ANALISIS KASUS.docx

17
ANALISIS KASUS Seorang anak laki-laki usia 6 tahun 4 bulan datang ke RS dr Abdul Aziz dengan keluhan utama badan lemas sejak tadi padi SMRS. Lemas badan tersebut menyebabkan pasien tidak dapat banyak bergerak dan pasien merasa kepala terasa mengambang. Pasien juga mengeluhkan sejak 7 hari SMRS bengkak pada seluruh tubuhnya. Pasien memiliki riwayat 3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami keluhan bengkak pada mata, wajah, tangan, perut, skrotum, kaki disertai dengan keluhan kencing yang berwarna keruh. Sejak saat itu pasien rutin untuk berobat dan kontrol. Kemudian 8 bulan setelahnya penyakit pasien kambuh kembali dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh. Sosial ekonomi keluarga menengah kebawah Hasil perhitungan status gizi menunjukkan pasien merupakan anak dengan gizi kurang. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya edema palpebra, kesan wajah sembab, susp. efusi pleura D/S, rhonki basah basal, asites, pitting edema pada kedua tungkai bawah. Dari hasil anamnesis ditemukan keluhan bengkak pada kedua tungkai dan wajah. Pendekatan klinis untuk pasien anak dengan edema ditunjukkan oleh gambar di bawah ini.

Transcript of ANALISIS KASUS.docx

Page 1: ANALISIS KASUS.docx

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki usia 6 tahun 4 bulan datang ke RS dr Abdul Aziz

dengan keluhan utama badan lemas sejak tadi padi SMRS. Lemas badan tersebut

menyebabkan pasien tidak dapat banyak bergerak dan pasien merasa kepala terasa

mengambang. Pasien juga mengeluhkan sejak 7 hari SMRS bengkak pada seluruh

tubuhnya. Pasien memiliki riwayat 3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami

keluhan bengkak pada mata, wajah, tangan, perut, skrotum, kaki disertai dengan

keluhan kencing yang berwarna keruh. Sejak saat itu pasien rutin untuk berobat

dan kontrol. Kemudian 8 bulan setelahnya penyakit pasien kambuh kembali

dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh. Sosial ekonomi keluarga menengah

kebawah Hasil perhitungan status gizi menunjukkan pasien merupakan anak

dengan gizi kurang. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya edema

palpebra, kesan wajah sembab, susp. efusi pleura D/S, rhonki basah basal, asites,

pitting edema pada kedua tungkai bawah.

Dari hasil anamnesis ditemukan keluhan bengkak pada kedua tungkai dan

wajah. Pendekatan klinis untuk pasien anak dengan edema ditunjukkan oleh

gambar di bawah ini.

Page 2: ANALISIS KASUS.docx

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bahwa bengkak

didapatkan di daerah wajah dan kaki. Hal ini menunjukkan edema merupakan

edema generalisata. Edema generalisata adalah edema atau bengkak akibat

akumulasi cairan pada seluruh tubuh dibandingkan pada organ-organ tertentu.1

Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda sirkulasi yang

berlebihan seperti peningkatan JVP, takikardi, sesak napas, dan rhonki pada paru.

Kemudian dari hasil pemeriksaan urinalisis ditemukan proteinuria sehingga

berdasarkan bagan di atas, edema pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh

kelainan pada ginjal.1

Kelainan pada ginjal yang menyebabkan edema generalisata dapat disertai

beberapa kondisi seperti sindrom nefritik dan sindrom nefrotik. Gambar dibawah

menjelaskan bagaimana mekanisme edema generalisata pada sindrom nefritik dan

sindrom nefrotik dapat terjadi.

Pada anak dengan sindrom nefritik akan ditemui gejala dan tanda kelebihan

cairan intravaskular berupa ortopneu, kardiomegali, peningkatan JVP, kongesti

paru dan hepatomegali. Gejalan dan tanda tersebutlah yang membedakan antara

sindrom nefritik dengan sindrom nefrotik. Maka pasien ini didiagnosis Sindrom

Page 3: ANALISIS KASUS.docx

Nefrotik karena memenuhi semua kriteria berdasarkan Konsensus Tatalaksana

Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012). :

a. Proteinuria massif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick ≥ +2).

b. Hipoalbuminemia (<2,5 g/dL).

c. Edema.

d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dl.

Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus yang

terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan membrana basalis dan

atau kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang mempengaruhi. Satu atau lebih

mekanisme ini akan terjadi pada salah satu tipe SN (Cohen E.P., 2009).

Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap

protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis

glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah

kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul

(size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada

SN keduanya terganggu(Prodjosudjadi, 2013). Penyebab proteinuria yang pasti

belum diketahui. Tetapi SN idiopatik diyakini memiliki patogenesis yang

dikaitkan dengan system kekebalan. Berbagai penelitian menunjukkan regulasi

abnormal subset sel T dan ekspresi factor permeabilitas glomerular. Bukti-bukti

Page 4: ANALISIS KASUS.docx

yang menunjukkan bahwa SN idiopatik dimediasi oleh system kekebalan

ditunjukkan oleh kenyataan bahwa agen imunosupresif seperti kortikosteroid dan

agen alkylating dapat meremisi sindrom nefrotik (Behram, 2005).

Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat

penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik

plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis

albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi

protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong

peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat juga terjadi

akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal

(Prodjosudjadi, 2013; Behram, 2005).

Mekanisme terjadinya hiperlipidemia belum jelas sepenuhnya. Albumin

yang rendah atau tekanan onkotik yang rendah diduga dapat menstimulasi hati

untuk meningkatkan sintesis lipoprotein yang mengikat kolesterol. Teori lain

mengatakan bahwa adanya proteinuria pada SN menyebabkan terjadinya reaksi

balik yang mengakibatkan produksi lipoprotein di hati yang meningkat.

Walaupun hati pada SN dapat menghasilkan lebih banyak lipoprotein, tetapi

HDL tidak meningkat. Kadar dari HDL yang merupakan factor protektif terhadap

terjadinya aterosklerosis ternyata rendah. Hal ini disebabkan karena HDL

merupakan molekul yang kecil, sehingga lebih mudah keluar melalui urine.

Lipoprotein lain yang dihasilkan hati pada SN adalah cholesterol ester transfer

protein yang juga memegang peranan terjadinya hiperlipidemia. Peran dari protein

ini adalah transfer kolesterol ester dari HDL ke lipoprotein LDL. Pasien SN yang

tidak diobati mempunyai kadar cholesterol ester transfer protein yang sangat

tinggi bila dibandingkan dengan pasien lain yang mendapat terapi. Penurunan

tekanan onkotik plasma, berperan penting dalam meningkatkaan sintesis

lipoprotein hepatic, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan hiperlipidemia pada

pasien dengan SN yang mendapatkan infuse albumin atau dextran.

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori

underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya

edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik

Page 5: ANALISIS KASUS.docx

plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan

terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan

plasma terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan

meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan

memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya

hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut (Prodjosudjadi, 2013).

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.

Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga

terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi

natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor

seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi

ginjal, jenis lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati

akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan (Prodjosudjadi, 2013).

Page 6: ANALISIS KASUS.docx

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder

mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),

purpura Henoch Schonlein, dan lain lain (UKKN, 2012). Sindrom nefrotik

kongenital terjadi pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia

kurang dari 6 bulan merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan

mempunyai prognosis buruk. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya

adalah edema pada masa neonatus. Selain itu, penyebabnya bisa karena infeksi

kongenital (sifilis, toksoplasmosis, sitomegalovirus) dan sklerosis mesangium

difus yang tidak diketahui sebabnya (sindrom drash yang terdiri dari nefropati,

tumor wilms, kelainan kongenital). sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom

nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa

ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Kelainan

glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya,

dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron

dan imunofluoresensi. Bentuk-bentuk sindroma nefrotik sekunder berkembang

pada perjalanan berbagai penyakit yang berhubungan, di antaranya diabetes

melitus, penyakit Alport, SLE, sifilis, malaria, purpura anafilaktoid,amiloidosis,

neoplasma limfoproloferatif, glomerulonefritis poststreptokok, dan infeksi

sistemik seperti endokarditis bakterialis subakut.

Page 7: ANALISIS KASUS.docx

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah

tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi

pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam

waktu 10-14 hari (Greenberg, 2005).

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan

berikut:

a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan

b. Pengukuran tekanan darah

c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,

seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.

d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap

infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis 5. INH

selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan

obat antituberkulosis (OAT).

Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan

sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :  

Tabel 1.  Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak

dengan

sindrom nefrotik

Remisi

 

Kambuh

Kambuh tidak

sering

Kambuh sering

Responsif-steroid

Dependen-steroid

 Proteinuria negatif atau trace, atau proteinuria < 4

mg/m2/jam selama   3 hari berturut-turut.

Proteinuria > 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3

hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami

remisi.

Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam

periode 12 bulan.

Kambuh > 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons

awal,  atau  > 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.

Page 8: ANALISIS KASUS.docx

Resisten-steroid

Responder lambat

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering

terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid

dihentikan.

Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi

prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60

mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.

Nonresponder awal

Nonresponder

lambat

Resisten-steroid sejak terapi awal

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya

responsif-steroid

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison

60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis

terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat

badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)

inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,

dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)

atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan

pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,

pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Page 9: ANALISIS KASUS.docx

Pasien pada kasus ini 3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami keluhan

bengkak pada mata, wajah, tangan, perut, skrotum, kaki disertai dengan keluhan

kencing yang berwarna keruh. Sejak saat itu pasien rutin untuk berobat dan

kontrol. Kemudian 8 bulan setelahnya penyakit pasien kambuh kembali dengan

keluhan bengkak pada seluruh tubuh. Sehingga berdasarkan Konsensus

Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak

Indonesia 2012) pasien ini didiagnosis menderita sindrom nefrotik kasus relaps

jarang, yaitu relaps < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12

bulan.

Pada SN kambuh diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal

4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN

remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum

pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran

nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian

proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal

ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat

ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

Keterangan : Pengobatan SN relaps diberikan prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai

remissi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau

alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Page 10: ANALISIS KASUS.docx

Untuk pemberian dosis penuh (full dose) prednison sesuai berat badan ideal

(BB terhadap TB) (KDIGO, 2012). Berdasarkan CDC-NCHS Growth Chart, pada

pasien ini BB ideal nya dengan TB 112 cm adalah 19,5 kg, sehingga dosis

prednison yang diberikan adalah 19,5 kg x 2 mg = 39 mg/hari, dibulatkan menjadi

40 mg/hari dikarenakan:

1. Satu tablet prednison mengandung 5 mg sehingga mempermudah dalam

penentuan jumlah tablet yang akan diberikan dan mempermudah dalam

pengkonsumsian obat;

2. Dosis pembulatan menjadi 40 mg masih dalam dosis aman prednison yaitu

maksimal 80 mg/hari. Sehingga pasien ini menggunakan prednison

sebanyak 8 tablet sehari dengan dosis terbagi 3-3-2.

Kemudian 4 minggu setelah pemberian dosis penuh (FD), dilanjutkan

dengan pemberian dosis intermitten (AD) selama 4 minggu dengan dosis

1,5mg/kg/bb/hari, 1 x sehari setelah makan pagi sehingga prednison yang

diberikan adalah 19,5 x 1,5 mg = 29,25 mg/hari, dibulatkan menjadi 30 mg/hari.

Penatalaksanaan edema generalisata merupakan salah satu terapi suportif

pada sindorom nefrotik. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3

mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis

aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian

diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pemberian diuretik yang

berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala

hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pada

pasien ini terdapat riwayat penggunaan obat pil berwarna hijau diminum sebanyak

2x/hari yang diberikan oleh mantri selama 3 hari. Obat tersebut menyebabkan

pasien menjadi sering BAK. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda syok

hipovolemik pada pasien ini berupa hipotensi, dan akral dingin.

Syok hipovolemik terjadi akibat berkurangnya volume darah intravaskular.

Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat sehingga kesempatan

pertukaran O2 dan CO2 ke dalam pembuluh darah lebih lama akibatnya akan

terjadi hipoksia pada sel. Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi ke

Page 11: ANALISIS KASUS.docx

jaringan maka metabolisme tubuh berubah menjadi metabolisme anaerobik.

Akibat dari metabolisme anaerobik ini adalah terjadinya penumpukan asam laktat

dan pada akhirnya metabolisme tidak mampu lagi menyediakan energi yang

cukup untuk mempertahankan homoestasis seluler, terjadi kerusakan pompa ionik

dinding sel, natrium masuk kedalam sel dan kalium keluar sel dan terjadi

akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edema dan kematian sel. Pada akhirnya

terjadi banyak kerusakan sel organ tubuh atau terjadi kegagalan organ multiple

(multiple organ failure) dan renjatan yang ireversibel.

Tatalaksana syok hipovolemik bertujuan untuk optimalisasi perfusi

jaringan dan organ vital serta mencegah dan memperbaiki kelainan metabolik

yang timbul sebagai akibat hipoperfusi jaringan. Prioritas utama yang harus

segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas,

dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi cairan. Apabila

jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.

Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus

kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam

waktu 5-20 menit.

Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih

diperlukan cairan, pertimbangkan pemberian koloid.  Darah hanya

direkomendasikan sebagai pengganti volume yang hilang pada kasus

Page 12: ANALISIS KASUS.docx

perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang tidak adekuat meskipun telah

mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.

Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB (5ml/kg) selama 2-4

jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial dilakukan atas indikasi

seperti edema refrakter, syok, atau kadar albumin ≤ 1 g/dl. Bila syok belum

teratasi dapat diberikan dopamin 2-10 μg/kg/menit atau dobutamine 5-20

μg/kg/menit.

Nilai respon penderita terhadap pemberian cairan dengan memantau

status kardiovaskular, tanda vital dan perfusi perifer. Dengan meningkatkan

preload diharapkan kontraktilitas otot jantung meningkat, curah jantung

bertambah sehingga sirkulasi dapat diperbaiki kembali. Pasang kateter urin

untuk menilai respon perbaikan sirkulasi dengan memantau produksi urin.

Usahakan kadar Hb lebih besar dari 5g/dl. Foto torak dilakukan secepatnya bila

kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan. Setelah restorasi cairan

dilakukan, berbagai kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi akibat renjatan

perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan.