Analisa Terhadap 146 Pasien Dengan Kesulitan Pada Laparoskopi Kolesistektomi
-
Upload
muhammad-syamil-rozlan -
Category
Documents
-
view
15 -
download
4
description
Transcript of Analisa Terhadap 146 Pasien Dengan Kesulitan Pada Laparoskopi Kolesistektomi
Analisa terhadap 146 pasien dengan kesulitan pada laparoskopi
kolesistektomi
Orthan Bat
Departement of General Surgery, Kanuni S.S Training and Research
Hospital, Istanbul, Turkey
Abstrak
Pendahuluan: Laparoskopi Kolesistetkomi (LC) sangat sering dilakukan pada
operasi intervensi. Kolesistisis akut atau kronik, perlengketan akibat operasi
abdomen bagian atas sebelumnya. Mirrizi’s syndrome dan obesitas merupakan
kondisi klinis umum yang dapat dikaitkan dengan kesulitan kolesistektomi. Pada
studi ini, kami telah mengevaluasi dan menilai pasien-pasien dengan kesulitan
saat operasi eksplorasi sewaktu laparoskopi kolesistektomi.
Materi dan Metode: Semua pasien yang menjalani LC dari tahun 2010 sampai
2015 secara retrospektif dikaji. Bedasarkan penemuan intraoperatif, kasus DLC
telah dideskripsikan dan diklasifikasiakn. Kesulitan kelas I: Perlengketan dari
omentum majus, colon transversum, kantung empedu dari duodenum ke fundus.
Kesulitan kelas II: Perlengketan pada segita Calot dan kesulitan dalam mendiseksi
arteri sistik dan duktus sistikus. Kesulitan kelas III: Kesulitan dalam mendiseksi
dasar kantung empedu (kantung empedu dengan skleroatropik, perdarahan dari
hati ketika mendiseksi kantung empeud, sirosis hepatis). Kesulitan kelas IV:
Kesulitan dalam mengeksplorasi kantung empedu dikarenakan perlengketan
intraabdominal termasuk masalah-masalah yang bersifat teknis.
Hasil: Total dari 146 pasien dioperasi dengan DLC. Tipe kesulitan yang paling
sering dijumpai adalah kesulitan kelas I (88 pasien/60.2%). Laparoskopi
kolesistektomi telah diubah menjadi laparotomi pada 98 pasien. Waktu operasi
ditemukan memilki hubungan dengan konveri menjadi operasi terbuka (P<0.05).
Rata-rata infeksi luka juga secara statistik lebih tinggi dalam kelompok konversi
1
(P<0.05). Waktu operasi ditemukan yang paling lama pada kesulitan kelas II.
Rata-rata konversi menjadi operasi terbuka juga menjadi yang paling tinggi pada
kelompok kesulitan kelas II.
Kesimpulan: Kesulitan kelas II memiliki karakteristik perlengketan berat pada
segitiga Calot adalah merupakan masalah yang paling serius di antara semua
kasus DLC. Mereka memiliki waktu operasi yang lebih lama dan rata-rata
konversi lebih tinggi.
Kata Kunci: Laparoskopi, kolesistektomi, kesulitan, analisa
Pengenalan
Laparoskopi kolesistektomi (LC) adalah satu dari banyak operasi yang dilakukan
pada praktis operasi. LC secara luas memiliki keuntungan yang dapat diterima,
seperti lebih nyaman, periode nyeri post operasi yang lebih sedikit dan lebih cepat
kembali melakukan aktivitas normal. Diseksi yang aman merupakan komponen
paling penting dari keberhasilan LC. Kolesistitis akut atau kronik, perlengketan
akibat operasi abdomen bagian atas sebelumnya, Mirrizi’s syndrome dan obesitas
merupakan kondisi klinis umum yang dapat dikaitkan dengan kesulitan
kolesistektomi.
Kesulitan pada laparoskopi kolesistektomi adalah kondisi yang menyulitkan.
Definisi dari (DLC) tidak dikenal secara baik dan mungkin berbeda-beda menurut
pengalaman dari ahli bedah. Beberapa betuk sewaktu LC mungkin dapat diterima
sebagai DLC seperti meningkatnya waktu operasi [1-3], kesulitan dalam
mendiseksi segitiga calot atau kantung empedu dan komplikasi yang terjadi
sewaktu kolesistektomi.
Tidak ada informasi yang jelas dari literatur mengenai peniliaian dan klasifikasi
daripada kesulitan dalam LC khususnya yang berkaitan dengan penemuan
operatif. Dalam studi ini, sasarannya adalah untuk mengevaluasi dan menilai
pasien dengan kesulitan operasi eksplorasi sewaktu laparoskopi kolesistektomi.
2
Materi dan Metode
Semua pasien yang menjalani LC dari tahun 2010 sampai 2015 telah dikaji secara
retrospektif. Riwayat medis dan pemeriksaan fisis rutin telah dilakukan pada
semua pasien. Hemogram komplit, pemeriksaan fungsi hati, Gama Glutamine
Transferase, Alkalin fosfatase, bilirubin telah dinilai. Ultrasonografi Abdomen
(USG) telah dilakukan. Magnetic Resonance Cholangiography telah dilakukan
pada semua pasien dengan kecurigaan terhadap koledokolitiasis. Laparoskopi
kolesistektomi dilakukan oleh ahli bedah dengan pengalaman klinis kami dalam
operasi laparoskopi. Tiap-tiap operasi telah didefinisikan sebagai DLC menurut
kriteria-kriteria berikut:
Waktu operasi lebih dari 75 menit sejak insersi dengan jarum veress untuk
ekstraksi dari kantung empedu.
Segala jenis perlengketan yang mencegah eksplorasi daripada fundus
kantung empedu dan segitiga calot, termasuk perlengketan abdominal
dengan alasan apapun.
3
c-Masalah-masalah teknis yang memperpanjang waktu operasi d-masalah-
masalah diseksi kantung empedu dari dasar hepar. Menurut penemuan
intraoperatif, kasus-kasus DLC telah dideskripsikan dan telah diklasifikasikan.
Kesulitan kelas I: Perlengketan dari omentum majus, colon transversum, kantung
empedu dari duodenum ke fundus. Kesulitan kelas II: Perlengketan pada segita
Calot dan kesulitan dalam mendiseksi arteri sistik dan duktus sistikus. Kesulitan
kelas III: Kesulitan dalam mendiseksi dasar kantung empedu (kantung empedu
dengan skleroatropik, perdarahan dari hati ketika mendiseksi kantung empedu,
sirosis hepatis). Kesulitan kelas IV: Kesulitan dalam mengeksplorasi kantung
empedu dikarenakan perlengketan intraabdominal termasuk masalah-masalah
yang bersifat teknis.
Analisa statistic
Analisa statistik dilakukan dengan SPSS. Statistical software version 17.0 (SPSS
Inc., Chicago, IL, USA). Semua data yang berkesinambungan diekspresikan
sebagai rata-rata ± deviasi standar (SD).
4
Hasil
Total dari 146 pasien telah dioperasi dengan DLC. Terdapat 62 pria dan 84
wanita. Gejala-gejala yang paling sering muncul adalah nyeri abdomen (98
pasien-67.1%). Tiga puluh empat pasien telah dievaluasi secara perioperative
dengan MRCP dikarenakan kecurigaan terhadap koledokolitiasis. Hanya terdapat
dua pasien yang didiagnosa dengan koledokolitiasis. Karakteristik demografi dari
pasien telah ditampilkan pada tabel 1. Tipe kesulitan yang paling sering dijumpai
adalah kesulitan kelas I (88 pasien/60.2%). Semua pasien dengan kesulitan dalam
mengklasifikasikannya telah ditampilkan pada tabel 2. Laparoskopi
kolesistektomi telah dikonversi menjadi laparotomi pada 98 pasien. Perbandingan
antara pasien yang mana operasinya telah diselesaikan dengan LC dan dikonversi
menjadi operasi terbuka telah ditampilkan pada tabel 3 dan 4. Waktu operasi
ditemukan memiliki hubungan dengan konversi menjadi operasi terbuka (P<0.05).
Rata-rata infeksi luka juga secara statistic lebih tinggi dalam kelompok konversi
(P<0.05).
Waktu operasi yang ditemukan paling singkat adalah pada kesulitan kelas 1
(Gambar 2). Rata-rata konversi menjadi operasi terbuka juga paling tinggi pada
kelompok kesulitan kelas II (Gambar 1). Infeksi luka dideteksi pada 18 pasien
dalam kelompok konversi. Tidak ada infeksi luka dalam kelompok LC. Fistula
bilier sementara dideteksi pada dua pasien dari tiap kelompok. Fistula-fistula ini
berhasil ditangani dengan tindakan konservatif.
Diskusi
Kesulitan pada laparoskopi kolesistektomi telah menjadi masalah terkini setelah
penggunaan secara luas daripada operasi laparoskopi. Tidak ada definisi yang
jelas dan disetujui mengenai DLC ini.
Waktu operasi yang lebih panjang, kesulitan dalam mengeksplorasi segitiga calot,
konversi menjadi operasi terbuka adalah kondisi yang sering diartikan sebagai
DLC oleh banyak para ahli bedah. Pada awal dari LC, banyak kondisi diterima
sebagai kontraindikasi untuk laparoskopi termasuk kolesistitis akut, empyema,
5
Mirrizi’s syndrome. Banyak kasus yang telah diklasifikasikan sebagai DLC
sebelumnya, telah berhasil ditangani dengan LC, setelah kemajuan dalam
ketermpilan laparoskopi beberapa tahun terakhir. Rata-rata konversi menjadi
operasi terbuka pada LC telah menurun hingga 2-6%
6
Tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengklasifikasikan kasus-kasus DLC
berdasarkan dari penemuan-penemuan dalam operasi. Kami juga telah
membandingkan pasien yang ditangani dengan LC dan dikonversi menjadi
operasi terbuka. Faktor-faktor resiko untuk konversi menjadi operasi terbuka pada
LC telah diinvestigasi secara menyeluruh [5-12]. Usia, Skor sex ASA, Indeks
massa tubuh, operasi abdomen sebelumnya, riwayat kolesistitis dan pankreatitis,
peningkatan enzim obstruksi bilier (Gamma glutamate transferase dan Alkalin
fosfatase) adalah faktor-faktor yang paling sering dipelajari untuk pengkonversian
menjadi operasi terbuka. Usia lanjut ditemukan menjadi faktor resiko penting
dalam banyak studi [6,8-10].Telah ditetapkan bahwa komorbiditas pada orang
yang lebih tua memiliki keterkaitan dengan konversi. Jenis kelamin laki-laki juga
dilaporkan sebagai faktor resiko [13, 14]. Ketika membandingkan dua kelompok
dari studi kami (secara laparoskopi diselesaikan atau dikonversi menjadi operasi
terbuka) kami menemukan bahwa rata-rata konversi lebih tinggi pada pasien
dengan waktu operasi yang lebih lama.
7
Kami mengklasifikasikan kasus-kasus DLC sebagai kelas I sampai kelas IV
berdasarkan penemuan selama operasi. Jenis DLC yang paling sering adalah
kesulitan kelas I. Omentum, kolon transversum dan duodenum merupakan organ-
organ yang terdeteksi padabanyak pasien yang mana omentum merupakan organ
tersering mengalami perlengketan dengan fundus dari kantung empedu.
Perlengketan omentum dapat dengan mudah didiseksi pada banyak pasien. Rata-
rata konversi adalah minimal dalam tipe kesulitan ini. Waktu operasi juga yang
paling singkat pada kelompok ini. Rata-rata konversi menjadi operasi terbuka
merupakan yang paling tinggi pada kesulitan kelas II. Yang mana hanya satu
cedera duktus koledoku telah terjadi sewaktu operasi dalam seri ini, pasien lain
dikonversi menjadi operasi terbuka untuk menghindari cedera pada traktus bilier.
Waktu operasi adalah yang paling panjang pada kesulitan kelas II dan kelas IV.
Perlengketan intraabdominal dan masalah teknis tampaknya menjadi masalah
penting yang meningkatkan waktu operasi. Lal P dkk melaporkan sebuah kejadian
dari DLC pada 146 pasien. Alasan paling sering untuk konversi menjadi operasi
terbuka adalah kesulitan dalam mendiseksi duktus sistikus dan pembuluh darah
arteri pada segitiga calot [15].
Banyak studi mengenai DLC berkaitan dengan kolesistektomi dalam literature-
literatur [16-20]. Sekarang ini, hampir semua pasien dengan kolesistitis akut dapat
dioperasi secara laparoskopi tanpa perlu laparotomi. Tidak ada pasien dengan
kolesistitis akut saat dilakukan eksplorasi pada serial kami. Sementara semua
pasien dengan kolesistitis akut adalah kandidat untuk kolesistektomi yang sulit,
hal ini harusnya diklasifikasikan dan ditangani sebagai satu kesatuan klinis yang
berbeda.
Tidak ada cedera bilier yang berarti pada pasien kami. Dua fistula bilier sementara
telah diobservasi dan berhasil ditangani dengan tindakan konservatif. Terdapat
delapan belas infeksi luka dalam kelompok yang dikonversi. Tidak terdapat
infeksi luka pada pasien yang ditangani dengan laparoskopi kolesistektomi.
Perbedaannya secara statistic tampak signifikan.
8
Sebagai kesimpulan, Laparoskopi kolesistektomi telah menjadi satu dari banyak
operasi bedah yang sering dilakukan secara luas. Banyak kasus-kasus DLC telah
dijumpai. Klasifikasi daripada DLC dapat menjadi keuntungan dalam artian untuk
memprediksi konversi menjadi operasi terbuka dan komplikasi postoperasi. Pada
studi ini, kesulitan yang paling sering dijumpai adalah tipe kesulitan kelas I yang
mana sebagian besar dikarakteristikkan oleh perlengketan terhadap fundus dari
9
kantung empedu. Laparoskopi kolesistektomi telah berhasil dilakukan pada
sebagian dari kasus-kasus ini. Kesulitan kelas II dikarakteristikkan oleh
perlengketan berat pada segitiga calot adalah masalah yang paling serius diantara
semua kasus-kasus DLC. Mereka memiliki waktu operasi yang lebih panjang dan
rata-rata konversi yang tinggi. Rangkaian klinis lebih besar yang menginvestigasi
khususnya kesulitan kelas II dapat menjadi keuntungan untuk manajemen DLC.
10