Analisis Framing Bab i, II & III

82
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kongres PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang digelar pada tahun 2011 ternyata meninggalkan masalah yang tak kunjung selesai. Kepengurusan PSSI di bawah ketua umum Djohar Arifin mendapat banyak penentangan dari berbagai kubu yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Berbagai masalah menjadi pemicu penentangantersebut, diantaranya adalah masalah kompetesi liga yang carut marut sehingga banyak klub anggota PSSI memilih untuk memisahkan diri dari kompetisi liga yang disahkan oleh PSSI dan memilih untuk bermain di kompetisi lain yaitu Indonesian Super League (ISL) yang diselenggarakan oleh PT. Liga Indonesia yang tidak disahkan oleh PSSI Beberapa anggota Komite Eksekutif yang tak puas dengan kebijakan PSSI melakukan maneuver yang dianggap menentang kebijakan Pengurus dan kemudian mereka dipecat. 1

Transcript of Analisis Framing Bab i, II & III

Page 1: Analisis Framing Bab i, II & III

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kongres PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang digelar pada

tahun 2011 ternyata meninggalkan masalah yang tak kunjung selesai. Kepengurusan

PSSI di bawah ketua umum Djohar Arifin mendapat banyak penentangan dari

berbagai kubu yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Berbagai masalah menjadi

pemicu penentangantersebut, diantaranya adalah masalah kompetesi liga yang carut

marut sehingga banyak klub anggota PSSI memilih untuk memisahkan diri dari

kompetisi liga yang disahkan oleh PSSI dan memilih untuk bermain di kompetisi lain

yaitu Indonesian Super League (ISL) yang diselenggarakan oleh PT. Liga Indonesia

yang tidak disahkan oleh PSSI

Beberapa anggota Komite Eksekutif yang tak puas dengan kebijakan PSSI

melakukan maneuver yang dianggap menentang kebijakan Pengurus dan kemudian

mereka dipecat.  Toni Apriliani, La Nyalla Mahmud Mattaliti, Robertho Rouw dan

Edwin Budiawan yang dibuang oleh PSSI pun akhirnya membentuk sebuah

organisasi tandingan dengan nama Komite Penyelamat Sepakbola (KPSI), yang

didalamnya juga terdapat Benny Dollo, mantan pelatih Timnas dan beberapa tokoh

lainnya.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, konflik kedua kubu terus berlanjut dengan

seluruh dinamikanya dan tidak lepas dari pemberitaan media baik media cetak

1

Page 2: Analisis Framing Bab i, II & III

2

maupun media elektronik yang juga berperan aktif dalam menyampaikan

perkembangan dari peristiwa tersebut dalam perannya sebagai penyampai pesan

kepada khalayak banyak sebagai bagian dari komunikasi massa.

Komunikasi massa adalah komunikasi yang sangat mengandalkan pada

ketepatan jumlah pesan yang disampaikan dalam waktu yang singkat. Pada masa

sekarang ini, komunikasi massa memberikan informasi, gagasan dan sikap pada

khalayak yang beragam dan besar jumlahnya dengan menggunakan media. Dari

definisi tersebut dapat diketahui bahwa “komunikasi massa itu harus

menggunakan media massa” (Ardianto & Erdinaya, 2005:3).

Media massa adalah media yang digunakan sebagai sarana komunikasi

yang melibatkan penerima pesan yang tersebar di mana-mana tanpa diketahui

keberadaannya. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian

pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat

komunikasi mekanis, seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Media massa

mempunyai beberapa peranan penting yang dimainkan dalam masyarakat.

Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami

dan dijelaskan secara tertentu kepada khalayak. Berita adalah produk dari

profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan

dikonstruksi (Eriyanto, 2009: 80).

Salah satu metode untuk mengetahui proses konstruksi adalah analisis

framing. Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam

Page 3: Analisis Framing Bab i, II & III

3

literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan

penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, 2009: 162).

Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan

bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting agar informasi dapat terlihat

lebih jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat, untuk menuntun interpretasi

khalayak sesuai dengan perspektifnya.

Penggunaan media massa untuk penyampaian pesan dipengaruhi oleh

perkembangan teknologi komunikasi yang tersedia. Bentuk paling baru dari media

massa adalah media online. Media online memiliki kelebihan-kelebihan yang

menawarkan peluang untuk menyampaikan berita jauh lebih besar daripada media

konvensional seperti surat kabar.

Menurut Deuze dalam Santana (2005:137), perbedaan media online dengan

dengan media tradisional terletak pada keputusan jenis baru yang dihadapi oleh para

warawan cyber. Media online harus membuat keputusan-keputusan mengenai format

media yang paling tepat mengungkapkan sebuah sebuah kisah tertentu dan

mempertimbangkan cara-cara untuk menghubungkan kisah tersebut dengan kisah

lainnya, arsip-arsip, sumber-sumber dan lain-lain melalui hyperlinks.

Rafaeli dan Newhagen dalam Santana (2005:137) mengidentifikasi 5

perbedaan utama antara media online dan media massa tradisional adalah

kemampuan internet untuk mengkombinasikan sejumlah media, kurangnya tirani

penulis atas pembacanya, tidak dapat mengendalikan perhatian khalayak, internet

Page 4: Analisis Framing Bab i, II & III

4

dapat membuat proses komunikasi berlangsung berkesinambungan, dan interaktivitas

web.

Dua dari sekian banyak media online yang sering memuat berita tentang

berbagai peristiwa berkaitan dengan konflik PSSI-KPSI serta cukup populer di

kalangan pengguna media, adalah Detik.com dan VIVA News.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud untuk melakukan

penelitian yang laporannya dipaparkan dalam skripsi ini dengan judul “Analisis

Framing Terhadap Pemberitaan Konflik PSSI-KPSI Dalam Media Online

Detik.com dan Viva News.”

1.2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi materi dari objek penelitian yaitu

pemberitaan tentang konflik antara SPSI dan KPSI pada media online Detik.com

dan Viva News yang ditayangkan mulai tanggal 2 Februari sampai dengan 31

Januari 2013

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di

atas, maka terdapat beberapa masalah penelitian yang dituangkan dalam bentuk

rumusan masalah sebagai berikut :

Page 5: Analisis Framing Bab i, II & III

5

1. Bagaimana pembingkaian terhadap berita-berita tentang konflik PSSI-

KPSI di Detic.com dan Viva News ?

2. Bagaimana kecenderungan sikap Detic.com dan Viva News terhadap

peristiwa-peristiwa konflik SPSI-KPSI?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pembingkaian terhadap berita-berita tentang konflik

PSSI-KPSI di Detic.com dan Viva News.

2. Untuk mengetahui kecenderungan sikap Detic.com dan Viva News

terhadap peristiwa-peristiwa konflik SPSI-KPSI Kegunaan Penelitian.

1.5. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan penulis dan

menjadi bahan referensi berguna dalam pengembangan penelitian Ilmu

Komunikasi khususnya bagi pengembangan penelitian yang berbasis

kualitatif yang berkaitan dengan media massa khususnya dalam hal ini

framing dalam media online.

2. Secara Praktis

a. Memberikan gambaran kepada pembaca yang ingin mengetahui media

online dalam membingkai berita tentang konflik PSSI-KPSI di

Detic.com dan Viva News ?.

Page 6: Analisis Framing Bab i, II & III

6

b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum berkenaan dengan

konsepsi framing yang dilakukan oleh wartawan Detik.com dan

Viva.com dalam melihat dan menyederhanakan realitas mengenai

peristiwa konflik PSSI-KPSI.

c. Untuk pembuatan skripsi sebagai salah satu syarat guna meraih gelar

sarjana pada Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.

1.6. Sistematika Penulisan

Bab I PENDAHULUAN

Meliputi Latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian,

kegunaan penelitan, dan sistematika penulisan.

Bab II KERANGKA TEORI

Meliputi tinjauan studi pustaka, operasionalisasi konsep, kerangka

pemikiran dan hipotesis.

Bab III METODE PENELITIAN

Meliputi desain penelitian, bahan penelitian dan unit analisis, teknik

pengumpulan data dan metode analisis data.

Bab IV HASIL PENELITIAN

Meliputi Subyek Penelitian, Hasil Penelitian, Pembahasan,

Bab V PENUTUP

Berisikan Kesimpulan dan saran-saran.

Page 7: Analisis Framing Bab i, II & III

7

3. Kerangka Konseptual

Harian kompas aktif memuat pemberitaan tentang kontroversi Freeport

dan bahkan sering menjadi headline dalam setiap edisinya. Bila media menaruh

sebuah kasus sebagai headline diasumsikan kasus itu pasti memperoleh perhatian

yang besar oleh khalayak (Sobur, 2009: 167). Berkaitan dengan hal tersebut,

sangat menarik mengamati isi pemberitaan media massa untuk mengetahui

bagaimana Kompas mengemas pemberitaan Freeport.

Kompas merupakan satu-satunya media nasional Indonesia yang

mempunyai editorial yang bersifat internasional. Harian Kompas juga terkenal

dengan idealisme dan semangat untuk memberikan informasi yang objektif

kepada masyarakat. Menurut A.M. Resenthal dalam (Pardede, 2001: 17), seorang

kolumis pada New York Times, objektivitas adalah bagian penting dari karakter

surat kabar. Karakter surat kabarlah yang membuat para pembaca

mempercayainya, dan oleh karena itu membuatnya berarti serta berharga.

Sekalipun objektivitas total mungkin mustahil, karena setiap berita ditulis oleh

manusia yang memiliki muatan emosi, kewajiban setiap reporter dan redaktur

adalah mengupayakan objektivitas yang semanusiawi mungkin.

Pada dasarnya, pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas. Isi

media adalah hasil para pekerja mengkonstruksikan realitas yang dipilihnya.

Konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal

sejak diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya

Page 8: Analisis Framing Bab i, II & III

8

yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Teatise in the Sociological of

Knowledge” (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan

interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus – menerus suatu

realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. (Bungin, 2006: 202)

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara

atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.

Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam

kategori penelitian konstruksionis. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma

konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri

terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Pertanyaan utama dalam

pandangan konstruksionis adalah, fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan

sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut.

Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan

(Eriyanto, 2009: 23).

Analisis framing dipahami dan banyak digunakan dalam penelitian sebagai

salah satu teknik analisis isi. Tetapi pada perkembangan berikutnya, analisis

framing telah berubah menjadi seperangkat teori yang oleh sejumlah pakar

komunikasi dipahami sebagai salah satu pendekatan untuk melihat bagaimana

domain di balik teks media mengkonstruksi pesan.

Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media.

Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan

Page 9: Analisis Framing Bab i, II & III

9

aspek tertentu dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas. Media

menghubungkan dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa

tersebut lebih mudah diingat oleh khalayak. Karenanya, seperti yang dikatakan

Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti .

Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.

Menurut pandangan subjektif, realitas sosial adalah suatu kondisi yang cair dan

mudah berubah melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari–hari (Mulyana,

2006: 34).

Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial adalah pengetahuan yang

bersifat keseharian yang hidup dan terus berkembang di masyarakat seperti

konsep, kesadaran umum, wacana publik sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh

Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman

semacam ini. Realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai

konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis

untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok atau apa saja)

dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.

Di analisis Framing realitas dimakai dan dikonstruksi dengan makna tertentu.

Menurut Erving Goffman secara sosiologis konsep frame analysis

memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi dan

Page 10: Analisis Framing Bab i, II & III

10

menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat

memahaminya. Schemata interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan

individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi dan memberi label

terhadap peristiwa – peristiwa serta informasi (Sobur, 2009:163).

Secara metodologi analisis framing memiliki perbedaan yang sangat

menonjol dengan analisis isi (content analysis). Analisis isi dalam studi

komunikasi lebih menitikberatkan pada metode penguraian fakta secara kuantitatif

dengan mengkategorisasikan isi pesan teks media. Pada analisis isi, pertanyaan

yang selalu muncul seperti apa saja yang diberitakan oleh media dalam sebuah

peristiwa? Tetapi, dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana

peristiwa itu dibingkai. Analisis framing yang menjadi pusat perhatian adalah

pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama, melihat bagaimana pesan/

peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi

peristiwa dan menyajikannya kepada masyarakat (Eriyanto, 2009:3).

Metode analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media

memaknai, memahami dan membingkai kasus/peristiwa yang diberitakan. Metode

semacam ini tentu saja berusaha mengerti dan menafsirkan makna dari suatu teks

dengan jalan menguraikan bagaimana media membingkai isu. Peristiwa yang

sama bisa jadi dibingkai berbeda oleh media.

Ada beberapa model pendekatan analisis framing yang dapat digunakan

untuk menganalisa teks media , salah satunya model analisis Robert N. Entman

Page 11: Analisis Framing Bab i, II & III

11

yang digunakan dalam penelitian ini. Menurut Robert N. Entman apa yang kita

ketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung pada bagaimana kita

membingkai dan menafsirkan realitas tersebut.

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan

penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Framing

dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang

lain. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau

cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis

berita.

Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu dari suatu isu.

Penonjolan aspek tertentu dari suatu isu

Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Tabel 1.1. Dua Unsur Framing Media Versi Entman (Eriyanto, 2011: 222)

Penonjolan seperti yang disinggung di atas, merupakan proses membuat

informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau

mencolok tentu mempunyai peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi

khalayak dalam memahami realitas. Karena itu dalam praktiknya, framing

Page 12: Analisis Framing Bab i, II & III

12

dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain,

serta menonjolkan aspek isu tertentu dan menggunakan pelbagai strategi wacana

serta penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, di halaman depan,

atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan

memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang

atau peristiwa yang diberitakan. Kata penonjolan (salience) didefinisikan sebagai

membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan (Sobur,

2009: 164).

Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas hadir di hadapan

khalayak. Seperti yang dikatakan Edelman, apa yang kita tahu tentang realitas

sosial pada dasarnya tergantung bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa

itu yang memberikan pemahaman tertentu atas suatu peristiwa.

Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan

sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Framing pada

dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan

rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu

terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Untuk mengetahui bagaimana pembingkaian yang dilakukan media,

terdapat sebuah perangkat framing yang dikemukakan Entman yang dapat

menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh

Page 13: Analisis Framing Bab i, II & III

13

wartawan. Entman membagi perangkat framing ke dalam empat elemen sebagai

berikut :

a. Define Problems (pendefinisian masalah)

Elemen pertama ini merupakan bingkai utama/master frame yang

menekankan bagaimana peristiwa dimaknai secara berbeda oleh wartawan, maka

realitas yang terbentuk akan berbeda

b. Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah)

Elemen kedua ini merupakan elemen framing yang digunakan untuk

membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab

disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana

peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai

sumber masalah. Oleh sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, maka

penyebab masalahnya akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain,

pendefinisian sumber masalah ini menjelaskan siapa yang dianggap sebagai

pelaku dan siapa yang menjadi korban dalam kasus tersebut.

c. Make moral judgement (membuat pilihan moral)

Elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi

pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Setelah masalah didefinisikan

dan penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan argumentasi yang kuat

untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan denga

sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.

Page 14: Analisis Framing Bab i, II & III

14

d. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)

Elemen keempat ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh

wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian

itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa

yang dipandang sebagai penyebab masalah.

Kerangka Konseptual Penelitian

Page 15: Analisis Framing Bab i, II & III

15

4. Definisi Operasional

a. Analisis framing merupakan salah satu cara menganalisis teks media untuk

melihat bagaimana perspektif yang digunakan oleh Harian Kompas

Makassar dalam mengangkat isu tentang Freeport dan aspek apa yang ingin

diangkat.

b. Pemberitaan Freeport maksudnya pemberitaan Harian Kompas Makassar

yang berkaitan dengan aksi mogok pekerja Freeport dan penembakan yang

terjadi di sekitar kawasan Freeport.

c. Headline maksudnya berita mengenai aksi mogok dan peristiwa

penembakan yang ada pada halaman satu harian Kompas.

d. Harian Kompas adalah harian nasional di Makassar yang intens memuat

berita mengenai kasus Freeport.

Page 16: Analisis Framing Bab i, II & III

16

e. Define Problems (pendefinisian masalah) adalah suatu peristiwa dilihat

sebagai apa dalam sebuah berita.

f. Diagnose causes (memperkirakan masalah atau sumber masalah) adalah

elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor atau

penyebab dari peristiwa freeport.

g. Make moral judgement (membuat keputusan moral) adalah nilai moral yang

disajikan untuk menjelaskan masalah.

h. Treatment recommendation (menekankan masalah) adalah jalan yang dipilih

untuk menyelesaikan masalah dari peristiwa Freeport.

5. Metode Penelitian

1. Objek dan Waktu Penelitian

Objek penelitian ini adalah berita-berita headline mengenai

kontroversi Freeport di harian Kompas pada pertengahan September 2011

hingga awal November 2011. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari

hingga Mei 2011 dengan jumlah berita sebanyak 15 berita.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini ialah deskriptif dengan menggunakan pendekatan

Kualitatif. Penelitian ini digunakan untuk menggambarkan aspek tertentu dari

sebuah realitas yang dibingkai oleh Harian Kompas menjadi sebuah berita

yang kemudian menjadi realitas media dalam hal ini pemberitaan mengenai

Freeport. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan,

Page 17: Analisis Framing Bab i, II & III

17

meringkas berbagai kondisi, situasi, atau fenomena realitas sosial dalam

masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu

ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran

tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2006: 68).

Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan

paradigma atau pendekatan konstruksionis. Paradigma konstruksionis

memandang bahwa tidak ada realitas yang obyektif, karena realitas tercipta

melalui proses konstruksi dan pandangan tertentu.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi penelitian adalah berita – berita mengenai kasus Freeport

selama pertengahan bulan September hingga pertengahan bulan November

2011 di Harian Kompas Makassar.

b. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah berita headline di Harian Kompas Makassar

edisi 16 September 2011, 17 September 2011, 22 September 2011, 11

Oktober 2011, 16 Oktober 2011, 20 Oktober 2011, 21 Oktober 2011, 23

Oktober 2011, 25 Oktober 2011, 27 Oktober 2011, 29 Oktober 2011, 28

Oktober 2011, 30 Oktober 2011, 7 November 2011, dan 9 November 2011.

Page 18: Analisis Framing Bab i, II & III

18

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penulis

berdasarkan kebutuhan analisis dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut

sudah dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan apa yang sedang

dikaji. Pengumpulan data yang dilakukan adalah :

a. Pengkajian berita–berita headline yang terkait dengan Freeport dalam

rentang waktu pertengahan September sampai pertengahan November

2011.

b. Kajian pustaka dengan mempelajari dan mengkaji buku-buku, artikel serta

situs internet dengan permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi

sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah analisis framing. Dalam hal ini, analisis framing dirasa mampu untuk

mencari tahu bagaimana Kompas melakukan proses pembingkaian kasus

Freeport. Pasalnya, analisis framing merupakan sebuah pendekatan yang

digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang

digunakan wartawan dalam melakukan seleksi isu dan menuliskan berita.

Dalam hal ini memakai analisa yang dikembangkan oleh Robert N.

Entman. Peneliti memilih perangkat framing Entman dalam penelitian ini

dengan argumen perangkat frame Entman mampu membantu peneliti dalam

Page 19: Analisis Framing Bab i, II & III

19

mendefinisikan masalah Freeport yang diungkap oleh media dan

memperkirakan penyebab dari masalah itu. Selanjutnya, perangkat ini akan

membantu peneliti dalam mencari tahu keputusan moral yang diangkat oleh

media. Kemudian pada tahap akhir, perangkat framing Entman ini akan

membantu peneliti dalam mencari tahu rekomendasi seperti apa yang

dikemukakan oleh media dalam upaya penyelesaian masalah Freeport.

Dalam pandangan Entman, framing dipandang sebagai penempatan

informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat

alokasi penempatan yang lebih besar daripada isu lainnya.

Define Problems(pendefinisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa / isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes(memperkirakan masalah atau sumber masalah)

Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?

Make moral judgement(membuat keputusan moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan msalah? nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendegitimasi suatu tindakan?

Treatment Recommendation(menekankan penyelesaian)

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah / isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?

Tabel 1.2. Perangkat Framing Entman (Eriyanto, 2011: 223)

Page 20: Analisis Framing Bab i, II & III

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstruksi Realitas Sosial

Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia

secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap

stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih

tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial,

terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia

dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia

sosialnya.

Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan

konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu

realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai

relevan oleh pelaku sosial.

Page 21: Analisis Framing Bab i, II & III

21

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality)

menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Teatise in

the Sociological of Knowledge” (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui

tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus

suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2006:

202).

Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan

manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial di sekelilingnya. Dunia sosial

itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George Simmel dalam Bungin (2006:

201), bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut

kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang

menguasainya.

Peter L.Berger berpendapat bahwa realitas tidak terjadi begitu saja tetapi

dibentuk dan dikonstruksikan. Hasil akhir yang diperoleh adalah realitas yang

sama dapat dipahami secara berbeda oleh setiap orang tergantung dari konstruksi

yang dilakukan dalam realitas tersebut (Eriyanto, 2009:15).

Berger dan Luckman dalam Bungin (2008: 14) mulai menjelaskan realitas

sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas

diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui

sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita

Page 22: Analisis Framing Bab i, II & III

22

sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu

nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Berger dan Luckman dalam Bungin (2008: 15) mengatakan terjadi

dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan

individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan

internalisasi.

Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia

ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan

sifat dasar manusia. Manusia akan selalu mencari dan mencurahkan dirinya

dimana dia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang

lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses

inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya

sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi yaitu hasil yang didapatkan baik mental maupun fisik

dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang

bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang

berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses

objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari

ekternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi

kemudahan hidupnnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik

Page 23: Analisis Framing Bab i, II & III

23

alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika

berhadapandengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia.

Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk ekternalisasi

tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia

sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus

sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap

orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia

menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi, penyerapan kembali dunia objektif ke dalam

kesadaran sedemikian rupa hingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh

struktur dunia sosial. Dalam peoses ini, wartawan akan berhadapan dengan

realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap ke dalam kesadaran

wartawan. Secara tidak langsung wartawan akan menceburkan dirinya ke dalam

realitas tersebut untuk kemudian dimaknainya.

Oleh karena itu, konstruksi realitas sosial yang dilakukan wartawan

sangat berpotensi untuk menggiring kita pada pemaknaan wartawan terhadap

suatu peristiwa, ditambah ideologi media massa tempat wartawan bekerja

dibangun sesuai visi dan kepentingan perusahaan yang bersangkutan.

B. Media dan Berita Dalam Paradigma Konstruksionis

Page 24: Analisis Framing Bab i, II & III

24

Pandangan konstruksionis melihat media, wartawan dan berita dengan cara

pandang tersendiri. Pada dasarnya studi media massa merupakan proses pencarian

pesan dan makna. Media massa semakin banyak dijadikan sebagai objek studi

disebabkan semakin meningkatkanya peran media massa itu sendiri sebagai

intitusi yang tergolong penting dalam masyarakat saat ini. Media massa

memproduksi pesan yang merupakan hasil konstruksi realitas (Eriyanto, 2009:

25).

Paradigma konstruksionis ini diperkenalkan oleh Peter L. Berger yang

menyatakan bahwa sebuah realitas hadir di hadapan pembaca setelah melalui

sebuah proses konstruksi (Eriyanto, 2011: 15). Hal ini menyebabkan setiap orang

memiliki konstruksi yang berbeda terhadap realitas yang muncul di hadapannya.

Menurut Eriyanto (2011: 18), berita yang muncul merupakan sebuah proses

konstruksi dengan suatu peristiwa, karena adanya interaksi antara wartawan

dengan fakta yang muncul di lapangan.

Bagi kaum konstruksionis, realitas adalah sesuatu yang subjektif. Fakta

dan realitas bukanlah sesuatu yang sudah ada, tersedia dan tinggal diambil untuk

menjadi bahan sebuah berita. Realitas yang tertuang dalam berita adalah sesuatu

yang dikostruksi dan dibentuk oleh pandangan tertentu. Fakta atau realitas pada

dasarnya dikonstruksi. Sebuah fakta berupa kenyataan bukanlah sesuatu yang

sudah ada seperti itu, melainkan apa yang ada di benak dan pikiran kita. Kita

sendirilah yang memberikan definisi dan makna atas fakta tersebut sebagai sebuah

Page 25: Analisis Framing Bab i, II & III

25

kenyataan. Fakta yang ada dalam sebuah berita bukanlah sebuah peristiwa yang

memang begitu adanya, wartawanlah yang secara aktif memproduksi dan

mendefinisikan berita tersebut.

Fakta yang dikumpulkan dan disusun selanjutnya akan disebarkan. Media

sebagai sarana penyalur pesan tidak hanya berfungsi sebagai saluran pesan dari

komunikator kepada penerima (khalayak). Media tidak bertindak sebagai suatu

institusi yang netral dalam menyampaikan pesan. Media bukanlah saluran yang

bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan,

bias, dan pemihakannya (Eriyanto, 2011: 26). Sebagai contoh media juga

menentukan dari sekian banyak peristiwa yang terjadi, peristiwa mana yang harus

diliput oleh wartawannya kemudian dari sisi mana si wartawan harus melihat

peristiwa tersebut. Pemilihan realitas oleh media dikarenakan media memiliki

kepentingan antara lain kepentingan ekonomi, politik ataupun ideologi. Media

tentunya akan membentuk reaitas yang dapat mendukung kepentingan-

kepentingannya. Oleh karena itu media turut berperan dalam mengkonstruksi

realitas. Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan

memandang realitas tetapi kehidupan politik tempat media itu berada. Sistem

politik yang diterapkan sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media

massa negara itu mempengaruhi cara media massa tersebut mengkonstruksi

realitas (Hamad, 1999: 55).

Page 26: Analisis Framing Bab i, II & III

26

Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya:

mengaburkan dan mengelimirnya. Media bisa mengkonstruksi realitas, namun

juga bisa menghadirkan hiperrealitas. Hiperrealitas menggiring orang

mempercayai sebuah citra sebagai kebenaran, meski kenyataannya hanya

dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran, yang “melampaui realitas” (Sobur,

2009: 170). Dalam memberitakan konflik, media seharusnya tidak melakukan

dramatisasi terhadap fakta. Karena hal itu langsung ataupun tidak langsung akan

memicu konflik lanjutan dan menjadi provokasi bagi pihak-pihak yang bertikai.

Menjadi suatu hal yang menarik ketika kebanyakan orang awam melihat

media atau berita yang disuguhkan oleh media massa adalah sesuatu yang benar-

benar apa adanya tanpa adanya konstruksi realitas di dalamnya. Mereka kemudian

menjadi sepenuhnya percaya akan apa yang disampaikan oleh media massa.

Dengan melihat realitas, berita dan media massa atau dengan kata lain tidak

mudah mempercayai apa yang disampaikan oleh media karena begitu banyak

muatan-muatan kepentingan di dalamnya.

Setiap media tentunya memiliki kebijakan masing-masing dalam

mekanisme kerja untuk mengkonstruksi dan menghasilkan berita yang

“diinginkan”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berita adalah hasil

mekanisme kerja individu-individu yang ada dalam media (redaksional)

berdasarkan kebijakan, pertimbangan serta ideologi.

Page 27: Analisis Framing Bab i, II & III

27

Fakta atau realitas yang diliput kemudian ditampilkan dalam media lewat

pemberitaan. Pada dasarnya berita adalah laporan dari suatu peristiwa atau

realitas. Namun gambaran realitas atas peristiwa dalam media bukanlah realitas

yang sebagaimana adanya, yang diambil oleh sang wartawan dan dituangkan.

Berita adalah hasil dari konstruksi yang selalu melibatkan pandangan ataupun

nilai-nilai dari wartawan dan media yang bersangkutan. Bagaimana sebuah realita

dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana ia dimaknai dan dipahami oleh

wartawan. Proses pemahaman selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga

mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas (Eriyanto, 2011: 28). Proses

pemaknaan realitas oleh wartawan sebagai aktor atau agen pembentuk realitas.

Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Dia tidak hanya

melaporkan sebuah peristiwa namun mendefinisikan dan secara aktif membentuk

peristiwa dalam pemahaman mereka. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di

luar”, objektif, benar dan seakan-akan ada sebelum wartawan meliputnya. Ada

proses konstruksi makna dalam peristiwa yang diliput sehingga menghasilkan

suatu realitas baru. Laporan-laporan jurnalistik yang ada di media pada dasarnya

tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk cerita (Barata

dalam Birowo, 2004: 168).

Seperti yang dikatakan Judith Lichtenberg dalam Eriyanto (2011: 35),

realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori, tanpa

kita buat, kita tidak bisa melihat dunia tanpa kategori, tanpa konsep. Artinya,

Page 28: Analisis Framing Bab i, II & III

28

kalau seorang wartawan menulis berita,ia sebetulnya membuat dan membentuk

dunia, membentuk realitas.

Dalam konsepsi konstruksionis, wartawan tidak mungkin membuat jarak

dengan objek yang hendak dia liput. Karena ketika ia meliput suatu peristiwa dan

menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptuilnya

ketika memahami masalah. Dengan begitu, realistas yang kompleks dan tidak

beraturan ditulis dan dipahami, untuk semua proses itu melibatkan konsepsi,

pemahaman yang mau tidak mau sukar dilepaskan dari unsur subjektif.

Dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibarat sebuah drama. Ia bukan

menggambarkan realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara berbagai

pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita bukan representasi dari realitas.

Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik,

bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta,

sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil

bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak (Eriyanto, 2011: 30).

C. Headline Sebagai Bentuk Penonjolan dan Penekanan Isu

Bila satu media, apalagi sejumlah media, menaruh sebuah kasus sebagai

headline, diasumsikan kasus itu memperoleh perhatian yang besar dari khalayak.

Ini tentu berbeda jika, misalnya kasus tersebut dimuat di halaman dalam, bahkan

pojok bawah pula. Faktanya konsumen media jarang memperbincangkan kasus

Page 29: Analisis Framing Bab i, II & III

29

yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting

untuk masyarakat.

Memang, setiap peristiwa yang dianggap dapat menarik minat pembaca,

selalu dijadikan headline atau diletakkan pada halaman muka surat kabar.

Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa umumnya pembaca ketika akan

membaca atau membeli sebuah surat kabar, yang pertama dilihatnya adalah

headline berita pada hari itu atau berita-berita yang ada di halaman mukanya. Hal

ini didukung oleh pendapat Rivers dan Mathews dalam Sobur (2009: 167) yang

menyatakan bahwa sekitar 98% dari semua pembaca surat kabar membaca berita

yang terdapat di halaman muka.

Pembaca media saat ini terkena dengan apa yang disebut headline

syndrome, yaitu dengan semakin tingginya mobilitas serta aktivitas khalayak

terhadap headline. Pembaca seperti ini lebih suka menelusuri judul-judul berita

ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Menurut Assegaf pembaca surat

kabar Amerika sering disebut sebagai “headline reader”, pembaca judul atau

pembaca kepala berita. Hal ini tidak menjadi masalah jika judul-judul berita

tersebut mencerminkan isi berita. Persoalannya bisa muncul jika judul berita yang

ditampilkan secara sensasional (Sobur, 2009: 168).

Apabila dikaitkan dengan framing, yang dilakukan oleh suatu media,

headline merupakan aspek seintaksis atau cara wartawan menyusun fakta dari

wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan

Page 30: Analisis Framing Bab i, II & III

30

kecenderungan berita. Pembaca cenderung lebih mengingat headline yang dipakai

dibandingkan bagian berita. Headline mempunyai fungsi framing yang kuat.

Headline memengaruhi bagaimana kisah dimengerti untuk kemudian digunakan

dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana dibeberkan oleh media.

Headline dapat menunjukkan bagaimana wartawan mengkonstruksi isu.

Headline sebagai berita utama, merupakan hasil konstruksi wartawan atau

media, sebab bagaimana realitas itu dijadikan sebagai headline (berita utama)

sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai pada

wartawan yang meliputnya. Proses pemaknaan oleh wartawan selalu melibatkan

nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita yang dijadikan sebagai headline

merupakan pencerminan realitas. Buktinya realitas yang sama bisa jadi

menghasilkan berita yang berbeda, dengan porsi pemberitaan yang berbeda dan

diproduksi menjadi jenis berita yang berbeda.

Dalam tradisi jurnalistik di Indonesia, headline biasanya ditentukan lewat

rapat redaksi yang melibatkan pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur,

serta beberapa wartawan. Dalam rapat ini dikumpulkan semua berita yang masuk

dan kemudian dibahas, berita mana saja yang layak dan harus dimuat. Dari rapat

itu, diputuskanlah berita yang akan menjadi headline. Pada umumnya, ukuran dan

pertimbangan semua media dalam memilih headline sama. Ukuran tersebut pada

umumnya adalah berita yang dinilai actual, besar dan sangat penting bagi banyak

orang, juga cocok untuk karakter medianya.

Page 31: Analisis Framing Bab i, II & III

31

Pemilihan judul berita memang merupakan hak prerogatif dari surat kabar

yang bersangkutan. Juga terkadang merupakan gaya (style) atau ciri khas dari

masing-masing surat kabar. Namun sesuai dengan prinsip jurnalistik, judul berita

jangan sampai menghilangkan atau meengaburkan fakta yang sebenarnya. Dengan

kata lain, jurnalis atau editor sebaiknya tidak membuat judul yang provokatif

tetapi mengelabui pembaca atau cenderung mereduksi fakta demi menarik

perhatian pembaca (Sobur, 2009: 168).

Konsep framing Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi

dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang

sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu

tertentu mendapat alokasi lebih besar dari pada isu lain. Framing memberi tekanan

lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang

ditonjolkan/dianggap oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat

didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih

mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan lebih

diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan

dengan yang disajikan secara biasa.

Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek

informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan

pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek

budaya yang akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah

Page 32: Analisis Framing Bab i, II & III

32

ide/gagasan/informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan

ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena

kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame

dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat

mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan

bagaimana teks tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak (Eriyanto 2011: 220)

D. Konsep Framing

Analisis framing merupakan strategi konstruksi dalam memproses berita,

perangkat kognisi yang dipergunakan dalam memperoleh informasi, menafsirkan

peristiwa, dan dihubungkan dalam rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.

Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan

yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang

menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini

kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan

frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing

individu dalam membaca realitas. Menurut Gitlin, frame adalah bagian yang pasti

hadir dalam praktik jurnalistik. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai

informasi yang tersedia dengan jalan yang mengemasnya sedemikian rupa dalam

kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas,

Page 33: Analisis Framing Bab i, II & III

33

pendefinisian masalah ini menyertakan di dalamnya konsepsi dan skema

interpretasi wartawan. Pesan, secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia

hidup, membentuk, dan menginterpretasikan makna di dalamnya.

Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam

literature ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan

penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.

Disiplin ilmu ini bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa

konsep ini bisa ditemui di berbagai literature lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku.

Secara sederhana analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi

bahasa, visual, pelaku dan menyampaikanya kepada pihak lain atau

menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisis

bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat

diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.

Dalam ranah komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang

mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis

fenomena atau aktivitas komunikasi. Dalam perspektif komunikasi, analisis

framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat

mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan

pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti

atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.

Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana

Page 34: Analisis Framing Bab i, II & III

34

perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu

dan menulis berita. Cara pandang atau fakta apa yang diambil, bagian mana yang

ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur,

2009: 162)

Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang itu sebagai kemasan

(package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan

diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide

yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dan

peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.

Kemasan (package) adalah gugusan ide-ide yang mengindikasikan

tentangisu yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana

yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang

digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan diterima.

Package diibaratkan sebagai sebuah wadah atau strukturdata yang

mengorganisir sejumlah informasi yang dapat menunjukkan posisi atau

kecenderungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan

muatan-muatan dibalik suatu isu atau peristiwa.

Ada dua aspek dalam framing, Pertama, memilih fakta/realitas. Proses

memilih fakta ini ditujukan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat

peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua

kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).

Page 35: Analisis Framing Bab i, II & III

35

Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang

diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu

dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan

fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya.

Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi

atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media

yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita

yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta

yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,

kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan

sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan

pemakaian perangkat tertentu dan penempatan yang mencolok (menempatkan di

headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk

mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika

menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol

budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang berhubungan dengan

penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi

dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang

ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang

besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi

Page 36: Analisis Framing Bab i, II & III

36

tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.

Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan

lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami

suatu realitas.

Konsep framing dapat dilihat dari dua tradisi, yaitu psikologi dan

sosiologi. Hal ini disebabkan karena framing banyak mendapat pengaruh dari

konsep psikologi dan sosiologi. Framing dalam konsep psikologi melihat

bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri,

sesuatu, dan gagasan tertentu. Selain itu framing dalam kondisi ini dilihat sebagai

bentuk penempatan informasi dalam konteks yang unik, hingga elemen tertentu

suatu ilmu membentuk alokasi sumber kognitif individu yang lebih besar (Sobur,

2009: 163).

Dalam dimensi psikologi, framing adalah upaya atau strategi yang

dilakukan wartawan dalam menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna,

mencolok dan mendapat perhatian oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal

ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf awal tidak dapat

dilepaskan dari aspek psikologi. Secara psikologi, orang cenderung melakukan

penyederhanaan realitas dan dunia yang kompleks dalam perspektif/dimensi

tertentu.

Selain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari

lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama ditarik dari Alfred Schutz, Erving

Page 37: Analisis Framing Bab i, II & III

37

Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama

untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat berita

membentuk berita secara bersama-sama. Menurut Erving Goffman secara

sosiologis konsep frame analysis memelihara kelangsungan kebiasaan kita

mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman-

pengalaman hidup kita untuk memahaminya. Dengan konsep yang sama Gitlin

mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan dan ekslusi yang ketat. Ia

menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita

dengan mengatakan, “Frames memungkinkan para jurnalis memproses sejumlah

besar informasi secara cepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi

penyiaran yang efisien kepada khalayak.” (Sobur, 2009: 163).

Frame adalah sebuah prinsip dimana pengalaman dan realitas yang

kompleks tersebut diorganisasi secara subjektif. Lewat frame itu, orang melihat

realitas dengan pandangan tertentu dan melihat sebagai sesuatu yang bermakna

dan beraturan. Frame media mengorganisasikan realitas kehidupan sehari-hari dan

akan ditransformasikan ke dalam sebuah cerita. Analisis framing karenanya,

meneliti cara-cara individu mengorganisasikan pengalamannya sehingga

memungkinkan seseorang mengidentifikasi dan memahami peristiwa-peristiwa,

memaknai aktivitas-aktifitas kehidupan yang tengah berjalan (Eriyanto, 2011:96)

Menurut Entman, framing memiliki implikasi penting bagi komunikasi

politik. Frames, menurutnya, menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari

Page 38: Analisis Framing Bab i, II & III

38

realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan

khalayak memiliki reaksi berbeda. Dalam konteks ini, lanjut Entman, framing

memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam

teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak, ia menunjukkan identitas

para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks.

Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan

sebuah cara untuk mengungkapkan the power of a communication text. Analisis

framing dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran

manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah

lokasi, seperti pidato, ucapan/ungakapan, news report, atau novel. Framing kata

Entman, secara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan. Membuat frame

adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan

membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan

sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang

khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikan

penanganannya (Siahaan, 2001: 81).

Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di

hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya

tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu yang

memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing

dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang

Page 39: Analisis Framing Bab i, II & III

39

secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika

melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita.

E. Framing dan Ideologi

Produksi berita berhubungan dengan bagaimana rutinitas terjadi dalam

ruang pemberitaan, yang menentukan bagaimana wartawan didikte/dikontrol

untuk memberitakan peristiwa dalam perspektif tertentu. Selain praktik

organisasidan ideologi profesional tersebut, ada satu aspek lain yang sangat

penting yang berhubungan dengan bagaimana peristiwa ditempatkan dalam

keseluruhan produksi teks, yakni bagaimana berita itu bisa bermakna dan berarti

bagi khalayak. Stuart Hall dalam Eriyanto (2011: 141) menyebut aspek ini sebagai

konstruksi berita. Aspek ini berhubungan dengan bagaimana wartawan/media

menampilkan peristiwa tersebut sehingga relevan bagi khalayak.

Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami

bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Diantara

berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam

ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi

menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu

dijalankan.

Page 40: Analisis Framing Bab i, II & III

40

Sebuah teks, kata Aart van Zoest (Sobur, 2011: 60), tak pernah lepas dari

ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu

ideologi, sedangkan Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam

analisis wacana karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik

ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.

Istilah Ideologi menurut Jorge Larrain (1996) dalam Sobur (2011: 61)

mempunyai dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi

dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-

nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-

kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu

kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara

memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial.

Raymond Williams dalam Sobur (2011: 64) menamakan ideologi

“himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan material tertentu

atau, secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu”. Sedangkan John

B. Thomson dalam Sobur (2011: 64) menyatakan bahwa ideologi hanya dapat

dipahami dengan tepat sebagai “ideologi dominan” di mana bentuk-beentuk

simbolis dipakai oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk “membangun dan

melestarikan hubungan dominasi (masyarakat yang timpang).”

Begitulah, meskipun istilah ideologi dipergunakan dalam banyak arti,

namun pada hakikatnya semua arti itu, menurut Magnis-Suseno dalam Sobur

Page 41: Analisis Framing Bab i, II & III

41

(2011: 66) dapat dikembalikan pada salah satu (atau kombinasi) dari tiga arti,

yakni:

1) Ideologi sebagai kesadaran palsu

Secara spontan bagi kebanyakan orang, kata ideologi mempunyai konotasi

negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau sebagai teori yang tidak berorientasi

pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.

Biasanya ideologi sekaligus dilihat sebagai sarana kelas ataupun kelompok yang

berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar.

2) Ideologi dalam arti netral

Ideologi ini kebanyakan ditemukan di negara-negara yang sangat

mementingkan sebuah “ideologi negara”, misalnya negara-negara komunis. Arti

dari ideologi netral ialah keseluruhan sistem pikir, nilai-nilai, dan sikap dasar

rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Nilai ideologi

tergantung isinya: kalau isinya baik, ideologi itu baik, kalau isinya buruk

(misalnya, membenarkan kebencian), dia buruk.

3) Ideologi: keyakinan yang tidak ilmiah

Segala penilaian etis dan moral, anggapan-anggapan normatif, begitu pula

teori-teori dan paham-paham metafisik dan keaagamaan atau filsafat sejarah,

termasuk ideologi. Arti ketiga ini maunya netral, tetapi dalam penilaian Magnis

Suseno, sebenarnya bernada negatif juga karena memuat sindiran bahwa

“ideologi-ideologi” itu tidak rasional, di luar hal nalar, jadi merupakan

Page 42: Analisis Framing Bab i, II & III

42

kepercayaan dan keyakinan subjektif semata-mata, tanpa kemungkinan untuk

mempertanggungjawabkannya scara objektif.

Daniel Hallin membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang/peta

ideologi, yaitu bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi

(sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus).

Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan

ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis.

Apakah peristiwa dibingkai dan dimaknai sebagai wilayah penyimpangan,

kontroversi, ataukah konsensus? Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa,

gagasan, atau prilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Ini

semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum

dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Peristiwa PKI masuk

dalam wilayah penyimpangan karena dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan

tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas. Bidang kedua adalah wilayah

kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa

realitas (peristiwa, prilaku, atau gagasan) dipandang menyimpang dan buruk,

dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan

seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai

perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang

paling dalam adalah konsensus; menunjukkan bagaimana realitas tertentu

Page 43: Analisis Framing Bab i, II & III

43

dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas yang sesuai dengan

nilai-nilai ideologi kelompok.

Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan

bagaimana prilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena

memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi

yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke

dalam peta yang berbeda, karena ideologi yang menempatkan bagaimana nilainilai

bersama yang dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk

menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari.

Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan

dalam tempat-tempat tertentu. Seperti yang dikatakan Mattew Kieran dalam

Eriyanto (2011: 154), berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita

diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu.

Ideologi yang dimaksud disini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide-ide

besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan.

F. Efek Framing

Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan

kepada khalayak. Dari definisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek

framing. Salah atu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang

kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai

sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu.

Page 44: Analisis Framing Bab i, II & III

44

Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas

dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak

untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikena, kata-kata kunci dan

citra tertentu. Kahalyak tidak disediakan atau disajikan informasi yang rumit,

melainkan informasi yang tinggal diambil, konstektual, berarti baginya, dan

dikenal dalam benaknya. Teori framing memperlihatkan seperti apa jurnalis

membuat simplikasi, prioritas, dan struktur tertentu dari peristiwa. Untuk itu,

framing pada fungsinya sebagai penyedia kunci untuk melihat peristiwa

bagaimana dipahami oleh media dan hasilnya yang berupa konstruksi media yang

telah mengalami pembingkaian.

Proses pembingkaian itu dapat dicontohkan sebagai berikut:

Mendefinisikan realitas tertentu Melupakan definisi lain atas realitas

Penonjolan aspek tertentu Pengaburan aspek lain

Penyajian sisi tertentu Penghilangan sisi lain

Pemilihan fakta tertentu Pengabaian fakta lain

Tabel 2.1. Efek Framing (Eriyanto, 2011: 167)

Menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lain. Framing

umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam

penulisan sering disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan

pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lain yang tidak mendapatkan perhatian

Page 45: Analisis Framing Bab i, II & III

45

yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari perspektif politik misalnya,

mengabaikan aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Menampilkan Sisi Tertentu dan Melupakan Sisi Lain. Sebut misalnya

pemberitaan media meengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya, banyak

menampilkan bagaimana demonstrasi akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita

secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekat

menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang

luka-luka. Dengan menampilkan sisi ini dalam berita, ada sisi lain yang dilupakan.

Seolah dengan menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada

gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat

keributan saja di tengah masyarakat.

Menampilkan Aktor Tertentu dan Menyembunyikan Aktor Lainnya.

Berita seringkali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu

tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak

atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting

dalam pemberitaan menjadi tersembunyi.

1) Mobilisasi Massa

Framing berkaitan dengan opini publik. Karena isu tertentu ketika dikemas

dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda

atas suatu isu. Misalnya, mengirim pasukan ke Timor Timur adalah upaya

mempertahankan nasionalisme Indonesia. Timor Timur adalah wilayah yang sah

Page 46: Analisis Framing Bab i, II & III

46

dari Indonesia, karena itu, meski pasukan internasional telah datang tetap harus

dikirim pasukan ke daerah tersebut. Terbukti kemasan tersebut berhasil menarik

dukungan masyarakat dan mobilisasi massa. Framing atas isu umumnya banyak

dipakai dalam literature gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak

mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Itu sering ditandai dengan

menciptakan masalah masalah bersama, musuh bersama dan pahlawan bersama.

2) Menggiring Khalayak Pada Ingatan Tertentu

Individu mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media. Karenanya,

perhatian khalayak, bagaimana orang mengkonstruksi realitas sebagian besar

berasal dari apa yang diberitakan oleh media. Misalnya, khalayak menilai sosok

Gus Dur, apakah Gus Dur terlibat dalam skandal Bulog dan Brunei ataukah tidak,

sebagian besar di antaranya berasal dan bersumber dari media. Media adalah

tempat di mana khalayak memperoleh informasi mengenai realitas politik dan

sosial yang terjadi di sekitar mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai

realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa

tersebut. Dengan kata lain, frame yang disajikan oleh media ketika memaknai

realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menafsirkan peristiwa.

Apa yang menyebabkan suatu berita lebih mudah diingat orang?

Pristiwa-peristiwa tertentu yang dramatis dan diabadikan, ternyata mempunyai

pengaruh pada bagaimana seeorang melihat peristiwa.W. Lance Bennet dan

Page 47: Analisis Framing Bab i, II & III

47

Regina G. Lawrence (Eriyanto 2011:178) menyebut sebagai ikon berita (news

icon). Apa yang khalayak tahu tentang sedikit banyak tergantung pada

bagaimana dia menggambarkannya. Peristiwa dramatis dan digambarkan media

dramatis pula, bahkan mempengaruhi pandangan khalayak tentang realitas.

G. Strategi Framing Model Robert N. Entman

Robert N. Entman adalah salah satu seorang ahli yang meletakkan dasar-

dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep mengenai framing

ditulis dalam sebuah artikel untuk Journal of Political Communication dan tulisan

lain yang mempraktikan konsep itu dalam suatu studi kasus pemberitaan media.

Konsep framing, oleh Entman, digunakan untuk menggambarkan proses seleksi

dan menonjiolkan aspek tertentu dari realitas oleh media (Eriyanto 2011: 220).

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan

penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Framing

dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang

lain dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai

strategi wacana, salah satunya penempatan yang mencolok (menempatkan di

headline depan atau bagian belakang).

Page 48: Analisis Framing Bab i, II & III

48

Framing menurut Entman dapat muncul dalam dua level. Pertama,

konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi sebagai

karakteristik dari teks berita. Misalnya, frame anti-militer yang dipakai untuk

melihat dan meproses informasi demonstrasi atau kerusuhan. Kedua, perangkat

spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai

peristiwa. Frame berita dilihat dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra

yang ada dalam narasi berita.

Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian

definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk

menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Menurut Entman (Eriyanto 2011: 225) framing dalam berita dilakukan

dengan empat cara, yaitu :

Define Problems (pendefinisian masalah). Elemen ini merupakan master

frame/bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami

oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu

tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Ketika

ada demonstrasi mahasiswa dan diakhiri dengan bentrokan, bagaimana peristiwa

ini dipahami. Peristiwa ini bisa dipahami sebagai anarkisme gerakan mahasiswa,

bisa juga dipahami sebagai pengorbanan mahasiswa.

Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah). Elemen kedua ini

merupakan elemen framing yang digunakan untuk membingkai siapa yang

Page 49: Analisis Framing Bab i, II & III

49

dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa

(what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu

saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Oleh

sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, maka penyebab masalahnya

akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain, pendefinisian sumber

masalah ini menjelaskan siapa yang dianggap sebagai pelaku dan siapa yang

menjadi korban dalam kasus tersebut.

Make moral judgement (membuat pilihan moral) Elemen framing yang

dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah

yang sudah dibuat. Setelah masalah didefinisikan dan penyebab masalah sudah

ditentukan, dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan

tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan

dikenal oleh khalayak.

Treatment recommendation (menekankan penyelesaian) Elemen framing

yang dipakai untuk membenarkan/member argumentasi pada pendefinisian

masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab

masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk

mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu

yang familiar dan dikenal oleh khalayak.

DAFTAR PUSTAKA

Page 50: Analisis Framing Bab i, II & III

50

Birowo, M. Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Gitanyali.

Bulaeng, Andi. 2004. “Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer”. Yogyakarta: Andi

Bungin, Burhan. 2008. “Konstruksi Sosial Media Massa”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______________ . 2006. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Jakarta: PT Raja Grafindo

______________ . 2006. “Sosiologi Komunikasi”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Effendi, Onong Uchjana 2003. “Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2011. “Analisis Framing”: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis

Hamad, Ibnu. 1999. “Media Massa dan Konstruksi Realitas”, dalam Jurnal Pantau. ISAI, 6 Oktober-November 1999.

Kriyantono, Rachmat. 2009. “Teknik Praktis Riset Komunikasi”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication”. Edisi Kesembilan. Terjemahan oleh Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika

Mulyana, Deddy. 2006. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Nurudin, 2007. “Pengantar Komunikasi Massa”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Oetama, Jacob. 1987. “Perspektif Pers Indonesia”. Jakarta: LP3ES

Page 51: Analisis Framing Bab i, II & III

51

Perdede, Pemmiliana. 2001. “Dramatisasi Cukup Dominan”. Jurnal Media Watch Kupas. Vol.3 No.2

Pareno, Sam Abede. 2005. “Media Massa Antara Realitas dan Mimpi”. Surabaya: Papyrus

Saripudin & Quisyaini Hasan. 2003. “Tomy Winata Dalam Citra Media: Analisis Berita Pers Indonesia”. Jakarta: JARI.

Santana K, Septiawan, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Siahaan, Hotman M, dkk. 2001. “Pers yang Gamang Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur”. Surabaya: Lembaga Studi Perubahan Sosial dan Jakarta Institut Studi Arus Informasi.

Severin, Werner J dan James W Tankard. 2008. “Teori Komunikasi : Sejarah, Teori dan Terapan di Dalam Media Massa”

Sobur, Alex. 2009. “Analisis Teks Media : Suatu Pengantar analisis wacana, analisis semiotika, dan analisis framing”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Vivian, John. 2008. “Teori Komunikasi Massa”. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

http://regional.kompas.com/read/2011/09/15/09025427/Mulai.Hari.Ini.Karyawan.Freeport.Mogok.Kerja diakses pada tanggal 19 November 2011

http://nasional.kompas.com/read/2011/11/13/17521224/Dua.Tahun.40.Kali.Penembakan.di.Freeport diakses pada tanggal 22 November 2011 pukul 19.45 WITA

http://matanews.com/2011/10/28/kasus-freeport-aparat-bermain/ diakses pada tanggal 22 November 2011 pukul 20.55 WITA

Page 52: Analisis Framing Bab i, II & III

52