7 16,28 SMA / Sederajat 1 2,33
Total 43 100,00
Berdasarkan Tabel 15, tingkat pendidikan petani responden di dominasi
dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD)/sederajat. Jumlah petani
mengenyam pendidikan SD/sederajat berjumlah 30 orang atau 69,77 persen dari
jumlah totalnya. Kondisi ini diperkirakan karena kelemahan para keluarga petani
dalam hal biaya pendidikan. Namun sudah beberapa tahun ini kesadaran terhadap
pendidikan mulai diperhatikan dengan baik oleh masyarakat setempat.
Tingkat pendidikan petani menjadi hal yang penting terutama kaitannya
dengan transformasi teknologi. Walaupun mayoritas hanya lulusan SD/sederajat,
tetapi petani tersebut sudah melakukan kegiatan usahatani karet dengan baik, hal
ini dilihat dari keuntungan yang diperoleh. Keberhasilan petani-petani tersebut
saat ini tidak terlepas dari peran serta adanya penyuluhan dari Dinas Pertanian dan
Kehutanan serta bimbingan dari kelompok tani yang sudah ada.
5.3.4 Pengalaman Bertani Karet
Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor pendukung dalam
mengelola usahatani karet secara tepat. Dengan adanya pengalaman yang
memadai, maka biaya produksi, resiko dan ketidakpastian dalam usahatani dapat
48
dikurangi dan perolehan produksi dapat ditingkatkan. Sebagian besar petani yang
menjadi responden mempunyai pengalaman berusahatani yang lebih dari lima
tahun, hal ini karena kegiatan usahatani karet di Kecamatan Jasinga telah
dilakukan secara turun temurun. Tabel 16 menunjukkan jumlah petani responden
berdasarkan pengalamannya dalam usahatani karet.
Tabel 16. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Karet di Kecamatan Jasinga Tahun 2011
Pengalaman Berusahatani (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Presentase (%)
1-5 4 9,30 6-10 7 16,28
11-15 6 13,95 16-20 11 25,58 > 20 15 34,88 Total 43 100,00
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden
mempunyai pengalaman berusahatani karet selama lebih dari 20 tahun yaitu
sebesar 34,88 persen dari jumlah total petani responden. Hal ini dikarenakan
usahatani karet telah dibudidayakan secara turun-temurun di Kecamatan Jasinga.
Umumnya petani responden telah melakukan usahatani karet sejak usia 12 sampai
13 tahun.
5.3.5 Luas Lahan Petani Responden
Luasan lahan yang digarap oleh setiap petani responden merupakan salah
satu faktor pendukung kegiatan budidaya karet. Luas lahan yang dimiliki oleh
petani karet di Kecamatana Jasinga bervariasi. Umumnya tanaman karet di
Kecamatan Jasinga ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim. Tabel
17 memberikan gambaran jumlah petani karet berdasarkan kriteria luas lahan
yang dimiliki.
49
Tabel 17. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Luas Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011
Luas Lahan (Ha) Jumlah Responden (orang) Persentase (%) <1 18 41.86 1-2 19 44.19 2,1-3 3 6.98 3,1-4 1 2.33 4,1-5 0 0.00 > 5 2 4.65 Total 43 100,00
Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden memiliki
luas lahan karet seluas 1-2 Hektar, yaitu sebanyak 19 orang atau 44,19 persen dari
jumlah total responden. Rata-rata petani karet memiliki luas lahan 1,5 Hektar,
dengan populasi tanaman sebanyak 500 pohon per Hektar.
5.3.6 Status Kepemilikan Lahan Petani
Tabel 18 menunjukkan bahwa jumlah petani responden yang memiliki
status lahannya sebagai lahan milik sendiri sebanyak 27 orang atau 62,79 persen
dari total jumlah responden. Petani yang mempunyai lahan warisan adalah
sebanyak delapan orang atau 18,60 persen dari jumlah total. Status lahan milik
sendiri ini terdiri dari pembelian maupun dari warisan. Sisanya sebanyak delapan
orang melakukan usahatani karet dengan status kepemilikan lahan sewa dan
pinjam pakai. Pinjam pakai lahan ini bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan
di areal kawasan Hutan Lindung Haur Bentes yakni sebanyak 16,28 persen.
Tabel 18. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Status Lahan di Kecamatan Jasinga Tahun 2011
Status Lahan Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Milik Sendiri
Pribadi 27 62,79 Warisan 8 18,60
Sewa 1 2,33 Pinjam pakai 7 16,28 Total 43 100,00
50
VI. PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITI KARET
6.1 Mekanisme Penyaluran Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini dilakukan untuk
meningkatkan mutu hasil bahan olah karet yang dihasilkan oleh petani sebagai
salah satu produk unggulan Kabupaten Bogor, terutama dalam mengembangkan
potensi lokal yang ada di Kabupaten Bogor. Tujuan utama dari Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah meningkatkan penanganan
pasca panen karet untuk meningkatkan kualitas hasil. Dengan adanya penanganan
panen yang optimal dan pasca panen yang baik, maka akan mendorong
peningkatan pendapatan petani serta terpenuhinya kebutuhan industri. Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet ini merupakan program yang
diselenggarakan oleh Kementrian Pertanian yang dilaksanakan oleh pelaksana
teknis di tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini adalah Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bogor. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
dilaksanakan pada daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan usahatani
karet, terutama dalam pengolahan bahan olah karet.
Tahap awal yang dilakukan adalah dengan melakukan koordinasi dengan
pihak-pihak terkait yaitu Kementerian Pertanian serta Dinas Pertanian dan
Kehutanan di Kabupaten Bogor. Selanjutnya adalah dengan melakukan sosialisasi
kepada daerah terpilih, dalam hal ini adalah para petani karet yang ada di
Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Sosialisasi ini dilakukan dalam upaya
menilai dan menganalisis potensi komoditi lokal yang akan dikembangkan,
sosialisasi ini juga dilakukan dalam upaya melihat kesiapan para petani sebagai
peserta program. Hasil identifikasi dan verifikasi menetapkan kelompok tani yang
akan menjadi peserta program dengan kepemilikan lahan dan pengalaman
berusahatani yang berbeda. Selanjutnya, menentukan besarnya bantuan yang akan
diberikan, dan tahap pelaksanaan program.
Bentuk bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan program ini adalah paket
alat pasca panen karet, yang terdiri atas hand mangel, loyang, timbangan gantung,
mangkok lateks dan pisau sadap. Penggunaan hand mangel dan timbangan adalah
51
digunakan secara bersama-sama, artinya seluruh anggota kelompok tani dapat
menggunakan alat tersebut dan kepemilikannya dimiliki secara bersama. Untuk
loyang, pisau sadap dan mangkok lateks, penggunaan dan kepemilikannya secara
pribadi, artinya alat-alat tersebut diberikan pada masing-masing anggota
kelompok tani dan digunakan secara pribadi.
Dalam upaya menjaga keberlangsungan program ini, terutama dalam
melihat daya dukung agroekosistem yang ada di sentra karet Kabupaten Bogor,
maka pihak Kementerian Pertanian menetapkan bahwa lokasi yang akan
digunakan harus mempunyai beberapa persyaratan, (Pedoman Umum Kegiatan
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet, 2008) diantaranya adalah:
1) Dilaksanakan di sentra produksi karet yang sudah mendapatkan rekomendasi
dari Balai Tanaman Industri (Balitri).
2) Lokasi pengolahan bahan olah karet berada dalam satu kawasan proses
produksi sheet dan kebun yang saling berdekatan.
Dalam Pedoman Umum Kegiatan Pengembangan Agribisnis Komoditi
Karet disebutkan bahwa petani penerima bantuan Program Pengembangan
Agribisnis Komoditas Karet mempunyai persyaratan tersendiri yang harus
dilaksanakan, persayaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Mempunyai pengurus aktif (minimal ketua, sekretaris, bendahara) dan aturan
organisasi yang dibuktikan dengan Berita Acara pembentukan kelompok tani,
dengan disetujui oleh anggotanya, dan usahanya telah berjalan.
2) Tidak termasuk dalam daftar kredit macet atau kredit bermasalah serta tidak
termasuk dalam dalam daftar hitam Bank Indonesia
3) Mengusahakan penanganan pasca panen karet, pengolahan dan atau
pemasaran komoditas strategis yang telah ditetapkan Departemen Pertanian
yang mempunyai potensi dan prospek pasar yang jelas.
4) Mempunyai proposal kegiatan dan rencana penggunaan anggaran untuk
mengembangkan penanganan pasca panen, pengolahan, dan atau pemasaran
karet
5) Lolos seleksi dan disetujui oleh tim teknis Dinas lingkup pertanian
Kabupaten/Kota
52
6) Bersedia mengikuti petunjuk/pembinaan dari Dinas lingkup pertanian
Kabupaten/Kota
Dalam pelaksanaan program ini para petani memperoleh penyuluhan baik
dari Dinas Pertanian dan Kehutanan maupun dari Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Namun demikian,
kurangnya pengawasan dan pembinaan lebih lanjut menyebabkan kurang
terdatanya kegiatan pengolahan produksi sheet yang dilakukan oleh petani karet di
Kecamatan Jasinga, termasuk kelompok tani penerima bantuan program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Berdasarkan pengamatan di lokasi
penelitian, nampak bahwa kegiatan pengolahan sheet belum terlaksana dengan
cukup baik, salah satunya adalah dalam hal kebersihan.
Pada dasarnya program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet
bertujuan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat setempat
melalui pemanfaatan sumberdaya lokal, dalam hal ini adalah komoditi karet.
Kegiatan Pengembangan Agribisnis merupakan kegiatan dari Kementerian
Pertanian yang telah ada sejak tahun 2007. Setiap tahun, Kementerian Pertanian
mengadakan program Pengembangan Agribisnis yang dimulai sejak bulan Mei
tahun 2007 dengan komoditi yang berbeda di setiap tahunnya. Proses penyaluran
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet adalah Dinas
Pertanian dan Kehutanan memilih kelompok tani Mandiri, Kuning Sari dan
Binangkit sebagai penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet. Sebelumnya, Dinas Pertanian dan Kehutanan melakukan seleksi
Calon Petani Calon Lahan (CP/CL) untuk petani penerima bantuan program
dengan dibantu oleh Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabuaten Bogor. Pihak yang melaksanakan penyaluran bantuan ini
adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan dengan rekomendasi dari Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
Dengan adanya bantuan ini menjadi awal peningkatan mutu dan kualitas
hasil olahan sheet bagi para petani karet yang ada di Kecamatan Jasinga.
Peningkatan kualitas ini dapat terlihat dari perbaikan mutu dari kualitas sheet yang
dihasilkan. Hal ini terbukti dengan perbaikan kualitas sheet yang dihasilkan oleh
petani. Sebelum adanya bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi
53
Karet, sheet yang dihasilkan oleh petani adalah sheet asalan yang harga jualnya
adalah Rp 3.500-4500,- per kg. Setelah adanya bantuan program Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet, petani mampu menghasilkan sheet 3 yang harga
jualnya adalah Rp 6000-7500,- per kg. Dengan adanya perbaikan mutu tersebut,
maka pendapatan yang diterima oleh petani relatif meningkat (Tabel 19)
Tabel 19. Perbaikan Mutu Sheet Karet dan Harga Jual yang Diterima Petani Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet Tahun 2009-2010
Tahun Mutu Sheet Harga Jual (Rp) Keterangan 2009 Asalan 3.500-4500 Sebelum adanya Program 2010 3 6000-7500 Setelah adanya program
Sumber: Kelompok Tani, 2011 (diolah)
Hasil pengamatan di lokasi penelitian selama program Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet berjalan, menunjukkan bahwa pada dasarnya para
petani karet menunjukkan respon yang positif dengan adanya program pemerintah
ini. Petani karet sudah mengelola dan melaksanakan kegiatan pengolahan sheet
karet setelah bantuan program disalurkan. Salah satu faktor yang selama ini
menjadi kendala bagi para petani adalah dalam hal pengadaan modal. Selain itu,
kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi menjadi hal yang dirasakan kurang baik,
karena dengan adanya hujan, maka lateks yang dihasilkan dari kebun akan
tercampur dengan air hujan. Hal ini akan berpengaruh pada sheet yang dihasilkan.
Bantuan Program Pengembangan Agribisnis ini terdiri atas dua bagian,
yaitu bantuan untuk perorangan dan bantuan yang dapat dikelola bersama di
kelompok tani. Bantuan yang diberikan untuk perorangan adalah pisau sadap,
Loyang dan mangkok lateks sedangkan bantuan bersama adalah satu unit hand
mangel batik dan polos serta timbangan gantung. Untuk hand mangel dan
timbangan gantung, alat tersebut disimpan di ketua kelompok tani dengan
penggunaan secara bersama-sama. Para anggota kelompok tani penerima bantuan
dapat menggunakan alat tersebut tanpa batasan waktu.
6.2 Tanggapan Petani Penerima Bantuan
Bantuan yang diberikan dibagikan kepada seluruh anggota kelompok tani
yang ada. Pada pelaksanaannya Program Pengembangan Agribisnis Komoditi
Karet ini mendapat sambutan yang baik dari para petani, terutama dengan adanya
54
bantuan yang berhubungan dengan pengembangan pasca panen karet sebagai mata
pencaharian utama para petani di Kecamatan Jasinga. Antusiasme petani penerima
bantuan program ini dikarenakan masih terbatasnya alat pasca panen atau alat
produksi karet yang masih belum memadai di tingkat petani. Umumnya mereka
memiliki loyang dari jerigen minyak tanah yang dibelah dua, pisau sadap yang
umurnya sudah lama serta mangkok lateks sederhana yang terbuat dari batok
kelapa. Alat-alat tersebut tidak memberikan hasil yang optimal pada pengolahan
pasca panen karet yang dilakukan oleh petani. Dengan adanya bantuan pemerintah
ini, petani mendapatkan perbaikan mutu dan kualitas untuk pengembangan usaha
pasca panen karet di tingkat petani.
Selama program berlangsung, petani merasa kurang adanya pembinaan pada
program yang telah dijalankan oleh Kementerian Pertanian ini. Dinas teknis yang
seharusnya memberikan penyuluhan adalah Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian Peternakan Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Kurangnya
penyuluhan ini terjadi karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Hal ini juga terjadi karena pada tahap
awal program ini dilakukan untuk menstimulus para petani untuk dapat
meningkatkan kegiatan produksi sheet nya. Oleh karena itu, informasi teknologi
dan penggunaan bantuan tidak tersalurkan pada petani secara merata. Namun,
petani tetap antusias dalam melakukan pengembangan pasca panen karet karena
bantuan yang disalurkan merata pada seluruh petani penerima bantuan program.
Pada dasarnya program ini merupakan langkah awal yang dilakukan
Kementerian Pertanian, melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam
upaya mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat setempat melalui
pemanfaatan komoditi unggulan yang ada di Kecamatan Jasinga. Antusias petani
terlihat ketika diadakan penyuluhan dan pembinaan dari pihak Dinas Pertanian
dan Kehutanan tentang bagaimana memanfaatkan potensi lokal yang ada. Petani
juga memperoleh banyak informasi tentang kegiatan pemasaran dan pengolahan
sheet yang benar guna meningkatkan harga jual. Kegiatan pemasaran dilakukan
dengan menjual sheet yang telah dihasilkan ke beberapa pasar yang dituju,
diantaranya adalah PT Vulkanin Jaya yang berlokasi di Kota Bogor serta H.
Arjawi yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten.
55
VII ANALISIS KINERJA USAHATANI DAN PENDAPATAN PETANI KARET DI KECAMATAN JASINGA
7.1 Analisis Kinerja Usahatani
Kinerja usahatani karet dikaji untuk mengetahui gambaran umum
mengenai usahatani karet pada petani anggota dan non anggota kelompok tani
penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Analisis
mengenai keragaan usahatani dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa hal
diantaranya mengenai penggunaan input produksi karet dan output yang
dihasilkan pada usahatani karet.
7.1.1 Penggunaan Input
Penggunaan input akan berpengaruh terhadap produksi sheet karet yang
dihasilkan. Semakin banyak input yang digunakan, maka biaya produksi juga
akan meningkat. Terdapat beberapa faktor input pada usahatani karet, diantaranya
adalah pupuk, koagulan (asam semut) dan tenaga kerja.
Rata - rata biaya yang dikeluarkan oleh petani anggota per hektar dalam
satu tahun adalah Rp 16,413,500,- per hektar per tahun. Biaya terbesar yang
dikeluarkan oleh petani adalah untuk tenaga kerja Rp 8.988.500/hektar. Biaya
tersebut sudah termasuk pupuk kandang, NPK dan KCl. Mahalnya harga pupuk
merupakan faktor utama besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani. Untuk
mengetahui mengenai rata–rata penggunaan input yang digunakan oleh petani
karet penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dapat
dilihat pada Tabel 20.
56
Tabel 20. Rata - rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar per Tahun yang dilakukan Petani Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga
Uraian Satuan Harga/satuan (Rp/satuan)
Jumlah Nilai (Rp)
1. Pupuk a. Pupuk Kandang Karung 10.000 600 6.000.000 b. Urea Kg 2.500 435 1.087.500 c. KCL Kg 2.000 397 794.000 d. NPK Kg 3.000 369 1.107.000
Sub Total Pupuk 8.988.500 2. Koagulan (Asam Semut)
Liter 45 5.000 225.000
3. Tenaga Kerja Orang 20.000 360 7.200.000 Grand Total 16.413.500
Petani karet non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet menggunakan input yang sama dengan petani anggota. Input
produksi yang digunakan adalah pupuk, koagulan (asam semut) dan tenaga kerja.
Rata - rata biaya yang dikeluarkan oleh petani karet non penerima bantuan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dalam satu tahun disajikan
pada Tabel 21.
Tabel 21. Rata - rata Penggunaan Input Usahatani Karet per Hektar per Tahun yang dilakukan Petani Non Penerima Bantuan Program PengembanganAgribisnis Komoditi Karet di Kec Jasinga
Uraian Satuan Harga/satuan (Rp/satuan)
Jumlah Nilai (Rp)
1. Pupuk a. Pupuk Kandang Karung 10.000 600 6.000.000 b. Urea Kg 2.500 435 1.087.500 c. KCL Kg 2.000 397 794.000 d. NPK Kg 3.000 369 1.107.000
Sub Total Pupuk 8.988.500 2. Koagulan (Asam Semut)
225.000
45 5.000 225.000
3. Tenaga Kerja 7.200.000
20.000 360 7.200.000
Grand Total 16.413.500
57
7.1.1.1 Pupuk
Produktivitas karet sangat dipengaruhi oleh pupuk yang digunakan oleh
petani. Penggunaan dosis pupuk harus tepat, sebab jika penggunaannya berlebihan
akan mengurangi produksi getah yang dihasilkan oleh tanaman karet. Pupuk yang
digunakan oleh petani penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet dalam membudidayakan karet adalah pupuk kandang, Urea, KCl
dan NPK. Pupuk kandang yang digunakan petani anggota rata - rata 600
karung/hektar; pupuk Urea 435 kilogram/hektar; pupuk KCl 397 kilogram/hektar
dan pupuk NPK 369 kilogram/hektar. Dosis yang sama juga digunakan oleh
petani non Penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet.
Tanaman tahunan seperti karet membutuhkan dosis pupuk yang jauh lebih banyak
daripada tanaman hortikultura seperti sayuran.
Pupuk kandang didapatkan dari penjual pupuk yang terletak dekat dari
lahan petani, pupuk kandang yang digunakan berasal dari campuran beberapa
kotoran ternak seperti ayam, kambing, dan sapi. Harga pupuk kandang per
karungnya adalah Rp 10.000,00/karung. Pupuk kimia yang digunakan petani karet
anggota dan non anggota berasal dari toko saprodi yang ada di pasar Jasinga.
Harga pupuk kimia tersebut bermacam–macam, diantaranya adalah pupuk urea:
Rp 2.500,00 per kilogram; pupuk KCl: Rp 2.000,00 per kilogram; dan pupuk
NPK: Rp 3.000,00 per kilogram.
Menurut Susila (2006) pada tanah mineral dengan tingkat kandungan P
dan K sedang, pupuk yang digunakan dalam budidaya karet diantaranya adalah
Urea: 118 kilogram/hektar, SP36: 311 kilogram/hektar dan KCl: 112
kilogram/hektar. Sedangkan petani selain menggunakan Urea dan KCl, juga
menggunakan NPK. Untuk kedepannya diharapkan Dinas Pertanian atau pihak
lain yang berkompeten (akademisi) bisa melakukan uji tanah, sehingga bisa
didapatkan rekomendasi pemupukan yang tepat. Dengan didapatkannya
rekomendasi pemupukan yang tepat, diharapkan petani bisa menggunakan pupuk
dengan lebih efektif dan efisien.
58
7.1.1.2 Koagulan (Asam Semut)
Koagulan merupakan larutan ammonia 20 persen yang berfungsi sebagai
pembeku lateks. Getah lateks yang baru disadap harus segera dibekukan dengan
menggunakan koagulan (asam semut). Pembekuan lateks merupakan tahapan
proses yang sangat penting dalam pengolahan sheet karet. Pembekuan yang baik
akan mempengaruhi pada saat penggilingan dan pengeringan sheet yang
berdampak pada kualitas sheet yang dihasilkan. Rata-rata penggunaan koagulan
(asam semut) untuk satu hektar tanaman karet adalah sebesar 45 Liter. Harga
koagulan (asam semut) ini adalah Rp 5.000,- per Liter. Kekeras bekuan dari sheet
basah dipengaruhi oleh jumlah pembeku atau koagulan (asam semut) yang
ditambahkan, kepekatan lateks kebun, dan lamanya proses pembekuan. Kekeras
bekuan yang dihasilkan harus berada pada kondisi yang optimal, karena bekuan
sheet basah yang terlalu keras akan sulit digiling. Sulitnya penggilingan akan
berdampak pada banyaknya waktu dan biaya yang akan terbuang.
7.1.1.3 Tenaga Kerja
Faktor produksi yang dapat mempengaruhi produktivitas karet berikutnya
adalah tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja juga harus tepat jumlahnya, jika
terlalu banyak menjadi tidak efisien karena biasanya pekerja akan lebih banyak
berinteraksi daripada bekerja. Tenaga kerja akan berpengaruh terhadap biaya
variabel usahatani karet, biaya tenaga kerja didapatkan dengan menghitung Hari
Orang Kerja (HOK) dikalikan dengan upah harian per HOK. Tenaga kerja yang
digunakan dalam proses budidaya tanaman karet adalah tenaga kerja pria dengan
biaya Rp 20.000,- per hari.
Penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani karet memiliki peranan
yang cukup baik. Komponen ini menjadi salah satu komponen dengan biaya yang
relatif tinggi dalam kegiatan usahatani karet. Hasil analisis dan wawancara di
lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja yang digunakan
oleh para petani berasal dari keluarga. Peranan tenaga kerja dalam budidaya karet
tentunya akan sangat mendukung upaya menjaga dan meningkatkan produksi
getah karet atau lateks.
59
7.2 Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis pendapatan yang dibahas pada bab berikut ini meliputi dua
bagian, yaitu analisis pendapatan usahatani petani penerima bantuan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dan analisis usahatani petani non
penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Hal ini
dilakukan untuk menilai bagaimana tingkat keberhasilan program Pengembangan
Agribisnis yang telah dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari segi pendapatan.
Analisis pendapatan ini membahas beberapa hal diantaranya adalah
perimaan usahatani, biaya usahatani, pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas
biaya total, R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total.
7.2.1 Analisis Usahatani Karet Petani Penerima Bantuan Program
Usahatani karet yang dianalisis adalah selama satu tahun, petani penerima
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet mendapatkan
penerimaan dari hasil olahan sheet yang berupa sheet basah. Rata-rata
produktivitas per hektar per musim karet adalah 1.411 kilogram/hektar. Harga jual
sheet basah dengan kualitas sheet 3 rata-rata adalah Rp 7.500,- per kilogram.
Rata-rata penerimaan petani penerima bantuan Program Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet per hektar per tahun adalah Rp 32.925.000 per hektar
per tahun.
Biaya tunai yang dikeluarkan petani penerima bantuan diantaranya untuk
membeli pupuk kandang, pupuk kimia, koagulan (asam semut) dan membayar
upah tenaga kerja. Rata–rata biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani penerima
bantuan adalah Rp 16.413.500 per hektar per tahun. Biaya tebesar digunakan
untuk pembelian pupuk kandang dan membayar tenaga kerja.
Biaya diperhitungkan terdiri dari biaya pajak lahan dan biaya penyusutan
alat. Biaya pajak lahan dibayar satu kali dalam satu tahun. Penyusutan alat terdiri
dari penyusutan dari ember penampung, cincin mangkuk dan talang sadap.
Perhitungan mengenai penyusutan alat pertanian petani karet penerima bantuan
Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet terdapat pada Lampiran 3.
Adapun untuk analisis pendapatan karet petani penerima bantuan Program
Pengembangan Agrisnis Komoditi Karet terdapat pada Tabel 22.
60
Tabel 22. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per Hektar per Tahun di Kec Jasinga Uraian Satuan Harga Satuan
(Rupiah) Volume
Nilai (Rupiah)
A Penerimaan Usahatani Sheet Basah Kilogram 7.500 4.390 32.925.000
Total Penerimaan 32.925.000 B Biaya Usahatani
B1
Biaya Tunai 1.Pupuk a. Pupuk Kandang Karung 10.000 600 6.000.000 b. Urea Kilogram 2.500 435 1.087.500 c. KCL Kilogram 2.000 397 794.000 d. NPK Kilogram 3.000 369 1.107.000 2. Koagulan (Asam Semut) Liter 45 5000 225.000 3. Tenaga Kerja Orang 20.000 360 7.200.000
Total Biaya Tunai 16.413.500
B2
Biaya diperhitungkan 1. Pajak Lahan 215.000 1 215.000 2. Penyusutan Alat 23.400 1 23.400 Total Biaya Diperhitungkan 238.400
C Total Biaya Usahatani (B1+B2) 16.651.900
D Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) 16.511.500
E Pendapatan Atas Biaya Total (A-C) 16.273.100
F R/C Atas Biaya Tunai (A/B1) 2,01
H R/C Atas Biaya Total (A/C) 1,98
Pendapatan petani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan
atas biaya total. Besarnya pendapatan petani karet atas biaya tunai adalah Rp
16,511,500,- per hektar, sedangkan besarnya pendapatan petani atas biaya total Rp
16,273,100,- per hektar. Untuk mengetahui efisiensi usahatani dapat dicari dengan
rasio penerimanan terhadap biaya (R/C rasio). R/C rasio juga terbagi menjadi dua
jenis, yaitu R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Nilai R/C
rasio atas biaya tunai adalah 2,01 artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya
tunai akan menghasilkan penerimaan sebesar 2,01 satuan penerimaan. Nilai R/C
atas biaya total sebesar 1,98 artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya total
akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,98 satuan penerimaan.
61
7.2.2 Analisis Usahatani Karet Petani Non Penerima Bantuan
Berdasarkan analisis usahatani karet non penerima bantuan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet, diperoleh data bahwa jumlah produksi
sheet yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan petani penerima bantuan
program. Hal ini dikarenakan bantuan alat pasca panen yang diberikan pada petani
penerima bantuan program memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
hasil produksi sheet dan kualitas sheet yang dihasilkan. Petani non penerima
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet hanya mampu
menghasilkan sheet dengan mutu sheet asalan yang rata-rata dihargai Rp 4,500
per kilogram. Rincian mengenai usahatani karet pada petani non penerima
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet pada Tabel 23.
Tabel 23. Analisis Pendapatan Sheet pada Petani Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet per Hektar per Tahun di Kec Jasinga Uraian Satuan Harga Satuan
(Rupiah) Volume
Nilai (Rupiah)
A
Penerimaan Usahatani
Sheet Basah Kilogram
4.500 3.825
17.212.500 Total Penerimaan 17.212.500
B Biaya Usahatani
B1
Biaya Tunai 1.Pupuk a. Pupuk Kandang Karung 10.000 600 6.000.000 b. Urea Kilogram 2.500 435 1.087.500 c. KCL Kilogram 2.000 397 794.000 d. NPK Kilogram 3.000 369 1.107.000 2. Koagulan (Asam Semut) Liter 45 5000 225.000 3. Tenaga Kerja Orang 20.000 360 7.200.000
Total Biaya Tunai 16.413.500
B2
Biaya diperhitungkan 1. Pajak Lahan 118.000 1 118.000 2. Penyusutan Alat 36.900 1 36.900 Total Biaya Diperhitungkan 154.900
C Total Biaya Usahatani (B1+B2) 16.568.400 D Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) 799.000 E Pendapatan Atas Biaya Total (A-C) 644.100 F R/C Atas Biaya Tunai (A/B1) 1,05 H R/C Atas Biaya Total (A/C) 1,04
62
Pada Tabel 23 menunjukkan analisis pendapatan usahatani petani karet
non penerima bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet.
Berdasarkan hasil perhitungan, rata–rata biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani
non penerima bantuan adalah sama dengan petani penerima bantuan program
yaitu sebesar Rp 16.413.500,- per hektar. Biaya tunai terbesar dikeluakan untuk
pembelian pupuk kandang dan pembayaran tenaga kerja. Rata-rata biaya yang
diperhitungkan berupa pajak lahan dan penyusutan alat adalah sebesar Rp
154.900,- per hektar. Nilai penyusutan alat pada petani non penerima bantuan
program bernilai lebih kecil dibandingkan dengan petani penerima bantuan
program. Hal ini dikarenakan petani non penerima bantuan program harus
membeli pisau sadap, sedangkan petani penerima bantuan program mempunyai
pisau sadap yang diperoleh dari bantuan Program Pengembangan Agribisnis
Komoditi Karet. Variabel – variabel biaya tersebut akan mempengaruhi nilai R/C
rasio.
Nilai R/C rasio dibedakan menjadi R/C rasio atas biaya tunai dan R/C
rasio atas biaya total. Perbandingan antara nilai R/C rasio petani non anggota
dengan petani anggota adalah lebih kecil petani non anggota. Hal ini dikarenakan
mutu dari kualitas sheet yang dihasilkan sangat jauh dari petani penerima bantuan
program. Petani penerima bantuan program mampu menghasilkan sheet dengan
kualitas 3 yang mempunyai nilai jual rata-rata adalah sebesar Rp 7.500 per
kilogram, sedangkan petani non penerima bantuan program hanya mampu
menghasilkan sheet dengan kualitas asalan yang mempunyai nilai jual rata-rata
adalah Rp 4.500 per kilogram. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada petani non
penerima bantuan adalah sebesar 1,05 artinya setiap satu satuan biaya tunai yang
dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,05 satuan penerimaan.
Sedangkan, nilai R/C rasio atas biaya totalnya adalah 1,04 artinya setiap satu
satuan biaya total yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,54
satuan penerimaan.
63
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dilaksanakan di
Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Program ini merupakan Program yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Pengelolaan
Hasil dan Pemasaran Hasil Pertanian. Program Pengembangan Agribisnis ini
merupakan serangkaian dari kegiatan-kegiatan yang terintegrasi dari pasca
panen hingga pemasaran hasil. Pelaksana teknis dari Program Pengembangan
Agribisnis Komoditi Karet ini adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor. Bentuk dari pelaksanaan program pemerintah ini adalah
pemberian bantuan berupa alat pasca panen karet pada kelompok tani yang
telah ditetapkan. Kelompok tani yang mendapatkan bantuan Program
Pengembangan Agribisnis berjumlah tiga kelompok tani, yaitu kelompok tani
Mandiri, Kuning Sari dan Binangkit. Bantuan yang diberikan pada masing-
masing kelompok tani alat pasca panen karet yang terdiri atas satu unit hand
mangel, loyang, timbangan gantung, pisau sadap dan mangkok lateks.
2. Berdasarkan hasil kinerja usahatani, petani karet penerima bantuan Program
Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet mampu menghasilkan mutu dan
kualitas sheet dengan kualitas 3 yang rata-rata harga jualnya adalah Rp 7.500,-
per kilogram. Petani penerima bantuan program pun memiliki pendapatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani karet non penerima
bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet. Pendapatan atas
biaya tunai dari petani penerima bantuan program adalah sebesar Rp
16.511.500,- dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 16.273.100,-.
Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 2,01 dan R/C atas biaya total adalah
1,98. Petani non penerima bantuan hanya mampu menghasilkan sheet dengan
kualitas asalan yang rata-rata harga jualnya adalah Rp 4.500,- per kilogram.
Pendapatan atas biaya tunai dari petani non penerima bantuan program adalah
sebesar Rp 799.000,- dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp
64
644.100,-. Nilai R/C rasio atas biaya tunai adalah 1,05 dan R/C atas biaya total
adalah 1,04.
8.2 Saran
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan penulis
adalah:
1. Berdasarkan analisis usahatani karet, diperlukan pelatihan dan penelitian
mengenai teknik pasca panen karet yang baik. Terutama mengenai proses
pembekuan, penggilingan, pencucian dan pengeringan lateks. Diperlukan
penerapan teknologi modern misalnya: mekanisasi pertanian, penerapan
kawasan agropolitan atau penerapan integrated farming. Dengan
banyaknya anggota kelompok tani penerima bantuan yang
membudidayakan kambing, kotoran dan air seni kambing dapat dijadikan
pupuk kandang, sehingga biaya untuk pembelian pupuk kandang dapat
ditekan.
2. Petani karet yang belum tergabung dengan kelompok tani diharapkan bisa
bergabung dengan kelompok tani yang telah terdaftar pada Dinas
Pertanian dan Kehutanan, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dalam
mendapatkan akses teknologi, modal dan pasar.
3. Untuk meningkatkan perkembangan kelompok tani, diperlukan upaya
penyuluhan dan pelatihan yang lebih intensif dari pihak BP3K atau BP4K.
Pertemuan harus lebih intensif dari satu bulan sekali menjadi satu minggu
sekali. Dengan demikian permasalahan-permasalahan yang menjadi
kendala petani karet di Kecamatan Jasinga dapat diatasi.
65
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Luas Kebun, Produksi dan Konsumsi Karet di
Indonesia Tahun 2001-2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga
Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sektor Restoran Tahun 2004-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik Pusat Jakarta.
Baga, L. M.,Yanuar,R., K.,Feryanto W.,Aziz, K. 2009. Koperasi dan
Kelembagaan Agribisnis [Diktat Perkuliahan]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Istitut Pertanian Bogor.
Blakely, E. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice.
Second Edition. London: Sage Publications, Inc. 1989/1994. http://bappenas.go .id/node/71/1142/kemitraan-bagi-pengembangan-ekonomi-lokal-kpel%C3. Diakses: Selasa, 12 Mei 2009.
Damanhuri, D. S. 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan
Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan. Bogor: IPB Pers.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Petunjuk Teknis
Kegiatan Bantuan Sosial Pembangunan Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Potensi dan Peluang
Pengembangan Pertanian dan Kehutanan. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2009. Statistik Perkebunan
Semester II Tahun 2009. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
Direktorat Jenderal Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Departemen Pertanian.
2010. Pedoman Umum Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan Hasil dan Pemasaran. Departemen Pertanian.
Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. 2009. Karet Rakyat di
Negara Produsen Utama Dunia Tahun 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. Departemen Perindustrian. 2007.
Produk Hasil Olahan Getah Karet/ Lateks. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kima. Departemen Perindustrian.
66
Departemen Pertanian. 2008. Peraturan Menteri Pertanian No 16. OT. 140/2/ 2008. Jakarta: Deptan RI
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Basic Econometric.
Krisnamurthi, B. 2002. Strategi Pembangunan Ekonomi Rakyat dalam Kerangka
Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor.
Komarudin. 2009. Pengaruh Program Local Economic Resources Development
Komoditi Nenas terhadap Produksi dan Pendapatan Petani di Desa Cipelang Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Lestari, A. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor
Karet Alam Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertania. Institute Pertanian Bogor.
Mintarti N. 2008. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas
Kelapa di Kabupaten Pacitan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi Ketiga. Jakarta : LP3ES. Nugraha. 2010. Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani Brokoli
[Skripsi]. Bogor : Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Nasdian, F. 2003. Pengantar Pengembangan Masyarakat. Diktat Kuliah
Komukasi Pembangunan. Institut Pertanian Bogor. Nasution, M. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi untuk Agroindustri.
Bogor: IPB Press. Tidak dipublikasikan. Rachmina, D dan Burhanuddin. 2008. Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi.
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahim, Abd. dan Diah. 2008. Pengantar, Teori dan Kasus Ekonomika Pertanian.
Jakarta : Penebar Swadaya. Saptana. 2006. Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura di
Sumatera Utara, Jawa Barat dan Bali. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.
Saragih, B. 2010. Suara Agribisnis Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih.
Jakarta: PT. Permata Wacana Lestari.
67
Soeharjo, A dan Dahlan Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor : IPB Press.
Suharto E. 2004. Pendampingan Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Miskin: Konsepsi dan Strategi. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/ makindo_32.htm. Diakses: Sabtu, 23 Mei 2009.
Sunandar, Iwan. 2007. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Perusahaan Komoditi Tanaman Karet Alam (Hevea Brasiliensis) Kasus di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan. [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Susila, D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Tahunan. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Syahid M. 2005. Pengembangan Ekonomi Lokal Melalui Pengembangan Kelompok Tani Ternak Itik, Kasus Desa Pematang Hambawang, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Syaukat dan Hendrakusumaatmadja. 2003. Pembangunan Ekonomi Berbasis
Lokal. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Tim Penebar Swadaya. 1994. Budidaya Karet. Jakarta: Penebar Swadaya. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. Wayan. 2000. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam
Era Otonomi Daerah. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Balitbang Deptan.
Widhyastuti, 2006. Evaluasi Pelaksanaan PIR Pada PT Indosawit Subur (Kasus
PIR di Pabrik Minyak Kelapa Sawit Buatan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau) [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Yulistia, N. 2009. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani
Belimbing Dewa Peserta Primatani Di Kota Depok, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
68
LAMPIRAN
69
Lampiran 2. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dengan Metode Garis Lurus
Peralatan pertanian
Umur Pemakaian
(tahun) Jumlah Nilai
awal Penyusutan Penyusutan per Tahun Nilai akhir
Ember Penampung 5 1 30,000 5,400 1,080 3,000
Cincin Mangkuk 2 1 15,000 6,750 3,375 1,500
Talang Sadap 2 1 25,000 11,250 5,625 2,500
Jumlah 70,000 23,400 10,080 7,000
70
Lampiran 3. Penyusutan Alat-Alat Pasca Panen Petani Karet Non Penerima Bantuan Program Pengembangan Agribisnis Komoditi Karet dengan Metode Garis Lurus
Peralatan pertanian
Umur Pemakaian
(tahun) Jumlah Nilai
awal Penyusutan Penyusutan per Tahun Nilai akhir
Ember Penampung 5
1
30,000
5,400
1,080 3,000
Cincin Mangkuk
2
1
15,000
6,750
3,375 1,500
Pisau Sadap 10
1
150,000 13,500
1,350 15,000
Talang Sadap
2
1 25,000
11,250
5,625 2,500
Jumlah 220,000 36,900 11,430 22,000