ALL Bab II

15
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DEFINISI Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T. Pendapat lain mengatakan leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah sebuah neoplasma yang progresif yang ditegaskan oleh adanya >30% limfoblast pada sumsum tulang atau darah. EPIDEMIOLOGI Di Amerika, setiap tahunnya sekitar 2000-3000 anak dan orang dewasa didiagnosis LLA. Lebih dari 80% pasien berusia kurang dari 10 tahun. Insidens LLA di negara berkembang 83%. Di RSU Sardjito kasus LLA mencapai 79%. Di RS Dr. Soetomo pada tahun 2002 dijumpai kasus LLA mencapai 88%. Paling sering menyerang anak- anak di bawah umur 15 tahun. Puncak insidensi usia 2-5 tahun dan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan. Namun, 20% insiden terjadi pada orang dewasa ETIOLOGI Penyebab LLA masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi 21), sindrom “Bloom’s”, anemia “Fanconi’s”

description

fhgfghf

Transcript of ALL Bab II

Page 1: ALL Bab II

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

DEFINISI

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor

limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan

leukemia sel T. Pendapat lain mengatakan leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah sebuah

neoplasma yang progresif yang ditegaskan oleh adanya >30% limfoblast pada sumsum tulang

atau darah.

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika, setiap tahunnya sekitar 2000-3000 anak dan orang dewasa didiagnosis LLA.

Lebih dari 80% pasien berusia kurang dari 10 tahun. Insidens LLA di negara berkembang 83%.

Di RSU Sardjito kasus LLA mencapai 79%. Di RS Dr. Soetomo pada tahun 2002 dijumpai kasus

LLA mencapai 88%. Paling sering menyerang anak-anak di bawah umur 15 tahun. Puncak

insidensi usia 2-5 tahun dan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan. Namun, 20%

insiden terjadi pada orang dewasa

ETIOLOGI

Penyebab LLA masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi

21), sindrom “Bloom’s”, anemia “Fanconi’s” dan ataksia telangiektasia) mempunyai angka

kejadian lebih tinggi untuk menderita LLA dan kembar monozigot.

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow

melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap

pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.

Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di Hiroshima dan

Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero

secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan insidens leukemia, demikian juga halnya

Page 2: ALL Bab II

dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen

selama trimester I kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali.

PATOFISIOLOGI

LLA disebabkan oleh hambatan pada diferensiasi sel. Sel leukemia terakumulasi tanpa

henti di sumsum tulang menyebabkan kepadatan pada sumsum tulang, dan mereka bersaing

dengan proliferasi sel dan fungsi normal dari sel hematopoetik. Jadi LLA telah disebut gangguan

akumulasi serta gangguan proliferasi. Pada sebagian besar kasus, sel leukemia dikeluarkan ke

darah dimana mereka terakumulasi. Sel-sel tersebut juga mungkin menginfiltrasi dan

terakumulasi di hepar, lien, KGB, dan organ-organ lain diseluruh tubuh. Adanya jumlah yang

banyak dari sel leukemia di darah mungkin salah satu dari indikator yang paling dramatis;

bagaimanapun, leukemia masih merupakan penyebab utama kekacauan pada sumsum tulang.

Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian

besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini

memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena

homogenotas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik menurut the French American

British (FAB) untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut:

L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogeny, anak inti

umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit

Page 3: ALL Bab II

L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih

kasar dengan satu atau lebih anak inti.

L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak

ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

Page 4: ALL Bab II

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak ditemukan

menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun

dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.

Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada patofisiologi

leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat sedikit diketahui. Bahwa

tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat

pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang justru

hiposeluler.

Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum

tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia

tersebut ke organ tubuh pasien.

MANIFESTASI KLINIS

Manfestasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan

kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel

limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan

gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi

yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada

sepertiga pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terjadi.

Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan: anemia (mudah lelah, letargi

pusing, sesak, nyeri dada), anoreksia, nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang

oleh sel-sel leukemia), demam, banyak berkeringat, infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah,

selulitis, atau sepsis, perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi,

hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak, leukemia system saraf pusat (nyeri kepala,

muntah, perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII .

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, limfadenopati,

massa di mediastinum (sering pada LLA sel T).

Page 5: ALL Bab II

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

a. Hitung darah lengkap dan apusan darah tepi

Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.

Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat

melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.

Proporsi sel blas pada hitungan leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira-kira

sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3. Pada

apusan darah tepi dapat ditemukan sel blast.

b. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klarifikasi,

sehingga semua pasien LLA arus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat

harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping.

Pada LLA, sumsum tulang biasanya hiperselular dan diinfiltrasi oleh limfoblas.

Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi

sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi

penting untuk evaluasi gambaran sitologi.

c. Sitokimia

Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-

kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA).

Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil

yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada

granula primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas

LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B ALL dari T

ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang

ganas,sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan

periodic acid Schiff (PAS).

d. Imunofenotip (dengan sitometri arus / Flow cytometri)

Klasifikasi imunofenotip sangat berguna pada tahap perkembangan awal

hemopoetik. Klasifikasi imunofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan

Page 6: ALL Bab II

leukemia sesuai tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan

kelompok saat ini mengklasifikasikan LLA dalam precursor sel B atau leukemia

sel T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD 20, CD 22, CD 79.

Karakteristik sel B matur adalah imunoglobulin pada permukaan, sementara sel T

membawa imunofenotip CD 3, CD 7, CD 5, CD 2. Petanda sel B dan atau petanda

sel T kadang-kadang dapat dideteksi pada konsentrasi rendah. Sel leukemia dapat

menunjukkan antigen myeloid dan limfoid pada saat yang bersamaan, leukemia

tersebut dianggap bifenotip.

e. Sitogenetik

Dengan metode yang mutakhir, lebih dari 90% kasus LLA pada anak

menunjukkan abnormalitas sitogenetik baik dalam jumlah atau struktur. Analisis

sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan

dengan subtype LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognosik.

f. Biologi molekular

Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk

mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini

juga harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai

prognosis buruk.

2. Radiologi

Radiografi dada dilakukan untuk melihat apakah terdapat massa pada mediastinum.

DIAGNOSIS

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.

Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan

dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan

penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi

molekuler.

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis

leukosit dan trombositopenia. Bias terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat apus

Page 7: ALL Bab II

darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional

(protokol Jakarta) pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit

>50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah

sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa

mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus

dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.

DIAGNOSIS BANDING

LLA harus dibedakan dengan leukemia mieloblastik akut (LMA), anemia aplastik,

penyakit keganasan lain yang menyerang sumsum tulang dan kerusakan pada sumsum tulang,

termasuk neuroblastoma, rhabdomyosarcoma, dan rheumatoid arthritis.

TERAPI

Pasien diterapi sesuai dengan risiko mereka. Pasien dengan risiko tinggi diterapi dengan

lebih intensif, dan biasanya lebih toxic. Mereka dengan risiko yang lebih rendah diterapi dengan

lebih efektif dan lebih sedikit dalam upaya untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas

terkait dengan terapi tanpa mengurangi harapan untuk hasil.

Untuk anak dan orang dewasa dengan ALL, protokol pengobatan dibagi menjadi 4

elemen utama: terapi induksi remisi, terapi intensifikasi atau konsolidasi, terapi profilaksis sistim

saraf pusat dan terapi lanjutan rumatan. Dengan pengecualian 1-2 % dari pasien ALL dengan

ALL sel B, durasi terapi untuk anak dan dewasa dengan ALL sekitar 24-36 bulan. Rekomendasi

durasi pengobatan pasien dengan resiko standar mungkin lenih pendek daripada pasien dengan

resiko yang lebih tinggi. Anak perempuan dengan ALL mungkin membutuhkan pengobatan yang

lebih sedikit. Pasien dengan ALL sel B diterapi untuk jangka waktu yang lebih pendek, biasanya

6-8 bulan.

Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Saat ini di

Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu

protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.

Terapi Induksi Remisi

Page 8: ALL Bab II

Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit hematologik

(hematologic complete remission / CR), yaitu eradikasi sel-sel leukemia yang dapat dideteksi

secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya hematopoiesis normal.

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda

(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat

dicapai adalah remisi komplit, remisi parsial, atau gagal.

Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi

Setelah tercapainya remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early

intensification) yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah

relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat.

Terapi Profilaksis SSP

Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50-70% pasien LLA yang tidak

mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Terapi SSP yaitu secara

langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi

dengan infuse berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat

pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih

efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik

dosis tinggi.

Terapi Lanjutan Rumatan

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan

metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama.

Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-2 1/2 tahun dan tidak ada

keuntungan jika perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan

melihat leukosit dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan. Pada LLA anak terapi

ini memperpanjang disease-free survival, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis

leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti,

hemoglobin >12g/dl tanpa transfuse, jumlah leukosit >3000/ulbdengan hitung jenis leukosit

Page 9: ALL Bab II

normal, jumlah granulosit >2000/ul, jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan

serebrospinal normal.

Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh,

khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang

buruk dengan terapi sitostatika konvensional. Anak-anak dengan remisi kurang dari 18 bulan

harus dipikirkan untuk transplantasi sumsum tulang.

PROGNOSIS

Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan ke dalam kelompok risiko

biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik

itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance

Faktor prognostik LLA :

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ALL pertama ditegakkan,mungkin

merupakan faktor prognostik bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara

jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan

jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis buruk.

2. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih

buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia diantara itu.Khusus untuk pasien dengan

umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling buruk.

3. Leukimia sel B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi ”kappa” dan”lambda” pada

permukaan blas diketahui mempunyai prognosis buruk.Dengan adanya protokol spesifik

untuk sel - B, prognosisnya semakin membaik. Sel - T leukimia juga mempunyai prognosis

yang jelek dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel - T leukemia

murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama dengan

leukimia sel pre - B. LLA sel - T diatasi dengan protokol risiko tinggi.

4. Beberapa penelitian menunjukan bahwa anak perempuan mempunyai prognostik lebih baik

daripada anak laki - laki.

Page 10: ALL Bab II

5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1 minggu

terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada sum -sum tulang pada induksi hari ke 7

atau 14 menunjukan prognosis buruk.

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>50

kromosom) yang biasa ditemukan pada 25 % kasus mempunyai prognosis yang baik. LLA

hipoploid (3 – 5 %) mempunyai prognosis intermediet seperti t(1;19). Translokasi t (9;22)

pada 5 % anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3% dari pasien anak

akan meninggal dalam CCR (Continous Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab

utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam

18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara

relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,

khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif

untuk mengurangi resistensi obat.

Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang berbeda. Survival

meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991) sampai dengan saat ini 81% (1992-

1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok

risiko.

Sumber dari:

Ini nanti langsung kamu copy aja referencenya, ini udah aku formatin buat dafpus

1. Steuber CP, DG Poplack. ALL in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition, 2007: 1594

– 1599.

2. Permono B, IDG Ugrasena. Leukemia Akut in Buku Ajar Hematologionkologi Anak

IDAI, 2006: 236 – 245.