Analisa Ws

2
 Tabloid Akademika Edisi 57/2010  11 SKP (Satuan Kredit Par- tisipasi, bagi mahasiswa Unud, tentunya su dah tidak asing lagi. Bagaimana tidak, ketika baru menginjakkan kaki di Universitas Udayana, sejak masa orientasi, SKP sudah mengiang-ngiang di telinga. Mulai dari nilai sampai  jumlah ya ng harus dikumpulka n pun sudah diwanti-wanti sejak awal. Dengan sistem ku rikulum sekarang yang berbasis kompe- tensi, dalam pembelajaran harus ada acuan standar dari proses pembelajaran. Di tingkat maha- siswa salah satunya ada penilaian keaktifan bagi mahasiswa . Kecenderungan mahasiswa yang enggan untuk mengasah sof skill melalui kegiatan organisasi menjadi latar belakang munculnya ide dicetuskannya SKP, ungkap Ananta Waya sebagai salah satu pencetus ide ini. “Tadin ya tujuan dari dibentuknya SKP ini untuk membentuk suatu sistem yang membuat mahasiswa tertarik un- tuk aktif dalam kegiatan,” tambah pria bertopi ini. Prof. I Nyoman Sucipta berpendapat sama.  “Adanya SK rektor tentang SKP karena SKP dadikan sistem penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dan pelaksanaanny a sendiri diserahkan untuk diatur di masing- masing Fakultas,” ujar mantan Pembantu Rektor Bidang kemahasiswaan Unud ini. Karakter yang berbeda-beda di antara fakultas, menjadi alasan utama kenapa standar minimal dan maksimum SKP ditentukan oleh fakultas. Namun Prof.Sucipta yang ditemui di waktu santai di kediamanny a, enggan mengatakan  bahwa Un iversitas lepas tangan. “Bukan diserahkan begitu saja, hanya saja di masing- masing fakultas punya karakter yang ber-  beda-beda tergantung dari p impi- nan fakultas. Di Universitas hanya peraturan umum,” tandasnya. SKP, kini menjadi target utama mahasiswa dalam mengiku- ti suatu kegiatan. Mulai dari keg- iatan seminar, sampai kepanitiaan. Sehingga tidak heran, dimana ada kegiatan yang berlebelkan SKP, mahasiswa berbondong-bondong untuk mendaar. Adji Prakoso, Presiden BEM PM Unud Periode 2010/2011 juga sempat mengungkapkan pendapat- nya tentang SKP. Menurutnya, SKP memiliki dua sisi, positif dan negatif. Hal ini dikarenakan kon- disi mahasiswa yang disibukkan dengan sistem perkuliahan dan pandangan individual. Di satu sisi SKP menolong untuk menstimu- lus mahasiswa untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kampus dan organisasi. Keaktifan yang diharapkan dengan adanya SKP adalah keak- tifan yang mengandung proses be- lajar, dalam mematangkan mental dan fsik mahasiswa untuk terjun kemasyarakat. Karena kurang pahamnya mahasiswa akan tujuan dari SKP itu sendiri, mahasiswa tekun mengikuti kegiatan instan yang kurang mengembangkan leadership mahasiswa, dengan tujuan memenuhi standar SKPnya. “Saya memilih cara y ang paling gampang untuk mendapat- kan SKP, melalui seminar-semi- nar, dan ikut kepanitiaan, karena kedua kegiatan itu lebih gampang dan tidak mengikat,” papar Odilia salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Hal senada diungkapkan Sagung Ari, yang juga mahasiswa FH Unud. “Saya cenderung tertarik untuk mengikuti seminar-semi- nar, karena melalui seminar, bisa mendapatkan informasi dan hal- hal baru. Karena bagaimanapu n SKP juga p enting untuk bisa di wisuda,” kata mahasiswa semester IV itu. Kebutuhan akan SKP yang  juga dikarenakan SKP merupakan prasyarat untuk dapat mengi- kuti ujian skripsi, membuat SKP dikatakan malah menciptakan ego sentris Fakultas. Maka dari itu menurut Adji, SKP sekarang tidak  berjalan sesuai dengan fu ngsinya. “SKP mengubah kultur, mahasiswa hanya bekerja di tingkat teknis, sedangkan jika di organisasi ada kaderisasi dan pengembangan wawasan,” tambah mahasiswa kelahiran 17 Februari 1988 ini. SKP yang dikatakan men- gubah kultur juga disebabkan kare- na kebakan dari Fakultas yang cenderung melaksanakan kegiatan ad hoc atau kepanitiaan. Cara yang praktis dan mudah memang. Sehingga mahasiswa lebih cend- erung aktif di fakultasnya. Mana ada orang yang mau dibuat susah? Maka dari itu, banyak wadah yang disediakan universitas; seperti UKM-UKM tidak diminati lagi oleh mahasiswa. Walhasil organisa- si-organisasi Universitas kini mati suri. Wah, kenapa SKP malah men-  jadi bumerang bagi un iversitas itu sendiri? Adji sendiri berpendapat, “Perlu penyeragaman agar bersifat sinergis antara fakultas dengan universitas, agar tidak ada kecem-  buruan.karena akan menimbulkan perpecahan.” Di Fakultas Kedokteran He- wan, SKP yang harus dikumpulkan adalah 45 point. 45 point terse-  but terdiri dari 75% intern, 25 % ekstern. Kalau dilihat, skala untuk kegiatan internnya lebih banyak. Di satu sisi mahasiswa kurang bisa mengepakkan sayapnya mencari pengalaman di luar yang barang- kali banyak manfaatnya. Sedang- kan disisi lainnya setiap kegiatan kampusnya pasti akan ramai dan  banyak yang ikut serta, karena ma- hasiswa akan lebih memilih point yang lebih besar. Kebakan serupa, terdapat di Fakultas Ekonomi Unud. Dengan alasan kurangnya minat mahasiswa, khususnya di Fakultas Ekonomi akan kegiatan dan organ- isasi intern kampus, maka dibuat- lah kebakan dengan skala point 75% untuk kegiatan intern dan 25% untuk ekstern. Jumlah yang dikumpulkan per angkatan pun  berbeda. Angkatan 2007,2008 h arus mengumpulkan sebanyak 20 point, sedangkan angkatan 2009 sejak di  buatnya P akem (Pan duan Kemaha- siswaan) yang berlaku tahun 2010 harus mengumpulkan sebanyak 30 point. “Kami ingin mengem-  bangkan sof skill mahasiswa FE, dengan mengikuti kegiatan yang FE adakan. Maka dari itu, kami menawarkan bobot point yang lebih besar untuk kegiatan intern. Sehingga secara tidak langsung, setiap kegiatan yang kami adakan akan banyak peminatnya,” urai Hendra ketua BEM FE. Selain adanya perbedaan  bobot point ekstern dan intern.  Jumlah point un tuk kegiatan tingkat Internasional, Nasi- onal, dan Regional juga berbeda. Namun tetap melihat pada 75% persen ekstern dan 25% intern. “Di FE kami juga memberi- kan syarat-syarat SKP yang harus dikumpulkan. Pertama, SKP yang didapat dari kegiatan PKKMB dan Student Day Fakultas, GET, KBBM, dan Inisiasi di masing- masing jurusan, dan yang kedua minimal mempuny ai 3 SKP dari kegiatan seminar nasional,” ung- kap mahasiswa D3 Perpajakan ini. Prof. Dr. Komang Gede Bendesa, M.A.D.E selaku Pemban- tu Rektor I Unud mengungkapkan, dengan adanya kebakan yang membedakan point ekternal dan internal secara signifkan, justru mencerminkan pandangan yang sempit mengenai SKP. “Apalagi kalau di fakultas sendiri lebih banyak kegiatan kepanitiaan dengan jumlah besar, itu sama sekali tidak efektif bagi pengembangan so skill maha- siswa,” tambahnya. Berbeda lagi di Fakultas Teknik Unud. Kampus yang  bercirikan warna h itam ini memi- liki sistem SKP yang cukup rapi. Target yang harus dicapai memang terdengar banyak yaitu 250 point untuk angkatan 2007-2009 yang semuanya tercantum di dalam  buku pedoman SKP . Kabid V Senat FT yang mengurusi masalah SKP mengatakan bahwa sistem peng- umpulan SKP di teknik justru lebih mudah ketimbang fakultas lain. “Selain kegiatan di luar kampus yang terhitung seperti kegiatan di Banjar-Banjar,  point yang kami beri- kan juga besar. Misalnya 60 point untuk kepanitiaan skala internasi- onal,” ujar pria yang akrab disapa Pur ini. Meski begitu FT mene- tapkan syarat juga untuk dapat mengklaim SKP di FT yaitu wajib mengikuti KIM guna mendapatkan  basic point sebesar 50 point. Setiap kebakan yang ada kiranya harus menguntung- kan semua pihak, karena pada dasarnya tak ada fakultas yang menghancurkan masa depan mahasiswanya. Namun dari per-  bedaan penilaian SKP yang ada, hendaknya tidak memunculkan egosentris Fakultas yang mencolok. Atau fakultas kini harus berbenah, menyediakan kesempatan bagi ma- hasiswa untuk mengasah sof skill dengan matang. Bersedia?(intan re- sparani, windu, happy, angga, awing) SKP Picu Egoisme Fakultas S KP awalnya adalah ide untuk meningkatkan kualitas mahasiswa dengan kegiatan sof skil. Kemampuan mengorganisir dan kemampuan bersosialisasi ada di dalamnya. Universitas punya aturan umum. Tapi belakangan fakultas terlihat egois. Keinginan untuk membuat acara fakultas ‘ramai’ menjadikan penilaian SKP tak berimbang. Organisasi mahasiswa tempat mencetak maha- siswa ber-sof skill kuat, gersang. Sebaliknya acara kepanitiaan Fak ultas menjadi subur.

description

ddc

Transcript of Analisa Ws

  • Tabloid Akademika Edisi 57/2010

    SKP (Satuan Kredit Par-tisipasi, bagi mahasiswa Unud, tentunya sudah tidak asing lagi. Bagaimana tidak, ketika baru menginjakkan kaki di Universitas Udayana, sejak masa orientasi, SKP sudah mengiang-ngiang di telinga. Mulai dari nilai sampai jumlah yang harus dikumpulkan pun sudah diwanti-wanti sejak awal. Dengan sistem kurikulum sekarang yang berbasis kompe-tensi, dalam pembelajaran harus ada acuan standar dari proses pembelajaran. Di tingkat maha-siswa salah satunya ada penilaian keaktifan bagi mahasiswa.

    Kecenderungan mahasiswa yang enggan untuk mengasah soft skill melalui kegiatan organisasi menjadi latar belakang munculnya ide dicetuskannya SKP, ungkap Ananta Wijaya sebagai salah satu pencetus ide ini. Tadinya tujuan dari dibentuknya SKP ini untuk membentuk suatu sistem yang membuat mahasiswa tertarik un-tuk aktif dalam kegiatan, tambah pria bertopi ini. Prof. I Nyoman Sucipta berpendapat sama.

    Adanya SK rektor tentang SKP karena SKP dijadikan sistem penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dan pelaksanaannya sendiri diserahkan untuk diatur di masing- masing Fakultas, ujar mantan Pembantu Rektor Bidang kemahasiswaan Unud ini.

    Karakter yang berbeda-beda di antara fakultas, menjadi alasan utama kenapa standar minimal dan maksimum SKP ditentukan oleh fakultas. Namun Prof.Sucipta yang ditemui di waktu santai di kediamannya, enggan mengatakan bahwa Universitas lepas tangan. Bukan diserahkan begitu saja, hanya saja di masing- masing fakultas punya karakter yang ber-beda-beda tergantung dari pimpi-nan fakultas. Di Universitas hanya peraturan umum, tandasnya.

    SKP, kini menjadi target utama mahasiswa dalam mengiku-ti suatu kegiatan. Mulai dari keg-iatan seminar, sampai kepanitiaan. Sehingga tidak heran, dimana ada kegiatan yang berlebelkan SKP, mahasiswa berbondong-bondong untuk mendaftar.

    Adji Prakoso, Presiden BEM PM Unud Periode 2010/2011 juga sempat mengungkapkan pendapat-nya tentang SKP. Menurutnya, SKP memiliki dua sisi, positif dan negatif. Hal ini dikarenakan kon-disi mahasiswa yang disibukkan dengan sistem perkuliahan dan pandangan individual. Di satu sisi SKP menolong untuk menstimu-lus mahasiswa untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kampus dan

    organisasi. Keaktifan yang diharapkan

    dengan adanya SKP adalah keak-tifan yang mengandung proses be-lajar, dalam mematangkan mental dan fisik mahasiswa untuk terjun kemasyarakat. Karena kurang pahamnya mahasiswa akan tujuan dari SKP itu sendiri, mahasiswa tekun mengikuti kegiatan instan yang kurang mengembangkan leadership mahasiswa, dengan tujuan memenuhi standar SKPnya.

    Saya memilih cara yang paling gampang untuk mendapat-kan SKP, melalui seminar-semi-nar, dan ikut kepanitiaan, karena kedua kegiatan itu lebih gampang dan tidak mengikat, papar Odilia salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum.

    Hal senada diungkapkan Sagung Ari, yang juga mahasiswa FH Unud. Saya cenderung tertarik untuk mengikuti seminar-semi-nar, karena melalui seminar, bisa mendapatkan informasi dan hal-hal baru. Karena bagaimanapun SKP juga penting untuk bisa di wisuda, kata mahasiswa semester IV itu.

    Kebutuhan akan SKP yang juga dikarenakan SKP merupakan prasyarat untuk dapat mengi-kuti ujian skripsi, membuat SKP dikatakan malah menciptakan ego sentris Fakultas. Maka dari itu menurut Adji, SKP sekarang tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. SKP mengubah kultur, mahasiswa hanya bekerja di tingkat teknis, sedangkan jika di organisasi ada kaderisasi dan pengembangan wawasan, tambah mahasiswa kelahiran 17 Februari 1988 ini.

    SKP yang dikatakan men-gubah kultur juga disebabkan kare-na kebijakan dari Fakultas yang cenderung melaksanakan kegiatan ad hoc atau kepanitiaan. Cara yang praktis dan mudah memang. Sehingga mahasiswa lebih cend-erung aktif di fakultasnya. Mana ada orang yang mau dibuat susah?

    Maka dari itu, banyak wadah yang disediakan universitas; seperti UKM-UKM tidak diminati lagi oleh mahasiswa. Walhasil organisa-si-organisasi Universitas kini mati suri. Wah, kenapa SKP malah men-jadi bumerang bagi universitas itu sendiri? Adji sendiri berpendapat, Perlu penyeragaman agar bersifat sinergis antara fakultas dengan universitas, agar tidak ada kecem-buruan.karena akan menimbulkan perpecahan.

    Di Fakultas Kedokteran He-wan, SKP yang harus dikumpulkan adalah 45 point. 45 point terse-but terdiri dari 75% intern, 25 % ekstern. Kalau dilihat, skala untuk kegiatan internnya lebih banyak. Di satu sisi mahasiswa kurang bisa mengepakkan sayapnya mencari pengalaman di luar yang barang-kali banyak manfaatnya. Sedang-kan disisi lainnya setiap kegiatan kampusnya pasti akan ramai dan banyak yang ikut serta, karena ma-hasiswa akan lebih memilih point yang lebih besar.

    Kebijakan serupa, terdapat di Fakultas Ekonomi Unud. Dengan alasan kurangnya minat mahasiswa, khususnya di Fakultas Ekonomi akan kegiatan dan organ-isasi intern kampus, maka dibuat-lah kebijakan dengan skala point 75% untuk kegiatan intern dan 25% untuk ekstern. Jumlah yang dikumpulkan per angkatan pun berbeda. Angkatan 2007,2008 harus mengumpulkan sebanyak 20 point, sedangkan angkatan 2009 sejak di buatnya Pakem (Panduan Kemaha-siswaan) yang berlaku tahun 2010 harus mengumpulkan sebanyak 30 point.

    Kami ingin mengem-bangkan soft skill mahasiswa FE, dengan mengikuti kegiatan yang FE adakan. Maka dari itu, kami menawarkan bobot point yang lebih besar untuk kegiatan intern. Sehingga secara tidak langsung, setiap kegiatan yang kami adakan akan banyak peminatnya, urai

    Hendra ketua BEM FE.Selain adanya perbedaan

    bobot point ekstern dan intern. Jumlah point untuk kegiatan tingkat Internasional, Nasi-onal, dan Regional juga berbeda. Namun tetap melihat pada 75% persen ekstern dan 25% intern.

    Di FE kami juga memberi-kan syarat-syarat SKP yang harus dikumpulkan. Pertama, SKP yang didapat dari kegiatan PKKMB dan Student Day Fakultas, GET, KBBM, dan Inisiasi di masing-masing jurusan, dan yang kedua minimal mempunyai 3 SKP dari kegiatan seminar nasional, ung-kap mahasiswa D3 Perpajakan ini.

    Prof. Dr. Komang Gede Bendesa, M.A.D.E selaku Pemban-tu Rektor I Unud mengungkapkan, dengan adanya kebijakan yang membedakan point ekternal dan internal secara signifikan, justru mencerminkan pandangan yang sempit mengenai SKP.

    Apalagi kalau di fakultas sendiri lebih banyak kegiatan kepanitiaan dengan jumlah besar, itu sama sekali tidak efektif bagi pengembangan soft skill maha-siswa, tambahnya.

    Berbeda lagi di Fakultas Teknik Unud. Kampus yang bercirikan warna hitam ini memi-liki sistem SKP yang cukup rapi. Target yang harus dicapai memang terdengar banyak yaitu 250 point untuk angkatan 2007-2009 yang semuanya tercantum di dalam buku pedoman SKP. Kabid V Senat FT yang mengurusi masalah SKP mengatakan bahwa sistem peng-umpulan SKP di teknik justru lebih mudah ketimbang fakultas lain. Selain kegiatan di luar kampus yang terhitung seperti kegiatan di Banjar-Banjar, point yang kami beri-kan juga besar. Misalnya 60 point untuk kepanitiaan skala internasi-onal, ujar pria yang akrab disapa Pur ini. Meski begitu FT mene-tapkan syarat juga untuk dapat mengklaim SKP di FT yaitu wajib mengikuti KIM guna mendapatkan basic point sebesar 50 point.

    Setiap kebijakan yang ada kiranya harus menguntung-kan semua pihak, karena pada dasarnya tak ada fakultas yang menghancurkan masa depan mahasiswanya. Namun dari per-bedaan penilaian SKP yang ada, hendaknya tidak memunculkan egosentris Fakultas yang mencolok. Atau fakultas kini harus berbenah, menyediakan kesempatan bagi ma-hasiswa untuk mengasah soft skill dengan matang. Bersedia?(intan re-sparani, windu, happy, angga, awing)

    SKP Picu Egoisme Fakultas

    SKP awalnya adalah ide untuk meningkatkan kualitas mahasiswa dengan kegiatan soft skil. Kemampuan mengorganisir dan kemampuan bersosialisasi ada di dalamnya. Universitas punya aturan umum. Tapi belakangan fakultas terlihat egois. Keinginan untuk membuat acara fakultas ramai menjadikan penilaian SKP tak berimbang. Organisasi mahasiswa tempat mencetak maha-siswa ber-soft skill kuat, gersang. Sebaliknya acara kepanitiaan Fakultas menjadi subur.