analisis kasus

7
Pada secondary survey jantung dan paru dalam batas normal serta ditemukan tanda vital dalam batas normal, kecuali napas ireguler dan ditemukan rinorea berupa darah. Pernapasan yang tidak teratur dapat disebabkan oleh stress post trauma atau terdapat gangguan pola pengaturan pernapasan dari SSP. Sedangkan rinorea dapat disebabkan oleh trauma nasal ataupun trauma pada basis cranii fossa anterior sehingga sekret rinorea dipastikan dengan halo test untuk memastikan sumber rinorea. Kesadaran pasien dalam saar penuh namun tampak kesakitan karena paparan luka. Pasien tampak tidak mau membuka mata karena merasa pandangannya gelap saat membuka mata dan muntah terus menerus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vulnus yang tidak membatasi Range of Movement (ROM) dari genu dan kubiti. Kecurigaan awal pasien tetap pada fraktur tulang kengkorak mengingat pasien mengeluh sakit di kepala dan ditemukan luka di daerah frontalis dan temporalis, sehingga pasien diusulkan untuk di foto polos skull AP dan lateral. Hasil foto AP dan Lateral memberikan kesan adanya fraktur linear pada os oksipital yang terlihat pada foto lateral (lihat lampiran sebelumnya). Berdasarkan GCS dan gejala pasien pukul 13.30, dianosis kerja pada pasien ini adalah Cedera Kepala RIngan (CKR) dan vulnus-vulnus, dengan diagnosis banding vertigo dan stroke hemorage dikarenakan post traumatic. Dengan riwayat pingsan >15 menit dan keluhan keluhan pasien, sehingga diusulkan untuk dilanjutkan pada pemeriksaan CT Scan. Sedangkan terapi awal meliputi oksigenasi 3 lpm, terapi cairan, analgesik dan anti mual

description

analsisi cedera kepala dalam trauma kapitis

Transcript of analisis kasus

Pada secondary survey jantung dan paru dalam batas normal serta ditemukan tanda vital dalam batas normal, kecuali napas ireguler dan ditemukan rinorea berupa darah. Pernapasan yang tidak teratur dapat disebabkan oleh stress post trauma atau terdapat gangguan pola pengaturan pernapasan dari SSP. Sedangkan rinorea dapat disebabkan oleh trauma nasal ataupun trauma pada basis cranii fossa anterior sehingga sekret rinorea dipastikan dengan halo test untuk memastikan sumber rinorea. Kesadaran pasien dalam saar penuh namun tampak kesakitan karena paparan luka. Pasien tampak tidak mau membuka mata karena merasa pandangannya gelap saat membuka mata dan muntah terus menerus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vulnus yang tidak membatasi Range of Movement (ROM) dari genu dan kubiti.

Kecurigaan awal pasien tetap pada fraktur tulang kengkorak mengingat pasien mengeluh sakit di kepala dan ditemukan luka di daerah frontalis dan temporalis, sehingga pasien diusulkan untuk di foto polos skull AP dan lateral. Hasil foto AP dan Lateral memberikan kesan adanya fraktur linear pada os oksipital yang terlihat pada foto lateral (lihat lampiran sebelumnya).

Berdasarkan GCS dan gejala pasien pukul 13.30, dianosis kerja pada pasien ini adalah Cedera Kepala RIngan (CKR) dan vulnus-vulnus, dengan diagnosis banding vertigo dan stroke hemorage dikarenakan post traumatic. Dengan riwayat pingsan >15 menit dan keluhan keluhan pasien, sehingga diusulkan untuk dilanjutkan pada pemeriksaan CT Scan. Sedangkan terapi awal meliputi oksigenasi 3 lpm, terapi cairan, analgesik dan anti mual muntah, yang disesuaikan dengan keluhan pasien. Terapi non medika mentosa meliputi Head Up untuk menurunkan kemungkinan peningkatan TIK, pembersihan dan penjahitan luka untuk mencegah infeksi sekunder serta dilakukan observasi dari TTV, tanda gejala fraktur basis cranii dan peningkatan TIK.Pada follow up pertama dan kedua ( 2 jam 45 menit setelah terapi awal), pasien masih muntah-muntah namun sudah berkurang dan pandangan masih gelap saat membuka mata. Rinorea berhenti dan pasien tidak dapat duduk sendiri. Pasien tampak tenang beristirahat, namun tetap dilakukan observasi per 1 jam mengingat keluhan muntah yang belum hilang. Observasi terus dilakukan hingga pada jam ke- 20 dari jam kecelakaan, pasien mengeluhkan pusing berat, sakit kepala, masih mual, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertensi namun nadi relative lambat dan napas sesak. Hal ini gejala cushing pada peningkatan TIK.

Pada hasil pemeriksaan CT Scan ditemukan adanya fraktur os oksipital sinistra, perdarahan di cerebellum sinistra, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus ringan, perdarahan subarachnoid regio oksipitoparietalis bilateral dan hematosinus sphenoidalis.

Fraktur yang terjadi sesuai dengan pemeriksaan awal pada foto polos AP dan Lateral dari skull yang memberikan kesan fraktur pada os oksipital. Seperti pada apa yang disebutkan dalam Ott (2015) setiap lesi intracranial akibat trauma pasti menghasilkan lesi coup-countercoup yang salah satunya dapat terjadi pada kasus kecelakaan berepeda atau sepeda motor. Pada kasus ini dapat diketahui bahwa fraktur pada os oksipital sinistra akan menyebabkan lesi pada serebelum sinistra di dalamnya sehingga akan ditemukan pula lesi pada daerah yang berlawanan dengan os oksiptal sinistra (sekitar temporofrontal) sebagai lesi countercoup pada trauma ini. Hal ini sesuai dengan keterangan pasien dimana pasien mengaku kepala bagian belakang terbentur badan jalan saat terjatuh. Fraktur Jefferson dapat disingkirkan pada pasien ini karena pasien masih sadar penuh dan ROM pada leher masih bebas aktif pasif tanpa ada suatu nyeri. Pada kasus ini dapat ditentukan bahwa jenis cedera kepala berdasarkan GCS tergolong Cedera Kepala Ringan (CKR), dan berdasarkan morfologinya ditemukan Fraktur Linear Tengkorak oksipital dan lesi fokal subarachnoid dan intraserebellar.Sesuai degan pernyataan Attorney (2015), salah satu komplikasi dari fraktur os oksipital adalah perdarahan intraserebellar dengan tanda perdarahan yang mengisi rongga infratentorium, sehingga pada CT Scan akan tampak lesi hiperdens setinggi basis cranii. Pada kasus ini dapat disingkirkan adanya hematom fossa posterior yang diakibatkan karena trauma secara langsung karena pada saat kedatangan di UGD, pasien masih sadar dengan GCS 15.

Komplikasi dari fraktur ini juga adalah Traumatic Subarachnoid hemorrhage yang terlihat pada CT Scan. Pada kasus ini ditemukan pada regio oksipitoparietalis yang terjadi secara bilateral. Hal ini menunjukkan rupturnya pembuluh darah arteri mauupun vena yang terdapat pada cavum subarachnoidalis dengan perdarahan yang meluas secara bilateral. Sesuai dengan pernyataan Brockmann (2006) dinyatakan bahwa lesi ini akan menyebabkan hidrosefalus, dimana hal ini sesuai dengan temuan CT Scan pada kasus ini yakni terdapat hidrosefalus walaupun minimal. Perdarahan subarachnoid oksipitoparietal bilateral dan hidrosefalus ini tentu dapat meningkatkan TIK. Pada pasien ini ditemukan gejala-gejala perdarahan subarachnoid yang susuai dengan pernyataan Setyopranoto (2012) yang meliputi: nyeri kepala mendadak, pusing vertigo, mual, muntah dan terdapat riwayat penurunan kesadaran (pingsan) beberapa menit sampai beberapa jam (pada kasus ini 30 menit). Mengingat kondisi pasien yang memburuk, sesuai dengan manajemen tatalaksana perdarahan subarachnoid, pasien ini mesti dirawat secara intensif di ICU.Perdarahansubarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka kematian sangat tinggi-sekitar 50% setelah perdarahan. Karena itu, hipertensi perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut setelah trauma. Perdarahan yang terjadi di ruang supratentorium (di atas tentorium serebeli) memiliki prognosis baik apabila volume darah sedikit. Namun perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah pons atau serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul tekanan pada struktur-struktur vital di batang otak (Hartwig, 2005).

Komplikasi lanjutan dari cedera kepala ini adalah peningkatan TIK pada 20 jam pertama setelah kecelakaan, diman sekitar pukul 03.30 dini hari pasien mulai mengeluh pusing berat, sakit kepala, mual muntah dengan temuan cushing triad pada pemeriksaan fisik. Sehingga terapi yang diberikan setelah 24 jam setelah kecelakaan dan ditemukan tanda gejala peningkatan TIK meliputi :

Medikamentosa :

Captopril 25 mg (per sublingual) untuk menurunkan tekanan darah sehingga dapat mengurangi risiko ruptur vaskuler dan menurnkan tekanan darah ke otak.

Mannitol (Bolus 500 gr dalam waktu 20 menit, dilanjutkan 12,5 gram dalam waktu 6 jam selama 24-48 jam) (NB: BB 50kg). Pemberian ini bertujuan untuk mengurangi peningkata TIK melalui mekanisme diuretic osmotik yang dapat meningkakan natriuresis (peningkatan pengeluaran natrium) dan diuresis (peningkatan pengeluaran H2O). Manitol juga mencegah tubulus ginjal mereabsorbsi air dan meningkatkan tekanan osmotic di filtrasi glomerulus dan tubulus. Ketika manitol masuk dalam intravaskuler, ia akan tetap efektif mengurangi pembengkakan otak. Manitol merupakan cairan hyperosmolar yang digunakan untuk meningkatkan osmolalitas serum. Dengan meningkatnya osmolalitas plasma dan menarik cairan normal dalam sel otak yang osmolaritasnya rendah ke intravaskuler yang osmolaritasnya tinggi, sehingga dapat mengurangi edema otak. Furosemid 20 mg (1 amp) per IV, furosemide juga diberikan bersamaan dengan manitol sebagai diuretik yang akan membuang cairan dari kerja manitol dalam bentuk urin. Cara kerjanya adalah dengan menghambat reabsorbsi natirum oleh sel tubuli ginjal.Tindakan:

Oksigenasi sungkup 7 lpm, untuk menjaga perfusi jaringan dan otak Head up 30 , membantu mengurangi peningkatan TIK dengan cara meningkatkan drainase dari vena yang ada di intrakranial Observasi Lanjut

Pemasangan Folley Catheter Pasien disarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit dengan Fasilitas High Care Unit (HCU

Selain itu, pada kasus ini juga ditemukan perdarahan intraventrikuler dan ditemukan hematom pada sinus sphenoidalis yang akan semakin menambah TIK. TIK yang meningkat akan terus dikompensasi hingga pada suatu titik tidak lagi terkompensasi dan akan menyebabkan herniasi intraserebral yang akan merusak jaringan otak.

Tipe herniasi pada kasus ini tidak dapat diidentifikasi, jenis herniasi yang terjadi akan tampak lebih jelas pada pemeriksaan CT Scan kepala posisi AP. Namun pada kasus ini dapat dipastikan terjadi herniasi yang kemungkinan besar menekan batang otak, mengingat lesi intraserebellar sangat dekat dengan batang otak. Herniasi yang mungkin terjadi pada kasus ini dan menyebankan kematian adalah herniasi infratentorium tipe tonsilar dan/atau herniasi supratentorium tipe uncal.Kematian pada pasien ini sangat dipengaruhi disebabkan oleh TIK yang terus meningkat, kemudian terjadi herniasi ditambah dengan kondisi intracranial menghambat ADO sehingga mempengaruhi TPO pasien yang menyebabkan kematian otak.